4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sapi Bali Sapi bali (Bos sondaicus) adalah jenis sapi asli Indonesia yang berasal dari
keturunan banteng yang sudah didomestikasi dan merupakan plasma nutfah ternak asli Indonesia (Wibisono, 2010). Sapi bali dengan mudah dapat beradaptasi di lingkungan yang buruk dan tidak selektif terhadap makanan. Selain itu, sapi bali cepat mempunyai anak, jinak dan mudah dikendalikan, serta memiliki daya cerna terhadap makanan serat yang baik (Batan, 2006). Melihat perkembangannya, sapi bali akan menjadi sapi potong utama di Indonesia. (Hardjosubroto dan Astuti, 1993) mengatakan bahwa, saat ini banteng liar di Indonesia hanya ditemukan di hutan lindung Baluran, Jawa Timur dan Ujung Kulon, Jawa Barat, serta di beberapa kebun binatang. Dari galur yang lebih kecil, banteng juga ditemukan di perbatasan hutan Kalimantan Timur, Laos, Vietnam dan di Semenanjung Coubourgh di Australia Utara (Scherf, 1995). Ditinjau dari segi sistematika ternak, sapi bali digolongkan ke dalam famili bovidae, genus bos dan subgenus bovine. Sapi yang termasuk dalam subgenus tersebut adalah Bibos gaurus, Bibos frontalis dan Bibos sondaicus (Hardjosubroto, 1994), sedangkan Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa sapi bali (Bos-bibos Banteng) yang spesies liarnya adalah banteng digolongkan ke dalam famili bovidae, genus bos dan subgenus bibos. Sapi bali mempunyai ciri-ciri fisik yang seragam, dan hanya mengalami perubahan kecil dibandingkan dengan leluhur liarnya (banteng). Warna sapi bali betina, anak atau yang muda, biasanya merah bata dengan garis hitam tipis terdapat di sepanjang tengah punggung. Warna sapi jantan adalah merah bata ketika muda tetapi kemudian warna ini berubah agak gelap pada umur 12-18 bulan sampai mendekati hitam pada saat dewasa, kecuali sapi jantan yang dikastrasi akan tetap berwarna merah bata. Pada sapi bali terdapat warna putih pada bagian belakang paha (pantat) yang disebut white mirror, bagian bawah
5
(perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Satu ciri yang lain dari sapi bali, yaitu pada sapi jantan yang dikebiri terjadi perubahan warna dari warna hitam kembali pada warna semula yakni merah bata yang diduga karena kurang tersedianya hormon testosteron sebagai hasil produk testes (Darmadja, 1980). Karakteristik lain yang harus dipenuhi dari ternak sapi bali murni, yaitu bentuk tanduk. Bentuk tanduk sapi jantan yang paling ideal disebut silak congklok, dimana jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu membengkok ke atas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Pada sapi betina bentuk tanduk yang ideal disebut manggul gangsa, dimana jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi yang mengarah ke belakang dan sedikit melengkung ke bawah serta pada ujungnya sedikit mengarah ke bawah dan ke dalam (Hardjosubroto, 1994). Sapi bali memberikan respon positif terhadap perbaikan pakan yang ditandai dengan meningkatnya laju pertambahan bobot badan. Rataan laju pertambahan bobot badan (PBB) sapi bali yang diberi rumput lapangan tanpa diberi pakan tambahan adalah 175,75 g/ekor/hari, namun PBB harian meningkat jika diberi pakan tambahan konsentrat 1,8% hingga mencapai 313,88 g/ekor/hari (Amril dkk., 1990). Soemarmi dkk., (1985) melaporkan laju pertambahan bobot badan sapi bali yang diberi pakan rumput dan pucuk tebu serta diberi tambahan konsentrat 1% mencapai 690 dan 820 g/ekor/hari. Sapi bali yang diberikan tambahan 7,5 gr mineral, mampu membuktikan pertambahan bobot badan mencapai 0,8 kg/ekor/hari (Suwiti dkk., 2013). Sapi bali termasuk sapi unggul dengan reproduksi yang tinggi, mudah digemukan dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga dikenal sebagai sapi perintis (Hardjosubroto, 1994). Dari karakteristik karkas, sapi bali digolongkan sapi pedaging ideal ditinjau dari bentuk badan yang kompak dan serasi, bahkan nilainya lebih unggul dibandingkan sapi pedaging Eropa seperti hereford, shortorn (Murtidjo, 1990). Persentase karkas sapi bali cukup tinggi yang berkisar 52-57,7%, lebih baik dibandingkan sapi Ongole dan sapi Madura yang
