BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perkebunan Tebu Tebu merupakan tanaman sumber pemanis alamiah. Tanaman ini berasal dari sub-tropis dan dapat tumbuh di setiap jenis tanah, dari dataran rendah hingga dataran tinggi dan juga dapat berfungsi ganda, yakni bernilai ekonomi yang tinggi dan juga sebagai dapat berfungsi memelihara lingkungan. Seperti konservasi sumber air tanah, mencegah longsor dan menyerap CO2. Perkebunan tebu pada saat sekarang menggunakan pola PIR atau Plasma Inti Rakyat. Perhitungan pengunaan pola PIR dalam perkebunan tebu sebab skala kerjanya yang kecil untuk setiap orang. Bentuk yang di harapkan adalah peranan masyarakat dalam penanaman tebu dengan menerapkan pola atau sistem perkebunan PIR atau Plasma Inti Rakyat, yaitu pola yang memposisikan masyarakat sebagai penggarap dan perusahaan sebagai intinya, yang menyediakan kebutuhan perkebunan tebu (Anne Ahira 2007). Dalam mengelola perkebunan tebu, para petani mengupayakan lahan yang di milikinya dengan menggunakan teknologi dan modal yang cukup besar karena di ketahui bahwa tanamam tebu merupakan tanaman perkebunan yang memerlukan biaya besar. Kebijakan pemerintah memberikan bantuan kredit agar petani mampu mengusahakan dan meningkatkan produksi. Bantuan kredit yang di berikan pemerintah merupakan pendorong bagi petani. Hal itu berdasarkan anggapan pemerintah bahwa petani akan suka rela dan senang menanam tebu. Hubungan kerja sama antara petani tebu di Kecamatan Tolangohula dengan pabrik gula PT.PG Gorontalo Tolangohula. Untuk memperkuat kedudukan petani dalam hubungan dengan PG maka secara berangsur-angsur KUD dilibatkan dalam program TRI. Kondisi tersebut di temukan oleh Wahyudi (2000), yang menurut sejarah perkebunan di Gorontalo. Besarnya sewa lahan untuk di tanami tanaman tebu 18.000 ha perkebunan yang produktif saat ini hanya seluas 8.000 ha. Namun karena kurangnya tenaga kerja di lahan perkebunan hingga tenaga kerja tebangan,
1
hanya menanam tebu di lahan seluas 8.000 ha. Bagi masyarakat, tebu sangat menguntungkan karena hasilnya banyak, pasarnya telah pasti dengan harga yang stabil dan cukup menanam sekali tetapi dapat panen berkali-kali. Bagi yang memiliki modal dan akses menjual tebu maka akan mengusahakan lahanya dengan tanaman tebu karena lebih menguntungkan. Secara ekonomi lahan yang di usahakan tanaman tebu paling menguntungkan di banding dengan tanaman lainya. Buruh tani non tebu banyak yang menginginkan tanaman tebu di ganti dengan tanaman lainya karena akan membuka peluang pekerjaan bagi mereka adanya tanaman tebu memberi sedikit peluang kerja. Pada umumnya pemilik lahan dijadikan sebagai tenaga kerja dan pengawas lahan tebu oleh pemilik modal. Hal ini di lakukan untuk mengurangi biaya transaksi dalam pengawasan dan pengolahan lahan tersebut. Buruh tani akan di pakai apabila untuk pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga kerja seperti pada saat tanam dan panen tebu. Hasil survey menunjukan bahwa sekitar 34,29% petani setuju tanaman tebu di ganti dengan tanaman lainya, sekitar 40% tidak setuju tanaman tebu di ganti dan sisanya sebesar 25,71% tidak tahu. Pendapatan tersebut di dukung oleh para buruh tani yang menginginkan adanya kesempatan untuk menjadi buruh lebih luas. Mereka yang tidak setuju pengantian tanaman tebu karena mereka tidak berhak memutuskan pengantian tanaman karena mereka sendiri tidak punya lahan dan tidak yakin ada tanaman yang lebih mengutungkan dibanding dengan tebu. Selain itu, tebu tidak menimbulkan erosi. Pandangan tersebut disinyalir Scott (1983; 1993) sebagai upaya untuk mendapatkan kehidupan subsisten yang aman. Selain itu perlu di cermati ketersediaan bahan baku pabrik gula apabila tebu akan di ganti dengan tanaman lain.
