Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Angkutan Umum Pelayanan angkutan umum adalah sebuah fungsi kota yang sangat mendasar bagi kehidupan masyarakatnya. Oleh karenanya angkutan umum merupakan salah satu fasilitas dan layanan yang wajib disediakan oleh pemerintah. Kebutuhan akan transportasi umum sangat tergantung pada kerapatan, ukuran, dan pola pemukiman kota. Dengan demikian, perencanaan angkutan umum harus diintegrasikan dengan perencanaan yang komprehensif. Angkutan umum adalah salah satu media transportasi yang digunakan masyarakat secara bersama-sama dengan membayar tariff tertentu. Angkutan umum juga merupakan modal dasar dalam fungsi permasalahan perkotaan yang dapat terpenuhi dengan cara sistem yang terorientasi, perencanaan dan pengoperasian yang sistematis. Perencanaan angkutan umum ini pun biasanya dilakukan dalam konteks perencanaan multimoda, karena angkutan umum sering berbagi ruang dengan kendaraan pribadi. Bus merupakan salah satu alat transportasi publik yang ekonomis. Pengoperasian sistem angkutan bus memerlukan desain yang mencakup semua elemen seperti; jaringan (jalanan / pemberhentian / terminal), jenis kendaraan, dan pengoperasian. Pelayanan bus merupakan alternatif angkutan umum yang paling diabaikan. Keuntungan terbesar dari sistem bus adalah bahwa sistem dengan moda ini dapat menggunakan seluruh jaringan jalan umum, sehingga sangat fleksibel dalam penerapannya (Giannopoulos, 1989). Agar sistem angkutan bus dapat beroperasi dengan baik dibutuhkan rencana yang sesuai dari semua unsur pokok seperti antara lain jaringan (jalan/halte/terminal), kendaraan dan operasional. Merencanakan pelayanan bus yang efektif di kota-kota dan wilayah metropolitan membutuhkan perencanaan yang efisien, pengelolaan yang baik, dan pemikiran inovatif dalam penyediaan layanan yang menarik kepada masyarakat, agar mampu membentuk (bersama-sama dengan moda transit lainnya) suatu alternatif yang kompetitif terhadap penggunaan mobil pribadi. Pelaku utama dalam sistem angkutan umum terdiri dari tiga pihak yaitu Pengguna (user), Pemerintah (regulator), Pelaku Pelayanan (operator) yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda. Oleh karenanya ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-1
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
merencanakan pelayanan angkutan umum untuk memenuhi tujuan dari masing-masing pihak, antara lain: 1) Dari sudut pandang penumpang, tujuan yang harus dicapai: a) Meningkatkan keandalan dan ketepatan waktu; b) Mereduksi waktu perjalanan, meningkatkan kecepatan perjalanan; c) Pelayanan transfer penumpang dan kenyamanan harus lebih baik; d) Sedikitnya perpindahan moda selama perjalanan; e) Mereduksi waktu tunggu kendaraan; f) Terjaminnya keselamatan selama kendaraan beroperasi; g) Perlindungan terhadap kondisi cuaca yang lebih baik; h) Sistem yang nyaman dan bersih; i) Tariff yang murah; j) Kemudahan akses dengan jarak yang dekat menuju ke stasiun; k) Meningkatkan informasi serta hubungan antar daerah; dan l) Keramahan dan kesigapan para staff operator. 2) Dari sudut pandang regulator, hal yang harus didapatkan dalam penyediaan angkutan umum adalah : a) Biaya infrastruktur yang rendah; b) Efisiensi dengan mereduksi jumlah perjalanan secara efektif; c) Tidak merusak lingkungan; d) Adanya manfaat untuk pekerja/staff operasi; e) Keseimbangan hak dan keadilan dalam lingkungan sosial; dan f) Citra yang baik untuk kota itu sendiri. 3) Dari sudut pandang operator, selain peningkatan pada keselamatan, keuntungan, dan juga efisiensi. Tiga hal ini dapat dicapai melalui beberapa hal antara lain : a) Mengurangi hambatan/gangguan pada pemberhentian bus, simpang, dan lampu lalu lintas; b) Mengutamakan hak penggunaan jalan; c) Mengurangi transfer penumpang serta waktu transfernya; d) Lajur khusus untuk bus; e) Peningkatan teknis yang lebih rinci seperti; sistem panduan yang otomatis, transit yang teradaptasi dengan perubahan traffic demand. Sistem angkutan umum dapat dibagi menjadi beberapa kategori (Vuchic, 1981) yang didasarkan pada:
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-2
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
a) Karakteristik hak untuk Jalur operasional (ROW) b) Karakteristik Teknologi Moda c) Karakteristik Jenis Pelayanan Kategori berdasarkan hak untuk jalur operasional (ROW) terdiri dari tiga jenis yaitu: 1) ROW – A
: Merupakan jalur yang terpisah dari lalu lintas umum dan terproteksi secara penuh yang hanya digunakan untuk moda angkutan massal. Jalur dengan kategori ini meliputi bentuk terowongan, jalan/struktur layang atau jalur (jalan atau rel) pada permukaan tanah yang terproteksi secara penuh. Karena moda angkutan untuk kategori ROW-A tidak mungkin menggunakan ROW-B dan C, maka jalur dari moda ini merupakan sistem terpandu (rel baja, kecuali untuk moda dengan roda karet) untuk rangkaian gerbong (kereta) dengan tenaga penggerak listrik dan dikendalikan melalui rambu-rambu yang memungkinkan sistem yang menjamin kapasitas, kecepatan, keandalan dan keselamatan tinggi.
Sumber: BSTP ( 2011)
Gambar 2. 1. Ilustrasi Angkutan Umum Berbasis Jalan Kategori ROW-A 2) ROW – B
: Merupakan sistem dengan jalur yang terpisah/terproteksi sebagian dari lalu lintas umum. Sistem dengan kategori ini biasanya berada dipermukaan tanah (median jalan) dengan jalur terpisah penuh pada arah memanjang, namun
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-3
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
3) ROW – C
bercampur denga lalu lintas lainnya pada persimpangan. Jalur khusus untuk bus (bus lane) merefleksikan sistem dengan kategori ini yang umumnya membutuhkan lahan tambahan dan biaya untuk konstruksinya. : Sistem yang operasionalnya bercampur dengan sistem lalu lintas (moda) lainnya di jalan umum.
Sumber: BSTP ( 2011)
Gambar 2. 2. Ilustrasi Angkutan Umum Berbasis Jalan Kategori ROW-B (Jalur Khusus, Hanya Bercampur Dengan Lalu Lintas Lain di Simpang)
Sumber: BSTP (2011)
Gambar 2. 3. Ilustrasi Angkutan Umum Berbasis Jalan Kategori ROW-C (Mixed Traffic)
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-4
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Kategori berdasarkanTeknologi yang direpresentasikan oleh fitur mekanis dari kendaraan dan jalurnya. Empat fitur yang paling penting adalah: 1) Pendukung (Support)
: roda karet untuk di jalan, dan roda baja untuk di rel;
Sumber: di adaptasi dari berbagai sumber
Gambar 2. 4. Contoh Tehnologi Roda Penggerak dan Variasinya 2) Pemandu (Guidance)
3) Tenaga Penggerak (Propulsion)
: kendaraan dipandu oleh pengemudi, atau oleh jalur pemandu (umumnya pada rel baja/beton); untuk sistem angkutan rel operasionalnya dipandu secara mekanis. : Sebagian besar tenaga dari kendaraan angkutan massal digerakkan dengan mesin bakar internal (ICE) berbahan bakar solar atau bensin dan
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-5
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
dengan motor listrik, tapi ada beberapa sistem yang digerakkan dengan tenaga magnet (motor induksi listrik-LIM), kabel penarik/traksi dari motor pengerak statis.
Electric
Electric (Battery) Magnetic
http://science.howstuffworks.com/tran sport/engines-equipment/maglevtrain1.htm
Sumber: di adaptasi dari berbagai sumber
Gambar 2. 5. Contoh Tenaga Penggerak Mesin Elektrik dan Magnetik 4) Kendali (Control)
: perangkat/cara untuk mengatur perjalanan satu atau semua kendaraan didalam sistem. Kendali yang paling penting adalah senjang jarak antar kendaraan diarah memanjang yang bisa dilakukan secara manual atau visual oleh pengemudi, manual/rambu oleh pengemudi dengan bantuan rambu, sistem otomatis dengan tahap awal oleh pengemudi yang kemudian berfungsi sebagai pengawas atau benar-benar otomatis total tanpa pengemudi.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-6
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Jenis Pelayanan Angkutan Umum meliputi beberapa klasifikasi: 1) Berdasarkan jenis rute dan perjalanan yang dilayani: jarak pendek, angkutan kota, angkutan regional; 2) Berdasarkan jadwal pemberhentian: Lokal, terbatas (skip stop,zonal) dan ekspres; dan 3) Berdasarkan waktu dan tujuan pengoperasian: satu hari penuh, Pelayanan reguler, pelayanan saat waktu puncak atau angkutan komuter, dan pelayanan khusus untuk acara tertentu (pertemuan publik, acara olah raga, dan lain-lain). Teknologi dari sistem angkutan biasanya merupakan aspek yang paling dikenal dari suatu sistem angkutan umum; masyarakat biasanya mengetahui apa yang disebut dengan sistem bus, bus listrik (trolley), trem, bus cepat atau metro, kereta api, dan sebagainya. Pada dasarnya, di antara ketiga karakteristik dari sistem angkutan (ROW, teknologi dan jenis pelayanan), ROW merupakan elemen yang paling penting, karena ROW menentukan keterkaitan kinerja atau biaya dari suatu moda. Teknologi sistem angkutan merupakan kriteria utama untuk mendefinisikan tiga kelas umum dari moda transit yang akan dibahas berikut ini. Secara umum moda/kendaraan yang lazim dioperasikan sebagai angkutan umum terdiri dari berbagai macam jenis dan tipe, antara lain : 1) Van dan Conventional Bus; Angkutan umum ini dioperasikan tanpa jalur khusus, namun mempunyai rute masing-masing dan dapat mencapai ke jalur-jalur yang lebih spesifik dan kecil, sehingga cakupan wilayah OD-nya lebih banyak namun lebih spesifik dan dapat menjangkau area yang kecil. 2) Bus Rapid Transit (BRT); Bus yang mempunyai sistem operasi jalur eksklusif/terpisah dari jalur kendaraan atau angkutan lain pada permukaan jalan. 3) Light Rail Transit (LRT); Angkutan umum ini berbentuk kereta pendek yang dioperasikan pada rel listrik khusus dan beroperasi secara single untuk tiap moda-nya.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-7
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
4) Trams; Trams dapat didefinisikan sebagai salah satu jenis dari LRT, tapi trams mempunyai ukuran yang lebih kecil.
5) Underground Metro; Kereta api yang dioperasikan secara khusus dibawah tanah, biasa disebut sebagai kereta api bawah tanah. 6) Elevated Rail Transit; Kereta ini mempunyai sistem khusus, yang mana operasinya dijalankan dengan struktur layang (aerial structure). Kereta ini beroperasi pada jalur khusus yang diatas tanah, biasanya dilokasikan secara khusus. 7) Sub-Urban Rail; Angkutan umum ini dijalankan pada jalur khusus dan terpisah dari kendaraan lain dan berjalan pada permukaan jalan. Biasanya suburban rail dioperasikan untuk perjalanan OD urban dan suburban. Sehingga perjalanan yang dilakukan relatif lebih panjang dan jauh. 8) Personal Rapid Transit; Angkutan ini didasarkan pada sistem angkutan penumpang yang diusahakan untuk mengkombinasikan antara kendaraan transportasi publik dan kendaraan transportasi pribadi
B. Pengembangan Angkutan Massal Di Perkotaan Sistem angkutan umum perkotaan merupakan bagian terpadu dari sistem kota yang menyusun interaksi timbal balik antara pola tata guna lahan dan ekonomi kota (lokasi perumahan, pusat bisnis, pusat perbelanjaan, sekolah, dan lain-lain) berikut atribut populasinya (struktur, kepemilikan kendaraan, kepadatan, dan lain-lain) dengan sistem transportasi (jaringan jalan, sistem angkutan umum, dan lainlain). Dalam hal ini setiap perubahan yang terjadi baik di dalam sistem transportasi maupun di dalam sistem tata guna lahan akan menyebabkan perubahan menuju titik keseimbangan baru. Pengembangan sistem angkutan di suatu kota harus dimulai dengan identifikasi masalah yang tidak terlepas dari posisi sistem angkutan umum dalam sistem ekonomi kota. Tidaklah efisien jika penyelesaian BAB II – Tinjauan Pustaka
II-8
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
masalah hanya didasarkan kepada perbaikan sistem operasi, dengan menisbikan permasalahan lain dalam pengusahaan angkutan umum, penataan ruang kota, dan lain sebagainya. Idealnya penyelenggaraan angkutan umum perkotaan didasarkan pada jaringan trayek yang berjenjang sesuai dengan pola dan besar pergerakan penumpang yang hendak dilayani. Pola perjalanan angkutan penumpang di perkotaan sangat dipengaruhi oleh tata ruang yang direncanakan untuk kota tersebut, karena lokasi ruang kegiatan dan perumahan akan sangat mempengaruhi asal-tujuan perjalanan yang dilakukan. Pada prinsipnya, dalam hirarki sistem angkutan umum, maka armada yang lebih kecil menjadi pengumpan (feeder) bagi sistem angkutan yang lebih besar. Pada dasarnya pilihan angkutan umum adalah pilihan terhadap wajah kota di masa datang. Jenis angkutan umum yang dipilih akan memiliki dampak yang besar terhadap masalah kemacetan, tingkat polusi, keterjangkauan dan lingkup pelayanan bagi penduduk kota. Perbedaan diantara berbagai teknologi angkutan massal perkotaan sangat tipis dan ada beberapa pendekatan yang berbeda yang dapat digunakan untuk membedakan moda dan karakteristik berbagai sistem angkutan massal perkotaan. Selain karakteristik biaya, kapasitas dan teknologi yang lazim digunakan untuk menjabarkan sistem angkutan massal perkotaan, jarak antar setasiun/halte/stop, ROW, cakupan operasional dan sistem pemandu juga merupakan karakteristik yang dapat digunakan. Terdapat beberapa alternatif teknologi sarana angkutan umum massal yang telah dilaksanakan di beberapa negara dan mungkin juga dapat diterapkan, diantaranya beberapa sarana angkutan massal tersebut yang meliputi Bus Rapid Transit atau Busway, Light Rail Train, Elevated Rail dan Underground Metro, dimana sarana-sarana angkutan umum massal tersebut memiliki kelebihan masing-masing jika dilihat dari segi kapasitas, namun juga memiliki beberapa kendala dari segi besarnya biaya investasi seperti halnya yang disampaikan pada Gambar 2. 6. Karakteristik-karakteristik penting yang mencirikan angkutan umum perkotaan merupakan sistem angkutan massal adalah, penggunaan ruang yang sangat efisien, kecepatan dan kapasitas operasional yang tinggi, integrasi antar moda baik sistem (transaksi) maupun fisik, standar tingkat pelayanan yang tinggi dari: 1) Setasiun/terminal & titik transfer 2) Kebersihan 3) Citra dari sistem
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-9
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
4) 5) 6) 7)
Sistem Informasi bagi pengguna Kendali terhadap iklim Integrasi moda Integrasidengan guna lahan utama.
Sumber: Wright ,L. (2004)
Gambar 2. 6. Alternatif Teknologi Moda Transportasi Seperti yang disampaikan pada paragraf sebelumnya bahwa setiap moda sarana angkutan umum massal tersebut memiliki kelebihan masing-masing terutama dalam hal kapasitas, namun disatu sisi lain memiliki kendala dalam halnya besarnya biaya investasi. Tabel 2. 1 dan Tabel 2. 2berikut menunjukkan perbandingan biaya berdasarkan moda di beberapa kota besar di dunia. Rail Metro dan MRT merupakan salah satu alternatif moda yang dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan penyediaan sarana transportasi, jika dilihat dari segi kapasitas, yaitu mempunyai kapasitas rata-rata penumpang yang lebih besar apabila dibandingkan dengan moda-moda lainnya seperti halnya busway
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-10
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Tabel 2. 1. Kinerja dan Biaya Alternatif Angkutan Massal Perkotaan EXAMPLE Category
CARACAS (LINE 4)
BANGKOK (BTS)
Rail Metro
MEXICO (LINE B)
Electric Steel rail
29
Electric Steel rail
Length (km)
12.3
23.1
23.7
100% Elevated
20% elevated 55% at grade 25% tunnel
Capital cost, ($m) of which: Infrastructure/TA/ Equipment ($m) Vehicles ($m) Capital cost/route km. ($m) Initial (ultimate) vehicles or trains / hour /direction Initial maximum pass capacity Maximum pass. carrying capacity Ave operating speed (kph) Rev/operating cost Ratio
Light Rail
Suburban rail conversion
Electric Driverless
Electric Steel rail
Stop Spacing (kms)
RECIFE (LINHA SUL)
Rail Metro
Technology
100% tunnel
TUNIS (SMLT)
Rail Metro
Electric rubber tyre
Vertical segregation
KUALA LUMPUR (PUTRA)
Light Rail
100% elevated
BOGOTA (TRANSMILENIO, PHASE 1)
QUITO BUSWAY
PORTO ALEGRE BUSWAYS
Busway
Busway
Busway
Electric Steel rail
AC Electric duo-trolleybus
Articulated diesel buses
Diesel buses
29.7 km
14.3
11.2 (+ext 5.0)
41
25
At grade
95% at grade 5% elevated
At grade, Partial signal priority
At grade, Mainly segregated
At grade No signal priority
0.7 213 (inf only)
0.4
1.5
1
1.1
1.3
0.9
1.2
0.4
1,110
1,700
970
1,450
435
166
110.3
833
670
560
n.a
268
149
20
322
25
80 (113 vehs)
Not included (private operation)
Not included (private operation)
277
1,030
410
n.a.
