3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Karakteristik Interferon IFN tipe I adalah keluarga sitokin dengan kemiripan urutan asam amino mencapai 3080%. Protein IFNα merupakan monomer dan protein IFN β merupakan homodimer. Reseptor yang dikenali oleh IFN tipe I dapat dikelompokkan menjadi dua subunit, yaitu IFNAR-1 yang diketahui hanya satu jenis dan IFNAR-2 yang ditemukan tiga jenis, yaitu IFNAR2a, IFNAR2b, dan IFNAR2c. IFNAR2c memiliki peranan penting pada proses pengikatan ligan dan transduksi sinyal, sedangkan IFNAR2a dan IFNAR2b merupakan inhibitor kompetitif yang mencegah IFNα berikatan dengan IFNAR2c (Jonasch and Haluska, 2000).
Gen pengkode IFNα terletak pada kromosom 9 manusia, tidak memiliki intron dan mengkode rantai polipeptida yang berukuran 165-166 asam amino. Gen ini diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu immediate-early response gene (IFNα4) yang diinduksi segera tanpa bantuan sintesis protein lain dan kelompok gen-gen IFN-α (terdiri atas gen IFNα-2, IFNα-5, IFNα-6 dan IFNα-8) yang diinduksi serta disintesis lebih lambat karena memerlukan sintesis protein lain (Samuel, 2001). Sebagian besar IFNα tidak memiliki rantai samping karbohidrat, namun beberapa merupakan glikoprotein dengan derajat glikosilasi berbeda. IFNα2b merupakan glikoprotein, dimana glikosilasi-O terjadi pada asam amino treonin posisi 106 (Nyman et al., 1998).
II.2 Mekanisme Kerja Interferon IFN tidak menghambat virus secara langsung, namun melalui mekanisme pencegahan replikasi pada sel-sel sekitar sel yang terinfeksi. Pencegahan replikasi dilakukan melalui pengikatan IFN pada reseptor permukaan membran sel yang mengaktifkan gen-gen pengkode protein yang menghalangi replikasi virus. Ekspresi gen pengkode IFN terjadi melalui jalur transduksi sinyal dan aktivasi transkripsi yang dikenal dengan jalur Jak-Stat. IFNα dan IFNβ berikatan pada tipe reseptor sama, sedangkan interferon γ berikatan pada
4 tipe reseptor berbeda. Mekanisme kerja IFN disarikan pada Gambar II.1. Zat penginduksi IFN akan memicu sel untuk mengaktifkan gen IFN (A) sehingga dihasilkan mRNA IFN (B) yang kemudian ditranslasikan menjadi protein IFN (C). Protein IFN selanjutnya disekresikan oleh sel (D) dan mengenali reseptor pada membran sel sekitar (E). Proses pengikatan ini akan menstimulasi gen-gen penghasil protein protein efektor yang dapat menghambat replikasi virus (F). Sel yang teraktivasi juga dapat menghasilkan protein aktivator bagi sel lain sehingga menghasilkan protein efektor (G) (Samuel, 2001).
Gambar II.1 Mekanisme kerja IFN (www.gsbs.utmb.edu/microbook/ch049.htm)
II.3 Jalur Jak-Stat Protein Signal Transducer and Activator of Transcription (STAT) merupakan faktor transkripsi yang dapat difosforilasi pada residu asam amino tirosin oleh enzim tirosin kinase Janus Family of Tyrosine Kinase (JAK). Protein STAT terdiri atas tujuh macam, yaitu Stat-1, Stat-2, Stat-3, Stat-4, Stat-5a, Stat-5b, dan Stat-6, dan protein JAK empat macam, yaitu Jak-1, Jak-2, Jak-3, dan Tyk-2 (Gao et al. 2003, Samuel, 2001). Proses transduksi sinyal pada Gambar II.2 diinisiasi oleh pengikatan IFN pada subunit reseptor yang sesuai, Pengikatan IFN akan mengaktivasi faktor transkripsi Jak dan Stat
5 melalui fosforilasi tirosin. Kinase Jak-1 dan Tyk-2 yang teraktivasi oleh IFN α dan β akan menghasilkan fosforilasi dan dimerisasi Protein Stat-1 (p91) dan Stat-2 (p113) yang selanjutnya ditranslokasi bersama IRF-9 (p48) ke inti sel. Komplek ketiga protein ini dikenal dengan IFN-Stimulated Gene Factor 3 (ISGF-3) yang dapat mengaktifkan gengen pengkode IFN α dan β melalui IFN-Stimulated Response Element (ISRE). Kinase Jak-1 dan Jak-2 yang diaktivasi oleh IFN γ akan memfosforilasi dan menyebabkan homodimerisasi protein Stat-1 yang kemudian ditranslokasi ke inti sel. Komplek dimer ini dikenal dengan Jak-1 dan Gamma Activation Factor (GAF) yang mengaktifkan gengen pengkode IFN γ. Komplek GAF akan mengaktivasi gen-gen IFN γ melalui elemen enhancer Gamma-Activated Sequence (GAS) (Gao et al. 2003, Samuel, 2001).
