BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Perilaku Organisasi Seluruh manusia yang hidup di muka bumi ini merupakan siswa perilaku. Semasa hidupnya mereka melihat, mengamati, merasakan, mempertanyakan tindakan orang-orang lain dan selalu mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya. Kegiatan ini selalu dilakukan sampai pada titik dimana manusia mengambil kesimpulan mengenai perilaku untuk membantu menjelaskan dan meramalkan apa yang dilakukan oleh orang lain. Meskipun keakuratannya masih dipertanyakan, tetapi beberapa diantaranya terbukti sangat efektif dalam menjelaskan dan meramalkan apa yang dilakukan oleh orang lain. Sesuai dengan yang diungkapkan Robbins (1996:10). Di dalam perusahaan yang terdiri dari para karyawan yang duduk di kursi manajemen maupun karyawan operasional jelas diperlukan keterampilan teknis untuk mencapai tujuan organisasi. Akan tetapi terdapat faktor yang tidak kalah penting, yaitu keterampilan menangani orang (people skills) atau yang diberi istilah Perilaku Organisasi (Organizational Behavior). Yang menurut Robbins (1996:9) : “Perilaku Organisasi adalah suatu bidang studi yang menyelidiki dampak perorangan, kelompok dan struktur pada perilaku dalam organisasi dengan maksud menerapkan pengetahuan semacam itu untuk memperbaiki keefektifan organisasi”.
Cushway dan Lodge (1993:1) menerangkan bahwa : “Istilah Perilaku Organisasi berkaitan dengan bagaimana cara setiap orang dan kelompok bertindak (berperilaku) di dalam organisasi. Serta pengaruh-pengaruhnya terhadap tindakan dan pola perilaku tersebut”.
Dari kedua definisi di atas dapat dikatakan bahwa Perilaku Organisasi menekankan studi/penelitian terhadap apa yang dilakukan orang-orang dalam suatu organisasi dan bagaimana perilaku tersebut mempengaruhi kinerja organisasi ataupun sebagai bahan masukan bagi pihak manajemen untuk menentukan perilaku yang akan dicontohkan pada para karyawannya sehingga kinerja organisasi meningkat.
2.2 Kepemimpinan 2.2.1 Pengertian Kepemimpinan
Seluruh organisasi pada awal berdirinya tentu memerlukan seorang pemimpin, baik itu pemimpin sebagai jabatan dalam manajemen (struktural) ataupun seseorang yang memiliki jiwa pemimpin. Seperti ungkapan yang selalu diucapkan bahwa tidak semua pemimpin adalah manajer, juga tidak semua manajer itu pemimpin. Hal ini mengandung arti bahwa karyawan biasapun perlu memiliki kepemimpinan apalagi bagi seseorang yang duduk di kursi manajer. Karena Robbins (1996:39) mendefinisikan : “Kepemimpinan sebagai kemampuan mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan”. Adapun beberapa definisi lain mengenai kepemimpinan diungkapkan Wahjosumidjo (1987:21) sebagai berikut : “1. Kepemimpinan adalah aktivitas para pemegang kekuasaan dan membuat keputusan 4. Kepemimpinan adalah langkah pertama yang hasilnya berupa pola interaksi kelompok yang konsisten dan bertujuan untuk menyelesaikan problem-problem yang berkaitan 5. Kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi aktivitas kelompok dalam rangka perumusan dan pencapaian tujuan”. Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan sebagai suatu konsep manajemen di dalam kehidupan organisasi yang mempunyai kedudukan strategis dan merupakan gejala sosial yang selalu diperlukan dalam kehidupan kelompok. Kepemimpinan mempunyai kedudukan strategis karena merupakan titik sentral dan dinamisator seluruh proses kegiatan organisasi sehingga memiliki peran yang besar di dalam menentukan dinamika organisasi melalui sumber-sumber yang ada. Di samping kedudukannya yang strategis, kepemimpinan mutlak diperlukan, dimana terjadi interaksi kerjasama antara dua orang atau lebih dalam mencapai tujuan organisasi. Itulah sebabnya dikatakan bahwa kepemimpinan merupakan gejala sosial dan selalu diperlukan di dalam kehidupan kelompok.
2.2.2 Peranan Kepemimpinan Kepemimpinan memiliki peranan penting dalam kerangka manajemen, sebab peranan seorang pemimpin pada dasarnya merupakan penjabaran serangkaian fungsi kepemimpinan. Dimana fungsi kepemimpinan tersebut adalah untuk mengajak atau menghimbau dan menggerakkan semua bawahan atau karyawan, agar dengan penuh kemauan memberikan pengabdian dalam mencapai tujuan organisasi sesuai dengan kemampuannya secara maksimal. Meskipun bukan merupakan suatu jaminan bahwa adanya seorang pemimpin di dalam suatu organisasi akan mampu untuk memimpin secara efektif, tetapi studi mengenai kepemimpinan berupaya untuk melahirkan pemimpin-pemimpin yang efektif. Dimana pemimpin yang efektif mampu memberikan pengarahan terhadap semua karyawan dalam pencapaian tujuan organisasi. Tanpa pemimpin, hubungan antara individu dengan tujuan organisasi akan menjadi lemah (renggang). Keadaan demikian akan mengarahkan kepada situasi dimana para individu bekerja untuk mencapai tujuannya sendiri dan membiarkan organisasi berjalan di dalam keadaan tidak efisien dan ketidakefektifan dalam pencapaian tujuannya. Sesuai dengan pendapat Hicks dan Gullet (1987:492) bahwa : “…..tanpa pimpinan, suatu organisasi hanya akan merupakan campur aduknya manusia dan peralatan. Kepemimpinan merupakan kecakapan untuk meyakinkan orang-orang agar mengusahakan secara tegas tujuantujuannya dengan semangat. Hal ini merupakan faktor manusia yang mengikat suatu kelompok untuk bersama-sama dan mendorongnya terhadap tujuan. Aktifitas manajemen seperti halnya perencanaan, pengaturan dan pengambilan keputusan merupakan kepompong yang tidak aktif sampai pimpinan menggerakkan daya pendorong dan membimbingnya terhadap berbagai tujuan. Pimpinan menjelmakan potensi ke dalam kenyataan. Ini merupakan suatu perbuatan yang pokok yang membawa kepada keberhasilan seluruh potensi yang terdapat dalam suatu organisasi dan orang-orangnya”. Jadi kepemimpinan demikian diperlukan jika suatu organisasi ingin mencapai keberhasilan penuh. Bahkan para karyawan yang terbaikpun perlu mengetahui bagaimana mereka dapat memberikan sumbangan bagi tujuan organisasi, dan para karyawan yang kurang antusias memerlukan pemimpin untuk mempertahankan tujuan-tujuan yang sesuai dengan apa yang menjadi tujuan organisasi.