167
18
25
90.25
73.59
40.92
50
13.3
11.6
10.3
5.2
1
20 (30)
20 (30)
13 (26)
30
n/a
8
40 (convoy operation planned)
160
n.a.
21,600
25,000
19,500
10,000
12000
9,600
9,000
32,400
50,000
39,300
30,000
12000
36,000
15,000
35,000
50
45
45
50
13/20
39
20
20+ (stopping) 30+ (express)
20
n.a.
100
20
>100
115% in 1998
n.a
100
100
100
Ownership Private (BOT)
Public
Private (BOT)
Public
Private, (BOT)
Public
Public
Public (BOT under consideration
Public infrastructure, private vehicles
Public infrastructure , private vehicles
Year completed
2004
1999
2000
1998
1998
2002
1995 (ext 2000)
2000 (1998 prices)
Mostly 1990s
20,000 20,000
Sumber: Wright, L. & Fjellstrom, K. (2003)
Tabel 2. 2. Perbandingan Biaya Alternatif Moda Transportasi Kota Caracas Bangkok Mexico Kuala Lumpur Tunis Recife
Biaya ($ juta/km) 90.25 73.59 40.92 50.00 13.30
Kapasitas (ribu pnp/arah) 32.40 50.00 39.30 30.00 12.00
Biaya 112.8 92.0 51.2 62.5 16.6
11.60
36.00
14.5
1.20
12.9 6.5 1.3 1.0 82.1 5.4 11.1
0.50 1.17 0.67 1.00 1.50 0.31 1.00
Quito 10.30 15.00 Bogota 5.20 35.00 Porto Alegre 1.00 20.00 Jakarta 0.80 30.00 Jakarta 65.7 45.00 Jakarta 4.35 9.20 Jakarta 8.9 30.00 Sumber: Janes Urban Transport System, SAPROF 2004
BAB II – Tinjauan Pustaka
Ratio Kapasitas 1.08 1.67 1.31 1.00 0.40
Keterangan Rail Metro Rail Metro Rail Metro Light Rail Light Rail Sub Urban Rail Conversion Busway Busway Busway Busway MRT Jalan Tol KA
II-11
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
C. Angkutan Massal Berbasis Jalan (Bus Rapid Transit/BRT) Secara definisi terdapat beberapa terminologi yang dapat digunakan. Definisi yang paling mendasar dari BRT adalah moda angkutan umum cepat yang mampu mengkombinasikan kualitas angkutan massal berbasis rel dengan tingkat fleksibilitas dari angkutan bus (TRB-a, 2003). Lebih spesifik BRT didefinisikan sebagai bentuk angkutan massal cepat yang fleksibel dengan roda dari karet yang mengkombinasikan halte, kendaraan, layanan, jalur, dan elemen sistem transportasi cerdas (ITS) kedalam sistem yang terpadu dengan identitas dan citra yang baik. Sehingga BRT merupakan suatu sistem yang fitur, layanan dan kemudahannya terpadu yang mampu meningkatkan kecepatan tempuh, keandalan dan identitas angkutan umum bus (TRB, 2007). Karena BRT adalah sistem angkutan umum bus yang cepat, aman, nyaman dan terjangkau yang menggunakan ruang jalan seefisien mungkin untuk mengangkut penumpang pada jalur utama (trunk), maka termasuk kedalam definisi ini adalah tindakan pemberian prioritas pada bus secara konvensional seperti jalur khusus bus. Pada ruas jalan dengan sistem BRT disediakan lajur eksklusif yang dirancang dan direkayasa untuk memisahkannya dari sistem lalu lintas lain seperti kendaraan pribadi bermotor dan tidak bermotor. Karena sistem BRT merupakan moda angkutan umum cepat yang fleksibel, maka terdapat beberapa variasi dari sistem ini yang tergantung pada jenis prasarana yang disediakan dan jenis bus yang beroperasi pada jalur bus khusus tersebut. Karakteristik BRT secara umum meliputi : 1) Menaikkan dan menurunkan penumpang dengan cepat; 2) Penarikan ongkos yang efisien; 3) Halte dan stasiun yang nyaman; 4) Teknologi penggerak bus ramah lingkungan; 5) Integrasi moda; 6) Identitas pemasaran modern; dan 7) Layanan pengguna yang sangat baik. Secara fisik, ciri utama dari BRT ditunjukan dari pengoperasiannya pada lajur terpisah dan eksklusif, baik pada permukaan maupun layang atau bawah tanah dan menggunakan teknologi bus yang dimodernisasi. Adapun ciri-ciri utama lainnya adalah: 1) Jalur yang terpisah dari lalu lintas lain, baik terpisah secara struktur maupun hanya marka; 2) Penandaan secara jelas dan mudah dikenali dan tampilan informasi yang jelas; 3) Mendapat prioritas disetiap persimpangan; 4) Integrasi moda disetiap halte; 5) Pemberhentian yang mudah dijangkau, aman, dan menarik;
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-12
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
6) 7) 8) 9) 10) 11) 12)
Penumpang dapat naik/turun secara cepat; Teknologi bus yang modern dan bersih; Stasiun dan terminal yang bersih, aman, dan nyaman; Kendaraan yang mudah dinaiki, menarik, dan ramah lingkungan; Pengumpulan pembayaran yang efisien. (e-ticketing system); Jadwal yang tetap dan sepanjang hari; dan Petugas dan awak kendaraan berseragam serta tampil profesional.
BRT sangat tepat diperuntukan bagi berbagai kota dengan kondisi antara lain: 1) Kota besar dengan koridor sekundernya dapat difungsikan sebagai layanan pengumpan (feeder service) bagi angkutan massal berbasis kereta api; 2) Kota sedang dengan permintaan penumpang pada koridor primer mencapai 20.000 – 25.000 pnp/jam/arah; 3) Kota kecil, bus jalur khusus dapat berfungsi untuk membentuk struktur pengembangan kota baru; Beberapa kelebihan dari BRT dibandingkan dengan angkutan massal berbasis rel (sistem Metro/MRT) adalah sistem angkutan massal yang fleksibel dengan biaya rendah (2%) dari biaya investasi awal angkutan massal berbasis rel/Metro), cakupan wilayah pelayanannya lebih luas. pengembangan dan pembangunannya lebih cepat. Selain itu perubahan atau perluasan dari sistem ini dapat dilakukan dengan lebih murah dan waktu yang lebih singkat. Seperti yang telah dijelaskan diatas, BRT merupakan sistem yang terdiri dari berbagai komponen teknologi dan operasional. Oleh karenanya penerapannya perlu disesuaikan dengan kondisi lapangan yang ada. Tabel 2. 3 menunjukkan variabilitas dari sistem BRT
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-13
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Tabel 2. 3. Variasi sistem BRT Elemen Sistem
Signifikan
Medium Capacity BRT Penuh
Penuh
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Sederhana dan rambu
Disisi jalan, sejajar dgn lantai bus, tersedia informasi penumpang
Di Median, sejajar dgn lantai bus, tersedia informasi penumpang, tambahan fitur keselamatan dan keamanan
Informasi pengguna
Tersedia di tempat henti
Tersedia di Halte
Cara pembayaran Media tiket
Didalam bus
Didalam bus
Di Median, sejajar dgn lantai bus, tersesia informasi penumpang di dalam bus Tersedia di halte dan didalam bus Di Halte
kertas
Kartu pintar
Kartu pintar
Sistem operasi
terbuka
Kertas atau kartu pintar terbuka
Tertutup
Rencana operasional pada lingkup wilayah Rute buspengumpan
Tidak/banya k operator
Tidak/banyak operator
Terbuka/tertut up Ya/operator tunggal
Tidak ada
Tidak ada
Banyak buspengumpan
Jenis kendaraan
Campuran
Berlantai semi rendah/rendah
Beberapa buspengumpa n Berlantai semi rendah/rendah
Layanan
Reguler
Reguler
Derajat Pemisahan Jalur menyalip di Halte Karakteristik Halte
Bus only Lane Terbatas
Light BRT
Reguler+prem ium
High Capacity BRT
Tersedia di halte dan didalam bus Di Halte
Ya/operator tunggal
Berlantai semi rendah/rendah, bustemple Reguler+premium
Sumber:ADB (2008)
D. Prasarana Angkutan Massal Berbasis Jalan 1.
Bentuk/Tipe Jaringan Angkutan Umum Secara prinsip ada tiga bentuk dasar dari jaringan angkutan massal berbasis jalan raya yaitu; (a) Radial; (b) Ortoghonal/Grid; (c) Kombinasi (Mixed). Dari ketiga bentuk dasar tersebut hampir dapat dipastikan tidak ada suatu wilayah (kota) yang benar-benar secara murni memiliki salah satu bentuk jaringan diatas. Namun pada umumnya bentuk jaringan yang ada merupakan kombinasi dari bentuk radial dan grid. Pada berbagai kota di beberapa negara, pada wilayah pusat kota (kawasan CBD) umumnya jaringan
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-14
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
angkutan massal berbasis jalan berbentuk sistem grid. Hal ini dikarenakan mengikuti bentuk sistem jaringan jalan yang ada. 2.
Pola Trayek pada jaringan angkutan umum perkotaan Menyesuaikan dengan struktur dan pola ruang kota dapat dikembangkan berbagai jenis trayek angkutan umum yang pada akhirya akan membentuk suatu jaringan pelayanan angkutan umum perkotaan. Untuk angkutan umum berbasiskan rel, trayeknya cenderung linier (mendekati garis lurus) untuk suatu jarak pelayanan yang relatif cukup jauh. Pola trayek seperti ini dikarenakan sifat dan fungsi angkutan yang bersifat massal dan mobilitas tinggi serta keterbatasan munuver armadanya. Sementara trayek angkutan umum jalan cenderung mengikuti sistem jaringan jalan yang membentuk struktur suatu kota. Secara umum beberapa pola trayek yang dapat dikembangkan ditunjukan dalam Gambar 2. 8. Koneksi Langsung
Tipe Jaringan Trunk + Feeder
CENTRAL AREA
Tipe Jaringan grid
Tipe Jaringan Kombinasi
CENTRAL AREA
Sumber: Khisty, C.J. (1990)
Gambar 2. 7. Tipe Jaringan Angkutan Umum Perkotaan
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-15
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Cross-city line
Suburb A City centre
Loop line
Suburb B
Suburb A City centre
Suburb B
Ring line
City centre Suburb
Radial line Suburb City centre
Suburb C
Tangential line
Suburb A City centre Suburb B
Sumber:Proceed (2009)
Gambar 2. 8. Pola Trayek Angkutan Umum 3.
Struktur jaringan Penyediaan pelayanan angkutan massal merupakan suatu tantangan tersendiri yang terkait dengan efisiensi sistem dan efektifitas biaya operasional. Melayani wilayah terpadat dari suatu kota berarti membutuhkan jumlah armada yang besar dengan kapasitas tinggi, sedangkan untuk wilayah dengan kepadatan lebih rendah akan lebih ekonomis bila dilayani oleh kendaraan dengan kapasitas yang lebih kecil. Akan tetapi pengguna dilain pihak lebih memilih untuk tidak dipaksa melakukan perpindahan moda (transfer) karena akan menambah biaya dalam bentuk waktu dan kemudahan perjalanan. Sehingga dalam perencanaan angkutan massal harus diciptakan kesimbangan antara berbagai kebutuhan yang berbeda ini. Secara umum ada tiga opsi dalam struktur jaringan yaitu; a) Struktur jaringan Trunk&feeder; b) Struktur jaringan langsung (Direct); c) Struktur Kombinasi (Mix of trunk-feeder and direct/hybrid).
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-16
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Sumber: ITDP (2007)
Gambar 2. 9. Struktur Jaringan Pelayanan Strukur Trunk&feeder menggunakan kendaraan dengan kapasitas lebih kecil untuk wilayah dengan kepadatan yang lebih rendah dan kendaraan dengan kapasitas lebih besar untuk koridor-koridor dengan kepadatan lebih tinggi. Pengguna yang menggunakan sistem trunk-feeder harus melakukan perpindahan moda pada terminal/shelter, sedangkan pada sistem trayek langsung kebutuhan kendaraan pengumpan dan perpindahan moda tidak terlalu besar, karena umumnya pengguna akan dilayani dari tempat asal sampai dengan tujuan perjalannya. 4.
Titik Halte Halte merupakan titik utama interaksi penumpang dengan sistem angkutan umum sehingga membutuhkan perhatian yang khusus dalam perancangan dan fungsinya. Halte harus merupakan bagian yang menarik dari ruang jalan dan menunjukkan citra yang kuat dan berkualitas dari sistem angkutan umum. Sarana seperti perangkat sistem karcis, loket penjualan karcis, akses bagi penumpang berkebutuhan khusus, perambuan dan estetika merupakan elemen-elemen penting yang membutuhkan rancangan yang prima seperti yang ditunjukan dalam Gambar 2. 10.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-17
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Gambar 2. 10. Contoh Ilustrasi Halte
5.
Akses menuju Halte Keterpaduan yang baik antara halte dengan lingkungan sekitarnya merupakan hal yang sangat penting dalam proses perancangangannya seperti akses menuju halte merupakan cermin keseluruhan dari pengalamanmenggunakan suatu pelayanan angkutan umum. Hal lainnya yang tidak kalah penting adalah pencahayaan yang baik dan jalur pejalan kaki yang aman. Konsep akses menuju halte BRT bukan hanya masalah rancangan tapi yang lebih utama adalah cerminan kesetaraan antara pengguna angkutan umum dengan pengguna kendaraan pribadi. Sehingga merancang kesetaraan penggunaan ruang jalan merupakan pertimbangan utama. Oleh karena itu pendekatan rancangannya semaksimal mungkin berupa penyeberangan sebidang menuju halte. Dengan menerapkan pendekatan ini secara tidak langsung juga dapat meningkatkan keselamatan dan mengurangi kebisingan di lingkungan kota. Bila jalur BRT berada pada jalan arteri dengan kecepatan lalu lintas
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-18
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
melebihi 60 km/jam, maka perlu dibuatkan penyeberangan dengan menggunakan escalator. 6.
jembatan
Terminal Terpadu/Multimoda Terminal terpadu/multimoda adalah tempat melakukan transfer/transit antar moda. (misalnya dari kereta api ke bus). Terminal dengan fungsi lalu lintas dan perkotaan juga dapat dikatakan sebagai terminal terpadu (integrated terminal) (Gambar 2. 11).
Terminal terpadu dengan MRT/kereta api dan busway adalah yang paling potensial dalam konteks pembangunan perkotaan/Transit Oriented Development (TOD) (Gambar 2. 12 - Gambar 2. 14).
Sumber: JICA (2012)
Gambar 2. 11. Fungsi Terminal Terpadu/Multimoda
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-19
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Sumber: JICA (2012)
Gambar 2. 12. Contoh Terminal Terpadu/TOD (Sinjuku, Tokyo)
Sumber: JICA (2012)
Gambar 2. 13. Contoh Terminal Terpadu/TOD (Shin-Yokohama, Yokohama)
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-20
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Sumber: JICA (2012)
Gambar 2. 14. Contoh Terminal Terpadu/TOD (Sakae, Nagoya)
E. Sistem Pemandu Bus Untuk mempercepat dan mempermudah menaik/turunkan penumpang di halte serta meminimalkan tumbukan dengan paltform halte, dapat digunakan sistem pemandu berbentuk roda horizontal. Dengan menggunakan roda pemandu ini juga dapat mengurangi lebar lajur disepanjang halte. Agar lebih baik, sebaiknya sistem suspensi bus menggunakan sistem suspensi udara sehingga kerataan antara lantai bus dan lantai halte tetap terjaga.