B. Faktor-Faktor Yang Berkaitan Pada Pola Inti Plasma Pembentukan plasma ini merupakan suatu kebijakan pemerintah dimana setiap breeding farm yang akan memperoleh izin usaha, mempunyai kewajiban untuk membangun pola penerapan inti plasma di perkebunan tebu.Pada pelaksanaan pola inti plasma ini perlu lebih dicermati pola hubungan
2
kelembagaan antar mitra, sebab secara umum memang harus disadari bahwa pola kemitraan ini mempertemukan dua kepentingan yang sama tetapi oleh kemampuan manajemen. Faktor-faktor yang berkaitan pola inti plasma antara lain: 1. Pengembangan perkebunan melalui Pola PIR yang dikaitkan dengan program Transmigrasi (PIR-TRANS) sebelum dikelola oleh petani didahului dengan suatu tahapan yaitu pengalihan status pemilikan kebun plasma dari perusahaan inti kepada petani peserta. 2. PIR-TRANS yang dilandasi dengan INPRES Nomor 1 Tahun 1986, sampai saat ini sebagaian kebun plasma telah berhasil dialihkan pemilikannya kepada petani peserta. Pengambil alihan kebun plasma tersebut diawali dengan penilaian fisik kebun atas dasar standart fisik kebun dan tata cara penilaian serta klasifikasi kebun yang ditetapkan Direktur Jenderal Perkebunan sebagai pedoman kerja. 3. Memperhatikan ketentuan sistim penilaian fisik kebun untuk pengalihan kebun plasma dengan pola PIR-TRANS Tebu selama ini, maka dalam rangka upaya pencapaian berbagai sasaran yang ingin dicapai perlu diadakan penyempurnaan sistem penilaian fisik kebun plasma proyek PIR-TRANS tebu. Pengembangan pola PIR-Trans tidak bisa dipungkiri membawa berkah bagi petani plasma. Betapa tidak, petani yang kebanyakan didatangkan dari luar pulau atau di luar daerah, saat ini sudah bisa menikmati hasilnya.
C. Persepsi Masyarakat Kertapati (2002:4) menyatakan bahwa persepsi dapat diartikan sebagai proses untuk mengerti dan menyadari dunia luar diri sendiri. Menurut Desiderato dalam Jalaludin Rakhmat, persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.Menurut Schiffman, persepsi adalah bukan pembawaan dari lahir, sebagian besar dipelajari setelah dewasa. Selanjutnya menurut Wirawan mengangap bahwa persepsi merupakan kumpulan penginderaan.
3
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan, yang dimaksud dengan persepsi masyarakat dalam penelitian ini adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan melalui penerimaan sejumlah sensasi dengan bekerjanya sistem syaraf, sehingga masyarakat dapat mengenal dan menyusun suatu pola tentang suatu hal dan tentang pilihan seseorang yang di kendakinya. Investasi di bidang industri gula memerlukan biaya yang sangat besar dan memiliki peranan cukup penting dalam mendorong perekonomian nasional. Agar investasi industri gula dapat terwujud maka pemerintah perlu mendorong situasi usaha yang lebih kondusif, misalnya dengan memberikan insentif dan kemudahan seperti jaminan keamanan, keringanan perpajakan, kemudahan perijinan, kemudahan dalam memperoleh lahan (temasuk peran masyarakat adat) dan konsistensi dalam penerapan kebijakannya dalam perspektif jangka panjang. Persepsi petani terhadap pola inti petani plasma merupakan proses kognitif yang dialami oleh masyarakat karena adanya pola kemitraan petani plasma yang dilakukan di daerah tersebut. Proses pemahaman informasi ini terjadi melalui penglihatan ataupun pendengaran masyarakat terhadap pola kemitraan petani plasma, dimana proses ini terjadi karena adanya interaksi komunikasi antar individu masyarakat serta keingintahuan mereka yang lebih besar tentang pola kemitraan petani plasma tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Thoha (1996), yang mengemukakan bahwa persepsi adalah proses kognitif yang dialami setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan dan penciuman. Proses pemahaman informasi ini terjadi melalui interaksi komunikasi maka secara langsung masyarakat akan memiliki pandangan ataupun pendapat yang berbeda-beda oleh masing-masing individu terhadap pola kemitraan petani plasma. Kaitanya dengan peran serta masyarakat dalam program tertentu, peranan tokoh masyarakat baik formal maupun non formal sangat penting terutama dalam mempengaruhi, member contoh dan menggerakan keterlibatan seluruh warga masyarakat di lingkungan guna mendukung keberhasilan program kerja sama operasional petani plasma. Apalagi di masyarakat pedesaan, peran tersebut
