BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Biaya Biaya merupakan suatu komponen yang sangat penting di dalam
pelaksanaan aktivitas suatu perusahaan.Menurut Mulyadi (2009:10), “Tanpa
informasi biaya, manajemen tidak memiliki ukuran apakah masukan yang
dikorbankan memiliki nilai ekonomi yang lebih rendah daripada nilai keluarannya sehingga tidak memiliki informasi apakah kegiatan usahanya menghasilkan laba atau sisa hasil usaha yang sangat diperlukan untuk mengembangkan dan mempertahankan eksistensi perusahaannya. Begitu juga tanpa informasi biaya, manajemen tidak memiliki dasar untuk mengalokasikan berbagai sumber ekonomi yang dikorbankan dalam menghasilkan sumber ekonomi lain.”
2.1.1
Pengertian Biaya Biaya dalam suatu perusahaan merupakan suatu komponen yang sangat
penting dalam menunjang pelaksanaan aktivitas usaha guna mencapai tujuan perusahaan yakni memperoleh laba.Tujuan itu dapat tercapai apabila biaya yang dikeluarkan sebagai bentuk
suatu pengorbanan oleh perusahaan yang
bersangkutan telah diperhitungkan secara tepat.Dalam menentukan apakah suatu pengorbanan merupakan biaya atau tidak, maka terlebih dahulu harus dipahami mengenai pengertian biaya.
11
12
Menurut Mulyadi (2009:8), “Dalam arti luas biaya adalah pengorbanan
sumber ekonomi, yang diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi atau yang
kemungkinan akan terjadi untuk tujuan tertentu. Dalam arti sempit biaya dapat
diartikan sebagai pengorbanan sumber ekonomi untuk memperoleh aktiva tetap”.
Atkinson et al (2007:89) mengemukakan, “Biaya adalah nilai moneter
dari barang dan jasa yang dikeluarkan untuk mendapatkan keuntungan baik di
masa sekarang maupun di masa mendatang.Biaya dapat pula digunakan untuk membuat suatu produk, sehingga dapat dijual dan menghasilkan keuntungan kas. Sedangkan menurut Mowen et al (2009:28), “Biaya merupakan jumlah kas atau setara dengan kas yang dikeluarkan untuk memperoleh barang atau jasa, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan bagi perusahaan di masa sekarang maupun di masa mendatang. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa biaya merupakan pengorbanan yang dikeluarkan terhadap suatu barang dan jasa yang dapat diukur dengan satuan uang untuk memperoleh manfaat dari suatu barang.
2.1.2
Penggolongan Biaya Menurut Pe rilaku Biaya Penggolongan biaya menurut perilaku biaya merupakan salah satu syarat
dalam melakukan perhitungan analisis titik impas. Bustami dan Nurlela (2006:47) mengemukakan, “Pemahaman tentang perilaku biaya merupakan hal yang sangat penting bagi suatu organisasi dalam beberapa pengambilan keputusan. Manajer
13
yang tidak mampu memahami tentang perilaku biaya tentu akan mengalami kendala dalam pengambilan keputusan, terutama keputusan yang berhubungan
dengan produk, perencanaan, pengendalian biaya dan mengevaluasi kinerja”.
Pada umumnya pola perilaku biaya diartikan sebagai hubungan antara
total biaya dengan perubahan volume kegiatan. Menurut Bustami dan Nurlela (2006:47), “Perilaku biaya dapat diartikan sebagaiperubahan biaya yang terjadi perubahan dari aktivitas bisnis”. Sedangkan Hansen dan Mowen (2009:98) akibat
mengemukakan, “Perilaku biaya (cost behavior) adalah istilah umum untuk mendeskripsikan apakah biaya berubah seiring dengan perubahan keluaran”. Berdasarkan perilakunya dalam hubungan dengan perubahan volume kegiatan, biaya dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu : 1) biaya tetap 2) biaya variabel 3) biaya semivariabel. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut : 1)
Biaya Tetap Menurut Bustami dan Nurlela (2006:50),“Biaya tetap adalah biaya yang
secara total tetap dalam rentang relevan (relevant range) tetapi per- unit berubah. Dalam jangka panjang sebenarnya semua biaya bersifat variabel meskipun beberapa jenis biaya tampak sebagai biaya tetap. Jika diharapkan aktivitas meningkat melebihi kapasitas sekarang maka biaya tetap harus dinaikkan untuk menangani
kenaikan
volume
yang
diinginkan.
Misalnya
manajemen
merencanakan untuk menambah produksi melebihi kapasitas sekarang maka
14
akibat penambahan tersebut memerlukan tambahan terhadap biaya tetap seperti tambahan pabrik, peralatan, mesin, tenaga kerja tidak langsung, dan mungkin saja
terjadi penambahan terhadap supervisi yang akan mengawasi jalannya proses
pembuatan produk tersebut.”
Menurut Mulyadi (2009:466), “Biaya tetap adalah biaya yang jumlah
totalnya tetap dalam kisar perubahan volume kegiatan tertentu. Biaya tetap per
satuan berubah dengan adanya perubahan volume kegiatan. Biaya tetap atau biaya kapasitas merupakan biaya untuk mempertahankan kemampuan beroperasi perusahaan pada tingkat kapasitas tertentu. Besar biaya tetap dipengaruhi oleh kondisi perusahaan jangka panjang, teknologi, dan metode serta strategi manajemen.” Selanjutnya Mulyadi (2009:466-467) juga mengemukakan bahwa untuk keperluan perencanaan dan pengendalian, biaya tetap harus dipecah lagi menjadi committed fixed costs dan discretionary fixed costs. ·
Committed fixed costs sebagian besar berupa biaya tetap yang timbul dari pemilikan pabrik, ekuipmen, dan organisasi pokok. Perilaku committed fixed costs ini dapat diketahui dengan jelas dengan mengamati biaya-biaya yang tetap dikeluarkan jika seandainya perusahaan tidak melakukan kegiatan sama sekali dan akan kembali ke kegiatan normal (misalnya selama pemogokan karyawan atau kekurangan bahan yang memaksa perusahaan menutup sama sekali kegiatan pabriknya).
