4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Jintan Hitam Nigella sativa merupakan tanaman herbal tahunan. Tanaman ini sudah
digunakan sejak ribuan tahun yang lalu sebagai bumbu dan pengawet makanan. Tanaman ini biasanya tumbuh di Eropa, Timur Tengah dan Asia Barat. Jintan hitam tumbuh pada keadaan tanah semi arid. Bunga jintan hitam berwarna kebirubiruan dengan variasi jumlah kelopak (Gambar 5). Bunga jintan hitam juga ditandai dengan adanya nektar. Biji jintan hitam berukuran kecil dengan berat antara 1-5 mg berwarna abu-abu gelap atau hitam dengan permukaan kulit yang berkerut (Antuono et al. 2002). Jintan hitam dikenal sebagai obat-obatan herbal sejak ribuan tahun yang lalu. Jintan hitam sering digunakan sebagai obat-obatan tradisional untuk mengobati berbagai penyakit seperti demam, flu, sakit kepala, asma, rematik, infeksi oleh mikroba, untuk mengatasi cacing pada saluran pencernaan dan juga untuk meningkatkan status kesehatan (Salama 2010). Nigella sativa di Indonesia dikenal sebagai jintan hitam. Sedangkan di Arab Saudi N. Sativa dikenal dengan nama Al-Habbah Al Sawda, Habbet ElBaraka, Kamoun Aswad, Schuniz dan Khodria. Di Pakistan India, dan Sri Lanka dikenal sebagai Kalvanji, Kalunji, Azmut, Gurat, Aof dan Aosetta. Dalam bahasa Inggris tanaman ini dikenal dengan nama black seed, black cumin, black caraway, cinnamon flower, nutmeg flower dan love-in-a-mist (Salama 2010). Klasifikasi ilmiah jintan hitam (USDA 2011) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Ranunculales
5
Famili
: Ranunculaceae
Genus
: Nigella L.
Spesies
: Nigella sativa L.
A
B
Gambar 1. Bunga dan Biji Jintan Hitam (Sumber: Gambar A: USDA 2011; Gambar B: Fatoni 2011) Biji jintan hitam diketahui mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan. Karakteristik kimia biji jintan hitam menurut Rouhou et al. 2007 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1.Karakteristik Kimia Biji Jintan Hitam Komposisi Dry matter (%) Oila Crude proteina Asha Potassiumb Magnesiumb Calciumb Phosphorusb Sodiumb Ironb Copperb Zincb Manganeseb Total carbohydratea a
Dalam % basis bahan kering Dalam mg/kg dari bahan kering Sumber: Rouhou et al. (2007) b
Jumlah 91.35 ± 0.26 28.48 ± 0.05 26.7 ± 0.35 4.86 ± 0.06 783 ± 6.61 235 ± 4.87 572 ± 21.5 48.9 ± 0.04 20.8 ± 2.21 8.65 ± 0.65 1.65 ± 0.03 8.04 ± 0.21 4.43 ± 0.11 40.0 ± 0.46
6
Kandungan asam lemak dari minyak jintan hitam didominasi oleh asam linoleat, asam oleat, dan asam palmitoleat. Perbandingan antara asam linoleat dan asam oleat lebih besar dari 2:1. Perbandingan antara asam linoleat dan asam oleat pada minyak jagung dan minyak kedelai dilaporkan juga memiliki perbandingan yang lebih besar dari 2:1 (Rouhou et al. 2007). Tabel 2. Komposisi Asam Lemak Minyak Jintan Hitam Asam Lemak Jumlah Myristic C14:0 0.35 ± 0.02 Myristoleic C14:1 Sedikit Palmitic C16:0 17.2 ± 0.15 Palmitoleic C16:1 1.15 ± 0.05 Margaric C17:0 Sedikit Margaroleic C17:1 Sedikit Stearic C18:0 2.84 ± 0.08 Oleic C18:1 25.0 ± 0.24 Linoleic C18:2 50.31 ± 0.25 Arachidic C20:0 0.14 ± 0.02 Eicosenoic C20:1 0.32 ± 0.04 Behenic C22:0 1.98 ± 0.08 Lignoceric C24:0 Sedikit Sumber: Rouhou et al. (2007)
