BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah 1. Pengertian air Limbah Menurut Metcalf dan Eddy yang dimaksud air limbah (waste water) adalah kombinasi dari cairan dan sampah–sampah (air yang berasal dari daerah permukiman, perdagangan, perkantoran, dan industri) bersama–sama dengan air tanah, air permukaan dan air hujan yang mungkin ada12. Sedangkan menurut Ehlers and Steel, limbah merupakan cairan yang dibawa oleh saluran air buangan12. Secara umum dapat dikemukakan air buangan adalah cairan buangan yang berasal dari rumah tangga, industri maupun tempat-tempat umum lainnya, dan biasanya mengandung bahan-bahan / zat yang dapat membahayakan kehidupan manusia serta mengganggu kelestarian hidup12. 2. Sumber Air Limbah Air limbah sebagai sumber pencemar dapat berasal dari berbagai sumber yang pada umumnya karena hasil perbuatan manusia dan kemajuan teknologi12. Sumber–sumber air limbah tersebut oleh Haryoto Kusnoputranto (1986) dibedakan menjadi 3, yaitu : a. Air limbah rumah tangga (domestic wasted water), air limbah dari permukiman ini umumnya mempunyai komposisi yang terdiri atas ekskreta
(tinja dan urin), air bekas cucian dapur dan kamar mandi,
dimana sebagian besar merupakan bahan organik. b. Air limbah kotapraja (municipal wastes water), air limbah ini umumnya berasal dari daerah perkotaan, perdagangan, sekolah, tempat–tempat ibadah dan tempat–tempat umum lainnya seperti hotel, restoran, dan lain– lain.
c. Air limbah industri (industrial wastes water), air limbah yang berasal dari berbagai jenis industri akibat proses produksi ini pada umumnya lebih sulit dalam pengolahannya serta mempunyai variasi yang luas. 3. Komposisi dan Karakteristik Air Limbah Komposisi air limbah sebagian besar terdiri dari air (99,9%) dan sisanya yaitu (0,1%) dari zat padat. Zat padat yang ada tersebut terbagi atas 70 % zat organik (terutama protein , karbohidrat, dan lemak) serta kira–kira 30% anorganik terutama pasir, garam dan logam13. Sedangkan karakteristik air limbah diperlukan untuk menentukan cara pengolahan yang tepat sehingga efektifitas dan efisiensinya dapat tercapai. Karakteristik atau sifat–sifat air limbah terbagi menjadi tiga golongan yaitu:13 a. Sifat fisik Penentuan derajat kekotoran air limbah sangat dipengaruhi oleh adanya sifat fisik yang mudah terlihat. Adapun sifat fisik yang penting meliputi kandungan zat padat, kejernihan, bau, warna, dan temperatur. Bau pada air limbah dapat menunjukkan apakah air limbah tersebut masih baru atau telah busuk. b. Sifat kimia Pada umumnya bahan kimia yang penting yang ada dalam air limbah diklasifikasikan sebagai bahan organik dan bahan anorganik. Kandungan bahan kimia yang ada dalam air limbah dapat merugikan lingkungan melalui berbagai cara. Bahan organik terlarut dapat menghabiskan oksigen dalam air limbah serta akan menimbulkan rasa dan bau yang tidak sedap. Selain itu akan lebih berbahaya apabila bahan tersebut merupakan bahan beracun. Adapun bahan kimia yang penting yang ada di dalam air limbah pada umumnya dapat diklasifikasikan sebagai bahan organik, bahan anorganik zat beracun, logam berat dan gas. c. Sifat Biologis Pemeriksaan biologis di dalam air limbah untuk memisahkan apakah ada bakteri patogen berada di dalamnya. Keterangan biologis ini diperlukan untuk mengukur kualitas air terutama bagi air yang dipergunakan sebagai
air minum dan untuk keperluan kolam renang. Selain itu untuk menaksir tingkat kekotoran air limbah sebelum dibuang ke badan air. Kehidupan mikrobiologis antara lain : bakteri, jamur, ganggang, protozoa, virus, dan lain–lain. Bakteri tersebut meliputi bakteri yang membantu proses perombakan zat organik maupun bakteri patogen yang menjadi sumber kuman penyakit bagi manusia. B. Pengolahan Air Limbah 1. Tujuan Pengolahan Tujuan pengolahan air limbah adalah untuk menurunkan kadar BOD,COD, zat-zat tersuspensi, organisme-organisme patogen dan untuk menghilangkan atau untuk mengurangi nutrien bahan-bahan beracun zat terlarut serta zat lainnya yang sukar dibiodegradasi.13 Sedangkan menurut Unus Suriawiria, tujuan pengolahan air limbah antara lain adalah :14 a. Ditinjau dari segi kelangsungan kehidupan di dalam air Ditinjau dari segi kelangsungan kehidupan di dalam air untuk menghindari kerusakan dalam biota lingkungan misal untuk kelompok hewan dan tanaman air. b. Ditinjau dari segi kesehatan Untuk menghindari penyakit menular. Karena air merupakan media terbaik untuk kelangsungan hidup mikroba penyebab penyakit menular. c. Ditinjau dari segi estetika Untuk melindungi air terhadap bau dan warna yang tidak menyenangkan atau tidak diharapkan. 2. Cara Pengolahan Berdasarkan karakteristiknya pengolahan limbah (air buangan) dibagi menjadi 3 cara yaitu14 : a. Pengolahan secara fisik / fisis contoh : Filtrasi, evaporasi, skrining, sentrifugasi, flotasi, dan reverse osmosis.
