4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Interaksi Manusia dengan Lingkungan Interaksi merupakan suatu hubungan yang terjadi antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi dan reaksi (Moen 1997). Interaksi manusia dengan lingkungan sekitarnya merupakan proses adaptif. Dalam memenuhi kebutuhannya manusia menggunakan unsur-unsur lingkungan, berupa tanah, air, tumbuhan dan hewan. Lingkungan bagi manusia bukan hanya sebagai ruang hidup, tetapi berfungsi pula sebagai sumberdaya (Soemarwoto 1994 dalam Mulyadih 1998). Herimanto (2008) menjelaskan bahwa lingkungan mempengaruhi sikap dan perilaku manusia, demikian pula kehidupan manusia akan mempengaruhi lingkungan tempat hidupnya. Faktor lingkungan (tanah, iklim, topografi, sumber daya alam) dapat menjadi prakondisi bagi sifat dan perilaku manusia. Lingkungan menjadi salah satu variabel yang mempengaruhi kehidupan manusia. Manusia mempengaruhi lingkungan demi kemajuan dan kesejahteraan hidupnya. Dalam masyarakat tradisional, pengelolaan lingkungan alam lebih ditujukan untuk mencukupi hidup sehari-hari (subsisten), sehingga pemanfaatan sumber daya alam dilakukan hanya sebatas kebutuhan. Eksploitasi alam dalam arti ekonomi produksi hampir tidak terjadi. Namun pemeliharaan hubungan harmonis dengan alam merupakan prinsip yang paling diutamakan (Wiratno 2004). Seorang ahli filsafat dan etika dari Australia yaitu Warwick Fox dalam Widianto (2008) memilah interaksi manusia dengan lingkungannya dalam beberapa pola. Pola interaksi pertama manusia mengeksploitasi lingkungan semaksimal mungkin. Pola kedua manusia memanfaatkan lingkungannya dengan prinsip konservasi untuk produksi. Pola ketiga manusia memanfaatkan lingkungannya dengan prinsip protektif untuk menjaga keautentikan dari sebuah sumberdaya alam. Fox juga mengajukan beberapa alasan yang menjelaskan pola interaksi manusia dengan lingkungan yang juga menyisakan sebidang tanah dalam pemanfaatan lahan menjadi ladang, sebagai berikut:
5
1. Ruang sebagai sistem penunjang kehidupan (life support system), yang melihat bahwa bidang tanah yang masih disisakan sebagai hutan yang menjadi sistem penunjang kehidupan dalam ekosistem. 2. Sebagai sistem peringatan dini (early warning system) atas berbagai gejala alam dan potensi bencana. Ada anggapan jika akan terjadi suatu gangguan (bencana) maka hewan (burung-burung) penghuni habitat di dekat ladang akan berlarian pergi dan terbang. 3. Sebagai gudang (silo), lingkungan disini dapat dilihat sebagai tempat penyimpanan dan pemeliharaan bahan (makanan, obat, bahan untuk alat-alat). 4. Sebagai lahan (ruang) yang disisakan karena dianggap memiliki makna spiritual – keagamaan (cathedral), contohnya Leuweng Kolot dan Leuweng Titipan sebagai hutan keramat di daerah Gunung Halimun.
Suatu kawasan hutan pada umumnya berbatasan dengan pemukiman penduduk, lahan pertanian, perkebunan, perikanan, kegiatan perindustrian atau kerajinan masyarakat, serta sektor kegiatan lainnya. Keadaan ini menyebabkan terjadinya interaksi antara potensi sumber daya alam yang terdapat di dalamnya dengan masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Alikodra 1983). Bentuk-bentuk interaksi masyarakat desa dengan kawasan hutan tercermin dari kegiatan-kegiatan masyarakat seperti mengumpulkan hasil hutan, antara lain bahan pangan, kayu bakar, pakan ternak, umbi-umbian serta hasil dari jenis jasa hutan lainnya (Ardiansyah 2009). Menurut Birgantoro et al. (2007) secara umum interaksi masyarakat dengan hutan, tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup seharihari. Bentuk interaksi masyarakat dengan hutan membentuk dua pola kegiatan, yaitu: legal (kegiatan positif) dan illegal (kegiatan negatif). Interaksi yang negatif jika interaksi tersebut merugikan di salah satu pihak baik bagi kelestarian hutan ataupun masyarakat itu sendiri. Kegiatan illegal terdiri dari pencurian kayu, penggarapan
liar
(bibrikan),
pengembalaan
penyerobotan lahan untuk berbagai kepentingan.