Gambar II.2 Jalur Jak-Stat (Samuel, 2001) 1.4 Interferon α2b Sebagai Protein Terapetik
II.4 Interferon α2b Sebagai Protein Terapetik IFNα2b merupakan glikoprotein rantai tunggal yang terdiri atas 165 asam amino, larut dalam air, dan berukuran sekitar 18 kDa. Kerangka baca terbuka gen IFNα2b terdiri atas 522 pasang basa (Poynard et a.l, 2003). Dilaporkan bahwa IFNα2b dapat menghambat
6 replikasi Virus Hepatitis B (VHB) pada kultur hepatosit. IFNα2b dapat mengubah lokasi protein permukaan VHB, yaitu HBSAg dari sitoplasma ke membran sel hepatosit sehingga meningkatkan pengenalan sistem imun dan penghilangan hepatosit terinfeksi (Han and Lang, 2003).
Mekanisme penghambatan IFNα2b terhadap virus hepatitis C (VHC) terjadi melalui dua jenis yaitu IFNα2b menghambat replikasi virus dan melakukan immunomodulasi multifungsi (Gambar II.3). Protein antivirus dan protein immunomodulator dihasilkan melalui pengikatan IFN α terhadap reseptor IFNAR-1 dan IFNAR-2. Pengikatan ini menyebabkan transduksi sinyal melalui jalur Jak-Stat. Proses transduksi sinyal menghasilkan dua fenomena, yaitu: pertama dihasilkan protein-protein antivirus yaitu MxA dan GBP (inhibitor transport nukleokapsid dan sintesis RNA), 2’-5’ OAS (pendegradasi RNA), PKR (inhibitor translasi), dan lain-lain, sehingga dapat menghambat proses replikasi VHC dalam sel hepatosit. Kedua, diproduksi proteinprotein yang terlibat dalam pemrosesan dan presentasi antigen, aktivasi sel T, pergerakan limfosit, dan fungsi efektor dalam sel imun. Hal ini meningkatkan imunitas bawaan (sel Natural Killer) dan imunitas dapatan (sel T CD4+ CD8+) terhadap VHC (Gao et al, 2003).
7
Gambar II.3 Mekanisme kerja IFNα terhadap VHC (Gao et al., 2003) Terapi hepatitis B menggunakan IFNα2b memerlukan waktu 48 minggu dimana terapi dinyatakan berhasil jika DNA VHB tidak terdeteksi pada akhir terapi dan 24 minggu setelah terapi. Pada kasus hepatitis C, waktu terapi adalah 48 minggu atau tergantung genotipe virus. VHC terdiri atas 6 genotipe virus, yaitu 1, 2, 3, 4, 5,dan 6. Keberhasilan terapi dinyatakan dengan RNA VHC yang tidak terdeteksi pada akhir terapi dan 24 minggu setelah akhir terapi. Waktu pemberian IFNα2b adalah 3 kali seminggu (Poynard et a.l, 2003).