F. Pusat Kendali Tujuan dari suatu pusat kendali adalah untuk memantau dan untuk mengendalikan operasional armada bus.Pada saat armada bus memasuki sistem BRT, mereka langsung berada langsung dibawah kendali sistem dan bukan pemilik. Sistem kendali menggunakan perangkat lacak GPS untuk menginformasikan posisi dari bus yang selalu terpantau di pusat kendali secara visual pada layar monitor. Bentuk teknologi pemantau sangat bervariasi dari yang berisfat
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-21
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
sederhana dan umum dimana komunikasi antara pusat kendali dengan masing-masing bus dilakukan secara manual hingga teknologi pemantau menggunakan tehnologi canggih yang dilakukan secara otomatis. Namun efektifitas dari pengendalian operasi tidaklah didasarkan dari teknologi yang digunakan, tapi berdasarkan bagaimana sistem tersebut sesuai dengan maksudnya. Secara skematis mekanisme operasional dari pusat kendali sistem BRT ditunjukan dalam Gambar 2. 15. Perangkat GPS yang dipasang pada setiap bus secara menerus memberikan informasi lokasinya sepanjang rute perjalanan.
Sumber: JICA (2012)
Gambar 2. 15. Mekanisme Operasional Pusat Kendali Sistem BRT
G. Pengumpulan dan teknologi sistem Karcis Untuk meningkatkan efektifitas operasional dari sistem BRT, penggunaan kartu/karcis elektronik untuk sistem transaksinya sangat dianjurkan karena teknologi tersebut saat ini sudah sangat lazim dan terjangkau. Pengguna BRT hanya perlu membayar dan menyimpan biaya awal (deposit) kedalam kartu elektronik tersebut dan setiap saat dapat ditambahkan
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-22
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
nilainya sesuai dengan kebutuhan. Peggunaannya relatif sederhana.Penumpang cukup menempelkan kartu tersebut ke alat yang dipasang pada gerbang transaksi masuk dan keluar sistem BRT. Alat baca tersebut akan mengurangi jumlah uang yang berada dalam kartu sesuai dengan jarak tempuh penggunaannya. Dalam hal berpindah moda atau rute, maka sistem tidak akan mengurangi jumlah uang selama dalam rentang waktu yang ditetapkan (mis. 5–10 menit). Dengan sistem transaksi elektronik, maka perpindahan antar moda menjadi mudah tanpa perlu melakukan transaksi berkali kali. Konsekuensi dari penggunaan sistem transaksi elektronik adalah perlunya sistem keamanan yang ekstensif, operasional yang akurat dan presisi, dan prosedur pemeliharaan untuk mengelola uang elektronik. Penerapan dan pengoperasian sistem seperti ini, umumnya dilakukan oleh unit khusus yang dibentuk dan bertanggung jawab terhadap pendapatan dari karcis, pengelolaan administrasi finansial sistem BRT. Selain itu unit ini juga bertugas untuk melakukan distribusi pendapatan ke berbagai operator didalam sistem BRT sesuai dengan protokol yang berlaku.
H. Citra dari Sistem (System Branding and Image) Perencanaan angkutan massal berbasis jalan yang modern harus disertai dengan prinsip mengambil pangsa pasar yang signifikan melalui konsep pencitraan dan identitas yang prima untuk menciptakan kesadaran publik terhadap sistem ini. Dengan disiapkannya identitas yang kuat dan informasi yang baik dan ramah akan menciptakan ikatan yang kuat dengan pelanggan dari sistem ini. Sistem ini melalui konsep citra dan identitas yang kuat tersebut harus dikenali oleh publik sebagai sistem yang handal dan mudah serta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan seharihari masyarakat. Hal ini mudah untuk dicapai melalui promosi, acara atau kegiatan masyarakat dan lain sebagainya.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-23
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
I.
Teknologi Moda Pemilihan teknologi, penyediaan dan pengoperasian kendaraan merupakan hal yang rumit dan bergantung pada faktor hukum, operasional, kelembagaan dan strategi yang berbeda untuk setiap kasus. Pemilihan teknologi moda (bus) merupakan hal penting, dan pemilihan jenis bus sebagian akan ditentukan dari analisis pendahuluan mengenai kebutuhan kapasitas dan rancangan sistem angkutan massal berbasis jalan. Spesifikasi teknologi bus akan mempengaruhi biaya operasional dan kinerja lingkungan. Keputusan mengenai teknologi bus harus dibuat dengan sangat rinci agar mudah untuk dievauasi dan disetujui. Lazimnya regulator hanya memberikan spesifikasi karakteristik kinerja bus, dan keputusan akhir mengenai teknologi dan fabrikasinya diserahkan kepada operator yang akan menjalankan sistem. Aspek teknis yang ditentukan umumnya mencakup standar emisi minimum (contoh Euro II), dimensi bus, ukuran dan mekanisme operasi pintu, konfigurasi tempat duduk, warna, dan variabel lainnya. Karena armada (bus) merupakan komponen utama dari rancangan pelayanan, kualitas dan efesiensi dari bus akan memberikan dampak yang besar pada tingkat pelayanan pada penumpang dan biaya operasi. Biaya awal (investasi) armada bukanlah satu-satunya kriteria aspek biaya, karena penambahan biaya operasional yang nampaknya kecil dapat saja melebihi biaya dari penghematan pada aspek investasi sepanjang waktu layanannya. Bus sebaiknya dirancang dengan konsep yang modern, memiliki pendingin udara dan memiliki perangkat yang modern seperti penggunaan suspensi udara, transmisi otomatis dengan “rem” hidrolis dan perangkat pemantau bagi pengemudi
J. Dimensi dan Kapasitas Dimensi bus dan spesifikasi rancangan pintu sangat tergantung dari besarnya arus penumpang pada sistem yang akan dioperasikan. Opsi-opsi standar meliputi: 1) Jenis Van (10 penumpang); 2) Jenis minibus (30 penumpang); 3) Jenis bus standar (70 penumpang); 4) Jenis bus tempel (160 penumpang); dan 5) Jenis bus tempel-ganda (270 penumpang). Gambaran kapasitas penumpang per jenis kendaraan diatas hanya merupakan perkiraan, karena kapasitas sebenarnya akan sangat bergantung pada susunan tempat duduk dan tempat berdiri. Ukuran
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-24
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
kendaraan harus sesuai dengan permintaan penumpang sedemikian rupa sehingga juga memberikan layanan frekuensi yang sesuai. Sistem bervolume tinggi mungkin akan memerlukan moda yang lebih besar (bus tempel atau tempel-ganda) dan layanan frekuensi tinggi. Sistem bervolume lebih rendah juga harus tetap dengan layanan frekuensi tinggi, namun tentunya dengan jenis bus yang lebih kecil. Armada bus harus menerapkan rasio penumpang berdiri dan duduk yang sesuai dan seimbang untuk menjamin kenyamanan penumpang jarak jauh dan jarak dekat. Rancangan ruang akses didalam bus juga penting untuk memudahkan dan mempercepat penumpang turun dari bus. Untuk pelayanan yang jarak tempuhnya relatif jauh sangat dianjurkan untuk menyediakan tempat duduk yang nyaman dengan jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan bus perkotaan lainnya untuk menjamin kualitas pelayanan dan mempertahankan citra sistem angkutan massal yang prima dan memenuhi standar layanan sistem angkutan massal. Idealnya regulator hanya menentukan kualitas-kualitas khusus, seperti standar emisi, daripada menetapkan teknologi yang spesifik bagi operator. Operator perlu mempertimbangkan beberapa faktor seperti biaya bahan bakar, ketersediaan bahan bakar, perawatan, keandalan, waktu pengisian bahan bakar, dan kinerja. Begitu pula, tiap operator harus mampu memilih pabrik sesuai dengan kemampuan dari operator. Perioda layan maksimal dari moda juga perlu ditentukan untuk membantu memelihara kualitas sistem secara jangka panjang dan juga menjamin bahwa semua operator swasta berkompetisi pada basis yang sama. Ada kencenderungan yang cukup besar terhadap penggunaan bus berlantai rendah akhir-akhir ini, khususnya di Eropa dan Amerika Utara. Bus jenis ini relatif mampu mempercepat naik turunnya penumpang tanpa perlu pintu naik-turun untuk masuk halte. BAB II – Tinjauan Pustaka
II-25
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
K. Sistem Pemandu Keistimewaan rancangan bus lainnya yang telah membuatnya dikenal baik adalah sistem pemandu mekanis. Sistem di kotakota seperti Essen-Jerman dan AdelaideAustralia menerapkan sistem pemandu mekanis untuk meningkatkan kecepatan dan keandalan bus. Sistem ini terdiri dari jalan (track) khusus bus yang memandu bus melalui roda horizontal yang terpasang pada kedua sisi bus. Sistem pemandu tersebut memberikan beberapa keuntungan dalam hal kecepatan dan pengurangan kebutuhan lebar lajur khusus. Sebagai catatan penerapan sistem pemandu ini perlu dikaji secara khusus untuk kota-kota di negara berkembang yang berpenduduk padat agar tidak berdampak pada target kecepatan tempuh yang diharapkan.
L. Rancangan Eksterior dan Interior Estetika teknologi bus haruslah menjadi komponen eksplisit dari rancangan dan penetapan spesifikasi. Gaya, warna, dan keistimewaankeistimewaan estetika akan sangat mempengaruhi persepsi publik mengenai sistem tersebut. Beberapa pabrikan bus saat ini meniru keistimewaan dari rancangan sistem kereta ringan (LRT). Hanya dengan menutupi roda dan membungkus badan dari bus dengan rancangan yang menarik, para pabrikan bus ini sudah sangat meningkatkan daya tarik produk mereka. Rancangan interior, dari perspektif pelanggan, jauh lebih penting daripada komponen-komponen penggerak bus. Rancangan interior akan secara langsung mempengaruhi kenyamanan, kapasitas penumpang, keamanan, dan keselamatan. Jumlah ruang yang diberikan untuk berdiri dan tempat duduk haruslah berdasarkan perkiraan jumlah arus penumpang, khususnya pada saat jam puncak. Lebar gang/lorong juga menjadi bagian yang penting. Tempat duduk yang menghadap ke samping dan bukannya menghadap ke depan bisa memberikan ruang bagi penumpang yang berdiri. Penempatan perangkat untuk pegangan (lubang pegangan, pita pengikat, dan lain-lain) harus dipertimbangkan bagi penumpang yang berdiri. Konfigurasi tertentu harus dibuat untuk
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-26
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
menyediakan kebutuhan penumpang yang cacat atau renta. Pintu masuk halte yang landai merupakan hal yang penting, namun ruang interior yang cukup untuk kursi roda juga penting. Dengan akses menuju halte yang landai, sepeda dapat dengan mudah naik, khususnya pada jam tidak sibuk. Ruang yang diperbolehkan untuk sepeda juga bisa menjadi ruang terbuka yang efektif bagi penumpang yang berdiri selama perioda jam puncak. M. Sistem Penggerak dan Jenis bahan bakar Berbagai pemerintahan dan penganjur teknologi bersih memandang sistem angkutan massal berbasis jalan (BRT) berpotensi untuk menggunakan teknologi (kendaraan) ramah lingkungan. Karena keuntungan dari pengoperasian sistem BRT berpotensi untuk meningkatkan sistem pengoperasian kendaraan yang jauh lebih ramah lingkungan tanpa mengurangi potensi keuntungan pelayannya. Namun, aspek keuntungan ini merupakan hal yang khusus, dan teknologi ramah lingkungan ini serta merta tidak bisa dipaksakan pada sistem BRT tanpa terlebih dahulu melakukan penilaian terhadap dampak dari teknologi tersebut terhadap kualitas layanan, keuntungan sistem, transparansi proses pengadaan kendaraan, dan faktor lainnya. Pilihan teknologi sistem penggerakdan bahan bakar akan berdampak besar pada biaya operasi, biaya pemeliharaan, infrastruktur pendukung, serta tingkat emisi. Kondisi lokal juga menetukan pilihan jenis bahan bakar dimana ketersediaan bahan bakar dan pengalaman dalam merawat teknologi kendaraan tertentu merupakan faktor kunci. Opsi sistem penggerak bus mencakup (ITDP, 2007): 1) diesel murni; 2) gas alam terkompresi (CNG); 3) gas bahan bakar cair (Liquid petroleum gas /LPG); 4) hibrid-listrik; 5) listrik; dan 6) sel bahan bakar. Opsi jenis bahan bakar yang saat ini paling lazim dipertimbangkan untuk digunakan pada kendaraan angkutan umum: 1) Standard diesel; 2) Clean diesel; 3) Compressed natural gas (CNG); 4) Liquid petroleum gas (LPG); 5) Electric trolley-bus; 6) Bio-diesel; 7) Ethanol; 8) Hybrid-electric (diesel-electric and CNGelectric); 9) Hydrogen (fuel cell technology).
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-27
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Sumber: (ITDP, 2007)
Gambar 2. 16. Jenis-jenis bahan bakar N. Konsep Sistem Transportasi Yang Ramah Lingkungan dan Hemat Energi Isu perubahan iklim dan pemanasan global semakin mendapat perhatian masyarakat dunia. Berbagai kegiatan telah dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan upaya terhadap pengurangan emisi sebagai akibat aktifitas manusia. Upaya yang serius telah dan sedang diupayakan melalui konvensi UNFCCC dan Protokol Kyoto Protocol. Pada pertemuan G-20 di Amerika Serikat secara resmi Indonesia telah bertekad untuk berpartisipasi dengan mencanangkan pengurangan emisi pada lingkup nasional sebesar 26% di tahun 2020. Dari tujuh ranah utama yang dijadikan fokus pengurangan emisi nasional yang terkait dengan sektor transportasi adalah pergeseran ke moda transportasi beremisi rendah. Upaya pengurangan emisi ini diwujudkan dalam konsep pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan, dengan tiga strategi utama (Sakamoto et.al, 2010) yaitu Avoid (menghindari atau mengurangi jumlah&jarak perjalanan atau kebutuhan perjalanan), Shift (berpindah ke moda transportasi yang lebih ramah lingkungan) dan Improve(meningkatkan efisiensi pengunaan energi dari moda transportasi dan teknologi kendaraan). Prinsip dasar dibalik ketiga strategi utama ini ditunjukan dalam Gambar 2. 17 dan Tabel 2. 4.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-28
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Sumber: diadaptasi dari Sakamoto K, et.al, (2011)
Gambar 2. 17. Ilustrasi strategi A.S.I (Avoid, Shift & Improve)
Tabel 2. 4. Strategi A.S.I Strategi Prinsip Hindari atau kurangi Avoid perjalanan dengan mengurangi kebutuhan perjalanan Pindah ke moda Shift transportasi yang lebih ramah lingkungan
Improve Tingkatkan efisiensi energi moda transportasi dan teknologi kendaraan
Aksi Hindari bangkitan VKM yangtidak perlu melalui perencanaan terpadu transportasi dan guna lahan; Kembangkan kawasan perkotaan baru dengan konsep TOD. Kondisikan situasi moda dengan emisi paling rendah; Cegah perpindahan perjalanan dengan kendaraan tidak bermotor (jalan, sepeda) dan angkutan umum ke kendaraan pribadi melalui peningkatan kualitas layanan angkutan umum dan fasilitas pedestrian dan jalur sepeda Jamin kendaraan/bahan bakar dimasa datang lebih bersih; mendorong pengembangan kendaraan kecil yang efisienInovasi Rancang bangun kendaraan tidak bermotor tradisional.
