BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Proses Aterosklerosis
Dalam
beberapa
dekade
terakhir,
teori
mengenai
patogenesis
aterosklerosis memprediksi bahwa proliferasi sel otot polos (SMCs) menjadi penyebab terbentuknya lesi fibrous yang mengelilingi “inti nekrosis” akibat deposit kolesterol dan kolesteril-ester. Sel endotel normal (EC) akan menghambat interaksi adhesif dengan leukosit dalam darah, sedangkan EC yang distimulasi oleh ekspresi sitokin proinflamasi akan mengekspresikan molekul adhesif untuk menangkap dan mengikat leukosit pada permukaan endotel. Pada uji coba hewani, setelah inisiasi dengan diet hiperkolesterol, arteri menunjukkan ekspresi bermacam-macam molekul adhesif leukosit yang meningkat, termasuk vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan selektin-P. VCAM-1 hanya berikatan dengan sel darah putih yang ditemukan pada lesi aterosklerosis awal seperti mononuklear fagosit dan limfosit T. Jadi transisi arteri normal menjadi lesi aterosklerosis bergantung pada jumlah leukosit yang menginisiasi dan kemudian melanjutkan proses inflamasi secara terus menerus.
Sesaat setelah berikatan dengan permukaan endotel, leukosit memerlukan sinyal kemotraktan untuk dapat langsung bermigrasi ke lapisan intima subendotelial. Sitokin proinflamasi yang multipel berpartisipasi dalam proses ini. Monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1) menyebabkan transmigrasi monosit. Sel dinding vaskular intrinsik, endotelium, dan otot polos dapat memproduksi MCP-1. Sitokin kemotraktan yang lain seperti fraktalkin dan interleukin (IL-8) juga dapat menyebabkan migrasi leukosit adheren selama aterogenesis.
5
6
Fagosit mononuklear mengalami perubahan ciri dan membentuk foam cell setelah masuk ke intima arteri. Monosit juga akan mengekspresikan reseptor scavenger, yang menangkap lipoprotein sehingga berakumulasi pada ruang subendokardium.
Kemampuan
menangkap
lipoprotein
ini
menyebabkan
pembentukan kompleks makrofag-lipid yang disebut foam cell, tanda khas lesi aterosklerosis awal, yang disebut fatty streak (Libby, 2006)
Gambar 2.1. Proses pembentukan foam cell (A) Artery normal, meliputi lumen yang dilapisi endotelium, lapisan intima, dan tunika media. (B) Sel endotelium yang terekspos dengan mediator inflamasi mengekspresikan molekul adhesif pada permukaan lumen. Molekul adhesi ini berikatan dengan reseptor pada leukosit, menyebabkan perlengketan pada permukaan endotelium. (C) Sitokin kemotraktan seperti MCP-1, fraktalkin, dan IL-8 memberi sinyal kepada leukosit untuk menetrasi lapisan endotelium ke intima dengan diapedesis. (D) Monosit akan mengekspresikan reseptor scavenger dan menjadi foam cell, tanda awal dari fatty streak, prekursor lesi aterosklerosis yang kompleks. Makrofag pada
7
plak juga bereplikasi. Mediator inflamasi seperti M-CSF dapat memproduksi reseptor scavenger dan proliferasi makrofag pada ateromata (Libby, 2006).
2.2 Inflamasi pada Aterosklerosis
Hiperkolesterolemia menyebabkan aktivasi endotelium pada arteri sedang dan besar. Infiltrasi dan retensi LDL pada intima menginisiasi respon inflamasi pada dinding arteri. Trombosit adalah sel darah pertama yang tiba pada lokasi endotelium yang teraktivasi. Glikoprotein Ib dan IIb/IIIa akan berikatan dengan permukaan molekul sel endotelium, yang berkontribusi pada aktivasi endotel. Sel endotel yang teraktivasi mengekpresikan berbagai tipe molekul adhesif leukosit, yang menyebabkan sel darah akan berikatan pada tempat aktivasi (Gambar 2.2).
Sitokin yang diproduksi pada intima yang mengalami inflamasi yaitu macrophage colony-stimulating factor, menginduksi monosit yang masuk ke dalam plak dan berdiferensiasi menjadi makrofag. Hal ini penting dalam perkembangan aterosklerosis dan berhubungan dengan regulasi reseptor untuk imunitas bawaan, termasuk reseptor scavenger dan reseptor toll-like.
