BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Teori Perpajakan
2.1.1
Pengertian Pajak Terdapat banyak pengertian pajak yang dikemukakan oleh para ahli.
Pengertian pajak menurut para ahli memberikan definisi tentang pajak yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya definisi tersebut mempunyai tujuan dan inti yag sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga mudah dipahami. Pengertian pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) adalah sebagai berikut: “Pajak adalah kontribusi Wajib Pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UndangUndang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besaarnya kemakmuran rakyat.” Menurut P.J.A Andriani dalam Waluyo (2011:2) pengertian pajak adalah sebagai berikut: ”Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk,dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.”
Menurut Sommerfiled Ray M., Anderson Herschel M., dan Brock Horace R. dalam Zain (2008:11) menyatakan bahwa:
11
12
“Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang diterapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsiona, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.”
Sedangkan menurut Rachmat Soemitro (Mardiasmo, 2011:1) “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra Prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
2.1.2
Fungsi Pajak a. Fungsi anggaran (budgetair) Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan
melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya.
Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang,
pemeliharaan,
dan
lain
sebagainya.
Untuk
pembiayaan
pembangunan, uang dikeluarkan dari Tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
13
b. Fungsi mengatur (regulerend) Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. c. Fungsi stabilisasi Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang dimasyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien. d. Fungsi redistribusi pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kedaerah, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak, namun bila terlalu rendah maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan menurut Joseph R. Kaho (2005:46) yaitu:
14
a. Pemungutan pajak harus adil Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundangundangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Contohnya adalah dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak, pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak dan sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran b. Pengaturan pajak harus berdasarkan undang-undang Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya c. Jaminan hukum Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum. Jaminan hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi para wajib pajak. d. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.
15
e. Pemungutan pajak harus efesien Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana, dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu. f. Sistem pemungutan pajak harus sederhana Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.
2.1.3
Pajak Kendaraan Bermotor
2.1.3.1 Pengertian Pajak Kendaraan Bermotor Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka, diketahui bahwa pajak kendaraan bermotor adalah pajak atas kepemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor. Sedangkan kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih, beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat dan digerakan oleh
16
peralatan teknik, berupa motor atau peralatan lain yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga. Kendaraan bermotor itu sendiri adalah kendaraan yang digerakkan oleh motor/mekanik, tidak termasuk kendaraan yang berjalan diatas rel. jadi kendaraan bermotor adalah kendaraan yang berjalan diatas aspal dan tanah seperti mobil sedan, bis, truck, trailer, pick-up, kendaraan beroda tiga dan beroda dua dan sebagainya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka diketahui bahwa pajak kendaraan bermotor termasuk pada pajak daerah maka subjek retribusi daerah sebagai berikut: 1. Retribusi jasa umum adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/ menikmati pelayanan jasa umum yang bersangkutan. 2. Retribusi jasa usaha adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/ menikmati pelayanan jasa usaha yang bersangkutan. 3. Retribusi perizinan tertentu adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh izin tertentu dari pemerintah daerah.
Sama seperti subjek retribusi daerah karena pajak kendaraan bermotor termasuk pada pajak daerah maka Objek retribusi daerah terdiri dari 1. Jasa umum yaitu berupa pelayanan yang disediakan atau diberikan pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat diminati oleh orang pribadi atau badan. 2. Jasa, usaha yaitu berupa pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial.
17
3. Perizinan tertentu yaitu kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Salah satu sumber dana yang dapat digunakan untuk membiayai sarana dan prasarana di setiap daerah yaitu berasal dari pajak atau pendapatan asli daerah sendiri. Berdasarkan undang-undang pemerintahan daerah, khususnya asas desentralisasi, pemerintah daerah memiliki sumber penerimaan yang terdiri atas hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, laba perusahaan daerah, dan pendapatan asli daerah yang sah. Salah satu pendapatan asli daerah sendiri adalah dari sektor kendaraan bermotor. Sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah yang berpengaruh,
terhadap
pendapatan
daerah.
Dengan
ditetapkannya
suatu
penerimaan pajak diharapkan mampu meningkatkan dari sektor pajak, dalam hal ini khususnya dari pajak kendaraan bermotor.
2.1.3.2 Dasar Hukum Republik Indonesia sebagai negara hukum menekankan ketentuan tentang keharusan adanya dasar hukum yang mengatur setiap tindakan kebijaksanaan yang berhubungan kehidupan bernegara. Pengaturan tentang Pajak Kendaraan Bermotor diadakan untuk pertama kali dengan Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor Tahun 1934. (Staatsblad tahun 1934 Nomor 718).