Jintan hitam diketahui memiliki berbagai macam khasiat antara lain anti bakteri, anti jamur, anti kanker, antioksidan, antiparasit, analgesik, anti koagulan dan juga agen hipoglikemik (Salama 2010). Aktivitas antimikroba jintan hitam berasal dari kandungan zat aktifnya yaitu thymoquinone dan longifolene. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa thymoquinone dan longifolene mempunyai efek antibakteri terhadap S. aureus dengn nilai IC50 1,8µM (0,3µg/ml) dan 3,0 µM (0,6 µg/ml) (Bourgou et al. 2010). Thymoquinone mempunyai aktivitas antibakteri yang tinggi terhadap bakteri gram positif. Thymoquinone juga dilaporkan mempunyai efek sinergi dengan streptomycin dan gentamycin. Cahieb et al. (2011) menguji kemampuan thymoquinone secara in vitro dalam melawan bakteri dengan bakteri patogen yang ada pada manusia. Hasil dari percobaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
7
Tabel 3. Aktivitas Antimikroba Thymoquinone dibandingkan Gentamycin dan Erythromycin terhadap Bakteri Patogen pada Manusia Strain Bakteri batang gram negatif Escherichi coli ATCC 35218 Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 Salmonella enterica serovar Typhimurium ATCC 14028 Vibrio alginolyticus ATCC 33787 Vibrio paraheamolyticus ATCC 17802 Gram positive bacilli Bacillus cereus ATCC 14579 Listeria monocytogene ATCC 19115 Gram positive cocci Enterococcus faecalis ATCC 29212 Micrococcus luteus NCIMB 8166 Staphylococcus aureus ATCC 25923 Staphylococcus epidermidis CIP 106510 a b
Antimicrobial susceptibility Gentamycin Erythromycin Thymoquinone (µg/ml) (µg/ml) (µg/ml) a b MIC MBC aMIC bMBC aMIC bMBC 8 2
16 4
32 256
64 >256
>512 >512
>512 >512
2 32 8
8 64 16
>256 >256 128
>256 >256 256
>512 256 32
>512 >512 64
4 2
8 4
8 1
16 4
8 16
8 32
32
64
256
>256
32
64
2 16 4
8 32 8
4 16 16
16 32 32
8 8 8
64 16 8
Minimum Inhibitory Concentration Minimum Bactericidal Concentration
Sumber: Chaieb et al (2011) Selain memiliki aktivitas antimikroba, jintan hitam juga diketahui memiliki aktivitas antifungi dan antihelmintika. Biji jintan hitam berkhasiat sebagai obat cacing (Hutapea 1994). Ela (2002) meneliti tentang efek ekstrak jintan hitam terhadap tikus yang mengalami schistosomiasis. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa thymoquinone yang merupakan kandungan dari jintan hitam memberikan efek mencegah aberasi kromosom pada mencit yang diinfeksi schistomiasis. Thymoquinone yang merupakan bahan yang terdapat pada jintan hitam juga dilaporkan memiliki efek protektif terhadap aberasi kromosom. Ekstrak jintan hitam juga mempunyai efek inhibisi terhadap khamir patogen Candida albican (Salama 2010). Jintan hitam di Arab Saudi biasanya digunakan sebagai obat untuk penyakit asma (Salama 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Boskabady et al. (2007) menunjukkan bahwa jintan hitam memiliki efek pencegahan pada pasien penderita asma. Efek protektif dan kuratif terhadap penyakit asma diduga berasal dari efek anti histamin yang dimiliki oleh jintan hitam. Dalam penelitian yang lain Boskabady et al. (2008) menyatakan bahwa jintan hitam juga memberikan efek
8
protektif pada paru-paru marmut yang dipapar gas berbahaya yaitu sulfur mustard. Ramadhan (2011) menggunakan mencit untuk menguji efek analgesik jintan hitam. Mencit jantan yang terlebih dahulu diberi minyak jintan hitam lebih tahan terhadap rasa sakit yang disebabkan oleh asam asetat dibandingkan mencit jantan pada kelompok kontrol. Mencit betina mempunyai mekanisme yang berbeda dengan mencit jantan dalam merespon rasa sakit yang ditimbulkan oleh asam asetat. Namun demikian pemberian minyak jintan hitam juga menunjukkan efek yang sama dengan yang ditimbulkan pada mencit jantan. Efek analgesik jintan hitam berasal dari kandungan aktif jintan hitam yaitu thymoquinone. Efek