BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lansia 2.1.1 Pengertian Lansia Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua (Nugroho, 2008). Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat, dan bentuk tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2008). 2.1.2 Klasifikasi Lansia World Health Organization (WHO) mengelompokkan lanjut usia atas tiga kelompok, yaitu kelompok middle age (45-59 tahun), kelompok elderly age (60-74 tahun), dan kelompok old age (75-90 tahun).
2.1.3 Perubahan Akibat Proses Menua Perubahan yang terjadi pada lansia antara lain: A. Perubahan Mental Perubahan mental menurut Nugroho (2008) meliputi:
1. Memori Memori atau ingatan kenangan jangka panjang yaitu jangka waktu beberapa jam sampai beberapa hari yang lalu dan mencakup beberapa perubahan. Ingatan jangka pendek yaitu dalam jangka waktu 0-10 menit. Ingatan yang buruk bisa mengarah ke demensia. 2. Intelegentia Quocient (IQ) IQ tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal. Penampilan, persepsi, dan keterampilan psikomotor berkurang. Terjadi perubahan pada daya membayangkan kerena tekanan faktor waktu. B. Perubahan Psikososial Perubahan psikososial meliputi: 1. Penurunan Kondisi Fisik Memasuki masa lansia umumnya mulai mengalami kondisi fisik yang patologis seperti tenaga berkurang, kulit keriput, gigi rontok, tulang semakin rapuh, dan lain sebagainya. Hal ini dapat menimbulkan ketergantungan kepada orang lain, agar dapat tetap menjaga kondisi lansia harus mampu mengatur cara hidup dengan baik, misalnya makan, tidur istirahat dan bekerja seimbang (Padila, 2013).
2. Perubahan fungsi dan potensi Seksual Perubahan ini sering berhubungan dengan gangguan fisik seperti gangguan jantung, gangguan metabolisme, misal seperti diabetes mellitus, vaginitis, kekurangan gizi, atau penggunan obat-obat tertentu (Padila, 2013). Faktor psikologis yang menyerta lansia menurut Padila (2013) dan Azizah (2011) antara lain: a.
Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia
b. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya c.
Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya
d.
Pasangan hidup telah meninggal
e. Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, dan pikun 3. Perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan Perubahan ini diawali ketika masa pensiun, walaupun tujuan pensiun adalah agar lansia menikmati hari tua namun sering diartikan sebaliknya, sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status, dan harga diri. Agar pensiun berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji. Merencanakan kegiatan setelah pensiun dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing, misal dengan berwiraswasta dan cara membuka usaha sendiri (Azizah, 2011; Padila, 2013; Nugroho, 2008) 4. Perubahan dalam peran sosial di masyarakat Penurunan fungsi panca indra dan gerak fisik maka mucul gangguan atau kecacatan pada lansia. Menghadapi permasalahan ini lansia yang memiliki keluarga maka akan membantu merawat dengan kesabaran dan pengorbanan, namun bagi yang tidak punya keluarga akan hidup dalam pratauan sendiri bahkan sering kali terlantar (Azizah, 2011; Padila, 2013). 5. Perubahan tingkat depresi Tingkat depresi adalah kemampuan lansia dalam menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak dan cucu dengan penuh kasih sayang (Padila, 2013) 6. Perubahan stabilitas emosi Kemampuan lansia dalam menghadapi tekanan atau konflik akibat perubahan fisik maupun sosial-psikologis yang dialami dan kemampuan untuk mencapai keselarasan antara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan dari lingkungan, yang disertai kemampuan mengembangkan mekanisme psikologis yang tepat sehingga dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya tanpa menimbulkan masalah baru (Padila, 2013).