18
Peninjauan-peninjauan dan penyernpurnaan haruslah selalu dilakukan terhadap setiap peraturan perundang-undangan. Langkah tersebut perlu dilakukan mengingat bahwa ketentuan-ketentuan itu berhadapan dengan masa dan manusia yang selalu berkembang. Begitupun dengan bidang pengetahuan dan teknologi bertumbuh dengan pesat. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor Tahun 1934 sebagai peraturan perundang-undangan semenjak ditetapkan telah mengalami peninjauanpeninjauan berupa penambahan dan perubahan sebagai berikut : a. Staatsblad Tahun 1935 Nomor 551; b. Staatsblad Tahun 1937 Nomor 33; c. Staatsblad Tahun 1939 Nomor 603; d. Staatsblad Tahun 1940 Nomor 226; e. Staatsblad Tahun 1949'Nomor 376; f. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1959 dalam Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 101. Dalam semua ketentuan diatas penyempurnaan terhadap pajak ini telah dilakukan. Pemerintah Indonesia yang menganut otonomi, menyebabkan dalam penyerahan urusan yang akan diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah diiringi dengan pemberian sumber pendapatan yang diperlukan dalam pembiayaan. Pajak Kendaraan Bermotor yang selama ini dikelola oleh pemerintah sebagai pajak negara termasuk dalam sumber pendapatan yang diserahkan pada daerah. Penyerahan ini dilakukan dengan Poraturan Pcmerintah Nomor
19
3 Tahun 1957 tentang Penyerahan Pajak Negara kepada Daerah. Untuk berlakunya suatu pajak yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah diterbitkanlah Peraturan Daerah. Adapun dasar hukum pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor saat ini berdasar kepada Peraturan Daerah Nornor 4 Tahun 2003 tentang Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air.
2.1.3.3 Objek Pajak Pelaksanaan pajak didasarkan pada adanya obyek yang dikenakan beban pajak. Pajak Kendaraan Bermotor sebagai pajak mempunyai obyek berupa kendaraan bermotor yang terdaftar. Keberadaan kendaraan bermotor sebagai obyek yang terdaftar, adalah melalui proses yang akan dibicarakan tersendiri. Dalam pasal 1 ayat (2) huruf a Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934 dikutip sebagai berikut : ”Kendaraan bermotor; setiap kendaraan (elkrij of Voertig), yang diperuntukkan guna semata-mata digerakkan atau juga turut digerakkan, selain atas ril, oleh suatu kekuatan mekanik yang ada di atau pada kendaraan itu, begitu pula kereta-kereta tambahan dari kendaraan-kendaraan itu.” Sedangkan di dalam Peraturan paerah Nomor 4 Tahun 2003 Pasal 3 angka (1) menyebutkan : Objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan
dan
/
atau
penguasaan
kendaraan
bermotor,
termasuk
kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak.
20
2.1.3.4 Subjek Tanggung Pajak dan Beban Pajak Pengenaan beban pajak didasarkan kepada adanya kendaraan bermotor. Keberadaannya secara sah dibuktikan oleh berbagai hal yang harus dipenuhi dan terutama bukti bahwa kendaraan sudah terdaftar sesuai dengan ketentuan administrasi yang ditentukan. Dalam pasal 5 angka 1, menyebutkan bahwa Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan bermotor dan atau kendaraan di atas air. Jadi tertanggung beban pajak adalah pemilik kendaraan, yaitu orang seorang atau kelembagaan/badan hukum. "Pajak terhutang oleh orang yang memegang kendaraan bermotor". Pengertian "yang memegang" adalah dikaitkan kepada siapa yang memiliki dan atau yang berhak penuh atas kendaraan tersebut. Jadi subyek tanggung pajak adalah pemilik kendaraan orang seorang dan badan hukum. Setiap wajib pajak akan dikenakan penagihan sebesar beban pajak yang ditentukan terhadap pemilikan atas kendaraan bermotor. Beban pajak akan dapat diketahui melalui surat penagihan yang dicantumkan berdasarkan penentuan beban yang ditetapkan dengan peraturan perundangan. Dalam pasal 6 Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2003 ditentukan Dasar Pengenaan, Tarif dan Penghitungan Pajak adalah : a. Dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor dihitung sebagai perkalian dari 2 (dua) unsur pokok (1) Nilai jual kendaraan bermotor;
21
