BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Skizofrenia 2.1.1
Pengertian Skizofrenia berasal dari dua kata “Skizo” yang artinya retak atau pecah (split), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita gangguan
jiwa
skizofrenia
adalah
orang
yang
mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (spilitting of personality) (Hawari, 2001). Skizofrenia mempengaruhi
adalah
otak
dan
suatu
penyakit
yang
menyebabkan timbulnya
pikiran, persepsi, emosi gerakan, dan perilaku yang aneh
dan
terganggu.
Skizofrenia
tidak
dapat
didefinisikan sebagai penyakit tersendiri melainkan diduga sebagai suatu sindrom atau proses penyakit yang mencakup banyak jenis dan berbagai gejala (Videback 2008). Schizophrenia
(Skizofrenia)
merupakan
gangguan mental atau sekelompok gangguan yang ditandai oleh kekacauan dalam bentuk dan isi pikiran (contohnya dalam delusi, halusinasi), dalam bentuk mood (contohnya : afek yang tidak sesuai), dalam
9
10 perasaan dirinya dan hubungannya dengan dunia luar (contohnya kehilangan batas batas ego, withdrawal), dalam tingkah laku (contohnya tingkah laku yang aneh dan tampaknya tanpa tujuan). (Dorland 1998, Ed 28) 2.1.2
Etiologi Menurut
Videbeck
(2008),
etiologi
dari
skizofrenia belum diketahui secara pasti. Namun beberapa penelitian terakhir menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan menunjukan penyebab dari skizofrenia. Faktor faktor tersebut antara lain : 1. Faktor genetik Penelitian
mengenai
adanya
skizofrenia
terkait dengan factor genetik lebih berfokus pada keluarga
terdekat,
seperti
orangtua,
saudara
kandung, anak dan cucu sedangkan untuk kerabat dekat, sangat sedikit dilakukan. Penelitian yang dilakukan pada anak kembar identik memiliki resiko 50% untuk terkena skizofrenia sedangkan kembar fraternal hanya sebesar 15%. Penelitian yang lain menyebutkan bahwa anak anak yang memiliki satu orang tua biologis penderita skizofrenia memiliki tingkat
resiko
terkena
skizofrenia
15%
dan
11 meningkat menjadi 35% jika kedua orang tua biologis merupakan penderita skizofrenia. Selain itu ada juga penelitian yang menyebutkan bahwa anakanak yang memiliki orang tua biologis namun diadopsi oleh keluarga tanpa riwayat skizofrenia saat lahir, tetap memiliki resiko genetik dari orang tua mereka. 2. Faktor Neuroanatomi dan neurokimia a. Neruroanatomi Berdasarkan
beberapa
penelitian
menunjukan individu yang menderita skizofrenia memiliki jaringan otak yang relatif lebih sedikit dan mengakibatkan kegagalan perkembangan atau kehilangan jaringan. Penurunan volume otak dan fungsi otak yang abnormal pada area temporal dan frontal yang mana patologi ini berkorelasi
dengan
tanda-tanda
positif
skizofrenia (lobus temporalis) seperti psikotis dan tanda tanda negatif (lobus frontalis) seperti tidak memiliki kemauan atau motivasi dan anhedonia. Tidak diketahui apakah perubahan pada lobus frontalis dan temporalis terjadi akibat kegagalan ini terjadi akibat kegagalan kedua
12 area tersebut mengalami kerusakan akibat virus, trauma, atau respon imun. b. Neurokimia Menurut
beberapa
teori
mengenai
neurokimia, terdapat dua unsur kimia yang mempengaruhi
terjadinya
skizofrenia
yaitu
Dopamin dan Serotonin. Dopamin adalah suatu neurotransmitter yang terutama terdapat di batang otak, diketahui terlibat
dalam
pengontrolan
gerakan
yang
kompleks, motivasi, kognisi, dan pengaturan respons emosional. Kelebihan dopamin sebagai faktor
penyebab
observasi. meningkat
berdasarkan
Pertama, aktivitas
dua
obat-obatan
pada
system
tipe yang
dopamin
seperti amfetamin dan lovodopa kadang kadang menyebabkan reaksi psikotik paranoid yang sama dengan skizofrenia (Egan & Hyde, 2000 dalam Videbeck 2008). Kedua obat obatan yang menyekat
reseptor
dopamine
pascasinaptik
mengurangi gejala psikotik ; pada kenyataannya semakin
besar
kemampuan
obat
untuk
menyekat reseptor dopamin, semakin efektif
13 obat
tersebut
dalm
mengurangi
gejala
skizofrenia (O’Connor 1998, dalam Videbeck 2008). Serotonin adalah neurotransmitter yang hanya ditemukan di otak. Fungsinya sebagian besar adalah inhibisi dan berperan penting dalam menimbulkan gangguan ansietas dan mood serta skizofrenia. Serotonin diketahui berperan dalam perilaku waham, halusinasi, dan menarik
diri
pada
penderita
skizofrenia.