6
dikemukakan Moran (1979) berturut-turut sebesar 51,9 dan 52,5%. Hasil penelitian Arka (1984) menunjukkan bahwa kandungan lemak daging sapi Bali cukup rendah dan tanpa marbling, yang merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki daging sapi bali. Selain itu pada berbagai lingkungan pemeliharaan di Indonesia, sapi bali memperlihatkan kemampuannya untuk berkembang biak dengan baik. Sapi bali juga memiliki daya adaptasi sangat tinggi terhadap lingkungan yang kurang baik (Masudana, 1990), seperti dapat memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah (Sastradipradja, 1990), mempunyai fertilitas dan conception rate yang sangat baik (Oka dan Darmadja, 1996), dan tahan terhadap parasit internal dan eksternal (National Research Council, 1983). 2.2
Coccidia Coccidia merupakan protista dari sub-filum epithelioapicomplexa yang
uniseluler, berbentuk oval, membentuk spora parasit pada hewan, yang penyakitnya disebut Coccidiosis. Tiga belas spesies eimeria pada sapi yaitu: E. alabamensis, E. auburnensis, E. bovis, E. brasiliensis, E. bukidnonensis, E. canadensis, E. cylindrica, E. ellipsoidalis, E. illinoisensis, E. pellita, E. supspherica, E. wyomingensis, E. zuernii. Spesies yang dianggap paling patogen pada sapi adalah eimeria zuernii, sedangkan spesies eimeria bovis lebih sering ditemukan pada sapi (Fitriastuti dkk., 2011). Coccidiosis terjadi pada hewan yang digembalakan di padang rumput terutama di musim kemarau ketika hewan mencari makan di sekitar daerah yang terkontaminasi air dan tanahnya (Behrendt, 2004). Ookista eimeria bersporulasi mulai dari beberapa hari sampai beberapa minggu, tergantung pada kelembaban, temperatur, spesies, dan faktor lingkungan lainnya. Ookista sangat tahan dan bisa bertahan di bawah kondisi yang menguntungkan pada suhu minus 40o C untuk waktu yang lama yang dapat bertahan sepanjang musim dingin (Fitriastuti dkk., 2011). Coccidia mempunyai dua fase dalam siklus hidupnya yaitu fase endogen dan eksogen. Fase endogen terjadi di dalam tubuh induk semang sedangkan fase eksogen terjadi di luar tubuh induk semang (Soulsby, 1982). Siklus hidup
7
endogen
terdiri
dari
tahap
aseksual
(schizogony),
dan
tahap
seksual
(gametogony). Reproduksi aseksual (schizogony) terjadi beberapa kali dan menyerang lapisan usus, diikuti oleh fase seksual di mana merozoit terlepas dalam bentuk gamet (gametogony). Microgamet dan macrogamet melebur dan berkembang menjadi ookista yang akan keluar bersama feses. Di luar tubuh inang, ookista bersporulasi menjadi bentuk infektif ookista (Fitriastuti dkk., 2011). Menurut Christensen (1984) dalam Gaafar, 1985, ookista dari eimeria zuernii berukuran lebar 12-15 µm, panjang 13-18 µm, berbentuk ovoid. Dinding ookista sangat halus, homogen, transparan, dan tidak berwarna sampai berwarna kuning muda. Setiap ookista dari jenis eimeria mempunyai 4 sporokista dimana masing-masing sporokista berisi 2 sporozoit. Eimeria bovis berukuran lebar 17-23 µm, panjang 23-34 µm, berbentuk ovoid dan tidak simetris, berwarna coklat/kuning, mempunyai 2 dinding sel, tidak punya microphyl, oosit tidak polar, terdapat 2 gumpalan sporozoit, dan panjang x lebar sekitar 5-8 x 13-18 (Fitriastuti dkk., 2011). Eimeria zuernii merupakan coccidia yang paling patogen pada sapi dan paling umum menyebabkan coccidiosis musim dingin. Coccidiosis yang disebabkan oleh eimeria zuernii menyerang saluran pencernaan khususnya usus halus, sekum, dan