BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Definisi Remaja Masa remaja adalah masa perubahan dari anak-anak menjadi dewasa. Remaja adalah individu yang berusia dari usia 10-19 tahun. Usia 10-14 tahun adalah remaja awal (early adolescent) dan usia 15-19 tahun adalah remaja akhir (late adolescent) (Batubara, 2010., UNICEF, 2011). Pada masa ini terjadi perubahan fisik, hormonal, psikologis dan sosial. (Batubara, 2010). WHO menyatakan bahwa remaja merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan setelah masa kanak-kanak menuju dewasa (10-24 ), dengan usia 10-19 tahun adalah remaja dan 15-24 tahun adalah pemuda (Rosen, 2004). Klasifikasi remaja menurut The United Nations of Population Fund (UNFPA) ada 3 kelompok usia, yaitu (UNFPA, 2009) a. Remaja awal / early adolescent (10-14 tahun) Pada masa ini remaja secara fisik, emosi, kognitif dan perilaku masih seperti anak-anak. Tanda-tanda maturasi mulai muncul pada masa ini. Tumbuhnya rambut pubis dan aksila; pada remaja putri tumbuhnya puting susu dan menarche sudah dimulai. Remaja laki-laki terjadi pertumbuhan penis dan testis, perubahan suara dan tumbuhnya kumis serja janggut. Mereka mulai sadar tentang perubahan seksualitasnya. Muncul rasa ingin tahun yang lebih dalam terhadap sesuatu dan ingin mencoba sesuatu yang baru (alkohol, rokok, NAPZA, seksualitas) b. Remaja menengah / middle adolescent (15-16 tahun) Masa menengah ini remaja mulai mengembangkan pilihan terhadap peran dan cita-citanya. Banyak dipengaruhi oleh konflik internal, ketergantungan dan dipengaruhi oleh teman sepergaulan. c. Remaja akhir / late adolescent ( 17-19 tahun) Pada masa ini remaja terlihat dan berprilaku seperti orang dewasa, tetapi kematangan kognitif, emosional dan perilakunya belum sepenuhnya mencapai tingkat kematangan. Remaja dapat membuat keputusan sendiri dan sudah mulai menikah dan berkeluarga. 5
6
Terdapat ciri perubahan fisik dan hormonal pada remaja yaitu peningkatan massa tulang, otot, massa lemak, kenaikan berat badan, perubahan biokimia, yang terjadi pada kedua jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan (Andriani dan Wirjatmadi, 2012). Laki-laki dan perempuan memiliki sifat hormon androgen yang berpengaruh terhadap perkembangan pertumbuhan. Hormon androgen perempuan cenderung menaikkan kadar lemak pada tubuh dan hormon androgen pada laki-laki lebih meningkatkan massa otot (Istiany dan Rusilanti, 2013). Selain itu terdapat kekhususan (sex specicific), seperti pertumbuhan payudara pada remaja perempuan dan rambut muka (kumis, jenggot) pada remaja laki-laki (Soetjiningsih, 2010). Selain terjadi perubahan fisik, remaja mengalami perubahan-perubahan psikologis dan sosial, termasuk terjadi perubahan emosi, pikiran, perasaan, lingkungan, dan tanggung jawab yang dihadapinya (Istiany dan Rusilanti, 2013). Remaja mulai tertarik akan penampilan dan mulai berinteraksi dengan lawan jenis serta mulai konsisten pada cita-cita (Batubara, 2010). Meningkatnya aktivitas, kehidupan sosial dan kesibukan remaja akan mempengaruhi kebiasaan makan mereka. Pola konsumsi makan sering tidak teratur, sering jajan, sering tidak makan pagi dan sama sekali tidak makan siang (Andriani dan Wirjatmadi, 2012). Sering kita lihat remaja makan di rumah makan yang menyajikan makanan siap saji atau fast food (Istiany dan Rusilanti, 2013). Fast food pada umumnya mengandung tinggi lemak dan kalori, sehingga bila dikonsumsi setiap hari dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan kegemukan yang akhirnya bisa menjadi pemicu timbulnya penyakit (Andriani dan Wirjatmadi, 2012).
