Bab II Tinjauan Pustaka
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab sebelumnya telah dibahas mengenai latar belakang, tujuan, manfaat , pembatasan masalah dan sistematika dalam penulisan Tugas Akhir ini. Dalam bab ini akan dibahas mengenai beberapa teori yang menjadi landasan atau dasar dalam penyusunan Tugas Akhir ini. Dalam pembahasan bab ini nantinya diharapkan bisa memudahkan untuk pembahasan bab bab selanjutnya, dan dalam penyusunan tugas akhir ini mengarah kepada analisis stabilitas bendung.
2.1
Bendung Dalam Standar Tata Cara Perencanaan Umum Bendung, yang diartikan
dengan bendung adalah bangunan air dengan kelengkapan yang dibangun melintang sungai atau sudetan yang sengaja dibuat untuk meninggikan taraf muka air atau untuk mendapatkan tinggi terjun, sehingga air dapat disadap dan dialirkan secara gravitasi ke tempat yang membutuhkannya. (Erman: 2002) Berdasarkan fungsinya, bendung dapat dikategorikan atau diklasifikasikan dalam bendung pembangi banjir, bendung penahan pasang, bendung penyadap dan bendung pelimpah. Selain itu tergantung dari strukturnya bendung dapat diklasifikasikan dalam bendung tetap dan bendung gerak.
2.1.1
Klasifikasi Bendung Berdasarkan Fungsi
Menurut Erman (2002), Klasifikasi Bendung Berdasarkan Fungsi dibagi menjadi : II-1 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
a. Bendung Pembagi Banjir Bendung pembagi banjir adalah bendung yang dibangun di percabangan sungai untuk mengatur muka air sungai, sehingga terjadi pemisahan antara debit banjir dan debit rendah sesuai dengan kapasitasnya. b. Bendung Penyadap Bendung penyadap adalah bendung yang digunakan sebagai penyadap aliran sungai untuk berbagai keperluan seperti untuk irigasi, air baku dan sebagainya. c. Bendung Penahan Pasang Bendung penahan pasang adalah bendung yang dibangun di bagian sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut untuk mencegah masuknya air asin. d. Bendung Pelimpah Bendung pelimpah adalah bangunan bendung yang dibangun melintang sungai yang akan memberikan elevasi air minimum agar air tersebut bias dielakkan.
2.1.2
Klasifikasi Bendung Berdasarkan Konstruksi
Menurut Erman (2002), Klasifikasi Bendung Berdasarkan Konstruksi di bagi menjadi : a. Bendung Tetap Bendung tetap adalah bendung yang terdiri dari ambang tetap, sehingga tinggi rendah muka air sungai dan debit air sungai tidak dapat diatur elevasinya. II-2 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
b. Bendung Gerak Bendung gerak adalah bendung yang dipergunakan untuk mengatur tinggi rendah debit air sungai dengan pembukaan pintu-pintu sesuai dengan kebutuhan debit air yang akan dialirkan. c. Bendung karet Bendung karet adalah bendung gerak horizontal yang mengatur muka air dengan mengebangkan dan mengempiskan tubuh bendung yang terbuat dari tabung karet yang berisi udara atau air.
2.1.3
Komponen Pada Bendung
Menurut Erman (2002) bagian pada bangunan bendung di bagi menjadi: a. Tubuh Bendung Tubuh bendung adalah ambang tetap yang diletakkan kurang lebih tegak lurus arah aliran sungai dan berfungsi untuk meninggikan taraf muka air sungai. b. Mercu Bendung Mercu bendung adalah bagian teratas dari tubuh bendung dimana aliran dari hulu dapat mengalir atau melimpah ke hilir dan berfungsi sebagai penentu tinggi muka air minimum di sungai bagian hulu bendung, sebagai pengepang sungai dan sebagai pelimpah aliran air. Dalam buku KP-02 (1986) Di Indonesia pada umumnya digunakan dua tipe mercu untuk bendung pelimpah: tipe Ogee dan tipe bulat. II-3 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
b.1 Mercu Ogee Mercu Ogee berbentuk tirai luapan bawah dari bendung ambang tajam aerasi. Oleh karena itu mercu ini tidak akan memberikan takanan subatmosfer pada permukaan mercu sewaktu bendung mengalirkan air pada debit rencana. Untuk debit yang lebih rendah air akan memberikan tekanan ke bawah pada mercu (KP-02 Dirjen Pengairan: 1986). b.2 Mercu Bulat Bendung dengan mercu bulat memiliki koefisien debit yang jauh lebih tinggi ( 44% ) dibanding dengan koefisien bendung ambang lebar (KP-02 Dirjen Pengairan: 1986).
Gambar 2.1 Bentuk-bentuk mercu (KP-02 Dirjen Pengairan: 1986) c. Bangunan Pembilas Bangunan pembilas adalah salah satu perlengkapan pokok bendung yang terletak di dekat dan menjadi satu kesatuan dengan intake. Berfungsi
II-4 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
untuk menghindarkan angkutan muatan sedimen dasar dan mengurangi angkutan muatan sedimen layang masuk ke intake. d. Bangunan Intake Bangunan intake adalah suatu bangunan pada bendung yang berfungsi sebagai penyadap aliran sungai, mengatur pemasukan air dan sedimen serta menghindarkan sedimen dasar sungai dan sampah masuk ke intake. Terletak di bagian sisi bendung, di tembok pangkal dan merupakan satu kesatuan dengan bangunan pembilas. e. Tembok Pangkal Tembok pangkal adalah suatu bangunan pelengkap pada bendung yang berfungsi sebagai penahan tanah, pencegah rembesan samping pangkal jembatan, pengarah aliran dari udik dan sebagai batas bruto bendung yang terletak di kedua pangkal tubuh bendung yang umumnya dibuat dengan bentuk tegak.