15
·
Discretionary fixed costs merupakan biaya (a) yang timbul dari keputusan penyediaan anggaran secara berkala (biasanya tahunan)
yang secara langsung mencerminkan kebijakan manajemen puncak
mengenai jumlah maksimum biaya yang diijinkan untuk dikeluarkan
dan (b) yang tidak dapat menggambarkan hubungan yang optimum
antara masukan dengan keluaran (yang diukur dengan volume
penjualan, jasa, atau produk). Samryn (2012:47) mengemukakan “Biaya tetap (fixed cost) adalah suatu
biaya yang konstan dalam total tanpa mempertimbangkan perubahan-perubahan tingkat aktivitas dalam suatu kisaran relevan tertentu. Bila suatu biaya tetap dinyatakan menurut biaya per unit, maka biaya tersebut akan berubah secara terbalik dengan tingkat aktivitas.” Samryn (2012:47) juga mengemukakan bahwa biaya tetap selanjutnya dapat dikelompokkan sebagai committed fixed costs dan discretionary fixed costs. ·
Committed fixed costsmeliputi biaya-biaya tetap yang berhubungan dengan investasi dalam fasilitas, peralatan, dan struktur dasar organisasi sebuah perusahaan. Biaya-biaya ini sulit ditelusuri hubungannya dengan volume output, seperti unit produksi.
·
Discretionary fixed costs atau dikenal juga sebagai managed fixed cost meliputi biaya-biaya tetap yang timbul dari keputusan-keputusan tahunan manajemen untuk membelanjai bidang-bidang biaya tetap tertentu seperti iklan dan penelitian.
16
Berikut
ini
merupakan
penggambaran
biaya
tetap
melalui
Gambar
tersebut
pendekatangrafik (Mulyadi, 2009:468) :
Biaya (Rupiah)
Biaya Tetap Tahun 20xi
Biaya Tetap Tahun 20xx
Volume Kegiatan (Unit) Gambar 2.1 Grafik Biaya Tetap
Gambar
2.1
merupakan
grafik
biaya
tetap.
menunjukkan bahwa biaya tetap akan selalu tetap jumlah totalnya atau konstan pada berbagai volume kegiatan yang dilakukan perusahaan dalam rentang yang relevan. Rentang relevan adalah rentang produksi atau penjualan yang mungkin dilakukan perusahaan. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa biaya tetap adalah biaya yang jumlah totalnya tetap konstan tidak dipengaruhi oleh perubahan volume kegiatan atau aktivitas sampai dengan tingkat tertentu. Biaya satuan (unit cost) akan berubah berbanding terbalik dengan perubahan volume kegiatan, semakin tinggi volume kegiatan semakin rendah biaya satuan.
17
2)
Biaya Variabel Menurut Bustami dan Nurlela (2006:48), “Biaya variabel adalah biaya
yang secara total berubah sebanding dengan aktivitas atau volume produksi tetapi
per-unit bersifat tetap. Bahan langsung dan tenaga kerja langsung dapat
digolongkan sebagai biaya variabel. Contoh lain dari biaya variabel adalah komisi penjualan, biaya pengiriman barang, pengerjaan ulang, unit-unit yang rusak, baku tidak langsung, tenaga kerja tidak langsung, jasa umum, waktu bahan
pengadaan, alat-alat kecil dan lain- lain.” Selanjutnya Mulyadi (2009:468) menyatakan “Biaya variabel adalah biaya yang jumlah totalnya berubah sebanding dengan perubahan volume kegiatan. Biaya variabel per unit konstan (tetap) dengan adanya perubahan volume kegiatan.” Menurut Mulyadi (2009:468-469), untuk keperluan perencanaan dan pengendalian, biaya variabel harus dipecah lagi menjadi engineered variable costs dan discretionary variable costs. ·
Engineered variable costsmerupakan biaya yang antara masukan dan keluarannya mempunyai hubungan erat dan nyata. Jika masukan (biaya) berubah maka keluaran akan berubah sebanding dengan perubahan masukan tersebut. Sebaliknya jika keluaran berubah maka masukan (biaya) akan berubah sebanding dengan perubahan keluaran tersebut.
18
·
Discretionary variable costsmerupakan biaya yang masukan dan keluarannya memiliki hubungan erat namun tidak nyata (bersifat
artificial). Jika keluaran berubah maka masukan akan berubah
sebanding dengan perubahan keluaran tersebut. Namun, jika masukan
berubah, keluaran belum tentu berubah dengan adanya perubahan
masukan tersebut.
Menurut Samryn (2012:47), “Biaya variabel (variable cost) yaitu biaya yang secara total berubah secara proporsional dengan perubahan dalam tingkat aktivitas. Suatu biaya variabel, konstan per unit.” Biaya variabel selanjutnya dapat dikelompokkan sebagai engineered variable costs dan discretionary variable costs. ·
Engineered variable costs atau true variable cost yaitu biaya yang memiliki spesifikasi hubungan fisik dan eksplisit dengan pelaksanaan suatu aktivitas. Biaya ini timbul dalam rangka aktivitas operasi normal perusahaan. Contoh konkret untuk biaya ini adalah biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung yang berubah volumenya karena proses pembuatan produk.
·
Discretionary variable costsatau step variable cost, yaitu semacam biaya kebijakan yang memiliki pola grafis variabel, tetapi bukan karena alasan yang sama seperti bahan langsung atau tenaga kerja langsung. Pertambahan biaya ini lebih berhubungan dengan otorisasi manajemen dalam membelanjainya.
19
Berikut ini merupakan penggambaran biaya variabel melalui grafik
(Mulyadi, 2009:469):
Biaya
(Rupiah)
Biaya variabel
Volume Kegiatan (Unit)
Gambar 2.2 Grafik Biaya Variabel
Gambar 2.2 merupakan grafik biaya variabel. Gambar tersebut menunjukkan bahwa biaya variabel akan berubah jumlah totalnya sebanding dengan perubahan volume kegiatan yang dilakukan perusahaan dalam rentang yang relevan. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa biaya variabel adalah biaya yang jumlah totalnya akan berubah secara sebanding dengan perubahan biaya variabel, semakin rendah jumlah volume kegiatan semakin rendah jumlah total biaya variabel. Biaya satuan tidak dipengaruhi oleh perubahan volume kegiatan, jadi biaya satuan konstan.