b. Pengolahan secara kimiawi contoh : Koagulasi, ion-excange resin, klorinasi, dan ozonisasi. c. Pengolahan secara biologis contoh : Lumpur aktif, filter trickling, kolam oksidasi, fermentasi metan, dekomposisasi materi-toksik, dan denitrifikasi 3. Tahap - tahap Pengolahan Pada umumnya pengolahan air limbah dikelompokkan kedalam pengolahan tahap pertama (primary treatment), pengolahan tahap kedua (secondary treatment), pengolahan tahap ketiga (tertiary treatment) dan pembuangan lumpur (sludge disposal). Pengolahan tahap pertama dimaksudkan untuk menghilangkan zat- zat padat tersuspensi dengan cara pengendapan dan pengapungan pada tahap ini dilakukan sedimentasi, penambahan koagulan, dan bahan-bahan untuk penetralan. Pengolahan tahap kedua biasanya mencakup proses biologis untuk menghilangkan bahan-bahan organik melalui oksidasi biokimiawi. Termasuk dalam pengolahan kedua ini adalah trickling filter, proses lumpur aktif, dan kolam stabilisasi atau modifikasi sejenisnya. Pengolahan tahap ketiga antara lain proses penyaringan, adsorbsi karbon aktif, proses pertukaran ion dan proses desinfeksi dengan menggunakan khlor atau ozon untuk menghilangkan organisme patogen. Lumpur yang dihasilkan dari proses biologis dan presipitasi akibat penambahan bahan-bahan kimia diolah dengan proses pemekatan untuk meningkatkan konsentrasi padatan dan mengurangi volume lumpur aktif, stabilisasi, atau digesti (baik aerob maupun anaerob) untuk mereduksi bahanbahan patogen dan mengurangi bau yang tidak sedap, penambahan bahanbahan kimia dan pemanasan untuk mempercepat proses pengurangan air serta proses pengeringan lumpur dan oksidasi bahan organik. Residu lumpur dan abu dari proses pengolahan lumpur dibuang ke laut atau di tanah dengan sistem sanitary landfill15.
C. Industri Tapioka 1. Pengertian industri tapioka Industri tapioka merupakan industri yang menyelenggarakan suatu proses yang mengolah singkong sebagai bahan dasar menjadi tepung tapioka sebagai produk akhir. 2. Proses pembuatan tepung tapioka Tepung tapioka umumnya berbentuk butiran pati yang banyak terdapat dalam sel umbi singkong, dengan cara memisahkan komponen sel pati dengan komponen lainnya diperolehlah tepung tapioka. Skema proses pembuatan tepung tapioka secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut:5 Ubi Kayu
Pengupasan
Air
Pencucian
Kulit
Air Buangan
Pemarutan Pemerasan
Air
Pengendapan/ Pemisahan Pati
Ampas/ Onggok Air Buangan
Pengeringan Penggilingan TepungTapioka Urutan pengerjaan proses pembuatan tepung tapioka tersebut adalah sebagai berikut:16
a. Pengupasan dan Pencucian Sebelum diproses singkong terlebih dahulu dikupas kulitnya. Pengupasan ini dilakukan oleh tenaga manusia. Setelah singkong dikupas kemudian diadakan pencucian untuk menghilangkan lendir di bawah kulit. Pada umumnya pencucian dilakukan dalam bak permanen. Pencucian yang baik adalah air senantiasa mengalir terus menerus, dengan demikian air selalu diganti. b. Pemarutan Selesai pencucian, singkong dimasukkan dalam mesin pemarut untuk diparut menjadi bubur. Mesin parut terus menerus dicuci dengan air. Air ini mengalirkan bubur ke dalam satu bak dan disinilah bubur dikocok, dari bak bubur singkong dimasukkan ke alat yang terbuat dari anyaman kawat halus. c. Pemerasan dan Penyaringan Pemerasan dan penyaringan dilakukan dengan mesin (saringan getar). Alat penyaring ini terbuat dari anyaman kawat halus atau selapis tembaga tipis yang berlubang kecil-kecil. Bubur dimasukkan ke dalam alat dan pengairan terus berlangsung. Air dari penyaringan ditapis dengan kain tipis yang dibawahnya disediakan wadah untuk menampung aliran air tersebut. Di atas saringan ampas tertahan, sementara air yang mengandung pati ditampung dalam wadah pengendapan. d. Pengendapan Pengendapan dimaksudkan untuk memisahkan pati murni dari bagian lain seperti ampas dan unsur-unsur lainnya. Pada pengendapan ini akan terdapat butiran pati termasuk protein, lemak, dan komponen lain yang stabil dan kompleks. Jadi akan sulit memisahkan butiran pati dengan komponen lainnya. Bahkan ini terdapat berbagai senyawa sehingga dapat menimbulkan bau yang khas. Senyawa alkohol dan asam organik merupakan komponen yang mempunyai bau khas. Butiran pati yang akan diperoleh berukuran sekitar 4-24 mikron (1 mikron sama dengan 0,001 mm). Sifat kekentalan (viskositas) cairan tapioka tidak jauh berbeda