2.2
DAS ( Daerah Aliran Sungai ) Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi oleh punggung –
punggung / pegunungan dimana air hujan yang jatuh didaerah tersebut akan mengalir menuju sungai utama pada suatu titik / stasiun yang ditinjau. DAS ditentukan dengan menggunakan peta topografi yang dilengkapi dengan garis – garis kontur. Limpasan berasal dari titik – titik tertinggi dan bergerak menuju titik – titik yang lebih rendah dalam arah tegak lurus dengan garis – garis kontur. Daerah yang dibatasi oleh garis yang menghubungkan titik – titik tertinggi tersebut adalah DAS. Gambar 2.3 menunjukkan contoh bentuk DAS. Dalam II-5 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
gambar tersebut ditunjukkan pula penampang pada keliling DAS. Garis yang mengelilingi DAS tersebut merupakan titik – titik tertinggi. Air hujan yang jatuh didalam DAS akan mengalir menuju sungai utama yang ditinjau, sedang yang jatuh diluar DAS akan mengalir ke sungai lain disebelahnya. Luas DAS diperkirakan dengan mengukur daerah itu pada peta topografi. Luas DAS sangat berpengaruh terhadap debit sungai. Semakin besar DAS semakin besar jumlah limpasan permukaan sehingga semakin besar pula aliran permukaan atau Debit sungai. (Triatmodjo: 2008)
2.2.1
Panjang Sungai Panjang sungai diukur pada peta. Dalam memperkirakan panjang suatu segmen sungai disarankan untuk mengukurnya beberapa kali dan kemudian dihitung panjang reratanya. Panjang sungai adalah panjang yang diukur sepanjang sungai, dari stasiun yang ditinjau atau muara sungai sampai ujung hulunya. Sungai utama adalah sungai terbesar pada daerah tangkapan dan yang membawa aliran menuju muara sungai.
II-6 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Gambar 2.2 Daerah aliran sungai (DAS) Pengukuran panjang sungai dan panjang DAS penting dalam analisis aliran limpasan dan debit aliran sungai. Panjang DAS L adalah panjang maksimum sepanjang sungai utama dari stasiun yang ditinjau ( atau muara ) ke titik terjauh dari batas DAS. Panjang pusat berat Lc adalah panjang sungai yang diukur sepanjang sungai dari stasiun yang ditinjau sampai titik terdekat dengan titik berat daerah aliran sungai. Pusat berat DAS adalah pusat berat titik perpotongan dari dua atau lebih garis lurus yang membagi DAS menjadi dua DAS yang kira – kira sama besar. (Triatmodjo: 2008) Gambar 2.4 menunjukkan panjang sungai.
Gambar 2.3 Panjang sungai
II-7 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
2.3
Intensitas Curah Hujan Menurut Joesron (1987), dalam menentukan debit banjir rencana (Design
Flood), perlu didapatkan harga sesuatu intensitas curah hujan terutama bila dipergunakan metoda ratio. intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu dimana air tersebut berkonsentrasi. Analisa intensitas curah hujan ini dapat diproses dari data curah hujan yang telah terjadi pada masa lampau. Intensitas curah hujan dinotasikan dengan huruf I dengan satuan (mm/jam), yang artinya tinggi curah hujan yang terjadi sekian mm dalam kurun waktu perjam. Intensitas curah hujan umumnya dihubungkan dengan kejadian dan lamanya (duration) hujan turun, yang disebut Intensitas Duration Frequency (IDF). Oleh karena itu diperlukan data curah hujan jangka pendek, misalnya 5 menit, 30 menit, 60 menit dan jam-jaman. Data curah hujan jangka pendek ini hanya didapatkan dari data pengamatan curah hujan otomatik dari kertas diagram yang terdapat pada peralatan tersebut. Seandainya data curah hujan yang ada hanya Curah Hujan Harian, maka oleh Dr. Mononobe dirumuskan
intensitas curah
hujannya sebagai berikut : I=
(
…………………………………………………(2.1)
Dimana : I
= Intensitas Curah Hujan (mm/jam)
t
= Lamanya Curah Hujan (jam)
R24
= Curah Hujan maksimum dalam 24 jam (24)
II-8 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
2.3.1 Perkiraan Hidrograp Larian Secara Empiris Menurut Joesron (1987), salah satu masalah penting dalam analisa hidrologi adalah perkiraan hidrograp larian untuk suatu daerah aliran jika diketahui hujan dan kondisi hidrologinya. Hidrograp larian biasanya diggambarkan oleh hubungan antara debit aliran (m³/det) dan waktu kejadiannya. Ada tiga cara yang berbeda dalam menentukan tinggi curah hujan rerata daerah dari pengamatan curah hujan dibeberapa titik stasiun penakar atau pencatat adalah sebagai berikut (Joesron:1987) : a. Cara Arithmatic Mean : =
………………………………....(2.2)
Dengan
adalah rata-rata curah hujan, n adalah banyaknya stasiun
hujan, dan R1,.....Rn adalah besarnya curah hujan pada masing-masing stasiun. b.
