BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Infiltrasi Infiltrasi adalah proses masuknya air dari atas ( Surface ) kedalam tanah.
Didalam tanah air mengalir dalam arah lateral, sebagai aliran antara ( interflow ) menuju mata air danau dan sungai; atau secara vertikal, yang dikenal dengan perkolasi (percolation) menuju air tanah. Gerak air di dalam tanah melalui pori – pori tanah dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan gaya kapiler. Gaya gravitasi menyebabkan aliran selalu menuju ke tempat yang lebih rendah, sementara gaya kapiler menyebabkan air bergerak ke segala arah. Air kapiler selalu bergerak dari daerah basah menuju daerah yang lebih kering. Tanah kering mempunyai gaya kapiler lebih besar daripada tanah basah. Gaya tersebut berkurang dengan bertambahnya kelembaban tanah. Selain itu, gaya kapiler bekerja lebih kuat pada tanah butiran halus seperti lempung daripada tanah butiran kasar seperti pasir. Apabila tanah kering, air terinfiltrasi melalui permukaan tanah karena pengaruh gaya gravitasi dan gaya kapiler pada seluruh permukaan. Setelah tanah menjadi basah, gerak kapiler berkurang karena berkurangnya gaya kapiler. Hal ini menyebabkan penurunan laju infiltrasi. Sementara aliran kapiler pada lapisan permukaan berkurang, aliran karena pengaruh gravitasi berlanjut mengisi pori – pori tanah. Dengan terisinya pori – pori tanah, laju infiltrasi berkurang secara berangsur – angsur sampai dicapai kondisi konstan; di mana laju infiltrasi sama dengan laju perkolasi melalui tanah.
Dalam infiltrasi dikenal dua istilah yaitu kapasitas infiltrasi dan laju infiltrasi, yang dinyatakan dalam mm/jam. Kapasitas infiltrasi adalah laju infiltrasi maksimum untuk suatu jenis tanah tertentu; sedangkan laju infiltrasi ( ft ) adalah kecepatan infiltrasi yang nilainya tergantung pada kondisi tanah dan intensitas hujan. Gambar 2.1. menunjukkan kurva kapasitas infiltrasi (fp ), yang merupakan fungsi waktu. Apabila tanah dalam kondisi kering ketika infiltrasi terjadi, kapasitas infiltrasi tinggi karena kedua gaya kapiler dan gaya gravitasi bekerja bersama – sama menarik air kedalam tanah. Ketika tanah menjadi basah, gaya kapiler berkurang yang menyebabkan laju infiltrasi menurun. Akhirnya kapasitas infiltrasi mencapai suatu nilai konstan, yang dipengaruhi terutama oleh gravitasi dan laju perkolasi.
Gambar 2.1. Kurva Kapasitas infiltrasi ( fp )
( Sumber : Hidrologi Terapan, Bambang Triatmodjo, 2008 )
2.1.1
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Infiltrasi Laju infiltrasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kedalaman genangan dan
tebal lapisan jenuh, kelembaban tanah, pemadatan oleh hujan, tanaman penutup, intensitas hujan dan sifat – sifat fisik tanah.
2.1.2
Kedalaman Genangan Dan Tebal Lapisan Jenuh Seperti ditunjukan dalam gambar 2.2., air yang tergenang di atas permukaan
tanah terinfiltrasi ke dalam tanah, yang menyebabkan suatu lapisan dibawah permukaan tanah menjadi jenuh air. Apabila tebal dari lapisan jenuh air adalah L, dapat dianggap bahwa air mengalir kebawah melalui sejumlah tabung kecil. Aliran melalui lapisan tersebut serupa dengan aliran melalui pipa. Kedalaman genangan di atas permukaan tanah (D) memberikan tinggi tekanan pada ujung atas tabung, sehingga tinggi tekanan total yang menyebabkan aliran adalah D+L. Tahanan terhadap aliran yang diberikan tanah adalah sebanding dengan tebal lapis jenuh air L. Pada awal hujan, dimana L adalah kecil dibanding D, tinggi tekanan adalah besar dibanding tahanan terhadap aliran, sehingga air masuk ke dalam tanah dengan cepat. Sejalan dengan waktu, L bertambah panjang sampai melebihi D, sehingga tahanan terhadap aliran semakin besar. Pada kondisi tersebut kecepatan infiltrasi berkurang. Apabila L sangat lebih besar daripada D, perubahan L mempunyai pengaruh yang hampir sama dengan gaya tekanan dan hambatan, sehingga laju infiltrasi hampir konstan.
Gambar 2.2. Genangan Pada Permukaan Tanah ( Sumber : Hidrologi Terapan, Bambang Triatmodjo, 2008 )
2.1.3
Kelembaban Tanah Jumlah kadar air tanah mempengaruhi kapasitas infiltrasi. Ketika air jatuh pada
tanah kering, permukaan atas dari tanah tersebut menjadi basah, sedangkan bagian
bawahnya relatif masih kering. Dengan demikian terdapat perbedaan yang besar dari gaya kapiler antara permukaan atas tanah dan yang ada dibawahnya. Karena adanya perbedaan tersebut, maka terjadi gaya kapiler yang bekerja bersama – sama dengan gaya berat, sehingga air bergerak ke bawah (infiltrasi) dengan cepat. Dengan bertambahnya waktu, permukaan bawah tanah menjadi basah, sehingga perbedaan gaya kapiler berkurang, sehingga infiltrasi berkurang. Selain itu, ketika tanah menjadi basah koloid yang terdapat dalam tanah akan mengembang dan menutupi pori – pori tanah, sehingga mengurangi kapasitas infiltrasi pada periode awal hujan.
2.1.4
Pemampatan Oleh Hujan Ketika hujan jatuh di atas tanah, butir tanah mengalami pemadatan oleh butiran
air hujan. Pemadatan tersebut mengurangi pori – pori tanah yang berbutir halus (seperti lempung), sehingga dapat mengurangi kapasitas infiltrasi. Untuk tanah pasir, pengaruh tersebut sangat kecil.
2.1.5
Penyumbatan Oleh Butir Halus Ketika tanah sangat kering, permukaannya sering terdapat butiran halus. Ketika
hujan turun dan infiltrasi terjadi, butiran halus tersebut terbawa masuk ke dalam tanah, dan mengisi pori – pori tanah, sehingga mengurangi kapasitas infiltrasi.
2.1.6
Tanaman Penutup Banyaknya tanaman yang menutupi permukaan tanah, seperti rumput atau hutan,
dapat menaikan kapasitas infiltrasi tanah tersebut. Dengan adanya tanaman penutup, air hujan tidak dapat memampatkan tanah, dan juga akan terbentuk lapisan humus yang
dapat menjadi tempat hidup serangga. Apabila terjadi hujan lapisan humus mengembang dan lubang – lubang ( sarang ) yang dibuat serangga akan menjadi sangat permeabel. Kapasitas infiltrasinya bisa jauh menjadi lebih besar dari pada tanah yang tanpa penutup tanaman.
2.1.7
Topografi Kondisi topografi juga mempengaruhi infiltrasi. Pada lahan dengan kemiringan
besar, aliran permukaan mempunyai kecepatan besar sehingga air kekurangan waktu untuk infiltrasi. Akibatnya sebagian besar air hujan menjadi aliran permukaan. Sebaliknya, pada lahan yang datar air menggenang sehingga mempunyai waktu cukup banyak untuk infiltrasi.
2.1.8
Intensitas Hujan Intensitas hujan juga berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi, jika intensitas
curah hujan I lebih kecil dari kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi aktual adalah sama dengan intensitas hujan. Apabila intensitas hujan lebih besar dari kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi aktual sama dengan kapasitas infiltrasi.
2.1.9
Pengukuran Infiltrasi Metode yang biasa digunakan untuk menentukan kapasitas infiltrasi adalah
pengukuran dengan infiltrometer dan analisis hidrograf. Infiltrometer dibedakan menjadi infiltrometer genangan dan simulator hujan ( rainfall simulators ).