2.2.3 Teori-teori Kepemimpinan Berkaitan dengan masalah kepemimpinan, terdapat beberapa pendekatan mengenai hal kepemimpinan yang terdiri dari 3 pendekatan utama terhadap kepemimpinan. Tiga pendekatan utama tersebut dikemukakan sebagai berikut: 1. Pendekatan Berdasarkan Ciri-ciri Kepemimpinan Teori ini bertolak dari dasar pemikiran bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri yang dimiliki oleh pemimpin itu. Sifat-sifat tersebut dapat berupa sifat fisik dan dapat pula sifat psikologis. Atas dasar pemikiran tersebut timbul anggapan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil, sangat ditentukan kemampuan pribadi pemimpin. Identifikasi ciri-ciri yang dikaitkan secara konsisten dengan kepemimpinan untuk membedakan pemimpin dari bukan-pemimpin adalah ambisi dan energi, hasrat untuk memimpin, kejujuran dan integritas (keutuhan), percaya diri, kecerdasan dan pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan. Di samping itu, baru-baru ini muncul ciri kepemimpinan baru, yaitu sifat pemantauan diri yang tinggi dimana memiliki kemungkinan memunculkan pemimpin dalam kelompok-kelompok yang jauh lebih besar dibandingkan yang pemantauan dirinya rendah. Robbins (1996:40) Akan tetapi pendekatan berdasarkan ciri-ciri kepemimpinan menyimpulkan bahwa beberapa ciri meningkatkan kemungkinan sukses sebagai pemimpin tetapi tidak satupun ciri itu menjamin sukses.
2. Pendekatan Berdasarkan Perilaku Kepemimpinan Penelitian mengenai
pendekatan perilaku terhadap kepemimpinan akan
mempunyai implikasi yang sangat berbeda dengan implikasi pendekatan ciri, karena studi perilaku memunculkan determinan perilaku yang kritis dari kepemimpinan sehingga terdapat dasar untuk melatih orang-orang agar menjadi pemimpin. Dengan perilaku spesifik yang menunjukkan pemimpin tersebut akan
menjadi landasan untuk mengajarkan kepemimpinan, sehingga suplai pemimpin yang efektif dapat diperbesar sampai jumlah yang tak terhingga. a. Studi Kepemimpinan di Universitas Negeri Ohio Penyelidikan kepemimpinan pada tahun 1945 oleh Biro Urusan dan Penelitian di Universitas Negeri Ohio dilakukan dengan mengadakan pencatatanpencatatan mengenai berbagai dimensi perilaku yang efektif. Dari penelitian tersebut diperoleh dua kategori yang secara hakiki menjelaskan kebanyakan perilaku kepemimpinan. Mereka menyebut kedua dimensi ini sebagai initiating structure (struktur awal) dan consideration (pertimbangan). Gambar 2.1 Konsiderasi dan Struktur Awal t i n g g i k o n s i d e r a s i r e n d a h
S. Rendah K. Tinggi
S. Tinggi K. Tinggi (K)
S. Rendah K. Rendah
rendah
S. Tinggi K. Rendah
struktur awal
tinggi
(S)
S = Struktur awal K = Konsiderasi
Sumber : Wahjosumidjo (1987:61) 1) Initiating structure, mengacu pada seberapa jauh seorang pemimpin berkemungkinan menetapkan dan menstruktur perannya dan peran bawahannya dalam mengusahakan tercapainya tujuan. Struktur ini mencakup perilaku yang berupaya mengorganisasi kerja, hubungan kerja dan tujuan.
Menurut Wahjosumidjo (1987:62) initiating structure merupakan perilaku pemimpin yang cenderung lebih mementingkan tujuan organisasi daripada memperhatikan bawahan. Oleh karena itu perilaku pemimpinnya mempunyai ciri-ciri : a) Memberikan kritik pelaksanaan pekerjaan yang jelek, b) Menekankan pentingnya batas waktu pelaksanaan tugas-tugas kepada bawahan, c) Selalu memberitahu apa-apa yang dikerjakan bawahan, d) Selalu memberi petunjuk bawahan bagaimana melakukan tugas, e) Memberikan standar tertentu atas pekerjaan, f) Meminta bawahan agar selalu menuruti dan mengikuti standar yang telah ditetapkan, g) Selalu mengawasi apakah bawahan bekerja sepenuh kemampuannya. 2) Consideration diartikan sebagai seberapa jauh seseorang berkemungkinan memiliki hubungan pekerjaan yang dicirikan oleh saling percaya, menghargai gagasan bawahan, dan memperhatikan perasaan mereka. Dimensi ini menunjukkan kepedulian akan kenikmatan, kesejahteraan, status, dan kepuasan pengikut-pengikutnya. Menurut Wahjosumidjo (1987:62) consideration merupakan perilaku pemimpin yang cenderung ke arah kepentingan bawahan. Oleh karena itu, ciri-ciri perilaku pemimpin dalam hubungannya dengan bawahan adalah: a) Ramah tamah, b) Mendukung dan membela bawahan, c) Mau berkonsultasi, d) Mau mendengarkan bawahan, e) Mau menerima usul bawahan, f) Memikirkan kesejahteraan bawahan, g) Memperlakukan bawahan setingkat dirinya.