Cara Poligon Thiessen =
Dengan
……………………....................(2.3) adalah besarnya curah hujan pada masing-masing stasiun, n
dan m adalalah banyaknya stasiun hujan, A adalah luas basin atau daerah adalah luas wilayah polygon tertutup.
penampung , dan c. Cara Garis isohyet =
…………………………............(2.4)
II-9 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Dengan
n-1 adalah besarnya curah hujan pada masing-masing stasiun, t
adalah volume hujan pada jalur isohyets.
n-1 luas wilayah isohyets
dengan mengunakan alat ukur planimeter. 2.3.2 Membangkitkan Data Sintetik Salah satu masalah yang umum dihadapi oleh para hidrologiwan, termasuk di Indonesia adalah kekurangan data, misalnya dalam analisis peluang, dari suatu banjir ataupun kekeringan, datanya masih sangat terbatas. Dengan hanya menggunakan data dari deret berkala yang rekaman datanya hanya menghasilkan 15 atau 25 buah data debit puncak banjir, maka jelas kurang sesuai untuk memperkirakan debit puncak banjir yang harus meliputi periode ulang 100 tahun. Dengan keadaan data yang sangat terbatas, maka diperlukan cara untuk memperoleh rekaman data yang lebih banyak jumlahnya. Dengan menerapkan cara membangkitkan (generating techniques), (ada pula yang menyebut cara menangkarkan) maka akan diperoleh data deret berkala buatan (artificially generating time series). Ada pula yang menyebut data sintetik ( synthetic data generating ). Agar jangan dicampur adukkan dengan istilah data simulasi (simulated data), yaitu data keluaran sebuah perhitungan model, meskipun data sintetik dapat sebagai data masukan model. Maksud dari pada mendapatkan deret berkala buatan adalah untuk memperpanjang rekaman data sehingga mempunyai beberapa alternatif dalam hal analisis teknis maupun ekonomis dari suatu proyek sumber daya air. Pada dasarnya deret berkala buatan dapat dianggap sebagai sampel dari II-10 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
suatu populasi. Dalam hal ini data historis runtut waktu hasil pengamatan lapangan dianggap sebagai populasi. Sembarang deret berkala dapat mengandung beberapa unsur, yaitu: trend, periodik, stokastik. Komponen trend dan periodik mempunyai sifat pasti (deterministic), oleh karena tidak tergantung waktu. Komponen stokastik (stochastic) mempunyai sifat stasioner dan tergantung waktu. Mempunyai sifat stasioner berarti sifat statistik dari sampel tidak berbeda dengan sifat statistik populasinya. Unsur stokastik dapat mengandung unsur acak dan korelasi / dapat pula tidak. Mengandung unsur korelasi berarti tiap nilai dalam deret berkala dipengaruhi oleh nilai yang terjadi sebelumnya. Misalnya debit sungai disuatu pos duga air yang terjadi hari ini besarnya dipengaruhi oleh debit yang terjadi kemarin dan mungkin dipengaruhi oleh debit yang terjadi hari – hari sebelumnya. Oleh karena itu pada unsur stokastik, unsur acak dan korelasi harus dipisahkan dan dinilai. Metode stokastik yang digunakan dalam membangkitkan deret berkala buatan atas dasar pertambahan waktu tahunan. Banyak metode yang dapat digunakan, akan tetapi hanya akan disajikan 2 (dua) metode, yaitu : 1. Penggunaan tabel bilangan acak 2. Penggunaan proses markov Perhitungan dalam penggunaan kedua metode tersebut dapat dengan kalkulator, tanpa harus dengan program komputer, sedangkan metode lainnya perlu menggunakan program komputer. Perbedaan anggapan dalam menggunakan kedua methode tersebut adalah :
II-11 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
a) Penggunaan tabel bilangan acak, berarti bahwa tiap nilai dalam rangkaian deret berkala buatan tidak tergantung nilai sebelumnya. Oleh karena itu sampel yang diperoleh mempunyai sifat acak. Disarankan untuk digunakan dalam membangkitkan deret berkala buatan dari data yang nilainya terbesar atau terkecil, misal debit puncak banjir terbesar atau debit minimum terkecil. b) Proses markov merupakan suatu proses dimana setiap peristiwa hanya tergantung pada kejadian yang mendahuluinya. Penggunaan proses Markov mempunyai arti bahwa tiap nilai dalam rangkaian deret berkala buatan tergantung secara langsung dengan nilai yang terjadi sebelumnya. Deret berkala dari rangkaian data dengan pertambahan waktu tahunan dapat dipandang sebagai rangkaian data dari suatu variabel bebas atau dapat pula dipandang sebagai rangkaian data stokastik, oleh karena itu untuk membangkitkan data deret berkala buatan data tahunan misal volume aliran tahunan, debit puncak banjir tahunan, dapat menggunakan tabel bilangan acak atau proses Markov. Rangkaian data deret berkala dengan pertambahan waktu bulanan tidak dapat dipandang sebagai variabel bebas, misal, debit bulan ini, besarnya sangat tergantung dari debit bulan yang lalu, bahkan mungkin bulan – bulan sebelumnya, oleh karena itu untuk membangkitkan data deret berkala buatan data bulanan sebaiknya digunakan proses Markov, tidak dengan tabel bilangan acak.