20
3) Biaya Semi Variabel
Menurut Bustami dan Nurlela (2006:52), “Biaya semi variabel adalah
biaya yang pada aktivitas tertentu memperlihatkan karakteristik biaya tetap
maupun biaya variabel. Contoh dari biaya variabel ini adalah biaya listrik, telepon, air, gas, bensin, perlengkapan, beberapa tenaga kerja tidak langsung,
biaya pensiun, pajak penghasilan, asuransi jiwa kelompok karyawan, biaya
perjalanan dinas, biaya hiburan dan pemeliharaan, dan lain- lain.” Mulyadi (2009:469) mengemukakan “Biaya semi variabel adalah biaya yang memiliki unsur tetap dan variabel di dalamnya. Unsur biaya yang tetap merupakan jumlah biaya minimum untuk menyediakan jasa, sedangkan unsur variabel merupakan bagian dari biaya semi variabel yang dipengaruhi oleh perubahan volume kegiatan.” Menurut Samryn (2012:48), “Mixed cost atau semi variable cost yaitu biaya yang di dalamnya terdiri dari elemen-elemen biaya tetap dan biaya variabel. Biaya ini pada umumnya terdapat dalam komponen biaya tidak lansung. Karakteristik perilakunya tidak konstan seperti dua kelompok biaya yang diuraikan di atas. Dalam keadaan tertentu jumlah biaya semi variabel akan menjadi lebih tinggi dalam satu tingkat aktivitas, akan tetapi dalam keadaan lain bisa terjadi biaya yang lebih rendah pada tingkat aktivitas yang sama. Untuk itu diperlukan cara tersendiri untuk mengidentifikasi perilakunya.” Berikut ini merupakan penggambaran biaya semivariabel melalui grafik (Mulyadi, 2009:470) :
21
Biaya
(Rupiah)
Biaya Semi Variabel
Volume Kegiatan (Unit)
Gambar 2.3 Grafik Biaya Se mi Variabel
Gambar 2.3 merupakan grafik biaya semivariabel. Gambar tersebut menunjukkan bahwa biaya semivariabel memiliki unsur biaya tetap dan biaya variabel. Unsur biaya yang tetap merupakan jumlah biaya minimum untuk menyediakan jasa sedangkan unsur variabel merupakan bagian dari biaya semivariabel yang dipengaruhi oleh perubahan volume kegiatan. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa biaya semi variabel adalah biaya yang jumlah totalnya akan berubah sesuai dengan perubahan volume kegiatan akan tetapi sifat perubahan tidak sebanding. Semakin tinggi volume kegiatan semakin besar jumlah biaya total, semakin rendah volume kegiatan semakin rendah biaya, tetapi perubahan tidak sebanding.Biaya satuan akan berubah terbalik dihubungkan dengan perubahan volume kegiatan tetapi sifatnya tidak sebanding. Sampai dengan tingkatan kegiatan tertentu semakin tinggi volume kegiatan semakin rendah biaya satuan, semakin rendah volume kegiatan semakin tinggi biaya satuan.
22
2.1.3
Pemisahan Biaya Tetap dan Biaya Variabel Sebelum melakukan analisis titik impas, perusahaan harus terlebih
dahulu melakukan pemisahan biaya-biaya ke dalam biaya tetap (fixed cost) dan
biaya variabel (variable cost) berdasarkan perilaku biaya. Bustami dan Nurlela
(2010:28) mengungkapkan bahwa “Pemisahan biaya tetap dan biaya variabel merupakan hal yang penting, terutama untuk perencanaan, pengendalian biaya
pada tingkat aktivitas yang berbeda. ”Untuk memisahkan biaya variabel dan biaya
tetap dapat digunakan tiga metode yaitu : 1) Metode titik tertinggi dan terendah (High Low Points Method) 2) Metode titik sebaran (Scattergraph Method) 3) Metode kuadrat terkecil (Least Square Method) Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut : 1)
Metode titik tertinggi dan terendah (High Low Points Method) Hansen dan Mowen (2009:118) menyimpulkan bahwa metode tinggi
rendah (high low method) adalah suatu metode untuk menentukan persamaan suatu garis lurus dengan terlebih dahulu memilih dua titik (titik tinggi dan rendah) yang akan digunakan untuk menghitungparameter perpotongan dan kemiringan. Titik tinggi didefinisikan sebagai titikdengan tingkat keluaran atau aktivitas terendah.Titik tinggi dan rendah ditentukanoleh jumlah tinggi dan rendah dari variabel bebas. Persamaan untuk menentukan biaya variabel per unit dan biaya tetap (Hansen dan Mowen, 2009:118) adalah sebagai berikut.
23
atau
atau
Biaya tetap = Jumlah biaya titik tinggi - (Biaya variabel per unit × Keluaran tinggi) Samryn (2012:51) mengemukakan bahwa “Untuk keperluan analisis sederhana, metode titik tertinggi dan terendah lebih mudah penggunaannya karena analisisnya dapat dibuat dengan cara yang lebih mudah. Metode ini antara lain sangat berguna dalam membantu memberikan gambaran sederhana dalam pengujian secara cepat atas penaksiran perubahan biaya. Hasil perhitungan metode titik tertinggi dan terendah tidak sebaik metode lain karena dalam analisisnya hanya digunakan dua data yang tertinggi dan yang terendah saja. Konsekuensinya, semakin banyak data yang harus dianalisis, maka hasil perhitungan dengan metode ini semakin tidak mewakili, tentunya bila terdapat data dengan fluktuasi yang tajam dari waktu ke waktu.
24
2)
Metode titik sebaran (Scattergraph Method) Metode titik sebaran (Scattergraph Method)adalah metode yang
digunakan untuk menganalis is perilaku biaya variabel sebagai variabel
dependen dan variabel independen. Metode scattergraph statistik merupakan perbaikan dari metode titik tertinggi dan terendah karena metode ini me nggunakan semua data yang tersedia dan bukan hanya dua titik saja.
Disa mp ing itu, metode ini me mungkinkan pemeriksaan data secara visual untuk mene ntukan apakah biaya berkaitan dengan kegiatan atau tidak
dan
apakah hubungannya sangat linear atau tidak linear. Berikut ini langkah- langkah dalam pembuatan grafik statistikal yaitu sebagai berikut : a . Membuat denah atau grafik statistikal Garis tegak lurus atau vertikal disebut sumbu Y menunjukkan tingkatan besarnya biaya, garis mendatar atau horizontal disebut sumbu X menunjukkan tingkatan kapasitas atau kegiatan. b. Memasukkan biaya setiap bulan pada grafik statistikal Biaya perbulan digambarkan pada grafik sesuai dengan besarnya biaya dan tingkatan kegiatan. c. Ditarik garis B atau biaya Dari semua titik-titik biaya ditarik garis lurus melewati di tengah titik-titik tersebut sampai memotong sumbu Y, garis tersebut garis B atau total biaya.