2.1.4 Tipe Lansia Beberapa tipe lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan fisik, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Maryam dkk, 2008). Tipe tersebut dijabarkan sebagai berikut: A. Tipe arif bijaksana Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan. B. Tipe mandiri Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan. C. Tipe tidak puas Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan banyak menuntut. D. Tipe pasrah Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja. E. Tipe bingung Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, rendah diri, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh. Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, tipe konstruktif, tipe independent (ketergantungan), tipe
defensive (bertahan), tipe militan dan serius, tipe
pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), serta tipe putus asa (benci pada diri sendiri). Tipe lansia berdasarkan kepribadiannya menurut Azizah (2011) adalah sebagai berikut: A. Tipe kepribadian konstruktif (constraction personality) Orang ini memiliki integritas baik, menikmati hidupnya, toleransi tinggi dan fleksibel. Biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap
sampai sangat tua, bisa menerima fakta proses menua dan menghadapi masa pensiun dengan bijaksana dan menghadapi kematian dengan penuh kesiapan fisik dan mental. B. Tipe kepribadian mandiri (independent personality) Pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power syndrome atau diamana keadaan sesorang yang hidup dalam bayangan kebesaran dimasa lalunya, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi. C. Tipe kepribadian tergantung (dependent personality) Tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi sedih yang mendalam. Tipe lansia ini senang mengalami pensiun, tidak punya inisiatif, pasif tetapi mawas diri dan masih dapat diterima oleh masyarakat. D. Tipe kepribadian bermusuhan (hostile personality) Lanjut usia pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya,
banyak
keinginan
yang
tidak
diperhitungkan
sehingga
menyebabkan kondisi ekonominya menurun. Mereka menganggap orang lain yang menyebabkan kegagalan, selalu mengeluh dan curiga. Menjadi tua tidak ada yang dianggap baik, takut mati dan iri hati dengan yang muda. E. Tipe kepribadian defensive Tipe ini selalu menolak bantuan, emosinya tidak terkontrol, bersifat kompulsif aktif. Mereka takut menjadi tua dan tidak menyenangi masa pensiun. F. Tipe kepribadian kritik diri (self hate personality) Pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya. Selalu menyalahkan diri, tidak memiliki ambisi dan merasa korban dari keadaan. 2.1.5 Tugas Perkembangan Lansia
Menurut Potter & Perry (2009) lansia harus menyesuaikan diri seiring perubahan fisik yang terjadi seiring proses penuaan. Waktu dan durasi perubahan ini bervariasi pada tiap individu, namun seiiring penuaan sistem tubuh, perubahan penampilan dan fungsi tubuh akan terjadi. Perubahan ini tidak dihubungkan dengan penyakit dan merupakan perubahan normal. Adapun tugas perkembangan pada lansia yaitu beradaptasi terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima diri sebagai individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa, dan menemukan cara mempertahankan kualitas hidup.
2.2
Depresi
2.2.1 Pengertian Depresi Depresi merupakan masalah kesehatan mental yang paling umum terjadi pada lansia. Seseorang dengan depresi dan khususnya lansia yang mengalami depresi mengalami peningkatan resiko bunuh diri. Orang tua yang mengalami depresi mungkin enggan untuk mengakui terjadinya perubahan emosi dan juga perasaan sedih (Menzel, 2008). Menurut Nugroho (2008) depresi adalah suatu perasaan sedih dan pesimis yang berhubungan dengan suatu penderitaan, dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang mendalam. Depresi mayor adalah suasana hati atau afek yang sedih atau kehilangan minat atau kesenangan dalam semua aktifitas selama sekurang-kurangnya dua minggu yang disertai dengan beberapa gejala yang berhubungan, seperti kehilangan berat badan
dan kesulitan berkonsentrasi (Idrus, 2007). Stuart (2006) berpendapat bahwa depresi atau melankolia adalah suatu kesedihan dan perasaan yang berkepanjangan atau abnormal, dapat digunakan untuk menunjukkan berbagai fenomena, seperti tanda, gejala, sindrom, emosional, reaksi. 2.2.2 Etiologi Etiologi depresi secara pasti belum diketahui, menurut Idrus (2007) ada beberapa hipotesis yang berhubungan dengan faktor biologi dan psikososial yaitu:
A. Faktor Biologi 1. Biogenik Amin Biogenik amin ini dilepaskan dalam ruang sinaps sebagai neurotransmiter. Neurotransmiter yang banyak berperan pada depresi adalah norepinefrin dan serotonin. 2. Hormonal Pada depresi ditemukan hiperaktivitas aksis sistem limbik hipotalamus-hipofisisadrenal yang menyebabkan peningkatan sekresi kortisol. Selain itu juga ditemukan juga penurunan hormon lain seperti growth hormone, luteinizing hormone, follicle stimulating hormone, dan testosteron. 3. Tidur Pada depresi ditemukan peningkatan aktivitas rapid eye movement (REM) pada fase awal memasuki tidur dan penurunan REM pada fase latensi. 4. Genetik Gangguan ini diturunkan dalam keluarga. Jika salah seorang dari orang tua mempunyai riwayat depresi maka 27 % anaknya akan menderita gangguan tersebut. Sedangkan bila kedua orang tuanya menderita depresi maka kemungkinanya meningkat menjadi 50 –75 %.
