BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1.1
Rumah Sakit Definisi Rumah Sakit Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009,
rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat jalan, rawat inap, dan gawat darurat. Rumah Sakit diselanggarakan berdasarkan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika, dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. Selain itu rumah sakit juga merupakan salah satu sarana kesehatan dalam mennyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi kesehatan. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan
secara
menyeluruh,
terpadu,
dan
berkesinambungan
(Siregar,2004). 2.1.2
Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang
rumah sakit, rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. 8
9
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009, rumah sakit mempunyai fungsi : 1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai standar pelayanan rumah sakit. 2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis. 3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan. 4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan. 2.1.3
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar merupakan rumah sakit
pendidikan tipe A di kota Denpasar (Permenkes1636 Tahun 2005 Tanggal 2 Desember 2005). Saat ini RSUP Sanglah Denpasar berstatus Badan Layanan Umum (BLU milik Departemen Kesehatan RI dan merupakan rujukan untuk provinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Bali. RSUP Sanglah Denpasar memiliki fasilitas pelayanan kesehatan yang lengkap dan sekarang sudah bestandar internasional: Joint Comition Internasional (JCI). Dalam perkembangannya RSUP Sanglah Denpasar berkerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana sebagai rumah sakit pendidikan. Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah terdiri dari 26 instalasi antara lain Rawat Jalan, Rawat Inap A, Rawat Inap B, Rawat Inap C, Rawat Inap D, Rawat Intensif, Bedah Sentral, Wing Internasional, Geriatri, Pelayanan Jantung Terpadu, Rehabilitas Medik,
10
Radiologi, Farmasi, Gizi, Sterilisasi Sentral, Binatu, Kedoketran Forensik, Rekam Medik, Pengamanan dan Penertiban Lingkungan, Pemeliharaan sarana gedung dan sanitasi, Pemeliharaan Sarana Medis dan Non Medis, perbengkelan, Patologi Anatomi, Elektronik data program, Hemodialisa, dan Laboratorium Klinik.
2.2 2.2.1
Laboratorium Klinik Definisi Laboratorium Klinik Menurut
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
441/MENKES/PER/III/2010, laboratorium klinik adalah laboratorium kesehatan yang melaksanakan pelayanan pemeriksaan spesimen klinik untuk mendapatkan informasi tentang perorangan terutama untuk menunjang upaya diagnosis penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemulihan kesehatan. Keberadaan laboratorium klinik penting sebagai bagian dari perangkat penentu diagnosis, baik penyakit tidak menular maupun panyakit menular, dan bukan hanya sekedar penunjang diagnosis. Hal ini penting terutama terkait kesiapsiagaan negara mengahadapi Kejadian Luar Biasa (KLB) maupun prepandemik Penyakit Infeksi New-Emerging dan ReEmerging (Pinere). Demikian juga perlunya standar kelaiakan mutu bagi fasilitas laboratorium klinik untuk mendukung keberhasilan meluasnya penyakit infeksi. Kontribusi yang diberikan adalah dengan memberikan hasil diagnosis yang cepat, tepat, dan akurat, sehingga dapat diambil tindakan pencegahan maupun pengobatan yang sesuai penyakitnya (KEMENKES-RI, 2012) Laboratorium klinik berdasarkan jenis pelayanannya terbagi menjadi dua yaitu
laboratorium klinik umum dan laboratorium klinik khusus. Laboratorium
klinik umum merupakan laboratorium yang melaksanakan pelayanan pemeriksaan spesimen klinik di bidang hematologi, kimia klinik, mikrobiologi klinik, parasitologi
11
klinik, dan imunologi klinik. Sedangkan laboratorium klinik khusus adalah laboratorium yang melaksanakan pelayanan pemeriksaan spesimen klinik pada satu bidang pemeriksaan khusus dengan kemampuan tertentu.