25
d. Menentukan besarnya total biaya tetap atau a Perpotongan garis B atau biaya dengan sumbu Y dianggap atau
menunjukkan besarnya total biaya tetap atau a, perpotongan dengan sumbu
Y ditarik garis ke kanan secara horizontal atau mendatar adalah garis A
menunjukkan total biaya tetap. e. Menentukan biaya variabel satuan atau b
Besarnya biaya variabel satuan adalah :
σ σ
Biaya variabel satuan menunjukkan kemiringan atau slope grafik B atau total biaya. f. Menentukan persamaan anggaran fleksibel Setelah a dan b diketahui, dapat disusun persamaan anggaran fleksibel perbulan atau pertahun, yaitu y = a + b x. Metode scattergraph merupakan kemajuan dari metode tinggi- rendah karena metode ini menggunakan semua data yang tersedia, bukan hanya dua titik data. Meskipun demikian, suatu analisis perilaku menggunakan metode scattergraph bisa saja menjadi bias karena biaya yang digambar melalui plot data berdasarkan interpretasi visual (Carter dan Usry, 2004:65). 3)
Metode kuadrat terkecil (Least Square Method) Bustami dan Nurlela (2010:31) menyimpulkan bahwa “Metode kuadrat
terkecil (least square method) atau analisis regresi sederhana merupakan
26
pendekatan yang efektif dan sederhana untuk mengukur rata-rata perubahan variabeldependen yang berkaitan dengan kenaikan unit dalam jumlah satu atau
lebihvariabel independen”.
Metode ini menganggap bahwa hubungan antara biaya dengan volume
kegiatan berbentuk hubungan garis lurus dengan persamaan garis regresi y=a+bx, dimana y merupakan variabel terikat (dependent variable) yaitu variabel yang perubahannya ditentukan oleh perubahan pada variabel x yang merupakan
variabel bebas (independent variable). Variabel y menunjukkan biaya, sedangkan x menunjukkan volume kegiatan. Menurut Mulyadi (2009:474) persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut. y = a + bx
Dimana : y = Biaya a = Biaya tetap b = Biaya variabel x = Volume
σ σ
σ σ σ
σ
σ
27
Hasil perhitungan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil
memiliki akurasi yang lebih tinggi karena menggunakan semua data volume
aktivitas dan data biaya yang tersedia sebagai dasar analisisnya.
Dari ketiga metode pemisahan biaya tersebut dapat disimpulkan bahwa
metode kuadrat terkecil memiliki tingkat akurasi yang paling tinggi diantara metode lainnya. Oleh karena itu dalam pemisahan biaya semivariabel, metode digunakan adalah metode kuadrat terkecil. yang
2.2
Analisis Titik Impas Analisis titik impas merupakan salah satu bentuk dari analisis biaya-
volume- laba. Analisis ini merupakan teknik perencanaan laba jangka pendek dengan mendasarkan analisisnya pada variabilitas penghasilan penjualan maupun biaya terhadap volume kegiatan, sehingga teknik ini sangat baik untuk digunakan dalam mencapai tujuan perusahaan yaitu memperoleh laba.
2.2.1
Pengertian Titik Impas dan Analisis Titik Impas Horngren, Datar, dan Foster (2008:75) menyimpulkan bahwa “Titik
impas (break even point) adalah jumlah penjualan output yang akan menyamakan pendapatan total dengan biaya total yaitu jumlah penjualan output yang akan menghasilkan laba operasi 0 (nol). Titik impas menjelaskan berapa banyak output harus terjual agar tidak menanggung rugi operasi. ”Sedangkan Hansen dan Mowen(2009:4) berpendapat bahwa “Titik impas (break even point) adalah titik
28
dimana total pendapatan sama dengan total biaya, titik dimana laba sama dengan nol.”
Menurut Samryn (2012:174), “Analisis titik impas merupakan salah satu
konsep penting dalam kajian ekonomi mikro, akuntansi biaya, dan akuntansi
manajemen. Hal ini bukan saja berguna untuk menentukan besarnya tingkat titik impas tetapi juga dapat menentukan kapan tingkat output titik impas output tersebut akan tercapai serta besarnya penerimaan titik impas. Pada dasarnya
kondisi titik impas tercapai apabila total penerimaan perusahaan sama persis dengan total biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan output pada tingkat titik impas tersebut (TR = TC)”. Bustami dan Nurlela (2006:208) mengemukakan “Analisis titik impas (Break Even Point) adalah suatu cara atau teknik yang digunakan oleh seorang manager perusahaan untuk mengetahui pada volume penjualan dan volume produksi berapakah suatu perusahaan yang bersangkutan tidak menderita kerugian dan tidak pula memperoleh laba.” Selanjutnya, dengan adanya analisis titik impas tersebut akan sangat membantu manajer dalam perencanaan keuangan, penjualan dan produksi, sehingga manajer dapat mengambil keputusan untuk meminimalkan kerugian, memaksimalkan keuntungan, dan melakukan prediksi keuntungan yang diharapkan
melalui
penentuanharga
pendesainan produk, dan lainnya
jual
persatuan,
produksi
minimal,
29
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa titik
impas merupakan kondisi dimana suatu perusahaan tidak mendapatkan untung
dan tidak juga mengalami kerugian. Sedangkan analisis titik impas merupakan
suatu metode yang digunakan untuk mengetahui pada volume produksi dan
penjualan berapakah perusahaan tidak mendapatkan untung dan tidak mengalami kerugian.
2.2.2
Manfaat Pe rhitungan Titik Impas Menurut Sigit (2002:2), Perhitungan titik impas dapat digunakan untuk
membantu menetapkan sasaran tujuan perusahaan, diantaranya : 1. Sebagai dasar atau landasan merencanakan kegiatan operasional dalam usaha mencapai laba tertentu 2. Sebagai dasar atau landasan untuk mengendalikan kegiatan operasi yang sedang berjalan yaitu alat untuk pencocokan antara realisasi dengan angka-angka dalam perhitungan titik impas atau dalam gambar titik impas . 3. Sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan harga jual yaitu setelah diketahui hasil perhitungan menurut hasil analisa titik impas dan laba yang ditargetkan. 4. Sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang harus dilakukan seorang manager suatu perusahaan.