Berdasarkan dua macam kecenderungan perilaku yang tertuang di dalam gambar, tentunya ada diantara para pemimpin yang mempunyai nilai tinggi pada K, nilai rendah pada S, tetapi mungkin sebaliknya. Dan yang ideal ialah pemimpin yang K dan S, kedua-duanya mempunyai nilai yang tinggi. Dan sesungguhnya kedua macam kecenderungan perilaku kepemimpinan tersebut pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari masalah fungsi dan gaya kepemimpinan. b. Telaah Universitas Michigan Telaah kepemimpinan yang dilakukan pada pusat riset dan survei Universitas Michigan pada waktu yang hampir bersamaan dengan yang dilakukan di Ohio, mempunyai sasaran riset yang serupa : melokasi karakteristik perilaku pemimpin yang dikaitkan dengan ukuran keefektifan kinerja. Kelompok Michigan menurut Wahjosumidjo (1987:63) memiliki dua dimensi perilaku kepemimpinan, ialah: 1) Gaya yang berorientasi karyawan (an employee-oriented style) yang ditandai dengan berbagai gejala sebagai berikut: a) Pemimpin
lebih
memberikan
motivasi
daripada
memberikan
pengawasan terhadap bawahan, b) Pemimpin lebih melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan, c) Pemimpin lebih bersikap penuh kekeluargaan, percaya, hubungan kerjasama yang saling hormat menghormati diantara sesama anggota kelompok. 2) Gaya yang berorientasi pada tugas (a task-oriented style) yang ditandai dengan adanya beberapa hal seperti: a) pemimpin memberikan petunjuk-petunjuk kepada bawahan, b) pemimpin selalu mengadakan pengawasan secara ketat terhadap bawahan, c) pemimpin meyakinkan kepada bawahan, bahwa tugas-tugas harus dapat dilaksanakan sesuai dengan keinginan pemimpin,
d) pemimpin lebih menekankan kepada pelaksanaan tugas daripada pembinaan dan pengembangan bawahan. Kesimpulan yang didapat oleh para peneliti Michigan sempat kuat mendukung pemimpin yang perilakunya berorientasi karyawan. Pemimpin yang berorientasi karyawan dikaitkan dengan produktivitas kelompok dan kepuasan kerja yang lebih tinggi. Pemimpin yang berorientasi pada tugas cenderung dikaitkan dengan produktivitas kelompok dan kepuasan kerja yang lebih rendah. c. Kisi Manajerial Gambar 2.2 Kisi Manajerial (Managerial Grid)
tinggi 9
1-9 country club
9-9 team
p 8 e r h 7 a t i a 6 n 5-5 middle of the road
p 5 a d a 4 o r 3 a n g 2
1
1-1 impoverished
rendah
9-1 task
2 1
3
8
6
4
7
5 perhatian pada tugas
9 tinggi
Sumber : Robbins (1996:44) Suatu penggambaran grafik dari pandangan dua dimensi terhadap gaya kepemimpinan
dikembangkan
oleh
Blake
dan
Mouton.
Mereka
mengemukakan Kisi Manajerial (Managerial Grid) berdasarkan pada gaya “kepedulian akan karyawan” dan “kepedulian akan tugas”. Kisi itu mempunyai 9 posisi yang mungkin sepanjang tiap sumbu, menciptakan 81
posisi berbeda dalam mana gaya pemimpin itu bisa ditempatkan. Kisi itu menunjukkan faktor-faktor dominan dalam pemikiran seorang pemimpin dalam rangka memperoleh hasil. Berdasarkan penemuan Blake dan Mouton, manajer dijumpai paling baik kinerjanya pada gaya 9-9 , sebagaimana dikontraskan, misalnya dengan suatu gaya 9-1 (tipe otoritas) atau 1-9 (tipe country club). Kisi ini lebih mengemukakan suatu kerangka yang lebih baik untuk mengkonsepkan gaya kepemimpinan daripada menyajikan setiap informasi yang baru dalam memperjelas kepemimpinan. Robbins (1996:43) d. Studi Skandinavia Studi Ohio dan Michigan pada hakikatnya dikembangkan antara akhir 1940an dan awal 1960-an. Dengan keyakinan bahwa kedua studi tersebut telah gagal untuk menangkap realitas yang lebih dinamis dewasa ini, para peneliti di Finlandia dan Swedia telah menilai ulang apakah hanya ada dua dimensi yang menyangkut hakikat dari perilaku kepemimpinan. Premis dasar mereka adalah bahwa dalam suatu dunia yang berubah, pemimpin yang efektif akan menampakkan perilaku yang berorientasi pengembangan. Inilah pemimpin yang menghargai eksperimentasi, mengusahakan gagasan baru, dan menimbulkan dan melaksanakan perubahan. Robbins (1996:43) e. Model Leadership Continuum Menurut Wahjosumidjo (1987:63-65) teori ini merupakan hasil pemikiran dari Robert Tannenbaum dan Warren H. Schmidt. Menurut teori kontinum ada tujuh tingkatan hubungan pemimpin dengan bawahan : 1) Pemimpin membuat dan mengumumkan keputusan terhadap bawahan (telling), 2) Pemimpin menjual dan menawarkan keputusan terhadap bawahan (selling), 3) Pemimpin menyampaikan ide dan mengundang pertanyaan,
4) Pemimpin memberikan keputusan tentatif, dan keputusan masih dapat diubah, 5) Pemimpin memberikan problem dan minta saran pemecahannya kepada bawahan (consulting), 6) Pemimpin menentukan batasan-batasan dan minta kelompok untuk membuat keputusan, 7) Pemimpin mengijinkan bawahan berfungsi dalam batas-batas yang ditentukan (joining).
Gambar 2.3 Teori Kontinuum
orientasi kepada pemimpin
s u m b e r
k e k u a s a a n
daerah otoritas atas an
daerah kekuas aan bawahan
orientasi kepada bawahan
p emimp in membuat dan mengumumkan kep utusan (telling)
p emimp in meny amp aikan ide dan mengundang p ertany aan
p emimp in menjual kep utusan (selling)
p emimp in memberi p roblem dan minta saran pemecahan (consulting)
p emimp in memberi kep utusan tentatif, boleh berubah
p emimp in mengijinkan bawahan berfungsi dalam batas y ang ditentukan p emimp in (joining)
p emimp in membatasi p ersoalan, minta kelomp ok membuat kep utusan
Sumber : Wahjosumidjo (1987:65)
Penjelasan gambar 2.3. sebagai berikut : a) Bertitik tolak dari pandangan dasar perilaku yang berorientasi kepada bawahan. Makin bergeser ke kanan, makin meluas kebebasan bawahan, sehingga makin nyata bawahan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Dan sebaliknya, makin sempit otoritas pemimpin.
b) Bertitik tolak dari pandangan dasar perilaku yang berorientasi kepada pemimpin. Makin bergeser ke kiri, makin meluas otoritas pemimpin. Sehingga makin sempit atau makin dibatasi kebebasan bawahan di dalam keterlibatan pengambilan keputusan. f. Likert’s Management System Likert’s Management System seperti yang diterangkan Wahjosumidjo (1987:71-73)
merupakan
Berdasarkan hasil
penyempurnaan
dari
penelitian tersebut terdapat
Leader empat
Continuum. macam
gaya
kepemimpinan yang disebut sistem 1, sistem 2, sistem 3, dan sistem 4. Masing-masing sistem oleh Likert lebih dijelaskan sebagai berikut : 1) Sistem 1 a) Manajer menentukan semua keputusan yang bertalian dengan seluruh pekerjaan,
dan
memerintahkan
semua
bawahan
untuk
melaksanakannya, b) Manajer menentukan semua standar bagaimana bawahan melakukan tugas, c) Manajer memberikan ancaman dan hukuman kepada bawahan yang tidak berhasil melaksanakan tugas-tugas yang telah ditentukan, d) Manajer kurang percaya terhadap bawahan dan sebaliknya bawahan tidak atau sedikit sekali terlibat dalam proses pengambilan keputusan, e) Atasan dan bawahan bekerja dalam suasana yang saling mencurigai.