liar
dan
pendudukan
atau
6
2.2 Masyarakat Sekitar Hutan Masyarakat hutan adalah penduduk yang tinggal di dalam atau sekitar hutan yang mata pencaharian dan lingkungan hidupnya sebagian besar tergantung pada eksistensi hutan dan kegiatan perhutanan (Arif 2001). Santoso (2004) mengungkapkan bahwa istilah desa hutan mengacu pada daerah yang berada di sekitar maupun dalam kawasan hutan. Istilah ini meletakkan desa sebagai bagian dari wilayah kehutanan dan keberadaan masyarakatnya dianggap kalangan tertentu (pemegang HPH dan pemerintah) sebagai ancaman terhadap keamanan hutan. Kondisi ini memunculkan persepsi negatif tentang masyarakat desa hutan, dimana semakin hutan dekat dari masyarakat semakin tidak aman. Sebaliknya jika semakin hutan tersebut jauh dari desa maka semakin aman. Adanya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang mempunyai akses langsung maupun tidak langsung terhadap kawasan hutan serta memanfaatkan sumberdaya hutan adalah suatu realita yang tidak bisa diabaikan. Kondisi ini tentunya akan berdampak positif maupun negatif terhadap kelestarian hutan. Kegagalan pengelolaan hutan yang terjadi selama ini bukan disebabkan oleh faktor teknis semata namun lebih disebabkan oleh faktor sosial. Oleh karena itu, pengelolaan hutan yang baik tidak hanya memperhatikan aspek teknis pengelolaan hutan, namun juga harus memperhatikan aspek sosial (Nurrochmat 2005). Menurut Kartasubrata (1986) dalam Giyanto (2006), tekanan dan gangguan dari masyarakat desa sekitar hutan disebabkan sifat ketergantungan masyarakat desa sekitar hutan terhadap produk hasil hutan yang sangat tinggi. Tuntutan masyarakat terhadap hutan tidak hanya sekedar memberikan ruang atau lahan tani, tetapi hutan dapat memberikan manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat terutama sumber perolehan pendapatan dan kesempatan kerja. Oleh karena itu, masyarakat sekitar hutan tetap mengharapkan kegiatan dari sumberdaya hutan dapat menjadi salah satu bentuk ekonomi utama. Masyarakat sekitar kawasan hutan pada umumnya bekerja sebagai petani. Untuk dapat hidup layak, diperlukan luas lahan minimal 1-2 ha dan biasanya
7
mereka menanami lahan tersebut dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan seperti kopi, cengkeh dan lada (Rudianto 2009). Dewasa ini banyak kawasan hutan berubah status pengelolaannya misalnya dari kawasan hutan produksi menjadi hutan konservasi dan sebagainya. Perubahan status pengelolaan tersebut dapat mempengaruhi interaksi yang telah dijalankan oleh masyarakat sekitar hutan. Dalam penjelasan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dijelaskan bahwa masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perubahan status atau fungsi hutan dapat berpengaruh pada putusnya hubungan masyarakat dengan hutan atau bahkan kemungkinan menyebabkan hilangnya mata pencaharian mereka. Agar perubahan status dan fungsi hutan dimaksud tidak menimbulkan kesengsaraan, maka pemerintah bersama pihak penerima izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban untuk mengupayakan kompensasi yang memadai, antara lain dalam bentuk mata pencaharian baru dan keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan di sekitarnya. Namun demikian, menurut Setyadi et al. (2006) perambahan kawasan, umumnya hampir terjadi di hampir setiap kawasan taman nasional sebagai akibat kebutuhan lahan usaha pertanian/perkebunan yang dipicu oleh laju