II-12 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
2.4
Debit Banjir rencana merupakan debit maksimum di sebuah sungai atau saluran
alami dengan periode ulang rata – rata yang sudah ditentukan dan dapat dialirkan tanpa membahayakan proyek irigasi dan stabilitas bangunan – bangunan. Untuk menghitung debit rencana data – data yang diperlukan adalah : a. Luas daerah pada peta b. Panjang sungai pada peta c. Elevasi sungai tertinggi d. Elevasi sungai terendah Menghitung Luas daerah tangkapan sungai catchment area dengan methode elips. Variasi curah hujan ditiap daerah diperkirakan berbentuk elips, untuk menentukan luas daerah hujan disuatu daerah aliran sungai, sebuah elips digambar mengelilingi batas – batas daerah aliran sungai. As yang pendek sekurang – kurangnya 2/3 dari As panjang. Garis elips tersebut mungkin memintas ujung daerah pengaliran yang memanjang. Daerah elips F diambil untuk menentukan harga βq untuk luas daerah aliran sungai A. Luas ellips adalah F = (π/4) x a x b
………………………………………………................(2.5)
Dalam hal ini : F
= luas ellips, km2
a
= sumbu terpanjang, km
b
= sumbu terpendek, km
Methode yang dipakai dalam perhitungan debit banjir rencana adalah : a. Methode Weduwen
II-13 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Menghitung debit banjir pada suatu sungai dengan metode weduwen dibutuhkan data curah hujan, luas cathment area, panjang sungai, elevasi tempat bendung dan titik sepanjang cathcment area untuk beda tinggi. (Joesron: 1987) Rumus : Qn = Mn . F.q’.
R70 240
.....................................................(2.6)
p = periode pengamatan curah hujan sehari-semalam n = indeks untuk
Tabel 2.1 Harga pengaliran maksimum daerah luasan 0-100 KM² (Perencanaan Saluran, Dirjen Pengairan: 1972) / n/p 1/5 Tahun 1/4 Tahun 1/3 Tahun 1/2 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5 Tahun 10 Tahun 20 Tahun 30 Tahun 40 Tahun 50 Tahun 60 Tahun 70 Tahun 80 Tahun 90 Tahun 100 Tahun
0,238 0,262 0,291 0,336 0,410 0,492 0,541 0,579 0,602 0,705 0,811 0,875 0,915 0,948 0,975 1,00 1,02 1,03 1,05
Dalam hal ini : Qn = Debit maksimum untuk periode ulang n tahun Mn = koefisien tergantung dari periode yang ditetapkan sebagai periode ulang F = luas daerah pengaliran (km2) / DAS q’ = α.β.q = debit dalam (m3/det/km2) dengan curah hujan maksimum 240 II-14 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
R70 = curah hujan maksimum selama 70 tahun 5 6 RII RI R70 = = Mp Mp ……………………….……….....................(2.7) Dalam hal ini: RI = curah hujan maksimum pertama RII = curah hujan maksimum kedua Mp = koefisien selama periode tertentu (banyak data = p tahun) Mn = koefisien yang tergantung pada periode yang ditetapkan (untuk n = 70 tahun, Mn=1) Q70 = F . q .
R70 ……………………………………....................(2.8) 240
b. Methode FSR Jawa – Sumatra Suatu cara yang sederhana untuk memperkirakan puncak banjir rencana telah dihasilkan oleh suatu studi selama 2 tahun dari team gabungan yang terdiri dari staf Direktorat Penyelidikan Masalah Air dan Staf Institute of Hydrology. Dengan menggunakan metode FSR Jawa-Sumatra perkiraan banjir dengan ini memberikan hasil yang baik.(Joesron,1987) Rumus : MAF = 8 x 106 x AREAv x APBAR2.445x SIMS0.117x (1 + LAKE)0.85...(2.9) Dalam hal ini : MAF
= Mean Annual Flood (debit banjir tahunan rata-rata tahunan)
ARSA
= Daerah Aliran Sungai (km2)
V
= 1.02 – 0.0275 log AREA
APBAR = Hujan maksimum rata-rata tahunan yang mewakili DAS II-15 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
= PBAR x ARF PBAR
= Hujan terpusat maksimum rata-rata tahunan selama 24 jam
ARF
= faktor reduksi ( lihat tabel )
SIMS
= Indeks kemiringan ( m/km ) = H / MSL
H
= Beda ketinggian antara pengamatan dan ujung sungai yang tertinggi
MSL
= Jarak terbesar dari tempat pengamatan sampai batas terjauh di daerah aliran sepanjang sungai.