dengan air biasa. Butiran pati yang berbentuk bulat dan mempunyai berat jenis 1,5 dan butiran ini harus cepat diendapkan. Kecepatan endapan sangat ditentukan oleh besarnya butiran pati, keasaman air rendaman, kandungan protein yang ikut, ditambah zat koloidal lainnya. Pengendapan butiran (granula) umumnya berlangsung selama 24 jam dan akan menghasilkan tebal endapan sekitar 30 cm. e. Pengeringan pengeringan disini dimaksudkan untuk menguapkan kandungan air sehingga diperoleh tepung tapioka yang kering. Untuk itu endapan pati harus segera dikeringkan Pengeringan bisa menggunakan sinar matahari, atau pengeringan buatan. Pengeringan buatan yang sering digunakan adalah batch drier, oven drier, cabinet drier, dan drum drier. Endapan pati yang terbentuk semi cair ini mempunyai kandungan air sekitar 40 % dan dengan pengeringan langsung akan bisa turun sampai 17%. Dalam pengeringan harus diperhatikan faktor suhu terutama yang menggunakan panas buatan. Suhu jangan melebihi 70 - 80
0
C. Jadi usahakan
0
pengeringan pada suhu di bawah 70 C. Gumpalan-gumpalan pati setelah keluar dari pengeringan langsung dihancurkan guna mendapatkan tepung yang diinginkan. Penghancuran dapat melalui rol atau disingrator. Hasil dari penghancuran ini masih berupa tepung kasar. Untuk memperoleh tepung yang halus maka perlu disaring atau diayak. 3. Air Limbah Industri Tapioka a. Karakteristik Air limbah tapioka Karakteristik air limbah diperlukan untuk mengetahui tingkat pencemaran limbah, disamping itu juga diperlukan untuk menentukan design pengolahan yang tepat serta memudahkan dalam menentukan parameter yang akan dianalisis. Parameter penting yang menentukan kualitas air limbah tapioka antara lain: kekeruhan, warna, bau, padatan tersuspensi, pH, BOD, COD dan sianida. Faktor yang berpengaruh terhadap kualitas limbah cair pada industri tapioka antara lain : varietas
bahan baku yang digunakan, proses produksi, adanya pemakaian bahan kimia tambahan, dan pengendapan kurang sempurna. b. Sumber limbah tapioka Limbah tapioka berasal dari 3 (tiga) sumber: 1). Ampas tapioka, berbentuk padatan terdiri atas zat-zat selulosa 2). Limbah cair, yang terdiri atas air dengan zat tersuspensi dan terlarut dari tepung tapioka. 3). Sampah berupa potongan ubi kayu tak terpakai dan kulit ubi c. Dampak Air Limbah Industri Tapioka Air limbah industri tapioka jika tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan beberapa gangguan antara lain: 1). Terhadap kesehatan manusia Limbah cair tapioka dapat mengganggu kesehatan manusia apabila air limbah telah mencemari badan air atau tanah sehingga mengakibatkan beberapa parameter melampaui batas syarat kualitas air yang telah ditentukan. 2). Terhadap lingkungan Limbah cair tapioka yang dibuang ke lingkungan baik ke tanah maupun ke badan air, akan menimbulkan masalah antara lain gangguan estetika, bau rasa, dan warna. D. COD (Chemical Oxigen demand) 1. Pengertian COD COD atau kebutuhan oksigen kimia adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia1. 2. Kegunaan Uji COD COD merupakan parameter yang digunakan untuk menentukan bahan-bahan organik yang ada di dalam air limbah baik yang mudah dirombak maupun yang sukar dirombak oleh mikroba. Air limbah tapioka mempunyai nilai COD berkisar antara 3388 – 11446 mg/l5.