B. Faktor Psikososial 1. Peristiwa dalam kehidupan dan stres lingkungan. Kehidupan memegang peranan penting dalam terjadinya depresi. 2. Tipe kepribadian tertentu seperti kepribadian dependen, obsesi kompulsif dan histrionik mempunyai resiko lebih besar untuk menjadi depresi dibanding dengan kepribadian anti sosial dan paranoid. 3. Faktor psiko-analitik, manifestasi penyakit depresi dicetuskan karena kehilangan objek libidinal di mana terjadi penurunan fungsi ego. 2.2.3 Faktor Resiko Depresi Menurut Kaplan & Saddock (2007), faktor resiko dari depresi dipengaruhi oleh : A. Umur, rata-rata depresi berat dialami pada usia 40 tahun. Ketika memasuki usia lanjut maka akan terjadi perubahan tingkat depresi (Padila, 2013). B. Jenis kelamin, terdapat prevalensi gangguan depresi berat yang dua kali lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki. Pada perempuan dan laki-laki terdapat perbedaan hormonal dan perbedaan stressor psikososial. C. Status perkawinan, pada umumnya, gangguan depresi terjadi paling sering pada orang-orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat atau karena perceraian atau berpisah dengan pasangan. D. Status fungsional baru, adanya perubahan seperti pindah ke lingkungan baru, pekerjaan baru, hilangnya hubungan yang akrab, kondisi sakit, adalah sebagian dari beberapa kejadian yang menyebabkan seseorang menjadi depresi.
2.2.4 Tanda dan Gejala Menurut Azizah (2011), perilaku yang berhubungan dengan depresi meliputi beberapa aspek seperti: A. Afektif
Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan, rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah, kesedihan. B. Fisiologik Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing, keletihan, gangguan pencernaan, insomnia, perubahan haid, makan berlebihan/kurang, gangguan tidur, dan perubahan berat badan. C. Kognitif Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan minat dan motivasi, menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran yang destruktif tentang diri sendiri, pesimis, ketidakpastian. D. Perilaku Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat, intoleransi, mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, kebersihan diri yang kurang, isolasi sosial, mudah menangis, dan menarik diri. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III (1993) dalam Idrus (2007) menyatakan diagnosis depresi dapat ditegakkan atas dasar adanya: A. Gejala utama : 1. Suasana perasaan yang depresi / sedih atau murung 2. Kehilangan minat dan kegembiraan 3. Berkurangnya energi yang menuju kepada meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas. B. Gejala tambahan : 1. Konsentrasi dan perhatian berkurang 2. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang 3. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tak berguna 4. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistik 5. Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri 6. Gangguan tidur 7. Nafsu makan berkurang
2.2.5 Tingkat Depresi Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III (1993) dalam Idrus (2007) menyatakan bahwa depresi dibedakan dalam tiga tingkatan, yaitu : A. Depresi ringan (mild), jika terdapat sekurang-kurangnya dua dari tiga gejala utama ditambah sekurang-kurangnya dua dari gejala tambahan yang sudah berlangsung sekurang-kurangnya selama dua minggu. Dan tidak boleh ada gejala yang berat di antaranya. B. Depresi sedang (moderate), jika terdapat sekurang-kurangnya dua dari tiga gejala utama ditambah sekurang-kurangnya tiga (sebaiknya empat) gejala tambahan. C. Depresi berat (severe), jika terdapat tiga gejala utama ditambah sekurangkurangnya empat gejala tambahan, beberapa di antaranya harus berintensitas berat. 