Reseptor scavenger menangkap dan menghancurkan sejumlah molekul dan partikel yang memiliki pola seperti patogen meliputi endotoxin bakteri, fragmen sel apoptosis, dan LDL yang teroksidasi. Reseptor toll-like juga berikatan dengan molekul dengan pola molekul seperti patogen, tetapi berbeda dengan reseptor scavenger, reseptor ini menginisiasi kaskade sinyal yang menyebabkan aktivasi sel.
Sel imun (termasuk sel T, sel dendritik yang mempresentasikan antigen, monosit, makrofag, dan sel mast) dan patrol tissue (termasuk arteri yang mengalami aterosklerosis) akan mencari antigen. Infiltrasi sel T selalu dijumpai pada lesi aterosklerosis. Ketika reseptor antigen sel T berikatan dengan antigen, aktivasi kaskade menghasilkan ekspresi sejumlah sitokin, cell-surface molecules,
8
dan enzim. Respon T-helper tipe 1 (Th1) mengaktivasi makrofag, menginisiasi respon inflamasi yang mirip dengan hipersensitivitas dan berfungsi melawan patogen intraseluler, sedangkan respon T-helper tipe 2 (Th2) berupa inflamasi alergi. Lesi aterosklerosis mengandung sitokin yang merangsang respon Th1. Sel T yang teraktivasi kemudian berdiferensiasi menjadi sel efektor Th1 dan mulai menghasilkan sitokin interferon γ oleh makrofag. Interferon γ meningkatkan efisiensi presentasi antigen dan sintesis sitokin inflamasi berupa tumor necrosis factor dan interleukin-1 (Gambar 2.3).
Sitokin sel T menyebabkan produksi sejumlah besar molekul pada kaskade sitokin. Peningkatan jumlah interleukin-6 dan C-reactive protein dapat terdeteksi di sirkulasi perifer (Hansson, 2005) (Gambar 2.4).
.
.
Gambar 2.2. Efek aktivasi infiltrasi LDL pada arteri yang terinflamasi (Hansson, 2005). Pada pasien hiperkolesterol, kelebihan LDL akan berinfiltrasi pada arteri dan tertahan pada intima. Proses oksidatif dan enzimatik menyebabkan pelepasan lemak terinflamasi yang menginduksi sel endotel untuk mengekspresikan molekul adhesif leukosit. Partikel LDL termodifikasi akan ditangkap oleh reseptor scavenger yang merubahnya menjadi foam cell.
9
Gambar 2.3. Efek aktivasi sel T pada plak yang terinflamasi (Hansson, 2005). Antigen yang dipresentasikan oleh makrofag dan sel dendritik akan merangsang aktivasi sel T pada arteri. Kebanyakan sel T yang teraktivasi akan memproduksi sitokin Th1 (interferon γ), yang mengaktivasi sel makrofag dan vaskuler, menyebabkan inflamasi. Sel T akan memodulasi proses dengan mensekresi sitokin antiinflamasi (seperti interleukin10 dan transforming growth factor B).
10
Gambar 2.4. Kaskade Sitokin (Hansson, 2005). Sel imun yang teraktivasi pada plak memproduksi sitokin inflamasi (interferon γ, interleukin-1, dan tumor necrosis factor [TNF]), yang menginduksi produksi sejumlah interleukin-6. Sitokin ini juga diproduksi oleh berbagai jaringan sebagai respon infeksi dan jaringan lemak pada sindroma metabolik. Interleukin-6 juga akan kembali menstimulasi produksi sejumlah besar reaktan fase akut, termasuk CRP, serum amiloid A, dan fibrinogen, terutama di hati.
2.3 Respon Inflamasi pada Intervensi Koroner Perkutan
Respon inflamasi berkorelasi dengan tingkat cedera arteri, karena reaksi inflamasi merangsang kaskade sekuele trombosis dan hiperplasi. Dilatasi balon pada dinding arteri akan memprovokasi deendotelialisasi dan deposit sejumlah trombosit dan fibrin pada tempat yang mengalami cedera. Pembentukan kompleks trombosit-trombosit, trombosit-leukosit, dan leukosit-sel endotel akan dimediasi oleh molekul adhesif. Selektin P memediasi adhesi trombosit yang teraktivasi dengan monosit dan neutrofil, dan perputaran leukosit pada endotelium.
