17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perspektif Ekonomi Politik Pendidikan Pada Pembangunan Jangka Panjang II ( PJP II ), peningkatan kualitas SDM mendapatkan perhatian yang sangat besar ( Djojonegoro, dengan itu, dalam GBHN 1993 telah digariskan seperti
1998 : 11 ). Seiring dibawah ini :
“Titik berat Pembangunan Jangka Panjang Kedua diletakkan pada bidang ekonomi, yang merupakan penggerak utama pembangunan, seiring dengan kualitas sumber daya manusia; dan didorong saling memperkuat, saling terkait dan terpadu dengan pembangunan bidang-bidang lainnya yang dilaksanakan seirama, selaras, dan serasi dengan keberhasilan pembangunan bidang ekonomi dalam rangka mancapai tujuan dan sasaran pembangunan nasional” . Dalam mensukseskan pembangunan nasional yang bersifat berkesinambungan ( suistainnable ), dan untuk mencapai masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka kiranya perlu mengkaji dan melihat pendidikan dari perspektif ekonomi politik. Ekonomi dan Pendidikan merupakan dua komponen yang saling memberikan pengaruh timbal balik. Pendidikan menurut, ( Kartono, 1992 : 309 ), merupakan
komponen
ekonomi yang penting, karena dapat memproduksi tenaga
kerja terampil yang dapat memasuki pasaran kerja, disamping membentuk manusiamanusia ekonomis untuk pembangunan masyarakat demi kelestarian hidup bangsa. Laju pertumbuhan
ekonomi ternyata baru dapat memberikan keuntungan minimal
kepada strata sosial paling miskin, baik yang ada di daerah pedesaan maupun di daerah-daerah kumuh dipinggiran kota. Keuntungan di sektor industri, pertambangan, perkebunan belum didistribusikan secara merata sampai kelapisan bawah. Sebagai akibatnya, strata sosial marginal dan paling miskin ( kurang mampu ) tadi juga mendapatkan porsi pendidikan formal ( sekolah ) paling sedikit atau minimal.
18 Sektor primer modern belum mampu menampung serta memanfaatkan sumber-sumber daya manusia desa, merupakan bagian terbesar penduduk di Indonesia. Padahal pengelolaan tenaga manusia melalui pendidikan ( edukasi ) sehingga menjadi produktif merupakan tujuan ekonomis dan tujuan sosial dengan laju pertumbuhan dari domistik bruto diatas rata-rata ( M.I. Tuqan, 1979 : 64 ). Kemudian ( Baswir, 1999 : 23 ) menambahkan, struktur perekonomian Indonesia masih ditandai dengan terjadinya dualisme ekonomi, yaitu ekonomi modern yang berorientasi kepada pengakumulasian kapital, dan perekonomian yang masih tradisional bersifat sub sistem. Tenaga kerja Indonesia sekitar 70 % tamatan Sekolah Dasar, dan hanya 3 % yang memperoleh kesempatan pemerataan pendidikan tinggi. Oleh sebab itu perlu langkah-langkah sebagai berikut : 1. Strategi pembangunan nasional harus dapat berorientasi kepada pengembangan sektor pertanian tradisional untuk digeser menjadi pertanian modern mengarah pada agro – business dan
agro - industri
dengan difokuskan kepada usaha
memberantas kemiskinan, juga peningkatan penghasilan untuk bisa hidup layak. 2. Mengaplikasikan kebijakan pendidikan tinggi yang bertolak dari realitas nyata, yaitu upaya peningkatan ekonomi mayoritas masyarakat pada umumnya, dari keterbelakangan untuk dikembangkan kepada produktivitas, efektivitas, serta memobilitas ekonominya. 3. Khususnya bagi suatu daerah di pedesaan atau periferi, kedua macam usaha tersebut harus memperoleh dukungan dari kebijakan pendidikan dan aktivitas pendidikan yang ber orientasi kepada kemiskinan atau ketidak mampuan, jadi harus ada “a poverty oriented policy”, sebab disini terdapat keterbelakangan diberbagai sektor kehidupan dalam masyarakat. Maka wajar jika pendidikan ingin memberikan kontribusi positif kepada pengembangan negara dan bangsa
19 pendidikan harus dapat mengadaptasi diri pada kebutuhan masyarakat dimana mayoritas rakyat Indonesia dalam kondisi ekonomi yang masih sangat lemah, dan pada kondisi wilayah tanah air yang pasca-agraris. Dari keadaan dan situasi perekonomian sebagaimana saat ini, kiranya perlu untuk mengiplementasikan suatu kebijakan pendidikan ber akses pada kemiskinan dan keterbelakangan yang terdiri dari : a. Pendidikan untuk masyarakat kurang mampu, yang jumlahnya masih cukup besar dapat menjadi lebih ekonomis, sebab dapat digunakan untuk membangun angkatan kerja terdidik atau terlatih secara teknis ; b. Menjadi kebutuhan sosial untuk merangsang dinamika yang sesuai dengan sila “Kemanusian
serta pengembangan,
yang adil dan beradab”, juga asas
demokrasi Pancasila. Selanjutnya, pembangunan dan modernisasi di suatu negara hanya bisa dilakukan melalui perbaikan dan perluasan bidang pendidikan dengan tujuan untuk
membangkitkan
manusianya serta
serta
kemampuan
mengembangkan ekonominya,
individualitas–sosialitas-moralitas
( Kartono, 1997 : 98 ). Sebab itu
pendidikan menjadi kebutuhan mutlak suatu negara yang berkeinginan berupaya untuk maju, dan berkemauan besar mencapai kemakmuran masyarakatnya. Agar tercapai tujuan hidup yang lebih baik, maka faktor politis, ekonomis, sosial, kultural dan keamanan sangat
diperlukan oleh para tenaga terdidik.
Pada beberapa argumentasi tersebut, maka pendidikan dalam perspektif ekonomi, kiranya dapat dijelaskan dengan mengutip pendapat dari ( Kartono, 1997 : l0l ) antara lain : 1. mampu menyiapkan tenaga kerja yang handal, baik ( bermutu ) ; 2. ikut mempersiapkan dibukanya lahan-lahan kerja baru ;
20 3. bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat pada umumnya, serta untuk pemerataan keadilan dan kesejahteraan pada khususnya. Sedangkan pada perspektif politik, pendidikan merupakan proses sosial dan proses sosialisasi manusia. Proses sosial menjadi dimensi utama dari filsafat pendidikan. Maka dalam relasi sosial yang berbeda dalam wadah suatu negara, yang
bergantung pada renggang-dekatnya relasi sosial antara individu dengan
individu lain menyebabkan munculnya praktek pendidikan yang berbeda. Di negara demokrasi, orang menghargai
perbedaan, karena itu sistem pendidikan
biasanya disusun atas dasar dari pendapat orang banyak. Tetapi pendidikan terasa dipaksakan bila mana dilaksanakan di negara totaliter. Negara membatasi kebebasan individu, dengan cara memberikan pendidikan dengan pola yang uniform, ketat dan keras. Sistem pendidikannya hanya satu, berdasarkan satu macam filsafat pendidikan. Guru-guru, termasuk juga Dosen sikapnya otokratis dan mutlak, bila berkuasa atau memerintah ( mengajar ) memakai tangan besi. Karena para guru dengan ketat akan melakukan dan meneruskan semua perintah dari kekuasaan politik ( pendidikan ) yang juga otoriter sifatnya. Bagi negara totaliter, edukasi dipandang sebagai kekuatan
( force ), minimal paling tidak dijadikan kekuatan
politik. Sebab itu pendidikan harus menjadi tanggung jawab negara, dan negara secara mutlak ( absolut ) mengatur pendidikan dengan cermat. Pada kesempatan ini sengaja diketengahkan sebatas pada sistem pendidikan di negara dengan sistem politik demokrasi dan totaliter, dianggap kedua sistem politik inilah paling ekstrim yang mewakili, sebenarnya masih banyak model pendidikan di negara-negara yang berpaham politik, misalnya bagaimana pendidikan itu dilakukan di negara komunis, otokratis, oligarkis, aristokratis, sampai kepada sitem
politik negara militerisme. Hanya saja karena bahasan dalam kajian ini
21 mengevaluasi kebijakan pendidikan, maka kedua sistem politik dalam melihat bagaimana pendidikan itu dilakukan, dinilai dan dapat dianggap telah mewakili. Benang merah mungkin dapat terakumulasi dari pendidikan dalam perspektif politik, pendidikan itu sejatinya menghargai martabat dan pandangan hidup anak didik, untuk itu pendidikan diadaptasikan terhadap pandangan hidup dan kebutuhan anak didik serta masyarakatnya. Jika tidak, pendidikan tak ubahnya dengan bentuk invasi kultural atau proses dehumanisasi, yang memaksa anak-didik dan masyarakat menjadi pasif menerima bentuk pendidikan pengajaran yang ditekankan dari luar. Dengan begitu pendidikan selalu bergandengan tangan dengan emansipasi politik. Jadi. ada pedagogi politik dan pedagogi emansipatoris, yang membentuk anak didik menjadi warga negara yang bertanggung jawab secara moral dan susila. Untuk
itu
sebagai
perwujudan
bagaimana
bentuk
manifestasi politik dalam
wacana pendidikan, Indonesia misalnya, pola dan sitem politik pendidikannya telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 1. mencerdaskan
1989,
yaitu :
kehidupan bangsa serta mengembangkan
manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang selalu beriman, bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan berbudi
pekerti luhur ;
2. dengan memiliki pengetahuan,
ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani ;
3. berkepribadian mantap, mandiri, serta memiliki rasa tanggung jawab kepadda kemasyarakatan dan kebangsaan di alam demokrasi ; Adapun secara marginal dan komprehensif, perspektif politik pendidikan itu diantaranya : a. memaksimalisasi terhadap daya kritis, idealisme serta kreativitas anak didik dan rakyat ; b. mempertebal rasa mudah percaya ;
22 c. memupuk kenaifan, kepasifan, kebodohan, dan keterbelakangan ; d. mendorong pada sikap pasrah “nrima ing pandum” ( berjiwa besar ) ; e. mengarahkan anak didik ke proses alienasi ; f. membuat anak didik menjadi makhluk berguna bagi masyarakat banyak. Akan tetapi bukan berarti bahwa dunia pendidikan itu selalu berprospektif, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia, banyak hambatan terhadap pelaksanaan pendidikan di negara berkembang, paling tidak kendala dan kesulitan sering muncul dalam rangka sosialisasi kebijakan pendidikan, ( Rondenelli, dkk., 1990; 13 ) menguraikan
:
1. Complexitas of reform
proposal, kompleksitas dari suatu ruang pembaharuan
bahwa perencanaan program pada umumnya sangat kompleks, terutama luasnya tujuan dan sasaran yang hendak ingin dicapai, tetapi hanya didukung oleh sumber daya yang sangat terbatas. 2. Unpredictability of Education Reforms, dapat diartikan sebagai kurang serta terbatasnya daya prediksi dalam pembaharuan pendidikan, hasil dari suatu reformasi pendidikan ternyata sangat sulit untuk diprediksi, khususnya dalam berbagai faktor yang berpengaruh terhadap prestasi / kemampuan siswa seperti kualitas pengembangan pra sekolah ( pre school ), kondisi kesehatan dan gizi anak pada masa usia pertumbuhan , dukungan orang tua terhadap sekolah anak kualitas lembaga sekolah khususnya dalam kebutuhan fisik, kemampuan guru, materi pengajaran, pengorganisasian kelas serta struktur manajemen sekolah. 3. In appropriate Management Strategies ( kurang tepatnya strategi manajemen ) Karena begitu kompleksnya permasalahan dan aktivitas yang dikelola dalam suatu proyek, selain itu ada masalah internal lembaga pendidikan untuk dapat bagaimana mengelola dukungan dari pada masyarakat, lembaga birokrasi atau
23 agen- agen
pembaharuan
lainnya.