2.2.6 Penatalaksanaan Depresi Penatalaksanaan depresi antara lain yaitu: A. Terapi Fisik 1. Pemberian anti-depresan Anti-depresan diindikasikan pada depresi sedang atau berat, pada usia lanjut pemberian anti-depresan harus hati-hati. Umumnya diperlukan dosis yang lebih kecil daripada orang dewasa karena dikhawatirkan terjadi akumulasi akibat fungsi ginjal yang sudah kurang baik (Setiawan, 2011). 2. Terapi Electroconvulsive Therapy (ECT) Untuk pasien depresi berat yang tidak bisa makan minum, mau bunuh diri atau retardasi psikomotor yang hebat, maka ECT merupakan pilihan terapi yang efektif dan aman. ECT diberikan 1-2 kali seminggu pada pasien rawat inap, dengan metode unilateral untuk mengurangi confusion atau permasalahan ingatan. Terapi ECT diberikan sampai ada perbaikan emosi (sekitar 5-10 kali), sementara antidepresan maintenance harus diberikan untuk mencegah relaps atau kekambuhan (Setiawan, 2011; Idrus, 2007). 3. Terapi profilaksis
Terapi profilaksis harus diberikan untuk mencegah terjadinya kekambuhan depresi. Setelah gejala gejala depresi membaik, terapi anti-depresan masih harus dilanjutkan selama 4-6 bulan dengan dosis terapeutik penuh. Beberapa penelitian bahkan menganjurkan agar terapi diteruskan sampai dua tahun. Penggunaan anti-depresan boleh dihentikan tergantung pada evaluasi klinis (perkembangan efek samping, munculnya penyakit fisik atau kelemahan kondisi umum) (Setiawan, 2011). B. Terapi Psikologi 1. Terapi Keluarga Problem keluarga dapat berperan dalam perkembangan gangguan depresi, sehingga dukungan terhadap keluarga pasien adalah sangat penting. Proses penuaan mengubah dinamika keluarga, diantaranya ada perubahan posisi dari dominan menjadi dependen pada lanjut usia. Tujuan dari terapi terhadap keluarga pasien yang depresi adalah untuk meredakan perasaan frustasi dan putus asa, merubah dan memperbaiki sikap atau struktur dalam keluarga yang menghambat proses penyembuhan pasien (Setiawan, 2011). 2. Terapi Seni Terapi seni digunakan sebagai sarana menyelesaikan konflik emosional, meningkatkan kesadaran diri, mengembangkan keterampilan sosial, mengontrol perilaku, menyelesaikan permasalahan, mengurangi kecemasan, mengerahkan realitas, meningkatkan harga diri dan berbagai gangguan psikologis lainnya (Mukhlis, 2011). 3. Terapi Kognitif Terapi kognitif-perilaku bertujuan mengubah pola pikir pasien yang selalu negatif (persepsi diri yang buruk, masa depan yang suram, dunia yang tak ramah, diri yang tak berguna lagi, tak mampu dan sebagainya) ke arah pola pikir yang netral atau positif. Pasien lanjut usia dengan depresi dapat menerima metode ini meskipun penjelasan harus diberikan secara singkat dan terfokus. Melalui latihan-
latihan, tugas-tugas dan aktivitas, terapi kognitif-perilaku bertujuan mengubah perilaku dan pola pikir (Setiawan, 2011). 4. Terapi Bercerita Terapi bercerita bermanfaat untuk mengurangi perasaan takut, cemas, dan nyeri. Selain
membuat
tubuh
rileks,
terapi
bercerita
juga
dapat
membantu
mengekspresikan emosi, misalnya menurunkan kecemasan, membuat nyaman, dan meningkatkan daya ingat (Kusumaningrum, Gultonm, & Dewi, 2011). 2.2.7 Instrumen Pengukuran Tingkat Depresi Tingkat depresi pada lansia diungkap melalui instrumen pengukuran depresi yang disebut Geriatric Depression Scale (GDS). Geriatric Depression Scale (GDS) yang diciptakan oleh Yesavage, et.al pada tahun 1982 telah diuji dan digunakan secara luas pada lansia. Long Form GDS dengan 30 item pertanyaan, yang kemudian dikembangkan pada tahun 1986 menjadi Short Form GDS menjadi 15 item pertanyaan. Short Form GDS seperti pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Geriatric Depression Scale (GDS) No
Pertanyaan
1
Pada dasarnya apakah anda merasa puas dengan hidup anda?