Laboratorium klinik
rumah sakit atau banyak dikenal sebagai Instalasi Laboratorium Klinik (ILK) merupakan unit kerja di rumah sakit yang sering termasuk sebagai pusat pendapatan atau bahkan pusat laba di rumah sakit. Intalasi ini dapat menjadi penompang kemandirian rumah sakit baik milik pemerintah maupun swasta. 2.2.2
Indikator Laboratorium Klinik Menurut
Kementrian
Kesehatan
(2012)
Pengembangan
indikator
laboratorium klinik dilakukan antara lain dengan mempertimbangkan keberadaan indikator standar pelayanan minimum di rumah sakit, indikator akreditasi, dan ISO 15189. Berikut penjelasan masing-masing indikator laboratorium klinik : 1. Indikator Standar Pelayanan Minimum (SPM) untuk laboratorium di rumah sakit antara lain a. Waktu tunggu hasil pelayanan laboratorium, b. Tidak adanya kesalahan penyerahan hasil pemeriksaan laboratorium c. Peralatan laboratorium yang terkalibrasi tepat waktu. 2. Indikator kinerja laboratorium terkait akreditasi rumah sakit meliputi: a. Keberadaan kebijakan mutu pelayanan b. Prosedur tentang penanganan spesimen, c. Prosedur pemeriksaan yang lengkap, d. Prosedur verifikasi hasil pemeriksaan, e. Prosedur pemeliharaan dan perbaikan f. Peralatan laboratorium g. Prosedur pengadaan dan penyimpanan bahan
12
h. Prosedur audit internal i. Prosedur pengendalian dokumen j. Prosedur pengamanan pada keadaan darurat k. Prosedur penanganan limbah l. Prosedur tindakan perbaikan 3. Indikator Laboratorium dalam ISO 15189 dapat diklasifikasikan ke dalam kelompok: a. Personil/Staf b. Akomodasi dan kondisi lingkungan c. Peralatan laboratorium d. Prosedur sebelum pemeriksaan e. Prosedur pemeriksaan f. Jaga mutu prosedur pemeriksaan g. Prosedur pasca pemeriksaan h. Laporan hasil
2.3 Kepuasan Pasien 2.3.1
Pengertian Kepuasan Pasien Kepuasan pasien sudah ada sejak tahun 1960an pada sistem di bidang
kesehatan. Larsson dan Wilde-Larsson (2010) mengatakan bahwa kepuasan pasien sebagai sebuah emosi, yaitu cara seseorang dalam menilai sesuatu secara emosionalnya. Proses penilaian tersebut dibentuk berdasarkan interaksi terhadap suatu kondisi baik kondisi internal maupun eksternal. Proses penilaian dalam pelayanan kesehatan dan emosional seseorang disebut kepuasan pasien .
13
Sari (2008) mengatakan kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang (pasien) setelah membandingkan antara kinerja atau hasil yang dirasakan dengan apa yang diharapkannya. Adapun manfaat dari kepuasan tersebut yaitu 1. Kepuasan pasien merupakan sarana untuk menghadapi kompetensi dimasa yang akan datang 2. Kepuasan pasien merupakan promosi terbaik 3. Kepuasan pasien merupakan asset perusahaan terpenting 4. Kepuasan pasien menjamin pertumbuhan dan perkembangan suatu perusahaan 5. Pasien semakin kritis dalam memilih produk pelayanan 6. Pasien yang puas akan kembali 7. Pasien yang puas akan dengan mudah memberikan referensi Hermanto (2010) mengatakan kepuasan pasien dinilai berdasarkan interpretasi pasien terhadap pelayanan yang diterima sudah sesuai dengan yang mereka harapkan seperti keterampilan, dan kesopanan petugas, kelengkapan sarana dan prasarana dalam memberikan suatu pelayanan kesehatan. Kepuasan tiap orang dalam menilai suatu pelayanan khususnya pelayanan kesehatan berbeda-beda tiap orang karena memiliki karakteristik yang berbeda, baik secara pengetahuan, kelas sosial, pengalaman, pendapatan dan harapan (Rahmulyono,2008). Sri (2006) berpendapat serupa yaitu kepuasan pasien merupakan bentuk evaluasi dari pasien terhadap suatu produk atau pelayanan yang mereka dapatkan sesuai dengan apa yang diharapkan bahkan melebihi harapan mereka. Rashid dan Amina (2014) mengatakan kepuasan dapat dibagi menjadi dua yaitu kepuasan yang berwujud, artinya kepuasan yang dapat dirasakan dan dilihat oleh pelanggan atau pasien dan telah dimanfaatkan, dan kepuasan psikologika artinya tidak berwujud tapi