11
Terdapat perbedaan antara stenting dan angioplasti pada mekanisme patofisiologi terhadap perkembangan hiperplasi intima, karena reaksi inflamasi pasca stenting lebih menonjol. Pada angioplasti hanya diikuti dengan infiltrasi neutrofil awal, sedangkan pada stenting, infiltrasi neutrofil diikuti dengan akumulasi makrofag secara terus menerus. Pada arteri yang dilakukan pemasangan stenting, terdapat keterlibatan makrofag yang berlebihan dalam neointima, sementara pada arteri yang dilakukan angioplasti tidak dijumpai keterlibatan makrofag.
Pada fase awal implantasi stent, trombus mural akan terbentuk diikuti dengan invasi SMCs, limfosit T dan makrofag, kemudian neointima yang menutupi daerah stent secara lengkap setelah 4 minggu ini akan mengandung sedikit matriks ekstraseluler yang semakin lama semakin banyak dan membentuk segmen lengkap. Terdapat hubungan antara penetrasi stent dengan kepadatan sel inflamasi dan ketebalan neointima. Neointima dari sel inflamasi lebih tebal 2-4 kali pada segmen dengan restenosis, dan inflamasi dihubungkan dengan neoangiogenesis. Stenting dapat disertai dengan cedera bagian medial atau penetrasi stent ke dalam inti lipid menginduksi peningkatan inflamasi arteri yang berkorelasi dengan peningkatan pertumbuhan neointima (Toutouzas dkk, 2004).
2.4 Penanda Inflamasi
Rangsangan inflamasi yang disebabkan oleh sitokin proinflamasi dapat meningkat melalui produksi interleukin-6. Berbagai tipe sel seperti SMCs dan EC dapat menghasilkan sejumlah besar interleukin-6 ketika terekspos dengan interleukin-1β atau TNF-α. Interleukin-6 adalah mediator yang mengontrol respon fase akut di hati. Ketika terkespos dengan interleukin-6, hepatosit akan meningkatkan ekspresi protein fase akut, termasuk fibrinogen, PAI-1, serum amiloid A (SAA), dan CRP (Libby, 2006).
12
Gambar 2.5. Jalur inflamasi selama aterosklerosis yang dapat meningkatkan konsentrasi penanda inflamasi pada darah (Libby, 2006).
Hubungan antara fibrinogen, serum amiloid A (SAA), dan CRP dengan penyakit jantung koroner telah terbukti. Fibrinogen dan SAA dapat diukur di laboratorium klinik, namun parameter dan nilai batas normal belum terstandarisasi oleh FDA. CRP adalah protein yang sangat stabil dan telah diukur di berbagai laboratorium selama beberapa dekade terakhir untuk menilai proses infeksi aktif atau inflamasi. Metode yang sedang berkembang adalah high-sensitivity CRP (hsCRP) karena dapat mengukur nilai CRP pada konsentrasi ≤0,3 mg/L. CRP tersusun dari 5 subunit identik dan nonkovalen, masing-masing terdiri dari 206 residu asam amino dengan berat molekul 23,017 kDa, sehingga total berat molekul CRP sekitar 118,000 kDa dan merupakan mekanisme pertahanan nonspesifik. CRP merupakan protein yang meningkat secara konsisten dan protein fase akut yang paling cepat bereaksi (waktu paruh 19 jam), menunjukkan CRP bagian dari respon imunitas bawaan. Konsentrasi CRP akan meningkat sampai 1000 kali atau lebih dalam waktu 24-48 jam setelah cedera jaringan. Menurut AHA/CDC, interpretasi klinis nilai CRP terhadap risiko
13
kardiovaskular adalah: < 1mg/L dianggap risiko rendah, 1-3 mg/L risiko sedang, >3 mg/L risiko tinggi. Usia dan etnik tidak mempengaruhi nilai CRP, tetapi kondisi fisik dan kebiasaan hidup seperti aktivitas fisik, obesitas, merokok dan konsumsi alkohol mempengaruhi konsentrasi CRP (Rifai, 2006).