2
Apakah anda mengurangi banyak kegiatan dan minat Anda?
3
Apakah anda merasa hidup anda hampa?
4
Apakah anda sering merasa bosan?
Ya
Tidak
5
Apakah biasanya anda memiliki semangat yang bagus?
6
Apakah anda merasa takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada anda?
7
Apakah biasanya anda merasa bahagia
8
Apakah anda sering merasa tidak berdaya?
9
Apakah anda lebih memilih tinggal di rumah (kamar), dari pada pergi keluar dan melakukan hal-hal yang baru?
10
Apakah anda merasa mempunyai lebih banyak masalah dengan ingatan anda dibandingkan kebanyakan orang?
11
Apakah menurut anda sangat menyenangkan bisa hidup hingga sekarang ini?
12
Apakah Anda merasa sangat tidak berharga dengan kondisi anda sekarang?
13
Apakah anda merasa penuh semangat?
14
Apakah Anda merasa keadaan anda tidak ada harapan?
15
Menurut anda, apakah kebanyakan orang lebih baik daripada anda?
Sumber: (Yesavage, et.al, 1982)
Dari 15 item, 10 item menunjukkan adanya depresi dan diberi nilai satu saat menjawab positif (ya) dan jika menjawab negatif (tidak) diberi nilai nol, sedangkan sisanya 5 item (nomor pertanyaan 1, 5, 7, 11, 13) sebaliknya, menunjukkan depresi dan diberi nilai satu saat menjawab negatif (tidak) dan jika menjawab positif (ya) diberi nilai nol. Skor 0-4 dianggap normal; 5-8 menunjukkan depresi ringan; 9-11 menunjukkan depresi sedang ; dan 12-15 menunjukkan depresi berat.
2.3 Terapi Bercerita 2.3.1 Pengertian Terapi Bercerita Cerita adalah rangkaian peristiwa yang disampaikan, baik berasal dari kejadian nyata (non fiksi) ataupun tidak nyata (fiksi). Ada kalanya orang sering mengatakan bahwa bercerita adalah mendongeng (Qudsyi, 2011). Merry dan New (2008) menyatakan bahwa bercerita merupakan sarana untuk membangun karakter, kebanggaan, dan harga diri, memfasilitasi kegiatan yang berarti mendorong tanggung jawab dan solidaritas pribadi. Cerita harus memiliki awal, tengah, dan akhir yang pasti dan panggilan untuk petualangan yang menginisiasi perjalanan fisik, emosional, dan spiritual untuk karakter utama (Bishop & Kimball, 2006). Bercerita juga berarti penggambaran berupa gagasan, pengalaman pribadi dan pembelajaran hidup mengenai suatu cerita (Serrat, 2008). 2.3.2 Jenis-Jenis Cerita Asfandiyar (2007) menyatakan, berdasarkan isi cerita digolongkan ke jenis-jenis: A. Cerita Tradisional Cerita yang berkaitan dengan cerita rakyat. Cerita ini berfungsi sebagai pelipur lara dan menanamkan semangat kepahlawanan. Cerita ini disajikan sebagai pengisi
waktu
istirahat,
dibawakan
secara
romantis,
penuh
humor,
menggambarkan sifat kebijaksaan, kearifan dan sangat menarik. Misalnya, Timun Mas, Asal Usul Nama Pulau Bali, Keong Emas, Malinkundang, Calon Arang, Jaka Tingkir, Sangkuriang, dan lain-lain.