Sumber: Sakamoto K, et.al, (2011)
Strategi A.S.I diatas didasarkan pada aksioma bahwa emisi CO2 dari sektor transportasi merupakan hasil dari: 1) Besarnya aktifitas perjalanan yang dilakukan (diukur dalam kendaraan- km/VKM); 2) Moda transport yang digunakan untuk melakukan perjalanan; 3) Besarnya volume penggunaan bahan bakar per kilometer perjalanan dari moda yang digunakan dan kandungan bahan bakar yang terbakar.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-29
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Berbagai kebijakan yang lebih spesifik dapat diturunkan dari ketiga strategi A.S.I ini yang mencakup; 1) Kebijakan/tindakan Perencanaan; rencana guna lahan dan TOD; 2) Kebijakan/tindakan Regulasi; standar emisi, aturan lalu lintas seperti kecepatan tempuh, parkir, alokasi ruang jalan; 3) Kebijakan/tindakan Ekonomi ; pajak kendaraan/bahan bakar, biaya kemacetan, subsidi angkutan umum dan lain-lain; 4) Kebijakan/tindakan Informasi; kampanye pengunaan angkutan umum, skema manajemen mobilitas dan pemasaran, dan skema eco-driving; 5) Kebijakan/tindakan Teknologi; peningkatan kualitas bahan bakar, kendaraan dan prasarana. Dalam upaya penghematan konsumsi BBM pada sektor transportasi Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mencanangkan 4 pilar kebijakan utama yaitu: 1) Promosi penggunaan dan revitalisasi angkutan umum, termasuk mempromosikan gaya hidup “smart life” yang berorientasi pada efisiensi konsumsi energi; 2) Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, termasuk upaya untuk mengurangi konsumsi BBM per kendaraan; 3) Manajemen lalu lintas untuk mengurangi kemacetan lalu lintas; dan 4) Diversifikasi energi bagi kendaraan bermotor, termasuk pemakaian bahan bakar yang semakin bersih, seperti penggunaan unleaded premium gasoline, biofuel, dan BBG. Untuk mencapai sistem transportasi yang ramah lingkungan dan hemat energi, ada beberapa hal yang perlu dijalankan antara lain: 1) Rekayasa lalu lintas; rekayasa lalu lintas khususnya menentukan jalannya sistem transportasi yang direncanakan. Penghematan energi dan reduksi emisi pencemar dapat dioptimasi secara terpadu dalam perencanaan jalur, kecepatan rata-rata, jarak tempuh per kendaraan per tujuan (vehicle mile trip dan passenger mile trip), dan seterusnya. Pola berkendaraan (driving pattern/cycle) pada dasarnya dapat direncanakan melalui rekayasa lalu lintas. 2) Pengendalian pada sumber (mesin kendaraan); jenis kendaraan yang digunakan sebagai alat transportasi merupakan bagian di dalam sistem transportasi yang akan memberikan dampak bagi lingkungan fisik dan biologi akibat emisi pencemaran udara dan kebisingan. Kedua jenis pencemaran ini sangat ditentukan oleh jenis dan kinerja mesin penggerak yang digunakan. Persyaratan
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-30
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
pengendalian pencemaran seperti yang diterapkan Amerika Serikat (AS) telah terbukti membawa perubahan-perubahan besar dalam perencanaan mesin kendaraan bermotor yang beredar di dunia sekarang ini. 3) Energi transportasi; besarnya intensitas emisi yang dikeluarkan kendaraan bermotor selain ditentukan oleh jenis dan karakteristik mesin, juga sangat ditentukan oleh jenis BBM yang digunakan. Seperti halnya penggunaan LPG, akan memungkinkan pembakaran sempurna dan efisiensi energi yang tinggi. Selain itu, dalam rangka upaya pengendalian emisi gas buang, bila peralatan retrofit digunakan, diperlukan syarat bahan bakar khusus yaitu bebas timbal. Mengacu kepada laporan ITNA (Hilman, M., 2009), diperoleh urutan prioritas dari hasil seleksi dengan berbasiskan kriteria umum sebagai berikut: 1) Teknologi kendaraan adalah sebagai berikut: (a) Continuously Variable Transmission (CVT); (b) Bahan bakar yang di injeksi langsung (gasoline direct injection); (c) Bahan berobot ringan; (d) Peningkatan aerodinamis; (e) Teknologi bahan bakar berbasis “cell”. 2) Bahan bakar alternatif adalah sebagai berikut; (a) LPG; (b) LNG; (c) CNG; (d) Biodiesel. 3) Kebijakan/tindakan Manajemen Permintaan Transportasi (TDM) memiliki prioritas yang setara; (a) Perbaikan angkutan umum; (b) Penerapan sistem transportasi cerdas (ITS). 4) Kendaraan tidak bermotor (NMT), urutan prioiritasnya adalah sebagai berikut; (a) Sepeda; (b) Becak dan sejenis; (c) Gerobak; (d) Berjalan kaki.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-31
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Hasil seleksi yang didasarkan pada kriteria spesifik dengan urutan prioritas adalah; 1) Teknologi Kendaraan dengan urutan prioritas adalah; (a) Minyak pelumas jenis 0W-5W/20; (b) Teknologi bahan bakar berbasis “cell”; (c) Bahan berbobot ringan; (d) Bahan bakar yang di injeksi langsung (gasoline direct injection); (e) Continuously Variable Transmission (CVT) 2) Bahan bakar alternatif dengan urutan prioritas adalah; (a) LPG; (b) LNG; (c) Bio-diesel; (d) CNG. 3) TDM, tetap prioritasnya setara seperti pada kriteria umum; (a) Perbaikan angkutan umum; (b) Penerapan sistem transportasi cerdas (ITS). 4) Kendaraan tidak bermotor (NMT) adalah; (a) Sepeda; (b) Becak dan sejenis; (c) Gerobak; (d) Berjalan kaki. Berdasarkan hasil seleksi dengan kriteria umum teknologi dan tindakan/kebijakan untuk mengurangi dampak GRK (Gas Rumah Kaca) dalam bentuk CO2 dari sektor transportasi ditunjukan dalamTabel 2. 5 s/d Tabel 2. 8. Tabel 2. 5. Teknologi Kendaraan Teknologi
Penghematan Bahan Bakar (%) Biaya (US$)
Sistem Injeksi Bahan Bakar
3-4
125 - 175
Transmisi Otomatis 6-Speed
4-5
100 - 150
Sistem CVT
~7
150 - 200
Tanpa Torque Converter Kendaraan Hibrid tanpa Torque Converter
3-4
-
30 - 40
3000 - 5000
Sumber : Hilman, M. (2009)
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-32
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Tabel 2. 6. Bahan Bakar Alternatif Teknologi
Potensi Pengurangan CO2
Bahan Bakar Organik / berbahan alami
90 % dari Skenario BAU
Bahan Bakar Biodiesel
70 % dari Skenario BAU
Bahan Bakar berbahan tebu
60 % dari Skenario BAU
CNG
30 % dari Skenario BAU
LNG
20 % dari Skenario BAU
LPG
20 % dari Skenario BAU
Sumber : Hilman, M. (2009)
Tabel 2. 7. Manajemen Transportasi Teknologi
Potensi Pengurangan CO2
Pengembangan Transportasi Umum Pengurangan total kilometer perjalanan Pengurangan waktu perjalanan Konsumsi bahan bakar yang lebih rendah Sistem Transportasi Cerdas (ITS)
Peningkatan akses Pengurangan total kilometer perjalanan Pengurangan waktu perjalanan Konsumsi bahan bakar yang lebih rendah
Sumber : Hilman, M. (2009)
Tabel 2. 8. Kebijakan Penggunaan Kendaraan tidak Bermotor (NMT) Teknologi dan Pengukuran
Potensi Pengurangan CO2
Becak
Bebas Emisi, Tenaga manusia
Gerobak, Dokar
Bebas Emisi, Tenaga manusia
Sepeda
Bebas Emisi, Tenaga manusia
Berjalan kaki
Bebas Emisi, Tenaga manusia
Sumber : Hilman, M. (2009)
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-33
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Mengacu kepada penerapan konsep sistem transportasi berkelanjutan melalui strategi A.S.I, dan hasil kajian terhadap pemilihan teknologi serta kebijakan untuk mengurangi dampak gelas rumah kaca (GRK) diatas, maka setiap upaya pengembangan sistem angkutan umum massal yang holistik dan benar secara otomatis berdampak pada peningkatan kualitas lingkungan dan penghematan penggunaan energi. Oleh karenanya, dalam konteks makro sistem transportasi berkelanjutan, konsep ramah lingkungan dan hemat energi pada pengembangan sistem angkutan massal perkotaan (berbasis jalan) dapat ditinjau sebagai faktor konsideran internal dan faktor konsideran eksternal.
O. Konsep Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan Yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi Secara prinsip pengembangan angkutan massal berbasis jalan dapat dibagi menjadi tiga tahapan utama yaitu tahap pra-perencanaan, tahap perencanaan (dan perancangan) dan tahap pasca perencanaan seperti yang ditunjukan dalam Gambar 2. 18. Secara internal aspek ramah lingkungan dan hemat energi dalam kaitannya dengan pengembangan angkutan massal perkotaan berbasis jalan berada dalam tahapan perencanaan dan perancangan yang dapat didekati dari pemilihan teknologi moda, pola pengoperasian sistem, dan perancangan prasarana. Dilain sisi, secara eksternal pada tahapan pra-perencanaan konsep ini dapat didekati melalui kebijakan pengembangan sistem transportasi perkotaan yang berkelanjutan, sedangkan pada tahap pasca perencanaan dapat didekati melalui kebijakan pendukung yang meliputi konsep integrasi moda, kebijakan pengembangan lahan, kebijakan pembatasan lalu lintas, kebijakan fiskal bagi penggunaan bahan bakar sebagaimana telah dijelaskan sebelumya.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-34
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi PRA-PERENCANAAN INISIASI PROYEK SAUM
PENYIAPAN PELAKSANAAN PROYEK SAUM
SOSIALISASI
PERENCANAAN & PERANCANGAN ANALISIS PERMINTAAN & PEMILIHAN KORIDOR
PERANCANGAN OPERASIONAL
PENYIAPAN RENCANA USAHA
PERANCANGAN PRASARANA
PASCA PERENCANAAN KEBIJAKAN PENDUKUNG
EVALUASI
RENCANA IMPLEMENTASI
Sumber: Adaptasi dari ITDP (2007)
Gambar 2. 18. Prinsip Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan
P. Implikasi Dan Arahan Pengembangan BRT Situasi yang unik untuk setiap daerah perkotaan mempengaruhi pasar (permintaan), pola layanan, viabilitas, rancangan dan operasional dari sistem BRT. Pembangunan sistem BRT haruslah merupakan suatu hasil dari proses perencanaan dan proyek pembangunan yang mengarah pada kebutuhan dan masalah yang ada. Setiap fase dari pembangunan BRT harus melalui suatu proses terbuka dan obyektif. Dukungan awal dan menerus dari pemimpin terpilih dan masyarakat merupakan hal yang penting. Para pengambil keputusan dan masyarakat umum perlu memahami kondisi alamiah dari sistem BRT dan potensi manfaatnya. Daya tarik bagi penumpang, fleksibilitas operasional, kapasitas dan biaya dari BRT harus teridentifikasi secara jelas dan obyektif didalam analisis pilihan sistem yang akan diadopsi yang juga mempertimbangkan opsi moda lainnya. Institusi pemerintah pusat, dan daerah harus bekerja sama dalam merencanakan, merancang dan mengimplementasikan sistem BRT. Hal ini membutuhkan kerja sama yang erat dari para perencana angkutan umum, perekayasa lalu lintas kota, perencana jalan raya, dan perencana tata ruang perkotaan.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-35
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Pembangunan BRT secara bertahap dapat menunjukkan potensi manfaat dari BRT pada calon pengguna, pengambil keputusan dan masyarakat umum, dengan kemungkinan untuk perluasan dan peningkatan sistem. Sistem BRT harus menawarkan tingkat penggunaan, penghematan waktu tempuh, efisiensi biaya, manfaat pembangunan dan dampak lalu lintas yang menarik dan wajar. Sejak awal, perencanaan BRT dan tata guna lahan di daerah halte/terminal harus terpadu seperti yang telah dilakukan dibeberapa kota yang dianggap berhasil memadukan perencanaan transportasi (umum) dengan guna lahan seperti yang lazimnya terjadi pada sistem angkutan massal berbasis rel. Bila dimungkinkan, atribut (fitur) utama angkutan rel, seperti jalur terpisah atau diberi prioritas, stasiun/halte yang menarik, sistem transaksi di luar kendaraan, suara mesin yg tidak berisik, mudah di akses, jumlah pintuyang banyak, kendaraan yang bersih, frekuensi tinggi, dan layanan sepanjang hari, harus dimilikioleh sistem BRT. Keberhasilan proyek BRT bukan hanya sekedar bebas dari antrian/tundaan, lajur bus atau lajur bus terpisah, namun mencakup seluruh elemen penting yang ditawarkan oleh sistem angkutan massal berbasis rel cepat dan pembangunan citra serta identitas sistem yang unik. Kecepatan tempuh, kehandalan layanan dan rentang layanan disepanjang hari merupakan hal yang sangat penting. ROW yang terpisah dapat meningkatkan kecepatan, kehandalan, keselamatan dan identitas dari sistem BRT. Jalur khusus ini dapat disediakan sebagai bagian dari pembangunan kawasan kota yang baru atau sebagai akses di suatu kawasan yang sedang dalam tahap pembangunan. Jalur seperti ini juga dapat disediakan di kawasan perkotaan yang sudah ada dan padat, bila ROW nya tersedia. Jalur bawah tanah (terowongan) bisa di justifikasi bila frekuensi kemacetan cukup sering terjadi, volume bus dan penumpang tinggi, serta ruang jalan yang tersedia untuk lajur khusus terbatas. Penempatan, rancangan dan operasional lajur bus dan lajur bus terpisah pada median jalan harus menyeimbangkan kebutuhan yang berbeda dari berbagai jenis bus, kendaraan barang, pejalan kaki dan lalu lintas lainnya. Lajur di sisi bahu jalan memungkinkan naik turun penumpang dari bahu jalan, tapi akan banyak mengalami hambatan samping. Lajur pada median memberikan identitas yang lebih baik dan menghilangkan gangguan samping, tetapi berpotensi masalah untuk gerakan belok ke kiri dan untuk akses bagi pejalan kaki. Selain itu, lajur pada median umumnya membutuhkan ROW minimum 25 meter dari sisi bahu ke sisi bahu lainnya.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-36
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Rancang bangun kendaraan, halte dan sistem transaksi harus terkoordinasikan dengan baik. Halte (terminal) harus mudah di akses oleh bus, mobil pribadi, sepeda, dan/atau pejalan kaki. Kapasitas platform yang memadai, lajur menyiap bagi bus ekspres (busway), dan fasilitas kenyamanan untuk penumpang harus disediakan. Armada BRT harus memiliki rancang bangun yang unik dan berbeda dari rancang bus lainnya serta memiliki kapasitas angkut yang cukup, dan memiliki banyak pintu. Ruang sirkulasi didalam bus yang cukup bagi penumpang harus tersedia,proses transaksi sebaiknya di halte, khususnya di halte-halte utama dan untuk mencapai hal ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi ITS dan kartu pintar. Rekayasa lalu lintas terkoordinasi dan rencana layanan angkutan umum sangat penting bagi rancangan sistem BRT. Hal ini sangat krusial terutama untuk merancang lajur khusus, penempatan halte dan lajur berbelok, kendali lalu lintas dan prioritas sinyal lalu lintas untuk BRT. Layanan BRT dapat diperpanjang melampaui batas lajur khusus terpisah, bila kecepatan operasi yang relatif tinggi dapat dipertahankan. Diluar lajur khusus terpisahnya, BRT dapat beroperasi pada lajur kendaraan berpenumpang banyak (HOV) atau lajur bus standar, bahkan pada lalu lintas bercampur. Layanan BRT harus berorientasi pada layanan penumpang, jumlah bus di jam sibuk harus memenuhi besarnya permintaan dan secara bersamaan meminimalkan antrean bus. Secara umum, layanan trunk line dengan frekuensi tinggi dan berhenti setiap halte yang dioperasikan sepanjang hari perlu ditunjang dengan layanan pengumpan atau layanan ekspres bagi segmen penumpang tertentu yang jalur layanannya hanya sampai halte/terminal BRT.
Q. Kendaraan berbahan bakar dan teknologi ramah lingkungan 1.
Bus bermesin Diesel Mesin diesel secara tradisional digunakan untuk angkutan bus karena merupakan teknologi lama yang handal dan kuat serta kian canggih untuk memenuhi standar emisi yang bersih. Mesin diesel dengan teknologi modern menggunakan bahan bakar solar dengan standar Euro IV atau V. Mesin diesel jenis ini menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur rendah yang dianggap sebagai teknologi “bersih”, atau sebanding, jika tidak lebih baik dengan mesin berbahan bakar gas. Kualitas bahan bakar diesel yang diperlukan untuk mencapai Euro IVatau
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-37
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
V dengan mesin diesel bersih kandungan sulfurnya kurang dari 50 ppm. 2.
Bus bertenaga Listrik (Electric Trolley Bus) Electric Trolley Bus merupakan jenis bus yang saat ini kembali dimunculkan ketika suatu kota mulai melakukan investasi yang lebih besar pada infrastruktur angkutan umum dalam kaitannya dengan perubahan iklim global dan meningkatnya harga bahan bakar. Negara China (RRC) saat ini muncul sebagai negara produsen yang memasok teknologi kendaraan listrik yang diakui oleh dunia. Trolley Busmenggunakan teknologi dengan konsep arsitektur perangkat listrik yang sudah teruji dengan baik untuk sistem trem di seluruh dunia selama beberapa dekade. Perangkat kendali modern dan inovatif (seperti untuk mekanisme pengereman regeneratif) dan teknologi listrik yang lebih baik membuat Trolley Busmerupakan kendaraan yang efisien, handal dan tahan lama. Electric Trolley Buses memiliki keuntungan dalam biaya operasional yang lebih rendah namun membutuhkan biaya kapital awal untuk menggelar prasarana dan biaya pemeliharaan infrastruktur listrik yang sangat tinggi. Kekhawatiran mengenai kurangnya fleksibilitas armada menjadi kurang beralasan untuk situasi dan kondisi prasarana koridor BRT yang baik. Manfaat yang nyata dari Trolley Bus adalah biaya penggunaan energi yang ekonomis sepanjang usia layannya. Biaya kapital awal yang lebih tinggi untuk pembelian armada dapat diimbangi oleh usia layan kendaraan yang jauh lebih lama. Jika usia layan bus diesel umumnya sekitar 7-10 tahun, Trolley Bus dapat bertahan hingga 15-20 tahun. Keputusan penggunaan Trolley Bus pada prinsipnya harus mempertimbangkan ketersediaan pasokan listrik yang dapat diandalkan. Trolley Bus memiliki sejumlah keunggulan spesifik yang meliputi: a) Tidak ada polusi dari saluran pembuangan udara dan sangat cocok di kawasan pejalan kaki seperti di pusat kota dan koridor NMT; b) Tidak bersuara dan proses akselerasi yang cepat serta halus sehingga sangat cocok untuk kendaraan angkutan umum;
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-38
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
c) Usia ekonomis layanan lebih lama karena sedikitnya komponen mekanis dan perawatan kendaraan yang relatif mudah; d) Dalam konteks jaringan tertentu biaya penggunaan energi Electric Trolley Busmampu lebih rendah dari CNG dan solar (bersubsidi); Biaya perawatan dapat mencapai 50% dari biaya perawatan bus diesel. 3.