HsCRP adalah penanda inflamasi yang dapat memprediksi insidensi infark miokardium, stroke, penyakit arteri perifer, dan kematian jantung mendadak diantara orang normal tanpa riwayat penyakit jantung, CRP juga memprediksi insidensi serupa pada penderita sindroma koroner akut ataupun penyakit koroner stabil. CRP tidak hanya disintesis oleh hati akibat respon terhadap interleukin-6 tetapi juga dihasilkan oleh sel otot polos dalam arteri koroner. Penelitian menunjukkan CRP dapat mempengaruhi kerentanan vaskuler secara langsung melalui banyak mekanisme, termasuk peningkatan ekspresi molekul adhesif pada permukaan sel endotel, MCP-1, endotelin-1, dan PAI-1; menurunkan bioaktivitas nitrit oksida (NO); peningkatan induksi faktor jaringan pada monosit; peningkatan serapan LDL oleh makrofag; dan kolonisasi dengan kompleks membran komplemen dalam lesi aterosklerosis (Bassuk dkk, 2006).
Gambar 2.6. Mekanisme terkait CRP terhadap perkembangan dan progresi aterotrombosis (Bassuk, 2006)
14
Liuzzo dkk menunjukkan pada 31 pasien dengan angina tidak stabil berat dan tidak ada bukti nekrosis miokardium yang ditandai dengan tidak adanya peningkatan troponin T, konsentrasi hsCRP > 3mg/L pada saat masuk dihubungkan dengan peningkatan angina rekuren, revaskularisasi koroner, infark miokardium, dan kematian kardiovaskuler. Data dari European Concerted Action on Thrombosis and Disabilities (ECAT) Angina Pectoris Study Group, studi dari 2121 pria dan wanita dengan angina stabil dan tidak stabil menunjukkan setiap peningkatan 1 standar deviasi hsCRP dihubungkan dengan peningkatan risiko relatif sekitar 45% terhadap infark miokardium atau kematian jantung mendadak (Haverkate dkk, 1997).
Peningkatan CRP juga berhubungan bermakna dengan peningkatan risiko trombosis stent, kematian dan infark miokardium pada pasien yang mendapat drug-eluting stent. Hal ini menunjukkan kegunaan dari penilaian risiko inflamasi dengan CRP (Park dkk, 2009). Inoue dkk menunjukkan CRP adalah penanda unggulan untuk ketidakstabilan plak atau status inflamasi, dan sumbernya kemungkinan besar berasal dari plak yang mengalami inflamasi atau dinding arteri koroner yang cedera akibat stent (Inoue dkk, 2005). Studi menunjukkan nilai CRP sebelum prosedur angioplasti merupakan prediktor kuat terhadap kejadian komplikasi dini dan restenosis dari pasien yang menjalani angioplasti pada satu pembuluh darah (Buffon dkk, 1999). hsCRP merupakan penanda baru yang menjanjikan untuk prediksi penyakit koroner pertama ataupun rekuren (Rifai dan Paul, 2001).
Kralisz dkk menunjukkan terdapat perbedaan antara nilai hsCRP sebelum dan 24 jam setelah IKP (1.36±0.93 mg/L and 4.34±3.3 mg/L, p <0.0001), respon inflamasi yang dipresentasikan oleh hsCRP lebih tinggi pada pasien dengan intervensi koroner multivaskular dengan total segmen stent yang lebih panjang. Nyandak dkk juga menunjukkan nilai hsCRP yang lebih tinggi pada pasien dengan derajat stenosis yang lebih berat dan berhubungan dengan beban penyakit pada penderita PJK.
15
2.5 Kekuatan Bekuan Fibrin ( Fibrin Clot Strength)
Pembentukan
bekuan
fibrin
yang
relatif
resisten
terhadap
lisis
mempresentasikan hasil akhir dari koagulasi. Perubahan pada struktur fibrin telah dilaporkan pada pasien dengan penyakit tromboemboli seperti riwayat infark miokard atau infark miokard akut, stroke iskemik, dan tromboemboli vena. Kebanyakan pasien dengan infark miokard atau tromboemboli vena menunjukkan abnormalitas fibrin. Sejumlah faktor genetik dan lingkungan berkorelasi dengan struktur fibrin dan berhubungan dengan penyakit trombotik termasuk CRP.