B. Cerita Futuristik (Modern)
Cerita ini biasanya bercerita tentang suatu fantastik, misalnya tokoh tiba-tiba menghilang dan juga biasanya cerita ini bercerita tentang masa depan. Misalnya Cinderella dan Putri Tidur. C. Cerita Pendidikan Cerita ini diciptakan dengan suatu misi pendidikan bagi dunia anak-anak. Misalnya, menggugah sikap hormat pada orang tua. Misalnya, Penyesalan Kak Setya, Pesan Ayahku, dan Pengalaman Si Mamat. D. Cerita Fabel Fabel adalah cerita tentang kehidupan binatang yang digambarkan dapat berbicara seperti manusia. Cerita-cerita fabel sangat luwes digunakan utuk menyindir perilaku manusia tanpa membuat manusia tersinggung. Misalnya, Si Kancil, Kelinci dan Kura-Kura, dan lain lain. E. Cerita Sejarah Cerita sejarah biasanya terkait suatu peristiwa sejarah. Cerita ini banyak bertemakan kepahlawanan. Misalnya, Mahabrata, Majapahit, Singosari, dan lain lain. F. Cerita Terapi (Traumatic Healing) Cerita yang diperuntukkan bagi korban bencana atau orang sakit. Cerita terapi adalah cerita yang bisa membuat rileks saraf-saraf otak dan membuat tenang hati mereka. Cerita ini juga harus didukung dengan kesabaran pencerita agar audience merasa nyaman.
2.3.3 Manfaat Terapi Bercerita Manfaat terapi bercerita antara lain : A. Mendengarkan dan bercerita membantu individu memahami diri sendiri dan orang lain (Bishop & Kimball, 2006). B. Bercerita memiliki kekuatan untuk mendorong keterbukaan karena melibatkan imajinasi dan emosi (Hilder, 2005). C. Memperluas kesadaran dan membangkitkan peluang (Hilder, 2005).
D. Pelepasan emosional melalui pengalaman fiktif yang tidak pernah dialami di kehidupan nyata (Asfandiyar, 2007). E. Pengembangan aspek-spek kognitif, afektif, sosial, dan konatif (Asfandiyar, 2007). F. Membuat individu menjadi rileks dan membantu mengekspresikan emosi misalnya menurunkan kecemasan, membuat nyaman, dan meningkatkan daya ingat (Kusumaningrum, Gultonm, & Dewi, 2011). 2.3.4 Tahapan Bercerita Bunanta (2008) menyebutkan ada tiga tahapan dalam bercerita, yaitu persiapan sebelum acara bercerita dimulai, saat proses bercerita berlangsung, hingga kegiatan bercerita selesai. Uraian langkah-langkah tersebut adalah: A. Persiapan sebelum bercerita 1. Memilih judul, memilih judul yang menarik dan mudah diingat. Judul adalah elemen cerita yang pertama kali diingat daripada kalimat-kalimat dalam cerita. Melalui judul, audience maupun pembaca akan memanfaatkan latar belakang pengetahuan untuk memproses isi cerita secara top down. Hal itu digunakan untuk pemahaman unit bahasa yang lebih besar, dan hal tersebut membantu pemahaman dan penyampaian cerita secara menyeluruh (Musfiroh, 2008). Maka untuk menemukan judul yang menarik, pencerita perlu melakukan kegiatan memilah dan memilih bahan cerita. 2. Mendalami karakter tokoh-tokoh dalam cerita yang akan disampaikan, ketika memerankan tokoh-tokoh tersebut, pencerita diharapkan mampu menghayati bagaimana perasaan, pikiran, dan emosi tokoh pada saat bercerita. Dengan demikian ketika menceritakan tidak ragu-ragu lagi karena sudah mengenal ceritanya, sifat tokoh-tokohnya, tempat kejadiannya, serta pilihan kata yang digunakan dalam menyampaikan cerita dengan baik dan lancar. 3. Tahapan terakhir persiapan bercerita yaitu latihan. Melalui latihan terlebih dahulu kita
dapat
mengevaluasi
kekurangan-kekurangan
pada
saat
bercerita,
memperkirakan durasi yang dibutuhkan, mengingat kembali jalan cerita dan