LAKE
= Indeks danau, jika tadak terdapat danau di ambil nol Tabel 2.2 Faktor reduksi areal AFR (Joesron:1987) Luas DAS ( KM2 )
ARF
1 – 10
0.99
10 – 30
0.97
30 – 30000
1.152 – 0.1233 log AREA
Sehingga debit puncaknya digunakan rumus : QT = GF(T.AREA) x MAF
………………………………………..(2.10)
Dalam hal ini : QT = Debit banjir dengan periode T tahun GF = Grown Factor ( Tabel 2.3 ) MAF = Mean Annual Flood
II-16 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 2.3 Grown Factor ( GF ) (Joesron:1987) Return
Catchment Area
Periode
< 180
300
600
900
1200
5
1.28
1.27
1.27
1.22
1.19
1.17
10
1.56
1.54
1.48
1.44
1.41
1.37
20
1.88
1.84
1.78
1.70
1.64
1.59
50
2.35
2.30
2.18
2.10
2.03
1.95
100
2.78
2.72
2.57
2.47
2.37
2.27
2.5
>1500
Keamanan Bangunan Terhadap Bahaya Piping Piping merupakan rembesan yang terjadi akibat perbedaan muka air di hulu
dengan di hilir sehingga menyebabkan tekanan air dan terangkutnya butir-butir tanah halus. Bahaya dari piping adalah dapat mengakibatkan tergangunya stabilitas bendung. (Christady: 2002) Dengan adanya erosi bawah tanah, dapat mengakibatkan terjadinya ronggarongga di bawah pondasi sehingga dapat menyebabkan pondasi bangunan mengalami penurunan. Untuk mempermudah pengecekan bangunan-bangunan utama agar dapat mengetahui adanya erosi bawah tanah, metode Lane atau yang biasa disebut metode angka rembesan Lane dapat digunakan agar memberikan hasil yang aman dan mudah dipakai. digunakan rumus: Lw=
+∑LV.............................................................2.11)
II-17 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
1-2 = LV 3-4 = LV 5-6 = LV 7-8 = LV 9-10 = LV 11-12 = LV 13-14 = LV 15-16 = LV 17-18 = LV 19-20 = LV 21-22 = LV 23-24 = LV 25-26 = LV
2-3 = LH 4-5 = LH 6-7 = LH 8-9 = LH 10-11 = LH 12-13 = LH 14-15 = LH 16-17 = LH 18-19 = LH 20-21 = LH 22-23 = LH 24-25 = LH 26-27 = LH
27-28 = LV Lx = panjang bidang kotak pada bendung dari udik sampai x LH = panjang bidang horizontal LV = panjang bidang vertikal Px = gaya angkat pada x
Gambar 2.4 Titik-titik Yang Dilalui Rembesan di mana : Lw
= weighted-creep-distance (m)
Lh
= jumlah jarak horizontal menurut lintasan terpendek (m)
Lv
= jumlah jarak vertikal menurut lintasan terpendek (m)
WCR =
……………..…………………………(2.12)
dengan : WCR
= weighted creep ratio
H1
= Tinggi muka air di hulu (m)
H2
= Tinggi muka air di hilir (m) II-18 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Gambar 2.5 Metode angka rembesan lane (KP-02 Dirjen Pengairan:1986) Tabel 2.4 Harga minimum angka rembesan Lane (KP-02 Dirjen Pengairan:1986)
Dalam
Standar Perencanaan Irigasi KP-02 (1986), bahwa angka-angka
rembesan di Tabel 2.4 tersebut di atas sebaiknya dipakai : 1. 100 % jika tidak dipakai pembuang, tidak dibuat jaringan aliran dan tidak dilakukan penyelidikan dengan model; 2. 80 % kalau ada pembuangan air, tapi tidak ada penyelidikan maupun jaringan aliran; 3. 70 % bila semua bagian tercakup
II-19 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
2.6
Gaya-Gaya Yang Bekerja Pada Bendung Gaya maupun berat yang bekerja pada bangunan bendung yang juga dapat
mempengaruhi stabilitas bangunan bendung adalah seperti yang terlihat pada Gambar 2.4 berikut :
muka air banjir +103.42
H +102.20 +101.72
W Ps
Hu1
Hu2 lpr
MT
G
1
Hd
1
MG
0.40
300.00
+ 96.77
Pa
Pp titik guling
U
Gambar 2.6 Gaya yang bekerja pada bendung di mana : ΔH
= Tinggi bangunan dari muka air banjir (m)
Hu1
= Tekanan air normal di hulu bendung (m)
Hu2
= Tekanan air setinggi muka air banjir desain di hulu
bendung (KN) W
= Berat air yang membebani bangunan (KN)
G
= Berat bangunan itu sendiri (KN)
Hd
= Tekanan air pasif di hilir bendung (KN)
Pa
= Tekanan tanah aktif (KN) Pp
= Tekanan tanah pasif (KN) II-20 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
U
= Gaya angkat ke atas / tekanan air dibawah bangunan
(uplift) (KN) Ps
= Tekanan lumpur (KN)
lpr
= Berat lumpur yang membebani bangunan (KN)
MT = Momen tahan (KN.m) MG = Momen guling (KN.m) 2.6.1 Tekanan Air a.