2.2.3
Asumsi Dasar Analisis Titik Impas Menurut Sigit (2007:2), yang dimaksud dengan menganalisis titik impas
adalah termasuk menghitung dan mengumpulkan angka-angka yang akan dihitung, kemudian ditetapkan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat itu tidak ada dalam kenyataan, maka harus diadakan atau dianggap ada seperti
30
dipersyaratkan. Jadi jika syaratnya tidak ada, dapat dianggap ada. Inilah yang disebut asumsi.
Analisis titik impas akan memberikan hasil yang memadai apabila
asumsi-asumsi dasar dipenuhi. Bustami dan Nurlela (2006:208) mengemukakan
“Berikut ini merupakan asumsi-asumsi dasar dalam melakukan analisis titik impas:
2.2.4
1. Perilaku penerimaan dan pengeluaran dilukiskan dengan akurat dan bersifat linier sepanjang jangkauan (rentang) yang relevan. 2. Biaya data dipisah menjadi biaya tetap dan biaya variabel. 3. Harga jual tidak akan mengalami perubahan. 4. Efisiensi dan produktivitas tidak akan berubah. 5. Biaya-biaya tidak berubah. 6. Bauran penjualan tetap konstan. 7. Tidak ada perbedaan yang signifikan (nyata) antara persediaan awal dan persediaan akhir.
Metode Perhitungan Titik Impas Metode perhitungan titik impas merupakan suatu cara untuk mengetahui
pada volume penjualan dan volume produksi berapakah suatu perusahaan yang bersangkutan tidak menderita kerugian dan tidak pula memperoleh laba. Dengan demikian, akan sangat membantu manajer dalam mengambil keputusan untuk meminimalkan kerugian, memaksimalkan keuntungan, dan melakukan prediksi keuntungan yang diharapkan melalui penentuan harga jual satuan. Menurut Bustami dan Nurlela (2006:209), “Dalam menghitung titik impas dapat digunakan 3 pendekatan yaitu pendekatan persamaan matematis, pendekatan marjin kontribusi dan pendekatan grafik. Berikut ini merupakan penjelasannya.
31
2.2.4.1 Perhitungan Titik Impas dengan Pe ndekatan Pe rsamaan Matematis Bustami dan Nurlela (2006:209) mengemukakan bahwa perhitungan titik
impas dengan pendekatan persamaan matematis dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu (1) atas dasar unit dan (2) atas dasar rupiah. Untuk menghitung titik impas
ini harus diperhatikan :
·
Perusahaan tidak memperoleh laba atau menderita rugi
·
Total penghasilan sama dengan total biaya
·
Laba sama dengan nol.
Maka muncul persamaan sebagai berikut :
PENGHASILAN = BIAYA
Untuk menghitung titik impas harus ada elemen-elemen berikut : ·
Harga jual per unit (P)
·
Biaya variabel per unit (V)
·
Total biaya tetap selama satu tahun (BT)
·
Kuantitas penjualan (Q)
Dari elemen-elemen tersebut dapat dibuat persamaan sebagai berikut : P.Q = V.Q + BT P.Q - V.Q = BT (P - V) Q = BT
32
Maka selanjutnya didapatkan rumus titik impas dalam unit sebagai berikut : Apabila diinginkan BEP dalam rupiah, maka dari formulasi dikalikan dengan (P), sehingga harga
2.2.4.2 Perhitungan Titik Impas dengan Pe ndekatan Marjin Kontribusi Metode kedua untuk perhitungan titik impas setelah menggunakan metode persamaan matematis adalah dengan pendekatan Marjin Kontribusi. Garrison, Noreen dan Brewer (2006:344) mengemukakan “Margin kontribusi merupakan hasil pengurangan antara total pendapatan penjualan dengan total biaya variabel untuk semua unit atau pengurangan antara harga jual per unit dengan biaya variabel per unit. Marjin kontribusi dapat dirumuskan sebagai berikut : Marjin Kontribusi (MK)
= Total Pendapatan – Total Biaya Varabel
Marjin Kontribusi (MK)/unit = Harga Jual/unit – Biaya Varabel/unit Garrison, Noreen dan Brewer (2006:346) juga berpendapat, “Rasio margin kontribusi adalah rasio total margin kontribusi terhadap total penjualan atau rasio margin kontribusi per unit terhadap harga jual per unit yang disajikan dalam bentuk persentase (%). Rasio ini dapat digunakan untuk membuat estimasi
33
yang cepat mengenai pengaruh dari total penjualan terhadap laba operasi bersih. Rasio ini sangat berguna dalam analisis titik impas”.
Rumus
untuk
menghitung rasio
margin kontribusi (contribution
margin/CM ratio) adalah sebagai berikut :
?
?
Ψ
atau
?
?
Ψ
Hasil perhitungan Rasio Marjin Kontribusi (RMK) tersebut selanjutnya akan digunakan untuk menghitung titik impas dalam satuan unit dan Rupiah. Perhitungan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
?
?
?
?
2.2.4.3 Perhitungan Titik Impas dengan Pe ndekatan Grafik Selain menggunakan pendekatan matematis dan marjin kontribusi, perhitungan titik impas juga bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan grafik.Hubungan antara pendapatan, biaya, laba dan volume dapat disajikan dalam bentuk grafik CVP yang menggambarkan hubungan dari serangkaian aktivitas dan dapat maemberikan perspektif yang tidak dapat diperoleh dalam metode yang lainnya.Hansen dan Mowen (2009:21) berpendapat bahwa grafik biaya-volume-
34
laba (cost volume profit graph) menggambarkan hubungan antara biaya, volume, dan laba. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih terperinci perlu dibuat grafik
dengan dua garis terpisah, yaitu garis total pendapatan dan garis total biaya. Tiap
tiap garis ini disajikan dengan persamaan berikut. Pendapatan = Harga x Unit
Total biaya = (Biaya variabel per unit x unit) + Biaya tetap “Grafik CVP bermanfaat untuk membangun intuisi tentang bagaimana
respon biaya dan laba terhadap perubahan volume penjualan” (Garrison,Noreen dan Brewer, 2006:351). Berikut ini merupakan analisis titik impas dengan menggunakan pendekatan grafik (Samryn, 2012: 178): Pendapatan penjualan dan Biaya (Rp)
Daerah Laba Titik Impas Biaya Variabel Daerah Rugi
Biaya Tetap Unit Gambar 2.4 Grafik Titik Impas
Grafik tersebut dapat dibuat dengan langkah- langkah sebagai berikut : 1. Buat garis horizontal (x) untuk menunjukkan jumlah unit produk dan sebuah garis vertical (y) untuk menunjukkan nilai penjualan dan biaya.