usus besar pada sapi. Coccidiosis pada sapi menyebabkan mortalitas yang nyata dan kerugian pada pedet yang berumur kurang dari satu tahun. Secara umum infeksi terjadi pada pedet yang berumur 3 minggu sampai 6 bulan (Levine, 1995). Kerugian yang harus diperhatikan adalah ternak sapi yang dilepas dan terkadang kejadian penyakit yang parah dapat terjadi pada ternak yang dikandangkan. Kejadian ini yang sering disebut dengan coccidiosis musim dingin dan kejadian tersebut dikarenakan alas kandang yang menyediakan kehangatan dan kelembaban yang cukup untuk sporulasi ookista walau dalam keadaan suhu dibawah nol (Foster, 1949 dalam Soulsby, 1982). Infeksi akut dari eimeria zuernii akan menyebakan diare berdarah pada anak sapi. Tinja akan terlihat bercak-bercak darah, kemudian diare menjadi lebih parah. Anemia, kelemahan, dan kekurusan mengikuti gejala disentri dan infeksi sekunder khususnya pneumonia sering terjadi. Fase akut ini dapat berlangsung
8
selama 3-4 hari (Levine, 1995). Pada kasus kronis gejala yang ditimbulkan berupa diare yang tidak disertai adanya darah, ternak menjadi kurus, mengalami dehidrasi dengan telinga jatuh dan mata sedikit cekung (Todd dan Ernst, 1977). Eimeria bovis adalah coccidia yang cukup patogen pada ternak yang dapat menyebabkan enteritis hemoragik berat. Sporozoit yang dilepaskan dalam usus inang akan menyerang sel-sel endotel kapiler limfe bagian vili dari ileum, dimana mereka meniru, membentuk macroschizon multinuklear, yang berisi ratusan ribu merozoit generasi pertama. Generasi kedua schizonts dan gamonts kemudian berkembang dengan cepat pada sel epitel dari usus besar. Ketika ookista bersporulasi ke saluran pencernaan maka akan melepaskan 4 sporokista dan karena tercerna oleh enzim pencernaan maka sporozoit aktif dan menyerang selsel usus (Fitriastuti dkk., 2011). Diagnosis yang akurat pada kelompok ruminansia tertentu sangat penting. Diagnosis coccidiosis didasarkan pada sejarah hewan yang terkena (usia, manajemen, perkandangan), pengamatan tanda-tanda klinis (dehidrasi, lemah dan diare, terutama jika kotoran bercampur darah), dan pada pengujian laboratorium menemukan ookista dalam kotoran (Susilo dkk., 2014). Coccidiosis merupakan masalah yang terjadi pada kelompok ternak sapi, sehingga harus dilakukan usaha untuk melakukan pencegahan dan pengendalian secara dini. Pencegahan coccidiosis pada sapi antara lain dengan menjaga sanitasi selalu baik. Alas kandang dan tanah dapat di desinfeksi dengan menggunakan sodium hypochlorid, kresol, fenol atau difumigasi dengan formaldehid (Soulsby, 1982). Pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan obat-obatan seperti dari kelompok sulfonamide. Senyawa lain yang dapat digunakan dalam pengobatan
atau
pengendalian
diantaranya
sulfaquinoxaline,
amprolium,
decoquinate, lasalocid dan monensin (Susilo dkk., 2014). 2.3
Strongyloides Strongyloidiasis adalah infeksi parasit yang dapat menyerang ternak sapi,
kuda, babi, dan anjing (Tanaka, 1966). Strongyloides papillosus merupakan spesies yang terdapat pada mukosa usus halus ruminansia dan kelinci (Schnieder, 2006). Cacing ini lebih banyak menyerang hewan muda daripada dewasa. Cacing
9
dewasa dapat bersifat parasitik maupun bebas. Bentuk parasitik hanya ditemukan cacing betina yang bersifat partenogenetik dengan panjang 3,5 – 6,0 mm dan berdiameter 50 – 65 mikron (Soulsby, 1982), dan menghasilkan telur berbentuk elips, berdinding tipis dan berembrio berukuran 40-64 X 20-42 mikron. Betina juga mempunyai esophagus yang sangat panjang dan berbentuk hampir silindris, vulva pada bagian pertengahan tubuh posterior, ekor pendek berbentuk kerucut, uterus amfidelf (dengan cabang ke depan maupun ke belakang) (Viney dan Lok, 2007). Bentuk bebas dapat ditemukan adanya cacing jantan dan