Pengembangkan BRT menuju Standar LRT Electric bi-articulated bus menggunakan penggerak listrik melalui kabel catenary overhead (trolley bus system) dan duo diesel memberikan citra seperti layanan sistem metro (MRT) yang menyaingi LRT,namun dengan kelebihan tambahan berupa fleksibilitas yang memungkinkan beroperasi keluar jalur utamanya untuk jarak yang pendek. CIVIS electric Trolley Busdengan bentuk platform distasiun yang sangat mirip dengan sistem LRT. sementara itu juga terdapat trem dengan roda karet yang mirip dengan kendaraan BRT bertenaga listrik.
Gambar 2. 19. BRT Trolley Bus di Quito Ekuador menunjukkan integrasi ke daerah dalam kota (kiri) Gambar 2. 20. Trolley Bus Beijing (kanan)
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-39
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Gambar 2. 21. articulated bus dengan penggerak listrik menyerupai sistem LRT R. Teknologi Pengurangan Emisi Pada Kendaraan Secara sekilas teknologi penanggulangan emisi dari mesin dapat dikategorikan menjadi dua bagian besar yaitu pengurangan emisi metoda primer dan pengurangan emisi metoda sekunder. Untuk pengurangan emisi metoda primer adalah sebagai berikut: 1) Berdasarkan bahan bakar : (a) Penggunaan bahan bakar yang rendah kadar Nitrogen dan Sulfur termasuk penggunaan non fossil fuel; (b) Penggalangan penggunaan Non Petroleum Liquid Fuels; (c) Penggunaan angka cetan yang tinggi bagi motor diesel dan angka oktan bagi motor bensin; (d) Penggunaan bahan bakar Gas; (e) Penerapan teknologi emulsifikasi (pencampuran bahan bakar dengan air atau lainnya). 2) Berdasarkan perlakuan udara : (a) Penggunaan teknologi Exhaust Gas Recirculation (EGR); (b) Pengaturan temperatur udara yang masuk pada motor; (c) Humidifikasi. 3) Berdasarkan Proses Pembakaran : (a) Modifikasi pada pompa bahan bakar dan sistem injeksi bahan bakar; (b) Pengaturan waktu injeksi bahan bakar; (c) Pengaturan ukuran droplet dari bahan bakar yang diinjeksikan; (d) Injeksi langsung air ke dalam ruang pembakaran;
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-40
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Sementara itu pengurangan emisi metoda sekunder adalah : (a) Penggunaan Selective Catalytic Reduction (SCR); (b) Penerapan teknologi Sea Water Scrubber untuk aplikasi di kapal; (c) Penggunaan katalis magnet yang dipasang pada pipa bahan bakar; (d) Penggunaan katalis pada pipa gas buang kendaraan bermotor. 4) Teknik dalam mengurangi emisi NOx: (a) Penggunaan Bahan Bakar dengan kadar Nitrogen Rendah Penurunan kadar nitrogen dalam bahan bakar akan secara otomatis mengurangi pembentukan emisi NOx. Karena tidak mudah untuk mengurangi begitu saja nilai nitrogen dalam bahan bakar, karenanya alternatif lain adalah penggunaan bahan bakar metanol yang bebas nitrogen. (b) Emulsi Penggunaan air yang dicampurkan dalam bahan bakar saat ini telah banyak dilakukan. Penggunaan bahan bakar campuran ini dapat mengurangi emisi NOx karena terjadinya proses ledakan mikro (micro explosion) dalam proses pembakaran.Ledakan mikro ini terjadi karena perbedaan titik didih antara kedua fluida. (c) Humidifikasi Proses humidifikasi adalah dengan menyemprotkan air ke dalam aliran udara masuk pada motor penggerak. Tujuan dari teknik ini adalah untuk menurunkan suhu udara yang masuk kedalam ruang bakar yang pada akhirnya temperature pembakaran dapat diturunkan. Teknik ini diketahui dapat menurunkan emisi Nox sampai 50%. (d) MillerSystem Teknik ini dilakukan pertama kali oleh pabrik mesin WartsilaNSD Sulzer yaitu pada saat proses langkah hisap waktu terbukanya katup hisap diatur sedemikian mungkin lebih lama agar kompresi rasio dapat diturunkan. Dengan teknik ini akan diperoleh penurunan temperatur udara dan tekanan udara saat proses pembakaran sehingga NOx dapat diturunkan. Penurunan dengan penggunaan sistem ini mencapai 20%. Sistem ini semakin populer diterapkan terutama bagi motor penggerak yang menggunakan turbocharger.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-41
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Sumber: BSTP-c (2010)
Gambar 2. 22. Metode Utama dalam Mengurangi Emisi NOx dari Motor Diesel 5) Mengedalikan Batasan Kandungan Sulphur Dalam Bahan Bakar MARPOL ANNEX VI mengamanatkan batasan kandungan sulphur dalam bahan bakar untuk penggerak di kapal dan industri sebesar 2.5% m/m. Begitu juga EU membatasi batasan sulphur bagi motor diesel di jalan raya sebesar 0.05%m/m (500 ppm). Bahkan di masa mendatang akan lebih diturunkan menjadi 350 ppm atau bahkan 50 ppm. Umumnya kandungan sulphur minyak mentah adalah antara 0.1 sampai 5 %, sehingga untuk menurunkan kandungannya akan tergantung dari sumber dan cara pengolahan minyak mentah itu sendiri. Dalam pemakaian saat ini bahan bakar residu umumnya memiliki kandungan sulphur antara 1.5-2.5% m/m. Kecuali untuk kawasan-kawasan tertentu yang lebih ketat dalam pengawasan pemakaian bahan bakar bagi penggerak utama. (a) De-sulphurisation De-shulpurisation adalah proses pengolahan kembali produk bahan bakar untuk mengurangi kandungan sulphurnya. Walau proses ini membutuhkan biaya yang tinggi namun ada keuntungan yang diperoleh dari proses ini yaitu didapatkannya sulphur untuk membantu proses industri terkait, misal industri detergen, pulp, kulit dan lain sebagainya. Sementara metode sekunder untuk pengurangan Emisi NOx dan SOx ditujukan lebih kepada memberikan efek positip kepada lingkungan secara keseluruhan. Efek positip yang BAB II – Tinjauan Pustaka
II-42
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
diperoleh dari penurunan emisi yang dihasilkan dari metode ini tidak boleh memberikan beban kepada lingkungan lain seperti adanya sampah material dari produksi /proses yang dilakukan. Kontrol emisi dengan menggunakan metode sekunder ini banyak dilakukan pada sektor industri dan juga perkapalan disebabkan oleh semakin ketatnya regulasi lingkungan. Berikut 2 macam metode sekunder yang saat ini banyak diterapkan: (1) Selective Catalytic Reduction (SCR) untuk mengurangi emisi Nox Prinsip utama sistem Selective Catalytic Reduction (SCR) adalah penggunaan urea ((NH2)2CO) atau amoniak (NH3). Bahan ini diinjeksikan ke dalam aliran gas buang, dan NOx akan berubah menjadi N2 dan uap air. Efisiensi dari sistem SCR ini sangatberarti untuk mengurangi emisi Nox yaitu sebesar 90-95% dan menghasilkan nitrogen dan uap air yang tidak berbahaya bagi lingkungan. (2) Seawater Exhaust Gas Scrubber untuk mengurangi emisi SOx. Prinsip utama sistem ini adalah mendinginkan gas buang sampai pada titik embun dari gas buang tersebut dan mengakibatkan terjadinya kondensasi pada SOx. Saat terjadinya pendinginan akibat kontak gas buang dengan air laut, dimana air laut adalah asam natural dengan pH 8.1, terjadi kombinasi kerja yaitu netralisasi dan pengenceran gas buang. Sistem ini awalnya banyak digunakan sebagai sistem untuk desulphurisasi dalam industri, namun saat ini banyak digunakan untuk aplikasi penurunan SOx di kapal. Dalam suatu kasus, emisi SOx menurun dari 497 ppm menjadi 48 ppm dengan pH water scrubber menurun dari 8.01 menjadi 2.95, dari sifat basa menjadi sifat asam.
S. Aplikasi Standar Emisi Eropa Di Beberapa Negara Secara garis besar pengontrolan emisi kendaraan di seluruh dunia mengacu pada standar global yang sama yaitu regulasi teknik dan arahan dari ECE/EC. Saat ini langkah strategis yang perlu dilakukan adalah mempercepat pengetatan aturan berdasarkan road map yang sudah disebarluaskan sejak beberapa tahun lalu. Pada dasarnya setiap negara mempunyai road map yang berbeda-beda dalam hal pembatasan emisi kendaraan. Tetapi semakin tahun perbedaan level emisi yang dijinkan oleh tiap negara menjadi semakin kecil, sehingga regulasi yang
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-43
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
diterapkan mendekati kesamaan dan oleh karena itu dapat menjadi standar yang bias diterapkan di tiap negara. Pengontrolan emisi sendiri dapat dilakukan dengan lebih menyeluruh melalui tes yang lebih banyak (8 macam tes), dimana bahan-bahan polutan dan siklus tes kompleks diuji di berbagai kategori kendaraan dan bahan bakar. Teknologi pengujian emisi harus mempunyai ketepatan yang tinggi dan merupakan sebuah hal yang modern sehingga mampu mengukur polutan-polutan yang ukurannya kecil. Perkembangan teknologi dalam produksi kendaraan dan pengurangan bahan bakar telah berkembang sangat cepat dengan tujuan utama untuk mendapatkan standar emisi yang ketat dalam upaya untuk mengurangi pencemaran udara.
T. Contoh Penerapan Standar Emisi Eropa di Beberapa Negara Asia Penerapan standar emisi Eropa (Euro II dan Euro IV) secara ketat akan memberikan nilai penurunan kadar-kadar emisi berbahaya secara signifikan, seperti diperlihatkan dalam Gambar 2. 23 sampai dengan Gambar 2. 26. Grafik-grafik tersebut merupakan contoh analisis yang dilakukan berkaitan dengan efektivitas biaya di Negara Vietnam berdasarkan 3 skenario penerapan standar emisi eropa, yaitu : 1) Base one : Tanpa kontrol emisi; 2) E2 one : Menerapkan EURO II standard pada 2007; 3) E2E4one : Menerapkan EURO II standard pada 2007 dan kemudian menerapkan EURO IV standard pada 2012.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-44
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
THC Emissions Trends 400,000 350,000 300,000 250,000 BASE 200,000
E2 E2 E4
150,000 100,000 50,000 0 2005
2010
2015
2020
Sumber: BSTP-c (2010)
Gambar 2. 23. Grafik Kadar emisi THC (delta 9 – tetrahidokabinol) sebelum dan setelah penerapan standar Euro II dan Euro IV
CO Emissions Trends
1,800,000 1,600,000 1,400,000 1,200,000 BASE 1,000,000
E2 E2 E4
800,000 600,000 400,000 200,000 0 2005
2010
2015
2020
Sumber: BSTP-c (2010)
Gambar 2. 24. Grafik Kadar emisi CO (carbon monoksida) sebelum dan setelah penerapan standar Euro II dan Euro IV
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-45
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
NOx Emissions Trends 600,000
500,000
400,000 BASE 300,000
E2 E2 E4
200,000
100,000
0 2005
2010
2015
2020
Sumber: BSTP-c (2010)
Gambar 2. 25. Grafik Kadar emisi NOx (nitrogen monoksida) sebelum dan setelah penerapan standar Euro II dan Euro IV
PM Emissions Trends 60,000
50,000
40,000 BASE 30,000
E2 E2 E4
20,000
10,000
0 2005
2010
2015
2020
Sumber: BSTP-c (2010)
Gambar 2. 26. Grafik Kadar emisi PM (Particular Matter) sebelum dan setelah penerapan standar Euro II dan Euro IV
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-46
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Dari grafik-grafik di atas terlihat bahwa untuk kondisi eksisting (base) nilai zat-zat kimia berbahaya dalam emisi kendaraan jumlahnya akan selalu naik secara signifikan apabila tidak dilakukan tindakan pencegahan yang berarti. Sementara itu apabila diterapkan standar Euro II (E2) kecenderungan nilai kadarnya menjadi lebih kecil dibandingkan kondisi base dan kenaikan jumlahnya dapat dihambat. Langkah penanganan yang paling baik adalah dengan menerapkan standar E2 E4 yang menghasilkan nilai kadar emisi paling kecil dan paling dapat menghambat kenaikan jumlah emisi di masa-masa mendatang. Untuk negara-negara lain di Asia sendiri penerapan Euro Emission Standards sudah banyak dilakukan, seperti dapat dilihat pada Tabel 2. 9. Tabel 2. 9. Aplikasi Standar Emisi Eropa di Beberapa Negara Asia Jenis Kendaraan Sepeda Motor
Light Duty Vechicles
Heavy Duty Vechicles
Negara China Thailand Malaysia Indonesia China Thailand Malaysia Singapore Indonesia China Thailand Indonesia
Standar EURO II EURO II EURO I EURO II EURO II (2004), EURO III (2008) EURO III, EURO IV (2009) EURO II EURO II EURO II EURO II EURO II EURO II
Sumber: BSTP-c (2010)
Indonesia telah menetapkan standar emisi gas buang Euro II pada tahun 2003 dan resmi dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2005. Penetapan standar emisi gas buang Euro II ketika itu adalah untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dengan negara ASEAN lainnya yang saat itu, yang sudah menerapkan Euro II (Thailand, Malaysia, dan Singapura). Penerapan Euro III akan memberikan keuntungan bagi semua pihak, baik industri maupun masyarakat konsumen. Bagi industri otomotif penetapan standar ini akan meningkatkan daya saing dengan industri di kawasan ASEAN. Sedangkan bagi konsumen, penerapan Euro III itu akan menghemat penggunaan bahan bakar. Berdasarkan standar Euro III, emisi kendaraan tipe baru untuk karbon monoksida antara lain ditetapkan 4,5 gram, yang diukur saat kendaraan tidak berjalan. Standar ini berdasarkan Keputusan Menteri Negara
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-47
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Lingkungan Hidup No 35 Tahun 1992. Sedangkan pada Euro II, standar yang dikeluarkan Eropa tahun 1996 itu emisi CO dari kendaraan selama beroperasi di jalan maksimum 2,2 gram per kilometer. Standar emisi ini lebih rendah dibandingkan dengan Euro I yang 2,72 g per km. Pada tahun 2007 di Eropa, regulasi Euro III menggantikan Euro II. Dengan regulasi baru ini, standar kebersihan emisi kendaraan lebih diperketat lagi. Sebuah kendaraan hanya boleh menghasilkan 0.3gr/km hidrokarbon (HC), 0,15 gr/km nitrooksida (NOx), dan hanya 2gr/km untuk karbonmonoksida (CO). Angka-angka itu jauh lebih ketat dari Euro II sebelumnya. Bahkan pemerintah Thailand akan memberlakukan standar emisi Euro IV mulai 2012 mendatang sedangkan Eropa akan menerapkan Euro VI pada tahun 2012.Perbandingan tingkat kadar gas buang kendaraan bermotor berdasarkan tiap standar emisi yang diijinkan dapat dilihat pada Gambar 2. 27. 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 CO
HC+NOx
EURO 1
EURO 2
NOx
EURO 3
PM
EURO 4
Sumber: BSTP-c (2010)
Gambar 2. 27. Batasan Emisi Untuk Mobil Penumpang Bermesin Diesel (Tes Tipe 1) dari EURO I sampai EURO IV Sangat jelas terlihat bahwa kadar CO, HC+NOx, NOx, dan PM di udara semakin menurun seiring diperketatnya standar yang digunakan (Euro I – Euro IV) dan akan bertambah ketat lagi pada tahun-tahun mendatang karena kebutuhan akan transportasi yang ramah lingkungan di dunia sudah merupakan hal yang mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.Kadar polutan pada gas buang kendaraan bermotor saat ini sendiri seperti terlihat pada Tabel 2. 10.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-48
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Tabel 2. 10. Kandungan Beberapa Polutan Berdasarkan Jenis Kendaraan
Gasoline Vehicle CO (%) 4.5 4 Strokes 1200 HC (ppm) 2 Strokes 7800 special 3300 Smoke (HSU) Pollutants
Diesel Vehicle 72
Motorcycles 4.5 1200 7800 -
Sumber: BSTP-c (2010)
U. Penerapan Standar EURO Penerapan Standar EURO di beberapa negara di Asia berbeda-beda waktunya. Ada beberapa negara yang sudah menerapkan sama seperti penerapan di negara-negara di Eropa, seperti Singapura, Thailand dan Hongkong. Ada pula negara-negara seperti Indonesia dan Bangladesh yang belum menerapkan secara tegas standar ini. Penerapan standar ini juga sangat disesuaikan dengan penggunaan jenis bahan bakar kendaraan, penentuan teknologi kendaraan dan pengembangan penelitian. Brasil telah menentukan jenis teknologi kendaraan yang perlu disediakan oleh produsen kendaraan. Ini disebabkan Brasil mempunyai bahan bakar kendaraan yang berbeda sehingga produsen harus menyesuaikannya. Penerapan standar ini sangat berhubungan dengan teknologi. Beberapa atau hampir semua teknologi ini berasal dari luar negeri. Tetapi ada beberapa teknologi yang dapat dilaksanakan di suatu negara dan tidak dimiliki negara lain. Tekanan terhadap penggunaan teknologi tertentu dapat terjadi. Oleh karena itu arahan suatu negara harus tegas dalam menentukan arah pengembangan teknologi kendaraannya dan kemandirian energinya.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-49
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Tabel 2. 11. Penerapan Standar EURO pada Negara-negara di Asia
Sumber: BSTP-c (2010)
V. Operasional Sistem 1.
Integrasi Antar Moda Transportasi Massal Integrasi umumnya meliputi 2 aspek, yaitu integrasi secara fisik dan kelembagaan. Integrasi secara fisik mungkin secara teori dapat dilaksanakan tetapi apabila secara kenyataan tidak terjadi ini diakibatkan oleh belum terjadinya integrasi kelembagaan. Gambar 2. 28.menunjukkan prinsip dari integrasi antar moda angkutan umum.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-50
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Sumber: BSTP-c (2010)
Gambar 2. 28. Konsep Integrasi Moda Model integrasi moda secara fisik dimana simpul-simpul stasiun berfungsi selain sebagai naik turun penumpang juga berfungsi sebagai titik transfer dimana moda angkutan umum yang satu beralih menggunakan moda angkutan umum yang lain. Paratransit berfungsi sebagai pengumpan yang berhubungan dengan sistem utama (Trunk) baik itu KA maupun Busway/BusLane. Pada Gambar 2. 30ditunjukan konsep integrasi secara sistem dengan menggunakan teknologi informasi. Sistem informasi ini merupakan sistem yang digunakan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dari sistem ini. Selain itu sistem informasi juga digunakan untuk mempermudah sistem integrasi antar moda angkutan umum.