Serotonin berasal dari triptofan, suatu asam amino dalam makanan. Teori tentang serotonin memperlihatkan bahwa serotonin memiliki efek modulasi
pada
dopamin
yang
membantu
mengontrol kelebihan dopamin. 3. Faktor Imunovirologi Ada teori popular yang menyatakan bahwa perubahan patologi otak pada penderita skizofrenia dapat disebabkan oleh pajanan virus. 2.1.3.
Gejala Gejala skizofrenia terbagi dalam 2 kategori utama: gejala positif atau gejala nyata yang mencakup waham, halusinasi, dan disorganisasi pikiran, bicara,
14 dan perilaku yang tidak teratur. Gejala negatif atau gejala samar, seperti afek datar, tidak memiliki kemauan, dan menarik diri dari masyarakat atau rasa tidak nyaman. Gejala-gejala tersebut ditandai dengan individu menarik diri dari masyarakat, perilaku yang tidak lazim, kehilangan minat untuk sekolah atau bekerja,
dan
seringkali
mengabaikan
hygiene
(Videback, 2008). 2.1.4.
Klasifikasi Skizofrenia diklasifikasikan menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Text Revision (DSM-IV-TR)
2000
berdasarkan
hasil
diagnosis
terhadap gejala yang dominan : 1. Skizofrenia tipe paranoid : ditandai dengan waham kejar (rasa menjadi korban atau dimata matai) atau waham kebesaran, halusinasi, dan kadang kadang keagamaan
yang
berlebihan
(fokus
waham
agama), atau perilaku agresif dan bermusuhan. 2. Skizofrenia tipe tidak terorganisir ditandai dengan afek datar atau afek yang tidak sesuai secara nyata, inkoherensi, asosiasi longgar, dan disorganisasi perilaku yang ekstrim.
15 3. Skizofrenia tipe katatonik ditandai dengan gangguan psikomotor yang nyata baik dalam bentuk tanpa gerakan atau aktifitas motorik yang berlebihan, negativism volunter
yang
yang
ekstrem,
multisme,
gerakan
aneh, ekolalia atau ekoprasia.
Imobilitas motorik dapat terlihat berupa katalepsi (flexibilitas cerea) atau stupor, aktifitas berlebihan terlihat tanpa tujuandan tidak dipengaruhi oleh stimulus eksternal. 4. Skizofrenia tipe tidak dapat dibedakan ditandai dengan gejala gejala skizofrenia campuran (atau tipe lain) disertai gangguan pikiran, afek dan perilaku. 5. Skizofrenia tipe residual ditandai dengan setidaknya satu episode skizofrenia sebelumnya tetapi saat ini tidak psikotik, menarik diri dari masyarakat, afek datar, serta asosiasi longgar. 2.1.5.
Patofisiologi Perjalanan penyakit skizofrenia dimulai dengan timbulnya gejala yang biasanya terdapat pada masa remaja atau dewasa awal sampai dengan umur pertengahan dengan melalui beberapa fase antara lain (Yosep, 2010):
16 1. Fase prodormal - Berlangsung antara 6 bulan sampai 1 tahun - Gangguan dapat berupa self care, gangguan dalam akademik, gangguan dalam pekerjaan, gangguan fungsi social, gangguan pikiran dan persepsi. 2. Fase aktif - Berlangsung kurang lebih 1 bulan. - Gangguan
dapat
berupa
gejala
psikotik,
halusinasi, delusi, disorganisasi proses berpikir, gangguan bicara, gangguan perilaku, disertai kelainan neurokimia. 3. Fase Residual Klien mengalami minimal 2 gejala; gangguan afek dan gangguan peran, serangan yang biasanya berulang ulang. 2.1.6.