(2) Bobot yang mencerminkan secara relatif kadar kerusakan jalan dan pencemar lingkungan akibat penggunaan kndaraan bermotor. b. Nilai jual kendaraan bermotor diperoleh berdasarkan harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor. c. Dalam hal harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor tidak diketahui, nilai jual kendaraan bermotor ditentukan berdasarkan faktor-faktor : (1) Isi silinder dan/atau satuan daya; (2) Penggunaan kendaraan bermotor; (3) Jenis kendaraan bermotor; (4) Merek kendaraan bermotor; (5) Tahun pembuatan kendaraan bermotor; (6) Berat total kendaraan bermotor dan banyaknya penumpang yang diizinkan; (7) Dokumen impor untuk jenis kendaraan bermotor. d. Bobot sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan faktor-faktor : 1) Tekanan ganda; 2) Jenis bahan baker kendaraan bermotor; 3) Jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin dari kendaraan bermotor. e. Penghitungan dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5),
22
dinyatakan dalam suatu table yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. f. Dalam hal dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor yang belum tercantum dalam table sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor ditetapkan dengan Keputusan Gubernur dan diberitahukan kepada DPRD dan Menteri Dalam Negeri. g. Tabel sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ditinjau kembali setiap tahun. Pasal 7 menyebutkan : 1) Tarif pajak kendaraan bermotor ditetapkan sebesar : 1,5 % (satu koma lima persen) untuk kendaraan bermotor bukan umum; 2) 1 % (satu persen) untuk kendaraan bermotor umum; 0,5 % (nol koma lima persen) untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar. Pasal 8 menyebutkan : Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tariff sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (7) dan ayat (8). Selanjutnya pasal 9 menyebutkan : a) Pajak kendaraan bermotor dikenakan untuk masa pajak 12 (dua belas) bulan berturut-turut dihitung mulai saat pendaftaran kendaraan bermotor, b) Pajak kendaraan bermotor dibayar sekaligus di muka.
23
Berdasarkan patokan-patokan diatas ditetapkan-lah beban pajak atas kendaraan bermotor yang dimiliki oleh wajib pajak. Beban pajak ditetapkan untuk masa satu tahun yang mempedomani tahun takwim. Terhadap pemilikan kendaraan bermotor yang berada dalam tahun yang sedang berjalan, maka beban pajak yang dikenakan kepada wajib pajak adalah dengan memperhatikan
sisa waktu
tahun
yang tersisa.
Dalam
hal
penghitungan beban pajak diberlakukan pembulatan ke atas.
2.1.3.5 Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) Di samping Pajak Kendaraan Bermotor terdapat sumber pendapatan yang berkaitan dengan kendaraan bermotor. Sumber pendapatan tersebut disebut Bea Balik Nama Kendaraan Berrnotor yang popular disingkat dengan BBN.KB. Jenis sumber pendapatan ini dalam bentuk pajak juga yang dipungut atas dasar pengalihan hak milik atas kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi jual beli, tukar menukar, hibah termasuk hibah wasiat dan hadiah, warisan atau pemasukan kedalam badan usaha. Dasar hukum dari Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah Undang Undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak Negara Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN.KB), Dasar hukum tersebut oleh Pemerintah Daerah dilanjutkan pengaturannya dengan menerbitkan Peraturan Daerah. Dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 pasal 3 menyebutkan Obyek daripada Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah penyerahan
24
Kendaraan Berrnotor, termasuk penyerahan kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak. Dalam pasal 4 diatur tentang pengecualian dalam pemungutan pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang diserahkan kepada : -
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa/Nagari;
-
Kedutaan,
Konsulat,
Perwakilan
Asing,
dan
Lembaga-lembaga
Internasional dengan azaz timbal balik; -
Pabrikan atau importer kendaraan bermotor baru yang semata-mata untuk dipamerkan, untuk dijual dan tidak dipergunakan dalam lalu lintas bebas;
-
Orang pribadi atau badan atas kendaraan di atas air perintis. Dalam pasal 6 diatur subyek pajak Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor ; 1) Subyek pajak Bea Balik Nama adalah orang pribadi atau badan yang dapat menerima penyerahan kendaraan bermotor dan atau kendaraan di atas air. 2) Wajib Pajak Bea Balik Nama adalah orang pribadi atau badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor dan atau kendaraan di atas air. 3) Yang bertanggung jawab atas pembayaran Bea Balik Nama adalah: (a) Untuk orang pribadi adalah orang yang bersangkutan, kuasanya atau ahli warisnya.