2. Hipertensi a. Definisi Hipertensi Hipertensi pada remaja didasarkan dari tekanan darah normal dengan tekanan darah sistolik atau tekanan darah diastolik kurang dari
90 mmHg
persentil menurut jenis kelamin, usia dan tinggi badan (NIH, 2005). Bila ratarata tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik ≥ 95 mmHg/ persentil dapat dikatakan hipertensi (Mitsnefes, 2006).
7
Hipertensi merupakan suatu kondisi pada seseorang dimana terjadi peningkatan tekanan darah diatas normal, tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg (KEMENKES RI, 2013a). Tekanan darah seseorang dikatakan normal bila tekanan darah sistolik 120 mmHg dan tekanan darah diastolik 80 mmHg (WHO, 2013).
b. Pengukuran Tekanan Darah Pengukuran tekanan darah harus dilakukan dalam keadaan tenang agar tidak mempengaruhi hasil pengukuran (Supartha et al., 2009). Minimalkan pergerakan dan mengajak berbicara, baringkan dengan tangan lurus disamping badan atau duduk di kursi dengan lengan diletakkan diatas meja sehingga lengan atas searah dengan jantung (Riley dan Bluhm, 2012). Idealnya pengukuran tekanan darah pada remaja menggunakan teknik auskultasi dan Sphygmomanometer merkuri, dengan tehnik auskultasi ini langsung mendengarkan bunyi Korotkoff dengan menggunakan stetoskop binaural, sehingga tekanan darah diastolik dapat langsung dinilai (Lurbe et al., 2009). Tetapi untuk menghindari adanya kesalahan pemeriksaan (human error), pemeriksaan dapat dilakukan dengan menggunakan tensimeter digital (oscillometric), jika hasil pengukuran diatas 90 persentil dengan menggunakan tensimeter
digital,
maka
pengukuran
harus
diulang
menggunakan
sphygmamonimeter mercuri dengan cara auskulatsi (Ingelfinger, 2014). Tekanan darah diukur setelah diistirahatkan 3-5 menit, pengukuran dilakukan di lengan kanan searah dengan jantung, karena bila dilakukan dilengan kiri coarctation aorta dapat menyebabkan hasil palsu, kemudian stetoskop diletakkan tepat diatas denyut arteri brakialis, bunyi Korotkoff seiring dengan turunnya Sphygmomanometer merkuri (Lurbe et al., 2009). Bunyi Korotkoff 1 (K1) merupakan bunyi detak perlahan jantung pertama kali terdengar dari tekanan darah sistolik, bunyi Korotkoff II (K2) dan Korotkoff III (K3) semakin mengeras, dan melemah pada Korotkoff IV (K4) yang akhirnya menghilang pada Korotkoff V (K5), ini merupakan tekanan darah diastolik (Ingelfinger, 2014). Umumnya pembacaan dilakukan dengan tiga kali pengukuran dengan interval satu menit. Rata-rata dari dua pengukuran tertinggi
8
dapat diambil kesimpulan (Nkeh-Chungag et al., 2015). Hasil dari angka sistolik dan diastolik dibandingkan dengan kurva CDC 2000 yang menilai apakah hipertensi dan tidak hipertensi dengan satuan mmHg (KEMENKES RI, 2014a).