2.1.10 Infiltrometer Genangan Infiltrometer genangan yang banyak digunakan adalah dua silinder kosentris atau tabung yang dimasukkan kedalam tanah. Untuk tipe pertama, dua silinder kosentris yang terbuat dari logam dengan diameter antara 22,5 dan 90 cm ditempatkan dengan sisi bawahnya berada beberapa sentimeter di bawah tanah seperti terlihat dalam gambar 2.3. Ke dalam kedua ruangan diisikan air yang selalu dijaga pada elevasi sama. Fungsi dari silinder luar adalah untuk mencegah air di dalam ruang sebelah dalam menyebar pada daerah yang lebih besar setelah merembes di bawah dasar silinder. Kapasitas infiltrasi dan perubahannya dapat ditentukan dari kecepatan penambahan air pada silinder dalam yang diperlukan untuk mempertahankan elevasi konstan. Infiltrometer tipe kedua terdiri dari tabung dengan diameter sekitar 22,5 cm dan panjang 45 sampai 60 cm yang dimasukkan kedalam tanah sampai kedalaman minimum sama dengan kedalaman dimana air meresap selama percobaan ( sekitar 37,5 sampai 52,5 cm ), sehingga tidak terjadi penyebaran. Laju air yang harus ditambahkan untuk menjaga kedalaman yang konstan di dalam tabung dicatat. Infiltrometer genangan ini tidak memberikan kondisi infiltrasi yang sebenarnya terjadi di lapangan, karena pengaruh pukulan butir – butir hujan tidak diperhitungkan dan struktur tanah di sekeliling dinding silinder telah terganggu pada waktu pemasukannya kedalam tanah. Tetapi meskipun mempunyai kelemahan, alat ini mudah dipindah dan dapat digunakan untuk mengetahui kapasitas infiltrasi di titik yang dikehendaki sesuai dengan tata guna lahan, jenis tanaman dan sebagainya.
Gambaar 2.3. Infiltrrometer Gennangan ( Sumber S : Hidroologi Terapan, Bambang Triaatmodjo, 2008 )
ujan 2.1.11 Siimulator Hu U Untuk mengu urangi kelem mahan dari penggunaan p alat diatas, dibuat hujaan tiruan dengan inntensitas meerata yang lebih l tinggi dari kapasittas infiltrasii. Luas bidaang yang disiram antara a 0,1 sampai 40 m2. Besar infiltrasi dihittung dengann mencatat besarnya b hujan dann limpasan. G Gambar 2.4. adalah a sket simulator huujan. Hujan tiruan dengaan intensitass hujan I jatuh padda bidang yaang akan diccari kapasitaas infiltrasinnya. Intensitaas hujan lebbih besar dari kapaasitas infiltraasi f sehinggga terjadi gennangan diataas permukaaan tanah. Paada suatu saat genangan air akan a meluaap dan luappan air ditaampung dalaam ember. Dengan v tamppungan dalaam ember dan tinggi geenangan, mengetahhui intensitaas hujan I, volume maka akaan dapat dihiitung kapasittas infiltrasi f.
Gambar 2.4. Simulator hujan ( Sumber : Hidrologi Terapan, Bambang Triatmodjo, 2008 )
2.1.12 Kapasitas Infiltrasi Laju infiltrasi f, dinyatakan dalam in/jam atau cm/jam, adalah kecepatan air masuk kedalam tanah dari permukaan tanah. Jika air menggenang pada permukaan tanah, maka kapasitas infiltrasi telah mencapai batas kemampuan. Jika laju distribusi air pada permukaan, sebagai contoh hujan, lebih kecil dari pada kemampuan laju infiltrasi maka laju infiltrasi sebenarnya akan juga lebih kecil dari pada laju potensial. kumulatif infiltrasi F adalah akumulasi dari kedalaman air yang masuk kedalam tanah selama jangka waktu tertentu dan itu sama dengan integral dari laju infiltrasi pada periode tersebut : ( 2.1 ) Dimana τ adalah variabel buatan dari fungsi waktu dalam integral. Sebaliknya, laju infiltrasi adalah turunan terhadap waktu dari infiltrasi kumulatif : ( 2.2 ) Metode perhitungan kapasitas infiltrasi dapat dilakukan dengan metode Horton, metode Philip, dan Metode Green – Ampt.
2.1.13 Metode Horton Salah satu persamaan infiltrasi paling awal yang dikembangkan oleh Horton (1933, 1939 ), yang mengamati bahwa infiltrasi berawal dari suatu nilai baku fo dan secara eksponen menurun sampai pada kondisi konstan fc : f(t) = fc + (fo – fc)e-kt
( 2.3 )
dimana k adalah pengurangan konstan terhadap dimensi [T
-1
]. fo adalah kapasitas
infiltrasi awal sedangkan fc adalah kapasitas infiltrasi konstan yang tergantung pada tipe tanah. Parameter fo dan fc adalah didapat dari pengukuran dilapangan dengan menggunakan alat double ring infiltrometer. Parameter fo dan fc nilainya dipengaruhi oleh fungsi jenis tanah dan tutupan. Untuk tanah berpasir atau berkerikil nilai tersebut tinggi, sedang tanah berlempung yang gundul nilainya kecil, dan apabila permukaan tanah ada rumput nilainya bertambah. Untuk menghitung laju infiltrasi dengan menggunakan metode horton maka perlu diketahui nilai k. Karena nilai k tidak diketahui maka persamaan tersebut kemudian ditrasnposisikan sebagai berikut : f(t) - fc = (fo – fc)e-kt setelah ditrasnposisikan maka persamaan tersebut di log kan menjadi : log (f(t) - fc ) =log (fo – fc) – kt log e
( 2.4 )
atau –
( 2.5 )
Persamaan diatas sama dengan persamaan garis lurus dengan kemiringan m berikut ini y = mx + c dengan : m =
( 2.6 )
y =t x = –
c =
Dengan demikian persamaan ini dapat diwakilkan dalam sebuah garis lurus yang mempunyai nilai
. Bentuk dari garis lurus persamaan tersebut di perlihatkan
dalam gambar 2.5 di bawah ini dengan m merupakan garis miring maka m dapat dihitung dengan persamaan berikut ini. ( 2.7 ) Dengan y2 dan y1 nilai dari log ( fo – fc ) dari fungsi waktu x2 dan x1. Dari nilai m kemudian dihitung nilai k maka dapat diketahui laju infiltrasi menurut Horton.
Gambar 2.5. Grafik Hubungan t terhadap log (fo – fc) ( Sumber : Hidrologi Terapan, Bambang Triatmodjo, 2008 )
Jumlah total air yang terinfiltrasi pada suatu periode tergantung pada laju infiltrasi dan fungsi waktu. Apabila laju infiltrasi pada suatu saat adalah f(t), maka laju infiltrasi kumulatif atau jumlah air yang terinfiltrasi adalah F(t). laju infiltrasi dan jumlah air yang terinfiltrasi adalah : ( 2.8 ) dan
( 2.9) Persamaan 2.9 menunjukan bahwa jumlah air yang terinfiltarasi F(t) merupakan integral dari laju infiltrasi maka persamaan 2.9 menjadi :
1
( 2.10 )
2.1.14 Metode Philip Philip (1957, 1969) memberikan solusi pada persamaan Richard pada kondisi yang bersifat membatasi dengan mengasumsikan tersebut K dan D dapat diketahui dengan kadar kelembaban θ. Philip menggunakan Boltzmann transformasi B(θ ) = zt-1/2untuk konversi (2.3) ke dalam satu persamaan diferensial biasa di B, dan penyelesaian persamaan ini untuk menghasilkan satu rangkaian tanpa batas untuk kumulatif infiltrasi F(t), dengan pendekatan sebagai berikut : F(t) = St1/2+Kt
( 2.11 )
Dimana S adalah parameter yang disebut sorptivity, merupakan fungsi dari kemampuan resapan tanah, dan K adalah konduksi daya hidrolik. Dengan turunan f(t)= St—1/2 + K
( 2.12 )
sebagai t Æ∞, f(t) sama dengan K. Dua kondisi pada persamaan Philip mewakili akibat dari gaya kapiler tanah dan gaya gravitasi, berturut – turut. Untuk arah mendatar tanah, gaya kapiler tanah hanya gaya yang membawa air kedalam lubang – lubang kecil, dan persamaan Philip mengurangi sampai pada F(t) = St1/2.