Gaya hidrostatis
Gaya tekan air atau gaya hidrostatis adalah gaya horizontal akibat air di hulu dan hilir bendung. Tekanan air merupakan fungsi kedalaman di bawah permukaan air, dan bekerja tegak lurus terhadap muka bangunan. (Prastumi: 2008) = ½x
x h ² ……………………………………………(2.13) di mana : 1 = Tekanan air hidrostatis di hulu (KN) = Berat jenis air (KN/m³) h
= kedalam air di hulu (m)
Gambar 2.7 Gaya tekanan air (Prastumi: 2008)
II-21 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
b. Gaya tekan ke atas Akibat bangunan bendung terendam di air, maka akan mendapatkan gaya angkat ke atas yang akan mengurangi berat efektif bangunan itu sendiri. (Prastumi: 2008), rumus yang dapat digunakan yaitu : Wu
= c γb [ h2 + ½ ξ (h1 + h2)] A
……………………(2.14)
di mana : c
= Proporsi luas dimana tekanan hidrostatik bekerja ( c =1,
untuk semua bentuk pondasi) = Berat jenis air, KN/m³ h1
= Kedalaman air di hulu, m
h2
= Kedalaman air di hilir, m
ξ
= Proporsi tekanan (Tabel 2.5)
A
= Luas dasar, m²
Wu
= Gaya tekan ke atas, KN
Gambar 2.8 Gaya angkat untuk bangunan pada pondasi buatan (KP-02 Dirjen Pengairan:1986)
II-22 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 2.5 Harga-harga ξ (KP-02 Dirjen Pengairan:1986)
Gambar 2.9 Gaya angkat pada pondasi bendung (KP-02 Dirjen Pengairan:1986) Dalam teori lane, bidang horizontal memiliki daya tahan terhadap aliran (rembesan) 3 kali lebih lemah dibandingkan dengan bidang vertikal. Untuk menghitung gaya tekan ke atas dapat dilakukan dengan cara membagi beda tinggi pada bendung sesuai dengan panjang relatif di sepanjang pondasi. (KP-02 Dirjen Pengairan:1986) Dalam Standar Perencanaan Irigasi KP-02 (1986), gaya angkat pada titik x di sepanjang dasar bendung dapat dirumuskan sebagai berikut :
II-23 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Lx Px = Hx - ----- H L di mana :
................................................. (2.15)
Px
= gaya angkat pada x , kg/m2
L
= panjang total bidang kontak bangunan dan tanah bawah, m
Lx
= panjang bidang kontak dari hulu sampai x, m
H
= beda tinggi energi di hulu dan di hilir, m
Hx
= tinggi energi di hulu bendung, m.
Di mana L dan Lx adalah jarak relatif yang dihitung menurut cara Lane umumnya Bidang yang membentuk sudut 45° atau lebih terhadap bidang horisontal, dianggap vertikal. 2.6.2
Berat Sendiri Bendung Hitungan berat sendiri bangunan yaitu bagian yang dihitung hanya tubuh
bendung saja, dan selanjutnya dibagi dalam bentuk tertentu. Hitung gaya yang bekerja yaitu luas panampang dikalikan berat jenis bangunan bendung. Hitung momen gaya-gaya tersebut terhadap suatu titik yaitu perkalian gaya dengan jaraknya. Jumlahkan seluruh gaya-gaya yang bekerja dan momennya dari bagianbagian yang ditinjau. Berat bangunan bergantung pada bahan yang digunakan untuk membuat banguanan tersebut. Dalam suatu perencanaan berat volume dapat digunakan seperti dalam Tabel 2.6.
II-24 http://digilib.mercubuana.ac.id/
.
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 2.6 Berat Jenis (KP-02 Dirjen Pengairan:1986) Berat Volume Jenis Bahan KN/m³ kgf/m³ Pasangan Batu 22 2200 Beton Tumbuk 23 2300 Beton 24 2400 Bertulang
2.6.3
Tekanan Tanah Dalam Standar Perencanaan Irigasi KP-02 (1986), tekanan dari samping
yang digunakan dalam suatu bangunan dapat dihitung dengan menggunakan cara pemecahan menurut Rankie. Menurut cara pemecahan Rankine, tekanan samping aktif dan pasif dapat diketahui sebagai berikut : Pa
= ½ Ka γ H12 - 2 c H1
K
a
…………………….....(2.16 )
Pp
= ½ Kp γ H22 + 2 c H2
K
p
…..................................(2.17)
= tg² (45 + )
..............................................................(2.18)
= tg² (45 - )
..............................................................(2.19)
di mana : Pa
=
tekanan aktif, kN/m
Pp
=
tahanan pasif, kN/m
Ka
=
koefisien tegangan aktif
Kp
=
koefisien tegangan pasif
γ
=
berat volume tanah, kN/m3
H1
=
tinggi tanah untuk tekanan aktif, m
H2
=
tinggi tanah untuk tekanan pasif, m
c
=
kohesi, kN/m2.
II-25 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
=
sudut geser dalam.
Titik tangkap Ea dan Ep dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Gambar 2.10 Tegangan samping aktif & pasif, cara pemecahan Rankine: (a) aktif, (b) pasif zo =
(KP-02 Dirjen Pengairan:1986)
Tabel 2.7 Harga koefisien tegangan aktif Ka untuk dinding miring kasar dengan permukaan tanah datar/horizontal. (KP-06 Dirjen Pengairan:1986)
Tabel 2.8 Harga koefisien tegangan aktif Kp untuk dinding miring kasar dengan permukaan tanah datar/horizontal. (KP-06 Dirjen Pengairan:1986)
II-26 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Gambar 2.11 Tekanan aktif (a) dan Pasif (b) menurut Rankine. (KP-06 Dirjen Pengairan:1986) Arti simbol-simbol yang dipakai dalam Tabel 2.7 dan 2.8 serta Gambar 2.12 adalah :
2.6.4
=
kemiringan bagian belakang dinding
=
sudut gesekan antara tanah dan dinding
=
sudut geser dalam.