antiinflamasi juga ditunjukkan oleh jintan hitam. Borgou et al. (2010) menguji efek antiinflamasi jintan hitam dengan mengukur kemampuan jintan hitam dalam menghambat pembentukan NO (nitrat oksida). NO merupakan radikal bebas yang dihasilkan oleh jaringan tubuh. NO bisa dijadikan indikator keadaan patologis beberapa jenis inflamasi. Thymoquinone terbukti sebagai bahan aktif jintan hitam yang mampu menghambat pembentukan NO. Seperti yang disebutkan di atas, jintan hitam juga memiliki efek antioksidan. Antioksidan berfungsi dalam menangkal radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan pada sel. Jintan hitam terbukti dapat menurunkan produksi ROS (reactive oxygen species) yang dapat merusak sel. Efek antioksidan dari jintan hitam berasal dari thymoquinone (Borgou et al. 2010). Boskabady et al. (2007) dalam penelitiannya mengamati efek jintan terhadap pasien penyakit asma. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa jintan hitam memiliki efek preventif terhadap asma. Terjadi peningkatan nilai PFT (Pulmonary Function Test) pada kelompok pasien asma yang diberi jintan hitam. Respon alergi merupakan salah satu penyebab penyakit asma. Jintan hitam dilaporkan dalam beberapa uji in vivo dilaporkan tidak memiliki efek samping. Hal ini tentu sangat membantu pengobatan asma tanpa menimbulkan alergi. Selain itu jintan hitam juga diketahui memiliki efek hepatoprotektif yang akan mendukung proses penyembuhan penyakit asma (Boskabady et al. 2007).
9
2.2
Madu Madu merupakan zat manis alami yang dihasilkan oleh lebah. Bahan baku
madu adalah nektar. Nektar adalah senyawa kompleks yang dihasilkan oleh kelenjar tanaman dalam bentuk larutan gula. Perubahan nektar menjadi madu dimulai ketika lebah pekerja membawa nektar ke sarangnya. Untuk menghasilkan 1 kg madu, lebah harus mengumpulkan 120.000-150.000 tetes nektar atau 3-4 kg nektar dengan menempuh jarak 360.000-450.000 Km (Sarwono 2001). Berdasarkan asal nektarnya, madu dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu madu flora, madu ekstra flora dan madu embun. Madu flora adalah madu yang bahan bakunya berasal dari bunga. Disebut madu monoflora jika hanya berasal dari satu jenis bunga dan poliflora jika berasal dari berbagai macam bunga. Madu ekstraflora adalah madu yang berasal dari luar daun, misalnya batang, cabang atau daun tanaman. Sedangkan madu embun adalah madu yang dihasilkan dari hasil suksesi serangga yang kemudian eksudatnya diambil oleh lebah madu (Sarwono 2001). Sejak zaman mesir kuno 2600 SM madu sudah dikenal sebagai obat. Diantaranya madu digunakan sebagai salep antiseptik untuk mengobati luka oleh bangsa Yunani, Romawi, Assyiria, dan Cina kuno. Madu juga dapat mencegah pertumbuhan mikroba seperti Salmonella, Shigella, E. Coli dan V. cholerae yang dapat menyebabkan diare. Apabila kandungan gula pada madu dihilangkan, maka madu mempunyai khasiat yang sama dengan streptomycin dalam membunuh bakteri (Sarwono 2001). Selain itu, madu juga mempunyai efek anti aritmia akibat keracunan katekolamin. Efek anti aritmia ini berasal dari aktivitas hiperadrenergik yang dimiliki oleh madu (Hussein 2003). Madu juga mempunyai efek protektif terhadap hati. Pada suatu penelitian dibuktikan bahwa madu mempunyai efek protektif terhadap kerusakan hati yang disebabkan oleh karbon tetraklorida (CCl4). Kerusakan hati akibat CCl4 dapat menyebabkan penurunan berat badan, penurunan asupan makanan serta penurunan bobot hati dan ginjal (El Denshary et al. 2011).