25
(b) Untuk badan adalah pengurusnya. Dasar Pengenaan Bea Balik Nama diatur dalam pasal 7 : 1) Dasar pengenaan pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor dan Nilai Jual Kendaraan di Atas Air. 2) Nilai Jual Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air yang tercantum dalam ketetapan Menteri Dalam Negeri atau Gubernur. Dalam hal dasar pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air belum tercantum dalam tabel yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri, dasar pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Gubernur, dan diberitahukan kepada DPRD dan Menteri Dalam Negeri. Pemungutan kedua sumber pendapatan tersebut Kendaraan
Bermotor
dan
Bea
Balik
Nama
diatas
Kendaraan
(Pajak
Bermotor),
pelaksanaan operasionalnya bergabung dengan instansi lain Kepolisian Republik Indonesia melalui Direktorat Lalu Lintas dan PT (Persero) A.K. Jasa Raharja melalui mekanisme Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap, yang lebih populer disebut SAMSAT. Ketentuan pendukung tentang mekanisme ini diatur dalam Surat Keputusan Bersama Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, dan Direktur Utama PT. Jasa
26
Raharja (Persero) Nomor : Skep/06/X/1999, Nomor : 973 - 1228, Nomor : SKEP/02/X/1999 tentang Pedoman Tata laksana Sistem Administrasi Manunggal Di Bawah Satu Atap dalam Penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Tanda Coba Kendaraan Bermotor, dan Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sera Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Dalam Surat Keputusan Bersama tersebut ditegaskan bahwa dalam pelaksanaan tugas, seluruh instansi tersebut harus bekerja sama, mempunyai otonomi masing-masing instansi dan saling hormat menghormati serta bertanggung jawab kepada atasan masing-masing.
2.1.4
Pajak Progresif Kendaraan Bermotor Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang
Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah maka diketahui bahwa pengaturan mengenai pajak progresif kendaraan bermotor adalah sebagai berikut: Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diketahui bahwa: (1) Objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. (2) Termasuk dalam pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksudpada ayat (1) adalah kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya,yang dihasilkan di semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang
27
dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (limaGross Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage) (3) Dikecualikan dari pengertian Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat 2 adalah: a. Kereta api; b. Kendaraan
bermotor
yang
semata-mata
digunakan
untuk
keperluanpertahanan dan keamanan negara; c. Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal batik dan lembaga-lembaga internasional
yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari
Pemerintah; d. Objek Pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diketahui bahwa: (1) Subjek Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor. (2) Wajib Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor. (3) Dalam hal Wajib Pajak Badan, kewajiban perpajakannya diwakili oleh pengurus atau kuasa Badan tersebut. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diketahui bahwa:
28
(1) Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil perkalian dari 2 (dua) unsur pokok: a. Nilai Jual Kendaraan Bermotor; dan b. Bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor. (2) Khusus untuk Kendaraan Bermotor yang digunakan di luar jalan umum, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor. (3) Bobot sebagaimana dimaksud pada. ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien yang nilainya 1 (satu) atau lebih besar dari 1 (satu), dengan pengertian sebagai berikut: a. koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan b. koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi. (4) Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditentukan berdasarkan Harga Pasaran Umum atas suatu Kendaraan Bermotor. (5) Harga Pasaran Umum sebagaimana dimaksud pada, ayat (4) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai cumber data yang akurat.