35
2. Tarik sebuah garis lurus ke kanan atas dengan kemiringan 45 derajat yang
ditarik dari titik 0 perpotongan garis x dan garis y sebagai garis penjualan.
3. Buat garis horizontal untuk menunjukkan jumlah biaya tetap pada berbagai
level unit penjualan.
4. Buat garis untuk menunjukkan jumlah biaya pada berbagai level unit
penjualan yang ditarik dari perpotongan garis y dengan garis biaya tetap.
Daerah yang berada di antara garis ini dengan garis biaya tetap di
bawahnya menunjukkan kisaran biaya variabel. 5. Buat titik impas pada perpotongan garis penjualan dan garis total biaya. Tarik garis ke kiri untuk menunjukkan jumlah penjualan dalam satuan uang. Dari titik perpotongan garis penjualan dan total biaya tarik garis vertikal ke bawah sampai pada sumbu x untuk menunjukkan titik impas dalam unit penjualan. 6. Arsir segitiga kanan atas grafik sebagai daerah laba. Arsir daerah segitiga di sebelah kiri bawah titik impas sebagai daerah rugi. Daerah arsiran ini menunjukkan bahwa penjualan yang lebih kecil dari titik impas akan menimbulkan rugi dan sebaliknya penjualan yang lebih besar akan memberikan laba.
2.2.5
Margin of Safety dan Degree of Operating Leverage Menurut Samryn (2012:181), “Manajemen harus dapat memilih strategi
yang dianggap paling tepat sesuai dengan kondisi persaingan, prediksi tentang penerimaan atau penolakan konsumen terhadap penurunan atau kenaikan harga
36
jual, kenaikan atau penurunan biaya tetap dan biaya variabel yang dimungkinkan serta kombinasi dari faktor- faktor tersebut. Dua konsep yang dapat digunakan
oleh manajemen dalam mengukur risiko yang dihadapinya adalah dengan batas
keamanan (margin of safety) dan pengungkit operasi (operating leverage). Berikut
ini merupakan penjelasan mengenai kedua konsep tersebut.
2.2.5.1 Margin of Safety
Samryn (2012:181) mengemukakan “Marjin keamanan (margin of safety) merupakan kelebihan penjualan yang dianggarkan atau realisasi di atas titik impas. Hasil perhitungannya menunjukkan jumlah sampai seberapa besar penjualan dapat turun sehingga sampai pada titik impas. Perhitungannya dapat dinyatakan dalam unit, satuan uang, dan persentase. Perhitungan ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi manajemen agar lebih berhati-hati dalam memelihara tingkat penjualan yang sudah dicapai, agar perusahaan tidak mengalami penurunan penjualan sampai pada suatu tingkat yang merugikan.” Selanjutnya menurut Bustami dan Nurlela (2006:224), “ Batas keamanan (Margin of Safety) merupakan hubungan antara hasil penjualan pada tingkat titik impas dengan penjualan yang dianggarkan atau penjualan pada tingkat tertenu, maka akan didapat informasi tentang seberapa jauh volume penjualan boleh turun sehingga perusahan tidak menderita kerugian. Hubungan tersebut dapat dilihat dari selisih antara penjualan dianggarkan atau tingkat penjumlahan tertentu dengan penjualan titik impas yang disebut dengan batas keamanan bagi
37
perusahaan dalam melakukan penurunan penjualan. Batas keamanan (Margin of Safety) dapat dirumuskan sebagai berikut :
Batas Keamanan (BK) = Penjualan Dianggarkan – Penjualan Titik Impas
Bustami dan Nurlela (2006:225) juga mengemukakan “Batas keamanan yang dinyatakan dalam persentase (%) dari penjualan disebut Rasio Batas Keamanan (RBK). Rasio Batas Keamanan (RBK) merupakan hasil pembagian
antara batas keamanan dengan penjualan yang dianggarkan. Rasio Batas Keamanan (RBK) dapat dirumuskan sebagai berikut :
Selanjutnya Rasio Batas Keamanan (RBK) akan digunakan untuk menghitung Rasio Laba (RL) dengan perhitungan sebagai berikut : Rasio Laba (RL) = Rasio Marjin Kontribusi (RMK) x Rasio Batas Keamanan(RBK)
Rasio Laba (RL) menyatakan berapa bagian rasio marjin kontribusi yang tersedia untuk laba. Selanjutnya untuk melakukan perhitungan laba digunakan hubungan antara Batas Keamanan (BK) dengan Rasio Marjin Kontribusi (RMK) atau dirumuskan sebagai berikut : Laba = Batas Keamanan (BK) x Rasio Marjin Kontribusi (RMK) 2.2.5.2 Degree of Operating Leverage Samryn (2012:182) mengungkapkan “Agar dapat mempertahankan stabilitas labanya, perusahaan memerlukan analisis struktur biaya. Untuk itu
38
diantaranya perlu dipertimbangkan faktor- faktor operating leverage, struktur komisi penjualan, dan bauran penjualan. Operating Leveragemerupakan suatu
ukuran kemampuan manajemen memanfaatkan biaya tetap dalam suatu organisasi
agar mencapai tingkat laba tertentu. Model ini dapat digunakan untuk menjawab
pertanyaan tentang berapa besarnya kenaikan laba jika terjadi kenaikan penjualan jumlah persentase tertentu.” dalam
Selanjutnya Garrison, Noreen dan Brewer (2006:346) berpendapat
bahwa “Semakin besar tingkat operating leverage, maka semakin besar pengaruh terhadap laba perusahaan. Tingkat operating leverage tidak konstan, tergantung dari tingkat penjualan perusahaan saat ini. Derajat operating leverage atau degree of operating leverage (DOL) dapat diukur untuk berbagai tingkat penjualan dengan menggunakan data margin kontribusi sebagai berikut :
Masih menurut Garrison, Noreen dan Brewer (2006:346) bahwa dengan pendekatan tingkat leverage operasi tersebut selanjutnya manajemen dapat membuat proyeksi peningkatan laba dengan menggunakan rumus sebagai berikut : %Kenaikan Laba Bersih =DOL x %Kenaikan Penjualan
2.3
Penentuan Harga Pokok Produksi dan Penyajian Laporan Laba-Rugi Menurut Mulyadi (2009:121), “Terdapat dua metode dalam penentuan
harga pokok produksi yaitu metode full costing dan metode variable costing.