14
dapat dirasakan oleh pasien. Rama (2011) berpendapat kepuasan pasien akan terpenuhi jika proses penyampaian jasa pelayanan kesehatan kepada konsumen suda sesuai dengan yang mereka harapkan. Kebutuhan pasien yang diharapkan adalah keamanan pelayanan, harga dalam memperoleh pelayanan, ketepatan dan kecepatan pelayanan kesehatan (Azwar,2007). Hingga saat ini difinisi kepuasan pasien masih diperdebatkan, setidaknya terdapat dua tipe yang dominan yaitu memandang kepuasan sebagai sebuah outcome atau hasil yang didapat dari sebuah pengalaman dan dipihak lain memandang kepuasan sebagai sebuah proses. Walau demikian oriantasi sebuah program akan mampu mengungkap pengalaman konsumen secara keseluruhan dibandingan orientasi hasil. Orientasi proses menekankan pada perseptual, evaluatif, dan psikologis yang berkontribusi terhadap suatu kepuasan atau ketidak puasan pelanggan (pasien) sehingga nantinya kompenen dari masing-masing dapat ditelaah secara spesifik (Marknesis, 2009). Satrianegara dan Marknesis (2009) mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien adalah karakteristik demografis, sosio-psikologis dan demografi diantaranya: usia, kompetensi pribadi, tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, status pernikahan, gaya hidup dan seterusnya. 2.3.2
Metode mengukur kepuasan
Adapun metode yang digunakan dalam mengukur kepuasan pelanggan yaitu (Kotler, 2008) : 1. Sistem keluhan dan saran Menyediakan berupa kotak saran untuk memberikan saran dan kritik terhadap suatu pelayanan yang diterimanya.
15
2. Pembelanja Misterius (Ghost Shopping) Salah satu strategi pelayanan kesehatan yang menggunakan beberapa orang sebagai konsumen kemudian melaporkan apa yang ditemukannya sehingga hasil tersebut digunakan sebagai bahan evaluasi dan pengambilan keputusan. 3. Lost Customer Analisis Perusahaaan mencari informasi kepada konsumen yang telah berhenti membeli produknya agar nantinya pihak perusahaaan mampu memahami kebutuhan yang diharapkan oleh konsumen 4. Survei Kepuasan Pelanggan Kepuasan konsumen khususnya pasien sebagai pengguna layanan kesehatan dapat diukur berdasarkan kuesioner, pos , telepon, ataupun dengan wawancara langsung untuk memperoleh tingkat kepuasan pasien.
2.4 Persepsi Mutu Persepsi adalah kemampuan untuk membeda-bedakan, mengelompokkan, memfokuskan dan sebagainya itu yang selanjutnya diinterpretasi. Persepsi berlangsung saat seseorang menerima stimulus dari dunia luar yang ditangkap oleh organ-organ bantunya yang kemudian masuk ke dalam otak. Di dalamnya terjadi proses berpikir yang pada akhirnya terwujud dalam sebuah pemahaman. Pemahaman ini yang kurang lebih disebut persepsi. Sebelum terjadi persepsi pada manusia, diperlukan sebuah stimuli yang harus ditangkap melalui organ tubuh yang bisa digunakan sebagai alat bantunya untuk memahami lingkungannya. Berdasarkan hal yang dikemukakan di atas terlihat bahwa persepsi membutuhkan indra sebagai alat bantu manusia memahami dunianya (Sarwono, 2009).