29
(6) Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada, ayat (4) ditetapkan berdasarkan Harga Pasaran Umum pada, minggu pertama bulan December Tahun Pajak sebelumnya. (7) Dalam hal Harga Pasaran Umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, Nilai Jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor: a. harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama; b. penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi; c. harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama; d. harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama; e. harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Ben rotor; f. harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan g. harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB).· (8) Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan faktor-faktor: a. tekanan ganda, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor; b. jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor yang dibedakan menurut solar, bensin, gas, listrik, tenaga surya, atau jenis bahan bakar lainnya; dan
30
c. jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan jenis mesin 2 tak atau 4 tak, dan isi silinder. (9) Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) dinyatakan dalam suatu Label yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan. (10) Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditinjau kembali setiap tahun. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diketahui bahwa: (1) Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi ditetapkan sebagai berikut: a. Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama paling rendah sebesar 1% (satu persen) dan paling tinggi sebesar 2% (dua persen); b. Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). c. Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama dan/atau alamat yang sama. d. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan,
31
e. Pemerintah/TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, dan kendaraan lain yang ditetapkan dengan Peraturan. Daerak ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dan paling tinggi sebesar 1% (satu persen). f. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,1 % (no] koma satu persen) dan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen). g. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan. Daerah.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diketahui bahwa: (1) Besaran pokok Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana, dimaksud dalam Pasal 5 ayat (9). (2) Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. (3) Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dilakukan bersamaan dengan penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. (4) Pemungutan pajak tahun berikutnya dilakukan di kas daerah atau bank yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan. Retribusi Daerah diketahui bahwa: (1) Pajak Kendaraan Bermotor dikenakan untuk Masa Pajak 12 (dua betas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran Kendaraan Bermotor.
32
(2) Pajak Kendaraan Bermotor dibayar sekaligus di muka. (3) Untuk Pajak Kendaraan Bermotor yang karna keadaan kahar (force majeure) Masa Pajaknya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan restitusi atas pajak yang sudah dibayar untuk porsi Masa Pajak yang belum dilalui. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi diatur dengan Peraturan Gubernur. (5) Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit 10% (sepuluh persen), termasuk yang dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. Berdasarkan Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2011 Pasal 7 ayat (1) tarif Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) ditetapkan sebagai berikut: 1. Tarif PKB pribadi ditetapkan sebagai berikut: a. Untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama sebesar 1,75% (satu koma tujuh lima persen) b. Untuk kepemilikan kendaraan bermotor roda 4 (empat) kedua dan seterusnya didasarkan atas nama dan alamat yang sama sesuai dengan tanda pengenal diri, ditetapkan secara prog resif sebagai berikut: 1. PKB Kepemilikan kedua, sebesar 2,25%; 2. PKB Kepemilikan ketiga, sebesar 2,75%; 3. PKB Kepemilikan keempat, sebesar 3,25%; dan 4. PKB Kepemilikan kelima dan seterusnya, sebesar 3,75%
33
c. Untuk kepemilikan kendaraan roda 2 (dua) atau roda 3 (tiga), kedua dan seterusnya, didasarkan atas nama dan alamat yang sama sesuai dengan tanda pengenal diri, ditetapkan secara progresif sebagai berikut: 1. PKB Kepemilikan kedua, sebesar 2,25%; 2. PKB Kepemilikan ketiga, sebesar 2,75%; 3. PKB Kepemilikan keempat, sebesar 3,25%; dan 4. PKB Kepemilikan kelima dan seterusnya, sebesar 3,75% 2. Penerapan tarif PKB progresif tidak berlaku lagi bagi Kendaraan Bukan Umum
yang
dimiliki
oleh
Badan,
Pemerintah/Pemerintah
Daerah/TNI/Polri dan kendaraan umum. 3. Tarif PKB angkutan umum ditetapkan sebesar 1% (satu persen) 4. Tarif PKB ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen). 5. Tarif PKB Pemerintah/Pemerintah Daerah/TNI/Polri ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen). 6. Tarif KB alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen). Tata cara pelaksanaan pengenaan pajak progresif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Gubernur
34
2.2
Sanksi Pajak
2.2.1
Pengertian Sanksi Pajak Terdapat undang-undang yang mengatur tentang ketentuan umum dan tata
cara perpajakan. Sanksi adalah suatu tindakan berupa hukuman yang diberikan kepada orang yang melanggar peraturan. Sanksi diperlukan agar peraturan atau Undang-undang tidak dilanggar. Agar peraturan perpajakan dipatuhi, maka harus ada sanksi perpajakan bagi para pelanggarnya. Mardiasmo (2011:59) mendefinisikan sanksi pajak adalah: “Jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi. Atau dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah (preventif) agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan.” Penerapan sanksi disini dimaksudkan untuk memberikan hukuman positif kepada wajib pajak yang telah lalai dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sehingga dengan diberikannya sanksi, mudah-mudahan wajib pajak akan merasa jera dan mau belajar dari kesalahan yang telah dilakukannya sehingga untuk memenuhi kewajiban perpajakannya di masa pajak yang akan datang juga bisa lebih baik lagi. Dengan diberikannya sanksi terhadap wajib pajak yang lalai maka wajib pajak pun akan berfikir dua kali jika dia akan melakukan tindak kecurangan atau dengan sengaja lalai dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, sehingga wajib pajak pun akan lebih memilih patuh dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakannya daripada dia harus menanggung sanksi yang diberikan. Hal serupa juga dikemukakan oleh Mohammad Zain (2007:35) yaitu: ”Sesungguhnya tidak diperlukan suatu tindakan apapun, apabila dengan rasa takut dan ancamam hukuman (sanksi dan pidana) saja wajib pajak
35
sudah akan mematuhi kewajiban perpajakannya. Perasaan takut tersebut merupakan alat pencegah yang ampuh untuk mengurangi penyelundupan pajak atau kelalaian pajak. Jika hal ini sudah berkembang dikalangan para wajib pajak maka akan berdampak pada kepatuhan dan kesadaran untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.”