c. Klasifikasi Hipertensi Secara umum berdasarkan penyebabnya hipertensi dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu: 1) Hipertensi Primer (Esensial) Hipertensi primer merupakan hipertensi yang belum diketahui penyebabnya (KEMENKES RI, 2013). Tercatat lebih dari 80% remaja mengalami hipertensis esensial (Saing, 2005). 2) Hipertensi sekunder Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang diketahui penyebabnya, antara lain kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid (hipertiroid), penyakit kelenjar adrenal (hiperaldesteronisme), dan lain-lain (KEMENKES RI, 2013). Pada umumnya hipertensi ini terjadi pada anakanak sekitar 75% dihubungkan dengan penyakit renovascular atau ginjal dan endokrin (Lurbe et al., 2009). The National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP) mengklasifikasikan tekanan darah pada anak-anak dan remaja sampai 17 tahun dalam (Lurbe et al., 2009 ; Riley dan Bluhm, 2012) adalah :
Tabel 2.1 Klasifikasi hipertensi pada anak-anak dan remaja hingga usia 17 tahun Klasifikasi Tekanan darah Sistolik atau Diastolik Normal < 90 persentil Prehipertensi 90 persentil sampai < 95 persentil atau ≥ 120/80 mmHg walaupun tekanan darah tidak berada diantara 90 – 95 persentil Hipertensi stage I 95 persentil sampai < 99 persentil plus 5 mmHg Hipertensi stage II > 99 persentil plus 5 mmHg Sumber : (Riley dan Bluhm, 2012) Klasifikasi hipertensi untuk usia > 17 tahun berdasarkan adalah: (KEMENKES RI, 2014a)
9
Tabel 2.2 Klasifikasi hipertensi menurut usia > 17 tahun Klasifikasi Normal Prehipertensi Hipertensi Stage I Hipertensi Stage II
Tekanan Darah Sistolik (mmHg) <120 120 – 139 140 – 159 ≥ 160
Tekanan Darah Diastolik (mmHg) Dan < 80 Atau 80 – 89 Atau 90 – 99 Atau ≥ 100
d. Gejala Hipertensi Hipertensi pada umumnya tidak memiliki gejala, kadang-kadang dapat dirasakan seperti sakit kepala, sesak napas, pusing, nyeri dada, palpitasi jantung dan perdarahan pada hidung (WHO, 2013). Bila tekanan darah tidak terdeteksi secara cepat dan tidak ditangani dengan tepat, dalam waktu yang lama dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung (penyakit jantung koroner) dan otak (stroke) (KEMENKES RI, 2014a). Kausa tersering hipertensi adalah meningkatnya resistensi vaskuler perifer, namun karena tekanan darah sama dengan resistensi perifer total dikali curah jantung, peningkatan berkepanjangan curah jantung juga dapat menyebabkan hipertensi (McPhee dan Ganong, 2011).
3. Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi a. Jenis Kelamin Tekanan darah dipengaruhi oleh jenis kelamin. Remaja laki-laki lebih tinggi tekanan darahnya dibanding perempuan (Saing, 2005). Laki-laki memiliki risiko sekitar 2,3 kali lebih banyak mengalami peningkatan tekanan darah sistolik dibandingkan dengan perempuan (KEMENKES RI, 2013a). Penelitian di Hungaria dan Timur-tengah menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik maupun diastolik pada laki-laki secara signifikan lebih tinggi daripada perempuan (Katona et al., 2011). Perbedaan yang signifikan tersebut disebabkan oleh adanya faktor hormonal (KEMENKES RI, 2013a). Hormon androgen, seperti testoteron, diduga berperan dalam pengaturan tekanan darah terkait dengan adanya perbedaan kedua jenis kelamin tersebut (Maranon and Reckelhoff, 2013). sebuah studi tentang pemantauan tekanan darah menunjukkan bahwa tidak terdapat
10
perbedaan yang signifikan antara tekanan darah laki-laki dan perempuan saat masa anak-anak, namun setelah masa pubertas, laki-laki memiliki tekanan darah lebih tinggi dibanding perempuan (Reckelhoff, 2001). Pada usia 13 – 15 tahun, tekanan darah sistolik pada remaja laki-laki lebih besar 4 mmHg dibandingkan dengan perempuan, sementara pada usia 16 – 18 tahun perbedaan tekanan darah mencapai 10 – 14 mmHg lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa ketika hormon androgen mengalami peningkatan, maka tekanan darah juga akan meningkat (Maranon and Reckelhoff, 2013).