3. Proses Penguraian bahan organik Bahan buangan organik akan dioksidasi oleh kalium bichromat seperti pada berikut: CaHbOc + CrO72- + H+
CO2 +H2O +Cr3+ Katalis
Reaksi tersebut perlu pemanasan dan juga penambahan katalisator perak sulfat (Ag2SO4) untuk mempercepat reaksi. Apabila dalam bahan buangan oraganik diperkirakan ada unsur chlorida yang dapat mengganggu reaksi maka perlu ditambahkan merkuri sulfat untuk menghilangkan gangguan tersebut. Chlorida dapat mengganggu karena akan ikut teroksidasi oleh kalium bichromat sesuai dengan reaksi berikut: 6Cl- + Cr2O72- +14 H+
3Cl2 + 2Cr3+ + 7H2O
Apabila dalam larutan air lingkungan terdapat chlorida, maka oksigen yang diperlukan pada reaksi tersebut tidak menggambarkan keadaan sebenarnya. Seberapa jauh tingkat pencemaran oleh bahan buangan organik tidak dapat diketahui secara benar.Penambahan merkuri sulfat adalah untuk mengikat ion chlor menjadi merkuri chlorida mengikuti reaksi berikut: Hg2+ + 2Cl-
HgCl2
Warna air lingkungan yang mengandung bahan buangan organik sebelum reaksi oksidasi adalah kuning. Setelah reaksi oksidasi selesai maka akan berubah menjadi hijau. Jumlah oksigen yang diperlukan untuk reaksi oksidasi terhadap bahan buangan organik sama dengan jumlah kalium bichromat yang dipakai pada reaksi tersebut di atas1. 4. Cara kerja Bila taksiran COD sampel > 800 mg/l, maka sampel harus diencerkan dengan air suling hingga COD berada sekitar 50 sampai 800 mg/l. Bila taksiran COD sudah berada sekitar angka- angka tersebut, maka cara kerjanya sebagai berikut17: a.
HgSO4 ± 0,4 g dipindahkan ke dalam gelas erlenmeyer COD 250 ml.
b.
Batu didih sebanyak 5 atau 6 yang telah dibersihkan terlebih dahulu dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer tersebut.
c.
Ditambahkan larutan sampel sebanyak 20 ml.
d.
Ditambahkan larutan K2Cr2O7 0,25 N sebanyak 10 ml.
e.
Disiapkan reagen asam sulfat perak sebanyak 30 ml dan dipindahkan dengan menggunakan dispenser sebanyak ± 5 ml reagen H2SO4 tersebut ke dalam gelas erlenmeyer COD. Dikocok perlahan-lahan dan hati-hati untuk mencegah penguapan, tetapi larutan harus tercampur dan panasnya merata.
f.
Dialirkan air pendingin pada kondensor dan diletakkan gelas erlenmeyer COD dibawah kondensor. dituangkan sisa reagen H2SO4 dari butir e yaitu ± 25 ml, melalui kondensor ke dalam gelas erlenmeyer COD (gelas refluks) sedikit demi sedikit dengan menggunakan dispenser dan selama ini digoyang gelas refluks agar semua reagen dan sampel tercampur.
g.
Kondensor ditempatkan dengan gelas erlenmeyer COD (gelas refluks) atas pemanas bunsen. Dinyalakan alat pemanas dan refluks larutan selama ± 2 jam.
h.
Dibiarkan gelas refluks dingin dahulu, kemudian bilaslah kondensor dengan air suling sebanyak kira-kira 25 – 50 ml.
i.
Dilepaskan gelas refluks dari kondensor, dinginkan larutan, kemudian encerkan larutan yang telah direfluks tadi sampai menjadi 2 kali jumlah larutan dalam gelas refluks dengan air suling. Tambahkan air suling kira-kira 150 – 200 ml. Dinginkan lagi sampai suhu ruangan.
j.
Ditambahkan 3 - 4 tetes indikator feroin.
k.