Dalam undang-undang perpajakan dikenal dua sanksi, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Ancaman terhadap pelanggaran suatu norma perpajakan ada yang diancam dengan sanksi asministrasi saja, ada yang diancam dengan sanksi pidana saja, dan ada pula yang diancam dengan sanksi administrasi dan sanksi pidana. Perbedaan sanksi administrasi dan sanksi pidana: a. Sanksi administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada negara, khususnya yang berupa bunga dan kenaikan. b. Sanksi pidana merupakan suatu alat terakhir atau benteng hukum yang digunakan fiskus agar norma perpajakan dipatuhi.
2.2.2
Jenis-Jenis Sanksi Perpajakan Menurut Diana (2013:270) ada 2 macam sanksi perpajakan
1. Sanksi Administrasi berupa denda a. Sanksi administrasi berupa denda Sanksi denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan dalam UU perpajakan. Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda ini akan ditambah dengan sanksi pidana. Pelanggaran yang juga dikenal sanksi pidana ini adalah pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja.
36
b. Sanksi administras berupa bunga Sanksi administrasi berupa bunga dikenal atas pelanggaran yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar. c. Sanksi administrasi berupa kenaikan Sanksi yang paling ditakuti oleh wajib pajak. Karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak yang harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. 2. Sanksi Pidana Sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan tindak kejahatan. Tindak pelanggaran disebut dengan tindak kealpaan yaitu tidak disengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. a. Pidana Kurungan Pidana kurungan hanya diancam kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran. b. Pidana Penjara Pidana penjara seperti halnya pidana kurungan merupakan hukuman perampasan kemerdekaan. Pidana penjara tidak ada yang ditujukan kepada pihak ketiga.
37
2.2.3
Indikator Sanksi Pajak Menurut Mohammad Zain (2008:83) persepsi wajib pajak atas sanksi
perpajakan tersebut diukur dengan : 1. Sanksi perpajakan yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak cukup berat. 2. Pengenaan sanksi yang cukup berat merupakan salah satu sarana untuk mendidik wajib pajak. 3. Sanksi pajak harus dikenakan kepada pelanggarnya tanpa toleransi.
2.3
Kepatuhan Wajib Pajak
2.3.1
Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak Kondisi perpajakan yang menuntun keikutsertaan aktif wajib pajak dalam
menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan wajib pajak yang tinggi.Yaitu, kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan kebenarannya.Karena sebagian besar pekerjaan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan itu dilakukan oleh wajib pajak, bukan fiskus selaku pemungut pajak. Sehingga kepatuhan diperlukan dalam self assessment system, dengan tujuan pada penerimaan pajak yang optimal. Kepatuhan memenuhi perpajakan secara sukarela merupakan tulang punggung self assessment system, di mana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajaknya tersebut.
38
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (2008:1013), istilah kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam perpajakan kita dapat memberi pengertian bahwa kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan, tunduk, dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan. Jadi wajib pajak yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perajakan. Safri Nurmantu (2007:148), mendefinisikan kepatuhan perpajakan adalah: “Suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.” Menurut Norman D. Nowak dikutip oleh Mohammad Zain (2007:31), Kepatuhan Wajib Pajak memiliki pengertian yaitu suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi dimana: 1. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas. 3. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar. 4. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya. Menurut Siti Kurnia (2010:140) : “Kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi sistem administrasi perpajakan suatu negara, pelayanan pada wajib pajak, penegakan hukum perpajakan, pemeriksaan pajak, dan tarif pajak.”