4
menjadi factor determinan karena kedudukan para tokoh masyarakat masih sangat kuat pengaruhnya, bahkan sering menjadi tokoh panutan dalam sebagai kegiatan hidup sehari-hari warga masyarakat tani plasma. Persepsi masyarakat terhadap program perjanjian kemitraan antara petani mitra dengan Perusahaan tertentu merupakan landasan atas dasar utama bagi timbulnya kesediaan untuk ikut terlibat dan berperan aktif dalam setiap program kerja sama operasional tersebut. Makna positif atau negatif sebagai hasil persepsi seseorang terhadap program kerja sama operasional akan mendorong untuk berperan aktif dalam kegiatan kerja sama operasional.Berbagai hal yang menjadi pengalaman yang baik dan kurang menyenangkan sering mengakibatkan warga masyarakat kurang mampu terbuka untuk secara jujur menyatakan persepsi dan pandanganya tentang suatu program kerja sama operasional yang diselenggarakan oleh perushaan dan pemerintah (sutopo, 1996: 132).
D. Kemitraan Menurut Hafsah (2002:43), kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan
bersama
dengan
prinsip
saling
membutuhkan
dan
saling
membesarkan. Karena merupakan strategi bisnis, maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis. Menurut Undang-Undang No.9 Tahun 1995, kemitraan adalah kerja sama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan Pengembangan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Harjono dalam Fadloli (2005) mendefinisikan kemitraan sebagai persetujuan antara dua pihak yang mempunyai kebutuhan saling mengisi dan bekerjasama bagi kepentingan kedua belah pihak atas saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Kemitraan diciptakan karena pihak pertama memerlukan sumber-sumber yang dimiliki pihak lain meliputi modal,
5
tanah, tenaga kerja, akses terhadap teknologi baru, kapasitas pengolahan dan outlet untuk pemasaran hasil produksi. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kemitraan merupakan jalinan kerjasama usaha yang merupakan strategi bisnis yang dilakukan antara dua pihak atau lebih dengan prinsip saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan yang disertai adanya satu pembinaan dan pengembangan. Hal ini dapat terjadi karena pada dasarnya masing-masing pihak pasti mempunyai kelemahan dan kelebihan, justru dengan kelemahan dan kelebihan masing-masing pihak akan saling melengkapi dalam arti pihak yang satu akan mengisi dengan cara melakukan pembinaan terhadap kelemahan yang lain dan sebaliknya. a) Unsur-unsur kemitraan Pada
dasarnya
kemitraan
itu
merupakan
suatu
kegiatan
saling
menguntungkan dengan pelbagai macam bentuk kerjasama dalam menghadapi dan memperkuat satu sama lainnya. Kemitraan merupakan satu harapan yang dapat meningkatkan produktivitas dan posisi tawar yang adil antar pelaku usaha. Berkaitan dengan kemitraan seperti yang telah disebut di atas, maka kemitraan itu mengandung beberapa unsur pokok, yaitu : 1. Kerjasama Usaha Dalam konsep kerjasama usaha melalui kemitraan ini, jalinan kerjasama yang dilakukan antara usaha besar atau menengah dengan usaha kecil didasarkan pada kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama terhadap kedua belah pihak yang bermitra. Ini berarti bahwa hubungan kerjasama yang dilakukan antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil mempunyai kedudukan yang setara dengan hak dan kewajiban timbal balik sehingga tidak ada pihak yang dirugikan, tidak ada yang saling mengeksploitasi satu sama lain dan tumbuh berkembangnya rasa saling percaya di antara para pihak dalam mengembangkan usahanya. Dengan hubungan kerjasama melalui kemitraan ini diharapkan pengusaha besar atau menengah dapat menjalin hubungan kerjasama yang saling menguntungkan dengan pengusaha kecil atau pelaku ekonomi lainnya, sehingga pengusaha kecil akan lebih berdaya dan tangguh didalam berusaha demi tercapainya kesejahteraan.