Pengobatan Terapi skizofrenia memerlukan waktu relatif lama, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. dimaksudkan
untuk
menekan
sekecil
Ini
mungkin
kekambuhan (relapse) (Hawari, 2001) Terapi yang komprehensif dan holistik atau terpadu dewasa ini sudah dikembangkan sehingga
17 penderita skizofrenia tidak lagi mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih manusiawi daripada masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi terapi obat obatan anti skizofrenia (psikofarmaka), psikoterapi, terapi psikososial, dan terapi psikoreligius (Hawari. 2001). 1. Psikofarmaka Terapi medis utama untuk skizofrenia ialah psikofarmakologi
(Videback.
2008).
Psikofarmakologi ini sendiri adalah ilmu yang mempelajari
kimiawi,
mekanisme,
kerja
serta
farmakologi klinik dari psikotropika. Psikotropika adalah obat yang mempengaruhi fungsi perilaku, emosi dan pikiran yang biasa digunakan dalam bidang
psikiatri
Berdasarkan
atau
ilmu
penggunaan
kedokteran klinik
jiwa.
psikotropik
dibedakan menjadi 4 golongan yaitu antipsikosis (major tranquilizer, neuroleptik), antiansietas (minor tranquilizer),
antidepresi,
antimania
(mood
stabilizer) (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI 2007). Obat-obatan ini tidak menyembuhkan skizofrenia tapi digunakan untuk mengatasi gejala penyakit tersebut (Videback. 2008). Pengobatan
18 psikotropik juga hanya mengubah keadaan jiwa pasien
sehingga
labih
kooperatif
dan
dapat
menerima psikoterapi dengan lebih baik.
Pada
skizofrenia (dan juga gangguan jiwa lainnya) terdapat gangguan pada fungsi transmisi sinyal pengantar saraf (neurotransmitter) sel-sel susunan saraf pusat (otak) yaitu pelepasan zat dopamin dan serotonin yang mengakibatkan gangguan pada alam pikir, alam perasaan, dan perilaku. Oleh karena itu obat psikofarmaka (psikotropik) yang akan diberikan ditujukan pada gangguan fungsi neurotransmitter tadi sehingga gejala-gejala klinis dapat dihilangkan atau dengan kata lain penderita skizofrenia dapat diobati (Hawari. 2001). Adapun obat psikofarma yang ideal yaitu yang memenuhi syarat-syarat antara lain sebagai berikut : a. Dosis rendah dan efektivitas terapi dalam waktu relative singkat b. Tidak ada efek samping, kalaupun ada relatif kecil
19 c. Dapat menghilangkan dalam waktu relatif singkat baik gejala positif maupun negatif skizofrenia d. Lebih cepat memulihkan fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat) e. Tidak menyebabkan kantuk f.
Memperbaiki pola tidur
g. Tidak menyebabkan habituasi, adiksi dan dependensi h. Tidak menyebabkan lemas otot dan, kalau mungkin pemakaiannya dosis tunggal (single dose) Terapi
psikofarmaka
(psikotropik)
yang
sering digunakan dalam pengobatan skizofrenia yaitu menggunakan obat antispikotik yang dibagi dalam dua golongan yaitu golongan generasi pertama (typical) dan golongan generasi kedua (atypical) (Hawari 2001). Littrell & Littrell 1998 (dalam Videback. 2008) menjelaskan bahwa obat tipikal mengatasi tanda-tanda positif skizofrenia seperti waham, halusinasi, gangguan pikiran dan gejala psikotik lain, tetapi tidak memiliiki efek yang tampak pada tanda-tanda negatif. Obat atipikal tidak
20 hanya mengurangi gejala psikotik tetapi untuk banyak klien, obat-obatan ini juga mengurangi tanda-tanda negatif seperti tidak memiliki kemauan dan motivasi, menarik diri dari masyarakat, dan anhedonia (Videback.2001). Beberapa golongan tipikal antara lain Chlorpromazine HCL (largactil, promactil, meproseptil) dan Haloperidol (Haldol, Govotil, Serenace).sedangkan beberapa golongan atipikal antara lain: Rispridone(Risperdal, Rizodal, Noprenia) Clozapine (Clozaril). Efek samping antipsikotik signifikan dan dapat berkisar dari ketidaknyamanan ringan sampai gangguan gerakan permanen (Marder.2000, dalam Videbeck 2008). Karena banyak efek samping ini menakutkan dan mengesalkan bagi klien, efek samping tersebut sering kali menjadi alasan utama klien menghentikan dan mengurangi dosis obat. Efek samping tersebut dibagi menjadi 2 yaitu neurologis dan nonneurologis. (Videback.2008) Efek
samping
neurologis
yang
serius
meliputi efek samping ekstrapiramidal (distonia akut, akatisia, dan parkinsonisme), dikinesia Tardif, kejang
dan
sindrom
maligna
neuroleptik.