Sumber: BSTP-c (2010)
Gambar 2. 29. Integrasi Antar Moda Angkutan Umum Secara Fisik
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-51
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Sumber: BSTP-c (2010)
Gambar 2. 30. Integrasi Moda Angkutan Umum Menggunakan Sistem Informasi W. Kebijakan Pendukung Dalam kaitannya untuk memenuhi konsep angkutan massal berbasis jalan ramah lingkungan dan hemat yang lebih maksimal, maka perlu didukung dengan kebijakan lainnya. Kebijakan ini adalah kebijakan yang membuat pengguna angkutan umum nyaman dan efisien dalam bergerak dari wilayah permukiman ke halte, dari halte ke wilayah CBD, ruang tunggu yang nyaman serta integrasi antar moda yang baik. Dalam pelayanannya angkutan umum mempunyai kelemahan dibandingkan angkutan pribadi yaitu pelayanannya tidak door to door. Terdapat pergerakkan pra dan pasca moda pada implementasi angkutan umum. Dalam penerapan angkutan umum pergerakan pra dan pasca moda ini sangat efisien dilakukan dengan berjalan kaki dan sepeda. Keberpihakan terhadap angkutan umum ini tentunya juga harus dilanjutkan terhadap keberpihakan terhadap pejalan kaki dan pengguna sepeda. Penyiapan jaringan angkutan umum juga harus disertai penyiapan jalur pejalan kaki/pedestrian dengan jalur jalan kaki dan jalur sepeda yang menghubungkan simpul-simpul angkutan umum terhadap wilayah perkantoran, perbelanjaan dan permukiman. Selain itu juga pengembangan ulang kawasan perkotaan terutama sepanjang koridor angkutan massal seperti penerapan Konsep TOD merupakan untuk mengintegrasikan pengembangan wilayah dengan sistem angkutan umum atau transit system. Dilain pihak upaya pengaturan permintaan dan lalu lintas pada sistem moda lainnya akan memberikan kontribusi
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-52
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
yang signifikan terhadap penggunaan energi.
perbaikan
kualitas
lingkungan
dan
X. Pengaturan ulang Struktur Tata Ruang dan Penerapan TOD Dalam skala penataan ruang, revitalisasi dan re-development wilayah kota sangat diperlukan untuk membantu pengembangan wilayah. Kawasan CBD itu merupakan kawasan yang bernilai tinggi sehingga tidak ekonomis apabila diperuntukan sebagai permukiman. Untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, fungsi guna lahan di kawasan CBD harus ditambah menjadi permukiman padat secara vertikal. Kondisi ini merupakan suatu kompromi antara tingginya harga lahan di kawasan CBD dengan kebutuhan permukiman untuk mengurangi pergerakan dan kendaraan bermotor. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi strategi A.S.I adalah dengan menerapkan konsep TOD (Transit Oriented Development) dimana kawasan,terutama disekitar halte/setasiun angkutan massal yang asalnya memiliki satu jenis aktivitas lahan dirubah menjadi mixused untuk mengurangi pergerakan dan kendaraan bermotor. TOD dapat diartikan sebagai kawasan dengan peruntukan campuran yang dapat diakses oleh pejalan kaki dalam radius ±600 meter dari titik transit (halte/setasiun) angkutan massal dan pusat kegiatan komersial. Jenis fungsi campuran dalam konsep TOD adalah retail, perkantoran, ruang terbuka dan fasilitas publik yang bertujuan untuk memberikan kenyamanan bagi penghuni dan pekerja dalam mengakses dengan menggunakan moda transit, sepeda, mobil, maupun berjalan kaki. Kawasan TOD dapat dibedakan atas dua bagian utama, yaitu TOD kawasan perkotaan (Urban TOD) dan TOD lingkungan (Neighborhood TOD) yang dapat dijabarkan sebagai berikut: 1) Urban TOD (a) Merupakan TOD dengan skala pelayanan kota berada pada jalur sirkulasi utama kota seperti halte bus (BRT) dan stasiun kereta api baik LRT maupun MRT. Urban TOD harus dikembangkan bersama fungsi komersial yang memiliki intensitas tinggi, blok perkantoran, dan hunian dengan kepadatan menengah-tinggi. (b) Setiap Urban TOD memiliki karakter tersendiri sesuai dengan karakter lingkungannya. Pola pengembangan urban TOD ini cocok untuk kawasan perkantoran, hunian, komersial yang memiliki kepadatan tinggi karena memungkinkan akses langsung ke titik transit tanpa harus melakukan pergantian moda lain.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-53
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
2) Neigborhood TOD Merupakan TOD dengan skala pelayanan lingkungan yang berada pada jalur bus pengumpan dengan jarak ± 10 menit berjalan dari titiktransit. Neighborhood TOD harus berada pada lingkungan hunian dengan kepadatan menengah, fasilitas umum, servis, retail, dan rekreasi. Pada neighborhood TOD, hunian dan pertokoan lokal harus disesuaikan dengan konteks lingkungan dan tingkat layanan angkutan umum. Konsep ini juga dapat membantu pengembangan hunian bagi masyarakat menengah kebawah, karena dimungkinkan adanya percampuran variasi hunian. Neighborhood TOD dirancang dengan fasilitas publik dan ruang terbuka hijau serta memberi kemudahan akses bagi pengguna dalam memilih moda pergerakan.
Sumber: BSTP-c (2010)
Gambar 2. 31. Prinsip Urban TOD
Sumber: BSTP-c (2010)
Gambar 2. 32. Prinsip Neighborhood TOD
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-54
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Sumber: BSTP-c (2010)
Gambar 2. 33. Penerapan TOD Kedua jenis TOD diatas dapat berada pada satu jalur pelayanan angkutan massal yang sama. Di wilayah pinggiran kota dapat dikembangkan Neigborhood TODsedangkan di kawasan CBD dapat dikembangkan Urban TOD. Dari beberapa literatur disebutkan bahwa cakupan wilayah Neighborhood TOD agak lebih pendek dibandingkan dengan Urban TOD. Ini disebabkan intensitas wilayah di Neighborhood TOD tidak memungkinkan dibangun cukup tinggi. Jarak antara wilayah permukiman dengan Neighborhood TOD juga hanya sekitar 10-15 menit. Oleh karena itu perlu adanya pengembangan beberapa simpul TOD di wilayah pinggiran kota yang mengarah ke kawasan CBD. Satu simpul melayani pergerakan utama atau primer (Trunk line) dan simpul yang lain melayani pergerakan sekunder. Pada dasarnya seluruh wilayah pinggiran kota harus mempunyai akses ke layanan angkutan massal. Sedangkan simpul-simpulnya dapat dikembangkan menjadi kawasan TOD dimana terdapat beberapa fungsi mulai dari sekedar naik turun penumpang sampai menjadi wilayah komersial baik itu perkantoran maupun perdagangan. Selain itu simpul TOD di wilayah pinggiran kota harus dilayani oleh jaringan angkutan pengumpan. Jaringan ini harus dapat mencapai permukiman-permukiman penduduk. Pada halte-halte angkutan massal, ruang tunggu dan tempat duduk yang nyaman perlu disediakan. Selain itu TOD juga perlu dibuat senyaman dan seinformatif mungkin sehingga dapat diakses melalui internet dari asal pergerakan menggunakan fasilitas internet atau teknologi informasi.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-55
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Y. Manajemen Lalu lintas 1) Biaya Kemacetan (Congestion Charge) Congestion Charge idealnya diterapkan bersamaan dengan penerapan sistem angkutan massal. Inti dari penerapan kebijakan ini adalah untuk memaksa penggunaan angkutan massal melalui pendekatan disinsentif dan insentif. Untuk keperluan tertentu atau mendesak, penggunaan kendaraan pribadi diperbolehkan tetapi dengan “charge” atau beban tambahan. Untuk keperluan “business as usual” seperti keperluan bekerja, “commuting”, sekolah dan sebagainya, dipaksakan untuk menggunakan angkutan umum atau NMT. Pelaksanaan sistem ini pertama kali dilakukan di singapura pada tahun 1975. sistem ini di singapura dinamakan Area Licensing Scheme (ALS). sistem ini merupakan model congestion charge yang pertama. Kendaraan harus mempunyai “second license” untuk masuk ke kawasan CBD. apabila kendaraan tersebut tidak mempunyai lisensi maka akan mendapat denda. sistem ini tidak memerlukan teknologi yang tinggi tetapi efektif diterapkan di singapura dengan penegakan hukum yang ketat. Pada tahun 1998 singapura meningkatkan sistem tersebut ke arah Electronic Road Pricing (ERP). Pada kendaraan yang terdaftar dipasang suatu alat untuk transaksi pembayaran ketika memasuki masuk ke kawasan CBD dengan ERP. Sebelum penerapan ALS, komposisi pengguna angkutan massal hanyalah 33%. Setelah penerapannya penggunaan angkutan massal meningkat menjadi 46%. Setelah pengoperasian MRT di tahun 1988, pengguna angkutan massal meningkat menjadi 60-65% hingga saat ini. Beberapa kota di Norwegia juga menerapkan hal yang sama dengan sistem yang agak berbeda. Wilayah CBD diterapkan suatu mekanisme tol. Gerbang tol ini menambah waktu tundaan (kemacetan) dengan kendaraan pribadi sehingga mengakibatkan pengguna moda tersebut berpindah ke angkutan umum sebesar 69%. Sistem ini juga berhasil menurunkan jumlah pergerakan kendaraan pribadi sebesar 3-5%. London juga menerapkan hal yang sama pada tahun 2006. Kamerakamera lalu lintas yang berada di persimpangan atau lampu lalu lintas digunakan untuk merekam kendaraan pribadi yang melintas “cordon toll” yang disiapkan di sekitar CBD. Kamera-kamera tersebut akan dihubungkan ke sistem pembayaran dan yang akan dikirimkan ke seluruh pemilik kendaraan yang melintasi CBD. Apabila setelah malam hari biaya tersebut belum dibayarkan maka akan dikenakan denda 10 kali lipat. Penerapan sistem ini menurunkan penggunaan kendaraan pribadi sebesar 30%,
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-56
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
penambahan penggunaan taksi sebesar 20%, pergerakan sepeda meningkat 2 kali lipat dan pengguna bus meningkat 15%. Kebijakan ini berperan dalam mengurangi emisis CO2 tetapi tidak mengurangi emisi PM10. Bus dan taksi berkontribusi dalam emisi PM10 karena menggunakan mesin diesel. Kecepatan bus juga meningkat sebesar 20% setelah penerapan sistem ini. 2) Kebijakan Parkir Penerapan kebijakan parkir untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi meskipun minor juga perlu dipertimbangkan. Kemudahan dalam berparkir akan menambah pergerakan kendaraan pribadi sehingga akan menambah pergerakan serta gas buangan CO2. Di Amerika Serikat kebijakan off street parking sangat dibatasi untuk mengurangi penggunaan kendaraan dan pengurangan emisi CO2. Untuk mengurangi penggunaan kendaraan selain penyediaan prasarana/pelayanan angkutan massal juga perlu dibatasinya parkir offstreet. Parkir ini mempunyai kapasitas yang besar sehingga memanjakan pengguna untuk menggunakan kendaraan pribadi. Eropa telah mempunyai kebijakan parkir maksimum untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. 3) Manajemen Lalu lintas lainnya Bentuk manajemen lalu lintas lainnya dapat menjadi pilihan tambahan dalam mengurangi pergerakan. Beberapa kota di dunia seperti di Mexico City, Bogota dan Sao Paolo, Shenzen, Beijing dan beberapa kota lainnya di China menerapkan kebijakan plat nomor kendaraan berdasarkan angka terakhir. Plat nomor dengan digit angka terakhir tertentu di hari tertentu tidak dapat masuk ke kawasan CBD. Di Amerika Serikat mekanisme pembatasan lalu lintas terutama di sistem jalan bebas hambatannya dilakukan dengan konsep kendaraan berpenumpang banyak (seperti konsep 3 in 1 di Jakarta) yaitu jalur High Occupancy Vehicle (HOV) atau High Occupancy Toll (HOT). Untuk konsep HOT kendaraan berokupansi tinggi tidak dikenai tarif sedangkan kendaraan berokupansi rendah dikenai tarif bila menggunakan lajur jalan HOV/HOT. Untuk kasus Amerika, konsep ini cukup berhasil dan bahkan pada beberapa koridor tertentu ditingkatkan menjadi koridor BRT. Z. Fasilitas Park and Ride Tujuan dari Park and Ride adalah untuk meningkatkan keterjangkauan angkutan umum dari wilayah-wilayah yang tidak memiliki pelayanan angkutan umum yang cukup atau tidak memiliki demand yang tinggi untuk mendukung pelayanan angkutan umum. Menyediakan fasilitas
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-57
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Park and Ride diharapkan dapat mengurangi penggunaan kendaraan bermotor di wilayah kota dari daerah-daerah yang sulit angkutan umum dengan memarkirkan mobil dan sepeda motornya untuk kemudian menggunakan angkutan umum untuk melakukan perjalanan terutama komuter. Untuk meningkatkan efektivitas fungsinya, park and rideharus memberikan kenyamanan dan sebagai bagian terpadu dari sistem transportasi. Fasilitas Park and Ride membutuhkan rancangan dan kelengkapan fitur-fitur sebagai berikut: 1) Fasilitas keamanan yang membuat pengguna kendaraan bermotor dapat meninggalkan kendaraanya dengan tenang di kawasan tersebut; 2) Aksesibilitas yang baik dan aman ke terminal dan stasiun; 3) Pencahayaan yang cukup untuk menciptakan lingkungan yang aman pada penggunaan malam hari dan mengurangi potensi kejahatan ; 4) Variabel sarana informasi yang dapat menunjukkan jadwal kedatangan kereta/bus berikutnya; 5) Nomor kontak darurat untuk masalah keselamatan atau hal-hal yang memerlukan penanganan mekanik (seperti ban kempes); 6) Fasilitas toilet yang bersih; 7) Branding informasi pada penumpang yang menjelaskan keterhubungan fasilitas parkir dengan sistem transportasi ; 8) Tarif parkir (jika diterapkan) terintegrasi dengan harga tiket angkutan angkutan umum dan lebih murah bagi pengguna angkutan umum; 9) Pada kawasan sibuk, papan informasi yang menunjukkan ketersediaan ruang parkir (lahan kosong) untuk mengurangi waktu yang terbuang karena mencari lahan parkir. Fasilitas park and ride dapat bervariasi tergantung pada lokasi aktual dan karakteristik pengguna kendaraan pribadi. Ukuran lahan parkir harus mengacu pada kebutuhan dan keterbatasan pada lahan. Gambar 2. 35 adalah contoh fasilitas park and ride di Fairfax county (kawasan suburb Washington D.C., USA).