10
Tabel 4. Komposisi Kimia Madu per 100 gr Komposisi Kalori Kadar Air Protein Karbohidrat
Jumlah 328 kal 17,2 g 0,5 g 82,4 g
Sumber: Suranto (2004)
Selain memiliki kandungan gula, madu juga memiliki kandungan nutrisi lain yang penting bagi tubuh. Madu mengandung garam mineral, protein, lemak, dan vitamin A, vitamin B dan vitamin C. Dalam 100 gr madu terkandung 294 kalori, 9,5 g karbohidrat, 24 g air, 16 mg fosfor, 5 mg kalsium dan 4 mg vitamin C (Sarwono 2001). 2.3
Mencit Klasifikasi mencit putih Arrington (1972):
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
Family
: Muridae
Genus
: Mus
Species
: Mus musculus
Mencit merupakan hewan jinak, lemah, mudah ditangani, takut cahaya dan aktif pada malam hari. Mencit yang dipelihara sendiri makannya lebih sedikit dan bobot badan lebih ringan daripada yang dipelihara bersama-sama dalam satu kandang. Beberapa mencit mempunyai sifat kanibal (Penn 1999). Mencit bersifat sosial, aktif, dan cerdas. Memiliki kemampuan beradaptasi, ukuran yang kecil, reproduksi cepat dan karakteristik genetik yang luas juga menambah nilai tikus dan mencit sebagai hewan percobaan.
11
Gambar 2. Mencit (Mus musculus) Sumber: Sancheti 2011 Banyak strain berbeda dari mencit laboratorium yang telah dikembangkan oleh ahli genetik, beberapa strain seperti swiss webster dikembangkan secara outbreed, sementara beberapa strain lain seperti DDY, Balb/c, DBA, dan BC dikembangkan secara inbreed dengan gen-gen yang homozigot (Penn 1999). Tabel 5. Data Dasar Fisiologis Mencit Berat Dewasa Jantan Betina Berat Lahir Masa Kebuntingan Masa Hidup Suhu Tubuh Konsumsi Pakan Konsumsi Air Hemoglobin Rataan Kisaran Hematokrit Eritrosit Rataan Kisaran Limfosit Rataan Kisaran Sumber: Arrington (1972)
20-40 gr 18-35 gr 1,0-1,5 gr 18-21 hari 1-2 tahun 37,4 0C 4-5 gr/100 gr BB/ hari 4-7 gr/ 100 gr BB/ hari 14,8 gr% 10-19 gr% 41,5 % 9,3 x 106/µL 7,7-12,5 x 106/µL 8 x 103/ µL 4-12 x 103/ µL
Mencit mempunyai lama hidup sekitar satu hingga dua tahun. Bahkan beberapa bisa mencapai usia tiga tahun dengan lama masa produktif selama sembilan bulan. Mencit mencapai dewasa kelamin pada usia 35 hari dan setalah usia delapan minggu, mencit sudah dapat dikawinkan. Pencapaian pubertas dan
12
siklus estrus dipengaruhi oleh paparan pheromon. Lama kebuntingan mencit adalah 18-21 hari dengan jumlah anak rata-rata enam ekor. Kebuntingan dapat diketahui pada hari ke 14 dengan cara palpasi, peningkatan bobot badan, dan perkembangan kelenjar mamae. Bobot badan mencit jantan dewasa adalah 20-40 gr dan bobot badan mencit betina dewasa adalah 18-35 gr. Mencit dapat dipelihara pada kotak dengan berbagai macam bahan seperti plastik (polipropilen atau polikarbonat), aluminium atau baja tahan karat (Smith & Mangkoewidjaja 1988). Biasanya mencit jantan mempunyai ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan betina. Mencit memiliki kelenjar Harderian yang memproduksi pigmen porfirin yang dapat teramati di sekitar mata ketika hewan mengalami stress atau sedang sakit. Mencit tidak bisa muntah dan tidak memiliki kantung empedu. Mencit albino mengalami degenerasi retina dan memiliki kemampuan penglihatan yang lemah (Kahn 2010). 2.4