Dikromat yang tersisa didalam larutan sesudah direfluks, dititrasikan dengan larutan standard fero alumunium sulfat 0,10 N, sampai warna hijau-biru menjadi coklat-merah.
l.
Blanko terdiri dari 20 ml air suling yang mengandung semua reagen yang ditambahkan pada larutan sampel. Refluks dengan cara yang sama seperti diatas.
m. Untuk mendapatkan hasil yang teliti, maka harus dibuat duplikat untuk setiap sampel. 5. Perhitungan COD COD (mg/l) =
( a – b ) x N x 8000 ml sampel
a = ml FAS (Fero Alumunium Sulfat) yang digunakan untuk titrasi blanko, b = ml FAS yang digunakan untuk titrasi sampel, N = normalitas larutan FAS
E. Reaksi Fotokimia Cahaya dapat digunakan sebagai pemacu terjadinya reaksi kimia untuk mendapatkan seleksi transformasi yang luas pada dekomposisi polutan didalam air. Beberapa reaksi kimia tersebut sebenarnya tidak mungkin terjadi bila memakai reaktan konvensional. Hal ini dapat terjadi karena selain memancarkan radiasi inframerah dan cahaya tampak, matahari juga memancarkan radiasi ultraviolet. Radiasi ultraviolet tersebut mempunyai kemampuan yang tinggi untuk menyebabkan terjadinya reaksi kimia (bila dibandingkan dengan kandungan energi radiasi inframerah dan cahaya tampak). Walaupun tidak semua polutan organik menyerap cahaya, namun banyak diantaranya yang mudah terdekomposisi dengan atau berbagai macam cara. Oleh karenanya, pengetahuan terhadap mekanisme kimia pada reaksi fotokimia akan bermanfaat dalam merencanakan sistem pengolahan secara fotokimia untuk air yang tercemar9. 1. Sumber Cahaya Sumber cahaya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sinar matahari dan cahaya buatan9. a. Sinar matahari Radiasi ultraviolet (UV) matahari adalah energi elektromagnetik dengan panjang gelombang antara 0,2 – 0,4 mikron dan mempunyai energi yang lebih besar dibanding cahaya tampak. Sinar matahari dimanfaatkan sebagai sumber cahaya oleh Holmes dan Pachecho, 1990 dalam penelitiannya untuk mengolah air yang terkontaminasi dengan
fotolisis. Berdasarkan panjang gelombangnya, radiasi ultraviolet (UV) matahari terbagi atas: 1)
UV-A (0,32 – 0,4 mikron) merupakan panjang gelombang dan memancarkan radiasi yang besarnya konstan sepanjang tahun. Radiasi ini dapat menyebabkan penuaan dini pada kulit.
2)
UV-B (0,28 – 0,32 mikron) merupakan panjang gelombang pendek dan lebih intens dibanding UV-A. UV B lebih kuat terabsorbsi oleh beberapa polutan bimolekul.
3)
UV-C (0,2 - 0,28 mikron ) merupakan radiasi UV yang paling intensif dan berbahaya serta berpotensi untuk menimbulkan kerusakan pada organisme. Pada dasarnya, tingkat kerusakan pada paparan radiasi UV
tergantung dari kuantitas dan jenis radiasi yang dipaparkan. Dimana semakin pendek panjang gelombang radiasi maka energi yang dihasilkan semakin besar yang berarti tingkat kerusakannya juga tinggi. Berdasarkan
kandungan
energi
kimianya,
radiasi
UV
mempunyai kemampuan untuk menimbulkan kerusakan langsung pada molekul penting senyawa yang menyerapnya dan menghancurkan polutan didalam air (Larson et al. Dalam Tedder and Pohland 1990). Sesuai dengan hukum pertama fotokimia yang menyatakan bahwa perubahan kimia hanya akan terjadi bila sistem menyerap radiasi (Jan Kopecky, 1992), maka cahaya harus diabsorbsi oleh sistem supaya reaksi dapat berlangsung. Molekul– molekul harus bisa menyerap panjang gelombang minimal sebesar 290 nm supaya dapat dipengaruhi oleh cahaya matahari. b. Cahaya Buatan Sumber cahaya buatan untuk reaksi fotokimia dapat berasal dari lampu yang tersedia pada variasi luas mulai dari lampu bohlam (bulb) tungsten-filamen sederhana sampai lampu dengan pancaran bunga api listrik merkuri (mercury arc). Lampu bohlam tungsten- filamen memancar secara kuat pada daerah tampak, sedangkan lampu mercury