21 Sedangkan efek samping non neurologis meliputi sedasi, fotosensitivitas, dan gejala antikolinergik seperti mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, retensi urine, dan hipotensi ortostatik. Selain efek samping diatas, terdapat juga efek
samping
yang
mengakibatkan
terjadinya
penurunan atau gangguan fungsi seksual yang didapatkan
ketika
menggunakan
obat
obatan
psikotropika. Terdapat beberapa obat obatan dari golongan
antipsikotik
tipikal
dan
atipikal
mengakibatkan efek samping pada fungsi seksual. CPZ mempunyai efek samping terhadap system reproduksi
yaitu
pada
wanita
dapat
terjadi
amenorea, galaktorea, dan peningkatan libido, sedangkan pada pria dilaporkan adanya penurunan libido dan ginekomastia. Efek samping ini terjadi karena efek sekunder dari hambatan reseptor dopamine yang menyebabkan hiperprolaktinemia, serta kemungkinan adanya peningkatan perubahan androgen menjadi estrogen di perifer (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007).
22 2. Psikoterapi Terapi
kejiwaan
atau
psikoterapi
pada
penderita skizofrenia baru dapat diberikan apabila penderita dengan terapi psikofarmaka diatas sudah mencapai tahapan dimana kemampuan menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA) sudah kembali pulih dan pemahaman diri (insight) sudah baik. Psikoterapi
diberikan
penderita
masih
dengan tetap
catatan
bahwa
mendapat
terapi
psikofarmaka. Terapi ini banyak macam ragamnya tergantung dari kebutuhan dan latar belakang penderita sebelum sakit seperti: psikoterapi suportif, psikoterapi re-edukatif, psikoterapi re-konstruksi, psikoterapi
kognitif,
psikoterapi
psikoterapi
perilaku
dan
psiko-dinamik,
psikoterapi
keluarga
(Hawari.2001) 3. Terapi Psikososial Salah satu dampak dari gangguan jiwa skizofrenia
adalah
terganggunya
fungsi
sosial
penderita, atau Hendaya (impairment). Hendaya ini terjadi dalam bidang fungsi rutin kehidupan sehari hari, seperti dalam bidang studi (sekolah/kuliah), pekerjaan, hubungan sosial dan perawatan diri.
23 Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi kembali dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Penderita selama menjalani terapi psikososial
ini
hendaknya
masih
tetap
mengkonsumsi obat psikofarmaka sebagaimana juga halnya waktu menjalani psikoterapi. Kepada penderita diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan kesibukan dan bayak
bergaul
(silahturahmi/sosialisasi)
(Hawari.2001) 4. Terapi Psikoreligius Terapi keagamaan (psikoreligius) terhadap penderita skizofrenia ternyata mempunyai manfaat. Terapi keagamaan yang dimaksud adalah berupa kagiatan ritual keagamaan seperti berdoa, puji pujian, ceramah keagamaan, kajian kitab suci dan sebagainya. Pemahaman dan penafsiran yang salah terhadap agama dapat mencetuskan terjadinya
24 gangguan jiwa skizofrenia, yang dapat diamati dengan adanya gejala gejala waham (delusi) keagamaan atau jalam pikiran patologis dengan pola
sentral
psikoreligius ini
keagamaan.