2) Sistem 2 a) Manajer menyampaikan berbagai peraturan yang berkaitan dengan tugas-tugas atau perintah, dan sebaliknya para bawahan diberikan kebebasan untuk memberikan pendapatnya, b) Bawahan
diberikan
kelonggaran
atau
fleksibilitas
dalam
melaksanakan tugas-tugas, tetapi dengan hati-hati diberi batasan serta berbagai prosedur,
c) Bawahan yang telah berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya diberikan hadiah atau penghargaan, di samping adanya sanksi-sanksi bagi mereka yang kurang berhasil, sebagai dorongan, d) Hubungan antara atasan dan bawahan dalam suasana yang baik. 3) Sistem 3 a) Manajer menentukan tujuan, dan mengemukakan berbagai ketentuan yang bersifat umum, sesudah melalui proses diskusi dengan para bawahan, b) Bawahan dapat mengambil keputusan sendiri terhadap bagaimana melaksanakan tugas-tugasnya dalam batas-batas tertentu, sedangkan beberapa hal tertentu sepenuhnya menjadikan keputusan atasan, c) Penghargaan dan hukuman diberikan dalam rangka memberikan dorongan kepada bawahan, d) Para bawahan merasa bebas untuk berdiskusi dengan atasan mengenai hal-hal yang berkaitan tugas pekerjaannya, e) Manajer mempunyai kepercayaan dan keyakinan kepada bawahan untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik, f) Tercipta hubungan dua arah antara atasan dan bawahan dengan baik. 4) Sistem 4 a) Dalam rangka penentuan tujuan dan pengambilan keputusan ditentukan oleh kelompok/bersama, b) Apabila pemimpin secara formal perlu mengambil keputusan, dilakukan setelah adanya saran dan pendapat bersama dari para bawahan, c) Hubungan kerjasama antara atasan dan bawahan terjadi dalam suasana yang penuh persahabatan dan saling mempercayai, d) Motivasi
terhadap
bawahan
tidak
hanya
didasarkan
atas
pertimbangan-pertimbangan ekonomis, melainkan juga didasarkan
atas
pentingnya
pengakuan
peranan
para
bawahan
dalam
melaksanakan tugas-tugas organisasi. Tabel 2.1 Likert’s Management System Sistem 1
Otoriter (Explosive atau Authoritative)
Sistem 2
Otoriter yang bijaksana (Benevolent Authoritative)
Sistem 3
Konsultatif (Consultative)
Sistem 4
Partisipatif (Participative Management)
Sumber : Wahjosumidjo (1987:72) Kesimpulan dari Likert’s Management System adalah bahwa organisasi yang tidak produktif disebabkan adanya kecenderungan pemimpin ke arah perilaku sistem 1 dan 2. Sebaliknya produktivitas tinggi yang dapat dicapai oleh suatu organisasi, banyak ditentukan oleh adanya gaya kepemimpinan yang konsultatif atau partisipatif atau kepemimpinan sistem 3 dan 4. g. The 3.D Theory Menurut Wahjosumidjo (1987:73-75) perilaku kepemimpinan menurut Teori Tiga Dimensi ini dikemukakan oleh Reddin, dimana menurut pendapatnya ada tiga pola dasar yang dapat dipakai untuk menentukan perilaku kepemimpinan, yaitu : 1) Berorientasi pada tugas (task oriented) 2) Berorientasi pada hubungan kerjasama (relationship oriented) 3) Berorientasi pada hasil (effectiveness oriented).
Dalam usaha penelitian selanjutnya Reddin menyusun Tes Diagnosa Gaya Kepemimpinan. Hasilnya ialah mengukur persepsi seorang pemimpin terhadap gaya kepemimpinannya, dalam melaksanakan tugas-tugasnya pada saat itu.
3. Pendekatan Berdasarkan Kepemimpinan Situasional Di dalam menelaah fenomena kepemimpinan, semakin jelas bahwa meramalkan sukses kepemimpinan lebih rumit daripada menarik keluar beberapa ciri/perilaku yang lebih disukai. Kegagalan untuk memperoleh hasil yang konsisten mendorong perhatian pada pengaruh situasional. Tidak sedikit studi yang mencoba memilahkan faktor penting situasional yang mem-pengaruhi keefektifan kepemimpinan. Beberapa pendekatan untuk memilah variabel kunci situasional terbukti lebih berhasil daripada pendekatan lain yang telah memperoleh pengakuan yang lebih luas. Telah
dipertimbangkan beberapa pendekatan seperti yang dijelaskan
Wahjosumidjo (1987:96-107) dan Robbins (1996:45-56) yaitu: model Fiedler, teori situasional Hersey dan Blanchard, model jalur-tujuan serta model partisipasi-pemimpin. a. Model Kemungkinan Fiedler Teori kemungkinan ini dikembangkan oleh Fiedler. Model kemungkinan Fiedler mengemukakan bahwa kinerja kelompok yang efektif bergantung pada padanan yang tepat antara gaya interaksi dari atasan dengan bawahannya (mengidentifikasikan gaya/perilaku kepemimpinan) serta sampai tingkat mana situasi memberikan kendali dengan pengaruh kepada atasan (mendefinisikan situasi). Fiedler mengembangkan suatu instrumen yang disebut Kuesioner LPC (Least Preferred Coworker) atau kuesioner rekan kerja yang paling kurang disukai, yang terutama dimaksudkan untuk mengukur apakah seseorang itu berorientasi tugas ataukah hubungan. Kuesioner itu berisi enam belas kata sifat yang saling berlawanan (seperti : menyenangkan-tidak menyenangkan, efisien-tidak efisien, mendukung-tidak mendukung) Setelah
gaya
kepemimpinan
seseorang dinilai
lewat
LPC,
Fiedler
mengidentifikasikan tiga dimensi kemungkinan yang mendefinisikan faktor situasional utama untuk menentukan keefektifan kepemimpinan, yaitu: 1) Hubungan antara pemimpin-anggota (leader-member relations)
Bagaimana tingkat kualitas hubungan yang terjadi antara atasan dengan bawahan. Sikap bawahan terhadap kepribadian, watak dan kecakapan atasan. 2) Struktur tugas (task structure) Sampai tingkat mana penugasan pekerjaan diprosedurkan (terstukrur atau tidak terstruktur). 3) Kewibawaan kedudukan pemimpin (leader’s position power) Bagaimana kewibawaan formal pemimpin dilaksanakan terhadap bawahan. Ketiga variabel tersebut dirumuskan ke dalam delapan kombinasi yang sangat berpengaruh terhadap kepemimpinan, yang dilukiskan dengan grafik di bawah ini: Gambar 2.4 Delapan Kombinasi Pengaruh Kepemimpinan Berorientasi tugas Berorientasi hubungan Kinerja Baik
Buruk Kondisi
Mendukung I
II
III
Sedang IV
V
Tidak mendukung VI
VII
Sumber : Robbins (1996:48) Tabel 2.2 Delapan Kombinasi Pengaruh Kepemimpinan
VIII
I
Hubungan pemimpinanggota Baik
Berpola
Kewibawaan kedudukan pemimpin kuat
II
Baik
Berpola
lemah
III
Baik
kuat
IV
Baik
lemah
V
Tidak baik
Tidak berpola Tidak berpola Berpola
VI
Tidak baik
Berpola
lemah
VII
Tidak baik