16
Gambar 2.7. Struktur bekuan fibrin dan penyakit tromboemboli (Undas, 2011). Beberapa penyakit dilaporkan berhubungan dengan perubahan abnormal dari struktur dan fungsi bekuan fibrin, terutama penurunan permeabilitas bekuan dan kerentanan terhadap lisis, serta perubahan karakter bekuan fibrin.
Perubahan struktur bekuan pertama sekali didemonstrasikan pada pasien dengan PJK berat pada tahun 1992. Peningkatan permeabilitas bekuan dan waktu lisis juga diobservasi pada pasien dengan PJK berat di atas usia 60 tahun. Fibrin merupakan komponen pada plak aterosklerosis dan keberadaannya dapat menyebabkan pertumbuhan plak (Undas, 2007)
Implikasi bekuan fibrin dapat terjadi pada dua komplikasi yang mengancam jiwa yaitu trombosis stent dan fenomena tanpa aliran darah (no-flow phenomenon) pada terapi invasif PJK. Studi autopsi menunjukkan hilangnya
17
endotelialisasi lengkap dan trombus fibrin yang menetap sebagai penyebab utama pada trombosis stent. Pasien dengan trombosis stent menunjukkan struktur fibrin yang lebih padat dan sedikit rongga (Undas, 2010). Perubahan ini menyebabkan keberadaan fibrin yang lebih lama pada lumen vaskuler. Penemuan ini mengindikasikan adanya faktor lain yang berhubungan dengan trombosis stent (termasuk prosedur itu sendiri, karakteristik pasien dan lesi, desain stent, dan penghentian dini obat antitrombosit). Struktur fibrin abnormal juga diamati pada pasien dengan riwayat fenomena tanpa aliran darah, yang didefinisikan sebagai tidak adanya perfusi miokardium lengkap meskipun arteri yang mengalami infark telah sukses dibuka (Zalewski, 2007).
Struktur fibrin akan mempengaruhi tingkat fibrinolisis secara langsung. Longstaff dkk menunjukkan akses bekuan terhadap protein fibrinolitik dan perubahan ikatan tissue plasminogen activator (tPA) dan plasminogen, keduanya diregulasi oleh struktur fibrin. Proses fibrinolisis cepat terjadi pada bekuan yang mengandung sedikit trombosit, sedangkan area yang kaya akan trombosit relatif tidak dapat lisis. Jaringan fibrin yang terdiri dari jaringan yang tipis, sangat bercabang akan lebih kaku, kurang permeabilitas dan lebih sulit mengalami lisis (Undas, 2011).
Tromboelastografi (TEG) adalah metode pengujian efisiensi koagulasi dalam darah. Pertama kali dikembangkan oleh dr Hellmut Hartert di Universitas Heidelberg, tahun 1948. TEG ditunjukkan sebagai suatu metode untuk mengatasi keterbatasan tes koagulasi konvensional. TEG menghasilkan pengawasan koagulasi darah keseluruhan yang efektif dan tepat. Alat ini mengevaluasi sifat elastis dari darah dan memberikan taksiran global dari fungsi hemostasis.
Maximal clot strength atau fibrin clot strength pada tromboelstografi terdiri dari kontribusi pembentukan fibrin plasma dan agregasi trombosit secara bersamaan untuk membentuk trombus yang stabil. Pada tromboelastografi, parameter ini ditunjukkan dengan nilai G. Risiko yang berkorelasi dengan peningkatan maximal clot strength pada darah dihubungkan dengan reaktivitas
18
trombosit yang tinggi dan pembentukan trombin pada permukaan trombosit yang teraktivasi pada pasien dengan terapi dual antiplatelet (Kreutz, 2013).
Gambar 2.8. Tromboelastografi (Thakur, 2012)
Parameter perhitungan pada TEG terdiri dari: -
Waktu r: menunjukkan periode waktu laten dari awal tes sampai pembentukan fibrin inisial. Hal ini merepresentasikan studi pembekuan darah standar. Nilai normal 15-23 menit (pada darah natif), 5-7 menit (pada darah yang bercampur dengan kaolin).