IFNα2b dapat dikombinasikan dengan antivirus kimia lain, seperti analog nukleosida lamivudin untuk terapi hepatitis B atau dengan ribavirin untuk terapi hepatitis C (Gow and Multimer, 2001). Terapi menggunakan IFNα2b memiliki banyak efek samping, dimana tingkat keparahan yang timbul bergantung kepada dosis dan lama terapi. Efek samping yang umum adalah kelelahan, anoreksia, penurunan bobot badan, demam, dan sakit kepala. Efek samping lebih parah, adalah neuropsikiatrik yaitu depresi emosi,
8 vertigo, dan sebagainya. Efek samping juga terjadi secara hematologik dan hepatik (Poynard et al., 2003).
Waktu paruh IFNα2b rekombinan adalah 7-9 jam. Efek toksisitas dan masalah waktu paruh IFNα2b telah mendorong usaha perbaikan profil farmakokinetik, misalnya dengan cara pegilasi. IFNα2b direaksikan dengan polimer poli etilen glikol (PEG) sehingga bobot molekulnya meningkat. IFNα2b yang telah dipegilasi memiliki waktu paruh cukup panjang sehingga mengurangi frekuensi pemberian dan menurunkan efek toksik. Waktu paruh yang panjang juga dapat menghindarkan fluktuasi konsentrasi IFNα2b selama pengobatan yang memicu resistensi virus (Wang et al., 2002).
I.5 Resistensi Virus Terhadap Interferon α2b Virus memiliki berbagai strategi untuk melawan aktivitas antivirus. Resistensi virus terhadap IFNα2b telah banyak dilaporkan. Virus dapat menghambat sintesis IFN secara langsung, menghambat jalur transduksi sinyal, atau mengganggu aktivitas protein antivirus. VHC seperti virus RNA pada umumnya dapat membentuk fenomena quaispecies, yaitu suatu galur yang berkerabat dekat namun secara genetik berbeda. Heterogenitas quaispecies disebabkan oleh kesalahan yang disebabkan enzim RNAdependent RNA polymerase pada saat replikasi virus. Quaispesies yang berasal dari mutasi pada gen NS5A pengkode protein 5A yang berfungsi sebagai Interferon Sensitivity Determining Region (ISDR) dapat menyebabkan resistensi terhadap IFNα2b (Pawlotsky et al., 1997).
VHC dapat menghasilkan protease NS3/4A yang mampu menghambat fosforilasi IRF-3 pada jalur Jak-Stat sehingga sintesis IFN terhambat. VHC juga dapat menginterupsi jalur transduksi sinyal dengan cara mendegradasi dan menginaktivasi protein STAT. Aktivitas protein antivirus yang diinduksi oleh IFN juga dapat dihambat. VHC menghasilkan protein penyusun envelop E2 yang dapat mengikat protein PKR sebagai protein anti virus karena bersifat pseudosubstrat. Mutasi pada gen pengkode E2 juga berkontribusi terhadap
9 resistensi. Berbagai mekanisme dikembangkan oleh VHB dan VHC sehingga menghasilkan sifat resistensi yang menyebabkan kegagalan terapi (Weber et al., 2004).