mempraktikkannya serta menumbuhkan kepercayaan diri si pencerita dan memperbaiki kualitas dalam bercerita. B. Saat bercerita berlangsung Saat terpenting dalam proses bercerita adalah pada tahap bercerita berlangsung. Saat akan memasuki sesi acara bercerita, pencerita harus menunggu kondisi hingga audience siap untuk menyimak cerita yang akan disampaikan. Jangan memulai bercerita jika audience masih belum siap. Acara bercerita dapat dimulai menyapa terlebih dahulu audience, ataupun membuat sesuatu yang dapat menarik perhatian audience. Kemudian secara perlahan pencerita dapat membawa audience memasuki cerita. Pada saat bercerita ada beberapa faktor yang dapat menunjang berlangsungnya proses bercerita agar menjadi menarik untuk disimak (Asfandiyar, 2007; Musfiroh, 2008), antara lain: 1. Kontak mata Saat bercerita, pencerita harus melakukan kontak mata dengan audience. Memandang audience dan diam sejenak. Dengan melakukan kontak mata audience akan merasa dirinya diperhatikan dan diajak untuk berinteraksi. Selain itu, dengan melakukan kontak mata kita dapat melihat apakah audience menyimak jalan cerita yang diceritakan. Dengan begitu, pencerita dapat mengetahui reaksi dari audience. 2. Mimik wajah Pada waktu bercerita sedang berlangsung, mimik wajah pencerita dapat menunjang hidup atau tidaknya sebuah cerita yang disampaikan. Pencerita harus dapat mengekspresikan wajahnya sesuai dengan situasi yang diceritakan. Untuk menampilkan mimik wajah yang menggambarkan perasaan tokoh tidaklah mudah untuk dilakukan. 3. Gerak tubuh Gerakan tubuh pencerita waktu proses bercerita berjalan dapat turut pula mendukung menggambarkan jalan cerita yang lebih menarik, jika pencerita hanya
bercerita dengan posisi yang statis dari awal hingga akhir cerita akan terasa membosankan, dan akhirnya audience tidak antusias lagi medengarkan cerita.
4. Gaya (Style) Bercerita seolah-olah sedang berbicara dengan seseorang, menyajikan cerita sebagai hakikat yang berharga, tetap menjadi diri sendiri saat bercerita, dan menjaga cerita tetap fokus, sederhana, dan jelas (Denning, 2005). 5. Suara Tinggi rendahnya suara yang diperdengarkan dapat digunakan pencerita untuk membawa audience merasakan situasi dari cerita yang diceritakan. Pencerita biasanya akan meninggikan intonasi suaranya untuk menggambarkan cerita yang mulai memasuki tahap yang menegangkan. Kemudian kembali menurunkan ke posisi datar saat cerita kembali pada situasi semula. Selain itu, pencerita profesional biasanya mampu menirukan suara-suara dari karakter tokoh yang diceritakan, misalnya suara ayam, suara pintu yang terbuka, suara gemuruh angin dan lain sebagainya. Namun, bagi orang yang tidak terbiasa untuk menirukan suara-suara karakter tokoh-tokoh ini dirasakan agak sulit dan jika dipaksakan akan terdengar aneh. Jadi, jika kita tidak menguasai teknik menirukan suara sebaiknya jangan dilakukan dan untuk menghidupkan cerita dapat digunakan cara yang lain, misalnya dengan mimik wajah, intonasi suara maupun alat peraga. 6. Kecepatan Saat bercerita faktor kecepatan juga mempengaruhi menarik atau tidaknya cerita yang diceritakan. Pencerita harus mampu mengatur kecepatannya dalam bercerita agar cerita yang disampaikan tidak terlalu cepat ataupun terlalu lama. Dengan berlatih pencerita dapat memperkirakan kecepatan yang digunakan untuk bercerita. 7. Alat peraga
Alat peraga dapat pula digunakan untuk bercerita. Bercerita dengan menggunakan alat bantu peraga dapat membuat cerita terasa lebih menarik, karena anak-anak dapat langsung melihat bentuk visual dari tokoh-tokoh. Adapun alat peraga yang dapat digunakan antara lain boneka baik boneka tangan maupun boneka utuh, kain, tali, gambar, wayang, maupun dengan cara menggambar langsung. C. Sesudah kegiatan bercerita selesai Setelah selesai bercerita, pencerita dapat mengajak
audience untuk mengingat