6
2. Pembinaan dan Pengembangan Pada dasarnya yang membedakan hubungan kemitraan dengan hubungan dagang biasa oleh pengusaha kecil dengan pengusaha besar adalah adanya bentuk pembinaan dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil atau koperasi yang tidak ditemukan pada hubungan dagang biasa. Bentuk pembinaan dalam kemitraan antara lain pembinaan didalam mengakses modal yang lebih besar, pembinaan manajemen usaha, pembinaan peningkatan sumber daya manusia (SDM), pembinaan manajemen produksi, pembinaan mutu produksi serta menyangkut pula pembinaan didalam pengembangan aspek institusi kelembagaan, fasilitas alokasi serta investasi. 3. prinsip Saling Memerlukan, Saling Memperkuat dan Saling Menguntungkan : a. Prinsip Saling Memerlukan Kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang diawali dengan mengenal dan mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya. Pemahaman akan keunggulan yang ada akan menghasilkan sinergi yang berdampak pada efisiensi, turunnya biaya produksi dan sebagainya. Penerapannya dalam kemitraan, perusahaan besar dapat menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan yang kecil. Sebaliknya perusahaan yang lebih kecil, yang umumnya relatif lemah dalam hal kemampuan teknologi, permodalan dan sarana produksi melalui teknologi dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar. Dengan demikian sebenarnya ada saling memerlukan atau ketergantungan diantara kedua belah pihak yang bermitra. b. Prinsip Saling Memperkuat Dalam kemitraan usaha, sebelum kedua belah pihak memulai untuk bekerjasama, maka pasti ada sesuatu nilai tambah yang ingin diraih oleh masing-masing pihak yang bermitra. Nilai tambah tersebut dapat berupa nilai ekonomi seperti peningkatan modal dan keuntungan, perluasan pangsa pasar, maupun non ekonomi seperti peningkatan kemampuan manajemen dan penguasaan teknologi. Keinginan ini merupakan konsekuensi logis dan alamiah dari adanya kemitraan sehingga dengan bermitra terjadi suatu sinergi antara para pelaku yang bermitra dengan harapan nilai tambah yang diterima akan
7
lebih besar. Dengan demikian terjadi saling isi mengisi atau saling memperkuat dari kekurangan masing-masing pihak yang bermitra. c. Prinsip Saling Menguntungkan Salah satu maksud dan tujuan dari kemitraan usaha adalah saling menguntungkan. Pada kemitraan ini, tidak berarti para partisipan harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, akan tetapi adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing. Berpedoman pada kesejajaran kedudukan atau memiliki derajat yang setara bagi masingmasing pihak yang bermitra, maka tidak ada pihak yang tereksploitasi dan dirugikan tetapi justru terciptanya rasa saling percaya diantara para pihak sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan atau pendapatan melalui pengembangan usahanya. a) Pola kemitraan Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 pasal 27, pola kemitraan dapat dilaksanakan dalam enam pola, yaitu : 1. Inti-plasma Pola inti-plasma adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang didalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar bertindak sebagai inti dan Usaha Kecil selaku plasma, perusahaan ini melaksanakan pembinaan mulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis, sampai dengan pemasaran hasil produksi. 2. Subkontrak Pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang didalamnya Usaha Kecil memproduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar sebagai bagian dari produksinya. 3. Dagang umum Pola dagang umum adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang didalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi Usaha Kecil atau
8
Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya. 4. Waralaba Pola waralaba adalah hubungan kemitraan yang didalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan bimbingan manajemen. 5. Keagenan Pola keagenan adalah hubungan kemitraan, yang didalamnya Usaha Kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa Usaha Menengah atau Usaha Besar mitranya. 6. Bentuk-bentuk lain Pola bentuk-bentuk lain di luar pola di atas adalah pola kemitraan yang pada saat ini sudah berkembang, tetapi belum dibakukan, atau pola baru yang akan timbul di masa yang akan datang. Seperti pola Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA) merupakan hubungan kemitraan yang di dalamnya kelompok mitra menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja, sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya atau modal dan/atau sarana untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi pertanian. b) Konsep kemitraan Konsep kemitraan berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan
oleh
usaha
menengah
atau
usaha
besar
dengan
memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Konsep tersebut diperjelas pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 yang menerangkan bahwa bentuk kemitraan yang ideal adalah yang saling memperkuat, saling menguntungkan, dan saling menghidupi. Brinkerhoff et al. (1990) dalam Sumardjo et al. (2004)
9
mengatakan kemitraan sebagai sebuah sistem, harus memiliki unsur-unsur berikut ini: 1. Input (sumberdaya), yaitu material, uang, manusia, informasi, dan pengetahuan merupakan hal yang didapat dari lingkungannya dan akan memiliki kontribusi pada produksi output. 2. Output, seperti produk dan pelayanan adalah hasil dari suatu kelompok atau organisasi. 3. Teknologi, yaitu metode dan proses dalam transformasi input menjadi output. 4. Lingkungan, yaitu keadaan di sekitar kelompok mitra dan perusahaan mitra yang dapat mempengaruhi jalannya kemitraan. 5. Keinginan, yaitu strategi, tujuan, rencana dari pengambil keputusan. 6. Perilaku dan proses, yaitu pola perilaku, hubungan antar kelompok atau organisasi dalam proses kemitraan. 7. Budaya, yaitu norma, kepercayaan, dan nilai dalam kelompok mitra dan perusahaan mitra. 8. Struktur, yaitu hubungan antar individu, kelompok, dan unit yang lebih besar.
E. Penelitian Terdahulu Penelitian di Kota Bogor oleh Nugraha, Soedodo dan Hutagalung (2008), dengan judul Hubungan Antara Persepsi Masyarakat tentang Ruang Terbuka Hijau dan Etika Lingkungan dengan Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Kota yang Berwawasan Lingkungan bertujuan menganalisis hubungan antara persepsi masyarakat tentang RTH dengan partisipasi masyarakat dalam pengembangan kota yang berwawasan lingkungan, untuk mengetahui hubungan antara etika lingkungan masyarakat dengan partisipasi masyarakat dalam pengembangan kota yang berwawasan lingkungan, dan untuk megetahui hubungan antara persepsi masyarakat tentang RTH dan etika lingkungan secara bersama-sama. Metode penelitian yang di gunakan adalah metode survai dan teknik analisis data dengan menggunakan uji statistik korelasi dan regresi linear
10
sederhana serta korelasi dan regresi linear ganda. Hasil penelitian menunjukkan Terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara persepsi masyarakat tentang ruang terbuka hijau (X1) dengan partisipasi masyarakat dalam pengembangan kota yang berwawasan lingkungan (Y) dengan nilai koefisien korelasi (r) = 0.616 dan nilai koefisien determinasi (r2) = 0.379, serta dengan persamaan regresi Y = -34.80 + 1.10X1. Berdasarkan persamaan regresi tersebut dapat menggambarkan bahwa setiap kenaikan skor persepsi masyarakat tentang ruang terbuka hijau (X1) sebesar satu unit, maka akan diikuti kenaikan skor partisipasi masyarakat dalam pengembangan kota yang berwawasan lingkungan (Y) sebesar 1.10 pada arah yang sama dengan konstanta -34.80.