Organ sistem pernafasan mencit
2.4.1
Saluran nafas Secara sederhana fungsi utama sistem pernafasan adalah membawa
oksigen (O2) masuk ke dalam tubuh dan membuang karbon dioksida (CO2) keluar dari tubuh. Semua organ yang terkait dengan pernafasan mempunyai tugas untuk mendukung fungsi tersebut. Oksigen dibutuhkan untuk proses metabolisme tubuh. Sedangkan karbon dioksida merupakan limbah dari proses metabolisme tubuh. Proses pertukaran oksigen dan karbonsioksida disebut pernafasan. Pernafasan dapat dibagi menjadi pernafasan internal dan pernafasan eksternal. Pernafasan internal adalah pernafasan yang terjadi pada tingkat sel, sedangkan pernafasan eksternal adalah pernafasan yang terjadi pada paru-paru. Selain fungsi utama sebagai penyalur udara dan pertukaran gas, sistem respirasi juga memiliki fungsi tambahan yaitu menghasilkan suara, penciuman, pengaturan suhu tubuh, ekskresi, keseimbangan asam basa dan tekanan darah (Coville 2002). Struktur dari sistem pernafasan berdasarkan fungsinya dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu komponen konduktif, komponen transisi dan komponen
13
pertukaran gas. Komponen konduktif memanjang dari rongga hidung sampai bronkhiol. Komponen konduktif mempunyai fungsi sebagai penyalur udara. Komponen transisi yaitu komponen yang berfungsi sebagai penyalur (konduksi) sekaligus sebagai tempat pertukaran gas. Komponen pertukaran gas sesuai dengan namanya mempunyai fungsi sebagai tempat bertukarnya gas oksigen dan karbon dioksida. Bagian-bagian yang termasuk dalam komponen pertukaran gas yaitu ductus alveolar, alveolar sac dan alveoli (Banks 1993). 2.4.1 Paru-paru Paru-paru mempunyai bentuk yang menyerupai kerucut. Umumnya pada hewan paru-paru terbagi pada beberapa bagian yang yang disebut lobus. Lobus ditandai dengan adanya percabangan bronkhus yang besar. Paru-paru merupakan organ yang ringan dan berbentuk seperti spons. Paru-paru belum berfungsi pada saat hewan masih berada dalam kandungan. Paru-paru fetus mempunyai konsistensi yang padat dan lebih mirip hati. Pada saat hewan dilahirkan dan melakukan pernafasan untuk pertama kalinya maka paru-paru akan mengembang. Surfaktan merupakan substansi yang dihasilkan oleh sel alveolar tipe II yang menjaga agar paru-paru tetap mengembang (Coville 2002). Paru-paru dapat digolongkan menjadi dua bagian besar, yang pertama adalah susunan bronkhial sedangkan yang kedua adalah alveoli. Susunan bronkhus terbentuk dari pertumbuhan dan diferensiasi usus depan, sedangkan alveolar terbentuk dari jaringan mesenkhim. Jaringan-jaringan ini sudah terbentuk sejak masa embrional (Coville 2002; Aspinall 2004) Fungsi utama paru-paru adalah pertukaran gas. Paru-paru bisa dikatakan sebagai gabungan dari kelenjar tubuloalveolar yang mengekskresikan CO2 dan menukarnya dengan O2. Pertukaran oksigen dan karbon dioksida pada paru-paru terjadi di alveoli. Alveoli berbentuk kantung dengan dinding yang tipis. Alveoli dikelilingi oleh jaring-jaring pembuluh darah kapiler. Dinding alveoli yang tipis serta dinding pembuluh darah kapiler yang juga tipis memungkinkan terjadinya pertukaran gas pada alveoli (Coville 2002).