kembali cerita yang disampaikan. Namun, sebelumnya berilah waktu bagi audience untuk beristirahat sejenak setelah ia mendengarkan cerita. Bunanta (2008) menyebutkan, setelah acara bercerita berakhir pencerita dapat melakukan sesi tanya jawab dengan audience seputar cerita yang tadi dibawakan. Dengan bertanya, audience akan terus menerus dilibatkan dalam cerita yang dceritakan serta dapat menstimulasi pikiran dan imajinasi mereka. Misalkan, dengan menanyakan mengenai tokoh-tokohnya, atau tanyakan mengenai perasaan audience ketika menghadapi situasi yang sama seperti tokohnya. 2.3.5 Syarat Pencerita Agus (2009) menyatakan, berdasarkan sarana yang digunakan oleh pencerita, syaratsyarat yang perlu diperhatikan adalah:
A. Kemampuan Fisik 1. Pencerita harus mampu menghasilkan suara yang bervariasi. Dalam hal ini pencerita harus mampu menyuarakan peran apapun dan adegan apapun. 2. Pencerita harus mampu menggunakan penglihatan secara lincah. Jika bercerita di hadapan pendengar, ia harus menggunakan mata untuk kepentingan ganda. Pertama, mata digunakan untuk memperkuat mimik. Kedua, sarana itu digunakan pula untuk berkomunikasi dengan pendengar. B. Kesiapan Mental dan Daya Pikir
1. Pencerita harus bersikap mental serius, sabar, disiplin, dan senang berkesenian. Semua sikap mental tersebut sangat diperlukan oleh pencerita karena mencerita memerlukan pemahaman yang sangat mendalam. 2. Pencerita harus berpikiran cerdas dan kreatif. Kecerdasan diperlukan karena pencerita harus dapat menafsirkan isi cerita secara tepat. Pencerita tidak boleh menafsirkan isi cerita sesuai dengan kehendaknya tanpa memperhatikan ide dasar cerita. 3.
Pencerita harus berpengetahuan umum, luas dan berketerampilan bahasa (Indonesia). Pengetahuan umum sangat bermanfaat bagi pencerita. Dengan memiliki pengetahuan umum yang luas, ia memiliki rasa percaya diri yang tinggi.
2.3.6. Waktu Terapi Bercerita Waktu penyajian terapi bercerita mempertimbangkan daya pikir dan rentang konsentrasi dan daya tangkap serta tidak menutup kemungkinan waktu bercerita menjadi lebih panjang apabila tingkat konsentrasi dan daya tangkap dirangsang oleh penampilan pencerita yang sangat baik, atraktif, komunikatif dan humoris. Terapi bercerita dilakukan sebelum tidur, bangun tidur dan pada waktu santai (Sudarmadji dkk, 2010).
2.4 Hubungan Terapi Bercerita terhadap Depresi Kusumaningrum, Gultonm, & Dewi (2011) menyatakan bercerita merupakan aktivitas yang menyenangkan, sehingga memberikan efek santai yang akan menyebabkan pengeluaran hormon yang dapat merubah suasana hati atau perasaan dan meningkatkan kesejahteraan. Molekul seperti oksida nitrat, endocannabinoid, endorphin atau encephalin berperan sebagai respon plasebo, perasaan nyaman dan santai akan menurunkan stress dan kecemasan. Dalam keadaan relaksasi tubuh akan melepaskan endorphin opiat endogen dan encephalin yang akan menimbulkan rasa menyenangkan, dan bahagia, sehingga dapat meningkatkan perasaan positif dan akan
mengaktifkan struktur otak pada area limbik, yang berperan dalam emosi. Kecemasan yang terjadi pada lansia merupakan faktor dapat menciptakan mekanisme pertahanan yang negatif sehingga muncul depresi, perasaan yang positif dan emosi yang stabil akan menyebabkan penurunan pada tingkat depresi (Supriani, 2011).
Perubahan psikologis yang terjadi pada lansia yaitu perubahan stabilitas emosi (Padila, 2013) yang berkaitan dengan tipe kepribadian lansia itu sendiri. Terapi bercerita adalah salah satu terapi yang bermanfaat untuk menstimulasi emosi. Cerita Timun Mas menggambarkan sifat kebaikan, dan ketamakan, cerita Asal Usul Nama Pulau Bali mengandung ajaran ketuhanan, kebijaksanaan, dan kearifan. Cerita Keong Emas menggambarkan sifat kesabaran, kejujuran, dan sifat tamak serta iri hati yang tidak patut untuk ditiru. Cerita-cerita tersebut mengandung pesan moral yang hubungannya
agar lansia mampu memenuhi tugas perkembangan lansia yaitu
beradaptasi terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, menerima diri sebagai individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa, dan menemukan cara mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2009).