2.1.15 Metode Green – AMPT Dalam sub bab sebelumnya, persamaan infiltrasi yang dikembangkan dari solusi pendekatan persamaan Richard. Pendekatan alternatif untuk lebih mengembangkan pendekatan teori fisika itu hanya solusi analisa exact. Green dan Ampt bertujuan mempermudah gambar infiltrasi yang ditunjukan pada gambar 2.6. permukaan basah adalah batas yang memisahkan tanah dari kadar kelembaban θi bawah dari tanah jenuh dengan kadar kelembaban η diatas. Permukaan yang basah mendesak masuk ke kekedalaman L dalam waktu t sejak infiltrasi berawal. Genangan air dengan kedalaman kecil ho diatas permukaan tanah.
Gambar 2.6. Variable Dari Model Infiltrasi Green-Ampt ( Sumber : Hidrologi, BR Sri Harto, 2000 )
Memodelkan lubang tanah arah vertikal dari unit horizontal yang bersinggungan dengan area bersekat ( gambar 2.7 ) dan biarkan satu volume kedali jadi terdefinisi sekitar tanah basah di antara permukaan dan kedalaman L. Jika tanah memiliki kadar kelembaban θi sepanjang masuk kedalaman tanah, kadar kelembaban akan meningkat dari θi ke η (porositas) dengan melewati permukaan basah. Kadar kelembaban θ adalah rasio dari volume air sampai volume total dengan pengendali permukaan, karena itu kenaikan dalam simpanan air dengan pengendali isi sebagai hasil dari infiltrasi adalah L(η - θi ).
Definisi quantitas ini sama dengan F, kedalaman kumulatif dari air yang teresap kedalam tanah. Hence F(t) = L(η - θi )
( 2.13 )
= LΔθ Dimana Δθ = (η - θi ) Hukum Darcy menunjukkan q = -K
( 2.14 )
Gambar 2.7. Infiltrasi Dalam Kolom Tanah Dari Unit Area Trasnsisi Dari Model GreenAmpt ( Sumber : Hidrologi, BR Sri Harto, 2000 )
dalam kasus ini aliran Darcy q adalah tetap sepanjang kedalaman dan persamaan dari f, karena q adalah positif meningkat sedangkan f adalah positif menurun. Jika nilai 1 dan 2 berada berturut – turut di permukaan tanah dan hanya pada sisi kering dari permukaan basah, dapat melalui pendekatan berikut ( 2.15 )
h1 pada permukaan sama dengan dalam genangan ho. Nilai h2 dalam tanah kering dibawah permukaan basah sama dengan –ψ – L. Hukum Darcy pada sistem ini dituliskan sebagai berikut –
–
–
( 2.16 )
Jika dalam genangan ho, adalah sama dengan perbandingan ψ dan L. Asumsi ini biasanya mendekati masalah hidrologi air permukaan karena itu asumsi genangan menjadi limpasan permukaan. Setelah itu, akan ditunjukkan bagaimana menghitug ho jika tidak disamakan. Dari persamaan 2.13. permukaan basah memiliki kedalaman L = F/Δθ, dan asumsi ho = 0, disubtitusikan kedalam persamaan 2.16 menjadi –
( 2.17 )
dari f = dF/dt, persamaan 2.17 dapat dinyatakan dalam persamaan diferensial dengan F tidak diketahui –
Untuk memberikan solusi F,digunakan pembagian jamak untuk memperoleh –
Kemudian dibagi menjadi 2 bagian – –
–
Dan diintegral 1
–
untuk memperoleh ψΔθ
ψΔθ
ψΔθ
atau ψΔθ ln 1
( 2.18 )
Dari tabel 4.1. dibawah ini dapat dilihat perbandingan parameter yang digunakan pada masing – masing metode dalam menghitung laju infiltrasi pada tanah. Tabel 2.1. Perbandingan Persamaan Laju Infiltrasi Dari Ketiga Metode Keterangan Horton Philip Green - Ampt -kt —1/2 Laju Infiltrasi f(t) = fc + (fo – fc)e f(t)= St +K ψΔθ ln 1
ψΔθ
ψΔθ – Kekurangan
Keunggulan
Tidak cukup akurat
Laju infiltrasi yang didapat tidak sesuai dengan kondisi dilapangan Parameter yang Mudah dalam diperoleh dari lokasi penerapannya
Membutuhkan banyak uji lab untuk mendapatkan setiap parameternya. Hasil yang didapat akurat
penelitian Dari tabel tersebut diketahui parameter dari setiap persamaan ketiga metode tersebut. Beberapa parameter tersebut diperoleh dari hasil pengamatan pada daerah penelitian dan di laboratorium. Persamaan laju infiltrasi pada metode Green – Ampt memiliki parameter terbanyak yang didapat dari hasil pengamatan di laboratorium tanah. Sama dengan metode Green – Ampt pada metode Philip kedua parameter yaitu S dan K didapat dari hasil pengamatan laboratorium juga. Kedua persamaan tersebut banyak menggunakan parameter yang diperoleh dari hasil laboratorium karena itu kedua metode tersebut, yaitu Green – Ampt dan Philip tidak sesuai dengan kebutuhan penelitian ini,
yang banyak menggunakan data dari pengamatan daerah penelitian, selain itu pengaplikasian persamaan pada kedua metode tersebut tergolong cukup rumit.
2.1.16 Hubungan Laju Infiltrasi dengan Permeabilitas Tanah Permeabilitas tanah merupakan sifat bahan berpori yang memungkinkan aliran rembesan yang berupa air mengalir melewati rongga pori yang menyebabkan tanah bersifat permeable. Koefisien permeabilitas ( k ) memiliki satuan sama dengan laju infiltrasi tanah ( cm/jam ). Koefisien permeabilitas tanah tergantung pada beberapa faktor yaitu : kekentalan cairan, distribusi ukuran pori, distribusi ukuran butiran, angka pori, kekerasan permukaan butiran tanah, dan derajat kejenuhan tanah. Karena nilai koefisien permeabilitas tanah sama dengan laju infiltrasi tanah maka semakin permeabel sifat tanah maka akan semakin besar laju infiltrasi pada tanah. Berikut ini adalah koefisien permeabilitas pada umumnya. Tabel 2.2. Harga Koefisien Resapan Pada Umumnya k No Jenis Tanah ( cm/s ) 1 Kerikil bersih 1 – 102 2 Pasir kasar 10-2 – 1 3 Lanau 10-3 – 10-2 4 Lanau Lempung 10-3 – 10-5 5 Lempung < 10-6 Sumber : Prinsip – Prinsip Rekayasa Geoteknis, Braja. M. Das, 1998
Nilai dari koefisien dari permeabilitas sangat berpengaruh pada penelitian ini karena nilai tersebut dijadikan pembanding dengan laju infiltrasi yang dihitung dengan metode Horton, jika nilai koefisien permeabilitas tersebut mendekati laju infiltrasi dengan menggunakan metode Horton maka penggunaan metode Horton pada penelitian ini dapat digunakan.
2.2
Proses Limpasan ( run off ) Daya infiltrasi menentukan besarnya air hujan yang dapat diserap kedalam tanah.
Sekali air hujan tersebut masuk kedalam tanah maka tidak dapat diuapkan kembali dan tetap akan berada dibawah permukaan tanah yang akan mengalir sebagai air tanah. Aliran air tanah sangat lambat, makin besar daya infiltasi mengakibatkan limpasan permukaan makin kecil sehingga debit puncaknya akan lebih kecil (Soemarto, 1995). Faktor – faktor yang mempengaruhi limpasan secara umum dapat dikelompokan menjadi 2 kelompok, yaitu faktor meteorologi dan karakteristik daerah tangkapan saluran atau daerah aliran sungai (DAS). Faktor meteorologi yang berpengaruh pada limpasan terutama adalah karakteristik hujan, yang meliputi intensitas hujan, durasi hujan, dan distribusi curah hujan. Sedangkan karakteristik DAS yang berpengaruh besar pada aliran permukaan meliputi luas dan bentuk DAS, topografi, dan tata guna lahan. Pemakaian metode rasional untuk menghitung debit puncak yang ditimbulkan paling sering digunakan dalam perencanaan drainasi perkotaan. Beberapa parameter hidrologi yang diperhitungkan adalah intensitas hujan, durasi hujan, frekuensi hujan, luas DAS, kehilangan air dan kosentrasi aliran. Metode rasional didasarkan pada persamaan berikut : Q = 0,278 CIA
( 2.19 )
dengan : Q
: debit puncak
I
: intensitas hujan
A
: luas daerah tangkapan
C
: koefisien aliran yang tergantung pada jenis permukaan lahan, yang nilainya diberikan dalam tabel 2.1 koefisien aliran
Tabel 2.3. Koefisien Run Off
Sumber : Hidrologi, BR Sri Harto, 2000
2.3
Penentuan Hujan Kawasan Stasiun penakar hujan hanya memberikan kedalaman hujan di titik di mana
stasiun tersebut berada; sehingga hujan pada suatu luasan harus diperkirakan dari titik pengukuran tersebut. Apabila pada suatu daerah terdapat lebih dari satu stasiun pengukuran yang ditempatkan secara terpencar, hujan yang tercatat dimasing – masing stasiun dapat tidak sama. Dalam analisis hidrologi sering diperlukan untuk menentukan hujan rerata pada daerah tersebut, yang dapat dilakukan dengan tiga metode berikut yaitu metode rerata aritmatik, metode poligon Thissen, dan metode Isohiet.