39
Perbedaan pokok yang ada di antara kedua metode tersebut adalah terletak pada perlakuan terhadap biaya produksi yang berperilaku tetap. Adanya perbedaan
perlakuan terhadap biaya produksi tetap ini akan menimbulkan akibat pada
perhitungan harga pokok produksi dan penyajian laporan laba-rugi. Berikut ini
merupakan penjelasannya. 2.3.1
Metode Full Costing Mulyadi (2009:122) mengemukakan bahwa full costing atau sering pula
disebut absorption atau conventional costing adalah metode penentuan harga pokok produksi yang membebankan seluruh biaya produksi baik yang berperilaku tetap maupun variabel kepada produk. Harga pokok produksi menurut metode full costing terdiri dari : Biaya bahan baku
Rp XX
Biaya tenaga kerja langsung
XX
Biaya overhead pabrik tetap
XX
Biaya overhead pabrik variabel
XX
Harga pokok produk
Rp XX
Masih menurut Mulyadi (2009:122) bahwa dalam metode full costing, biaya overhead pabrik baik yang berperilaku tetap maupun variabel dibebankan kepada produk yang diproduksi atas dasar tarif yang ditentukan di muka pada kapasitas normal atau atas dasar biaya overhead pabrik sesungguhnya. Oleh karena itu, biaya overhead pabrik tetap akan melekat pada harga pokok persediaan produk dalam proses dan persediaan produk jadi yang belum laku dijual, dan baru
40
dianggap sebagai biaya (unsur harga pokok penjualan) apabila produk jadi tersebut telah terjual.
Mulyadi (2009:124) menyatakan juga bahwa laporan laba-rugi yang
disusun dengan metode full costing menitikberatkan pada penyajian unsur-unsur
biaya menurut hubungan biaya dengan fungsi- fungsi pokok yang ada dalam perusahaan (functional-cost classification). Berikut ini merupakan contoh laporan laba-rugi dengan metode full costing.
Hasil penjualan
Rp 500.000
Harga pokok penjualan (termasuk FOH tetap)
Rp 250.000
Laba bruto
Rp 250.000
Biaya administrasi dan umum
Rp 50.000
Biaya pemasaran
Rp 75.000 Rp 125.000
Laba bersih usaha
Rp 125.000
Laporan laba-rugi tersebut menyajikan biaya-biaya menurut hubungan biaya dengan fungsi pokok dalam perusahaan manufaktur, yaitu fungsi produksi, pemasaran, dan fungsi administrasi dan umum.
2.3.2
Metode Variable Costing Menurut Mulyadi (2009:122), variable costingadalah metode penentuan
harga pokok produksi yang hanya membebankan biaya-biaya produksi variabel saja ke dalam harga pokok produk. Harga pokok produk menurut metode variable costingterdiri dari : Biaya bahan baku
Rp XX
41
Biaya tenaga kerja variabel
XX
Biaya overheadpabrik variabel
XX
Harga pokok produk
Rp XX
Masih menurut Mulyadi (2009:123) bahwa dalam metode variable costing, biaya overhead pabrik tetap diperlakukan sebagai cost dan bukan sebagai
unsur harga pokok produk, sehingga biaya overhead pabrik tetap dibebankan
sebagai biaya dalam periode terjadinya. Dengan demikian biaya overhead pabrik
tetap di dalam metode variable costing tidak melekat pada persediaan produk yang belum laku djual, tetapi langsung dianggap sebagai biaya dalam periode terjadinya. Mulyadi (2009:125) menyatakan juga bahwa laporan laba-rugi yang disusun dengan metode variable costing lebih menitikberatkan pada penyajian biaya sesuai dengan perilakunya dalam hubungannya dengan perubahan volume kegiatan (classification by cost behavior). Berikut ini merupakan contoh laporan laba-rugi dengan metode variable costing.
Hasil penjualan
Rp 500.000
Dikurangi biaya-biaya variabel
Rp 150.000
Biaya produksi variabel
50.000
Biaya administrasi & umum variabel
30.000 Rp 230.000
Laba Kontribusi
Rp 270.000
Dikurangi biaya-biaya tetap : Biaya produksi tetap
Rp 100.000
Biaya pemasaran tetap
25.000
Biaya administrasi & umum tetap
20.000
42
145.000
Laba bersih usaha
Rp 125.000
Dalam laporan laba rugi dengan metode variable costing tersebut biaya tetap
disajikan dalam satu kelompok tersendiri yang harus ditutup dari laba kontribusi
yang diperoleh perusahaan, sebelum timbul laba bersih. Dengan menyajikan
semua biaya tetap dalam satu kelompok tersendiri dalam laporan laba rugi ini,
manajemen dapat memusatkan perhatian pada perilaku biaya tetap ini dan dapat melakukan pengawasan terhadap biaya tersebut, baik dalam perencanaan jangka pendek maupun jangka panjang.
2.4
Kebijakan Penetapan Harga Jual Menurut Samryn (2012:348-349), “Harga merupakan salah satu
informasi penting yang diterima pelanggan tentang suatu produk. Penetapan harga juga berhubungan dengan seluruh tujuan jangka pendek dan sasaran jangka panjang sebuah perusahaan. Faktor- faktor yang mempengaruhi penetapan harga jual dapat berasal dari luar dan dari perusahaan. Faktor utama dari luar adalah pelanggan dan pesaing. Faktor pelanggan menjadi sangat penting karena merupakan sumber perolehan pendapatan utama bagi perusahaan. Sedangkan faktor utama dari dalam perusahaan yaitu berkaitan dengan tujuan pemasaran, bauran pemasaran, dan yang paling mendasar dari semuanya adalah faktor biaya.” Selanjutnya Machfoedz (2005: 136) menyatakan bahwa penetapan harga dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal.
43
Faktor internal meliputi tujuan pemasaran perusahaan, strategi bauran pemasaran, biaya, dan metode penetapan harga. Faktor eksternal meliputi sifat pasar dan
permintaan, persaingan, dan elemen lingkungan yang lain. Penjual barang dalam
menetapkan harga dapat mempunyai tujuan yang berbeda satu sama lain antar
penjual maupun antar barang yang satu dengan yang lain. Tujuan penetapan harga menurut Harini (2008: 55) adalah sebagai berikut:
1.