Definisi kepatuhan wajib pajak menurut Devano dan Rahayu (2006:112) adalah sebagai berikut:
39
“Kepatuhan wajib pajak adalah tindakan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang belaku dalam suatu negara.” Predikat wajib pajak patuh dalam arti disiplin dan taat, tidak sama dengan wajib yang berpredikat pembayar pajak dalam jumlah besar, tidak ada hubungan antara kepatuhan dengan jumlah nominal setoran pajak yang dibayarkan kepada kas negara. Karena pembayar pajak terbesar sekalipun belum tentu memenuhi kriteria sebagai wajib pajak patuh, meskipun memberikan kontribusi besar pada negara, jika masih masih memiliki tunggakan maupun keterlambatan penyetoran pajak maka tidak dapat diberi predikat wajib pajak patuh.
2.3.2
Macam-Macam Kepatuhan Menurut Widi Widodo (2010:68) kepatuhan wajib pajak ada 2 macam
yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material: 1. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan 2. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif
atau
hakikatnya
memenuhi
semua
ketentuan
material
perpajakan. Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal.
Salah satu upaya lain dalam meningkatkan kepatuhan wajib adalah memberikan pelayanan yang baik kepada Wajib Pajak. Peningkatan kualitas dan pelayanan diharapkan dapat meningkatkan kepuasan kepada Wajib Pajak sebagai
40
pelanggan sehingga meningkatkan kepatuhan dalam bidang perpajakan. Upaya peningkatan kualitas pelayanan dapat dilakukan dengan cara peningkatan kualitas dan kemampuan teknis pegawai dalam bidang perpajakan, perbaikan dalam infrastruktur (Supadmi, 2009:3).
2.3.3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak Menurut Devano dan Rahayu (2006:112) kepatuhan wajib pajak
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Kondisi sistem administrasi perpajakan suatu negara. 2. Pelayanan pada wajib pajak. 3. Penegakan hukum perpajakan. 4. Pemeriksaan pajak. 5. Tarif pajak. Administrasi perpajakan di Indonesia masih perlu diperbaiki, dengan perbaikan diharapkan wajib pajak lebih termotivasi dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dengan alat untuk mencapai suatu sistem telah diperbaiki maka faktor-faktor lain akan terpengaruh. Administrasi baik karena intansi pajak, sumber daya aparat pajak, dan prosedur perpajakannya baik. Dengan kondisi tersebut maka usaha memberikan pelayanan bagi wajib pajak akan lebih baik, lebih cepat, dan menyenangkan wajib pajak. Dampaknya akan tampak pada kerelaan wajib pajak untuk membayar pajak. Wajib pajak akan patuh (karena tekanan) karena mereka berfikir adanya sanksi berat akibat tindakan illegal dalam usahanya untuk menyelundupkan pajak. Tindakan pemberian sanksi tersebut
41
terjadi jika wajib pajak terdeteksi dengan administrasi yang baik dan terintegrasi serta melalui aktivitas pemeriksaan oleh aparat pajak yang berkompeten dan memiliki integrasi tinggi, melakukan tindakan tax evasion. Penurunan tarif pajak juga akan mempengaruhi motivasi wajib pajak membayar pajak. Dengan tarif pajak yang rendah otomatis pajak yang dibayar pun tidak banyak. Tingkat kepatuhan wajib pajak dapat dipengaruhi beberapa faktor lain, di antaranya adalah: persepsi wajib pajak tentang sanksi perpajakan dan kesadaran wajib pajak. Terdapat undang-undang yang mengatur tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Agar peraturan perpajakan dipatuhi, maka harus ada sanksi perpajakan yang tegas bagi para pelanggarnya. Wajib pajak akan memenuhi kewajiban perpajakannya bila memandang bahwa sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya (Nugroho, 2006 dalam Muliari dan Setiawan, 2009:4). Faktor lain penyebab rendahnya kepatuhan wajib pajak penyebabnya antara lain menyangkut tentang pengetahuan sebagian besar wajib pajak tentang pajak; serta persepsi wajib pajak tentang pajak dan pelayanan petugas pajak masih rendah (Supriyati dan Nurhidayati, 2008:41). Wajib Pajak juga masih mempersepsikan pajak sebagai pungutan wajib bukan sebagai peran serta mereka dalam pembangunan bangsa dan Negara, karena mereka merasa belum melihat manfaat yang nyata bagi negara dan masyarakat. Selama ini banyak wajib pajak yang berpersepsi negatif pada aparat pajak yang terlihat pada rendahnya pelayanan pada wajib pajak dan adanya penyelewengan pajak yang dilakukan oleh oknum aparat pajak.