Kondisi
Struktur tugas
Tidak berpola VIII Tidak baik Tidak berpola Sumber : Wahjosumidjo (1987:98)
kuat
kuat lemah
Gaya kepemimpinan yang efektif mementingkan tugas atau hasil mementingkan tugas atau hasil mementingkan tugas atau hasil mementingkan hubungan atau bawahan mementingkan hubungan atau bawahan mementingkan hubungan atau bawahan mementingkan hubungan atau bawahan mementingkan tugas atau hasil
Apabila kondisi menunjukkan angka I, berarti hubungan antara pemimpin dengan anggota adalah baik, struktur tugas dalam organisasi itu telah tersusun dalam pola-pola, dan kewibawaan kedudukan pemimpinnya kuat, berarti gaya atau perilaku kepemimpinan yang efektif (yang diperlukan) adalah perilaku pemimpin yang berorientasi pada tugas/hasil. b. Teori Situasional Hersey-Blanchard Paul Hersey dan Kenneth Blanchard telah mengembangkan suatu model kepemimpinan yang telah memperoleh pengikut yang kuat dari kalangan spesialis pengembangan manajemen, teori ini disebut Life Cycle Theory (Teori Kepemimpinan Situasional). Life Cycle Theory merupakan suatu teori kemungkinan yang memusatkan perhatian pada kesiapan para pengikut. Dimana kepemimpinan yang berhasil dicapai dengan memilih gaya kepemimpinan yang tepat tergantung pada tingkat kesiapan atau kedewasaan para pengikutnya. Bawahan dapat dikatakan mempunyai tingkat kedewasaan
yang tinggi relevansinya dengan tugasnya, apabila mereka memiliki kemauan dan kemampuan, juga memiliki rasa percaya pada diri sendiri dan harga diri. Sedangkan tingkat kedewasaan (motivasi) bawahan berbeda-beda tergantung pada tugas, fungsi, atau tujuan tertentu yang ditugaskan pada mereka. Dengan demikian, kepimimpinan situasional menekankan pada terwujudnya kesesuaian atau efektivitas gaya kepemimpinan sejalan dengan tingkat perkembangan tugas yang relevan dari para bawahan. Gambar 2.5. melukiskan gaya pemimpin yang efektif dan tingkat kedewasaan bawahan. 1) Dalam gaya kepemimpinan yang efektif terdapat empat perilaku dasar kepemimpinan, yang terdiri atas: S1. -Mengatakan atau telling (orientasi tugas tinggi-hubungan rendah) Pemimpin itu mendefinisikan peran dan memerintahkan kepada orangorangnya apa, bagaimana, kapan, dan dimana melakukan berbagai tugas. Perilaku ini menekankan pada perilaku pengarah (direktif). S2. -Menjual atau selling (orientasi tugas tinggi-hubungan tinggi) Pemimpin memberikan baik perilaku pengarah maupun perilaku pendukung. S3. -Berperan serta atau participating (orientasi tugas rendah- hubungan tinggi) Pemimpin dan pengikut bersama-sama mengambil keputusan, dengan peran utama dari pemimpin adalah mempermudah dan berkomunikasi. S4. -Mendelegasikan atau delegating (orientasi tugas rendah- hubungan rendah) Pemimpin memberikan sedikit pengarahan dan dukungan. 2) Tingkat kedewasaan masing-masing digambarkan : R.1. – kedewasaan tingkat rendah, R.2. – kedewasaan tingkat rendah menuju sedang, R.3. – kedewasaan tingkat sedang menuju tinggi,
R.4. – kedewasaan tingkat tinggi.
Gambar 2.5 Kepemimpinan Situasional Gaya Pemimpin yang Efektif (Tinggi) Hubungan tinggi dan tugas rendah
P e r i l a k u p e n d u k u n g
P e r i l a k u h u b u n g a n
S3
Tugas tinggi dan hubungan tinggi
S2 S1
S4
Tugas tinggi dan hubungan rendah
Hubungan rendah dan tugas rendah
Perilaku tugas (Perilaku direktif)
(Rendah) D e w a s a
(Tinggi)
(Tinggi)
Tinggi
Rendah
(Rendah)
R4 Mampu dan mau
R3 Mampu tapi tidak mau
R2 Tidak mampu tapi mau
R1 Tidak mampu dan tidak mau
Kesiapan pengikut
T i d a k d e w a s a
Sumber : Robbins (1996:51) Secara singkat hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dan tingkat kedewasaan menurut Teori Situasional Hersey dan Blanchard adalah: 1)
Apabila bawahan berada dalam kedewasaan yang tingkat rendah (R1) gaya kepemimpinan yang efektif adalah telling.
2)
Bawahan yang tingkat kedewasaannya sedang bergerak dari tingkat rendah ke sedang (R2) gaya kepemimpinan yang efektif adalah selling.
3)
Kepemimpinan yang bertipe participating akan cocok diterapkan kepada para bawahan yang tingkat kedewasaannya bergerak dari tingkat sedang ke tinggi (R3).
4)
Bawahan yang tingkat kedewasaannya tinggi (R4) tipe kepemimpinan yang efektif adalah delegating. Wahjosumidjo (1987:106-107)
c. Teori Jalur-Tujuan Teori Jalur-Tujuan yang dikembangkan oleh Robert House adalah salah satu pendekatan yang paling dihormati terhadap kepemimpinan, karena teori ini merupakan suatu model kemungkinan dari kepemimpinan yang menyuling unsur-unsur utama dari riset kepemimpinan Ohio mengenai initiating structure dan consideration serta teori pengharapan dari motivasi. Menurut Robbins (1996:52), Teori Jalur-Tujuan merupakan teori dimana perilaku seorang pemimpin dapat diterima baik oleh bawahan sejauh mereka pandang sebagai suatu sumber kepuasan segera atau sebagai sarana bagi kepuasan masa depan. Perilaku seorang pemimpin bersifat motivasional sejauh itu (1) membuat bawahan memerlukan kepuasan yang bergantung pada kinerja yang efektif, (2) memberikan latihan (coaching), bimbingan, dukungan, dan ganjaran yang perlu untuk kinerja yang efektif. Untuk menguji pernyataan tersebut, House mengidentifikasikan empat perilaku kepemimpinan, yaitu : 1) Pemimpin direktif Erat sejajar dengan dimensi initiating structure dari Ohio dimana pemimpin membiarkan bawahan tahu apa yang diharapkan dari mereka, menjadwalkan kerja untuk dilakukan, dan memberi bimbingan khusus mengenai bagaimana menyelesaikan tugas. 2) Pemimpin pendukung
Bersinonim dengan dimensi consideration dari Ohio, pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. 3) Pemimpin partisipatif Pemimpin berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran mereka sebelum mengambil suatu keputusan. 4) Pemimpin berorientasi prestasi Pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi pada tingkat tertinggi mereka. Teori jalur-tujuan yang mengandaikan para pemimpin adalah fleksibel, menyiratkan bahwa pemimpin yang sama dapat menampakkan setiap atau semua perilaku tersebut yang bergantung pada situasi, berlawanan dengan pandangan Fiedler mengenai perilaku kepemimpinan.
Gambar 2.6 Teori Jalur-Tujuan Faktor-faktor kemungkinan lingkungan : - Struktur tugas - Sistem otoritas - Kelompok kerja
Perilaku pemimpin : Direktif, Berorientasi prestasi, Partisipatif, Mendukung
Hasil : - Kinerja - Kepuasan
Faktor kemungkinan bawahan : - Tempat pengendalian - Pengalaman - Kemampuan yang dipersepsikan
Sumber : Robbins (1996:53) Seperti dilukiskan pada gambar di atas, teori jalur-tujuan mengemukakan dua kelas
variabel
situasional
yang
melunakkan
hubungan
perilaku
kepemimpinan-hasil : variabel dalam lingkungan yang berada diluar kontrol bawahan (:struktur tugas, sistem otoritas, dan kelompok kerja) dan variabel
yang merupakan bagian dari karakteristik pribadi bawahan (:tempat pengendalian, pengalaman, dan kemampuan yang dipersepsikan). Faktorfaktor lingkungan menentukan tipe perilaku pemimpin yang disyaratkan sebagai suatu pelengkap jika keluaran bawahan harus dimaksimalkan; karakteristik pribadi dari bawahan menentukan bagaimana lingkungan dan perilaku pemimpin itu ditafsirkan. Jadi teori ini mengusulkan bahwa perilaku pemimpin akan tidak efektif bila berlebihan pada struktur lingkungan atau tidak sesuai dengan karakteristik bawahan. d. Model Partisipasi Pemimpin Menurut Robbins (1996:54) model Partisipasi Pemimpin dikembangkan oleh Victor Vroom dan Phillip Yetton pada tahun 1973, yang menghubungkan perilaku kepemimpinan dan partisipasi dengan pengambilan keputusan. Para peneliti ini berpendapat bahwa perilaku kepemimpinan harus menyesuaikan diri untuk mencerminkan struktur tugas. Karena model Partisipasi Pemimpin merupakan suatu teori kepemimpinan yang bersifat normatif dimana model ini memberikan suatu perangkat aturan untuk menentukan ragam dan banyaknya pengambilan keputusan partisipatif dalam situasi-situasi yang berlainan. Karya ini telah direvisi oleh Vroom dan Arthur Jago yang mempertahan-kan lima gaya kepemimpinan alternatif yang sama tetapi memperluas variabel kemungkinan menjadi dua belas, sepuluh diantaranya dijawab sepanjang suatu skala lima titik. Yang dirangkum ke dalam pohon keputusan yang rumit. Model itu mengandaikan bahwa setiap dari lima perilaku bisa dipakai dalam suatu situasi tertentu : Otokratik I (AI), Otokratik II (AII), Konsultatif I (CI), Konsultatif II (CII), dan Kelompok II (GII) : 1) AI. Pemimpin memecahkan masalah itu dan mengambil keputusan sendiri dengan menggunakan informasi yang tersedia pada saat itu. 2) AII. Pemimpin memperoleh informasi yang perlu dari bawahan dan kemudian memutuskan sendiri pemecahan masalah itu.
3) CI. Pemimpin berbagi masalah dengan bawahan yang relevan secara individual, dengan mendapatkan gagasan dan saran mereka tanpa membentuk mereka menjadi suatu kelompok, lalu mengambil keputusan. 4) CII. Pemimpin berbagi masalah dengan bawahannya sebagai suatu kelompok, dengan secara kolektif memperoleh gagasan dan saran mereka, kemudian mengambil keputusan. GII. Pemimpin berbagi masalah dengan bawahan sebagai suatu kelompok. Bersama-sama melahirkan dan mengevaluasi alternatif-alternatif serta berupaya mencapai kesepakatan mengenai suatu pemecahan.
Gambar 2.7 Model Partisipasi Pemimpin Vroom-Jago
QR CR LI ST CP
Persyaratan kualitas: Persyaratan komitmen: Informasi pemimpin: Struktur masalah: Probabilitas komitmen:
GC Kesesuaian tujuan: CO Konflik bawahan: SI
Apakah kualitas teknis dari keputusan ini benar-benar penting? Seberapa pentingkah komitmen pada keputusan itu? Apakah anda memiliki cukup informasi untuk mengambil keputusan kualitas tinggi? Apakah masalah itu terstruktur baik? Sea ndain ya an da h arus membu at keputu san i tu sendiri, ap akah bena r-bena r pa sti bahwa bawahan anda akan berkomitmen pada keputusan itu? Apakah bawahan ikut memiliki tujuan organisasi yang harus dicapai dalam masalah ini? Apa kah ada konfli k di kala ngan ba wahan m engen ai peme cahan -pemecahan ya ng mungkin lebih disukai?
Informasi bawahan:
Ap akah b awa han mem pu nya i cu kup inf ormasi un tuk men ga mbi l su atu kep ut usa n berkualitas tinggi?
Ya
CP Tidak Ya
Tidak
LI
m a s a l a h n y a
Tidak
Tidak
Tinggi
Ya
CO
Ya GII
GC
GC
Ya
ST
SI
Tidak
CII AII
Tidak Ya
Rendah
Tidak
Ya
Ya CP
GII CII
GC
CR
Ya Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
SI
Ya
ST
Tinggi
QR
Ya
GC
Tidak CP
N y a t a k a n
AI
Tidak Ya
CI
Tidak CO
Ya
CII
Tidak
LI Rendah
Rendah CR
Ya
AI CP
Tinggi
Ya Tidak
GII
Sumber : Robbins (1996:55) Model Partisipasi Pemimpin membenarkan bahwa riset kepemimpinan seharusnya diarahkan pada situasi bukan pada orangnya. Vroom, Yetton dan Jago berargumentasi menentang gagasan bahwa perilaku pemimpin itu tidak luwes.
Model
partisipasi
pemimpin mengandaikan
pemimpin
dapat
menyesuaikan gayanya terhadap situasi yang berlainan. Pilihan antara keharusan seorang pemimpin menyesuaikan situasi agar cocok dengan orang atau mengatur orangnya agar cocok dengan situasi merupakan suatu hal yang sangat bergantung pada pemimpinnya, khususnya pada apakah
pemimpin tersebut bernilai tinggi ataukah rendah pada bidang pemantauan diri.
2.2.4 Pengertian Gaya Kepemimpinan Pada sub-bab tentang teori-teori kepemimpinan, dijelaskan mengenai gambaran gaya kepemimpinan yang ditempuh oleh pimpinan di dalam menangani perusahaannya. Dijelaskan pula pada sub-bab tersebut bahwa terdapat beberapa pendekatan mengenai hal kepemimpinan yang terdiri dari 3 pendekatan utama terhadap kepemimpinan, yaitu pendekatan berdasarkan ciri-ciri kepemimpinan, pendekatan berdasarkan perilaku kepemimpinan, dan pendekatan berdasarkan kepemimpinan situasional. Dalam penelitian ini penulis lebih menekankan pada pendekatan berdasarkan perilaku kepemimpinan, dan pendekatan berdasarkan kepemimpinan situasional, karena dengan mempelajari perilaku yang kritis dari pemimpin yang efektif diharapkan diperoleh dasar untuk melatih orang-orang agar menjadi pemimpin. Sebab kecenderungan perilaku kepemimpinan pada hakikat-nya tidak dapat dilepaskan dari masalah gaya kepemimpinan. Sedangkan dengan meneliti kepimimpinan situasional diharapkan dapat dipelajari penekanan pimpinan pada terwujudnya kesesuaian atau efektivitas gaya kepemimpinan terhadap situasi atau sejalan dengan tingkat perkembangan tugas yang relevan dari para bawahannya. Dikemukakan oleh Hersey dan Blanchard (1986:277) mengenai pengertian gaya kepemimpinan, yaitu : “Gaya kepemimpinan seseorang adalah pola perilaku yang dilakukan oleh orang tersebut pada waktu berupaya mempengaruhi aktivitas orang lain……”.
2.3 Motivasi Kerja
2.3.1 Pengertian Motivasi Penelitian dewasa ini menunjukkan bahwa ternyata salah satu perhatian utama dan merupakan tantangan yang dihadapi para pemimpin dan manajer masa kini adalah bagaimana cara memotivasi karyawannya sehingga tujuan organisasi tercapai. Tidak sedikit pemimpin yang gagal memotivasi karyawannya karena tidak mengetahui tentang motivasi itu sendiri. Untuk mendapatkan gambaran tentang motivasi, berikut dikutip beberapa pengertian dari para ahli. Robbins (1996:198) mendefinisikan : “Motivasi sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi ke arah tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individual”. Robbins memuat tiga faktor kunci dari definisinya yaitu upaya, tujuan organisasi dan kebutuhan. Sedangkan
Wahjosumidjo
(1987:174,177)
mengungkapkan
dua
pandangannya mengenai pengertian motivasi, yaitu: “1. Motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang. 2. Motivasi sebagai konsep manajemen ialah dorongan kerja yang timbul pada diri seseorang untuk berperilaku dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan”. Akan tetapi di dalam upaya memotivasi karyawan juga harus dipertimbangkan kualitas dan intensitas upaya tersebut. Macam upaya pe-motivasian tersebut harus diusahakan terarah dan konsisten dengan tujuan-tujuan organisasi, meskipun pada prinsipnya rangsangan dan dorongan diciptakan agar setiap karyawan memandang pencapaian tujuan organisasi sebagai kebutuhan dan pemotivasian tersebut merupakan alat pemenuhan kebutuhan pribadinya.
2.3.2 Proses Motivasi
Pada hakikatnya motivasi merupakan terminologi umum yang memberikan makna, daya dorong, keinginan, kebutuhan dan kemauan. Bahkan hubungan antara kebutuhan, keinginan, dan kepuasan digambarkan sebagai suatu mata rantai yang disebut need-want-satisfaction chain. Gambar 2.8. Need-Want-Satisfaction Chain
Kebutuhan
sebab timbulnya sesuatu
Daya dorong
Perilaku
Keinginan
orientasi tujuan
memuncul kan suatu sebab
Ketegangan
Kepuasan
Sumber : Wahjosumidjo (1987:178) Jadi jelas bahwa perilaku yang timbul pada diri seseorang didorong adanya kebutuhan. Dan kebutuhan yang ada pada diri seseorang mendorong seseorang berperilaku. Dan sikap perilaku seseorang yang selalu berorientasi pada tujuan, ialah terpenuhinya kebutuhan yang diinginkan. Di samping itu setiap perilaku yang ditampilkan seseorang dalam kehidupan organisasi dalam rangka tercapainya suatu kepuasan. 2.3.3 Teori-teori Motivasi Motivasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan organisasi tetapi juga dirasakan sesuatu yang sulit, sebab motivasi setiap karyawan berbeda satu sama lain sedangkan faktor motivasi tetap harus diamati dan diukur untuk menentukan langkah yang diambil manajemen. Di samping itu banyaknya teori tentang motivasi merupakan salah satu faktor penyebab kebingungan para pemimpin. Diantara berbagai teori tersebut ada yang mengelompokkan teori-teori motivasi ke
dalam content theories (Teori Kepuasan) dan process theories (Teori berdasarkan Proses).
1. Content Theories Teori-teori motivasi mengungkapkan faktor-faktor dalam diri seseorang yang menentukan perilakunya dan faktor itu adalah kebutuhan. Teori yang tergolong ke dalam content theories antara lain: a. Teori Hierarki Kebutuhan Gambar 2.9 Hierarki Kebutuhan Maslow
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
4. Kebutuhan Penghargaan (Esteem Neeeds
3. Kebutuhan Sosial (Social Needs)
2. Kebutuhan Rasa Aman (Security Needs)
1. Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs)
Sumber : Wahjosumidjo (1987:184)
Teori ini dikembangkan oleh ahli Ilmu Jiwa, Abraham Maslow. Ia menghipotesiskan bahwa semua manusia memiliki lima jenjang kebutuhan. 1)
Physiological needs. Pemenuhan kebutuhan biologis,
2)
Security needs. Keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional,
3)
Social needs. Mencakup kasih sayang, rasa dimiliki, diterima dengan baik, dan persahabatan,
4)
Esteem needs. Mencakup harga diri, otonomi, prestasi, status, pengakuan dan perhatian,
5)
Self actualization. Dorongan untuk mengembangkan kapasitas mental dan kapasitas kerja.