2.3.1
Metode Rerata Arimatik ( Aljabar ) Metode ini adalah yang paling sederhana untuk menghitung hujan rerata pada
suatu daerah. Pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun. Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya yang berada didalam DAS; tetapi stasiun di luar DAS yang masih berdekatan juga bisa diperhitungkan. Metode rerata aljabar memberikan hasil yang baik apabila : a. Stasiun hujan tersebar merata di DAS b. Distribusi hujan relatif merata pada seluruh DAS Hujan rerata pada seluruh DAS diberikan dalam bentuk berikut : ……
( 2.20 )
Dengan : = hujan rerata kawasan P1, P2,…Pn = hujan distasiun 1,2,…..,n n
2.3.2
= jumlah stasiun
Metode Thiessen Metode ini memperhitungkan bobot dari masing – masing stasiun yang mewakili
luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata. Hitung curah hujan rerata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari setiap stasiun. Pembentukan poligon Thiessen adalah sebagai berikut ini.
a.
Stasiun pencatat hujan digambarkan pada peta DAS yang ditinjau termasuk stasiun hujan di luar DAS yang berdekatan, seperti ditunjukan dalam gambar 2.8.
b.
Stasiun – stasiun tersebut dihubungkan dengan garis lurus ( garis terputus ) sehingga membentuk segitiga – segitiga, yang sebaiknya mempunyai sisi dengan panjang yang kira – kira sama.
c.
Dibuat garis berat pada sisi – sisi segitiga seperti yang ditunjukan dengan garis penuh pada gambar 2.8.
d.
Garis – garis berat tersebut membentuk poligon yang mengelilingi tiap stasiun. Tiap stasiun mewakili luasan yang dibentuk oleh poligon. Untuk stasiun yang berada di dekat batas DAS, garis batas DAS membentuk batas tertutup dari poligon.
e.
Luas tiap poligon diukur dan kemudian dikalikan dengan kedalaman hujan di stasiun yang berada di dalam poligon.
f.
Jumlah dari hitungan pada butir e untuk semua stasiun dibagi dengan luas daerah yang ditinjau menghasilkan hujan rerata daerah tersebut, yang dalam bentuk matematik mempunyai bentuk berikut ini …… ……
Dengan : = hujan rerata kawasan P1, P2,…Pn
= hujan distasiun 1,2,…..,n
A1, A2,…An
= luas daerah yang mewakili stasiun 1,2,…..,n
( 2.21 )
Gambar 2.8. Poligon Thiessen ( Sumber : Hidrologi Terapan, Bambang Triatmodjo, 2008 )
2.3.3
Metode Isohiet Isohiet adalah garis yang menghubungkan titik – titik dengan kedalaman hujan
yang sama. Pada metode isohiet, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah di antara dua garis isohiet adalah merata dan sama dengan nilai rerata dari kedua garis isohiet tersebut. Pembuatan garis isohiet dilakukan dengan prosedur berikut ini ( gambar 2.9 ). a. Lokasi stasiun hujan dan kedalaman hujan digambarkan pada peta daerah yang ditinjau. b. Dari nilai kedalaman hujan di stasiun yang berdampingan dibuat interpolasi dengan pertambahan nilai yang ditetapkan. c. Dibuat kurva yang menghubungkan titik – titik interpolasi yang mempunyai kedalam hujan yang sama. Ketelitian tergantung pada pembuatan garis isohiet dan intervalnya. d. Diukur luas daerah antara dua isohiet yang berurutan dan kemudian dikalikan dengan nilai rerata dari nilai kedua garis isohiet.
e. Jumlah dari hitungan pada butir d untuk seluruh garis isohiet dibagi dengan luas daerah yang ditinjau menghasilkan kedalam hujan rerata daerah tersebut. Secara matematis hujan rerata tersebut dapat ditulis : ∑
( 2.22 )
∑
Dengan : = hujan rerata kawasan In = garis isohiet ke n, n+1 An = luas daerah yang dibatasi oleh gari isohiet ke n dan n+1
Gambar 2.9. Metode Isohiet ( Sumber : Hidrologi Terapan, Bambang Triatmodjo, 2008 )
2.4
Analisis Frekuensi Curah Hujan Sistem hidrologi kadang – kadang di pengaruhi oleh peristiwa – peristiwa yang
luar biasa, seperti hujan lebat, banjir dan kekeringan. Besaran peristiwa ekstrim berbanding terbalik dengan frekuensi kejadiannya, peristiwa yang luar biasa ekstrim kejadiannya sangat langka. Tujuan analisis frekuensi adalah berkaitan dengan besaran peristiwa – peristiwa ekstrim yang berkaitan dengan frekuensi kejadiannya melalui penerapan distribusi kemungkinan. Frekuensi hujan adalah jumlah kemungkinan suatu besaran hujan disampai atau dilampaui. Sebaliknya kala ulang adalah waktu hipotetik dimana hujan dengan suatu besaran tertentu akan disampai atau dilampaui. Analisis frekuensi memerlukan seri data hujan yang diperoleh dari pos penakar hujan, baik yang manual maupun yang otomatis. Analisis frekuensi ini di dasarkan pada sifat statistik data kejadian yang telah lalu untuk memperoleh probabilitas besaran hujan dimasa yang akan datang. Dengan anggapan sifat statistik kejadian hujan yang akan datang masih sama dengan sifat statistik kejadian hujan masa lalu. Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi dan empat jenis distribusi yang banyak digunakan dalam bidang hidrologi adalah : a.
Distribusi Normal
b.
Distribusi Log Normal
c.
Distribusi Log Pearson Type III
d.
Distribusi Gumbel Dalam statistik dikenal beberapa parameter yang berkaitan dengan analisis data
yang meliputi rata – rata, simpangan baku, koefisien variasi dan koefisien skewness (kecondongan atau kemencengan).
Dalam analisa data hidrologi diperlukan ukuran – ukuran numerik yang menjadi ciri data tersebut. Sembarang nilai yang menjelaskan ciri susunan data disebut parameter. Parameter yang digunakan dalam analisis susunan data dari suatu variabel disebut dengan parameter statistik, seperti nilai rerata, deviasi, dsb. Pengukuran parameter yang sering digunakan dalam analisis data hidrologi meliputi pengukuran tendensi sentral dan dispersi.
2.4.1
Tendensi Sentral Nilai rerata merupakan nilai yang cukup reprensentatif dalam suatu distribusi.
Nilai rerata dapat digunkan untuk pengukuran suatu distribusi; dan mempunyai bentuk berikut ini. ∑
( 2.23 )
dengan : : rerata x : variabel random n : jumlah data
2.4.2
Dispersi Tidak semua variat dari variabel hidrologi sama dengan nilai reratanya, tetapi
ada yang lebih besar atau lebih kecil. Besarnya derajad sebaran variant disekitar nilai reratanya disebut varian atau dispersi ( penyebaran ) penyebaran dapat diukur dengan deviasi standar dan varian.