betina. Mereka sangat kecil dan relatif kuat, dengan esophagus rabditiform. Ekor cacing jantan pendek dan berbentuk kerucut. Cacing jantan hidup bebas panjangnya 700-825 mikron, dengan spikulum yang kuat, melengkung dengan panjang sekitar 33 mikron dan gubernakulum yang panjangnya 20 mikron dan lebar 2,5 mikron. Cacing betina hidup bebas panjangnya 640-1200 mikron (Tanaka, 1966), dengan telur berkulit tipis, telah berembrio, 42-48 x 23-30 mikron. Masa prepatan 7-9 hari (Levine, 1994). Strongyloidiasis endemik di daerah tropis dan subtropis dan terjadi secara sporadis di daerah beriklim sedang. Strongyloides papillosus dapat menginfeksi hewan melalui penetrasi kulit (perkutan), peroral dan melalui susu pada masa laktasi (Stephen dan Hutchinson, 2003). Infeksi diawali dengan larva infektif yang berkembang dalam tinja atau tanah lembab yang terkontaminasi oleh tinja, kemudian menembus kulit dan masuk ke dalam darah vena yang selanjutnya akan dibawa menuju paru-paru (Soulsby, 1982). Di paru-paru larva menembus dinding kapiler masuk kedalam alveoli, bergerak naik menuju ke trakea kemudian mencapai epiglottis. Selanjutnya larva turun masuk kedalam saluran pencernaan mencapai bagian atas dari intestinum, disini cacing betina menjadi dewasa. Apabila larva infektif tertelan, maka larva akan berkembang dalam usus halus tanpa bermigrasi. Siklus hidup ini disebut dengan tipe homogenik. Beberapa larva stadium ketiga mempunyai esofagus rabditiform yang melalui siklus hidup disebut heterogenik. Larva ini akan menyilih menjadi stadium keempat. Larva ini
10
makan dan kemudian menyilih menjadi cacing jantan dan betina dewasa yang hidup bebas (Levine, 1994). Infeksi dari strongyloides papillosus sering tidak menunjukkan gejala klinis (Lentze dkk., 1999). Namun demikian, infeksi secara perkutan yang diikuti dengan jumlah larva infektif yang tinggi dapat menyebabkan kematian mendadak (Nakamura dkk., 1994). Gejala klinis sering terlihat pada hewan muda yang ditandai dengan gejala seperti anorexia, kelelahan, penurunan berat badan, anemia, kusam, diare dan dyspnea (Stephen dan Hutchinson, 2003). Menurut Campos dkk., (2009), ternak yang berumur diatas 12 bulan yang terinfeksi oleh strongyloides papillosus dapat menyebabkan diare, kehilangan nafsu makan, terhambatnya pertumbuhan dan kematian mendadak. Pada waktu cacing menetap di intestinum, akan terjadi penebalan yang luas dari dinding usus. Infeksi strongyloides dapat didiagnosis dengan deteksi karakteristik telur dalam tinja (Soulsby, 1982). Sampel feses dapat diambil langsung dari rektum atau segera setelah buang air besar dan harus diperiksa dalam waktu 6 jam setelah dikumpulkan.
Disamping
pemeriksaan
dengan
metode
sedimentasi
dan
pengapungan, pemeriksaan dengan metode Baermann harus digunakan, karena L1 larva strongyloides dapat menetas dari telur dalam beberapa waktu setelah keluar dari rektum ternak (Kvac dan Vitovec, 2007). Untuk pengobatan diberikan ivermectine 0,2 mg/kg bb, thiabendazole 100150 mg/kgbb selama 3 hari, dan obat benzimidazole, febanthel dan levamisol yang sangat efektif. Program pengobatan pada induk sebelum melahirkan merupakan langkah efektif untuk menekan terjadinya penularan dari induk ke anak (Viney dan Lok, 2007). 2.4
Mineral
2.4.1 Mineral Makro A. Kalsium (Ca) Mineral kalsium (Ca) adalah salah satu mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh ternak. Mineral Ca sangat penting sebagai komponen struktural (tulang dan gigi) dan non struktural (metabolisme dan jaringan lemak). Defisiensi mineral ini akan mengakibatkan terjadinya gangguan pertumbuhan (hewan muda),
11