16
`
Menurut Sarwono (2009) organisasi dalam persepsi mengikuti beberapa
prinsip, yaitu: 1. Wujud dan Latar (figure and ground atau emergence), objek yang diamati di sekitar yang selalu muncul sebagai wujud (figure) dengan hal-hal lainnya sebagai latar (ground) 2. Pola pengelompokan, hal-hal tertentu cenderung dikelompokan dalam persepsi seseorang dan cara untuk mengelompokkan itu akan menentukan bagaimana mengamati hal-hal tersebut 3. Ketetapan (constancy atau invariance), dalam teori gestalt mengemukakan bahwa proses belajar, manusia cenderung akan memersepsikan segala sesuatu sebagai sesuatu yang tidak berubah, walaupun indra manusia menangkap adanya perubahan Persepsi dalam mutu pelayanan kesehatan merupakan hasil dari pengalaman apa yang mereka dapatkan dalam layanan kesehatan yang nantinya mempunyai persepsi yang berbeda-beda tentang unsur penting dalam menentukan mutu layanan kesehatan. Perbedaan ini antara lain disebabkan oleh terdapatnya perbedaan latar belakang, pendidikan, umur, jenis kelamin, pekerjaan, pengalaman, dan lingkungan (Wijono,2011). Persepsi mutu adalah pandangan dari seseorang terhadap stimulus dari panca indranya, sehingga memberikan penilaian atas suatu pelayanan yang mereka terima, jika sesuai dengan apa yang mereka harapkan maka para konsumen akan merasa puas dengan pelayanan yang telah mereka terima dan rasakan (Walgito,2010) Pandangan atau sering disebut dengan persepsi merupakan suatu proses dimana individu memberikan makna terhadap kesan indra mereka pada saat memperoleh pelayanan kesehatan, setiap orang akan mempunyai persepsi yang berbeda secara
17
objektif, karena persepsi merupakan penafsiran yang nyata dan masing-masing orang memandang hal tersebut dari sudut perspektif yang berbeda (Robbins, 2008). Persepsi mutu merupakan pengetahuan maupun pengalaman pasien atas pelayanan jasa yang telah diterimanya dan faktor-faktor yang mempengaruhinya sangat berguna dalam memberikan persepsi atas pelayanan kesehatan.
2.5
Mutu Pelayanan
2.5.1 Mutu pelayanan kesehatan Mutupelayanan kesehatan merupakan kesempurnaan dari suatu produk dalam pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pengguna jasa. Pelayanan yang bermutu merupakan penyelanggaraan pelayanan yang sesuai dengan prosedur dan standar kode etik profesi yang telah ditetapkan, dengan menyesuaikan ptensi dari sumber daya yang tersedia secara aman dan memuaskan yang dilakukan secara wajar, efisien dan efektif dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan pemerintah dan masyarakat konsumen (Azwar, 2007). Pengertian mutu pelayanan kesehatan untuk masing profesi berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan mereka, dapat dilihat sebagai berikut (Wijono, 2011) 1. Menurut pengguna layanan kesehatan atau masyarakat, mutu pelayanan kesehatan merupakan pelayanan yang dapat memenuhi keinginan atau pengharapan mereka dan kebutuhan yang diselenggarakan dengan cara sopan, ramah, empati, menghargai dan tanggap. 2. Menurut pemberi layanan kesehatan atau petugas, mutu pelayanan kesehatan adalah memberi pelayanan kepada konsumen secara professional sesuai dengan pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki, keahlian, dan adanya
18
peralatan yang sudah memenuhi standar yang nantinya dapat memberikan kepuasan kepada konsumen. 3. Menurut pihak manajemen, mutu pelayanan kesehatan adalah seorang pemimpin atau manajer yang mampu mengatur staf dan masyarakat sebagai konsumen untuk mengikuti prosedur yang berlaku. 4. Menurut pemilik pelayanan kesehatan, mutu pelayanan kesehatan merupakan tenaga profesional yang dimiliki oleh perusahaan dan mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada pasien atau masyarakat. Menurut Supardi (2008) menyatakan mutu pelayanan kesehatan dapat dilihat dari sudut pandang pengguna layanan, penyandang dana pelayanan, dan penyelanggara pelayanan. Noor Azlina (2013) juga menyatakan mutu pelayanan kesehatan bagi pasien lebih berfokus pada dimensi daya tanggap petugas dalam memberikan pelayanan yang dibutuhkan pasien meliputi keramahan dan komunikasi petugas terhadap pasien. Menurut Rosita, dkk (2011) dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dimana empati atau perhatian tenaga kesehatan sangat diharapkan oleh pemakai jasa atau pasien. 2.5.2 Dimensi mutu Menjaga mutu sebuah pelayanan kesehatan akan sangat ditentukan oleh kemampuan manajemen dan komite medik rumah sakit dalam menjaga reputasi institusi dan kepercayaan pasien terhadap para dokter dan para medis serta tetap menjaga dan mengasah keterampilan dan profesionalisme tenaga medis dan paramedisnya sesuai dengan tingkat perkembangan teknologi(Muninjaya,2011). Dari uraian tersebut, Parasuraman, Zeithaml dan Molholtra dalam Muninjaya (2011) dan Kotler (2008) menganalisis dimensi kualitas jasa berdasarkan lima aspek
19
komponen mutu. Kelima komponen mutu pelayanan dikenal dengan nama ServQual. Kelima dimensi mutu yaitu: 1.