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-58
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Sumber: JICA (2012)
Gambar 2. 34. Desain Konseptual untuk Fasilitas Park & Ride
Sumber: JICA (2012)
Gambar 2. 35.Contoh Fasilitas Park & Ride di Washington Metropolitan Area, USA Park and ridetidak dapat berdiri sendiri, namun harus merupakan bagian dari strategi TDM (Transport Demand Management), yang merupakan tambahan upaya koordinasi mengatasi masalah lalu lintas, kebijakan parkir di kawasan CBD, dan ketersediaan angkutan umum berikut kualitasnya. Tingkat demand untuk park and ride akan tergantung pada karakteristik wilayahnya, sehingga proporsi lahan untuk mobil dan sepeda motor harus seimbang dan sesuai dengan kebutuhan pada kawasan tertentu sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-59
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
AA. Inventarisasi Peraturan TerkaitAngkutan Umum Jalan Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta mempengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat. Pentingnya transportasi tersebut tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan akan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang dari satu titik ke titik yang lainnya. Menyadari peranan transportasi, maka lalu lintas dan angkutan jalan harus ditata dalam satu sistem transportasi nasional dan regional secara terpadu dan mampu mewujudkan tersedianya jasa transportasi yang serasi dengan tingkat kebutuhan lalu lintas dan pelayanan angkutan yang tertib, selamat, aman, nyaman, cepat, tepat, teratur, lancar, dan dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Pengembangan lalu lintas dan angkutan jalan yang ditata dalam satu kesatuan sistem, perlu dilakukan dengan mengintegrasikan dan mendinamisasikan unsur-unsurnya yang terdiri dari jaringan transportasi jalan, kendaraan beserta pengemudinya, peraturan perundang-undangan, prosedur dan metoda sedemikian rupa, sehingga terwujud suatu totalitas yang utuh, berdayaguna dan berhasilguna. Mengingat penting dan strategisnya peranan lalulintas dan angkutan jalan yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka lalu lintas dan angkutan jalan dikuasai oleh Negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. Beberapa regulasi yang berkaitan dengan Angkutan Umum Jalan di Indonesia ditunjukan dalam Tabel 2. 12. Tabel 2. 12. Inventarisai perturan terkait Mengenai Angkutan Umum Jalan NO.
REGULASI
PERIHAL
1
UU No. 26 tahun 2007
2
PP No. 26 tahun 2008
3
UU No. 17 Tahun 2003
4
UU RI No. 25 th 1999
5 6
UU RI No. 8 th 1999 UU No. 19 Tahun 2003
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Keuangan Negara Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Perlindungan Konsumen Badan Usaha Milik Negara
7
UU RI No. 32 th 2004
Pemerintah Daerah
8
PP No. 25 tahun 2000
9
Perpres 54 Tahun 2008
BAB II – Tinjauan Pustaka
Penataan Ruang
KETERANGAN Revisi UU No 24 Tahun 1992 Pengganti PP No 47 tahun 1997
Pengganti UU RI No. 22 th 1999
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur
II-60
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi NO.
REGULASI
10
UU No 22 Th 2009
11 12 13 14 15 16 17
UU No 38 Tahun 2004 PP 15 thn 2005 PP 26 Th 1985 PP 41 thn 1993 PP 43 thn 1993 PP 44 thn 1993 PP No 66 th 2001
18
Perpres 61 Tahun 2011
19
PP 32 thn 2011
20
PP 55 thn 2012
1.
PERIHAL Lalulintas dan Angkutan Jalan Jalan Jalan Toll Jalan Angkutan Jalan Prasarana Lalulintas Jalan Kendaraan & Pengemudi Retribusi daerah Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, Serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas Kendaraan
KETERANGAN Revisi UU No. 14 Th 1992
Landasan Hukum Pengembangan Angkutan Umum Jalan
Potensi Pengaturan Angkutan Umum Pengaturan Angkutan Umum dapat ditelaah melalui peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai bidang: 1. Lalu lintas dan angkutan jalan (UU 22 Tahun 2009, PP 43 Tahun 1993); 2. Penataan Ruang (UU 26 Tahun 2007, PP 26 Tahun 2008); 3. Jalan (UU 38 Tahun 2004, PP 15 Tahun 2005); 4. Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, bidang pajak dan retribisi daerah (UU 29 Tahun 2007, PP 6 Tahun 2001); 5. Badan layanan umum (UU 1 Tahun 2004, UU 15 Tahun 2004 dan PP 23 Gambar 2. 36. Peraturan Pengaturan Angkutan Umum Tahun 2005).
Payung hukum yang akan memberikan warna secara dominan dalam konteks substansi pokok dari pekerjaan Studi Pengembangan Angkutan Massal Hemat Energi dan Ramah Lingkungan ini adalah UU No. 22 Tahun 2009 (tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) dan aturan terkait serta turunannya baik yang lama maupun yang baru. Namun, karena konteks rencana jaringan (trayek) angkutan umum jalan akan menggunakan spasial tertentu dan moda yang beragam, maka beberapa peraturan perundangan lainnya seperti yang tercantum dalam Tabel 2. 12 merupakan pertimbangan utama sebagai dasar hukumnya. Dalam konteks sistem angkutan umum baik untuk aspek teknis prasarana dan sarana maupun aspek operasionalnya, maka beberapa peraturan perundangan yang
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-61
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
terkait dengan kewenangan penyelenggaraan, penggunaan keuangan merupakan basis hukum yang harus diikuti. Sebagaimana tersurat dalam UU yang baru ini, peraturan pelaksananya (sebagai landasan operasional) masih tetap menggunakan Peraturan Pemerintah terkait yang ada sampai dengan adanya peraturan pemerintah pengganti. Dalam kegiatan penyusunan Studi Pengembangan Angkutan Massal Hemat Energi dan Ramah Lingkungan ada beberapa komponen dasar yang terkait langsung dengan aturan yang ada dalam UU No Tahun 22 Tahun 2009 ini yaitu mengenai; jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, terminal, jaringan trayek, manajemen lalu lintas dan pengusahaan/pengelolaan angkutan umum penumpang. Dengan diundangkannya UU No 22 Tahun 2009 maka pengaturan mengenai Prasarana dan Lalu Lintas Jalan masih mengacu ke PP No 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan sebagai pelaksanaan dari UU No. 14 Tahun 1992. Peraturan Pemerintah ini ditetapkan Pada tanggal 14 Juli 1993 dengan pertimbangan lalu lintas dan angkutan jalan memiliki peranan strategis, sehingga penyelenggaraannya dikuasai oleh Negara, dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien, mampu memadukan transportasi lainnya, untuk menunjang pemarataan pembangunan nasional dan daerah dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. 2.
Jaringan Lalu lintas dan Angkutan Jalan Sesuai dengan UU No. 22 Tahun 2009Pasal 14 ayat 1 dan 2, untuk mewujudkan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu dilakukan pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan semua wilayah di daratan. Pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berpedoman pada Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kebutuhan yang mengacu kepada Rencana Induk Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota.
3.
Terminal Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 Pasal 34, terminal penumpang menurut pelayanannya dikelompokkan dalam tipe A, tipe B, dan tipe C dan setiap tipe dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan yang dilayani. Pada UU No. 22 Tahun 2009 Pasal 36 dijelaskan bahwa Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-62
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek. Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan Terminal yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sedangkan penetapan lokasi Terminal seperti dijelaskan dalam UU No. 22 Tahun 2009Pasal 37 dilakukan dengan memperhatikan: a) tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan; b) kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; c) kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan lintas; d) kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan; e) keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain; f) permintaan angkutan; g) kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi; h) Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau i) kelestarian lingkungan hidup. 4.
Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Berkaitan dengan konteks penyusunan Studi Pengembangan Angkutan Massal Hemat Energi dan Ramah Lingkungandimana terdapat komponen manajemen dan rekayasa lalu lintas sebagai salah satu bagian dari solusi (jangka pendek) masalah transportasi perkotaan termasuk didalamnya berupa upaya pemberian prioritas bagi pergerakkan pengguna angkutan umum, maka sesuai dengan UU No 22 Tahun 2009Pasal 93 ayat 1 disebutkan: Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas dalam rangka menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Beberapa langkah penerapan MRLL sebagaimana termaktub dalam UU No 22 Tahun 2009Pasal 93 ayat 2 dilakukan dengan: a) penetapan prioritas angkutan massal melalui penyediaan lajur atau jalur atau jalan khusus;
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-63
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
b) pemberian prioritas keselamatan dan kenyamanan Pejalan Kaki; c) pemberian kemudahan bagi penyandang cacat; d) pemisahan atau pemilahan pergerakan arus Lalu Lintas berdasarkan peruntukan lahan, mobilitas, dan aksesibilitas; e) pemaduan berbagai moda angkutan; f) pengendalian Lalu Lintas pada persimpangan; g) pengendalian Lalu Lintas pada ruas Jalan; dan/atau h) perlindungan terhadap lingkungan. 5.
Manajemen Permintaan Karena permasalahan transportasi di kawasan perkotaan bisa menjadi sangat kompleks, maka penyelesaian melalui pengaturan aspek permintaan/kebutuhan perjalanan menjadi pertimbangan penting khususnya bagi kota-kota yang masuk kategori kota Raya. Sesuai amanah dalam UU No 22 Tahun 2009 Pasal 133 ayat 1 maka untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan Ruang Lalu Lintas dan mengendalikan pergerakan Lalu Lintas, diselenggarakan manajemen kebutuhan Lalu Lintas berdasarkan kriteria: a) Perbandingan volume Lalu Lintas Kendaraan Bermotor dengan kapasitas Jalan; b) Ketersediaan jaringan dan pelayanan angkutan umum; dan c) Kualitas lingkungan. Manajemen kebutuhan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara: a) Pembatasan Lalu Lintas Kendaraan perseorangan pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu; b) Pembatasan Lalu Lintas Kendaraan barang pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu; c) Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu; d) Pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan klasifikasi fungsi Jalan; e) Pembatasan ruang Parkir pada kawasan tertentu dengan batasan ruang Parkir maksimal; dan/atau f) Pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Tidak Bermotor Umum pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan Jalan tertentu.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-64
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
6.
Jaringan Angkutan Umum Penumpang Tema utama dalam kegiatan ini adalah konsep pedoman Pengembangan Angkutan Massal Hemat Energi dan Ramah Lingkungan sehingga maka dalam penyusunannya harus mengacu kepada UU No 22 Tahun 2009Pasal 144 dimana jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum disusun berdasarkan: a) Tata ruang wilayah; b) Tingkat permintaan jasa angkutan; c) Kemampuan penyediaan jasa angkutan; d) Ketersediaan jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; e) Kesesuaian dengan kelas jalan; f) Keterpaduan intramoda angkutan; dan g) Keterpaduan antarmoda angkutan. Sedangkan dalam amanah UU No 22 Tahun 2009Pasal 145 Jaringan trayek dan kebutuhan Kendaraan Bermotor Umum sebagaimana dimaksud dalam UU No 22 Tahun 2009 Pasal 144 disusun dalam bentuk rencana umum jaringan trayek. Penyusunan rencana umum jaringan trayek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi dengan instansi terkait. Rencana umum jaringan trayek terdiri atas: a) Jaringan trayek lintas batas negara; b) Jaringan trayek antarkota antarprovinsi; c) Jaringan trayek antarkota dalam provinsi; d) Jaringan trayek perkotaan; dan e) Jaringan trayek perdesaan. Pada UU No 22 Tahun 2009Pasal 146 Jaringan trayek perkotaan sebagaimana dimaksud dalam UU No 22 Tahun 2009 Pasal 145 ayat (3) huruf d disusun berdasarkan kawasan perkotaan. Kawasan perkotaan untuk pelayanan angkutan sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh: a) Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah provinsi; b) Gubernur untuk kawasan perkotaan yang melampaui batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; atau c) Bupati/walikota untuk kawasan perkotaan yang berada dalam wilayah kabupaten/kota.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-65
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
7.
Angkutan Massal Sebagai salah satu pembentuk jaringan angkutan umum (trayek) di wilayah Jabodetabek adalah angkutan massal berbasiskan jalan maka acuan penyediaan sistem ini seperti diatur dalam Pasal 158 Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis Jalan untuk memenuhi kebutuhan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum di kawasan perkotaan yang didukung dengan: a) Mobil bus yang berkapasitas angkut massal; b) Lajur khusus; c) Trayek angkutan umum lain yang tidak berimpitan dengan trayek angkutan massal; dan d) Angkutan pengumpan. Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan massal sesuai amanah Pasal 159 diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
8.
Pengelolaan Angkutan Umum Penumpang Agar sistem angkutan umum dapat berjalan dengan baik, aspek pengelolaan perlu direncanakan dengan seksama dan baik. Maka dari itu acuan untuk pengelolaan angkutan umum penumpang sesuai amanah Pasal 173 ayat 1 Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memiliki: a) Izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek; b) Izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek; dan/atau c) Izin penyelenggaraan angkutan barang khusus atau alat berat. Aspek pemberian izin penyelenggaraan angkutan juga dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 174 yaitu: a) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) berupa dokumen kontrak dan/atau kartu elektronik yang terdiri atas surat keputusan, surat pernyataan, dan kartu pengawasan. b) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui seleksi atau pelelangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. c) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa izin pada 1 (satu) trayek atau pada beberapa trayek dalam satu kawasan.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-66
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Dalam pengoperasian angkutan umum maka izin penyelenggaraan angkutan umum berlaku untuk jangka waktu tertentu dan perpanjangan izin harus melalui proses seleksi atau pelelangan sesusai amanah Pasal 175 UU No. 22 Tahun 2009. Selain itu dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 176 mengeni izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) diberikan oleh: a) Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani: (1) Trayek lintas batas negara sesuai dengan perjanjian antarnegara; (2) Trayek antarkabupaten/kota yang melampaui wilayah 1 (satu) provinsi; (3) Trayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah 1 (satu) provinsi; dan (4) Trayek perdesaan yang melewati wilayah 1 (satu) provinsi. b) Gubernur untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani: (1) Trayek antarkota yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi; (2) Trayek angkutan perkotaan yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan (3) Trayek perdesaan yang melampaui wilayah 1 (satu) kabupaten dalam satu provinsi. c) Bupati untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani: (1) Trayek perdesaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten; dan (2) Trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kabupaten. Walikota untuk penyelenggaraan angkutan orang yang melayani trayek perkotaan yang berada dalam 1 (satu) wilayah kota. Pemegang izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek sesuai amanah Pasal 177 wajib: a) Melaksanakan ketentuan yang ditetapkan dalam izin yang diberikan; dan b) Mengoperasikan Kendaraan Bermotor Umum sesuai dengan standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1).
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-67
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai amanah Pasal 178. 9.