kehilangan berat badan, penurunan nafsu makan, kelemahan, peningkatan hipersensitivitas dan bila defisiensi cukup berat maka akan terjadi perubahan pada tulang yang ditandai dengan penurunan mineralisasi, gangguan pertumbuhan, perubahan bentuk dan fraktur seperti yang terjadi pada rakhitis, osteomalasia dan osteoporosis (McDonald dkk., 2010). B. Fosfor (P) Fosfor (P) merupakan makromineral yang sangat esensial bagi tubuh baik pada manusia maupun ternak. Kurang lebih 85% P dalam tubuh berada dalam tulang dan selebihnya berada di jaringan lunak dan cairan tubuh. Mineral tersebut berperan penting dalam berbagai fungsi seperti permeabilitas sel, proses enzimatik, penyusun dinding sel, sistem penyangga cairan tubuh, transmisi genetik, sumber energi tubuh dan regulasi metabolisme lemak, protein dan karbohidrat (McDonald dkk., 2010). Defisiensi P sering terjadi pada hewan yang digembalakan karena rumput padang gembala umumnya memiliki kandungan P yang rendah dan adanya nutrien lain yang tertelan bersama P , seperti Al dan F, yang menyebabkan P sulit diabsorpsi (McDowell, 1992) atau pada hewan yang mengalami gangguan absorpsi seperti pada infestasi parasit gastrointestinal (Wilson dan Field, 1983). C. Kalium (K) Di dalam sel, mineral kalium berfungsi sebagai katalisator dalam reaksi biologik, terutama dalam proses metabolisme energi dan sintesis glikogen (Darmono dan Bahri, 1989). Kekurangan kalium jarang terjadi selama ternak diberikan hijauan yang cukup. Defisiensi kalium pada ruminansia tidak menunjukkan gejala klinis yang spesifik, tetapi ditandai dengan penurunan nafsu makan yang merupakan gejala awal dari defisiensi kalium (Besung, 2013). D. Natrium (Na) Natrium merupakan salah satu mineral yang penting dalam tubuh dan berperan dalam menjaga keseimbangan tubuh. Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraselular. Defisiensi natrium (Na), dapat menyebabkan gejala seperti, nafsu makan menurun, pertumbuhan menjadi lambat, efisiensi penggunaan pakan sangat rendah, terjadi kelemahan otot, hipertropi jantung dan
12
ginjal, fertilitas menurun pada pejantan serta keterlambatan dewasa kelamin pada betina (Besung, 2013). E. Magnesium (Mg) Mineral magnesium sangat diperlukan tubuh hewan untuk proses metabolisme energi, penggunaan glukosa, sintesis protein, pemecahan asam lemak, kontraksi otot, dan menjaga keseimbangan ionik seluler. Selain itu magnesium berperan dalam mobilisasi kalsium, dengan reseptor pada tulang dan sel-sel ginjal. Defisiensi magnesium yang serius dapat menyebabkan tetani hypomagnesaemic yaitu rendahnya kandungan magnesium dalam darah (hypomagnesimia) (McDonald dkk., 2010). 2.4.2 Mineral Mikro A. Besi (Fe) Besi
merupakan
mineral
yang
dibutuhkan
dalam
pembentukan
haemoglobin, myoglobin, dan sel-sel lainnya. Unsur besi merupakan komponen utama dari hemoglobin (Hb), sehingga kekurangan besi dalam pakan akan mempengaruhi pembentukan Hb. Kekurangan zat besi dapat menyebabkan terjadinya anemia. Kekurangan besi disebabkan karena terjadinya gangguan penyerapan besi dalam saluran pencernaan (Arifin, 2008). B. Tembaga (Cu) Tembaga (Cu) merupakan unsur mineral mikro yang keberadaannya dalam tubuh sangat sedikit namun diperlukan dalam proses fisiologis. Tembaga memiliki fungsi dalam proses metabolisme energi dalam sel, sistem metabolisme tubuh, sistem transmisi infuls saraf, kardiovaskular, dan sistem kekebalan tubuh (Darmono, 2007). Kekurangan Cu dalam darah dapat menyebabkan anemia yang merupakan gejala umum, pertumbuhan tubuh hewan terhambat, terjadi gangguan dan kerusakan tulang, depigmentasi pada rambut dan bulu, pertumbuhan bulu abnormal, dan gangguan gastrointestinal (Davis dan Mertz, 1987). C. Seng (Zn) Seng (Zn) ditemukan hampir dalam seluruh jaringan hewan. Defisiensi seng pada anak sapi ditandai dengan peradangan pada hidung dan mulut, pembengkakan persendian (Mills, 1987). Defisiensi seng dapat mengganggu
13