Bukti fisik (Tangibles) Mutu jasa pelayanan kesehatan juga dapat dirasakan secara langsung oleh para penggunanya yaitu pasien dengan menyediakan fasilitas fisik dan perlengkapan yang memadai. Para penyedia layanan kesehatan akan mampu bekerja secara optimal sesuai dengan keterampilan masing-masing. Dalam hal ini, perlu dimasukkan perbaikan sarana komunikasi dan perlengkapan pelayanan yang tidak langsung seperti kenyamanan ruang tunggu. Karena sifat produk jasa yang tidak dapat dilihat, dipegang, atau dirasakan, perlu ada ukuran lain yang bisa dirasakan lebih nyata oleh pengguna layanan kesehatan. Dalam hal ini, pengguna jasa menggunakan indranya untuk menilai kualitas jasa pelayanan kesehatan yang diterimanya seperti ruang penerimaan pasien yang bersih, nyaman, lantai yang berkeramik, peralatan kator yang lengkap, seragam staf yang rapi, menarik dan bersih (Muninjaya, 2011). Menurut Asmuji (2013) hasil stimulus dari panca indra pasien terhdap suatu pelayanan yang diterimanya akan dipersepsikan sehingga nantinya dapat menilai suatu mutu pelayanan, jika apa yang mereka ekspetasikan sesuai dengan kenyataan yang mereka dapatkan, maka akan memberikan kepuasan kepada pasien terhadap bukti fisik. Bukti fisik dalam meningkatkan mutu pelayanan didukung oleh penelitian yang dilakukan Nor Khasimah (2013) di Malaysia tentang hubungan persepsi mutu pelayanan dengan kepuasan pasien, dimana persepsi bukti fisik yang mempunyai hubungan yang signifikan dengan kepuasan pasien.
20
Penelitian lain juga dilakukan Wathek (2012)
dimana bukti fisik
mempunyai hubungan yang bermakna terhadap kepuasan pasien. Bata, dkk (2013) menjelaskan bukti fisik berpengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan kesehatan dan kepuasan pasien. Subekti (2009) menyatakan bukti fisik pelayanan petugas administrasi dirasakan cukup sehingga berperan penting dalam mutu pelayanan. Hal ini juga akan meningkatkan sarana pelayanan tersebut lebih kredibel di mata pasien. Wati, dkk (2012) dalam penelitiannya mengatakan bahwa adanya hubungan antara kenyamanan dengan kepuasan pasien di rawat inap Rumah Sakit Umum Daya Makasar tahun 2012. 2. Kehandalan (Reliability) Kemampuan untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan tepat waktu dan akurat sesuai dengan yang ditawarkan. Untuk meningkatkan reliability di bidang pelayanan kesehatan, pihak manajemen puncak perlu membangun budaya kerja bermutu yaitu budaya tidak ada kesalahan atau corporate culture of no mistake yang ditetapkan mulai dari pimpinan puncak sampai ke front line staff (yang langsung berhubungan dengan pasien). Budaya kerja seperti ini perlu diterapkan dengan membentuk kelompok kerja yang kompak dan mendapat pelatihan secara terus menerus sesuai dengan teknologi dan ekspektasi pasien (Muninjaya, 2011). Lovelock dan Wright (2005) berpendapat perlu adanya kesamaan antara pelayanan yang diberikan dengan yang dibutuhkan dari waktu ke waktu, selain itu Melanie, et al (2013) juga berpendapat lamanya waktu tunggu berpengaruh terhadap mutu pelayanan karena pelayanan yang berbelit akan mempengaruhi pasien menjadi tidak sabar dan merasa tidak dilayani dengan baik sehingga menimbulkan ketidak puasan. Nor Khasimah (2013) di Malaysia memperoleh
21