42
2.3.4
Pengertian Wajib Pajak Pengertian wajib pajak menurut Erly Suandy (2011:105) sebagai berikut:
“Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Menurut Undang-Undang PPh Pasal 2 ayat (2) dikuti dalam Gunadi (2001:46), “Wajib pajak adalah orang pribadi dan badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.”
2.3.5
Indikator Kepatuhan Wajib Pajak Kepatuhan wajib pajak dikemukakan oleh Norman D. Nowak dalam
Devano dan Rahayu (2006:110) sebagai “suatu iklim” kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi di mana: 1.
Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan.
2.
Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
3.
Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.
4.
Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya. Menurut Nasucha (2004) dalam Devano dan Rahayu (2006:111)
kepatuhan wajib pajak dapat diidentifikasi dari: 1.
Kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri.
2.
Kepatuhan untuk menyetorkan kembali surat pemberitahuan.
3.
Kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang.
4.
Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.
43
2.4
Kerangka Pemikiran Akibat penerapan tarif pajak progresif pajak kendaraan bermotor (PKB)
yang harusnya dibayar oleh wajib pajak semakin besar. Pada kenyatannya banyak wajib pajak yang telah menjual kendaraannya dan hanya memiliki satu kendaraan saja tetapi tetap terkena pajak progresif. Hal ini dapat terjadi terhadap wajib pajak pasif, lain hanya jika wajib pajak aktif tidak akan terkena tarif progresif dengan cara wajib pajak yang aktif tersebut membuat laporan dan memberi pernyataan kepada pihak Cabang Pelayanan Dinas Pendatan/Samsat yang menyatakan bahwa kendaraan yang dimilikinya tersebut telah dijual dan berpindah tangan. Sehingga petugas samsat melakukan pemblokiran terhadap nomor polisi kendaraan yang bersangkutan agar tidak terkena pajak progresif. Hal ini harus melakukan balik nama terhadap kendaraan bekas yang telah dibeli oleh penjual. Akibat dari terkenanya pajak progresif tersebut banyak wajib pajak tidak melakukan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) sehingga seiring berjalannya waktu wajib pajak tidak membayarkan pajak terhutangnya sehingga terkena sanksi pajak. Hal ini dikarenakan ketikdakpatuhan wajib pajak dalam membayar pajak kendaraan bermotor. Dengan berlakunya pajak progresif untuk kendaraan bermotor menyebabkan bertambahnya jumlah pendapatan daerah dari sektor pajak daerah yang artinya berlakunya pajak progresif mempengaruhi kepatuhan wajib pajak (Harist Agung Nugraha, 2014). Penerapan sanksi diterapkan sebagai akibat tidak terpenuhinya kewajiban perpajakan oleh wajib pajak sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang perpajakan. Pengenaan sanksi pajak kepada wajib pajak dapat menyebabkan
44
terpenuhinya
kewajiban
perpajakan
oleh
wajib
pajak
sehingga
dapat
meningkatkan kepatuhan wajib pajak itu sendiri. Wajib pajak akan patuh (karena tekanan) karena mereka berfikir adanya sanksi berat akibat tindakan ilegal dalam usahanya menyelundupkan pajak, (Devano dan Rahayu, 2006:112) Dari pernyataan diatas maka peneliti ingin meneliti bagaimana pengaruh penerapan pajak progresif dan sanksi perpajakan terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak kendaraan bermotor pada Kantor SAMSAT Kota Bandung Timur.
Penerapan Pajak Progresif (X1) Kepatuhan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor (Y) Sanksi Perpajakan (X2)
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
2.5
Hipotesis Penelitian
H01
: Penerapan Pajak Progresif tidak berpengaruh signifikan terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor.
Ha1
: Penerapan Pajak Progresif berpengaruh signifikan terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor.
H02
: Sanksi Perpajakan tidak berpengaruh signifikan terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor.
45
Ha2
: Sanksi Perpajakan berpengaruh signifikan terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor.
H03
: Penerapan Pajak Progresif dan Sanksi Perpajakan tidak berpengaruh signifikan terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor.
Ha3
: Penerapan Pajak Progresif dan Sanksi Perpajakan berpengaruh signifikan terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor.