BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Implementasi 2.1.1. Pengertian Implementasi Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab (2004:68) yang dimaksud dengan implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintahperintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan/mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijaksanaan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksanaan, kesediaan dilaksanakannya keputusan-keputusan tersebut oleh kelompok-kelompok sasaran, dampak nyata, baik yang dikehendaki atau yang tidak, dari output tersebut, dampak keputusan sebagai dipersepsikan oleh badan-badan yang mengambil keputusan, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting (atau upaya untuk melakukan
perbaikan-perbaikan)
terhadap
undang-undang/peraturan
yang
bersangkutan. Sedangkan menurut Pressman dan Wildavsky (dalam Tangkilisan, 2003:17), implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan 13
Universitas Sumatera Utara
dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya. Implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan kebijakan yang diinginkan. Definisi lain tentang implementasi diberikan oleh Lineberry (dalam Putra 2003:81) yakni tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan swasta baik secara individu dan kelompok yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan.Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi menurut Tangkilisan (2003 : 18) adalah : 1.
Penafsiran, yaitu merupakan kegiatan yang menerjemahkan makna program ke dalam pengaturan yang dapat diterima dan dijalankan.
2.
Organisasi, yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program ke dalam tujuan kebijakan.
3.
Penerapan yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lainya.
2.1.2. Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat tercapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang untuk mengimplementasikan kebijakan, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan publik tersebut. (Nugroho, 2003:158).
14
Universitas Sumatera Utara
Menurut Mazmanian dan Sabatier (Safi‟i, 2007:144) mengatakan bahwa mengkaji masalah implementasi kebijakan berarti berusaha memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses kebijakan,
pengesahan
baik
yang
menyangkut
usaha-usaha
mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau pada kejadian-kejadian tertentu. Pendapat kedua tokoh ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan pada hakekatnya tidak hanya terbatas pada tindakan-tindakan atau perilaku badan-badan administratif atau unit birokrasi
yang
bertanggung
jawab
untuk
melaksanakan
program
dan
menimbulkan kepatuhan dari kelompok sasaran (target group). Namun demikian hal itu juga memperhatikan secara cermat berbagai jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang berpengaruh pada perilaku semua pihak yang terlibat dan pada akhirnya membawa dampak yang di harapkan maupun yang tidak diharapkan. Setiap perumusan kebijakan apakah menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi. Betapa pun baiknya suatu kebijakan tanpa implementasi maka tidak akan banyak berarti. Implementasi kebijakan bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperolehapa dari suatu kebijakan (Wahab, 2004:59).Tidak berlebihan jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Ini 15
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara perumusan kebijakan dengan implementasi kebijakan dalam arti walaupun perumusan dilakukan dengan sempurna namun apabila proses implementasi tidak bekerja sesuai persyaratan, maka kebijakan yang semula baik akan menjadi jelek begitu pula sebaliknya. Dikemukakan oleh Wahab (2004:51), bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu
yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan
kebijaksanaan. Kebijaksanaan hanya sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan dalam arsip kalau tidak mampu diimplementasikan. Beberapa pemahaman tersebut dapat terlihat dengan jelas bahwa implementasi kebijakan merupakan rangkaian aktifitas dalam rangka membawa kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut membawa hasil sebagaimana yang diharapkan. Membicarakan masalah implementasi berarti melihat sejauh mana kebijakan berjalan setelah dirumuskan dan diberlakukan dan dapat dirumuskan bahwa fungsi implementasi ialah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran kebijakan publik diwujudkan sebgai outcome atau hasil akhir kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah. Menurut Wibawa (1994), implementasi kebijakan merupakan keputusan mengenai kebijakan yang mendasar, biasanya tertuang dalam suatu UndangUndang namun juga dapat berbentuk instruksi instruksi eksekutif yang penting atau keputusan perundangan. Idealnya keputusan-keputusan tersebut menjelaskan masalah-masalah yang hendak ditangani, menentukan tujuan yang hendak dicapai dan dalam berbagai cara “menggambarkan struktur” proses implementasi tersebut.
16
Universitas Sumatera Utara
Tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah.
2.1.3. Model-model Implementasi Kebijakan Implementasi merupakan suatu proses mengubah gagasan atau program menjadi tindakan dan bagaimana kemungkinan cara menjalankan perubahan tersebut. Menganalisis bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung secara efektif, maka dapat dilihat dari berbagai model implementasi kebijakan. Sekalipun
banyak
dikembangkan
model-model
yang
membahas
tentang
implementasi kebijakan, namun dalam hal ini hanya akan menguraikan beberapa model implementasi kebijakan yang relatif baru dan banyak mempengaruhi berbagai pemikiran maupun tulisan para ahli. Berikut beberapa model-model implementasi kebijakan dari berbagai ahli : 1.
Model yang dikembangkan oleh George C. Edwards III Sementara menurut George Edwards III ada empat faktor yang
mempengaruhi proses implementasi kebijakan, antara lain (Winarno, 2002:125) : a.
Komunikasi Secara umum, Edwards membahas tiga hal penting dalam komunikasi, yakni transmisi, konsistensi dan kejelasan (clarity). Transmisi adalah keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah telah diteruskan kepada personil yang tepat. Kejelasan adalah perintah-perintah yang akan dilaksanakan tersebut haruslah jelas misalkan melalui petunjuk-petunjuk pelaksanaan. Konsistensi adalah perintah-perintah tersebut harus jelas dan 17
Universitas Sumatera Utara
tidak bertentangan dengan para pelaksana kebijakan agar proses implementasi dapat berjalan lebih efektif. b.
Sumber-sumber Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif. Adapun sumber-sumber yang penting meliputi :
1)
Staff Jumlah staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong implementasi yang berhasil. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kecakapan yang dimiliki oleh para pegawai pemerintah ataupun staf, namun di sisi yang lain kekurangan staf juga akan menimbulkan persoalan yang pelik menyangkut implementasi kebijakan yang efektif. Dengan demikian, tidaklah cukup hanya dengan jumlah pelaksanaan yang memadai untuk melaksanakan suatu kebijakan. Para pelaksana harus memiliki keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan.
2)
Wewenang Setiap wewenang mempunyai bentuk yang berbeda-beda. Jika para pejabat/badan pelaksana kebijakan mempunyai keterbatasan wewenang untuk melaksanakan kebijakan maka diperlukan kerjasama dengan pelaksana/badan lain agar program berhasil. 18
Universitas Sumatera Utara
3)
Fasilitas Fasilitas fisik merupakan sumber yang penting pula dalam proses implementasi. Tanpa bangunan sebagai kantor untuk melaksanakan koordinasi, tanpa perlengkapa, tanpa perbekalan, maka besar kemungkinan implementasi yang direncanakan tidak akan berhasil.
4)
Struktur Birokrasi Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut sebagai Standard Operating Procedure (SOP) berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas dan sumber-sumber dari para pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam bekerjasamanya organisasi-organisasi yang kompleks dan tersebar luas. Fragmentasi adalah tekanan-tekanan di luar unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi Negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi-birokrasi pemerintah.
2.
Model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn, Yang Disebut Sebagai Model Proses Implementasi Kebijakan. Meter dan Horn dalam teorinya ini beranjak dari suatu argumen bahwa
perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan dengan 19
Universitas Sumatera Utara
prestasi kerja. Kedua ahli ini menegaskan pula pendiriannya bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting dalam prosedur-prosedur implementasi. Van Meter dan Van Horn (dalam Subarsono, 2005:99) ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu: a)
Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan kebijakan kabur, maka akan terjadi misi interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi.
b)
Sumber daya Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia.
c)
Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu perlu koordinasi dan kerja sama antara instansi bagi keberhasilan suatu program.
d)
Karakteristik Agen Pelaksana Agen pelaksana mancakup struktur birokrasi, Standard Operating Procedure (SOP), norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi
20
Universitas Sumatera Utara
dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu program. e)
Kondisi sosial, ekonomi dan politik Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompokkelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan.
f)
Disposisi Implementor Disposisi implementor ini mencakup tiga hal, yakni: i.
Respon
implementor terhadap kebijakan
yang
akan
dipengaruhi
kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, ii.
Kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan, dan
iii.
intensitas disposisi implementor, yakni prefansi nilai yang dimiliki oleh implementor. Variabel-variabel kebijakan bersangkutan paut dengan tujuan-tujuan yang
telah digariskan dan sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada badanbadan pelaksana meliputi baik organisasi formal maupun informal, sedangkan komunikasi antara organisasi terkait beserta kegiatan-kegiatan pelaksanaannya mencakup antara hubungan di dalam lingkungan sistem politik dan dengan para pelaksana mengantarkan kita pada pemahaman mengenai orientasi dari mereka yang mengoperasionalkan program di lapangan ( Subarsono, 2005:99). 21
Universitas Sumatera Utara
Model implementasi inilah yang akan digunakan penulis di lapangan untuk menganalisis proses implementasi Peraturan Walikota Medan Nomor 28 Tahun 2011. Alasan penulis menggunakan model ini karena variabel ataupun indikator yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn merupakan variabel yang bisa menjelaskan secara komprehensif tentang kinerja implementasi dan dapat lebih kongkret dalam menjelaskan proses implementasi yang sebenarnya.
2.2.
Kebijakan Publik dan Kebijakan Sosial
2.2.1. Kebijakan Publik Secara umum, kebijakan publik lebih luas daripada kebijakan sosial. Kebijakan transportasi, jalan raya, air bersih, pertahanan dan keamanan merupakan beberapa contoh kebijakan publik. Literatur mengenai kebijakan publik telah banyak menyajikan berbagai definisi kebijakan publik, baik dalam arti luas maupun sempit. Dye yang dikutip Young dan Quinn (2002:5) memberikan definisi kebijakan publik secara luas, yakni sebagai "whatever governments choose to do or not to do." Sementara itu, Anderson yang juga dikutip oleh Young dan Quinn, menyampaikan definisi kebijakan publik yang relatif lebih spesifik, yaitu sebagai "a purposive course of action followed by an actor or set of actors in. dealing with a problem or matter of concern." Untuk memahami
berbagai
definisi
kebijakan
publik,
ada
baiknya
jika
kita
membahas·beberapa konsep kunci yang termuat dalam kebijakan publik : a)
Tindakan pemerintah yang berwenang. Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politis dan finansial untuk melakukannya. 22
Universitas Sumatera Utara
b)
Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata.· Kebijakan publik berupaya merespon masalah atau kebutuhan kongkrit yang berkembang di masyarakat.
c)
Seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal, melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak. Sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Kebijakan
publik
pada
umumnya
merupakan
tindakan
kolektif
untuk
memecahkan masalah sosial. Namun, kebijakan publik bisa juga dirumuskan berdasarkan keyakinan bahwa masalah sosial akan dapat dipecahkan oleh kerangka kebijakan yang sudah ada dan karenanya tidak memerlukan tindakan tertentu (Suharto, 2010:44) 2.2.2. Kebijakan Sosial Kebijakan sosial merupakan kebijakan publik dalam bidang kesejahteraan sosial. Makna kebijakan pada kata kebijakan sosial adalah kebijakan publik, sedangkan makna sosial menunjuk pada bidang atau sektor yang menjadi garapannya, dalam hal ini adalah sektor atau bidang kesejahteraan sosial (Suharto, 2008). Sebagai sebuah kebijakan publik, kebijakan sosial memiliki fungsi preventif
(pencegahan),
kuratif
(penyembuhan),
dan
pengembangan
(developmental). Kebijakan sosial dalah ketetapan yang didesain secara kolektif untuk mencegah terjadinya masalah sosial (fungsi preventif), mengatasi masalah 23
Universitas Sumatera Utara
sosial (fungsi kuratif) dan mempromosikan kesejahteraan (fungsi pengembangan) sebagai wujud kewajiban negara (state obligation) dalam memenuhi hak-hak sosial warganya (Suharto, 2005). Kebijakan sosial diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian spesifik, yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial. Pengertian kebijakan sosial seperti ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagaimana dikemukakan oleh Conyers (1992). Menurut Conyers, perencanaan sosial adalah perencanaan perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial yang pertama kali muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara. Sehingga meskipun pengertian perencanaan sosial diintegrasikan secara meluas, di masyarakat Barat berkembang anggapan bahwa perencanaan sosial senantiasa berkaitan erat dengan perencanaan kesejahteraan sosial (Suharto, 2010:9-10). Beberapa ahli seperti Marshall, Rein, Huttman, Magill, Spicker, dan Hill juga
mengartikan
kebijakan
sosial
dalam
kaitannya
dengan
kebijakan
kesejahteraan sosial. a)
Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanankeamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik). Kebijakan sosial merupakan satu tipe kebijakan publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (Magill, 1986).
24
Universitas Sumatera Utara
b)
Kebijakan
sosial
adalah
kebijakan
pemerintah
yang
berkaitan
dengantindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan (Marshall,1965). c)
Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan danbantuan sosial (Rein, 1970).
d)
Kebijakan sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan, atau rencanarencana untukmengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial (Huttman, 1981).
e)
Kebijakan sosial adalah kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan (welfare), baik dalam arti luas, yang menyangkut kualitas hidup manusia, maupun dalam arti sempit, yang menunjuk pada beberapa jenis pemberian pelayanan kolektif tertentu guna melindungi kesejahteraan rakyat (Spieker, 1995).
f)
Kebijakan sosial adalah studi mengenai peranan negara dalam kaitannya dengan kesejahteraan warganya (Hill, 1996). Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena
melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap.
25
Universitas Sumatera Utara
Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita dalam mengkaji kebijakan publik. Proses pembuatan suatu kebijakan diawali dengan penyusunan agenda yang menempatkan berbagai masalah ke dalam sebuah agenda kebijakan yang selanjutnya akan dibahas oleh para pembuat kebijakan untuk menghasilkan alternatif pemecahan masalah yang akan dibahas pada tahap formulasi kebijakan. Setelah memperoleh alternatif terbaik, maka alternatif tersebut dirumuskan ke dalam bentuk kebijakan yang selanjutnya akan diimplementasikan oleh para pelaksana kebijakan. Kebijakan yang telah dilaksanakan tersebut selanjutnya akan dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Berdasarkan bebrapa literatur yang dibaca adapun tahaptahap kebijakan publik adalah :
26
Universitas Sumatera Utara
Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Pembuatan Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Evaluasi Kebijakan Implementasi kebijakan merupakan tahap yang paling penting dan krusial dari alur proses kebijakan di atas, sehingga harus mendapat perhatian lebih dari para pembuat maupun pelaksana suatu kebijakan. Tahap ini merupakan kunci keberhasilan proses pembuatan suatu kebijakan akan mencapai tujuannya atau tidak. Jika sebuah kebijakan sudah diformulasikan dan dibuat secara tepat kemungkinan kegagalan pun masih bisa terjadi jika proses implementasi tidak berjalan dengan tepat. Bahkan sebuah kebijakan yang sangat brilliant sekalipun jika diimplementasikan dengan buruk, maka kebijakan tersebut bisa gagal untuk mencapai tujuan para perancangnya.
27
Universitas Sumatera Utara
2.3
Perizinan Usaha Peraturan Daerah Kota Medan No. 10 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin
Usaha, yang dimaksud izin tempat usaha adalah suatu izin yang diterbitkan walikota atau pejabat yang ditunjuk dan diberikan kepada orang/ badan hukum untuk menggunakan suatu tempat tertentu guna melakukan kegiatan usaha yang bersangkutan menurut peraturan perundang-undangan diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu. Izin Usaha bertujuan : a.
Supaya pemerintah dapat memberikan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan dalam kegiatan usaha.
b.
Agar pemerintah dapat menjaga ketertiban dalam usaha baik ditinjau dari segi lokasi maupun hubungan dengan perkembangan perekonomian dan kelestarian lingkungan. Undang-undang No. 18 Tahun 2007 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah menyatakan bahwa retribusi digolongkan jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu. Retribusi perizinan tertentu adalah : 1.
Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintah yang diserahkan kepada daerah dalam rangka azas desentralisasi,
2.
Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum,
3.
Biaya yang menjadi beban dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negara dari perizinan tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan.
28
Universitas Sumatera Utara
Menurut Suparmoko (2002:85) Retribusi izin tertentu adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Pemerintah Indonesia lewat Departemen Perdagangan menerbitkan surat keputusan Menteri Perdagangan Nomor 1458/KP/XII/1984 tentang perizinan usaha. Izin-izin usaha yang dikeluarkan pemerintah sebenarnya sangat banyak. Diantaranya adalah Surat Izin Tempat Usaha (SITU), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Nomor Registrasi Perusahaan (NRP) atau Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Prosedur pengurusan SITU : 1.
Pemohon mengisi formulir SITU dilampiri izin tertulis tetangga disebelah kanan, kiri, depan, belakang yang berisi tidak keberatan dengan usahanya.
2.
Formulir pemohonan SITU dimintakan izin kelurahan dan kecamatan untuk disahkan.
3.
Formulir SITU diajukan ke kotamadya. Setahun sekali dilakukan registrasi ulang.
4.
Membayar izin berdasarkan Perda 17/PD/1976 nomor 35/PD/1977. Syarat-syarat dalam pembuatan SITU berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Perdagangan Nomor 1458/KP/XII/1984 tentang perizinan usaha : 1.
Syarat keamanan a.
Dalam perusahaan harus disediakan alat pemadam kebakaran.
b.
Perusahaan yang kegiatannya menyediakan bahan-bahan uang mudah terbakar, harus menyimpan barang-barang tersebut dengan aman.
29
Universitas Sumatera Utara
c.
Bangunan perusahaan harus terdiri atas bahan-bahan yang tidak mudah terbakar.
d. 2.
Harus mengikuti dan mentaati undang-undang keselamatan kerja
Syarat kesehatan a. Harus memelihara dan menjaga kebersihan dan kesehatan. b. Harus menyediakan tempat kotoran atau sampah yang tertutup. c. Harus mencegah kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan hidup. d. Harus menyediakan alat-alat Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3A).
3.
Syarat ketertiban a. Harus menjaga ketertiban. b. Dilarang menyiapkan barang-barang dipinggir jalan umum. c. Melebihi ketentuan jam kerja, dapat dilakukan dengan izin khusus.
4.
Syarat-syarat lain a. Perusahaan diwajibkan untuk mengutamakan tenaga kerja dan penduduk disekitarnya yang mempunyai KTP. b. Harus menjaga keindahan lingkungan dan menjaga penghijauan. Perusahaan yang melanggar syaratsyarat tersebut diatas, berakibat SITU-nya
akan
dicabut
dan
dikenakan
tindakan
ditutupnya
perusahaan.
30
Universitas Sumatera Utara
2.4.
Perilaku Menyimpang
2.4.1. Pengertian Perilaku Menyimpang Menurut Robert M. Z. Lawang perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang. Lemert berpendapat bahwa penyimpangan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder. Penyimpangan primer adalah suatu bentuk perilaku menyimpang yang bersifat sementara dan tidak dilakukan terus-menerus sehingga masih dapat ditolerir masyarakat seperti melanggar lalu lintas, buang sampah sembarangan dan lain-lain. Sedangkan penyimpangan sekunder yakni perilaku menyimpang yang tidak mendapat toleransi dari masyarakat dan umumnya dilakukan berulang kali seperti merampok, menjambret, memakai narkoba, menjadi pelacur, tawuran dan lain-lain (Sadli, 1983:35). Berdasarkan penjelasan diatas, secara umum perilaku menyimpang dapat diartikan sebagai tingkah laku yang melanggar atau bertentangan dengan aturan normatif dan pengertian normatif maupun dari harapan-harapan lingkungan sosial yang bersangkutan. Dalam penelitian ini telah dipilih bahwa konsep perilaku menyimpang adalah tingkah laku yang dinilai menyimpang dari aturan-aturan normatif dan kelakuan yang bertentangan dengan harapan lingkungan sosial yang bersangkutan. Konsep ini akan dibedakan dari gejala-gejala lain yang sering sekali diklasifikasikan sebagai perilaku menyimpang seperti kelainan dalam pribadi seseorang, tingkah laku yang statis abnormal, tingkah laku yang kurang diinginkan secara sosial dan peranan yang menyimpang. 31
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Perilaku Menyimpang sebagai Masalah Sosial Perilaku menyimpang dapat juga disebut sebagai salah satu penyakit masyarakat atau penyakit sosial. Penyakit sosial atau penyakit masyarakat adalah segala bentuk tingkah laku yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat-istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkahlaku umum. Disebut sebagai penyakit masyarakat karena gejala sosialnya yang terjadi di tengah masyarakat itu meletus menjadi “penyakit”. Dapat disebut pula sebagai struktur sosial yang terganggu fungsinya, disebabkan oleh faktorfaktor sosial. Penyakit sosial disebut pula sebagai disorganisasi sosial, karena gejalanya berkembang menjadi akses sosial yang mengganggu keutuhan dan kelancaran berfungsinya organisasi sosial. Selanjutnya dinamakan pula sebagai disentegrasi sosial, karena bagian satu struktur sosial tersebut berkembang tidak seimbang dengan bagian-bagian lain, sehingga prosesnya bisa menggangu, menghambat, atau bahkan merugikan bagian-bagian lain, karena tidak dapat diintegrasikan menjadi satu totalitas yang utuh. Semua
tingkah-laku
yang
sakit
secara
sosial
tadi
merupakan
penyimpangan sosial yang sukar diorganisir, sulit diatur dan ditertibkan sebab para pelakunya memakai cara pemecahan sendiri yang tidak umum, luar biasa atau abnormal sifatnya. Biasanya mereka mengikuti kemauan dan cara sendiri demi kepentingan pribadi. Karena itu deviasi tingkah-laku tersebut dapat mengganggu dan merugikan subyek pelaku sendiri dan/ atau masyarakat luas. Deviasi tingkah-laku ini juga merupakan gejala yang menyimpang dari tendensi sentral, atau menyimpang dari ciri-ciri umum rakyat kebanyakan (Kartono, 1998:4). 32
Universitas Sumatera Utara
2.4.3 Penyebab Prilaku Menyimpang Robeth K. Merton mengemukakan bahwa penyebab perilaku menyimpang dapat di lihat dari sudut struktur sosial dan budaya, dimana dinyatakan diantara segenap unsur-unsur sosial dan budaya terdapat dua unsur yang terpenting, yaitu kerangka aspirasi-aspirasi dan unsur-unsur yang mengatur kegiatan-kegiatan untuk mencpai aspirasi-aspirasi tersebut. Ada nilai sosial budaya yang merupakan rangkaian dari konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup di dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang baik dan apa yang buruk, serta norma-norma yang mengatur kegiatan manusia untuk mencapai cita-cita tersebut. Nilai sosial budaya tersebut berfungsi sebagai pedoman dan pendorong perilaku manusia di dalam hidupnya. Apabila terjadi ketidakseimbangan antar nilai-nilai sosial budaya dengan norma-norma atau apabila tidak ada keselarasan antara aspirasi-aspirasi dengan saluran-saluran yang tujuannya untuk mencapai cita-cita tersebut, maka terjadilah perilaku yang menyimpang atau deviant behavior (Soekanto, 1990:195). Memudarnya pegangan orang pada norma-norma menimbulkan suatu keadaan yang tidak stabil dan keadaan tanpa norma-norma. Emile Durkheim menamakannya
dengan
anomie
(Soekanto,
1990:196).
Kelakuan
yang
menyimpang tersebut akan terjadi apabila manusia mempunyai kecendrungan untuk lebih mementingkan suatu nilai sosial daripada norma-norma yang ada untuk mencapai cita-cita tersebut. Sehingga manusia akan berusaha untuk mencapai suatu cita-cita melalui jalan yang semudah-mudahnya tanpa ada suatu kesadaran akan tanggung jawab tertentu.
33
Universitas Sumatera Utara
Healy dan Broner mengemukakan bahwa perilaku yang menyimpang penyebabnya
bersifat
sosiogonis.
Misalnya
oleh
kekuatan
kultural
dan
disorganisasi sosial di kota-kota besar dimana terjadi perkembangan yang sangat pesat. Pertambahan penduduk yang sangat pesat menjadikan daerah perkotaan juga cepat berubah. Kondisi perkotaan yang memiliki ciri-ciri khas tertentu akan memunculkan perilaku yang menyimpang (Kartono, 1998:26), Jadi, sebab-sebab perilaku yang menyimpang tidak hanya terletak pada lingkungan famili, tetapi juga disebabkan oleh konteks kulturalnya. Dengan demikian, karier perilaku menyimpang
itu jelas dipupuk oleh lingkungan sekitar yang buruk. Cara
pembagian faktor penyebab prilaku menyimpang juga dikemukakan oleh Philip Graham dengan membagi ke dalam dua golongan yaitu : 1.
Faktor Lingkungan.
a.
Malnutrisi (kekurangan gizi).
b.
Kemiskinan di kota-kota besar.
c.
Gangguan Lingkungan.
d.
Migrasi (urbanisasi).
e.
Faktor sekolah.
f.
Keluarga broken home.
g.
Gangguan dalam pengasuh keluarga.
2.
Faktor Pribadi.
34
Universitas Sumatera Utara
a.
Faktor bakat yang mempengaruhi temperamen (menjadi pemarah, hiper aktif, dan lain-lain). Proses penyaluran bakat yang benar dapat mempengaruhi perkembangan perilaku seseorang. Proses penyaluran bakat tersebut tergantung dari faktor kesenangan pribadi yang bersangkutan. Seseorang senang piknik, berolahraga, mendengarkan musik, membaca, melihat film, dan lain sebagainya. Dalam hal ini ada baiknya orang tua memberikan bimbingan kepada mereka dalam pencapaian cita-cita atau memenuhi harapan. Bimbingan yang benar dan penyaluran bakat yang baik dapat menjadikan anak berprestasi, sebaliknya bimbingan yang tidak benar dan penyaluran bakat yang tidak tersalurkan dengan baik dapat mengakibatkan si anak frustasi dan tekanan batin. Hal-hal tersebut di atas yang mungkin mengakibatkan terjadinya perilaku menyimpang.
b.
Cacat tubuh.
c.
Ketidakmampuan menyesuaikan diri. Menurut teori biologis, perilaku menyimpang terjadi karena faktor-faktor
fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini dapat berlangsung dengan cara sebagai berikut : 1.
Melalui gen atau plasma pembawa sifat dalam keturunan, atau melalui kombinasi gen dan dapat juga disebabkan tidak adanya gen tertentu.
2.
Melalui pewaris tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa (abnormal).
3.
Melalui pewaris kelemahan konstitusional jasmaniah tertentu yang menimbulkan prilaku sosiopatik. Misalnya cacat jasmaniah berjari-jari pendek (brancycctylisme), sejenis penyakit gula (diabetes insipidius). 35
Universitas Sumatera Utara
Cacat bawaan ini berhubungan dengan erat dengan sifat-sifat kriminal dan penyakit mental (Kartono, 1998 : 25-26). Menurut Sigmund Freud, perilaku menyimpang terjadi karena benturan atau konflik antar id dan superego, sehingga terjadi situasi pribadi yang tidak seimbang dan harmonis. Benturan-benturan itu disebabkan dorongan-dorongan yang tidak terkendali dari id yang betentangan dengan larangan-larangan moral yang bersumber dari superego. Hal tersebut akan menimbulkan benturan batin dan menimbulkan rasa malu dan berdosa. Bila ego bersifat lemah terhadap benturan internal ini, maka akan menimbulkan perilaku yang patologis dan abnormal (Mulyono, 2005:40). Pembagian unsur kepribadian ini dapat dilihat sebagai berikut : 1.
Id adalah system kepribadian bawaan paling asli dari manusia. Pada saat dilahirkan, seseorang hanya memiliki id saja. Unsur kepribadian ini merupakan tempat bersemayamnya naluri-naluri yang sifatnya buta dan tidak terkendali. Ia hanya menuntut dan mendesak dipuaskannya nalurinaluri tersebut. Id dapat diumpamakan sebagai kawah gunung berapi yang terus-menerus mendidih dan bergolak. Ia tidak dapat mentoleransi ketegangan dan ketidaknyamanan itu secepat mungkin.
2.
Ego adalah unsur kepribadian yang timbul setelah ada kontak dengan dunia nyata yang realistis. Ia berfungsi untuk mengendalikan dan mengatur tindakan
yang
berlandaskan
kenyataan.
Ego
merupakan
tempat
bersemayamnya intelijensia atau pola pikir rasional yang mengendalikan dan mengawasi dorongan-dorongan keinginan buta dari id.
36
Universitas Sumatera Utara
3.
Superego adalah unsur moral atau hukum dari kepribadian manusia. Ia merupakan aspek moral yang menentukan benar dan salahnya suatu perbuatan. Superego digerakkan oleh asas kemampuan yang terdiri dari nilai-nilai tradisional dan norma-norma ideal dalam masyarakat. Ia berfungsi menghambat dorongan-dorongan pemuasan yang berasal dari id (Taniputra, 2005 : 44-46). Seseorang yang dominan superegonya bersifat moralitas, tetapi kurang
mampu
menanggapi
dorongan
seksual
dan
agresivitasnya,
sehingga
mengembangkan pola rasa bersalah dan penyesalan. Pada orang yang dominan idnya akan menjadi individualistis dan egosentris tanpa memikirkan nasib orang lain, serta mengembangkan perilaku yang asosial. Demikian pula orang realitasnya tidak pernah mendapat perhatian dan kasih sayang, selalu diperhatikan secara kejam, ditekan, dibenci, ditolak kehadirannya atau dimanjakan akan mengembangkan sikap kurang matang, mau menang sendiri, berkuasa sendiri, mudah tersinggung, menaruh curiga tanpa alasan dan sering menjurus kepada tindakan kriminal. Dapat disimpulkan bahwa, penyimpangan dan kejahatan terjadi karena pertentangan antara id, ego, dan superego. Pertentangan tersebut menimbulkan
kegoncangan
dan
hilangnya
keseimbangan
dalam
pribadi
seseorang.
2.5.
Kesejahteraan Sosial Kesejahteraan sosial menurut Friedlander (Sund, 2006:8) merupakan
sistem yang teroganisir dari pelayanan-pelayanan dan lembaga-lembaga sosial, yang dimaksudkan untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok 37
Universitas Sumatera Utara
agar mencapai tingkat hidup dan kesehatan yang memuaskan, dan hubunganhubungan personal dan sosial yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk memperkembangkan kesejahteraannya
seluruh sesuai
kemampuannya
dengan
untuk
kebutuhan-kebutuhan
meningkatkan keluarga
dan
masyarakatnya. Undang-undang No. 11 tahun 2009
tentang “Kesejahteraan Sosial”
menyebutkan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. KBBI menyebutkan bahwa sejahtera artinya aman, sentosa, makmur, selamat (terlepas dari segala macam gangguan dan kesusahan). Sedangkan kesejahteraan artinya keamanan, keselamatan, ketentraman, kesenangan hidup, dan kemakmuran. Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 tentang Pokok Kesejahteraan Sosial juga dirumuskan definisi Kesejahteraan Sosial yaitu: Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil maupun spirituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin, yang memungkinkan bagi setiap warganegara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmani, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila. Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, dapat dilihat bahwa pengertian kesejahteraan sosial sangatlah variatif tergantung dari latar belakang orang yang memberikan pengertian kesejahteraan sosial, sehingga pengertian kesejahteraan sosial diatas dapat dilihat dari beberapa sudut pandang yaitu: 38
Universitas Sumatera Utara
a.
Kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan (kondisi).
b.
Kesejahteraan sosial sebagai suatu kegiatan.
c.
Kesejahteraan sosial sebagai suatu gerakan Secara umum pengertian kesejahteraan sosial adalah suatu keadaan,
kegiatan dan gerakan yang bertujuan untuk meningkatkan standar dan taraf hidup, memecahkan masalah sosial, memperkuat struktur sosial masyarakat, memenuhi kebutuhan
dasar
dan
menjaga
ketentraman
masyarakat,
serta
untuk
memungkinkan setiap warganegara mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi dirinya, keluarga dan masyarakat. Tujuan kesejahteraan sosial adalah untuk memenuhi kebutuhan sosial, keuangan,
kesehatan,
dan
rekreasi
semua
individu
dalam
masyarakat.
Kesejahteraan sosial berupaya meningkatkan keberfungsian semua kelompok usia, tanpa memandang status sosial setiap individu. Hal ini juga dapat diukur dai ukuran-ukuran seerti tingkat kehidupan (levels of living), pemenuhan kebutuhan pokok (basic needs fulfillment), kualitas hidup (quality of life), dan pembangunan manusia (human development).
2.6.
Kerangka Pemikiran Era yang serba teknologi ini internet sudah tidak asing lagi bagi
masyarakat. Pada awalnya internet hanya digunakan pada kantor-kantor, kemudian memasuki lingkungan sekolah. Jumlah pengguna internet yang besar dan semakin berkembang telah mewujudkan budaya internet. Perkembangan internet juga mempengaruhi prilaku dan kebiasaan manusia. Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, baik orang-orang yang berpendidikan maupun yang tidak 39
Universitas Sumatera Utara
pernah menempuh jenjang pendidikan sudah mampu menggunakan internet, tanpa adanya larangan maupun filter untuk menggunakanndnya. Warung internet adalah
satu jenis wirausaha yang menyediakan jasa
internet kepada khalayak ramai. Warung internet ini dapat dipergunakan oleh siapapun, baik dari kalangan mahasiswa, pelajar, profesional maupun orang lain yang ingin mengakses dunia maya. Warnet didirikan sebagai penyedia jasa untuk melayani kebutuhan masyarakat di daerah tersebut dalam mengakses informasi. Bagi pelajar dan mahasiswa warung internet digunakan untuk mengerjakan tugas, melakukan riset, skripsi maupun untuk hiburan seperti game. Namun warung internet dapat disalah gunakan dan memberikan dampak negatif seperti tempat mesum pasangan, tempat pelajar cabut sekolah, mengakses pornografi, perjudian dan menjadi tempat gamers menghabiskan harinya untuk bermain game online. Menghadapi perilaku negatif yang ditimbulkan para pengguna internet maka pemerintah daerah mengeluarkan Peraturan Walikota Nomor 28 Tahun 2011 tentang Perizinan Usaha Warung Internet. Kurang lebih 4 tahun kebijakan ini ditetapkan namun masih banyak ditemui prilaku menyimpang para pengguna jasa Warung Internet. Hal ini tentunya patut untuk diteliti bagaimana pelaksanaan pelaksanaan peraturan tersebut. Kerangka berfikir ini diadopsi dari model van Meter dan van Horn. Dimana van Meter dan van Horn menawarkan suatu model dengan enam variabel yang membentuk kaitan (linkage) antara kebijakan dan kinerja (performance). Model ini seperti diungkapkan oleh van Meter dan van Horn, tidak hanya 40
Universitas Sumatera Utara
menentukan hubungan-hubungan antara variabel-variabel bebas dan variabel terikat mengenai kepentingan-kepentingan, tetapi juga menjelaskan hubunganhubungan antara variabel-variabel bebas. Bagan Alur Pikir
Implementasi Peraturan Walikota Medan No. 28 Tahun 2011 Tentang Periznan Usaha Warnet
Proses Implementasi Dinilai dengan Model Van Meter dan Van Horn
Proses Implementasi Kebijakan Berjalan dengan Baik
Proses Implementasi Kebijakan Tidak Berjalan dengan Baik
Mengetahui Kendala-Kendala dalam Proses Implementasi Kebijakan
41
Universitas Sumatera Utara
2.7.
Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional
2.7.1. Defenisi Konsep Konsep merupakan istilah khusus yang digunakan para ahli dalam upaya menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang dikaji, untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan objek penelitian. Dimana dalam hal ini peneliti berupaya menggiring para pembaca hasil penelitian itu untuk memaknai konsep itu sesuai dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh peneliti. Jadi defenisi konsep adalah pengertian yang terbatasdari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011:136-138). Memahami pengertian mengenai konsep yang akan digunakan, maka peneliti membatasi konsep dalam penelitian yaitu : Impelementasi Peraturan Walikota Medan No 28 Tahun 2011 Tentang Perizinan Usaha Warnet (Tinjauan Kebijakan Sosial untuk Mencegah dan Mengatasi Perilaku Menyimpang Pengguna Warnet) adalah pelaksanaan keputusan mengenai peraturan-peraturan yang mendasar, yang telah dipahami dan diperoleh berdasarkan keputusan bersama, untuk mencegah dan mengatasi perilaku menyimpang pengguna jasa warnet. 2.7.2.
Defenisi Operasional Defenisi konsep ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman
konsep-konsep, baik berupa obyek, peristiwa, maupun fenomena yang diteliti, maka perumusan defenisi operasional ditujukkan dalam upaya transformasi konsep kedunia nyata sehingga konsep-konsep penelitian dapat di observasi (Siagian, 2011:141). Adapun yang menjadi defensi operasional ataupun indikator dalam penelitian ini adalah : 42
Universitas Sumatera Utara
Implementasi Peraturan Walikota Medan No.28 Tahun 2011 Tentang Perizinan Usaha Warnet Indikator Standar dan sasaran kebijakan Sumber daya kebijakan
Sub Indikator Menilai tujuan-tujuan peraturan yang telah dicapai.
Menilai sumber-sumber yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik sumber daya manusia maupun sumber dana.
Komunikasi antar
Menilai komunikasi, kerjasama dan koordinasi
oraganisasi dan
kegiatan yang dilakukakan dengan perangkat-
penguatan aktivitas
perangkat pemerintah terkait (Dinas Kominfo,Satpol PP, Pengusaha Warnet, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu).
Karakteristik agen
Menilai struktur birokrasi, Standard Operating
pelaksana
Procedure (SOP), norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi.
Kondisi-kondisi
Menilai dukungan dari elit politik, opini
ekonomi, sosial dan
masyarakat, dan reaksi kelompok-kelompok
politik
kepentingan yang berhubungan dengan proses implementasi.
Disposisi Implementor
Menilai kognisi, respon, dan integritas pelaksana
(Kecenderungan
kebijakan.
Pelaksana)
43
Universitas Sumatera Utara