Terdapat
hubungan positif yang signifikan antara etika lingkungan (X2) dengan partisipasi masyarakat dalam pengembangan kota yang berwawasan lingkungan (Y) dengan nilai koefisien korelasi (r) = 0.485 dan harga koefisien determinasi (r2) = 0.235 serta dengan persamaan regresi Y = 57.50 + 0.32X2. Berdasarkan persamaan regresi tersebut dapat menggambarkan bahwa setiap kenaikan skor etika lingkungan (X2) sebesar satu unit, maka akan diikuti kenaikan skor partisipasi masyarakat dalam pengembangan kota yang berwawasan lingkungan (Y) sebesar 0.32 pada arah yang sama dengan konstanta 57.50. Meningkatkan masalah moral dan persoalan perilaku manusia agar menunjang partisipasi masyarakat dalam pengembangan kota yang berwawasan lingkungan. Penelitian oleh Rochmatika (2006) dengan judul Kajian Kepuasan Petani Tebu Rakyat Terhadap Pelaksanaan Kemitraan Pabrik Gula Xyz di Kota Bogor. Tujuannya adalah Menganalisis pelaksanaan kemitraan PG XYZ dengan petani mitra, Menganalisis tingkat kepuasan petani mitra terhadap kemitraan yang sedang dijalankan, Merumuskan strategi yang tepat agar petani mitra loyal untuk menggilingkan hasilnya di PG XYZ. Metode penelitian yang di gunakan yaitu Metode penarikan sampel dilakukan dengan metode stratified proporsional sampling dengan membagi populasi menjadi tiga skala usaha berdasarkan luas lahan, yaitu skala kecil (di bawah 10 hektar), skala menengah (10,1-20 hektar), dan skala besar (di atas 20 hektar). Hasil penelelitian Berdasarkan evaluasi pelaksanaan kemitraan, kemitraan yang berjalan antara petani tebu rakyat dengan
11
PG XYZ sudah berjalan cukup baik. Hal ini terlihat dari perjanjian kemitraan yang sudah banyak terealisasi. Namun demikian, lemahnya perjanjian tersebut dari sisi hukum mengakibatkan beberapa klausul perjanjian tidak sesuai dengan realisasi. Perjanjian kemitraan yang selalu sama tiap tahunnya, mengakibatkan tidak adanya perbaikan dalam pencapaian kesinergisan kemitraan. Hasil analisis kepentingan-kepuasan dan indeks kepuasan pelanggan menunjukkan bahwa petani dengan skala kecil telah cukup puas dengan kinerja PG terutama atribut bantuan biaya tebang angkut, pemetaan luas areal kebun, dan frekuensi bimbingan teknis. Akan tetapi, petani mitra mengeluhkan bantuan biaya garap yang kurang dan juga terlambat. Petani skala kecil memiliki indeks kepuasan sebesar 63,124 persen. Angka ini
dapat
dikategorikan
cukup puas
atas kinerja PG
selama
kemitraan,Petani mitra dengan skala usaha menengah menyatakan bahwa PG seringkali membeda-bedakan dalam hal penanganan terhadap keluhan sehingga seringkali petani skala menengah tidak mendapat respon terhadap keluhan dan rendemen yang diberikan kepada petani belum transparan. Atribut bantuan biaya tebang angkut dan frekuensi bimbingan teknis merupakan atribut yang dinilai kinerjanya cukup baik dibanding atribut lain. Indeks kepuasan petani mitra skala menengah sebesar 61,459 persen, artinya petani skala menengah cukup puas dengan kinerja kemitraan PG, Petani mitra skala besar hanya menginginkan atribut rendemen untuk diperbaiki. Atribut bibit yang diberikan dan respon terhadap segala keluhan dinilai sudah memenuhi harapan petani mitra skala besar. Indeks kepuasan petani mitra skala besar sebesar 60,25 persen. Angka ini tidak berbeda jauh dengan petani mitra skala menengah dan dapat disimpulkan petani mitra skala menengah dan besar cukup puas. Penelitian di Kota Sulawesi Selatan oleh Ngakan, Komarudin, Achmad dan Tako (2006), dengan judul
Ketergantungan, Persepsi dan Partisipasi
Masyarakat terhadap Sumberdaya Hayati Hutan. Tujuan penelitian untuk mengetahui ketergantungan masyarakat Dusun Pampli Desa Sepakat Kabupaten Luwu Utara di Provinsi Sulawesi Selatan terhadap sumberdaya hayati hutan serta perikehidupan sosial mereka dalam kaitannya dengan kepedulian mereka pada sumberdaya hayati hutan tempatnya bergantung hidup. Metode yang di gunakan
12