Tekanan Lumpur Dalam Standar Perencanaan Irigasi KP-02 tekanan lumpur yang bekerja
terhadap muka hulu bendung atau terhadap pintu dapat dihitung sebagai berikut : Ps =
(
)
………..………………………………(2.20)
di mana : Ps
= gaya yang terletak pada 2/3 kedalaman dari atas lumpur yang bekerja secara horisontal
τs
= berat lumpur, kN/m
h
= dalamnya lumpur, m
ø
= sudut gesekan, derajat. II-27 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Beberapa anggapan dapat dibuat seperti berikut : G-1 τs = τ s ( ------- ) ……………………………………..…………(2.21) G di mana: τs
= berat volume kering tanah 16 kN/m3 (= 1600 kfg/m3)
G
= berat jenis butir = 2,65 kN/m
Sudut gesekan dalam, yang bisa diandaikan 30o untuk kebanyakan hal, menghasilkan : Ps = 1,67 h2
...................................................................….. (2.22)
2.6.5 Gaya Gempa Gaya gempa ditentukan oleh berat konstruksi bendung dan juga ditentukan oleh koefisien gempa. Dapat juga dikatakan bahwa harga gaya gempa diberikan dalam Parameter Bangunan, didasarkan pada peta indonesia yang menunjukan berbagai resiko. Faktor minimum yang akan dipertimbangkan adalah 0,1 g percepatan gravitasi sebagai harga percepatan. Dengan cara mengalikan massa bangunan sebagai gaya horizontal menuju arah paling tidak aman (arah hilir), menurut dapat dirumuskan sebagai berikut : ad = n (ac * z)m
…………………………………...….. (2.23)
ad E = ----g
…………………………………...….. (2.24)
di mana : ad
= percepatan gempa rencana, cm/dt2
n, m
= koefisien untuk jenis tanah (lihat Tabel 2.9)
II-28 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
ac
= percepatan kejut dasar, cm/dt2 (untuk harga per periode ulang lihat Tabel 2.10).
E
= koefisien gempa
G
= percepatan gravitasi, cm/dt2 ( 980)
Z
= faktor yang bergantung kepada letak geografis (Koefisien Zona lihat Gambar 2.13). Tabel 2.9 Koefisien jenis tanah(KP-06 Dirjen Pengairan: 1986)
Tabel 2.10 Periode ulang dan percepatan dasar gempa ac (KP-06 Dirjen Pengairan: 1986)
KP-06: 1986 )
Gambar 2.12 Koefisien zona gempa di Indonesia (Dirjen Pengairan KP-06: 1986 )
II-29 http://digilib.mercubuana.ac.id/
.
Bab II Tinjauan Pustaka
Faktor gempa E yang dicari dari rumus dan peta di atas dipakai dalam perhitungan stabilitas di mana faktor itu harus dikalikan dengan berat sendiri bangunan dan dipakai sebagai gaya horisontal. 2.6.6
Reaksi Pondasi Reaksi pondasi yang bekerja pada bangunan bendung dapat diandaikan
berbentuk trapezium dan tersebar secara linier. Besarnya tekanan yang terjadi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : P=
+
m
……………………………………………..(2.25)
di mana : P
= Tekanan vertikal pondasi.
∑(W)
= Keseluruhan gaya vertikal, termasuk tekanan ke atas, tetapi tidak termasuk reaksi pondasi.
A
= Luas daerah, m²
e
= Eksentrisitas pembebanan, jarak titik pusat gravitasi sampai titik potong resultante dengan dasar.
I
= Momen lembaman dasar disekitar pusat gravitasi.
m
= Jarak titik pusat dasar sampai titik tekan yang dikehendaki.
Untuk dasar dengan panjang L, lebar 1 m, maka : I= P=
dan A =1, maka {1+
m}
………………………………………..(2.26)
di mana : e
= Eksentrisitas pembebanan, jarak titik pusat gravitasi sampai titik potong resultante dengan dasar. II-30 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
l
= Panjang pondasi.
m
= Jarak titik pusat dasar sampai titik tekan yang dikehendaki.
Gambar 2.13 Unsur-unsur persamaan distribusi tekanan pada pondasi (KP-06 Dirjen Pengairan: 1986) Tekanan vertikal pondasi pada ujung bangunan : P’ =
{1+
}
………………………………………………..(2.27)
Dengan m’ = m” = ½ l, maka : P” =
{1+
}
………………………………………………..(2.28)
Eksentrisitas pada bendung juga dapat dihitung dengan kontrol eksentrisitas titik berat bangunan bendung. Dalam Suyitno HP (1984) digunakan rumus : e = B −(
)<
………………………..………(2.29)
di mana : e = Besarnya eksentrisitas konstruksi (m) B = Panjang konstruksi (m) MT
= Momen tahan (KN m)
MG
= Momen guling (KN m)
∑V
= jumlah gaya vertikal (KN) II-31 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
2.7
Stabilitas Terhadap Penggulingan Agar bangunan aman terhadap guling, maka resultante semua gaya yang
bekerja pada bagian bangunan di atas bidang horizontal, termasuk gaya angkat, harus memotong bidang pada teras. Tidak ada tarikan pada bidang irisan manapun. (KP-02 Dirjen Pengairan: 1986)
MG
MT titik guling B Gambar 2.14 Stabilitas Terhadap Guling Besarnya tegangan dalam bangunan dan pondasi harus tetap dipertahankan pada harga-harga maksimal yang dianjurkan. Untuk pondasi, harga-harga daya dukung yang disebutkan dalam tabel 2.11 dapat digunakan. Tekanan tanah lateral yang
diakibatkan
oleh
tanah
urug
dibelakang
bangunan,
cenderung
menggulingkan bangunan tersebut dengan pusat rotasi pada ujung kaki depan plat pondasi. Momen penggulingan ini dilawan oleh momen akibat berat sendiri bangunan bendung dan momen akibat berat tanah di atas pondasi. (Christady: 2002)
II-32 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 2.11 Harga perkiraan daya dukung yang diizinkan (KP-02 Dirjen Pengairan; 1986).