4. Failure Focus on School Level
Changes ( kesulitan / kegagalan
dalam
mengelolah sistem persekolahan ), seperti : pengembangan kemampuan guru, pengembangan sistem
informasi, memperoleh dukungan orang tua terhadap
tujuan, serta program-program sekolah dan sebagainya. 2.2. Evaluasi Kebijakan Publik 2.2.1. Konsep
Evaluasi
Kebijakan
Publik
Dalam Studi Analisis Kebijakan Publik, maka salah satu cabang bidang kajiannya adalah Evaluasi Kebijakan. Mengapa Evaluasi Kebijakan dilakukan, karena pada dasarnya setiap kebijakan negara ( public policy ) mengandung resiko untuk mengalami kegagalan. ( Abdul Wahab, 1990 : 47-48 ), mengutip pendapat Hogwood dan Gunn ( 1986 ), selanjutnya menjelaskan bahwa penyebab dari
kegagalan suatu kebijakan ( policy failure )
dapat dibagi menjadi 2
katagori, yaitu : ( 1 ) karena “non implementation” ( tidak terimplementasi ), dan ( 2 ) Tidak
karena
“unsuccessful”
( implementasi
yang tidak berhasil ).
terimplementasikannya suatu kebijakan itu berarti bahwa kebijakan itu
tidak dilaksanakan sesuai dengan di rencanakan. Sedangkan implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi bila suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sudah sesuai rencana, dengan mengingat kondisi eksternal ternyata sangat tidak menguntungkan, maka kebijakan pendidkan tersebut tidak dapat berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang telah dikehendaki. Biasanya kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal disebabkan oleh faktor-faktor diantaranya : pelaksanaannya jelak ( bad execution ), kebijakannya sendiri itu
memang
jelek
( bad policy ) atau
bernasib kurang baik ( bad luck ).
kebijakan
Adapun telaah
itu
mengenai
sendiri
yang
dampak atau
24 evalausi kebijakan adalah, dimaksudkan untuk mengkaji akibat-akibat dari suatu kebijakan atau dengan kata lain untuk mencari jawaban apa yang terjadi sebagai akibat dari pada “implementasi Menurut ( Santoso, 1988; 8 ),
kebijakan”
sementara
itu
( Abdul
Wahab, 1997 : 62 ).
( Lineberry 1977; 104 ),
analisis
dampak kebijakan dimaksudkan untuk mengkaji akibat-akibat pelaksanaan suatu kebijakan dan membahas “hubungan antara cara -cara yang digunakan dan hasil yang hendak akan dicapai”. Sinyal tersebut lebih diperjelas
oleh ( Cook dan Scioli 1975 : 95 ), dari
salah satu buku yang ditulis oleh ( Dolbeare, 1975 : 95 ) dijelaskan bahwa : “policy while, the
impact analysis
at the
same time,
consequences
study
of what Dengan
of
shifting
public
policy
policy.
an extension of this research area attention toward
the measurment of
In other words, as opposed
to the
causes”.
demikian, secara singkat analisis dampak
bawahi” pada masalah causes
entails
what
policy causes
policy. Konsep evaluasi
kebijakan “menggaris
sebagai lawan dari kajian what
dampak yang mempunyai arti
konsep kebijakan yang telah disebutkan diatas,
yaitu
sama dengan
: Seperti pada
apa
yang pernah didefinisikan oleh ( Dye, 1981 : 366 –367 ) : “Policy vealuation is learning about
the consequences of public policy”.
Adapun definisi yang lebih kompleks adalah sebagai berikut : “Policy
evaluation
national program effectiveness of
is
the
assesment of the overall effectiveness of a
in meeting its objectives, or assesment of the relative two or more
( Wholey, 1970, dalam
programs in meeting common objectives”
Dye, 1981 ).
25 Evaluasi
Kebijakan adalah merupakan suatu aktivitas untuk melakukan
penilaian terhadap akibat-akibat atau dampak kebijakan dari berbagai programprogram pemerintah. Pada studi evaluasi kebijakan telah dibedakan antara “polic y impact / outcome dan policy output. “Policy Impact / outcome ” adalah akibat
dan konsekuensi-konsekuensi
yang ditimbulkan dengan
akibat-
dilaksanakannya
suatu kebijakan. Adapun yang dimaksud dengan “Policy output” ialah dari apaapa yang pemerintah
telah dihasilkan dengan adanya program proses perumusan kebijakan ( Islamy, 1986 : 114-115). Dari pengertian
tersebut
maka dampak
mengacu pada adanya perubahan-perubahan terjadi yang di akibatkan oleh suatu implementasi kebijakan. Dampak kebijakan disini tidak lain adalah seluruh dari dampak pada kondisi “dunia -nyata” ( the impact of a policy is all its effect on real – world conditions ), untuk itu masih menurut ( Dye, 1981: 367 )
yang termasuk dampak kebijakan
adalah : 1. The impact on the target situations or group. 2. The impact on situations or groups other than the target ( “ spoilover effect” ). 3. Its impact on future as well as immediate conditions. 4 . Its direct cost, in term of resources devote to the program. 5. Its indirect cost, including loss of opportunities to do other things. Pada penelitian ini dampak kebijakan lebih diarahkan pada kelompok sasaran kebijakan dalam masyarakat, khususnya masyarakat yang dikatagorikan sebagai masyarakat tidak mampu, berpendapatan rendah atau masyarakat miskin. Oleh karena itu untuk menjelaskan dampak kebijakan PT tersebut penelitian ini akan dilihat dari perspektif pemberdayaan masyarakat miskin dalam memperoleh akses pemerataan pendidikan tinggi. Dilengkapi juga data-data penghasilan dari masyarakat berpenghasilan rendah.
26 Sedangkan konsep yang relevan untuk mendekati pemberdayaan masyarakat, utamanya kelompok masyarakat kurang mampu agar mempunyai akses dalam memperoleh kesempatan pemerataan pendidikan tinggi. Pada umumnya dapat dilihat dari 2 ( dua ) perspektif, yaitu : ( 1 ) perspektif yang memfokuskan perhatiannya pada alokasi sumberdaya ( resources allocation ), dan ( 2 ) perspektif yang memfokuskan perhatiannya kepada penampilan
kelembagaan
( institutional performance ) dari ( Rein, 1976 : 210-248 dan Usman, 1993 : 7 ). Perspektif pertama, ketidak berdayaan sekelompok masyarakat miskin tersebut dianggap sebagai akibat dari ( atau sekurang-kurangnya berkaitan dengan ) syndrom kemiskinan yang melekat pada kelompok itu sendiri. Fokus perhatian dalam perspektif ini, yaitu pada alokasi sumber daya manusia. Perspektif ini beranjak dari asumsi bahwa kondisi buruk suatu daerah, pemukiman, perumahan, sanitasi lingkungan, nutrisi, rendahnya penghasilan. Sedangkan rendahnya penghasilan itu sendiri tidak hanya sekedar sebagai atribut dari kemiskinan, melainkan juga sebagai variabel
determinan
bagi aksesibiltas
masyarakat dalam
memperoleh
kesempatan pemerataan pendidikan. Perspektif yang kedua, ketidak berdayaan itu dianggap sebagai konsekuensi dari bentuk sistem penerimaan yang diskriminatif ( makin menguntungkan bagi sekelompok masyarakat kaya dan merugikan untuk kelompok masyarakat miskin ). Rendahnya akses bagi sekelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah pada kebijakan penerimaan mahasiswa baru di PT lebih dikarenakan sebagai konsekuensi ( Usman, 1993 : 10 ). Penelitian ini berangkat dari konsep perspektif kedua, yaitu penampilan kelembagaan merupakan variabel determinan untuk menjelaskan akses dalam masyarakat
terhadap
kesempatan
memperloleh
pemerataan pendidikan tinggi.