pertambahan penduduk yang bersifat agraris yang sangat tinggi, sementara itu terdapat pula lahan-lahan yang belum dimanfaatkan secara intensif pada daerah penyangga akibat belum berkembangnya keterpaduan pembangunan daerah penyangga dengan kawasan taman nasional. Bahkan Rudianto (2009) menyatakan bahwa pada saat ini tidak ada kawasan taman nasional di Indonesia yang bebas sama sekali dari konflik ruang dengan permukiman dan pertanian. Areal pemukiman dan pertanian yang bersinggungan dan/atau terletak di dalam kawasan konservasi sering dipandang sebagai okupasi ilegal atau tindak perambahan yang dapat mengancam kelestarian dan keutuhan kawasan. Sebagai contoh interaksi adalah pemanfaatan Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani oleh masyarakat sekitarnya untuk lahan pertanian terbuka dan perladangan. Masyarakat sekitar Kawasan Gunung Rinjani merupakan suatu
8
komunitas sosial dengan interaksi yang tinggi terhadap kawasan taman nasional. Tingginya interaksi ini ditunjukkan dengan tingginya tingkat pengambilan kayu, perladangan liar, dan okupasi kawasan untuk berbagai kepentingan yang kesemuanya itu merupakan fenomena sosial yang menjadi tekanan bagi kelestarian kawasan rinjani (Baharudin 2006). Kondisi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) juga tidak jauh berbeda. Studi yang dilakukan oleh Pasha (2009) menunjukkan bahwa di beberapa desa yang terdapat di Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat, sebagian besar masyarakatnya hidup dan tinggal di dalam kawasan TNBBS. Masyarakat tersebut merambah dan memanfaatkan kawasan hutan TNBBS untuk dijadikan permukiman, perladangan dan pertanian. Sedangkan di Taman Nasional Alas Purwo, studi yang dilakukan Beckman (2004) menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat sekitar kawasan pada sumber daya alam di kawasan itu masih sangat tinggi. Bentuk interaksi yang paling sering dilakukan termasuk perburuan satwa liar, pengambilan tumbuhan, dan pengambilan hasil laut. Meskipun demikian tidak semua kasus perambahan hutan bersumber dari okupasi masyarakat terhadap kawasan konservasi. Studi yang dilakukan oleh Rudianto (2009) di kawasan TNBBS menemukan bahwa keberadaan areal permukiman dan pertanian di dalam kawasan tidaklah dapat langsung dikatakan sebagai bentuk perambahan. Hal ini dikarenakan oleh beberapa hal, yaitu: 1) Masyarakat secara turun-temurun telah berada di areal tersebut, jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai taman nasional, 2) Terjadinya perubahan rezim pengelolaan kawasan, dan 3) Penataan batas kawasan yang tidak mempertimbangkan kondisi sosio-agraria masyarakat dengan kawasan hutan. Menurut Mangandar (2000) interaksi masyarakat dengan kawasan yang dilindungi dapat diarahkan pada suatu tingkat integrasi dimana keperluan masyarakat akan sumberdaya alam dapat dipenuhi tanpa mengganggu atau merusak potensi kawasan. Salah satu cara yaitu membentuk daerah penyangga sosial, yaitu daerah yang berguna untuk mengalihkan perhatian masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya, sehingga mereka tidak merugikan hutan tersebut. Sedangkan menurut Rudianto (2009) memberikan akses masyarakat terhadap sumberdaya di kawasan konservasi merupakan titik temu yang ideal antara
9
kepentingan konservasi dengan kepentingan masyarakat sekaligus upaya untuk mencegah timbulnya konflik berkepanjangan antara Balai Taman Nasional dan masyarakat.