penghancuran mikroba dan fagositosis, disamping itu dapat juga menghambat proses penyembuhan luka. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya kejadian infestasi parasit cacing nematoda (Sandstead dkk., 1998). Jika cepat diobati dengan pemberian seng, ternak akan kembali normal dalam waktu 2−3 hari (Darmono, 1995). D. Iodin (I) Iodin (I) diperlukan tubuh untuk membentuk tiroksin, yaitu suatu hormon dalam kelenjar tiroid. Pada hewan yang kekurangan iodin, produksi tiroksin pada kelenjar tiroid menurun, yang dicirikan oleh pembesaran kelenjar tiroidea yang disebut goiter endemis. Karena kelenjar tiroidea terdapat pada leher maka pada hewan yang menderita defisiensi iodin akan terjadi pembengkakan pada leher (Arifin, 2008). E. Kobalt (Co) Kobalt (Co) merupakan unsur mineral esensial untuk pertumbuhan hewan, dan merupakan bagian dari molekul vitamin B12. Di dalam tubuh mineral Co paling banyak ditemukan dalan ginjal, kelenjar adrenal, limpa, pankreas dan pada tanaman kandungan Co bervariasi antara 1 dengan yang lainnya, namum pada umumnya leguminosa memiliki kandungan Co lebih tinggi dari pada rumput (Aminuddin, 1999). Defisiensi kobalt sehingga nafsu makan berkurang, bobot badan menurun, anemia, dan akhirnya mati (Stangl dkk., 2000). F. Mangan (Mn) Mangan adalah mikro mineral yang berfungsi membantu tubuh kita agar dapat
memanfaatkan vitamin B1 (Thiamin) dan membuat vitamin E secara
optimal untuk seluruh bagian tubuh. Defisiensi dari mangan adalah kelainan tulang dan penurunan nafsu makan (Arifin, 2008). G. Molibdenum (Mo) Molibdenum merupakan komponen esensial dari beberapa enzim. Mineral ini memiliki fungsi untuk membantu proses membuat dan mengaktifkan beberapa enzim yang telibat dalam perbaikan dan pembuatan materi genetik. Defisiensi dari molibdenum (Mo) hampir sama dengan tembaga (Cu) yaitu menganggu pertumbuhan hewan dan gangguan gastrointestinal (Parakkasi, 1999).
14
2.5
Kerangka Konsep Sapi bali mengkonsumsi pakan dalam bentuk hijauan yang terdiri atas
berbagai jenis rumput dan daun-daunan. Mengingat ketersediaan pakan dalam bentuk hijauan miskin akan unsur mineral, maka terhadap ternak tersebut perlu ditambahkan mineral dalam pakannya. Mineral merupakan zat makanan esensial yang tidak dapat disintesa di dalam tubuh ternak sehingga mineral harus tersedia di dalam ransum atau suplemen yang diberikan. Mineral esensial makro antara lain Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Natrium (Na), Kalium (K), dan Fosfor (P) yang diperlukan oleh tubuh untuk menyusun struktur tubuh seperti tulang dan gigi dalam jumlah yang besar, dan mikro mineral antara lain Besi (Fe), Tembaga (Cu), Seng (Zn), I (Iodin), Co ( Cobalt ), Mangan (Mn), Seleneum (Se), dan Molibdenum ( Mo ) berfungsi untuk aktivasi system enzim dan hormon dalam tubuh (Arifin, 2008 ; Darmono, 2007). Beberapa hal yang dapat berpengaruh terhadap kadar mineral pada sapi, yakni : jumlah mineral yang dikonsumsi, banyaknya mineral yang dapat di metabolisme tubuh dan ketersediaan mineral di lingkungan (Besung, 2013). Kekurangan makro dan mikro mineral tersebut dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan penurunan sistem kekebalan tubuh pada sapi (Suwiti dkk., 2012). Penurunan sistem kekebalan tubuh pada sapi berpengaruh terhadap kejadian suatu penyakit. Dimana ternak yang mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh lebih rentan terhadap penyakit bila dibandingkan dengan ternak yang sistem kekebalan tubuhnya baik. Penurunan sistem kekebalan tubuh dari sapi akan memudahkan terjadinya infeksi penyakit parasit seperti coccidia dan strongyloides. 2.6
Hipotesis Berdasarkan kerangka konsep di atas maka dapat ditarik hipotesis sebagai
berikut : Jumlah mineral yang diberikan pada pakan sapi bali berpengaruh terhadap infeksi coccidia dan strongyloides.