I.6 Produksi Interferon α 2b dengan Teknologi DNA Rekombinan Penggunaan IFNα2b rekombinan sebagai protein terapetik telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA). Sediaan IFNα2b sudah tersedia di perdagangan, misalnya Viraferon, Alfatronol, dan IntronA. Umumnya IFNα2b diproduksi dalam E. coli menggunakan gen sintetis yang kodonnya disesuaikan dengan kecenderungan penggunaan kodon bakteri tersebut. IFNα2b yang dihasilkan memiliki aktivitas biologi yang baik (Neves et al., 2004). Melalui teknologi DNA rekombinan gen IFNα2b diperoleh dengan mengisolasi mRNA IFNα2b yang diproduksi di sel leukosit. Selanjutnya mRNA diubah menjadi cDNA IFNα2b dengan metode RT PCR. cDNA diligasi dengan vektor kloning dan hasil ligasi ditransformasikan ke dalam E. coli (Nyman et al., 1998)
Saat ini, teknologi sintesis gen telah digunakan sebagai alternatif metode isolasi gen dari sel. Gen sintetik memiliki banyak keuntungan jika dibandingkan dengan gen yang berasal dari sel. Keuntungannya adalah optimalisasi kodon yang digunakan inang dapat dilakukan, waktu yang diperlukan untuk mendapatkan gen lebih cepat dan menghindari gen lain yang memiliki homologi urutan tinggi dengan gen target terisolasi. Sintesis gen dapat dilakukan dengan berbagai metode, yaitu metode ligasi enzimatik, Self recursive PCR Priming PCR, PCR Assembly, Template Directed Ligation (TDL), Dual Asymmetrical PCR (DA-PCR), Overlap Extention PCR (OE-PCR), successive PCR, PCR Based Two Step DNA Synthesis (PTDS), PCR Based Accurate Synthesis (PAS), sequential ligation and polymerase cycling reaction, dan Thermodynamically Balanced Inside-Out
(TBIO) (Xiong et al., 2006). Recursive PCR yaitu metode sintesis gen
dimana cetakan DNA diganti oleh beberapa pasang oligonukleotida sintesis yang memiliki daerah tumpang tindih (Prodromou and Pearl, 1992). Metode terbaru sintesis gen adalah metode Thermodinamically Balanced Inside-Out (TBIO) dimana sintesis gen
10 berlangsung dari arah dalam ke luar secara bertahap pada beberapa pasang oligonukleotida (Gao et al., 2003).
II.6.1 Metode Recursive PCR Metode recursive PCR merupakan metode PCR sederhana. Proses recursive PCR disarikan pada Gambar II.4. Beberapa oligonukleotida dibuat secara sintetik dan memiliki daerah tumpang tindih pada ujung 3’. Oligonukleotida tersebut merentang urutan basa yang sama dengan gen yang diinginkan. Beberapa oligonukleotida dicampurkan pada reaksi PCR sehingga bagian yang tumpah tindih pada ujung 3’ akan memanjang menghasilkan produk rantai ganda lebih panjang. Proses polimerisasi terjadi berulang sampai panjang gen yang diinginkan tercapai. Selanjutnya gen diamplifikasi dengan menggunakan oligonukleotida yang letaknya paling luar pada ujung 5’. Oligonukleotida tersebut berfungsi juga sebagai primer (Prodromou and Pearl, 1992).
Gambar II.4 Prinsip metode Recursive PCR (Prodromou and Pearl, 1992)
II.6.2 Metode Thermodynamically Balanced Inside-Out Thermodinamically Balanced Inside-Out (TBIO) merupakan suatu metode sintesis gen secara in vitro. Metode TBIO memiliki persamaan dengan metode recursive PCR dalam hal penggunaan oligonukleotida sebagai cetakan DNA, namun memiliki perbedaan dalam
11 hal arah sitesis. Metode TBIO membutuhkan primer-primer berupa oligonukleotida yang memiliki daerah rantai sense yang tumpang tindih dan mengkode setengah dari urutan basa gen pada ujung 5’ serta daerah rantai antisense yang tumpang tindih dan mengkode setengah dari urutan basa gen pada ujung 3’ (Gao et al., 2003). Proses diinisiasi oleh fragmen bagian tengah (Gambar II.5).
Gambar II.5 Prinsip Metode TBIO (Gao et al, 2003)
Sintesis gen berlangsung dari arah dalam menuju arah luar dan terjadi secara bertahap, dimana hanya oligonukleotida hasil polimerisasi dengan urutan benar yang menempel dengan pasangan oligonukleotida selanjutnya sampai terbentuk gen yang diharapkan. Oligonukleotida memiliki konsentrasi berbeda yang dibuat bertingkat dimana konsentrasi terendah adalah pasangan oligonukleotida terdalam dan konsentrasi tertinggi adalah pasangan oligonukleotida terluar. Keuntungan metode TBIO adalah spesifisitas produk akhir dibandingkan dengan produk akhir yang dihasilkan metode recursive PCR karena pasangan oligonukleotida hanya menempel setelah proses polimerisasi pasangan oligonukleotida yang lebih dalam selesai (Gao et al., 2003).