hasil dimensi kehandalan yang mempunyai hubungan yang signifikan dengan kepuasan. Bata, dkk (2013) menjelaskan kehandalan berpengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan kesehatan dan kepuasan pasien. Subekti (2009) menjelaskan dalam penelitiannya kehandalan pelayanan administrasi seperti kedisiplinan waktu berpengaruh terhadap kepuasan pasien. Wira (2014) juga menjelaskan bahwa kehandalan mempunyai hubungan yang signifikan dengan kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Wangaya. Trimumpuni (2009) menjelaskan adanya hubungan antara persepsi kehandalan
perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan dengan kepuasan pasien di rawat inap RSU Puri Asih Salatiga. 3. Daya Tanggap (Responsiveness) Dimensi ini dimasukkan ke dalam kemampuan petugas kesehatan menolong pelanggan dari kesiapannya melayani sesuai prosedur dan bisa memenuhi harapan pasien. Dimensi ini merupakan penilaian mutu pelayanan yang paling dinamis. Harapan pasien terhadap kecepatan pelayanan cenderung meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan kemajuan teknologi dan informasi kesehatan yang dimiliki oleh pelanggan. Nilai waktu bagi pasien semakin mahal karena masyarakat merasa kegiatan ekonominya semakin meningkat. Time is money berlaku untuk menilai mutu pelayanan kesehatan dari aspek ekonomi para penggunanya. Pelayanan kesehatan yang responsif terhadap kebutuhan pasiennya kebanyakan ditentukan oleh sikap para front-line staff. Mereka secara langsung berhubungan dengan para pengguna jasa dan keluarganya, baik melalui tatap muka, komunikasinon-verbal, langsung atau melalui telepon (Muninjaya, 2011).
22
Bata, dkk (2013) menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara daya tanggap dengan kepuasan pasien dalam menggunakan askes sosial pada pelayanan rawat inap di RSUD Lakipadada Kabupaten Tana Toraja. Pernyataan tersebut juga didukung juga oleh James (2013) yang menyatakan ketanggapan dan kepekaan terhadap kebutuhan pasien akan meningkatkan mutu pelayanan pada asuhan keperawatan. Selain itu penelitian yang dilakukan Rasheed, et al (2012) di Delhi India menyatakan bahwa daya tanggap dengan kepuasan yaitu petugas kesehatan bersikap ramah berhubungan yang signifikan dengan memperhatikan keluhan serta kebutuhan pasien. Wira (2014) menyatakan adanya hubungan antara persepsi daya tanggap dengan kepuasan pasien rawat inap kelas III. Trimumpuni (2009) menjelaskan adanya hubungan antara persepsi daya tanggap perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dengan kepuasan pasien di rawat inap RSU Puri Asih Salatiga. Wathek (2012) di Bahrain menjelaskan adanya hubungan yang sigifikan daya tanggap persepsi pasien terhadap kualitas pelayanan kesehatan dan kepuasan pasien. 4. Jaminan (Assurance) Kreteria ini berhubungan dengan pengetahuan, kesopanan, dan sifat petugas yang dapat dipercaya oleh pasien. Pemenuhan terhadap kriteria pelayanan ini akan mengakibatkan pengguna jasa merasa terbebas dari resiko. Berdasarkan
riset, dimensi ini meliputi faktor keramahan, kompetensi,
kredibilitas dan keamanan. Variabel ini perlu dikembangkan oleh pihak manajemen institusi pelayanan kesehatan dengan melakukan investasi, tidak saja dalam bentuk uang melainkan keteladanan manajemen puncak, perubahan sikap dan kepribadian staf yang positif, dan perbaikan sistem remunerasinya (Muninjaya, 2011). Wathek (2012) menyatakan bahwa jaminan pada mutu
23