27 Berdasarkan
konsep evaluasi dampak kebijakan yang telah dijelaskan pada bab
terdahulu, maka dalam penelitian ini konsep evaluasi dampak dapat dijelaskan seperti pada skema ( Gambar 1 ) dibawah
ini :
Gambar 1 Skema Evaluasi Dampak Lembaga Perguruan Tinggi
Kebijakan / Program
( institutional performance )
Kebijakan Biaya di Unibraw,
Masuk
UMN dan
UMM
Hasil ( output )
Tujuan
( goal )
Pelayanan
Pendidikan
a. Penyelenggaraan Pendidikan ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah b. Semua warga negara berhak memperoleh pendidikan yang secara
menyeluruh
dan
terjangkau c. PT harus dapat diakses oleh masyarakat banyak
Dampak
( out comes )
“ Masyarakat memperoleh akses dalam memperloleh kesempatan pemerataan pendidikan tinggi “
28
Dari skema diatas, nampak sekali bahwa kebijakan pemerintah ( PT ) tentang penetapan tarif / biaya masuk PT pada program reguler, diploma dan ekstensi
dimaksudkan agar pemerintah
dalam hal ini PT dapat memberikan
keringanan biaya masuk untuk masyarakat sesuai dengan ke tiga tujuan diatas. Kebijakan-kebijakan tersebut membawa dampak terhadap masyarakat, yaitu berupa adanya kesempatan, kemudahan dan kemampuan ( aksesibilitas ) masyarakat dalam memperoleh kesempatan pemerataan pendidikan tinggi. Dengan berlandaskan dan berangkat dari konsep yang ada maka dalam penelitian ini studi evaluasi dampak dapat dikatagorikan sebagai evaluasi yang bersifat substantif ( substantive evaluation ) tersebut dapat berjalan seperti dan dampak dari
yaitu,
apakah kebijakan-kebijakan
yang direncanakan, sesuai spesifikasi tujuannya
kebijakan tersebut terhadap permasalahan yang hendak akan
dicapai atau dituju ( Jones, 1984 : 36l ). 2.2.2.
Model Evaluasi Kebijakan Publik Dari Thomas K Cook dan
Analysis in
Frank P. Scioli, Jr dalam
Public Policy Research
studi Impact
(1975 : 98 ), setelah dimodifikasi,
skema
dari model evaluasi dampak kiranya dapat diilustrasikan sebagaimana terdapat dalam
( Gambar 2 ). Sedangkan ( House, 1978 : 45 ) dalam
beberapa
Model
Evaluasi
1. The Adversary Model,
Kebijakan Publik
para
William yang
Dunn, mengemukakan terdiri dari :
evaluator dikelompokkan
pertama bertugas menyajikan hasil
menjadi dua, yang
evaluasi program yang
dampak kebijakan yang efektif dan baik,
tim
kedua
positip, hasil berperan
untuk
29 menemukan hasil evaluasi program negatif, tidak efektif, gagal dan tidak tepat sasaran. adanya
Kedua
kelompok ini
netralitas serta obyektivitas
dinilai sebagai hasil evaluasi.
yang
dimaksudkan untuk menjamin
proses evaluasi. Temuannya kemudian
Menurut model dari evaluasi ini tidak ada
efisiensi data yang dihimpun. 2. The Transaction Model, Model ini memperhatikan penggunaan metode studi kasus, bersifat naturalistik dan terdiri dua jenis, yaitu : evaluasi responsif ( responsive evaluation ) yang dilakukan melalui kegiatan - kegiatan
secara
informal, ber ulang-ulang agar program yang telah
dapat
direncanakan
digambarkan dengan akurat ; dan evaluasi iluminativ ( illuminativ evaluation ) bertujuan untuk mengkaji program inovativ dalam rangka mendeskripsikan dan menginterpretasikan
pelaksanaan suatu
program atau kebijakan. Jadi
evaluasi model ini akan berusaha mengungkapkan serta pihak-pihak yang berpartisipasi
mendokumenter
dalam program.
3. Good Free Model, model evaluasi ini ber tujuan untuk mencari dampak aktual dari suatu kebijakan, dan bukan hanya sekedar untuk menentukan dampak yang diharapkan sesuai dengan ditetapkan dalam program. Dalam upaya dampak aktual,
mencari
evaluator tidak perlu mengkaji secara luas dan mendalam
tentang tujuan dari program yang direncanakan. Sehingga evaluator ( peneliti ) dalam posisi yang Evaluasi
bebas menilai dan ada obyektivitas.
Kebijakan Publik sering kali diartikan sebagai aktivitas yang
hanya mengevaluasi kegiatan proyek, selanjutnya mengevaluasi anggaran, baik ( rutin / pembangunan ). Akan tetapi Evaluasi Kebijakan Publik juga membahas aktivitas atau kegiatan pembangunan lainnya, termasuk pembangunan di bidang pendidikan. Adapun hakekat dari pembangunan pendidikan di Indonesia adalah
30 penyelenggaraan pendidikan ditujukan untuk masyarakat kurang mampu atau berpenghasilan rendah, demikian itu sesuai dengan pandangan dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang dikenal dengan azas kegotong-royongan. Juga, bukankah pendidikanitu merupakan hak bagi setiap warga negara, oleh sebab itu pendidikan sejatinya harus dapat memiliki akses kepada masyarakat untuk memperoleh pemerataan kesempatan Keberhasilan
pendidikan.
pembangunan di bidang pendidikan, termasuk salah satu
indikatornya ialah sampai sejauh mana dapat terjadi aksesibilitas pemerataan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Untuk itu lebih jauh kajian dalam studi ini memusatkan perhatian pada evaluasi kebijakan, sedangkan kebijakan yang diteliti adalah Kebijakan Perguruan Tinggi ( PT ). Kebijakan PT dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai segala sesuatu tindakan serta program-program pemerintah ( PT ). Kebijakan PT yang dimaksudkan adalah : kebijakan dalam menentukan besar biaya masuk bagi mahasiswa baru di Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang serta Universitas Muhammadiyah Malang. Kebijakan pemerintah, yang dilakukan oleh ke tiga PT tersebut berdampak kepada masyarakat ( publik ) sebagai kelompok sasaran. Dampak kebijakan dalam kaitannya dengan penelitian ini nantinya dapat diartikan sebagai hasil dari pada kebijakan pendidikan dan akibat-akibat apa saja dari kebijakan tersebut terhadap masyarakat ( publik ). Jadi konsep evaluasi dampak disini terdiri dari policy output dan policy out come. Policy out put, ber arti merupakan sebagai fasilitas pendidikan yang diberikan oleh PT, sedangkan policy out come dapat diartikan sebagai suatu upaya di dalam mencermati adanya aksesibilitas masyarakat untuk memperoleh kesempatan pendidikan tinggi.
31 Konsep
aksesibilitas
untuk
memperoleh kesempatan
pendidikan
tinggi
dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai indikator untuk menjelaskan tingkat keberhasilan kebijakan
PT. Oleh karena itu, konsep
aksesibilitas merupakan
konsep utama ( central ) untuk melihat persoalan isu pemerataan pada sektor pendidikan. Dalam rangka itulah semata-mata keperluan penelitian ini aksesibilitas dapat diartikan sebagai
kemampuan, kemudahan dan kesempatan seseorang atau
masyarakat memperoleh pemerataan kesempatan kemudahan
dan kesempatan
membayar biaya masuk ke Model
Dampak
tersebut dapat PT.
Untuk
pendidikan tinggi. Kemampuan, dilihat dari faktor : kemampuan
memperjelas,
Evaluasi Kebijakan ( Gambar 2 )
dibawah secara
ini
skematis
adalah :
Gambar 2 SKEMA Program Kebijakan Penetapan biaya masuk PT
MODEL
Tujuan Penyelenggaraan pendidikan untuk masyarakat ber penghasilan rendah / kecil
EVALUASI Kegiatan
Jumlah biaya masuk PT Prog. Reguler, Diploma, Ekstensi
KEBIJAKAN Akses Kemampuan membayar biaya masuk ke PT
Dampak Kemudahan untuk memperoleh kesempatan pemeratan pendidikan
Sumber : Setelah dimodifikasi dari Thomas K Cook dan Frank P. Scioli, Impact Analysis in Public Policy Research, 1975
Masih
menurut
House ( 1978 ) dalam William Dunn, ada 3 macam
Evaluasi Kebijakan Publik, ialah : a. Evaluasi
Administratif,
dalam lingkungan
evaluasi
pemerintahan
kebijakan publik yang dilakukan sebatas atau instansi
pemerintah. Dilaksanakan
32 untuk mengevaluasi proyek pemerintah, biasanya berkaitan dengan masalah keuangan dan sebagai alat mengetahui sesuai
dengan yang direncanakan
apakah proyek pemerintah itu sudah
( the expected goals ).
b. Evaluasi Yudisial, evaluasi ini melihat apakah kebijakan itu melanggar hukum. Sedangkan yang melaksanakan evaluasi yudisial adalah lembaga-lembaga hukum, pengacara, pengadilan, dan kejaksaan. c. Evaluasi
Politik,
pada umumnya
evaluasi politik dilakukan oleh lembaga
politik, misalnya : parlemen, parpol, atau masyarakat. Pertimbangan politik apa saja dan bagaimana yang seharusnya mungkin dapat dijadikan acuan untuk mengevaluasi suatu kebijakan. 2.3. Aksesibilitas
Dalam Kebijakan Pendidikan
2.3.1. Aksesibilitas Kebijakan Publik Aksesibilitas sebenarnya banyak ( Frenk, 1992 : 842 ),
memiliki aneka
berpendapat bahwa aksesibilitas
macam ragam istilah, adalah sinonim
dengan
availibilitas ( ketersediaan ). Sehingga antara akses ( aksesibilitas ) dan ketersediaan ( availibilitas ) sebenarnya tidak dapat dibedakan. Misalnya antara akses terhadap kesempatan untuk memperoleh pendidikan dengan tersedianya beberapa fasilitas dalam pemerataan pendidikan. Ada 3 ( tiga ) aspek
dalam kesempatan untuk
memperoleh pendidikan,
demikian tulis ( Achmady, 1994 : 23 ), yaitu : ( 1 ) ada aspek
persamaan
kesempatan ( equality of opportunity ), ( 2 ) ada aspek aksesibilitas ( aksessibility ) dan ( 3 ) aspek keadilan atau kewajaran Ke tiga aspek tersebut kiranya
( equity ).
dapat dijabarkan sebagai
berikut :
Persamaan kesempatan, atau ekualitas, dapat diartikan sebagai bahwa setiap orang sebenarnya pada
dasarnya memiliki
peluang / kesempatanm yang sama
33 dalam memperoleh pendidikan, sesuai dengan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak dibedakan menurut jenis kelamin, pendidikan adalah untuk semua orang ( education for all ). Aksesibilitas, artinya adalah pada prinsipnya setiap orang tanpa harus melihat asal usulnya mempunyai kesempatan dan akses yang
sama terhadap pendidikan.
Dalam konteks bahasan atau kajian penelitian ini, semestinya setiap warga negara Indonesia memiliki peluang atau kesempatan sama untuk memperoleh pendidikan tinggi, tanpa harus muncul suatu perbedaan oleh karena ada persyaratan tentang biaya masuk ke PT. Ekuitas, dapat dijabarkan sebagai upaya perlakuan yang adil dan wajar kepada mahasiswa atau peserta didik menurut kemampuan, bakat, dan minatnya. Dari
ketiga aspek dalam pemerataan
kesempatan
untuk memperoleh
pendidikan tinggi ( PT ) tersebut, sesuai dengan judul dan tema tesis ini, maka yang menjadi Melalui
fokus kajiannya
adalah
pendekatan
atau
teori
masalah rumusan
kesehatan, Aksesibilitas ternyata dalam konsepnya rinci ( Frenk, 1992 : 842 ), ambiguitas inherent in
aksesibilitas PT. yang
ada
menyebutnya sebagai berikut
considering
characterictic of health care resources. model,
accessibility
produce services
is a
and the
................. (Frenk, 1992)
“ mediating real
: .............the
accessibility as a property of
few conceptual analysis that avoids this
Donabedian’s definition, which states
pelayanan
terdapat ambiguitas, secara
resources for healt care or of the population of potential One of the
dalam
explicity
that
pitfall
either
users
of service.
is
reflected in
accessibility
is a
In fact, according to Donabedian’s factor” between the capability
production
to
or consumtion of such service
34
Maka adalah sebuah ambiguitas, yang secara inheren menyimpulkan bahwa aksesibilitas merupakan suatu aktivitas yang mempunyai karakter sebagai sumber kesehatan. Konsep definisi dari Donabedien’s secara explisit menyebutkan bila aksesibilitas
merupakan “ mediating factor” antara kapabilitas untuk memberikan
pelayanan dan produksi
nyata atau
konsumsi dari bermacam pelayanan.
Untuk itu, Donabedian’s memberikan batasan tentang “aksesibilita s” seperti berikut : “accessibility is considered to be something beyond the more presence or ‘availibility’ of resources at given time and place. It includes the characterictics of
the
resource
that
facilitial
clients, supplier” . ( Donabedian’s, 1972,
Frenk, 1992 ). Aksesibilitas dapat dianggap sebagai sesuatu yang di luar keberadaan atau
availibilitas ( ketersediaan ) dari sumber daya dalam waktu
dan tempat
yang tepat. Termasuk karakteristik dari sumber-sumber yang memberikan peluang atau rintangan / kendala yang dirasakan oleh klien - klien ( pelangan ) potensial. Salkever memberikan pokok-pokok pikirannya ternyata ada 2 ( dua ) perlakuan aksesibilitas, yaitu : ( a ) aksesibilitas keuangan yang diartikan sebagai “kemampuan individu”, seperti kemampuan membayar biaya pendidikan ( financial accessibility, defined
as the individual ability to pay for education ), dan ( b ) apa yang
berhubungan dengan aksesibilitas fisik. Kemudian Davis mengistilahkan dalam difinisinya sebagai “transportasi”, waktu dan
pencarian
biaya dalam proses
memperoleh kesempatan pendidikan. Dari beberapa definisi, aksesibilitas finansial mengacu pada karakteristik “kemampuan
masyarakat” , dibandingkan dengan faktor-faktor atau sumber-sumber
pendidikan lainnya. Konsep aksesibilitas yang mengacu kepada “kemampuan daya beli” jasa pendidikan, juga pernah disampaikan oleh ( Reshefsky, 1990 : 34 ) :
35 equity
has
often means
acces
to
education service ................................. It
means, for example, the ability to pay for learning
service.
Pendapat lain, yang merupakan kerangka konseptual untuk melihat sampai Seberapa jauh tentang konsep aksesibilitas diimplementasikan
yaitu : melalui
pendekatan yang menekankan pada mekanisme pelayanan publik, tanpa sedikitpun memperhatikan hubungan antara akses dan struktur sosial atau dalam lingkungan organisasi ( Effendi, 1986 : 19 ). Menurut Effendi, pendekatan ini mempunyai keterbatasan mengasumsikan bahwa semua anggota masyarakat telah memiliki akses sama terhadap pelayanan yang terbatas dan mengetahui tentang pelayanan yang disediakan, termasuk pelayanan dalam memperoleh kesempatan pemerataan pendidikan tinggi. Dalam rangka itulah kiranya perlu ada pendekatan yang bersifat holistik untuk memahami pemerataan terhadap pelayanan publik ( pendidikan ). Hasan, dalam ( Effendi, 1986 : 19 ) mengemukakan dalam kerangka konseptualnya untuk telaah lebih jauh tentang aksesibilitas pada pelayanan publik dengan menggunakan pendekatan
yang lebih holistik, adalah :
mencakup tiga ( 3 )
demensi, yaitu : (i)
bahwa masalah akses itu didalamnya kognitif ;
(ii) perilaku ;
dan
(iii)
birokrasi administratif. Sebab itu struktur sosial masyarakat sangat berpengaruh terhadap ketiga dimensi tersebut, untuk itulah setiap usaha dalam memperbaiki akses pada pelayanan publik
harus juga mengembangkan kerangka konseptual,
maupun strategi yang dapat mencakup ketiga dimensi diatas. Dimensi kognitif terdiri dari : (a) kesadaran
masalah ;
(b) kesadaran
sumber daya yang tersedia diperlukan untuk mengatasi masalah ; (c) pengetahuan tentang
sumber daya manusia yang tersedia ;
(d) pengetahuan di mana dan
bagaimana cara mendapatkan sumber daya ; serta (e) perasaan percaya dalam
36 mendapatkan pelayanan kesempatan yang diperlukan. Dimensi perilaku mencakup : (a) kemampuan berkomunikasi ; (b) dinamika interaksi sosial ; (c) pola perilaku klien ; (d) dan hasil dari peranan klien. Dimensi birokrasi administratif lain : (a) kekakuan prosedure ; (b) pemerataan perlakuan ;
antara
(c) jarak sosial
antara pelanggan dan petugas ; (d) tersedianya saluran untuk menyampaikan perasaan tidak puas; (e) latar belakang serta pandangan petugas ; (f)
kebijakan
kepegawaian ; dan (g) derajat disentarlisasi, lihat ( Gambar 3 ) dibawah ini :
Gambar 3 Skematis
Aksesibilitas
Dimensi Kognitif - Kesadaran masalah - Kedasaran Sumberdaya yang diperlukan - Pengetahuan tentang tersedianya sumberdaya yang diperlukan - Pengetahuan tentang bagaimana dan dimana mendapatkan sesuatu - Derajat kepercayaan pada diri dalam mendapatkan yang diperlukan
Struktur Sosial
Dimensi
- Jenis Kelamin - Umur - Status Ekonomi - Pekerjaan - Budaya Politik - Kelas Sosial - Struktur Politik
-
Perilaku
Kemampuan berkomunikasi Pola perilaku Dinamika transaksi Sosial Keberhasilan Peranan
Dimensi Institusional - Kekakuan prosedur - Persamaan perlakuan - Orientasi terhadap klient - Tujuan program - Derajat disentralisasi
Sumber : Hasan, 1985, dalam Effendi, 1986
Akses
37 Pada penelitian ini tidak semua konsep aksesibilitas yang dipaparkan diatas dipakai sebagai acuan dalam penelitian, tetapi untuk keperluan penelitian ini konsep aksesibilitas seseorang
dapat
diartikan sebagai
atau masyarakat untuk
kemampuan, dan kesempatan
memperoleh pemerataan
dalam pendidikan,
khususnya pendidikan tinggi. Kemampuan, kemudahan dan kesempatan tersebut dalam konsep akses adalah : “kemampuan ( financial access ) pada
program
unt uk membayar masuk ke PT”
reguler, program
diploma dan
program
ekstensi. Dari yang
beberapa
argumentasi yang telah dikemukakan, maka perdebatan
berlangsung selama ini lebih banyak berkisar pada masalah ketidak siapan
lulusan baik dari sekolah lanjutan, menengah maupun PT dalam memasuki dunia kerja. Topik ini menjadi lebih marak ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh “ Wardiman Djojonegoro” . Solusi yang ingin dicari adalah bagaimana lulusan sekolah dapat diserap oleh dunia kerja atau bagaimana mereka bisa diserap oleh lowongan pekerjaan. Kebijakan-kebijakan dalam bidang pendidikan seharusnya mengacu pada arah dan tujuan hendak ingin dicapai oleh masyarakat Indonesia. Tanpa melihat dan pendidikan
tidak memiliki
berpegang pada arah tujuan bangsa Indonesia,
acuan
operasional
yang
jelas dan menyeluruh.
Kebijakan yang demikian mudah terjebak pada lingkup persoalan yang parsial dan
temperorer. Meninggalkan arah dan tujuan nasional sebagai acuan,
juga
dapat menimbulkan terjadinya involusi di bidang pendidikan. Dalam kaitannya dengan tujuan bangsa Indonesia, tentu saja harus melihat pada konstitusi negara
RI. Berangkat
dari Undang-undang Dasar 1945 yang
perlu dicermati kalangan pendidikan, yang berhubungan memperoleh
dengan kesempatan
pemerataan pendidikan tinggi, adalah : ................. “ mengupayakan
38 kesejahteraan umum........ “ , “........ mencerdaskan “Setiap warga
negara
berhak
mendapat
kehidupan
bangsa ..”
dan
pengajaran”.
Dengan menelaah formulasi yang tercantum pada konstitusi, nampaklah bahwa pendiri bangsa negara Republik Indonesia menyadari benar kondisi dan karakteristik dari masyarakat Indonesia yang penduduknya berjumlah banyak, tersebar di daerah-daerah yang luas, dan mayoritas masih berada pada tingkat pendidikan rendah. Oleh sebab itu, pesan yang didengungkan adalah “peningkatan pemerataan
pendidikan”, pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan dan
sekaligus untuk mengubah struktur sosial masyarakat Indonesia. Model pembangunan I telah banyak menuai kritikan dari berbagai pihak, diantaranya adalah adanya saran untuk meninjau kembali pola sistem administrasi negara yang dilaksanakan. Maka muncullah gerakan apa yang disebut sebagai Teori Pembangunan Baru, juga dapat disebut sebagai model pembangunan II. Model ini memprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan pokok termasuk kesempatan
kerja,
memberantas kemiskinan dan peningkatan gizi, serta kualitas SDM melalui pemerataan
pendidikan. Untuk itu
setelah terjadi
pergeseran pola atau model
administrasi pembangunan secara otomatis membawa dampak pula pada pola pelayanan, khususnya pada upaya “ peningkatan
pelayanan
publik” ( delivery
of public service ), debirokratisasi, peningkatan kapasitas pemerintah berserta aparaturnya, ada partisipasi daerah dalam penyusunan implementasi rencana kerja, ( Effendi, 1990 : 326 ). Pembangunan di Indonesia, dengan dilandasi oleh konsep dan strategi seperti yang nampak dalam Pelita VI ini bertujuan bagi pembangunan ekonomi dengan berwawasan pemerataan, hal ini tercermin dalam GBHN 1993, yang berbunyi sebagai berikut :
39 ...........kebijakan pembangunan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia dan kualitas kehidupan masyarakat agar makin maju dan mandiri yang dijiwai nilai-nilai Pancasila. Upaya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang makin meluas, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, penciptaan dan perluasan lapangan kerja serta usaha dan penggalakkan pembangunan daerah terbelakang, khususnya di Kawasan Timur Indonesia, ditingkatkan dan diarahkan agar mampu mewujudkan kesejahteraan yang makin adil dan makin merata bagi seluruh rakyat, serta menumbuhkan sikap kemandirian bangsa ( GBHN, 1993 ). Telah
digariskan dalam GBHN sebagaimana diatas, pembangunan
diprioritaskan
untuk pemerataan
yang
dan juga pada setiap pembangunan ekonomi
akan selalu identik dengan pembangunan kualitas manusia. Sedangkan kualitas manusia yang dikenal sebagai peningkatan SDM perlu mengkaji lebih dalam terhadap akses dari sinilah
pemerataan
pendidikan di dalam
konsep dan strategi
masyarakat, karena ber awal
pembangunan itu dapat
lebih mudah untuk
dicapai. Secara umum, ( Bryant dan White, 1987 : 22-28 ) menguraikan, ada 4
aspek
yaitu
yang
terkandung dalam pembangunan
peningkatan kualitas SDM,
:
Pertama,
penekanan
pembangunan
harus
memprioritaskan
pada kapasitas
( capacity ) kepada apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kapasitas tersebut, serta energi yang diperlukan. Kedua,
pembangunan harus
menekankan
Ketiga, pembangunan mengandung arti
pada upaya
pemerataan ( equity ).
adanya peningkatan wewenang kepada
kelompok masyarakat lemah atau kurang mampu. Koreksi terhadap keputusankeputusan yang tidak adil tentang alokasi sumber daya hanyalah dapat dilakukan apabila kelompok lemah ini cukup mempunyai kewenangan. Keempat,
pembangunan dapat pula ber arti keberlangsungan atau keberlanjutan
( suistainnable ) dan interdependensi di antara negara - negara di dunia.
40 Oleh karena itu, untuk mengapresiasi konsep dan strategi pembangunan yang telah digariskan, peran birokrasi pemerintah ( negara ) sangat menentukan terhadap pencapaian tujuan pembangunan tersebut. Max Weber telah banyak memberi sumbangan pikirannya, Dia berpendapat bahwa Birokrasi bercirikan rasional dengan selalu mengandalkan peraturan-peraturan ( rules ) dan prosedur yang dimaksudkan untuk membantu tercapainya tujuan dan terlaksananya nilai-nilai atau norma-norma yang diinginkan. Masih menurut Weber telah menggaris
bawahi,
jika kewenangan dalam Birokrasi
berdasarkan pada
keahlian ( experties ) yang dimiliki oleh para pejabat ( birokrasi ) yang bekerja atas dasar peraturan ( Kasim, 1993 : 9 ). Sedangkan ciri-ciri Birokrasi paling rasional dan ideal a. b. c. d. e.
versi Weber struktur adalah sebagai berikut :
hirarchy a promotion system base on profesional merit and skill the development of a career service in the bureaucracy reliance on rules and regulations impersonality of relationship among cereer profesional in the bureaucracy and will their clintle (Hendry, 1994 : 76 ). Menurut Albow ( 1970;
Kasim, 1993 : 10 ) menyamakan antara tindakan
rasionalitas dan formal dari Birokrasi dengan ide efisiensi, walaupun Birokrasi yang rasional melalui berbagai pertimbangan kalkulasi, perkiraan dan stabilisasi. Pikiran Weber tentang rasionalisasi sebenarnya dengan maksud agar dapat dicapai tingkat efesiensi yang maksimal. Nilai efesiensi, bukan satu-satunya nilai yang absolut dalam Birokrasi. Hegelrian Bureaucracy,
memandang bahwa Birokrasi
dapat berfungsi sebagai penghubung antara negara dengan civil society. Negara merealisasikan kepentingan umum, civil society mempresentasikan kepentingan khusus yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian maka keberhasilan suatu Birokrasi sebenarnya dapat diukur dari kemampuannya untuk mengartikulasikan
41 kepentingan-kepentingan, khusus di dalam masyarakat dan
mengkoporasikannya
ke dalam suatu kepentingan negara atau pemerintah ( Tjokrowinoto, 1986 : 6 ). Oleh karena itu, nilai-nilai dan etika yang berkaitan dengan Birokrasi versi Hegel, bukan efesiensi, tetapi sampai seberapa jauh peran Birokrasi dapat menyalurkan berbagai kepentingan khusus, menjadi kepentingan umum, seperti yang pernah dikemukakan oleh ( Mouzelis, 1975 : 8 ) buraucracy is the to the
general
medium
through which
:
“........... the
state
this passage from the particular
interest become possible.............”.
Dalam kapasitas birokrasi ada yang disebut
sebagai
learning
process
approach dimana suatu proses itu biasa terlebih dahulu harus melalui kegiatan yang bersifat “in -efisiensi”,
itu pandangan
David
Korten ( 1980 ).
Adanya
beberapa kesalahan dalam proses birokrasi biasa dapat ditoleransi, demi untuk tercapainya tujuan lebih lembaga rural
besar,
kemasyarakatan, bagitu
poor are to give
their
own resources
the broader
national
yaitu
terbentuknya
seperti
meaningfull
yang tulis Korten, : expression to their
in self-help action, political and
birokrasi
dan lembaga“.............. the view,
mobilize
and enforce their demand
economic
on
( Korten, 1980 : 1 ).
system
Rujukan dari Daniel Bell, ( 1973 : 42-43), membahas dan menyarankan apabila
efisiensi itu harus dapat pula dicapai
melalui
trade off
dengan
beberapa norma dan nilai-nilai yang lain. Misalnya tentang nilai pemerataan dan kesempatan seperti yang pernah diuraikan : .............“ between economizing
mode with is oriented to fuctional efficiency and the
management of men and social
criteria .........”
Balance consideration
the “sociologizing”
mode which establishes broader
42 Dari beberapa penjelasan, terdapat sejumlah alternatif nilai yang menjadi acuan birokrasi, seperti efisiensi, demokratisasi, pembinaan kelembagaan, pembinaan kapasitas dan pemerataan. Pemerataan
dalam
memperoleh pendidikan
tinggi, selalu ber konotasi
kepada masalah biaya dan masyarakat yang kurang mampu, oleh dalam
kaitannya dengan
batasan, “pelimpahan
Birokrasi, ( Abdul Wahab
kewenangan
sebab itu
1994 : 13 ), memberikan
pada pihak bawahan, yakni para Birokrat
di lapangan ( street bureaucrat ), bahkan di dalam kelompok warga masyarakat merupakan
faktor
sangat penting untuk diperhatikan dalam
rangka menjadikan
organisasi publik atau instansi pemerintah seperti lembaga PT, harus lebih tanggap ( responsif ) terhadap kebutuhan lokal ( daerah ) sekaligus sebagai upaya untuk memperluas daya jangkau pada masyarakat miskin”. Lebih organisasi
memperjelas lagi dari berbagai uraian, bagaimana pemerintah ( publik ) itu dalam
memberikan
sebenarnya
pelayanannya kepada
masyarakat, dari Balk ( 1976, Kasim, 1993 : 21-22 ), indikator pelayanan kepada masyarakat, ditentukan oleh kualitas hasil yang dipersembahkan pada masyarakat, yaitu sampai seberapa jauh hasil-hasilnya dapat sesuai dengan standarisasi yang dinginkan oleh masyarakat. Standarisasi ini biasanya memiliki ciri-ciri, semisal sampai seberapa jauh sebenarnya kepuasan dari pada masyarakat dalam memeproleh akses kesempatan pemerataan pendidikan tinggi. Oleh sebab itu, sifat pelayanan publik tidak
dilihat
dari
ratio
output terhadap input organisasi pemerintah,
karena tidak ada harga pasarnya dan penentuannya yang dilakukan melalui proses politik, demikian seperti pernah ditulis oleh ( Kasim, 1993 : 23 ). Dalam konteks se hari-hari pelayanan.
kecepatan
dan
ketepatan
adalah
ukuran
terbaik
bagi
sebuah
43
2.4. Teori Public Choice Untuk Memahami Aksesibilitas Pendidikan Pendidikan adalah sebuah fenomena sosial, disitu terdapat suatu ikatan alamiah seseorang dengan yang lainnya, misalnya antar sesama manusia, manusia dengan alam disekitarnya, dan juga antara makhluk hidup yang satu dengan lainnya. Oleh karena itu pendidikan harus bersifat absolut dan komprehensif, tidak mengenal batasan waktu serta ruang. Bahkan dalam agama menjelaskan, bahwa batasan dari suatu
pendidikan
salah satu ajaran adalah
sampai ke
liang lahat. Jadi alangkah pentingnya pendidikan, maka dari pada itu wajar apabila pendidikan menjadi suatu prioritas dan pilihan utama dari suatu kebutuhan ( choice ) bagi setiap mahkluk atau manusia. Sedangkan yang mendasari bahwa pendidikan sebagai pilihan ( choice ) tidak lain karena hal tersebut dapat diterima oleh akal sehat dengan
dibenarkan oleh pilihan rasional.
Selanjutnya,
maka
tentu saja akan menjadi suatu bentuk pilihan yang rasional ( rational choice ) dan kemudian menjadi prioritas pilihan dari beberapa alternatif pilihan publik ( public choice ). Kebijakan
Publik”
Rachbini
dan Arifin, dalam
“Ekonomi Politik
dan
( 200l : 19 ) menjelaskan : public choice selalu menekankan
pada penilaian keputusan-keputusan rasional baik oleh individu maupun masyarakat atau keputusan pemerintah, termasuk kebijakan di bidang pendidikan, itu ber arti dengan sendirinya masyarakat (publik ) memiliki pilihan rasional dalam menyikapi setiap kebijakan pendidikan ( Perguruan Tinggi ). Sebaliknya
Perguruan Tinggi
harus selalu bertindak rasional pula untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Se iring dengan kepentingan publik seharusnya PT mampu merumuskan suatu yang
sesuai
dengan
tuntutan
masyarakat
pendidikan, utamanya bagi pendidikan
( publik )
tinggi. Publik
didalam
kebijakan bidang
pada dasarnya masih
sangat mengharapkan adanya suatu kebijakan PT yang berdampak terhadap
44 aksesibilitas untuk memperoleh kesempatan pemerataan pendidikan tinggi atau PT. Pengalaman menunjukan pada beberapa tahun terakhir ini di Indonesia aksesibilitas dalam memperoleh
kesempatan
pendidikan masih belum terjawab di tingkat PT,
selama ini yang sudah pernah direalisasi sebatas pada kebijakan di tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, yang dikenal dengan “Program Belajar Sembilan Tahun”, ( Achmady, 199 : 44 ). Kebijakan tuntutan pilihan
PT yang sesuai
dengan
masyarakat ( public choice ), maka kebijakan tersebut dapat
berjalan dengan baik dan efisien, demikian sinyal yang diberikan oleh Gerry Stoker
( 1995 ), seperti yang disampaikan dalam makalah seminar nasional AIPI
( Supriyono, 2002 )
:
“The Right public choice ideas have played a stronger
role in policy
analysis and prescription than providing an understanding and explanation of the processes of resstructuring in intergovermental relations. Yes it is clear that the potential
is there for rational choice
public choice models to offer a major Dalam
and more particularly, institutional
contribution
to social science”.
tataran perspektif teori publik choice peran pemerintah, cq PT
diantaranya adalah menyediakan
komoditas publik
memuaskan.
Arronson ( 1998 : 26 ) digambarkan dengan
Public good
ciri-ciri berikut :
oleh
jenis barangnya termasuk dapat
consumption ) yang
( public good )
dikonsumsi
secara
bersama ( joint
ditandai dengan tidak adanya rivalitas, ciri kedua adalah
non exclusion atau non excludability yaitu : kemanfaatan suatu barang ( produk ) dapat
dinikmati
seseorang
tanpa harus membayar
jasa atas kemanfaatan
barang ( produk ) tersebut. Jelas nampak disini bahwa perspektif teori public choice selalu mengutamakan
kemanfaatan suatu
produk ( kebijakan ) yang
dapat dinikmati
Kaitannya
studi bahasan ini
produk
oleh publik.
dengan
Kebijakan PT harus dapat dimanfaatkan oleh
bahwa
kalangan publik.
45 Seiring Adminitrasi
dengan itu salah satu teori yang
tengah berkembang dalam
Negara ( Publik ) adalah Teori Public Choice, yang mana model
pilihan teori ini adalah termasuk model pilihan terakhir, sebelumnya beberapa teori yang telah mendahului diantaranya : model
klasik,
model neo klasik,
model institusi ( birokrasi ) dan model hubungan kemanusiaan ( Fredrickson, 1984 ). Oleh karena itu teori public choice dapat digunakan untuk memahami lebih dalam tentang masalah-masalah ekonomi politik pada suatu negara. Tidak sebatas hanya pada masalah ekonomi politik, dalam administrasi politik saat ini tengah di arahkan kepada model pilihan publik, seperti dikemukakan oleh Gerry Stoker
( 1995 : l09 ) dalam semininar nasional AIPI ( Supriyono, 2002 ) :
Institutional public choice theory uses concept and methods dirived from neoclasical economocs to explore political phenomena. The concern is with collective
decision making rather
than the behaviour
of private firms or
consumers, hence the term public choice. Sedangkan James Buchanan yang dalam ( Rachbini, 1996 ) berpendapat bahwa Publc Choice adalah perspektif politik
yang timbul dari perkembangan
dan penerapan suatu metode ilmu ekonomi terhadap keputusan kolektif, pendapat yang sama dikemukakan oleh Cochren dan Malone ( 1995 : 64 ) public choice theory of individuals
is the study
through
the political
mengatakan :
of collective decisions made by groups process
to maximize
their own
self-
interest. Dalam pendekatan public choice peran birokrasi PT dapat dilihat dari perspektif
ekonomi,
yaitu
:
kemampuan
untuk
melakukan
permintaan dan
penawaran secara seimbang. PT lebih tertarik kepada sisi penawarannya, meskipun kontribusi pertama yang dihasilkan adalah sisi permintaannya. Pada konteks ini
46 secara positif dan normatif PT harus memiliki peran proporsional agar bidang ekonomi dan kesejahteraan masyarakat berkembang dengan baik. - Mengapa Public Choice Kerangka
teori public
choice berusaha
melihat fenomena
pemerintah
sebagai aktor di dalam bidang politik dan ekonomi. Sejak tahun 1980 literatur politik banyak dipenuhi oleh tulisan tentang rational choice ( RC ) atau
public
choice ( PC ). Sedangkan rational choice menurut ( Arifin dan Rachbini 200l : 19 ) dalam bukunya “Ekonomi sebagai
Politik
dan Kebijakan Publik”
bila diartikan
berikut :
“Analogi permintaan dan penawaran komoditi sesuai dengan hukum ekonomi klasik menjadi dasar dan kerangka pemikiran public choice dalam merambah bidang-bidang demokratis
sosial maupun
dapat dianggap
politik. Pemilih, dalam hubungan yang lebih
sebagai konsumen, yang meminta komiditi publik,
yang seharusnya disediakan oleh politisi
atau pemerintah yang memenangkan
pemilu karena dukungan dari para pemilih. Dengan analogi tersebut, pemerintah dapat diasumsikan sebagai
suplier yang mungkin bisa menyediakan komoditi
publik untuk masyarakat”. Alasan pilihan sosial
lainnya karena public choice sangat ( social choice function )
perhatian
terhadap fungsi
atau eksplorasi terhadap kepemilikan
kesejahteraan sosial ( properties of social welfare ), demikian
ungkap ( Arifin
dan Rachbini 2001 : 19 ).