Varian dapat dihitung dengan menggunkan persamaan berikut dimana s2 adalah varian. Akar dari varian, s, adalah deviasi standar : ∑
( 2.24 )
Koefisien varian ( Cv ) adalah nilai perbandingan antara deviasi standar dan nilai rerata ( 2.25 ) Deviasi standar dan koefisien varian dapat digunakan untuk mengetahui variabilitas daari distribusi. Semakin besar deviasi standar dan koefisien varian, semakin besar penyebaran dari distribusi. Kemencengan Cs dapat digunakan untuk mengetahui derajat ketidak simetrisan dari suatu bentuk distribusi. Kemencengan diberikan oleh bentuk berikut : ∑
( 2.26 )
Koefisien kurtosis Ck diberikan oleh persamaan berikut : ∑
2.4.3
( 2.27 )
Distribusi Normal Distribusi normal adalah simetris terhadap sumbu vertikal dan berbentuk lonceng
yang juga disebut distribusi Gauss. Distribusi nomal punya 2 parameter yaitu rerata µ dan deviasi standar σ dari populasi. Dalam praktek, nilai rerata
dan standar deviasi s
diturunkan dari data sampel untuk menggantikan µ dan σ. Fungsi distribusi normal mempunyai bentuk : / √
( 2.28 )
dengan X adalah variable random dan p(X) adalah fungsi probabilitas kontinyu. Apabila variable X ditulis dalam bentuk berikut ( 2.29 ) Maka persamaan ( 2.28 ) menjadi : /
( 2.30 )
√
Dengan z adalah satuan standar, yang terdistribusi normal dengan rerata nol dan deviasi standar satu. Persamaan ( 2.29 ) dapat ditulis dalam bentuk : X=µ+zσ Dimana z adalah faktor frekuensi dari distribusi normal. Pada umumnya faktor frekuensi dari distribusi statistik diberi notasi K. Fungsi densitas kumulatif (CDF) dapat diturunkan dengan integrasi dari fungsi densitas probabilitas ( persamaan 2.30), yang menghasilkan: / √
( 2.31 )
dengan F(z) adalah probabilitas kumulatif. Distribusi normal adalah simetris terhadap sumbu vertikal. Dalam pemakaian praktis, biasanya hitungan dilakukan dengan tidak menggunakan persamaan – persamaan tersebut, tetapi telah dibuat tabel seperti diberikan dalam tabel 2.2 tabel distribusi normal. Sri Harto ( 1993 ) memberikan sifat – sifat distribusi normal, yaitu nilai koefisien kemencengan sama dengan nol ( Cs ≈ 0 ) dan nilai koefisien kurtosis Ck ≈ 3. Selain itu terdapat sifat – sifat distribusi frekuensi kumulatif berikut ini. P(
- s ) = 15,87%
P(
) = 50%
P(
+ s ) = 84,14%
Kemungkinan variat berada pada daerah ( berada antara (
- 2s ) dan (
- s ) dan (
+ s ) adalah 68,27% dan yang
+ 2s ) adalah 95,44%.
Tabel 2.4. Probabilitas Kumulatif Distribusi Normal Standar
Sumber : Hidrologi Terapan, Bambang Triatmodjo, 2000
2.4.4
Distribusi Log Normal
distribusi log normal digunakan apabila nilai – nilai dari variable random tidak mengikuti distribusi normal, tetapi nilai logaritmanya memenuhi distribusi normal.
Dalam hal ini fungsi densitas probabilitas ( PDF ) diperoleh dengan melakukan trasnformasi, yang dalam hal ini digunakan persamaan trasnformasi berikut : y = ln x atau y = log x parameter dari distribusi log normal adalah rerata dan standar deviasi dari y yaitu µy dan σy. Dengan menggunakan transformasi tersebut maka / √
fungsi densitas kumulatif ( CDF ) dapat diturunkan dengan integrasi dari fungsi densitas probabilitas, yang menghasilkan : /
( 2.32 )
dengan F(z) adalah probabilitas kumulatif. Hitungan distribusi log normal dilakukan dengan menggunakan tabel yang sama dengan distribusi normal yaitu tabel 2.2. tabel distribusi normal. Sri Harto ( 1993 ) memberikan sifat – sifat distribusi log normal, berikut : Nilai kemencengan : Cs = Cv3 + 3Cv Nilai Kortosis : Ck = Cv8 + 6Cv6 + 15Cv4 + 16Cv2 + 3
2.4.5 Distribusi Gumbel Distribusi Gumbel banyak digunakan untuk analisis data maksimum, seperti untuk analisis frekuensi banjir. Fungsi densitas kumulatif mempunyai bentuk : ( 2.33 ) dimana :
( 2.34 ) √
u=
- 0,5772α
( 2.35 ) ( 2.36 )
dengan : y : faktor reduksi Gumbel u : modulus dari distribusi ( titik dari densitas probabilitas maksimum ) s : Deviasi Standar distribusi Gumbel mempunyai sifat bahwa koefisien skewness Cv = 1,1396 dan koefisien kurtosis Ck = 5,4002. Penyelesaian dari persamaan 2.36. menghasilkan : ( 2.37 ) Dari persamaan 2.24 ( 2.38 ) Subtitusi persamaan 2.38 kedalam persamaan 2.37 menghasilkan : ( 2.39 ) Dari persamaan 2.21 diperoleh : xT = u + αyT
( 2.40 )
analisis frekuensi dengan menggunakan metode Gumbel juga sering dilakukan dengan persamaan berikut ini. x=
+ Ks
( 2.41 )
dengan K adalah frekuensi faktor yang bisa dihitung dengan persamaan berikut : y = yn+Kσn
( 2.42 )
dengan y adalah faktor reduksi Gumbel seperti diberikan oleh persamaan 2.31, yn dan σn adalah nilai rerata dan deviasi standar dari variant gumbel, yang nilainya tergantung dari jumlah data seperti diberikan pada tabel 2.3. nilai yn dan σn fungsi jumlah data. dari persamaan 2.41 dan 2.42 diperoleh : ( 2.43 ) dan dengan persamaan 2.36 diperoleh : ( 2.44 ) Table 2.5. Nilai yn Dan σn Fungsi Jumlah Data
Sumber : Hidrologi Terapan, Bambang Triatmodjo, 2000
2.4.6
Distribusi Log Pearson III Pearson Telah banyak mengembangkan model matematika fungsi distribusi
untuk membuat persamaan empiris dari suatu distribusi. Ada 12 tipe distribusi pearson, namun hanya distribusi log Pearson III yang banyak digunakan dalam hidrologi, terutama dalam analisis data maksimum. Bentuk distribusi log Pearson III merupakan hasil transformasi dari distribusi Pearson III mempunyai bentuk berikut : /
( 2.45 )
dengan β dan γ adalah parameter. Rerata dari distribusi gamma adalah βγ, varians adalah β2γ, dan kemencengan adalah 2/(γ)1/2. Persamaan CDF mempunyai bentuk : Γ γ
x
e
dx
( 2.46 )
Bentuk kumulatif dari distribusi log Pearson III dengan nilai variant X apabila digambarkan pada kertas probabilitas logaritmik akan membentuk persamaan garis lurus. Persamaan tersebut mempunyai bentuk berikut : yT = +Kjsy
( 2.47 )
dengan : yT : nilai logaritmik dari x dengan priode ulang T : nilai rerata dari yt sy
: deviasi standar dari yt
Kj : faktor frekuensi, yang merupakan fungsi dari probabilitas ( atau priode ulang ) dan koefisien kemencengan Csy, yang diberikan dalam tabel 2.4. Nilai KT untuk distribusi Pearson
Tabel 2.6. Nilai KT Untuk Distribusi Pearson III Skew coefficient Cs or Cw 3.0 2.9 2.8 2.7 2.6 2.5 2.4 2.3 2.2 2.1 2.0 1.9 1.8 1.7 1.6 1.5 1.4 1.3 1.2 1.1 1.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 -0.1 -0.2 -0.3 -0.4 -0.5 -0.6 -0.7 -0.8 -0.9 -1.0 -1.1 -1.2 -1.3 -1.4 -1.5 -1.6 -1.7 -1.8 -1.9
2
5
0.50 -0.396 -0.390 -0.384 -0.376 -0.368 -0.360 -0.351 -0.341 -0.330 -0.319 -0.307 -0.294 -0.282 -0.268 -0.254 -0.240 -0.225 -0.210 -0.195 -0.180 -0.164 -0.148 -0.132 -0.116 -0.099 -0.083 -0.066 -0.050 -0.033 -0.017 0 0.017 0.033 0.050 0.066 0.083 0.099 0.116 0.132 0.148 0.164 0.180 0.195 0.210 0.225 0.240 0.254 0.268 0.282 0.294
0.20 0.420 0.440 0.460 0.479 0.499 0.518 0.537 0.555 0.574 0.592 0.609 0.627 0.643 0.660 0.675 0.690 0.705 0.719 0.732 0.745 0.758 0.769 0.780 0.790 0.800 0.808 0.816 0.824 0.836 0.836 0.842 0.846 0.850 0.853 0.855 0.856 0.857 0.857 0.856 0.854 0.852 0.848 0.844 0.838 0.832 0.825 0.817 0.808 0.799 0.788