Dengan
terapi
gejala patologis dengan pola
sentral keagamaan tadi dapat diluruskan, dengan demikian keyakinan atau keimanan penderita dapat dipulihkan kembali di jalan yang benar. (Hawari 2001) 2.2. Kebutuhan Seksualitas 2.2.1
Pengertian Seksualitas dalam arti yang luas ialah semua aspek badaniah. Seksualitas adalah keinginan untuk berhubungan, termasuk
kehangatan,
didalamnya
bergandengan
tangan.
kemesraan memandang,
(Yosep.
2010).
dan
cinta,
berbicara, Sexuality
(seksualitas) merupakan keadaan jasmani individu dalam kaitannya dengan sikap atau aktivitas seksual. (Dorland 1998, Ed.28) Seksualitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005, adalah ciri, sifat, atau peranan
seks,
dorongan
seks,
kehidupan
seks.
Kehangatan adalah perihal hangat atau keadaan
25 gembira (KBBI. 2005). Kemesraan hal yang bersifat mesra, mesra yaitu lekat dan sangat erat (KBBI. 2005). 2.2.2 Konsep tentang Seksualitas Seksualitas adalah istilah yang lebih luas diekspresikan melalui interaksi dan hubungan dengan individu dari jenis kelamin yang berbeda dan/atau sama dan mencakup pikiran, pengalaman, pelajaran, ideal, nilai, fantasi, dan emosi (Potter & Perry 2005). Seksualitas
berhubungan
dengan
bagaimana
seseorang merasa tentang diri mereka dan bagaimana mereka mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada orang lain melalui tindakan yang dilakukannya, seperti sentuhan, ciuman, pelukan, dan senggama seksual, dan melalui perilaku yang lebih halus, seperti isyarat gerak tubuh, etiket berpakaian, dan perbendaharaan kata (Denney & Quadagno, 1992; Zawid 1994, dalam Potter & Perry, 2005). Menurut Maslow jika kebutuhan akan rasa aman telah terpenuhi, maka munculah kebutuhan akan cinta kasih sayang dan rasa memiliki-dimiliki selanjutnya orang akan mendambakan hubungan penuh kasih sayang dengan orang lain pada umumnya. Biasanya tingkah laku seksual ditentukan oleh banyak kebutuhan
26 bukan hanya kebutuhan seksual melainkan juga oleh aneka kebutuhan lain yang utama diantaranya adalah kebutuhan akan cinta dan kebutuhan akan kasih sayang (Goble, 1971). Jadi pada manusia seksualitas dapat dipandang sebagai pencetus dari hubungan antarindividu, dimana daya tarik rohaniah dan badaniah (Psikofisik) menjadi dasar kehidupan bersama antar dua insan. Dengan demikian dalam hubungan seksual tidak hanya alat kelamin dan daerah erogen (mudah terangsang) yang ikut berperan tetapi juga psikologis dan emosi (Irianto. 2010).
2.2.3 Dorongan Seksual Dorongan seksual, seperti dorongan lain pada manusia, merupakan kejadian yang normal dan atau netral.