b. Berat Badan Lahir Bayi dengan berat badan rendah, terutama pada bayi yang lahir prematur menunjukkan adanya peningkatan darah arteri dan risiko hipertensi pada saat dewasa, adanya gangguan struktur dan fungsi pada pembuluh darah serta perubahan kekakuan pada arteri dan vasodilatasi pada endotelium merupakan patogenesis awal terjadinya hipertensi (Ligi et al., 2010). Kepadatan kapiler pada pembuluh darah vaskuler meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer pada remaja yang berisiko hipertensi dan yang memiliki berat badan lahir rendah (Irving et al., 2004). Penelitian yang dilakukan Hovi et al., (2010) menunjukkan bahwa remaja yang dilahirkan dengan berat badan rendah (< 1500 gr) memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dalam periode waktu 24 jam dan dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler.
c. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit dalam keluarga memiliki arti penting dalam predisposisi hipertensi, adanya riwayat hipertensi dalam keluarga mempunyai peluang 3-4 kali untuk mengalami hipertensi pada usia dini dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat penyakit keluarga (Hartono, 2013). Bila kedua orang tua menderita hipertensi esensial maka 44,8 % anaknya akan menderita hipertensi, dan bila salah satu orang tua yang hipertensi maka 12,8% keturunan yang akan mengalami hipertensi (Saing, 2005). Penelitian yang dilakukan pada remaja usia 14-17 tahun di Afrika Amerika menyatakan bahwa riwayat keluarga dengan
11
tekanan darah tinggi meningkatkan kemungkinan terjadinya hipertensi pada remaja sebanyak 65% (Covelli, 2007). Selain itu riwayat penyakit diabetes mellitus dan penyakit jantung iskemik pada keluarga juga berperan penting terjadinya hipertensi pada remaja (Goyal et al.,2011). Penyakit Diabetes Mellitus dan penyakit jantuk iskemik dapat berpengaruh pada ginjal dan atau pembuluh darah. Pada ginjal, kelainan atau defek yang melibatkan ganguan sekresi natrium yang tidak adekuat dan dalam pembuluh darah, defek tersebut melibatkan gangguan transportasi Na+-Ca2+ yang menyebabkan akumulasi Ca2+ di dalam otot polos arteriola (Hartono, 2013). Mutasi pada gen tertentu juga secara tidak langsung berpengaruh pada metabolisme pengaturan garam dan renin di ginjal (KEMENKES RI, 2013). Mutasi ini mencakup mutasi gen untuk protein sitoskeleton α-adducin dan polimorfisme pada subunit β3 protein G heterotrimerik, dipostulasikan bahwa αadducin mengatur pemindahan natrium di tubulus ginjal dan bahwa protein G mungkin merupakan jalur sinyal yang mempertahankan homeostasis natrium (Hartanto et al., 2007).
d. Indeks Massa Tubuh (IMT) / Usia Perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan serta pola aktivitas sangat mempengaruhi akan kebutuhan gizi mereka untuk pertumbuhan fisik dan perkembangannya (Soekatri et al., 2011). Pola olah raga yang tidak teratur dan terlalu banyak makan dapat menyebabkan energi yang keluar tidak sesuai dengan kalori yang masuk sehingga terjadi penumpukan lemak yang biasa disebut obesitas (Rusilanti dan Istiany, 2013). Status nutrisi pada obesitas melebihi kebutuhan metabolisme karena kelebihan masukan kalori dan terjadinya penurunan penggunaan kalori yang secara berangsur berakumulasi sehingga terjadi peningkatan berat badan (Andriani dan Wirjatmadi, 2012). Penilaian status gizi pada remaja di Indonesia dapat menggunakan indikator Indeks Massa Tubuh (IMT) menurut usia (IMT/U), dengan indikator ini gizi remaja dapat diketahui, yaitu status kurus < -2 SD (Standar Deviasi), normal -2 SD sampai dengan 1 SD, gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD dan obesitas > 2 SD (KEMENKES RI, 2014b). Pengukuran yang dilakukan adalah
12
dengan menimbang berat badan dalam kilogram (kg) dan peneraan tinggi badan dalam meter (m), kemudian dihitung indek massa tubuh dan dikonversikan ke dalam standar deviasi berdasarkan usia (KEMENKES RI, 2010).