Return Period in Years 10 25 50 Exceedence Probability 0.10 0.04 0.02 1.180 2.278 3.152 1.195 2.277 3.134 1.210 2.275 3.114 1.224 2.272 3.093 1.238 2.267 3.071 1.250 2.262 3.048 1.262 2.256 3.023 1.274 2.248 2.997 1.284 2.240 2.970 1.294 2.230 2.942 1.302 2.219 2.912 1.310 2.207 2.881 1.318 2.193 2.848 1.324 2.179 2.815 1.329 2.163 2.780 1.333 2.146 2.743 1.337 2.128 2.706 1.339 2.108 2.666 1.340 2.087 2.626 1.341 2.066 2.585 1.340 2.043 2.542 1.339 2.018 2.498 1.336 1.993 2.453 1.333 1.967 2.407 1.328 1.939 2.359 1.323 1.910 2.311 1.317 1.880 2.261 1.309 1.849 2.211 1.301 1.818 2.159 1.292 1.751 2.054 1.282 1.751 2.054 1.270 0.716 2.000 1.258 1.680 1.945 1.245 1.643 1.890 1.231 1.606 1.834 1.216 1.567 1.777 1.200 1.528 1.720 1.183 1.488 1.663 1.166 1,448 1.606 1.147 1.407 1.549 1.128 1.366 1.492 1.107 1.324 1.435 1.086 1.282 1.379 1.064 1.240 1.324 1.041 1.198 1.270 1.018 1.157 1.217 0.994 1.116 1.166 0.970 1.075 1.116 0.945 1.035 1.069 0.920 0.996 1.023
100
200
0.01 4.051 4.013 3.973 3.932 3.889 3.845 3.800 3.753 3.705 3.656 3.605 3.553 3.499 3.444 3.338 3.330 3.271 3.211 3.149 3.087 3.022 2.957 2.891 2.824 2.755 2.686 2.615 2.544 2.472 2.326 2.326 2.252 2.178 2.104 2.029 1.955 1.880 1.806 1.733 1.660 1.588 1.518 1.449 1.383 1.318 1.256 1.197 1.140 1.087 1.037
0.005 4.970 4.909 4.847 4.783 4.718 4.652 4.584 4.515 4.444 4.372 4.298 4.223 4.147 4.069 3.990 3.910 3.828 3.745 3.661 3.575 3.489 3.401 3.312 3.223 3.132 3.041 2.949 2.856 2.763 2.576 2.576 2.482 2.388 2.294 2.201 2.108 2.016 1.926 1.837 1.749 1.664 1.581 1.501 1.424 1.351 1.282 1.216 1.155 1.097 1.044
Tabel 2.6. Nilai KT Untuk Distribusi Pearson III ( Lanjutan ) Skew coefficient Cs or Cw
Return Period in Years 10 25 50 Exceedence Probability 0.50 0.20 0.10 0.04 0.02 -2.1 0.319 0.765 0.869 0.923 0.939 -2.2 0.330 0.752 0.844 0.888 0.900 -2.3 0.341 0.739 0.819 0.855 0.864 -2.4 0.351 0.725 0.795 0.823 0.830 -2.5 0.360 0.711 0.771 0.793 0.798 -2.6 0.368 0.696 0.747 0.764 0.768 -2.7 0.376 0.681 0.724 0.738 0.740 -2.8 0.384 0.666 0.702 0.712 0.714 -2.9 0.390 0.651 0.681 0.683 0.689 -3.0 0.396 0.636 0.666 0.666 0.666 Sumber : Hidrologi Terapan, Bambang Triatmodjo, 2000 2
5
100
200
0.01 0.946 0.905 0.867 0.832 0.799 0.769 0.740 0.714 0.690 0.667
0.005 0.949 0.907 0.869 0.833 0.800 0.769 0.741 0.714 0.690 0.667
Distribusi log Pearson III digunakan apabila parameter statistik Cs dan Ck mempunyai nilai selain dari parameter statistik untuk distribusi yang lain ( normal, log normal, Gumbel ). Penggunaan metode log Pearson III dilakukan dengan menggunakan langkah – langkah berikut ini. a.
Data maksimum tahunan disusun dalam tabel
b.
Hitung nilai logaritma dari data tersebut dengan transformasi yi = ln xi
atau
yi = log xi
c.
Hitung nilai rerata , deviasi standar sy, koefisien kemencengan Csy dari nilai logaritma yi.
d.
Dihitung nilai yj untuk berbagai priode ulang yang dikehendaki dengan menggunakan persamaan 2.47
e.
Hitung xT untuk setiap periode ulang dengan menghitung nilai anti‐lognya : xT =arc ln y atau
xT =arc ln y
Pada setiap perhitungan distribusi diatas memiliki persyaratan – persyaratan yang harus di penuhi sebagai dasar dalam pemilihan penggunan metode distribusi. Persyaratan tersebut dapat dilihat pada tabel 2.5. berikut ini. Tabel 2.7. Persyaratan Masing – Masing Distribusi
no
Distribusi
Persyaratan
(x+s) = 68,27 (x+2s) = 95,44 1 Normal Cs ≈ 0 Ck ≈ 3 Cs = Cv3+3Cv 2 Log Normal Ck = Cv8+6Cv6+15Cv4+16Cv2+3 Cs = 1,14 3 Gumbel Ck = 5,4 4 Log Pearson III Selain Dari nilai Diatas Sumber : Hidrologi Terapan, Bambang Triatmodjo, 2000
2.4.7
Analisa Intensitas Curah Hujan
Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu. Dengan kata lain bahwa intensitas curah hujan menyatakan besarnya curah hujan dalam jangka pendek yang memberikan gambaran derasnya hujan perjam.
Untuk mengelola data curah hujan menjadi intensitas hujan di gunakan cara statistik dari data pengamatan curah hujan yang terjadi. Dan bila tidak dijumpai data untuk setiap durasi hujan, maka diperlukan pendekatan secara empiris dengan pedoman kepada durasi 60 menit ( 1 jam ) dan pada curah hujan harian maksimum yang terjadi setiap tahun. Cara lain yang lazim digunakan adalah dengan mengambil pola intensitas hujan untuk kota lain yang mempunyai kondisi yang hampir sama. Untuk mengubah curah hujan menjadi intensitas hujan dapat digunakan berbagai metode diantaranya: a. Metoda Van Breen b. Metoda Hasper Der Weduwen
2.4.8
Metode Van Breen
Penurunan rumus yang dilakukan Van Breen didasarkan atas anggapan bahwa lamanya durasi hujan yang ada dipulau jawa terkonsentrasi selama 4 jam dengan hujan efektif sebesar 90% hujan total selama 24 jam. Persamaan tersebut adalah: %
( 2.48 )
Dengan, I
: intensitas hujan (mm/jam)
R24 : curah hujan harian maksimum (mm/24jam) Dengan persamaan diatas dapat dibuat suatu kurva intensitas durasi hujan dimana Van Breen mengambil kota Jakarta sebagai kurva basis bentuk kurva IDF. Kurva ini dapat memberikan kecenderungan bentuk kurva untuk daerah – daerah lain di Indonesia pada umumnya. Berdasarkan pada kurva pola Van Breen kota Jakarta, besarnya intensitas hujan dapat didekati dengan persamaan: , ,
( 2.49 )
Dengan, IT
: Intensitas hujan (mm/jam) pada PUH T pada waktu konsentrasi tc
Tc : waktu konsentrasi (menit) RT : curah hujan harian maksimum PUH T,(mm/24jam)
2.4.9
Metode Hasper Der Weduwen Metode ini merupakan hasil penyelidikan di Indonesia yang dilakukan olen
Hasper dan Der Weduwen. Penurunan rumus diperoleh berdasarkan kecenderungan curah hujan harian yang dikelompokan atas dasar anggapan bahwa hujan mempunyai
distribusi yang simetris dengan durasi hujan (t) lebih kecil dari 1 jam dan durasi hujan dari 1 jam sampai 24 jam. Persamaan yang digunakan adalah:
2< t ≤ 24
,maka
0
,maka
,
,
Dan
( 2.50 )
( 2.51 ) ( 2.52 )
Dengan, t
: durasi hujan ( menit)
R, Rt : curah hujan menurut Hasper - Der Weduwen Xt
: curah hujan harian maksimumyang terpilih, (mm/ 24jam)
Untuk menentukan intensitas hujan menurut Hasper Der Weduwen digunakan rumus sebagai berikut: ( 2.53 ) Dengan, I
: intensitas hujan ( mm/jam)
R
: curah hujan Setelah kedua metode tersebut dilakukan maka selanjutnya dilakukan
perhitungan penentuan/pendekatan intensitas hujan. Cara ini di maksudkan untuk menentukan persamaan intensitas yang paling mendekati untuk daerah perencanaan. Metoda yang di gunakan adalah metode perhitungan dengan cara kuadrat terkecil. Adapun caranya sebagai berikut : a. Rumus Talbot (1881)
Rumus ini banyak digunakan karena mudah diterapkan dan tetapan – tetapan a dan b ditentukan dengan harga – harga yang terukur. ( 2.54 ) Dengan, I
: intensitas hujan ( mm/jam )
t
: lamanya hujan ( jam )
a dan b : konstanta yang tergantung pada lamanya hujan yang terjadi di DAS ( 2.55 )
. .