-
Waktu k: menunjukkan waktu untuk mencapai tingkat kekuatan bekuan (dimana waktu r = nol) dengan amplitudo 20 mm. Nilai normal 5-10 menit (pada darah natif), 1-3 menit (pada darah yang bercampur dengan kaolin).
-
Sudut α: mengukur kecepatan fibrin terbentuk dan jembatan-jembatan fibrin bekerja (penguatan bekuan) dan menilai laju pembentukan bekuan. Nilai normal: 22-38 (pada darah natif), 53-67 (pada darah yang bercampur dengan kaolin).
-
Amplitudo maksimal (MA): fungsi langsung dari ikatan trombosit dan fibrin maksimal melalui Gp IIb/IIIa dan merepresentasikan kekuatan terakhir dari bekuan fibrin yang berkorelasi dengan fungsi trombosit: 80% trombosit, 20% fibrinogen. Nilai normal: 47-58 mm (pada darah natif), 5068 mm (pada darah yang bercampur dengan kaolin).
19
-
Nilai G: merupakan fibrin clot strength yang menunjukkan fungsi hemostasis secara global dan dihitung dengan rumus G=(5000 x MA)/(100- MA). Nilai normal: 4.500 – 11.000 dyne/s
-
Coagulation Index: indikator koagulasi secara menyeluruh dengan menggunakan formula yang ditentukan oleh produsen alat untuk menentukan nilai normal, hipo atau hiperkoagulasi. Nilai normal: 3-3mm.
-
LY30: persentase yang menurun dalam ampitudo 30 menit setelah MA dan memberi perhitungan tingkat fibrinolisis. Nilai normal <7,5% (pada darah natif).
-
LY60: persentase yang menurun dalam amplitudo 60 menit setelah MA.
-
A30: amplitudo saat 30 menit setelah MA
-
A60: amplitudo saat 60 menit setelah MA
-
EPL: merepresentasikan prediksi komputer pada 30 menit proses lisis yang berdasarkan pada laju aktual penurunan amplitudo yang terhitung 30 detik setelah MA dan merupakan indikator paling awal dari lisis abnormal. EPL awal > LY30 (30 menit EPL = LY30), EPL normal < 15%, fibrinolisis menyebabkan peningkatan LY30, LY60, EPL dan penurunan A30 dan A60.
Interpretasi klinis dari berbagai tahap koagulasi yang diukur dengan TEG: -
Pembentukan bekuan: faktor pembekuan (waktu r dan k)
-
Kinetik bekuan: faktor pembekuan (waktu r dan k), trombosit (MA)
-
Kekuatan/ stabilitas bekuan: trombosit (MA), fibrinogen (reopro-mod MA)
-
Resolusi bekuan: fibrinolisis (LY30/60; EPL A30/60)
20
Gambar 2.9. Grafik Tromboelastografi (Thakur, 2012)
21
2.6 Kerangka Teori
Disfungsi endotel
Aktivasi dan infiltrasi monosit menjadi makrofag
Aktivasi Limfosit T menjadi sel efektor Th1
Faktor Risiko: Merokok Hipertensi Diabetes
Menghasilkan interleukin 6 dan sitokin inflamasi lain
Uptake dan akumulasi kolesterol meningkat
Pembentukan Foam Cell
Plak aterosklerosis
Aliran darah koroner menurun
Angina Pektoris Menghasilkan CRP dan protein fase akut lain di hati dan jaringan lemak
Intervensi Koroner Perkutan
Menginduksi ekspresi faktor prokoagulan spt: faktor jaringan dan PAI-1
Perubahan struktur dan fungsi bekuan fibrin Gambar 2.10. Kerangka Teori (Libby, 2006; Hansson, 2005; Bassuk, 2006; Undas, 2007; Undas, 2011)
22
2.7 Kerangka Konsep
Pasien dengan Penyakit Jantung Koroner (Angina Pektoris Stabil atau Infark Miokardium > 30 hari)
Intervensi Koroner Perkutan (IKP) Elektif
hsCRP
Tertile 1
Tertile 2
Korelasi
Fibrin Clot Strength
Tertile 3
Faktor Risiko: Merokok Hipertensi Diabetes
Gambar 2.11. Kerangka Konsep