2.8
Stabilitas Terhadap Pergeseran Gaya terhadap tanah (Ea) selain menimbun terjadinya momen, juga
menimbulkan gaya dorong sehingga bendung akan bergeser. Bila bendung dalam keadaan stabil, maka gaya-gaya yang bekerja dalam keadaan seimbang (∑F = 0 dan ∑M =0). Perlawanan terhadap gaya dorong ini terjadi pada bidang kontak antara dasar bangunan bendung dengan dasar pondasi. Faktor aman terhadap pergeseran dasar pondasi minimum, diambil 1,5. Bowles 1997 menyarankan : F ≥ 1,5
untuk tanah dasar granuler
F≥2
untuk tanah dasar kohesif
> 1,5
Fk =
di mana ƒ = tgσ > 1,5
Fk =
……………………………………………………..…(2.30)
di mana : Fk
= Faktor keamanan II-33 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
∑V
= Resultan semua gaya vertikal yang bekerja pada bendung, KN
∑H
= Resultan gaya horizontal yang bekerja pada bendung, KN
ƒ
= Koefisien gesek.
Tabel 2.12 Harga perkiraan untuk koefisien gesek (KP-02 Dirjen Pengairan:1986)
Besarnya gaya perlawanan adalah F = N.ƒ dimana ƒ : koefisien gesek antara dinding beton dan tanah dasar pondasi, sedangkan N dapat dicari dari keseimbangan gaya-gaya vertikal (∑Fv = 0), maka diperoleh N = V. Besarnya ƒ, diambil sebagai berikut, bila alas pondasi relatif kasar maka ƒ = tgσ dimana σ merupakan sudut gesek dalam tanah, sebaiknya bila alas pondasi relatif halus permukaannya maka diambil ƒ = tg(2/3 σ) sehingga dalam hitungan angka keamanan.
2.9
Kapasitas Dukung Tanah Jika tanah mengalami pembebanan, maka tanah tersebut akan mengalami
distorsi atau penurunan. Apabila beban ini bertambah terus-menerus, maka penurunan pun bertambah. Akhirnya pada suatu saat terjadi kondisi dimana pada beban tetap, pondasi mengalami penurunan yang sangat besar. Hal seperti ini menunjukan bahwa keruntuhan kapasitas dukung telah terjadi. Kapasitas dukung tanah didefinisikan sebagai beban maksimum tanah dapat mendukung beban tanpa mengalami keruntuhan. (Christady: 2002). II-34 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
Terdapat 2 persyaratan
yang
harus dipenuhi dalam
merancang
pondasi,yaitu: a) Faktor aman terhadap keruntuhan akibat terlampauinya kapasitas dukung tanah yang harus dipenuhi. b) Penurunan pondasi harus masih dalam batas-batas toleransi. Untuk menghitung stabilitas bendung terdapat beberapa persamaan kapasitas dukung tanah yang dapat digunakan, seperti persamaan-persamaan kapsitas dukung Terzagi, Meyerhof dan Hansen.
Gambar 2.15 Tinjauan stabilitas terhadap daya dukung tanah (Suyono: 2005) Kapasitas dukung ultimit (qu) untuk pondasi memanjang dinyatakan oleh persamaan : qu
= α . c .Nc + z . γ . Nq + β . B . γ . Nγ ………………….…….(2.31)
di mana : qu
= daya dukung batas, kN/m2
c
= kohesi, tegangan kohesif, kN/m2
Nc, Nq dan Nγ
= faktor-faktor daya dukung tak berdimensi (Gambar 2.15)
γ
= berat volume tanah, kN/m3
B
= lebar telapak pondasi, m II-35 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
dan
= faktor tak berdimensi z
= kedalaman pondasi di bawah permukaan, m.
Gambar 2.16 Faktor daya dukung (KP-06 Dirjen Pengairan: 1986)
Tabel 2.13 Bentuk telapak pondasi (KP-06 Dirjen Pengairan: 1986)
Persamaan Terzagi untuk menghitung kapasitas dukung tanah hanya berlaku untuk pondasi yang dibebani secara vertikal dan sentries. Kedudukan pondasi konstruksi haruslah pada tanah keras yang dapat mendukung bobot konstruksi diatasnya. Oleh sebab itu perlu diadakan kontrol terhadap daya dukung tanah. Dalam KP-02 (1986) digunakan rumus : σ1(maks) =
(1 +
)
< σ izin (qa)
…………………..……(2.32)
II-36 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bab II Tinjauan Pustaka
σ2(min)
=
(1 −
) <0
…………………..……………………(2.33)
Besarnya daya dukung ijin bisa dicari dari : qa
=
+ γ.z
………………………………………………..(2.34)
di mana : qa = daya dukung izin, kN/m2 qu = daya dukung batas, kN/m2 F
= faktor keamanan (2 sampai 3)
II-37 http://digilib.mercubuana.ac.id/