IMT
=
Berat Badan (kg) Tinggi Badan (cm) x Tinggi Badan (cm)
Prevalensi hipertensi jauh lebih tinggi pada orang dengan obesitas (KEMENKES RI, 2013a). Riwayat status gizi pada masa kanak-kanak juga dapat memprediksi risiko hipertensi pada remaja (Kollias et al., 2012). Remaja dengan status gizi dengan berat badan berlebih memiliki tekanan darah sistolik dan diastolik 5,1 mmHg dan 2,5 mmHg lebih tinggi dibandingkan dengan remaja dengan status gizi yang normal, pada remaja obesitas memiliki tekanan darah sistolik dan diastolik sebesar 11,3 mmHg dan 6,2 mmHg lebih tinggi dari pada remaja dengan status gizi normal (Sánchez-Zamoran et al., 2009). Selain itu, risiko untuk terkena hipertensi 3,6 kali lebih besar pada remaja dengan kelebihan berat badan dan 14 kali lebih besar dari remaja obesitas (SánchezZamoran et al., 2009; dan Rusilanti dan Istiany, 2013). Beberapa penelitian yang menghubungkan IMT terhadap hipertensi pada remaja seperti yang dilakukan di Meksiko menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara hipertensi dengan status gizi lebih pada remaja (Flores-Huerta et al., 2009). Penelitian di Lisbon, Portugal menyatakan IMT pada remaja dengan hipertensi didapati hasil dengan berat badan normal 30,4%, kegemukan 45,2% dan obesitas 45,5% (Silva et al., 2012).
e. Aktivitas Fisik Aktivitas fisik didefinisikan sebagai setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh gerakan otot sehingga dapat meningkatkan pengeluaran tenaga atau energi (KEMENKES RI, 2014b). Kegiatan yang dapat meningkatkan aktivitas remaja adalah bermain, berolahraga, transporatasi, rekreasi dengan lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (WHO, 2010). Peningkatan aktivitas fisik merupakan salah satu cara untuk menurunkan risiko hipertensi karena dengan aktivitas fisik, energi yang dikeluarkan akan semakin banyak sehingga
13
keseimbangan energi dapat tercapai serta dapat mengontrol berat badan (WHO, 2011a). Amerika merekomendasikan agar remaja mulai meningkatkan aktivitas fisiknya selama 1500 menit/minggu atau sekitar 3,5 jam/hari, bahwa melakukan aktivitas fisik paling sedikit 15 menit dalam sehari diperkirakan dapat menurunkan 14% risiko hipertensi yang dapat menyebabkan kematian (Lauer.M.S, 2012). Penelitian lain menunjukkan bahwa remaja yang berolah raga kurang dari tiga kali per minggu meningkatkan faktor risiko terjadinya hipertensi (Covelli, 2007). Salah satu cara perhitungan aktivitas fisik adalah dengan menggunakan Analysis of International Physical Activity Questionnaire (IPAQ) (Rabaity dan Sulchan, 2012). Alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat aktivitas fisik seseorang. Alat ukur ini terdiri dari 7 item soal yang mengukur tentang aktivitas fisik berat (vigorous activity), aktivitas sedang (moderate activity), aktivitas berjalan kaki (walking activity) dan aktivitas duduk (sitting activity) pada seseorang dalam satu minggu terakhir (Craig et al., 2003).