pada persoalan
Analisis
public choice
mengarah
agregasi preferensi individu untuk memaksimumkan fungsi kesejahteraan sosial. Sedang
yang mendasari
pendekatan
public choice
adalah penekanan
dalam
menilai keputusan - keputusan yang rasional, baik oleh individu anggota masyarakat, lembaga-lembaga sosial maupun keputusan rasional oleh pemerintah.
47 Dengan demikian public choice tidak menampik kemungkinan kepentingan kolektif ( collective interest ) atau tindakan kolektif ( collective action ) tetapi merupakan suatu tindakan rusultante ( menurut Adam Smith ) dari kepentingan
individu ada di dalamnya. Public Choice
peran dan eksistensi dan kelembagaan
juga tidak menolak
politik, malah justru mengasumsikan bahwa watak politik
dapat dianalisis
secara analog
individu dan watak pasar di dalam para
sebagaimana sikap ekonomi
kerangka analisis ekonomi. Dengan begitu
ekonom mulai tertarik untuk merambah masuk ke dalam wilayah baru
di laur bidang ekonomi dengan
prespektif public choice dapat menjembatani
untuk menganalisis masalah-masalah di luar kerangka analisis yang pada
segenap
tertumpuh
fenomena pasar. Hal inilah yang memungkinkan pertemuan kembali
bidang ekonomi dan poltik dalam satu wilayah analisis sehingga perkembangan ilmu-ilmu sosial di masa mendatang tidak lagi tersekat dalam kotak-kotak disiplin ilmu yang ketat,
saling
manafikan dan tidak saling menguatkan satu sama
lainnya. Akibat dari keterpisahan dari disiplin
ilmu ini, ilmu sosial menghadapi
krisis besar karena banyak fenomena baru tdak dapat ditangkap secara sempurna oleh kedua kelompok ilmuwan tersebut. Pendekatan ini dapat berbentuk dimensi teoritis tetapi juga mempunyai preskripsi aplikatif sehingga dapat menjadi referensi kebijakan
publik. Public
choice dapat dipakai untuk menunjukan bagaimana sikap yang sesuai dengan budaya dan ideologi yang berkembang di masyarakat. Pendekatan
public choice
dapat digunakan untuk mengiluminasikan kondisi-kondisi keberhasilan tindakan kolektif ( collective action ), untuk menunjukan dapat lebih diagregasikan dan
mengapa
sebagian kepentingan
sebagian lainnya tidak. Sebab itu public choice
48 dapat dijadikan petunjuk bagi para pengambil kebijakan ( steakholders ) untuk menentukan
pilihan kebijakan yang paling efektif.
Oleh karena itu, public choice berkaitan erat dengan pilihan partai politik, birokrat, kelompok kepentingan ( target grouip ) dan aturan-aturan pemerintah. Kesemuanya ini sangat berkaitan dengan ilmu politik, tetapi yang terjadi saat ini para ahli ekonomi politik mengembangkan pendekatan baru yang disebut public choice. Dengan begitu maka public choice bukan suatu obyek studi, melainkan adalah suatu cara paling efektif untuk mengkaji suatu subyek, secara difinitif diartikan sebagai the economic study of non-market
dicision
making.
Public
choice melihat Pemerintah sebagai aktor penyedia barang bagi konsumen. Kaitannya dengan penelitian ini, Pemerintah ( PT ) sebagai penyedia kebijakan biaya masuk, dan calon mahasiswa sebagai kliennya atau pengguna dari produk kebijakan tersebut. 2.5. Perbandingan Kebijakan Pendidikan Dan Teori Contingency 2.5.1. Perbandingan Kebijakan Pendidikan Sejak tahun 1960 beberapa untuk melengkapi
Kebijakan Pendidikan telah dilakukan, serta
analisis pembahasan berikut
ini dibahas
tentang
beberapa
kebijakan pendidikan dari beberapa negara industri maju. Di Jepang misalnya, kebijakan pendidikan yang dilaksanakan di negara Asia Timur tersebut selalu mengedepankan kebijakan yang bersifat diarahkan serta mempunyai sinergitas
praktis, artinya kurikulum pendidikan terhadap
dunia lapangan kerja. Konsep
sedikit teori dan banyak praktek telah diimplementasikan di PT. Di beberapa PT
memprioritaskan mahasiswa laki-laki diberikan kesempatan lebih banyak
dari
pada mahasiswi.
49 Lain halnya
dengan
kebijakan
pendidikan di Eropa
dan di Amerika
Serikat, pada umumnya kebijakan pendidikan PT lebih banyak bersifat teoritas, dibanding kebijakan pendidikan yang bersifat praktis. Eropa dan Amerika Serikat kebijakannya juga diarahkan pada hal-hal yang bersifat analisis. Sedangkan porsi jumlah mahasiswa dan mahasiswa tidak terjadi perbedaan, artinya baik laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama masuk ke PT di
universitas
manapun, demikian tulis ( Arnold, dkk, 1990 : 47 ). Tersebut dibawah ini model kebijakan pendidikan di Jepang, setiap negara perlu melaksanakan reformasi pendidikan dari waktu ke waktu, demikian tulis ( Amagi
1996 : 36 ). Di Jepang kebijakan pendidikan diarahkan kepada adanya
peningkatan kualitas pendidikan, sistem dan manajemen pendidikan. Sedangkan kebijakan pendidikan yang
diambil didasarkan kepada ketiga aspek, yaitu :
(1). Peningkatan kualitas para guru melalui beberapa langkah kebijakan antara lain : - diberi kesempatan bagi para guru untuk meningkatkan pendidikannya, guru SMU diberi kesempatan untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi, termasuk juga ke program
pascasarjana
bagi
guru
ber ijazah
sarjana, - penempatan dan
staffing guru hendaknya dilakukan dengan merata sehingga terjadi keseimbangan antara bidang studi baik yang ada di perkotaan maupun di pedesaan, - kondisi kerja para guru, hal ini menyangkut masalah fasilitas pendukung, misalnya seperti besarnya
kelas,
jumlah
jam / hari
kerja, termasuk
juga
masalah gaji guru
hendaknya cukup tinggi sehingga dapat menarik minat para kaum muda untuk berprofesi sebagai guru agar ada keseimbangan antara gaji guru dengan gaji para karyawan atau pegawai lainnya. (2). Desain dan pengembangan kurikulum hendaknya dilaksanakan oleh yang berwenang serta
kelompokprofesional.
(3). Memperbaiki
manajeman sekolah, sekolah adalah lembaga pendidikan fundamental dimana
50 kegiatan-kegiatan pendidikan praktis dilaksanakan secara sistematis. Meskipun para guru itu bekerja mandiri di kelas, tetapi secara kelompok bertanggung jawab kepada kemajuan sekolah yang sering disebut sebagai “budaya sekolah”. Ketiga kebijakan pendidikan dapat dilakukan di negara-negara industri maju, tetapi kebijakan tersebut dapat juga diimplementasikan pada negera dunia ketiga, karena ketiga aspek kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang fundamental, demikian tulis ( Isao Amagi ). 2.5.2. Teori Contingency Pendekatan teori contingency
selalu menekankan kepada konsep adanya
kemungkinan dengan cara memilih ber macam-macamstrategi yang tepat berdasarkan karakteristik situasi tertentu. Pendekatan contingency dalam studi manajemen sudah ada sejak mulai tahun 1970 yang memandang bahwa harus ada penyesuaian antara
organisasi dengan lingkungannya, sehingga pimpinan perlu mencari titik
temunya. Teori ini menggaris bawahi bahwa ketidak-efektifan dari berbagai gaya manajerial, petunjuk-petunjuk, teknik atau pendekatan, akan berbeda menurut keadaannya. Dengan kata lain, pendekatan contingency menekankan pada “no on best way” dalam meningkatkan produktivitas kerja dan out put organisasi. Seperti halnya yang pernah terjadi di Unibraw, UM dan UMM dimana masing-masing mempunyai karakteristik yang tidak mungkin disamakan bagaimana kebijakan pendidikan itu di implementasikan. Kenyataannya demikian, di ketiga universitas tersebut telah membuat kebijakan masing-masing yang secara rinci di perjelas pada bab hasil penelitian. Di dalam setiap kebijakan publik peran aktor sangat menentukan, termasuk kebijakan pendidikan. Kebijakan yang dirumuskan biasanya disesuaikan dengan keadaan dan kondisi. Seperti halnya yang terjadi di Unibraw, UM dan UMM.