arc menghasilkan sinar UV dengan panjang gelombang kurang dari 290 nm (UV-C : 0,2–0,28) yang mempunyai intensitas tinggi. Sumber cahaya UV yang banyak digunakan adalah lampu dengan daya 4 – 40 watt dan intensitas maksimum pada panjang gelombang 254 nm. Lampu ini mudah didapatkan di pasaran dan banyak digunakan sebagai lampu germicidal9. Beberapa jenis lampu yang dapat digunakan sebagai sumber cahaya UV buatan pada tabel 2.1. berikut : Tabel 2.1. Sumber cahaya ultra violet dan intensitasnya Sumber a. Sumber lemah 1. lampu tungsen 2. lampu hidrogen 3. lampu karbon b.Sumber intermediate 1. batang merkury (tekanan rendah) 2.batang kadmium 3. batang zinc c. Sumber kuat 1. sinar matahari
Daerah pajang gelombang efektif (nm)
Intensitas utama (Einstein det-1 cm-2)
450 – tampak 165 – tampak 400 – tampak 185,254
(254 nm) 2x1010 (10cm dari lampu 6W)
229,326 214,308 340 – tampak
2. batang merkury (tekanan sedang)
200 – tampak
3. Batang merkuri (tekanan tinggi )
240 – tampak
4. Batang xenon
200 – tampak
(400 nm) 5x 10-9 (350 nm) 3x10-9 (313 nm) 1x10-9 (100 w pada 50 cm) (366 nm) 1,5x10-9 (dengan reflektor) (366 nm) 1,2x10-9 (200w, 50cm tanparef;ektor)
2. Prinsip dasar reaksi fotokimia Reaksi fotokimia merupakan reaksi kimia yang menggunakan cahaya untuk mendekomposisi polutan organik didalam air dengan cara menyerap cahaya untuk memutuskan ikatan dari senyawa – senyawa kimia. Cahaya dapat berupa panjang gelombang dan bersifat sebagai partikel (particle like properties) dimana cahaya merupakan gabungan dari ayunan elektrikal terhadap arah propagasi dari gelombang (Schwarrzenbach et al. 1993)9. Panjang gelombang (λ) adalah jarak antara 2 maksima berurutan, yang berbanding terbalik dengan frekuensi dan biasa dinyatakan dengan
jumlah putaran penuh pada titik tertentu dalam satu detik, yang dapat dirumuskan sebagai berikut: C λ = --------
(1)
v Ketarangan:
C
: Kecepatan cahaya dalam ruang hampa = 3x 108 m det-1
v
: frekuensi (Hz)
Cahaya sebagai partikel dapat diukur dan diserap dalam satuan diskrit, yang disebut foton atau kuanta (satuan cahaya dalam bentuk molekul). Energi (kj einstein-1) dari foton atau kuanta dinyatakan dalam : C
Keterangan :
E = h.v = h. ------
(2)
h
: konstanta planck 6,63 x 10-34jdet
λ
Satuan cahaya dalam molar biasa disebut einstein. 1 einstein = 6,02 x 1023(= 1 mol) foton / kuanta adalah : 1,196 x 105
C
E = 6,02 x1023.h -------= -----------λ
(3)
λ
Energi sinar UV kira-kira sama dengan energi yang diperlukan untuk reaksi kimia. Sinar ultraviolet dihasilkan oleh atom dan molekul dalam nyala listrik, sehingga persamaan energinya dapat ditulis sebagai berikut: W = P. t
(4)
Keterangan: W = energi P = daya t = waktu
Energi sinar UV dan cahaya tampak dapat mengeksitasi elektron suatu molekul dari kondisi dasar kekondisi tereksitasi. Sehingga pada prinsipnya,
ikatan
dapat
diputuskan
dengan
absorbsi
cahaya
(Schwarzenbach et al . 1993). Fenomena ini dapat dijelaskan sebagai berikut9:
Pada reaksi fotokimia, penghancuran molekul diawali dengan penyerapan foton (Larson et al. Dalam Tedder and Pohland, 1990). Saat foton mendekati molekul, terjadi interaksi antar medan elektromagnetik yang
menyertai
molekul.