f. Konsumsi Natrium Dalam perkembangannya, asupan diet harian sangat berhubungan dengan perubahan tekanan darah dan perningkatan risiko hipertensi pada seseorang (He et al., 2008). Pengamatan terhadap asupan natrium dan tekanan darah pada anakanak juga menunjukkan hubungan yang positif (Yang et al., 2012). Suatu respon tekanan darah yang sensitif terhadap natriun didefinisikan sebagai kenaikan ratarata tekanan darah arteri sebesar 5 mmHg setelah mengkonsumsi tinggi natrium selama 2 minggu (Saing, 2005). Asupan natrium secara langsung mempengaruhi volume vaskuler dan pengaturan tekanan darah, terjadi melalui mekanisme retensi natrium yang mengakibatkan penurunan kemampuan pembuluh darah untuk melakukan vasodilatasi, sehingga terjadi penumpukan cairan dalam tubuh karena natrium mengikat cairan di luar sel yang tidak dapat dikeluarkan (Covelli, 2007; Adrogue dan Madias, 2008; Kemenkes RI, 2013a). Konsumsi natrium yang berlebihan dalam jangka waktu lama berpotensi besar untuk meningkatkan
14
hipertensi (Covelli, 2007). Nilai asupan harian natrium usia 15-17 tahun sesuai dengan Angka Kecukupan Gizi Harian (AKG) orang Indonesia laki – laki dan perempuan adalah 1500 mg/hari (Permenkes, 2013). Anjuran konsumsi natrium untuk remaja adalah 1500-2300 mg/hari agar dampak kelebihan konsumsi natrium dapat dihindari (WHO, 2013). Penelitian He et al (2008), pada anak rentang 4 sampai 18 tahun menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara asupan garam dengan tekanan darah sistolik dan diastolik terhadap usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh dan asupan kalium, terjadi peningkatan 1 g/hari dalam asupan narium dapat meningkatkan 0,4 mmHg pada tekanan sistolik dan 0,6 mmh tekanan diastolik.
B. Penelitian yang Relevan Tabel. 2.3 Penelitian yang relevan Peneliti
Judul
Desain
Hasil
Perbedaan
Fatta dan sulchan 2012)
Asupan tinggi natrium dan berat badan lahir sebagai faktor resiko kejadian hipertensi obesitas pada remaja awal.
Case control
Prevalensi hipertensi obesitas sebesar 7,5%, ada hubungan bermakna antara asupan tinggi natrium (p=0,042) dan berat badan lahir (p=0,012) terhadap kejadian hipertensi obesitas pada remaja awal.
Analisis regresi linier ganda. Hipertensi pada remaja, faktor yang mempengaruhi hipertensi pada remaja.
Fitriana et al., 2013
Faktor risiko kejadian hipertensi pada remaja di wilayah kerja Puskesma Rawat Inap Sidomulyo Kota Pekanbaru Konsumsi gula sederhana dan aktivitas fisik sebagai faktor risiko kejadian hipertensi obesitik pada remaja awal
Case control
Ada hubungan signifikan antara riwayat keturunan (OR=7,68), obesitas (OR=12,32) dan Aktivitas fisik (OR=7,86) dengan Kejadian hipertensi
Analisis regresi linier ganda, Hipertensi pada remaja, faktor yang mempengaruhi hipertensi pada remaja.
Case control
Prevalensi hipertensi obesitik sebesar 7,5%. ada hubungan bermakna antara asupan gula sederhana (p=0,039) dan aktivitas fisik (p=0,014) terhadap kejadian hipertensi obesitik pada remaja awal.
Analisis regresi linier ganda. Hipertensi pada remaja, faktor yang mempengaruhi hipertensi pada remaja
Rabaity dan Sulchan 2012
.