Tergantung
bagaimana
caranya
manusia
menyalurkan dorongan tersebut. menurut Irianto (2010), dorongan atau keinginan untuk
bersetubuh atau
bersenggama (koitus) disebut libido seksualis (nafsu birahi / syahwat). Hasrat pemenuhan seksual adalah yang paling kuat
diantara
terdorong
oleh
semua
keinginan
keinginan
ini,
manusia. manusia
Kalau bisa
27 mengembangkan
imajinasi
yang
paling
tajam,
keberanian, kekuatan, kemauan, ketekunan dan semua kemampuan kreatif yang tidak mereka ketahui pada saat saat lainnya. Demikian kuat dan berpengaruhnya keinginan untuk pemuasan seksual sehingga manusia begitu berani mempertaruhkan jiwa dan reputasi untuk memenuhinya. Emosi seks adalah “daya yang tidak tertahankan”
dan
tidak
ada
satupun
yang
bisa
melawannya. Emosi ini bisa ditekan dan dikendalikan untuk
sementara
waktu,
tetapi
sifatnya
sendiri
menyebabkan emosi ini terus mencari sarana ekspresi. Kalau tidak ditaransmutasikan kedalam suatu upaya kreatif, emosi seksual akan menemukan penyaluran yang tidak begitu pantas. Kalau terdorong oleh emosi ini maka seorang pria bisa memiliki kekuatan super untuk melakukan tindakan (Yosep. 2010) 2.2.4 Tahapan Pelaksanaan Hubungan Seks Dalam melakukan hubungan seks, terdapat tahapan tahapan dalam pelaksanaannya. Menurut Yosep (2010) 4 tahapan berhubungan seks adalah : 1. Tingkat
1
(perangsangan)
ditimbulkan
oleh
rangsangan psikologik (fantasi, kehadiran objek cinta) atau rangsaan faaliah (usapan, kecupan)
28 atau gabungan keduanya. Terjadilah ereksi pada pria dan lubrikasi (pelumasan lendir) vaginal, keduanya dalam waktu 10 detik sejak rangsangan efektif dimulai. Puting susu menjadi tegang, seperti pada wanita. Klitoris menjadi keras dan bengkak serta labia mayora dan minora menjadi tebal. Fase perangsangan dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam. 2. Tingkat 2 (dataran) bila rangsangan berlangsung terus, testis menjadi lebih besar 50 % dan terangkat. mengecil.
Sepertiga Klitoris
bagian
terangkat
bawah dan
vagina
masuk
ke
belakang simfisis pubis sehingga tidak mudah dicapai. Payudara wanita bertambah besar 25 %. Fase
dataran
berlangsung
30
detik
sampai
beberapa menit. 3. Tingkat 3 (orgasme). Pada saat dilakukanya hubungan seks terjadi yang namanya penetrasi. Kedua kelamin laki laki dan perempuan bertemu dan terjadilah yang namanya coitus. Dalam coitus ini intensitas gerakan semakin bertambah secara teratur, ke dalam dan keluar yang akan menambah sering tingkat gesekan penis ke dinding vagina,
29 yang akan menyampaikan proses pemanasan kepada puncaknya yaitu orgasme (Abdurrahman. 2011). Pada pria orgasme timbul sebagai “reflek bersin” yang tidak dapat ditahan dan diikuti dengan penyemprotan sperma. Terjadi 4-5 kali spasme ritmik
pada
prostat,
vesika,
seminalis,
vas
defefrens dan uretra dalam interval 0,8 detik. Pada wanita
terjadi
kali
3-12
kontraksi
“pangung
orgasmik” dan uterus berkontraksi secara tetanik yang terjadi dari fundus ke seviks dengan interval 0,8 detik. Timbul kontraksi involunter pada sfinkter ani internal dan eksternal. Terdapat juga gerakan gerekan volunteer dan involunter pada kelompok otot besar, termasuk otot muka dan spasme karpopedal. Tekanan darah naik dengan 20-40 mm (sistolik dan diastolik)
dan denyutan jantung
mmeningkat sampai dengan 120-160 per menit. Orgasme
berlangsung
3-15
detik
dengan
kesadaran yang sedikit berkabut. 4. Tingkat 4 (resolusi). Dalam fase penyelesaian atau resolusi terjadi pengaliran darah ke luar dari genitalia
sehingga
badan
kembali
kedalam
30 keadaan istirahat. Jika terjadi orgasme, maka resolusi
cepat,
jika
tidak
maka
resolusi
berlangsung 2-4 jam dengan rasa nyeri pada genitalia dan iritabilitas. Resolusi yang berhasil pada kedua sex ditandai dengan perasaan sejahtera, senang, dan lega serta reaksi pengeluaran keringat diseluruh badan. Sesudah
orgasme
pria
mengalami
periode
refrakter selama beberapa menit sampai berjamjam lamanya. Selama masa ini tidak dapat diranggsang untuk orgasme lagi. Periode refrakter bertambah panjang dengan bertambahnya usia. Pada wanita tidak terdapat periode refrakter, sehingga wanita mampu mencapai 20 sampai 30 orgasme bila rangsangan berlangsung terus.