14
2.4.2 Histologi Paru-paru Sel penyusun utama paru-paru adalah sel alveolar tipe I. Pada sel inilah terjadi pertukaran antara oksigen dan karbon dioksida. Sel ini merupakan sel yang berbentuk pipih. Inti dari sel alveolar tipe I menonjol ke dalam kantung alveol. Sel alveolar tipe I mempunyai fungsi sebagai tempat pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Selain sel alveolar tipe I pada paru-paru juga terdapat sel alveolar tipe II dan otot polos. Sel alveolar tipe II merupakan sel sekretori. Pada mikroskop cahaya sel ini terlihat berbentuk bulat atau kubus. Sel alveolar tipe II mempunyai fungsi mengeluarkan sekreta yang disebut surfaktan. Surfaktan mempunyai fungsi untuk menjaga tegangan permukaan untuk mencegah kolapsnya paru-paru (Akers 2008).
Gambar 3. Histologi normal paru-paru. BV menandakan pembuluh darah, AV menandakan saluran nafas dan EP menandakan Epitel. Gambar A menggunakan pewarnaan HE, Gambar B menggunakan pewarnaan PAS.
(Sumber: Olmez et al. 2009) 2.4.3
Sistem Pertahanan pada Paru-paru Sistem pertahan pada paru-paru secara umum dapat dibagi menjadi sistem
pertahanan spesifik dan sistem pertahanan non spesifik. Sistem pertahanan non spesifik terdiri silia, mukus yang dihasilkan, dan refleks batuk. Apabila sistem pertahanan non spesifik tidak mampu menangkal antigen yang masuk maka antigen akan berhadapan dengan sistem pertahanan spesifik.
15
Antibodi spesifik terdiri dari immunoglobulin yang dihasilkan oleh sel limfoid yang banyak tersebar pada saluran pernafasan. Sel-sel limfoid ini berupa limfosit yang tersebar secara acak. Pada saluran pernafasan bagian atas limfosit banyak menghasilkan IgA. Sedangkan pada bronkhiol dan alveoli sekreta yang dihasilkan lebih banyak mengandung IgG. IgA bertugas untuk mencegah penempelan antigen pada dinding saluran pernafasan sehingga antigen tidak bisa menimbulkan kerusakan yang lebih parah. Sedangkan IgG yang banyak dihasilkan pada alveoli dan bronkhioli bertugas ketika terjadi peradangan yang akut transudasi serum protein (Tizard 2008).
Gambar 4. Mekanisme Sistem Pertahanan pada Paru-paru (Sumber: Bals 1999) Pada dinding alveol banyak sekali terdapat makrofag. Dalam menjalankan tugasnya makrofag bisa bersifat tetap (tidak berpindah tempat) atau bergerak. Karena makrofag dapat bergerak bebas maka makrofag bisa bekerja secara maksimal dalam membuang sisa antigen pada paru-paru. Makrofag yang bergerak ini dapat meninggalkan paru-paru karena terbawa oleh mukus ke arah laring atau menembus sel alveolar dan masuk ke dalam pembuluh limfe paru-paru (Akers 2008). Conrod (1989) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa alveolar
16
makrofag merupakan sel yang utama yang melindungi paru-paru dari mikroba yang masuk ke dalam paru-paru. Alveolar makrofag membunuh mikroba baik dengan mekanisme oksidatif maupun non-oksidatif. Selain itu, alveolar makrofag juga mensekresikan faktor anti mikrobial termasuk lisozim, peptida dan transferrin yang memungkinkan alveolar makrofag membunuh mikroba secara ekstraselular. Selain berfungsi untuk membunuh mikroba yang masuk atau terhirup ke paru-paru, sekresi yang dikeluarkan alveolar makrofag juga berfungsi sebagai inisiasi proses peradangan untuk membasmi mikroba secara tuntas. Heitmann (1999) menggunakan mencit unuk mengamati karakteristik immunohistologi dari paru-paru mencit sehat dan melihat jenis sel radang pada paru-paru mencit saat peradangan akut terjadi. Dalam penelitiannya tersebut Heitmann menggunakan Haemophilus influenza tipe b (Hib) yang diberikan secara intratrakhea. Pada paru-paru mencit yang sehat populasi sel radang didominasi oleh sel T, dan sel CD4+. Saat peradangan akut terjadi, jumlah neutrofil pada jaringan parenkhim dan BALT meningkat. Peningkatan neutrofil terjadi pada satu jam pertama setelah infeksi bakteri dan kembali ke jumlah minimum dalam waktu satu minggu. 2.4.5