51 Kebijakan yang bottom-up harus dilakukan mengingat kondisi sangat heterogen ini.
Belum lagi kondisi
antara satu dengan yang
ekonomi mahasiswa juga berbeda
lain.
Akan tetapi meskipun di
kampus yang
demikian kebijakan apapun dan dimanapun selalu
tuntut untuk segera di implementasikan karena kebijakan selalu digunakan
sebagai langkah untuk menetapkan seseuatu, termasuk juga kebijakan biaya masuk PT. Oleh karena itu peran pimpinan ( steakholders ) dituntut untuk peka terhadap perkembangan situasi dari organisasi yang dipimpinnya. Se iring dengan hal tersebut, dengan mengacu dan menganologikakan kepada teori kepemimpinan situasional yang dirumuskan oleh Paul Hersey dan Kenneth Blanchard ( 1982 ), maka konsepsi kebijakan biaya masuk di PT dapat dijabarkan sebagai berikut :
Setiap PT perlu di inventarisasi tingkat kemampuan ekonomi
para mahasiswanya. Termasuk juga calon mahasiswa yang masuk ke PT, senyampang hal tersebut berkaitan dengan kebijakan biaya masuk. Ada calon
mahasiswa
tingkat kemampuan ekonomi tinggi, ada yang cukup, ada juga yang rendah serta ada yang rendah sekali. Pada sisi lain, perlu juga bagaimana sikap pemerintah dalam hal ini Depdiknas, terhadap kebijakan pendidikan tentang biaya masuk ini, sikap tersebut bisa mendukung dan
bisa bersifat mengarahkan. Mendukung itu
artinya sikap memberikan kebebasan seluas-luasnya, mendorong dan merangsang PT untuk dapat kreatif, ambil inisiatif, dalam perumusan kebijakan biaya masuk PT. Adapun siaft-sifat yang mengarahkan dari pemerintah yaitu pengarahan, instruksi dan ikut campur mengatur kebijakan
biaya masuk
PT.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat di interpretasikan adanya empat jenis hubungan yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah cq Depdiknas di dalam perumusan kebijakan biaya masuk PT, terdiri dari :
52 ( 1 ). Hubungan Instruktif,
sifat dari hubungan ini prosentasenya lebih banyak
mengarahkan serta tidak mendukung. Pada situasi seperti ini PT dipandang sebagai seorang anak bocah ingusan yang tidak mampu melakukan tawarmenawar tentang apa –apa yang dibutuhkan. Hubungan ini sering disebut juga dengan top-down. ; ( 2 ). Hubungan Konsultatif, adalah
hubungan
yang lebih banyak
ber sifat
mengarahkan, tetapi masih ada unsur mendukung. Tetapi inisiatif datang masih tetap dari atas atau pimpinan begitu pula dengan keputusan terakhir. ( 3 ). Hubungan Partisipatif, yaitu hubungan yang lebih banyak mendukung dari pada mengarahkan. Dalam kondisi ini PT sudah diberi kebebasan untuk berinisiatif dan dalam pengambilan keputusan sudah terjadi proses dialogis. ( 4 ) Hubungan delegatif, hubungan ini banyak memberikan kebebasan kepada PT, dapat dikatakan bahwa kebijakan pendidikan ( PT ) terbentuk dari bottom-up semua mekanisme telah dilakukan di tingkat bawah, hal-hal yang bersifat instruktif tidak pernah terjadi. Ke empat hubungan diselenggarakan secara situasional kepada tiga ( 3 ) PT diatas. Modelnya, bagi PT sudah mapan, sifat hubungan adalah delegatif, sedangkan untuk PT sedang maka sifat hubungannya konsultatif, adapun untuk PT masih sedang berkembang sifat hubungannya adalah instruktif. 2.6. Penelitian Terdahulu Dari hasil penelitia Sofyan Effendi ( 1986 ) terhadap pelayanan pendidikan menunjukan bahwa ternyata yang paling banyak memanfaatkan fasilitas pendidikan yang disubsidi oleh pemerintah bagi mereka yang memiliki kemampuan ekonomi menengah ke atas. Bukti empiris ini, dibuktikan oleh penelitian Sofyan Effendi
53 ( 2002 ), ternyata sedikitnya terdapat
70 % mahasiswa
Universitas Gajahmada
( UGM ) yang menikmati subsidi pemerintah di bidang pendidikan tersebut, Bank Dunia dalam penelitiannya
( 1996 ), diketemukan angka 50 % dari
jumlah keseluruhan yang tidak dapat melanjutkan studi atau sekolah lanjut ke jenjang pendidikan lebih tinggi, termasuk diantaranya yang putus sekolah sematamata disebabkan karena faktor biaya. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh ( Papadopoulos, 1994 ), tentang Change and Development in Higher Education, digambarkan bahwa Universitas - universitas sudah tidak lagi menggunakan hak monopoli dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, dan juga sistem – sistem pendidikan tinggi sekarang sudah beragam dan rumit dalam pengertian struktur, program, mahasiswa dan pembiayaan. Sedangkan dari hasil penelitiannya ( Delors, dkk, 1996 ), Di negara – negara berkembang, menjadi tanggung jawab universitaslah untuk membangun masyarakat. Penelitian ini dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan tinggi, ternyata pendidikan tinggi memainkan peranan penting di dalam menyediakan dasar bagi program – program
pembangunan,
perumusan kebijakan
dan pelatihan untuk
peningkatan
SDM pada tingkat menengah ( SMU ) secara umum, dan khususnya pada tingkat pendidikan tinggi ( PT ). Hasil
penelitian ILO, tahun 1995, bahwa pada saat ini di dunia terdapat
tidak kurang dari 50 % usia anak-anak yang tidak sempat mengenyam bangku sekolah atau dengan kata lain
tidak mengenal pendidikan apapun. Data yang
diperoleh menunjukan bahwa penyebab utama dari mengapa anak - anak tersebut tidak sekolah, hal ini karena ketidak mampuan dari segi biaya. Pada umumnya mereka ini dari kelaurga tidak mampu, karena orang tuanya bekerja sebagai
54 buruh. Dan angka - angka tersebut di dominasi anak – anak yang ber asal dari kawasan Asia, termasuk Indonesia. Dampak Kebijakan Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan di Indonesia ternyata masih belum dilaksanakan dengan baik. Beberapa lembaga pelayanan kesehatan, seperti Rumah Sakit, Puskesmas belum maksimal, di lapangan ternyata berbeda dengan kebijakan pelayanan
kesehatan yang di keluarkan oleh pemerintah pusat.
Penelitian dilakukakan oleh Syarief Makhya di Bandar Lampung. Dari beberapa penelitian terdahulu, terlihat betapa pentingnya pelayanan, khususnya pelayanan pendidikan, pemerintah atau negara yang paling bertanggung jawab atas terselenggaranya untuk
mengejar
pendidikan
pendidikan. Utamanya bagi negara berkembang,
ketertinggallannya
yang paling utama
dengan
negara-negara
maju, maka sektor
untuk dikerjakan. Tetapi justru persoalan itu
muncul dari negara berkembang itu sendiri, dan biasanya persoalan pendidikan itu muncul di negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, hal ini disebabkan karena persoalan biaya atau karena ketidak mampuan. Oleh sebab itu, sudah saatnya pemerintah untuk turun tangan mangatasi masalah tersebut. Paling tidak, upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam waktu dekat ini adalah dengan jalan memberikan kesempatan pemerataan
kepada
masyarakat
pendidikan ( tinggi ) yang seperti
( Indonesia ) untuk di amanatkan
memperoleh
dalam undang –
undang dasar negara. Kebijakan pendidikan yang berakses kepada masyarakat dalam memperoleh pemerataan kesempatan pendidikan sudah waktunya untuk dilaksanakan dengan cara memberikan kemudahan ( akses ) dalam hal biaya saat masuk ke PT, khususnya PT Negeri. Untuk itulah penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mencari solusi dan formulasi terbaik, bagaimana agar dapat terlaksana akses dalam masyarakat untuk
55 memperoleh kesempatan pemerataan pendidikan tinggi. Tentu saja fokus penelitiannya di arahkan pada masalah kemampuan biaya masuk ke PT. Penelitian ini juga dilakukan untuk mencari celah atau kekurangan dari beberapa penelitian terdahulu dari sisi Kebijakan Pendidikan, khususnya Kebijakan Biaya
Masuk
Perguruan Tinggi
yang selama ini belum
kebijakan biaya masuk selalu berkaitan dengan masalah
pernah dilakukan, kemampuan tingkat
ekonomi masyarakat yang dapat di akses oleh suatu kebijakan dalam hal ini kebijakan pendidikan.