( 2.56 )
.
b. Rumus Ishiguro (1905 )
Rumus ini mungkin cocok untuk jangka waktu curah hujan yang lamanya lebih dari 2 jam. ( 2.57 ) Dengan, I : intensitas hujan ( mm/jam ) t : lamanya hujan ( jam ) n : konstanta .
.
c. Rumus Sherman (1953 )
( 2.58 ) ( 2.59 )
( 2.60 )
√
Dengan, I
: intensitas hujan ( mm/jam )
t
: lamanya hujan ( jam )
a dan b : konstanta √
√
( 2.61 )
√
( 2.62 )
. √ .
Dengan, [ ] : jumlah angka- angka dalam tiap suku n : banyaknya data. Kemudian dilakukan penggambaran kurva IDF yang dimaksudkan untuk menggambarkan persamaan persamaan intensitas hujan wilayah perencanaan yang dapat di gunakan untuk perhitungan limpasan (run off) dengan rumus rasional dan besarnya kemungkinan terjadinya intensitas hujan yang berlaku untuk lamanya curah hujan sembarang.
2.5
Biopori
Lubang resapan biopori adalah lubang silindris yang dibuat secara vertikal kedalam tanah dengan diameter 10 cm dan kedalam sekitar 80 – 100 cm, atau dalam kasus tanah dengan permukaan air tanah dangkal, tidak sampai melebihi kedalaman muka air tanah. Lubang diisi dengan sampah organik untuk memicu terbentuknya biopori. Biopori adalah pori – pori berbentuk lubang yang dibuat oleh aktivitas fauna tanah atau akar tanaman.
Gambar 2.10. Biopori 2.5.1
Keunggulan dan manfaat Lubang resapan biopori adalah teknologi tepat guna dan ramah lingkungan untuk
mengatasi banjir dengan cara: a. meningkatkan kapasitas infiltrasi b. mengubah sampah organik menjadi kompos dan mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2 dan Metan) c. memanfaatkan peran aktivitas fauna tanah dan akar tanaman, dan mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh genangan air seperti penyakit deman berdarah dan malaria.
2.5.2
Meningkatkan kapasitas Infiltrasi
Kehadiran lubang resapan biopori secara langsung akan menambah bidang resapan air, setidaknya sebesar luas kolom/ dinding lubang. Sebagai contoh bila lubang dibuat dengan diameter 10cm dan dalam 100 cm maka luas bidang resapan bertambah sebanyak 7850 cm2 dengan kata lain suatu permukaan tanah berbentuk lingkaran dengan diameter 10 cm, yang
semula mempunyai bidang resapan 78,5 cm2 setelah dibuat lubang resapan biopori dengan kedalaman 100 cm, luas bidang resapan menjadi 7850 cm2. Dengan adanya aktivitas fauna tanah pada lubang resapan maka biopori akan terbentuk dan senantiasa terpelihara keberadaannya. Oleh karena itu bidang resapan ini akan selalu terjaga kemampuannya dalam meresapkan air. Dengan demikian kombinasi antara luas bidang resapan dengan kehadiran biopori secara bersama – sama akan meningkatkan kemampuan dalam meresapkan air.
2.5.3
Mengubah Sampah Organik Menjadi Kompos
Lubang resapan biopori “ diaktifkan “ dengan memberikan sampah organik kedalamnya. Sampah ini akan dijadikan sebagai sumber energi bagi organisme tanah untuk melakukan kegiatan melalui proses dekomposisi. Sampah yang telah didekomposisi ini dikenal sebagai kompos. Dengan melalui proses seperti itu maka lubang resapan biopori selain berfungsi sebagai bidang peresapan air juga sekaligus berfungsi sebagai “pabrik” pembuat kompos. Kompos dapat dipanen pada setiap periode tertentu dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik pada berbagai jenis tanaman.
2.5.4
Memanfaatkan Fauna Tanah Dan Atau Akar Tanaman Seperti disebutkan diatas lubang resapan biopori diaktifkan oleh organisme
tanah, khususnya fauna tanah dan perakaran tanaman. Aktivitas merekalah yang selanjutnya akan menciptakan rongga –rongga atau liang – liang didalam tanah yang akan dijadikan “saluran“ air untuk meresap kedalam tubuh tanah. Dengan memanfaatkan aktivitas mereka maka rongga – rongga atau liang – liang tersebut akan senantiasa
terpeliharadan terjaga keberadaannya sehingga kemampuan peresapannya akan tetap terjaga tanpa campur tangan langsung dari manusia untuk pemeliharaannya. Hal ini tentunya akan sangat menghemat tenaga dan biaya. Kewajiban factor manusia dalam hal ini adalah memberikan pakan kepada mereka berupa sampah organik pada periode tertentu. Sampah organik yang dimasukkan kedalam lubang akan menjadi humus dan tubuh biota dalam tanah, tidak cepat di emisikan ke atmosfir sebagai gas rumah kaca; berarti mengurangi pemanasan global dan memelihara biodiversitas dalam tanah.
2.5.5
Jumlah Lubang Resapan Biopori
Jumlah lubang yang perlu dibuat dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: Jumlah LRB = Qlimpasan /F(t)
( 2.63 )
Bila lubang yang dibuat berdiameter 10cm dengan kedalaman 100cm maka setiap lubang mampu menampung 7,8 liter sampah organik, ini berarti bahwa setiap lubang dapat diisi dengan sampah organik selama 2 – 3 hari.
2.6
Pengambilan Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi. Artinya tidak akan ada sampel jika tidak ada populasi. Populasi adalah keseluruhan elemen atau unsur yang akan kita teliti. Penelitian yang dilakukan atas seluruh elemen dinamakan sensus. Idealnya, agar hasil penelitiannya lebih bisa dipercaya, seorang peneliti harus melakukan sensus. Namun karena sesuatu hal peneliti bisa tidak meneliti keseluruhan elemen tadi, maka yang bisa dilakukannya adalah meneliti sebagian dari keseluruhan elemen atau unsur tadi.