pelayanan berkaitan dengan pengetahuan karyawan serta kemampuan dari mereka sehingga dapat menumbuhkan rasa percaya dan keyakinan pelanggan terhadap jasa pelayanan kesehatan. Pernyataan tersebut didukung oleh Nor Khasimah (2013) di Malaysia bahwa jaminan mempunyai hubungan yang signifikan dengan kepuasan pasien meliputi perawat mempunyai pengetahuan dan mampu dalam memberikan pelayanan. Trimumpuni (2009) menjelaskan adanya hubungan antara persepsi jaminan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dengan kepuasan pasien di rawat inap RSU Puri Asih Salatiga.Wathek (2012) di Bahrain menjelaskan adanya hubungan yang sigifikan jaminan persepsi pasien terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Bata, dkk (2013) menjelaskan jaminan berpengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan kesehatan dan kepuasan pasien. Wira (2014) juga menjelaskan bahwa jaminan mempunyai hubungan yang signifikan dengan kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Wangaya. Manimaran, et al (2010) mengatakan dimensi jaminan mempunyai hubungan yang signifikan dengan kepuasan pasien di Rumah Sakit Dindigul. 5. Empati (Empathy) Kriteria ini terkait dengan rasa kepedulian dan perhatian khusus staf kepada setiap pengguna jasa, memahami kebutuhan mereka dan memberikan kemudahan untuk dihubungi setiap saat jika para pengguna jasa ingin memperoleh bantuannya. Peran SDM kesehatan sangat menentukan mutu pelayanan kesehatan karena mereka dapat langsung memenuhi kepuasan para pengguna jasa pelayanan kesehatan (Muninjaya, 2011). Empati (empathy) artinya, memberikan perhatian yang tulus kepada pasien individual atau pribadi yang berupaya dalam memahami keinginan pasien. Pelayanan yang diberikan
24
salah satunya meluangkan waktu khusus sehingga terjadi hubungan pasien dengan staf untuk berkomunikasi, menghibur dan memberi dorongan kepada pasien (Asmuji,2013) Rafii (2010) berpendapat hubungan perawat-pasien merupakan penentu kepuasan pasien dalam mendapatkan pelayanan kesehatan karena dengan memberikan perhatian secara individual akan dapat menggambarkan suatu kualitas pelayanan kesehatan. Penelitian serupa juga dilakukan Wathek(2012) yang menyatakan bahwa empati mempunyai hubungan yang signifikan dengan kepuasan pasien.Selain itu Mohamad, dkk (2008) melakukan penelitian mengenai kepuasan pelanggan terhadap mutu puskesmas menjelaskan bahwa empati mempengaruhi mutu pelayanan. Trimumpuni (2009) di Semarang menjelaskan adanya hubungan antara persepsi empati perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dengan kepuasan pasien. Hal ini juga dijelaskan oleh Chunlaka (2010) dalam penelitiannya yang menjelaskan dimensi empati sangat berhubungan dengan kepuasan pasien karena empati pada asuhan keperawatan dapat membantu dalam kesembuhan pasien sehingga dapat memberikan kepuasan terhadap suatu pelayanan. Bata, dkk (2013) menjelaskan empati berpengaruh signifikan terhadap kualitas pelayanan kesehatan dan kepuasan pasien. Wira (2014) menjelaskan bahwa ada hubungan yang bermakna antara persepsi mutu empati asuhan keperawatan dengan kepuasan pasien.
2.6 Penelitian Terdahulu Penelitian yang terkait dengan penelitian ini adalah Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Judul Penelitian dan Nama Peneliti
Tujuan Penelitian
Variabel
Metode
Hasil
Hubungan Antara Persepsi Mutu Pelayanan Asuhan Keperawatan Dengan Kepuasan Pasien Rawat Inap Kelas III Di RSUD Wangaya Kota Denpasar.