metoda Participatory Rural Appraisal (PRA), sedangkan data potensi hasil hutan disurvei di dalam 61 plot masingmasing berukuran 0.1 ha. Perilaku masyarakat dalam mengumpulkan atau memanen hasil hutan diamati dengan mengikuti kegiatan mereka di dalam hutan. Hasil penelitian berdasarkan HHBK merupakan sumberdaya hayati yang paling bernilai dari hutan. Selain nilai ekonominya yang jauh lebih besar dari kayu, pemungutan HHBK tidak menyebabkan kerusakan hutan, sehingga tidak akan mengakibatkan hilangnya fungsifungsi dan nilai jasa dari hutan. Kontribusi HHBK terhadap kehidupan masyarakat Dusun Pampli selain sangat berarti secara ekonomi juga lebih merata dibandingkan dengan kayu. Manfaat dari kayu hanya dinikmati oleh masyarakat tertentu saja, yaitu mereka yang memiliki modal paling kurang satu unit chainsaw. Setiap masyarakat di Dusun Pampli dapat memungut rotan kapan pun mereka memerlukan uang. HHBK yang melimpah bukannya membuat masyarakat Dusun Pampli hidup sejahtera, melainkan cenderung sebaliknya. Karena sumberdaya hayati hutan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat kapan pun mereka kehendaki, ada kecenderungan bahwa, masyarakat Dusun Pampli menjadi manja. Saat ini mereka bukan saja tidak berupaya tetapi juga tidak berpikir bagaimana agar manfaat dari sumberdaya hayati hutan tersebut dapat diperoleh secara lebih optimal dan berkelanjutan. Masyarakat Dusun Pampli memerlukan bimbingan untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya melalui pemanfaatan sumberdaya hayati hutan secara optimal dan berkelanjutan. Apa yang terjadi terhadap masyarakat Dusun Pampli, bukan mustahil juga terjadi terhadap masyarakat hutan lainnya di Kabupaten Luwu Utara, maupun di daerah lainnya di Indonesia. Selanjutnya oleh Ayunita Haspari (2008) dengan judul Analisis Persepsi Dan Preferensi Masyarakat Tentang Aspek Perancangan Kota, Tanggerang. Tujuanya adalah untuk mengetahui Analisis Persepsi Masyarakat Tentang Aspek Perancangan Kota, Analisis Persepsi Masyarakat Tentang Aspek Building Form and Massing. Metode yang digunakan dengan menggunakan skala linkert dan menghitung jumlah bobot penilaian kepentingan/preferensi untuk setiap variabel. Hasil yang di peroleh Kuadran I (Prioritas Utama). Variabel-variabel yang terdapat dalam kuadran ini memiliki tingkat kepentingan tinggi menurut
13
responden namun kinerjanya masih rendah. Implikasinya variabel-variabel yang terdapat dalam kuadran ini harus diprioritaskan untuk diperbaiki. Variabelvariabel yang terdapat dalam kuadran ini antara lain permukiman, taman bermain, trotoar, RTH, papan informasi. Kuadran II (Pertahankan). Variabel-variabel yang terdapat dalam kuadran ini memiliki tingkat kepentingan yang tinggi dan kinerjanya juga dinilai baik oleh responden. Variabel-variabel yang terdapat dalam kuadran ini merupakan kekuatan atau keunggulan dari Kawasan Kota Lama Tangerang di mata responden. Pemerintah, masyarakat dan swasta perlu menjaga kualitas dan mempertahankan kinerja dari variabel-variabel tersebut. Variabelvariabel yang terdapat dalam kuadran ini antara lain klenteng, fisik museum, koleksi museum, even-even dan pasar tradisional. Kuadran III (Prioritas Rendah). Variabel-variabel yang terdapat dalam kuadran ini memiliki tingkat kepentingan yang rendah dan kinerjanya juga dinilai kurang baik oleh responden. Pemerintah, masyarakat dan swasta perlu melakukan perbaikan terhadap variabel-variabel tersebut untuk mencegah variabel tersebut bergeser ke kuadran I. variabel-variabel yang terdapat dalam kuadran ini antara lain Papan iklan ruko, rambu-rambu dan PKL. Kuadran IV (Berlebihan). Variabel-variabel yang terdapat dalam kuadran ini memiliki tingkat kepentingan yang rendah menurut responden namum memiliki kinerja yang baik sehingga dianggap berlebihan oleh responden. Peningkatan kinerja pada variabel-variabel ini hanya akan menyebabkan terjadinya pemborosan sumber daya Variabel-variabel yang terdapat dalam kuadran ini adalah Ruko dan gang. Selanjutnya penelitian ini di Kota Samarinda oleh