Peraturan yang mengatur tentang Jalan Undang-Undang Jalan No. 38 Tahun 2004 dibuat dengan justifikasi bahwa jalan sebagai salah satu prasarana transportasi merupakan unsur penting dalam pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara serta dalam memajukan kesejahteraan umum. UU jalan No. 38 Tahun 2004 terdiri dari 10 bab dengan 68 pasal yang memuat dan menjelaskan tentang terminologi, definisi dan pengaturan tentang jalan. Secara umum UndangUndang ini mencakup 6 (enam) pokok pembahasan utama yaitu: a) Terminologi (sistem jaringan dan klasifikasi jalan) peran, pengelompokan, dan bagian-bagian jalan; b) Jalan umum (penguasaan pengaturan wewenang pembinaan pembangunan pengawasan); c) Jalan Tol (syarat wewenang pengaturan pembinaan pengusahaan pengawasan), d) Pengadaan Tanah (untuk jalan dan jalan tol); e) Peran Masyarakat; dan f) Ketentuan pidana dan pengalihan. Jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung ekonomi, sosial budaya, lingkungan, politik, serta pertahanan dan keamanan. Pembangunan jalan dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat atas angkutan barang dan jasa (orang) yang aman, nyaman, dan berdaya guna benar-benar akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Semua pusat kegiatan beserta wilayah pengaruhnya membentuk satuan wilayah pengembangan. Pusat pengembangan dimaksud dihubungkan dalam satu hubungan hierarkis dalam bentuk jaringan jalan yang menunjukkan struktur tertentu. Dengan struktur tersebut, bagian jaringan jalan akan memegang peranan masing-masing sesuai dengan hierarkinya. Kedudukan jaringan jalan sebagai bagian sistem transportasi menghubungkan dan mengikat semua pusat kegiatan, sehingga pengembangan jaringan jalan tidak dapat dipisahkan dari upaya pengembangan berbagai moda transportasi secara terpadu. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara mempunyai kewenangan menyelenggarakan jalan. Penyelenggara Jalan, sebagai salah satu bagian penyelenggaraan prasarana transportasi, melibatkan unsur masyarakat dan
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-68
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
pemerintah. Agar diperoleh suatu hasil penanganan jalan yang memberikan pelayanan yang optimal, diperlukan penyelenggaraan jalan secara terpadu dan bersinergi antarsektor, antardaerah dan juga antarpemerintah serta masyarakat termasuk dunia usaha. Dari ketentuan mengenai jalan sebagaimana diuraikan di atas, jelas mengamanatkan bahwa penggunaan jalan harus efektif, efisien, dan tepat guna bagi kelancaran roda ekonomi masyarakat dan memfasilitasi interaksi sosial. Dengan demikian, jika penerapan prioritas angkutan umum (bus priority) dimaksudkan agar jalan itu lebih dapat meningkatkan nilai dan rasionalitas kemanfaatannya, maka ini merupakan upaya pemenuhan perintah dari Undang-Undang yang mengatur mengenai jalan. 10. Peraturan yang mengatur tentang Jalan Tol Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol yang diundangkan pada tanggal 21 Maret 2005 merupakan penjelasan lebih lanjut dari Undang-Undang Jalan No. 38 Tahun 2004 dengan penjelasan yang mencakup 7(tujuh) pokok bahasan utama sebagai berikut; a) Penyelenggaraan Jalan Tol, yang meliputi maksud, tujuan, lingkup, wewenang, persyaratan, dan standar pelayanan minimum dari penyelenggaraan jalan tol. b) Pengaturan Jalan Tol, yang membahas tentang perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum, dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang terkait. c) Pembinaan Jalan Tol, yang mengatur tentang pedoman, standar teknis, pelayanan, pemberdayaan dari jalan tol, serta penelitian dan pengembangannya. d) Pengusahaan Jalan Tol, meliputi peraturan tentang bentuk pengusahaan dari jalan tol yang didalamnya tercakup aturan pengusahaan pendanaan, persiapan pengusahaan, perencanaan teknis, pengadaan tanah, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, pengguna jalan tol, pengumpulan retribusi jalan tol, penggunaan jalan tol, penutupan sementara serta pengambilalihan dan pengoperasian setelah konsesi, usaha-usaha lain pada jalan tol, pemeliharaan, pelelangan pengusahaan jalan tol, perjanjian-perjanjian, serta tarif jalan tol dan penyesuaiannya. e) Pengawasan Jalan Tol, meliputi pengawasan jalan tol, umum, dan pengusahaan. f) Badan Pengatur Jalan Tol, merupakan bagian khusus yang menjelaskan keseluruhan BPJT yaitu status dan kedudukan;
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-69
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
fungsi, tugas, dan wewenang; serta peraturan penyusunan organisasi dari BPJT. g) Hak dan Kewajiban Pengguna dan Badan Usaha Jalan Tol , yang memuat peraturan tentang hak dan kewajiban dari pengguna dan pengelola. 11. Peraturan yang Pengemudi
mengatur
tentang
Kendaraan
dan
Terdapat dua peraturan pemerintah yang menjelaskan mengenai Kendaraan dan Pengemudi, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi, serta Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012. Adapun beberapa poin penting yang ada didalam peraturan tersebut tentang kendaraan adalah sebagai berikut: (a) Persyaratan teknis dan laik jalan kendaran bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan, yang memuat hal-hal yaitu mengenai jenis dan konstruksi kendaraan bermotor, rangka landasan, motor penggerak, sistem pembuangan, penerus daya, sistem roda, sistem suspensi, alat penemudi, sistem rem, lampu dan alat-alat pemantul cahaya, komponen pendukung; (b) Badan kendaraan bermotor yaitu semua bagian yang ada pada kendaraan bermotor seperti tempat duduk pengemudi dan penumpang, kaca kendaraan. Selain itu juga dijelaskan beberapa hal mengenai peralatan dan perlengkapan kendaraan, persyaratan tambahan khusus untuk mobil bus, persyaratan khusus untuk mobil bus sekolah, persyaratan tambahan khusus mobil barang, persyaratan tambahan khusus untuk rangkaian kendaraan, kereta gandengan dan kereta tempelan, ukuran muatan dan kendaraan bermotor, rancang bangun dan rekayasa; (c) Persyaratan laik jalan kendaraan bermotor yaitu menjelaskan mengenai ambang batas laik jalan, pengesahan dan sertifikat tipe; (d) Pengujian kendaraan bermotor menjelaskan mengenai jenis pengujian, persyaratan umum pengujian, uji tipe, uji berkala; (e) Pendaftaran kendaraan bermotor; (f) Bengkel umum kendaraan bermotor; (g) Persyaratan kendaraan tidak bermotor. Sedangkan hal-hal penting menyangkut pengemudi adalah sebagai berikut: (a) Surat Izin Mengemudi yaitu menjelaskan mengenai penggolongan surat izin mengemudi, persyaratan dan tata cara memperoleh Surat Izin Mengemudi, ujian bagi
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-70
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
pemohon Surat Izin Mengemudi, perpankjangan, penggantian dan mutasi Surat Izin Mengemudi, Penolakan dan Pencabutan Surat Izin Mengemudi, Surat Izin Mengemudi Internasional, pendidikan dan pelatihan mengemudi, sistem informasi Surat izin Mengemudi; (b) Waktu kerja dan istirahat serta penggantian pengemudi; (c) Ketentuan lain-lain. 12. Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan Bali Action Planpada The Conferences of Parties (COP) ke-13 United NationsFrameworks Convention on Climate Change (UNFCCC) dan hasilCOP-15 di Copenhagen dan COP-16 di Cancun serta memenuhi komitmen Pemerintah Indonesia dalam pertemuan G20 di Pittsburguntuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% denganusaha sendiri dan mencapai 41% jika mendapat bantuaninternasional pada tahun 2020 dari kondisi tanpa adanya rencanaaksi (bussines as usual/BAU), maka disusun langkahlangkahuntuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca. Peraturan yang mengatur mengenai Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011. Adapun beberapa poin penting mengenai Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca yang tertuang dalam bidang transportasi diantaranya adalah sebagai berikut: (a) Monitoring pasokan gas bumi untukkonsumen hulu, dan penyiapanrekomendasi alokasi gas bumi (b) Pemantauan implementasi kebijakan pengurangan volume pembakaran gas flare (c) Penyediaan dan pengelolaan energybaru terbarukan dan konservasienergi (d) Penyediaan regulasi panas bumi danair tanah (e) Penyusunan klasifikasi data potensidan cadangan panas bumi untukketenagalistrikan dan pemanfaatanlangsung energi panas bumi (f) Penggunaan Bahan Bakar Nabati(BBN) dalam pemakaian bahan bakartotal (g) Pengujian seluruh kendaraanbermotor termasuk kendaraan pribadidan sepeda motor (h) Penerapan standar emisi CO2 untukmobil penumpang (i) Pengembangan sistem logistik modern untuk mengurangi angka km perjalanan (j) Penerapan Car Labeling (Terlaksananya pemberian label kepada semuakendaraan baru menurut konsumsi bahan bakar(per 100km) dan emisi CO2 (dalam g/km)
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-71
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
(k) Pembatasan kecepatan pada jalan tol (Terlaksananya pembatasan kecepatan pada seluruhjalan tol untuk menurunkan emisi sebesar 0,07 JutaTon CO2e). Pada Tabel berikut dibawah ini adalah merupakan lampiran mengenai kegiatan inti rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca di bidang transportasi.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-72
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Tabel 2. 13. Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca di Bidang Transportasi BIDANG TRANSPORTASI Target Penurunan Emisi (26%) : 0,038 (Giga Ton) CO2e Target Penurunan Emisi (41%) : 0,056 (Giga Ton) CO2e Kebijakan yang dilaksanakan untuk menunjang RAN-GRK : 1. Peningkatan penghematan energi 2. Penggunaan bahan bakar yang lebih bersih (fuel switching). 3. Peningkatan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT). 4. Pemanfaatan teknologi bersih baik untuk pembangkit listrik, dan sarana transportasi. 5. 5. Pengembangan transportasi massal nasional yang rendah emisi, berkelanjutan, dan ramah lingkungan. Strategi : 1. Menghemat penggunaan energi final baik melalui penggunaan teknologi yang lebih bersih dan efisien maupun pengurangan konsumsi energi tak terbarukan (fosil). 2. Mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan skala kecil dan menengah. 3. (Avoid) - mengurangi kebutuhan akan perjalanan terutama daerah perkotaan (trip demand management) melalui penata-gunaan lahan mengurangi perjalanan dan jarak perjalanan yang tidak perlu. 4. (Shift) - menggeser pola penggunaan kendaraan pribadi (sarana transportasi dengan konsumsi energi yang tinggi) ke pola transportasi rendah karbon seperti sarana transportasi tidak bermotor, transportasi publik, transportasi air. 5. (Improve) - meningkatkan efisiensi energi dan pengurangan pengeluaran karbon pada kendaraan bermotor pada sarana transportasi.
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-73
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
Tabel 2. 14. Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca di Bidang Transportasi (Lanjutan….) NO
RENCANA AKSI
1
Pembangunan ITS (Inteligent Transport System)
2
Penerapan Pengendalian Dampak Lalu-Lintas (Traffic Impact Control/TIC)
3
Penerapan manajemen parkir
4
Penerapan Congestion Charging dan Road Pricing (dikombinasikan dengan angkutan umum massal
KEGIATAN/SASARAN
PERIODE
LOKASI
Pembangunan ITS sebanyak 13 paket untuk: Mengurangi tingkat kemacetan lalulintas dengan koordinasi simpang Meningkatkan koordinasi antar simpang Memberikan sistem prioritas bus dipersimpangan Moda shift dari kendaraan pribadi ketransportasi missal Penerapan Pengendalian Dampak LaluLintas sebanyak 12 paket
2010-2020
Jabodetabek: Jakarta, Bogor,Depok, Tangerang, Bekasi 12 kota : Medan, Padang,Pekanbaru, Palembang,Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya,Denpasar, Makassar,Balikpapan, dan Banjarmasin
2010-2020
Penerapan manajemen parkir di 12 kota untuk: Mengurangi moda share di pusat kota Mengurangi penggunaan kendaraanpribadi Penerapan Congestion Charging dan Road Pricing di 2 kota untuk: Mengurangi moda share mobil di pusatkota Mengurangi kemacetan di areapembatasan lalu lintas
2010-2020
12 kota : Medan, Padang,Pekanbaru, Palembang,Bandung, Semarang,Yogyakarta, Surabaya,Denpasar, Makassar,Balikpapan, dan Banjarmasin 12 kota : Medan, Padang,Pekanbaru, Palembang,Bandung, Semarang,Yogyakarta, Surabaya,Denpasar, Makassar,Balikpapan, dan Banjarmasin 2 kota: Jakarta dan Surabaya
BAB II – Tinjauan Pustaka
2010-2020
INDIKASI PENURUNAN EMISI GRK (Juta Ton CO2e) 1,77 terdiri atas: Jabodetabek: 0,71 1,06 terdiri atas: - Kota Metropolitan (KM): 0,79 - Kota Besar (KB): 0,27
PENANGGUNG JAWAB
0,24
Kementerian Perhubungan
1,07
Kementerian Perhubungan
0,41
Kementerian Perhubungan
Kementerian Perhubungan
Kementerian Keuangan
II-74
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi NO
5
RENCANA AKSI
cepat) Reformasi Sistem transit Bus Rapid Transit (BRT)/ semiBRT
KEGIATAN/SASARAN
PERIODE
LOKASI
Terlaksananya pengadaan dan distribusi BRT sebanyak 43 bus/tahun di 12 kota
2010-2020
12 kota : Medan, Padang,Pekanbaru, Palembang,Bandung, Semarang,Yogyakarta, Surabaya,Denpasar, Makassar,Balikpapan, dan Banjarmasin 12 kota : Medan, Padang,Pekanbaru, Palembang,Bandung, Semarang,Yogyakarta, Surabaya,Denpasar, Makassar,Balikpapan, dan Banjarmasin 9 kota: Medan, Palembang,Jabodetabek, Cilegon, Cirebon,Surabaya, Denpasar, Balikpapan, dan Sengkang
6
Peremajaan armada angkutan umum
Terlaksananya peremajaan armada angkutanumum sesuai desain standar yang rendah emisi sebanyak 6.000 unit
2010-2020
7
Pemasangan Converter Kit (gasifikasi angkutan umum)
2010-2020
8
Pelatihan dan sosialisasi smartdriving (ecodriving)
Terpasangnya converter kit pada taksi danangkutan kota yang menggunakan bensinuntuk menurunkan emisi CO2 hingga 25%sebanyak 1.000 unit per tahun Terlaksananya pelatihan dan sosialisasi smart driving untuk 50.000 orang/tahun
9
Membangun Non Motorized Transport (Pedestrian dan jalur sepeda)
Terbangunnya Non Motorized Transport di12 kota
2010-2020
10
Pengembangan KA perkotaan Bandung
Mengembangkan KA Perkotaan Bandungsepanjang 42 km (jalur ganda danelektrifikasi)
2010-2020
BAB II – Tinjauan Pustaka
2010-2020
12 kota : Medan, Padang,Pekanbaru, Palembang,Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya,Denpasar, Makassar,Balikpapan, dan Banjarmasin 12 kota : Medan, Padang,Pekanbaru, Palembang,Bandung, Semarang,Yogyakarta, Surabaya,Denpasar, Makassar,Balikpapan, dan Banjarmasin Provinsi Jawa Barat: Padalarang– Bandung – Cicalengka
II-75
INDIKASI PENURUNAN EMISI GRK (Juta Ton CO2e) 0,69 terdiri atas: KM = 0,51 KB = 0,18
PENANGGUNG JAWAB
Kementerian Perhubungan
0,36
Kementerian Perhubungan
0,04
Kementerian Perhubungan
0,002
Kementerian Perhubungan
0,21
Kementerian Perhubungan
4,56
Kementerian Perhubungan
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi NO
11
12
13
14
15
16
RENCANA AKSI
KEGIATAN/SASARAN
PERIODE
Membangun double-double track sepanjang35 km
2010-2014
Provinsi DKI Jakarta: Manggarai – Cikarang
Pengadaan KRL baru sejumlah: 1.024 unit untuk melayani Jabodetabeksepanjang 890 km; 640 unit untuk melayani Jawa Timursepanjang 410 km; dan 256 unit untuk melayani Jawa Baratsepanjang 150 km
2010-2030
3 provinsi: DKI Jakarta, JawaBarat, dan Jawa Timur
Modifikasi Kereta Rel Diesel (KRD) menjadi Kereta Rel Diesel Elektrik (KRDE) Pembangunan Mass RapidTransitsport ( MRT) JakartaNorthSouth Tahap I danTahap II Pembangunan jalur Kereta Api (KA) Bandara Soekarno Hatta
Terlaksananya modifikasi 25 unit KRDmenjadi KRDE dengan prediksi pengurangankonsumsi BBM sebesar 198 liter per km
2010-2011
Provinsi DKI Jakarta
Terbangunnya MRT Tahap I sepanjang 15,1km dan Tahap II sepanjang 8,2 km
2010-2020
Terbangunnya jalur KA Bandara SoekarnoHatta sepanjang 33 km
2010-2020
Pembangunan monorailJakarta
Terlaksananya pembangunan monorailJakarta sepanjang 12,2 km untuk Blue Linedan 14,8 km untuk
2010-2020
Pembangunan double-double track (termasuk elektrifikasi) Pengadaan Kereta Rel Listrik (KRL) baru
BAB II – Tinjauan Pustaka
LOKASI
INDIKASI PENURUNAN EMISI GRK (Juta Ton CO2e) 21,21
PENANGGUNG JAWAB Kementerian Perhubungan
Penurunan emisi sebesar: Jabodetabek =0,002/tahun Jawa Timur =0,001/tahun Jawa Barat =0,0005/tahun 0,00005
Kementerian Perhubungan
Provinsi DKI Jakarta: Lebak Bulus-Bundaran HI(tahap I) Bundaran HI-KampungBandan (tahap II)
2,77/tahun
Kementerian Perhubungan Pemprov DKI Jakarta
2 provinsi: DKI Jakarta danBanten, terdiri atas: Express line: Manggarai,Bandara Soekarno Hatta viaPluit Commuter line: viaTangerang line dari StasiunTanah Tinggi Provinsi DKI Jakarta
0,19/tahun
Kementerian Perhubungan
0,52/tahun
Kementerian Perhubungan Pemprov DKI
II-76
Kementerian BUMN
Kementerian Perhubungan
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi NO
RENCANA AKSI
17
Pembangunan/pening katan dan preservasi jalan
KEGIATAN/SASARAN
Green Line Peningkatan kapasitas jalan nasionalsepanjang 19.370 km dan penerapanperservasi jalan nasional sepanjang 168.999km
BAB II – Tinjauan Pustaka
PERIODE
2010-2014
LOKASI
Seluruh provinsi
II-77
INDIKASI PENURUNAN EMISI GRK (Juta Ton CO2e) 1,10
PENANGGUNG JAWAB Jakarta Kementerian Pekerjaan Umum
Studi Pengembangan Angkutan Massal Berbasis Jalan yang Ramah Lingkungan Dan Hemat Energi
BAB II – Tinjauan Pustaka
II-78