Berbagai alasan yang masuk akal mengapa peneliti tidak melakukan sensus antara lain adalah: a. populasi demikian banyaknya sehingga dalam prakteknya tidak mungkin seluruh elemen diteliti b. keterbatasan waktu penelitian, biaya, dan sumber daya manusia. c. Penelitian yang dilakukan terhadap sampel bisa lebih reliabel daripada terhadap populasi, karena elemen sedemikian banyaknya maka akan memunculkan kelelahan fisik dan mental para pencacahnya sehingga banyak terjadi kekeliruan. (Uma Sekaran, 1992) d. Jika elemen populasi homogen, penelitian terhadap seluruh elemen dalam populasi menjadi tidak masuk akal, misalnya untuk meneliti kualitas jeruk dari satu pohon jeruk. Agar hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel masih tetap bisa dipercaya dalam artian masih bisa mewakili karakteristik populasi, maka cara penarikan sampelnya harus dilakukan secara seksama. Cara pemilihan sampel dikenal dengan nama teknik sampling atau teknik pengambilan sampel.
2.6.1
Syarat Sampel Yang Baik Secara umum, sampel yang baik adalah yang dapat mewakili sebanyak mungkin
karakteristik populasi. Dalam bahasa pengukuran, artinya sampel harus valid, yaitu bisa mengukur sesuatu yang seharusnya diukur. Kalau yang ingin diukur adalah masyarakat Sunda sedangkan yang dijadikan sampel adalah hanya orang Banten saja, maka sampel tersebut tidak valid, karena tidak mengukur sesuatu yang seharusnya diukur (orang Sunda). Sampel yang valid ditentukan oleh dua pertimbangan yaitu akurasi atau ketepatan dan presisi.
2.6.2
Akurasi atau Ketepatan
Akurasi atau ketepatan, yaitu tingkat ketidakadaan “bias” (kekeliruan) dalam sample. Dengan kata lain makin sedikit tingkat kekeliruan yang ada dalam sampel, makin akurat sampel tersebut. Tolok ukur adanya “bias” atau kekeliruan adalah populasi. Cooper dan Emory (1995) menyebutkan bahwa “there is no systematic variance” yang maksudnya adalah tidak ada keragaman pengukuran yang disebabkan karena pengaruh yang diketahui atau tidak diketahui, yang menyebabkan skor cenderung mengarah pada satu titik tertentu. Sebagai contoh, jika ingin mengetahui rata‐rata luas tanah suatu perumahan, lalu yang dijadikan sampel adalah rumah yang terletak di setiap sudut jalan, maka hasil atau skor yang diperoleh akan bias. Kekeliruan semacam ini bisa terjadi pada sampel yang diambil secara sistematis
2.6.3
Presisi
Kriteria kedua sampel yang baik adalah memiliki tingkat presisi estimasi. Presisi mengacu pada persoalan sedekat mana estimasi kita dengan karakteristik populasi. Makin kecil tingkat perbedaan di antara rata‐rata populasi dengan rata‐rata sampel, maka makin tinggi tingkat presisi sampel tersebut. Belum pernah ada sampel yang bisa mewakili karakteristik populasi sepenuhnya. Oleh karena itu dalam setiap penarikan sampel senantiasa melekat kesalahan – kesalahan, yang dikenal dengan nama “sampling error” Presisi diukur oleh simpangan baku (standard error). Makin kecil perbedaan di antara simpangan baku yang diperoleh dari sampel (S) dengan simpangan baku dari populasi (σ), makin tinggi pula tingkat presisinya. Walau tidak selamanya,
tingkat presisi mungkin bisa meningkat dengan cara menambahkan jumlah sampel, karena kesalahan mungkin bisa berkurang kalau jumlah sampelnya ditambah ( Kerlinger, 1973 ).
2.6.4
Ukuran Sampel Ukuran sampel atau jumlah sampel yang diambil menjadi persoalan yang penting
manakala jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian yang menggunakan analisis kuantitatif. Pada penelitian yang menggunakan analisis kualitatif, ukuran sampel bukan menjadi nomor satu, karena yang dipentingkan alah kekayaan informasi. Walau jumlahnya sedikit tetapi jika kaya akan informasi, maka sampelnya lebih bermanfaat.
Dikaitkan dengan besarnya sampel, selain tingkat kesalahan, ada lagi beberapa faktor lain yang perlu memperoleh pertimbangan yaitu: a. derajat keseragaman b. rencana analisis c. biaya, waktu, dan tenaga yang tersedia (Singarimbun dan Effendy, 1989).
Makin tidak seragam sifat atau karakter setiap elemen populasi, makin banyak sampel yang harus diambil.
Jika rencana analisisnya mendetail atau rinci maka jumlah
sampelnya pun harus banyak.
2.6.5
Teknik-Teknik Pengambilan Sampel
Secara umum, ada dua jenis teknik pengambilan sampel yaitu, sampel acak atau random sampling / probability sampling, dan sampel tidak acak atau nonrandom
samping/nonprobability sampling. Yang dimaksud dengan random sampling adalah cara pengambilan sampel yang memberikan kesempatan yang sama untuk diambil kepada setiap elemen populasi. Artinya jika elemen populasinya ada 100 dan yang akan dijadikan sampel adalah 25, maka setiap elemen tersebut mempunyai kemungkinan 25/100 untuk bisa dipilih menjadi sampel. Sedangkan yang dimaksud dengan nonrandom sampling atau nonprobability sampling, setiap elemen populasi tidak mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan sampel. Lima elemen populasi dipilih sebagai sampel karena letaknya dekat dengan rumah peneliti, sedangkan yang lainnya, karena jauh, tidak dipilih, artinya kemungkinannya 0 (nol). Dua jenis teknik pengambilan sampel di atas mempunyai tujuan yang berbeda. Jika peneliti ingin hasil penelitiannya bisa dijadikan ukuran untuk mengestimasikan populasi, atau istilahnya adalah melakukan generalisasi maka seharusnya sampel representatif dan diambil secara acak. Namun jika peneliti tidak mempunyai kemauan melakukan generalisasi hasil penelitian maka sampel bisa diambil secara tidak acak. Sampel tidak acak biasanya juga diambil jika peneliti tidak mempunyai data pasti tentang ukuran populasi dan informasi lengkap tentang setiap elemen populasi. Di setiap jenis teknik pemilihan tersebut, terdapat beberapa teknik yang lebih spesifik lagi. Pada sampel acak (random sampling) dikenal dengan istilah simple random sampling, stratified random sampling, cluster sampling, systematic sampling, dan area sampling. Pada nonprobability sampling dikenal beberapa teknik, antara lain adalah convenience sampling, purposive sampling, quota sampling, snowball sampling. Namun dalam penelitian ini digunakan tehnik Area Sampling.
2.6.6
Area Sampling atau Sampel Wilayah
Teknik ini dipakai ketika peneliti dihadapkan pada situasi bahwa populasi penelitiannya tersebar di berbagai wilayah. Misalnya, seorang marketing manajer sebuah stasiun TV ingin mengetahui tingkat penerimaan masyarakat Jawa Barat atas sebuah mata tayangan, teknik pengambilan sampel dengan area sampling sangat tepat. Prosedurnya : a. Susun sampling frame yang menggambarkan peta wilayah (Jawa Barat) – Kabupaten, Kotamadya, Kecamatan, Desa. b. Tentukan wilayah yang akan dijadikan sampel ( Kabupaten, Kotamadya, Kecamatan, Desa ) c. Tentukan berapa wilayah yang akan dijadikan sampel penelitiannya. d. Pilih beberapa wilayah untuk dijadikan sampel dengan cara acak atau random. e. Kalau ternyata masih terlampau banyak responden yang harus diambil datanya, bagi lagi wilayah yang terpilih ke dalam sub wilayah. Untuk menghitung jumlah sampel wilayah yang dapat mewakili suatu luasan wilayah maka dibutuhkan persamaan probabilitas sebagai berikut : 100
( 2.64 )
dimana I : intensitas nilai jelajah nominal kemudian hitung luasan area sampel dan jumlah titik sampel dengan persamaan berikut ini : Luas area contoh = luas area total x I
( 2.65 ) ( 2.66 )
Setelah diketahui jumlah titik contoh hitung luas area yang diwakili oleh satu titik contoh dengan persamaan sebagai berikut
( 2.67 ) Karena metode perhitungan ini menggunakan garis sistematik yang memanfaatkan tehnik perputaran seperti gambar 2.11 dibawah ini maka cari jarak antara titik contoh dan garis titik contoh dengan persamaan dibawah ini. ( 2.68 ) ( 2.69 )
Gambar 2.11. Diagram Rencana Garis Sistematik Yang Memanfaatkan Tehnik Perputaran