Terjadinya
perubahan
secara
fotokimia
disebabkan karena energi yang diabsorbsi mengubah molekul pada kondisi dasar (ground state) menjadi kondisi tereksitasi (excited state) yang tidak stabil. Supaya terjadi penyerapan foton guna mendapatkan kondisi eksitasi, molekul harus mempunyai pita absorbsi pada spektrum UV cahaya tampak yang mencakup panjang gelombang foton tersebut (Larson and Weber, 1994). Karena radiasi UV – C mempunyai panjang gelombang minimum 200 nm. Maka molekul organik harus menyerap cahaya diatas 200 nm supaya terjadi proses fotolisis (Larson and Weber, 1994). Energi radiasi ini berhubungan dengan energi eksitasi molekul dengan λ = 200 – 700 nm (Jan Kopecky, 1992)9. Kondisi eksitasi suatu molekul tidak berlangsung lama sampai molekul tersebut kembali pada kondisi dasar dengan melalui proses fisika berikut : a. Melepas energi secara vibrasi dalam bentuk panas yang dipindahlkan ke spesies lain. b. Melepas energi dalam bentuk cahaya. Proses ini disebut fluorosensi dan fosforesensi. c. Memindahkan kelebihan energi kepada molekul lain yang biasa disebut fotosensitisasi dan menyebabkan molekul tersebut tereksitasi. Proses kimia yang dialami oleh molekul tereksitasi untuk kembali ke kondisi dasar merupakan suatu bentuk transformasi dan juga penyisihan (removal) suatu senyawa (Schwarzenbach et al. , 1993). Senyawa–senyawa baru hasil transformasi dapat termasuk pemutusan ikatan, penyusunan kembali atau reaksi intermolekuler (Larson and Weber, 1994). Selanjutnya senyawa-senyawa tersebut akan bereaksi dengan proses fotokimia, kimia
atau biologi. Akibatnya sangat sulit untuk menentukan dan mengukur seluruh hasil transformasi fotokimia (Schwarzenbach et al. ,1993)9. Dalam proses fotokimia, kecepatan foton yang diberikan ke suatu sistem reaksi menentukan kecepatan fotolisis suatu senyawa fotokimia. Unit fluks cahaya yang sering digunakan dalam persamaan kinetika adalah einstein cm-2 det-1/nm. Kecepatan fotolisis suatu senyawa kimia dalam larutan pada panjang gelombang9 : DC/dt = ØIολ(A/V)Fsλ.Fcλ
(5)
Keterangan :
Ø : Quantum yield Iολ : Intensitas cahaya pada suatu sistem reaksi (einstein cm-2det-1) A : Luas permukaan yang terpapar (cm2) V : Volume larutan (liter) Fsλ : Fraksi cahaya yang diserap oleh sistem Fcλ : Fraksi cahaya yang terserap oleh zat kimia dalam sistem F. Reaksi Photokatalitik Photokatalitik secara mendasar didefinisikan sebagai suatu photoreaksi yang reaksinya dipercepat dengan keberadaan katalis. Katalis dapat mempercepat terjadinya photoreaksi dengan cara berinteraksi dengan substrat dalam media atau
dengan hasil utama dari photoreaksi. Dalam reaksi
photokatalitik, tidak ada energi yang disimpan, yang terjadi hanya percepatan oleh katalis terhadap reaksi yang berjalan lambat dengan proses penyinaran. Beberapa keuntungan yang didapat dari penggunaan reaksi photokatalitik adalah sebagai berikut: 1. Pengolahan air limbah dilakukan tanpa adanya penambahan zat kimia. 2. Tidak diperlukannya pengolahan limbah secara lanjut. 3. Proses dapat dilaksanakan pada rentang normal. Tipe katalik yang efektif digunakan pada proses photokatalitik, yaitu oksida logam misalnya ZnO, WO3, Fe2O3, CuSe, SnO2, tetapi beberapa penelitian membuktikan bahwa TiO2 yang berada dalam larutan tersuspensi merupakan katalis yang sangat efektif dan efisien digunakan dalam
photokatalitik, Titanium diokksida (TiO2) yang mempunyai “band gap” ± 400 nm cahaya, telah banyak digunakan sebagai katalis fotooksidasi karena merupakan semikonduktor yang potensial, sumber transfer elektron, dan stabil untuk radiasi pendahuluan (Larson dan weber, 1994). Beberapa keuntungan menggunakan katalis TiO2 seperti di bawah ini: 1. Proses terjadi pada suhu ambient. 2. Photokatalitik berjalan langsung tanpa adanya pembentukan produk intermediet 3. TiO2 mempunyai nilai absorbansi maksimum pada panjang gelombang pendek. 4. Oksidasi substrat menjadi CO2 berjalan secara lengkap. 5. Proses operasinya murah. 