15
Mulyadi et al., 2013
Kautsar et al., 2014
Hubungan Antropometri, Aktivitas Fisik, dan Pengetahuan Gizi dengan Asupan Energi dan Komposisi Makronutrien pada Remaja
Cross sectional
Hubungan Obesitas, Asupan Natrium Dan Kalium Dengan Tekanan Darah Pada Mahasiswa Universitas Hasanuddin Angkatan 2013
cross sectional
Rerata asupan energi, karbohidrat, protein, dan lemak adalah 2.443 (761-5.109) kkal, 316 (106-734) gram, 84,3 (25,2-224) gram, dan 82 (14,8-211,3) gram. Baik indeks massa tubuh, tebal lipatan kulit, lingkar pinggang, dan tingkat pengetahuan gizi tidak berhubungan dengan asupan energi dan makronutrien (p>0,05). Aktivitas fisik tingkat sedang dan tinggi dikaitkan dengan perbedaan pola asupan energi (p=0,007) dan lemak (p=0,005), tetapi tidak untuk aktivitas rendah ataupun makronutrien lainnya Ada hubungan bermakna antara obesitas (berdasarkan IMT) dengan tekanan darah (p=0,030), tidak ada hubungan signifikan antara lingkar perut dengan tekanan darah (p=0,716), tidak ada hubungan signifikan antara asupan natrium dengan tekanan darah (p=0,09), tidak ada hubungan signifikan antara asupan kalium dengan tekanan darah (p=0,758).
Analisis regresi linier ganda. Hipertensi pada remaja, faktor yang mempengaruhi hipertensi pada remaja.
Analisis regresi linier ganda. Hipertensi pada remaja, faktor yang mempengaruhi hipertensi pada remaja.
16
C. Kerangka Berpikir Faktor-faktor yang diteliti digambarkan pada kerangka pikir sebagai berikut:
Faktor Biologis
Perkembangan Janin
Jenis Kelamin
Berat Badan Lahir
Aktivitas Fisik
Pertambahan berat badan setelah lahir
Riwayat Penyakit Keluarga
IMT HIPERTENSI
Keterangan : = Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Faktor Ekternal: - Asupan Makanan - Daerah Tempat Tinggal
Asupan Natrium
17
D. Hipotesis Penelitian 1.
Ada hubungan yang positif antara Jenis Kelamin terhadap kejadian hipertensi pada remaja usia 15–17 tahun. Remaja dengan Jenis Kelamin Laki-laki memiliki risiko mengalami hipertensi lebih besar daripada remaja dengan Jenis Kelamin Perempuan.
2.
Ada hubungan yang positif antara Berat Badan Lahir Rendah terhadap kejadian hipertensi pada remaja usia 15–17 tahun. Remaja dengan Berat Badan Lahir Rendah memiliki risiko mengalami hipertensi lebih besar daripada Berat Badan Lahir Normal
3.
Ada hubungan yang positif antara riwayat penyakit keluarga terhadap kejadian hipertensi pada remaja usia 15–17 tahun. Remaja dengan riwayat penyakit keluarga hipertensi memiliki risiko mengalami hipertensi lebih besar daripada remaja yang tidak memiliki riwayat penyakit keluarga hipertensi.
4.
Ada hubungan yang positif antara IMT/U > 1 SD terhadap kejadian hipertensi pada remaja usia 15–17 tahun. Remaja dengan IMT/U > 1 SD memiliki risiko mengalami hipertensi lebih besar daripada IMT/U < 1 SD.
5.
Ada hubungan yang positif antara asupan natrium > 2300 mg/hari terhadap kejadian hipertensi pada remaja usia 15–17 tahun. Remaja dengan asupan natrium > 2300 mg/hari memiliki risiko mengalami hipertensi daripada remaja yang mempunyai asupan < 2300 mg/hari.
6.
Ada hubungan yang positif antara aktivitas fisik
yang kurang terhadap
kejadian hipertensi pada remaja usia 15–17 tahun. Semakin Rendah aktivitas fisik pada remaja semakin tinggi risiko mengalami hipertensi.