Lesmana, Ratina dan Jumriani (2011), dengan judul Hubungan Persepsi Dan Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Keputusan Petani Mengembangkan Pola Kemitraan Petani Plasma Mandiri Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) Di Kelurahan Bantuas Kecamatan Palaran Kota Samarinda. Bertujuan Mengetahui persepsi petani plasma mandiri dan non plasma mandiri mengenai pengembangan petani plasma mandiri di Kelurahan Bantuas. Mengetahui tingkat faktor-faktor sosial ekonomi seperti umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, pendapatan, luas lahan dan harga terhadap keputusan petani mengembangkan pola kemitraan petani plasma
14
mandiri. Mengetahui apakah terdapat hubungan antara persepsi dan faktor-faktor sosial ekonomi terhadap keputusan petani mengembangkan pola kemitraan petani plasma mandiri. Mengetahui keeratan hubungan antara persepsi dengan faktorfaktor sosial ekonomi terhadap keputusan petani mengembangkan pola kemitraan petani plasma mandiri. Metode penelitian yang di gunakan adalah Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh
dengan
cara
wawancara
langsung kepada
responden
menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah disusun sesuai dengan kebutuhan penelitian, metode analisis data using likert scale, Chi-Square dan contingency correlation test. Hasil penelitian menunjukkan Responden plasma mandiri memiliki persepsi positif sebesar 100%, dan 20% responden non plasma mandiri memiliki persepsi positif namun tidak mengembangkan pola kemitraan petani plasma mandiri karena adanya faktorfaktor sosial ekonomi responden yang tidak mendukung. Tingkat faktor-faktor sosial ekonomi responden plasma mandiri terhadap keputusan petani berada pada tingkat kategori sedang sebesar 86,66% dan responden non plasma mandiri sebesar 73,33%. Hasil analisis Chi kuadrat (χ2) menunjukkan bahwa χ2 hitung = 6,166 dan χ2 tabel (db, α = 0,05) = 5,991 atau χ2 hitung = 6,166 ≥ χ2 tabel = 5,991 yang berarti bahwa terdapat hubungan antara persepsi dan faktor-faktor sosial ekonomi terhadap keputusan petani mengembangkan pola kemitraan petani plasma mandiri.
F. Kerangka Pikir Analisis persepsi masyarakat Pada pola inti plasma di PT.PG Gorontalo Tolangohula di Provinsi Gorontalo merupakan pola inti yaitu perusahaan perkebunan besar, baik milik swasta maupun milik negara yang bertindak sebagai pelaksana proyek PIR Inti, dan pola plasma merupakan petani yang memenuhi syarat menjadi perserta PIR pada perusahaan PT.PG Gorontalo tolangohula di mana mereka mendapat lahan kebun tebu dan pembinaan serta berbagai fasilitas lainya penepatan petani plasma sebagai peserta PIR berdasarkan surat keputusan. Persepsi petani membentuk dua komitmen yang pertama komitmen perusahaan. perusahaan melakukan beberapa komitmen yaitu komitmen harga,
15
komitmen dukungan factor input dan komitmen factor penunjang, yang kedua Petani di bagi menjadi dua yaitu jaminan pasar pegembangan industry skala kecil. Untuk menganalisis tingkat pola inti dan pola plasma dalam persepsi petani terhadap Persepsi Masyarakat Pada Pola Inti Plasma di gunakan metode Analisis Kuantitatif deskriptif. Dengan metode tersebut akan di ketahui sejauh mana kesesuaian tingkat output dari Analisis Persepsi Masyarakat Pada Pola Inti Plasma di PT.PG Gorontalo Tolangohula.Kerangka alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 Analisis Persepsi Masyarakat Pada Pola Inti Plasma Di PT.PG Gorontalo Di Provinsi Gorontalo
Pola Inti
Pola Plasma Persepsi Petani
Komitmen Perusahaan
Komitmen Harga
Komitmen Dukungan Faktor Input
Petani
Komitmen Faktor Penunjang
Pengembangan Industri Skala Kecil
Jaminan Pasar
Analisis Kuantitatif
Output Gambar: 1. Kerangka Pikir Analisis Persepsi Masyarakat Pada Pola Inti Plasma Di PT.PG Gorontalo Di Provinsi Gorontalo 16
G. Hipotesis 1. Persepsi masyarakat tentang kemitraan pola inti plasma PT.PG.Gorontalo Sangat baik. 2. Pola kemitraan inti plasma di PT.PG.Gorontalo Menguntungkan.
17