6. Proses mempunyai kemampuan menjadi industri dengan teknologi detoksi untuk mengolah air limbah. Beberapa masalah yang ditimbulkan dengan adanya penggunaan katalis dalam suatu larutan tersuspensi adalah diperlukannya pengambilan kembali katalis untuk dipergunakan kembali dalam proses photokatalitik. Beberapa penelitian menyarankan untuk menggunakan penempatan katalis pada suatu gelas yang tidak bergerak dalam suatu reaktor, tetapi hal ini menimbulkan masalah yang cukup rumit, karena rendahnya efisiensi akibat sulitnya transfer massa, selain itu juga mahalnya biaya investasi, sehingga sampai saat ini, penggunaan katalis TiO2 tersuspensi masih dipandang sebagai proses yang masih efisien. Reaksi fotokimia yang berlangsung pada permukaan partikel sangat mungkin untuk dilaksanakan. Semikonduktor fotokimia misalnya dapat berpengaruh dalam air yang mengandung okida-oksida metal yang menyerap panjang gelombang matahari seperti ZnO, MnO2, atau Fe2O3. Hal tersebut dikarenakan semikonduktor oksida jika diradiasi dengan cahaya yang panjang gelombangnya mempunyai energi lebih besar atau sebanding dengan energi “band gap”nya (Larson and Weber, 1994), akan melepaskan dari kondisi pasar pita valensinya kekondisi tereksitasi pita konduksi, sehingga menghasilkan
elektron dalam kondisi tereksitasi pada pita konduksi dan lubang bermuatan positif (h+) atau disebut electronic vacancy ditepi pita valensi (Larson et al. dalam Tedder and Pohland, 1990)9. Secara umum mekanisme reaksi photokatalitik dideskripsikan sebagai berikut: ketika suatu semi konduktor yaitu katalis tersuspensi dalam suatu larutan disinari oleh sinar dengan energi yang melebihi atau sama dengan band gap dari semi konduktor tersebut , maka pada permukaan katalis tersebut akan terbentuk pasangan elektron (e- dan h+). Sehingga cahaya yang digunakan harus mendekati UV dengan panjang gelombang lebih kecil dari 410 nm. Pada pasangan elektron yang terbentuk dipermukaan katalis, muatan positip h+ akan berpindah menuju area anoda dari katalis yang berkemampuan untuk mengoksidasi HO- membentuk HO* radikal, kemudian polutan dalam limbah cair akan didegradasi oleh HO* radikal tersebut membentuk zat tidak berbahaya seperti CO2 dan asam mineral, sedangkan elektron akan berpindah menuju area katoda dari katalis dan melakukan setengah reaksi reduksi terhadap oksigen dalam limbah cair membentuk H2O, apabila kondisi air limbah tidak mengandung oksigen yang memadai karena keberadaan nitrogen dan air limbah mengandung banyak ion logam, maka dalam hal ini elektron diharapkan dapat mereduksi ion logam tersebut, dengan catatan bahwa proses reduksi akan tejadi jika potensial reduksi dari logam lebih besar dari level terendah dari energi celah. Adapun persamaan reaksi oksidasi yang terjadi adalah sebagai berikut:
Keterangan:
TiO2 + hv
h+ + e-
h+ + OH-
HO*
-
e + O2
O2
-
h+ : Electron vacancy hv : Sering digunakan dalam persamaan reaksi untuk menyatakan radiasi elektromagnetik
Beberapa penelitian dengan menggunakan photokatalitik membuktikan bahwa proses tersebut dapat digunakan untuk memecah atau menghancurkan tipe polutan organik, selain itu juga dapat digunakan untuk proses pemurnian air, penghancuran bakteri, virus, dan pengambilan logam dari aliran limbah9.
G. Kerangka Teori
Limbah Tapioka
Cair
Padat
Pengolahan Fisika - Penyaringan - Pengendapan - Evaporasi
Panjang gelombang Suhu pH Konsentrasi COD limbah tapioka Waktu Konsentrasi TiO2 Volume limbah tapioka Kecepatan dan lama pengadukan
Pengolahan Kimia - Chlorinasi - Koagulasi - Karbon aktif - Photokatalitik
Pengolahan Biologis - Lumpur aktif - Trickling Filter - Septick Tank - Oxidation ditch - Aerasi Bertingkat
Photokatalitik
COD sesuai Perda No. 10 /2004
H. Kerangka Konsep Variabel bebas
Variabel terikat
Proses Photokatalitik dalam berbagai interval waktu
COD Limbah Tapioka
Volume pH Panjang gelombang Kecepatan dan lama pengadukan Konsentrasi TiO2 Suhu Variabel yang dikendalikan
I. Hipotesa Ada perbedaan penurunan kadar COD limbah cair tapioka sebelum dan setelah pengolahan dengan proses photokatalitik dalam berbagai interval waktu (10, 20, 40, 60, dan 90 menit).