Mengetahui hubungan antara persepsi mutu pelayanan asuhan keperawatan dengan kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Wangaya Kota Denpasar
1. Variabel independen yaitu persepsi mutu pelayanan yaitu bukti fisik, kehandalan, daya tanggap, jaminan dan persepsi empati 2. Variabel dependen yaitu kepuasan pasien rawat inap kelas III di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya
Kuesioner
1. Tidak ada hubungan yang bermakna persepsi bukti fisik dengan kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Wangaya 2. Adanya hubungan yang bermakna persepsi kehandalan, daya tanggap, jaminan, dan empati dengan kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Wangaya 3. Persepsi daya tanggap dan persepsi empati mempunyai hubungan yang kuat dan bermakna dengan kepuasan pasien di ruang rawat inap kelas III RSUD Wangaya
(Wira, 2014)
25
Hubungan Mutu Pelayanan Dengan Kepuasan Pasien Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Daya Makasar Tahun 2012 (Wati, dkk, 2012 )
Hubungan Kualitas Pelayanan Kesehatan Dengan Kepuasan Pasien Pengguna ASKES Sosial Pada Pelayanan Rawat Inap Di RSUD Lakipadada Kabupaten Tana Toraja Tahun 2013 (Bata, dkk, 2013)
Mengetahui hubungan mutu 1. Variabel pelayanan kesehatan dengan independen yaitu kepuasan pasien rawat inap di kenyamanan, Rumah Sakit Umum Daya informasi, akses, Makasar. dan kompetensi teknis 2. Variabel dependen yaitu kepuasan pasien rawat inap Mengetahui hubungan antara 1. Variabel kualitas pelayanan kesehatan independen dengan kepuasan pasien yaitu tangible, pengguna askes sosial pada reliability, pelayananrawat inap yang responsiveness, berkaitan dengan kehandalan assurance, dan pelayanan, jaminan pelayanan, emphaty bukti langsung pelayanan, 2. Variabel perhatian pelayanan dan daya dependen yaitu tanggap pelayanan di RSUD kepuasan pasien Lakipadada Kabupaten Tana pengguna askes Toraja. sosial
Kuesioner
Wawancara menggunakan kuesioner
1. Adanya hubungan antara kenyamanan dengan kepuasan pasien rawat inap karena berdasarkan uji statistik dengan chi-square diperoleh nilai p = 0,006 ( p = > 0,05)
Hasil menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara kualitas pelayanan dengan kepuasan pasien pengguna askes sosial dimana kehandalan pelayanan p(0,000) < 0,05, jaminan pelayanan p(0,003) < 0,05, bukti fisik p(0,001)< 0,05, perhatian petugas p(0,002) < 0,05 dan daya tanggap p(0,000)<0,05
26
Hubungan Terhadap Kesehatan Cut Mutia Utara
Kepuasan Pasien Mengetahui hubungan 1. Variabel bebas Mutu Pelayanan kepuasan pasien terhadap mutu dalam penelitian Di Rumah Sakit pelayanan kesehatan di Rumah ini adalah Kabupaten Aceh Sakit Cut Mutia Kabupaten komunikasi, Aceh Utara sikap dan empati. (Sudian, 2012) 2. Variabel terikat adalah kepuasan pasien
Kuesioner
Analisis Pengaruh Persepsi Mutu Pelayanan Asuhan Keperawatan Terhadap Kepuasan Klien Rawat Inap Di RSU Puri Asih Salatiga
Kuesioner
(Trimumpuni,2009)
Menganalisa pengaruh persepsi mutu pelayanan asuhan keperawatan terhadap kepuasan klien rawat inap di RSU Puri Asih Salatiga.
1. Variabel bebas yaitu kehandalan, daya tanggap, jaminan, empati, bukti fisik perawat 2. Variabel terikat yaitu
1. Ada hubungan yang bermakna antara komunikasi dengan kepuasan pasien di Rumah Sakit Cut Mutia Kabupaten Aceh Utara p (0,040) < 0,05 2. Ada hubungan yang bermakna antara sikap petugas dengan kepuasan pasien di Rumah Sakit Cut Mutia Kabupaten Aceh Utara p ( 0,000) < 0,05 3. Ada hubungan yang bermakna antara empati dengan kepuasan pasien di Rumah Sakit Cut Mutia Kabupaten Aceh Utara p ( 0,000) < 0,05 1. Terdapat hubungan persepsi kehandalan, daya tanggap, jaminan, empati, dan bukti fisik perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dengan kepuasan klien rawat inap RSU Puri Asih Salatiga (pvalue < 0,05)
27
persepsi kepuasan klien rawat inap pada asuhan keperawatan klinik
28