b. Teori X dan Teori Y Douglas McGregor mengemukakan dua asumsi yang sangat berbeda mengenai manusia: secara dasar satu negatif yang ditandai sebagai Teori X; dan yang lainnya positif, yang ditandai dengan Teori Y. Menurut Robbins (1996:200) Teori X mengasumsikan sifat manusia sebagai berikut: 1) Karyawan secara inheren tidak menyukai kerja dan berusaha untuk menghindarinya, 2) Karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan, 3) Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan berusaha mencari pengarahan formal, 4) Kebanyakan karyawan menaruh keamanan di atas semua faktor lain yang dikaitkan dengan kerja dan nampak tidak memiliki ambisi. Marwansyah dan Mukaram (1999:156) mengasumsikan sifat manusia dalam Teori Y sebagai berikut:
1) Bekerja adalah kodrat manusia sehingga upaya yang harus dikeluarkan baik secara fisik maupun mental untuk bekerja itu dinilai sama dengan upaya untuk kegiatan lain (misal:bermain), 2) Manusia mempunyai ambisi dan suka menerima tanggung jawab, 3) Manusia akan mengawasi dan mengerahkan dirinya sendiri untuk mencapai tujuan organisasi, jika mereka telah merasa terikat terhadap tujuan tersebut, 4) Manusia ingin berkontribusi dalam pertumbuhan dan perubahan organisasi, 5) Manusia pada dasarnya cerdas. Meskipun banyak anggapan yang memihak dan menentang salah satu dari Teori X dan Y dalam menentukan yang terbaik bagi gaya kepemimpinan, pada kenyataannya dalam usaha untuk menggerakan atau memotivasi karyawan dikembangkan kombinasi antara kedua teori tersebut. c. Teori Dua Faktor Teori ini dikemukakan oleh Frederick Herzberg yang membahas dua macam situasi yang berhubungan dengan masalah kepuasan kerja. Kedua kategori ini adalah faktor-faktor hygiene (dissatisfiers) dan faktor motivator (satisfiers). Faktor hygiene atau dissatisfiers ialah rangkaian kondisi yang berhubungan dengan lingkungan tempat melaksanakan pekerjaan atau faktor-faktor ekstrinsik. Faktor ini tidak berhubungan secara langsung dengan kepuasan kerja sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat motivasi, tapi merupakan alat untuk menciptakan kondisi yang mencegah timbulnya ketidakpuasan. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah supervisi teknis, supervisi antar pribadi, kebijakan dan administrasi perusahaan, kondisi kerja, dan upah. Sedangkan faktor motivator atau satisfiers adalah faktor-faktor yang terutama berhubungan langsung dengan isi pekerjaan (job content) atau faktor-faktor intrinsik. Karakteristik unsur motivator itu ditekankan pada prestasi,
pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung jawab, dan pertumbuhan. Marwansyah dan Mukaram (1999:156-158) d. Teori Motivasi Prestasi Teori yang dikembangkan oleh David Mc Clelland ini mengemukakan bahwa pada dasarnya motif yang menentukan tingkah laku seseorang ialah tiga macam kebutuhan, yaitu: 1) Kebutuhan akan kekuasaan (need for power) adalah hasrat untuk mempunyai dampak, pengaruh, dan mengendalikan orang-orang lain. 2) Kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation). Orang-orang dengan motif ini berjuang keras untuk persahabatan, lebih menyukai situasi kooperatif daripada kompetitif, dan sangat menginginkan hubungan yang melibatkan derajat pemahaman timbal balik yang tinggi. 3) Kebutuhan akan prestasi (need for achievement) adalah kebutuhan untuk mengerjakan sesuatu secara lebih baik. Robbins (1996:205-206) 2. Process Theories Teori motivasi ini mencoba mengungkapkan proses seseorang termotivasi, yakni tentang bagaimana dan dengan tujuan apa seseorang termotivasi. Teori proses memandang perilaku sebagai hasil proses-proses keputusan manusia. Salah satu teori yang tergolong ke dalam process
theories adalah Teori Harapan
(Expectancy) dari Victor Vroom. Menurut Robbins (1996:215) Teori Ekspektansi dari Vroom mengatakan bahwa seorang karyawan dimotivasi untuk menjalankan tingkat upaya yang tinggi apabila ia meyakini upaya akan mengantarnya ke suatu penilaian kinerja yang baik; suatu penilaian yang baik akan mendorong ganjaran-ganjaran organisasional seperti bonus, kenaikan gaji, atau promosi; dan ganjaran-ganjaran itu memfokuskan pada tiga hubungan. a. Hubungan upaya-kinerja: Probabilitas yang dipersepsikan oleh individu yang mengeluarkan sejumlah upaya tertentu itu akan mendorong kinerja.
b. Hubungan kinerja-ganjaran: Derajat sejauh mana individu itu meyakini bahwa berkinerja pada suatu tingkat tertentu akan mendorong tercapainya suatu keluaran yang diinginkan. c. Hubungan ganjaran-tujuan pribadi: Derajat sejauh mana ganjaran-ganjaran organisasional memenuhi tujuan atau kebutuhan pribadi seorang individu dan daya tarik ganjaran-ganjaran potensial tersebut untuk individu itu.
2.4 Hubungan Gaya Kepemimpinan dengan Motivasi Kerja Karyawan Masalah kepemimpinan memang merupakan cabang ilmu pengetahuan yang sangat menarik, hal ini dikarenakan kepemimpinan mempunyai peranan sentral dalam kehidupan organisasi dimana terjadi interaksi kerjasama antara beberapa hingga seluruh anggota organisasi dalam upaya pencapaian tujuan. Tetapi tantangan berat yang dihadapi oleh setiap pemimpin ialah bagaimana setiap unsur pimpinan dapat menggerakan orang lain sehingga dengan sadar secara bersama-sama bersedia berperilaku untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan mengenai motivasi untuk menciptakan situasi yang dapat menjadi pendorong karyawan untuk berperilaku sesuai dengan yang dikehendaki pimpinan. Itulah sebabnya kepemimpinan mempunyai kaitan yang erat dengan motivasi, sebab keberhasilan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang lain untuk mencapai suatu tujuan tergantung pada bagaimana pemimpin itu menciptakan motivasi di dalam diri setiap karyawannya. Di samping itu untuk memaksimalkan motivasi
karyawan
setiap
pemimpin
harus
memahami
dan
menanggapi
keanekaragaman kebutuhan dan keinginan serta perbedaan kepribadian karyawan tersebut. Sehingga kata kunci untuk memandu seorang pemimpin dalam menentukan gaya kepemimpinan yang akan digunakan adalah fleksibilitas (keluwesan).