Perubahan Histopatologi Paru-Paru Pada Penderita Asma Asma didefiniskan sebagai peradangan kronis pada saluran pernafasan
yang biasanya dihubungkan dengan kejadian peningkatan sel radang. Gejala klinis yang timbul adalah memendeknya nafas, batuk, sesak nafas, dan mengeluarkan bunyi yang khas saat bernafas (mengi) (Barrios et al. 2006). Olmez et al. 2009 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terjadi beberapa perubahan pada struktur histopatologi pada mencit yang digunakan sebagai model penyakit asma. Dalam penelitiannya tersebut Olmez et al. (2009) mengamati perubahan ketebalan membran basal, ketebalan otot polos subepitelial, ketebalan jaringan epitel, jumlah sel mast, dan jumlah sel goblet. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada mencit yang menderita asma terjadiperubahan ketebalan membran basal, ketebalan otot polos subepitelial, ketebalan jaringan epitel, jumlah sel mast, dan jumlah sel goblet.
17
Gambar 5. Perubahan yang terjadi pada jaringan paru-paru mencit model penyakit asma. Bagian yang ditunjuk oleh tanda panah adalah bagian epitel yang menebal. Bagian yang ditunjuk dengan tanda GC adalah peningkatan jumlah sel Goblet. Gambar A menggunakan pewarnaan HE, Gambar B menggunakan pewarnaan PAS. (Sumber Olmez et al. 2009)
Gambar 6. Perubahan yang terjadi pada jaringan paru-paru mencit model penyakit asma. Bagian yang ditunjuk dengan tanda GC adalah peningkatan jumlah sel Goblet. Bagian yang ditandai dengan tanda elips menunjukkan infiltrasi sel mononuklear. Gambar A menggunakan pewarnaan HE, Gambar B menggunakan pewarnaan PAS. (Sumber Olmez et al. 2009).
18
Perubahan yang dapat diamati pada preparat histopatologi organ paru-paru yang menderita asma menurut Yamauchi (2006) terdapat pada beberapa bagian. Bagian yang pertama adalah bagian lumen saluran pernafasan. Pada penderita asma, saluran pernafasan akan berisi eksudat. Bagian yang kedua yang dapat diamati pada penderita asma adalah lapisan mukus pada bronkhus. Pada mukosa bronkhus juga terdapat eksudat. Selain eksudat juga terlihat kelainan sel-sel epitel pada mukosa bronkhus. Bagian terakhir adalah dinding bronkhus. Pada penderita asma, dinding bronkhus akan mengalami kelainan berupa hipertrofi otot polos. Emfisema dan asma biasanya dikelompokkan dalam satu kelompok yaitu chronic obstructive pulmonary dissease (COPD). Emfisema adalah perluasan ruangan alveol yang terjadi akibat kerusakan dinding alveol tetapi tanpa diikuti fibrosis. Berdasarkan lokasinya emfisema dapat dibedakan menjadi emfisema sentrilobular, emfisema pan-asinar dan emfisema lokal. Emfisema sentrilobular biasanya disebabkan oleh asap rokok. Emfisema jenis ini banyak sekali ditemui pada paru-paru perokok. Emfisema sentrilobular ditandai dengan emfisema yang terjadi di bronkhus terminal hingga ujung bronkhus. Berbeda dengan emfisema sentrilobular, pada emfisema pan-asinar, kerusakan dinding alveol tidak hanya terjadi di dekat bronkhus terminal, tetapi terjadi di seluruh bagian alveolar. Emfisema lokal adalah emfisema yang hanya terjadi pada daerah-daerah tertentu pada paru-paru, misalnya pada apeks paru-paru (Rubin 2009).