Penetapan harga untuk mencapai penghasilan atas investasi. Biasanya
besar keuntungan dari suatu investasi telah ditetapkan persentasenya dan untuk mencapainya diperlukan penetapan harga tertentu dari barang yang dihasilkannya. 2.
Penetapan harga untuk kestabilan harga. Hal ini biasanya dilakukan untuk perusahaan yang kebetulan memegang kendali atas harga. Usaha pengendalian harga diarahkan terutama untuk mencegah terjadinya perang harga, khususnya bila menghadapi permintaan yang sedang menurun.
3.
Penetapan harga untuk mempertahankan atau meningkatkan bagiannya dalam pasar. Apabila perusahaan mendapatkan bagian pasar dengan luas tertentu, maka ia harus berusaha mempertahankannya atau justru mengembangkannya. Untuk itu kebijaksanaan dalam penetapan harga jangan sampai merugikan usaha mempertahankan atau mengembangkan bagian pasar tersebut.
4.
Penetapan harga untuk menghadapi atau mencegah persaingan. Apabila perusahaan baru mencoba-coba memasuki pasar dengan tujuan
44
mengetahui pada harga berapa ia akan menetapkan penjualan. Ini berarti
bahwa ia belum memiliki tujuan dalam menetapkan harga coba-coba
tersebut.
5.
Penetapan harga untuk memaksimalkan laba. Tujuan ini biasanya menjadi anutan setiap usaha bisnis. Kelihatannya usaha mencari untung
mempunyai konotasi yang kurang enak seolah-olah menindas konsumen.
Padahal sesungguhnya hal yang wajar saja. Setiap usaha untuk bertahan
hidup memerlukan laba. Memang secara teoritis harga bisa berkembang tanpa batas.
Menurut Samryn (2012:350), penetapan harga pokok produk untuk penetapan harga memerlukan empat langkah sebagai berikut : 1.
Memutuskan kategori biaya fungsi bisnis mana yang harus dimasukkan dalam komponen harga pokok produk. Para manajer seharusnya hanya memasukkan unsur biaya yang relevan.
2.
Menghitung biaya produksi langsung untuk tiap kategori biaya relevan dari langkah ke 1.
3.
Menghitung biaya-biaya, produksi tidak langsung dari tiap kategori biaya relevan dari langkah ke 1. Perusahaan-perusahaan dapat memperbaiki akurasi perhitungan harga pokok produk
dengan
mengidentifikasi penyebab timbulnya biaya tidak langsung yang menjadi elemen harga pokok produk.
45
4.
biaya produksi langsung dari langkah ke 2 dan biaya produksi tidak
langsung dari langkah ke 3.
5.
Menghitung total harga pokok produk dengan menjumlahkan biaya-
Penetapan harga pokok dapat dilakukan dengan pendekatan Full Costing dan Variable Costing.
Selanjutnya Samryn (2012:348:361) menyatakan bahwa terdapat dua
metode dalam penetapan harga jual suatu produk yaitu penetapan harga dengan metode penetapan mark up yang dibagi menjadi mark upuntuk harga pokok produk/cost plus dan mark up untuk beban pemakaian bahan, serta penetapan harga dengan metode break even pricing. Berikut ini merupakan penjelasannya. 1)
Penetapan Harga dengan Metode Penetapan Mark Up Samryn (2012:352) mengemukakan bahwa setelah menghitung harga pokok produk, masalah selanjutnya dalam penetapan harga jual adalah menetapkan mark up. Mark up adalah selisih antara harga jual suatu produk atau jasa dengan harga pokoknya. Selisih ini biasanya dinyatakan sebagai persentase (%) dari biaya yang dapat diperhitungkan, dari beban pokok penjualan atau bisa juga berdasarkan harga pokok bahan langsung yang terpakai. Setelah diketahui persentase (%) mark up barulah bisa dilakukan perhitungan harga jual produk. Metode penetapan mark up dibagi menjadi mark up untuk harga pokok produk/cost plus dan mark up untuk beban pemakaian bahan. Berikut ini penjelasannya.
46
a.
Mark Up untuk Harga Pokok Produk/Cost Plus Samryn (2012:353-354) mengemukakan bahwa cara menentukan harga jual yang paling sederhana adalah menambahkan sejumlah
mark up atas harga pokok produk yang akan dijual. Sesuai dengan
elemennya pendekatan ini disebut pendekatan cost plus mark up.
Masalahnya dalam pembahasan ini adalah kategori biaya mana yang
diperhitungkan sebagai dasar mark up. Dalam konsep dan klasifikasi biaya telah diperkenalkan istilah biaya yang berbeda untuk tujuan yang berbeda. Dengan mengadopsi kembali mengenai konsepkonsep biaya maka kategori cost ini bisa dipengaruhi oleh sisi pandang objek biaya, perilaku biaya, fungsi organisasi di mana biaya terjadi, dan hubungan biaya dengan objek yang dibiayai. Sebagai contoh, berikut ini merupakan laporan laba rugi PT ABC Januari 2013 : Penjualan
Rp 21.412.500,-
Beban pokok penjualan : Bahan langsung
Rp 14.625.000,-
Tenaga kerja langsung
Rp 1.218.750,-
Overhead pabrik
Rp 2.000.000,- (Rp 17.843.750,-)
Laba kotor
Rp 3.568.750,-
Beban penjualan dan administratif
(Rp
Laba usaha
Rp 2.943.750,-
625.000,-)
Misalnya PT ABC ingin mendapatkan rasio laba yang sama dengan bulan Januari 2013. Dalam metode ini, persentase (%) mark updapat
47
dihitung berdasarkan beban pokok dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
Ψ
Ψ
= 0,2 atau 20%
Dengan demikian harga jual yang ditetapkan sebesar (100% +
20%) x Rp 17.843.750,- = Rp 21.412.500,-.
Selanjutnya Samryn (2012:354) mengemukakan bahwa dalam metode penetapan harga dengan penetapan Mark Up untuk Harga Pokok Produk/Cost Plusini, terlebih dahulu harus dihitung persentase (%) mark up nya. Setelah diketahui persentase (%) mark uptersebut, baru bisa dihitung harga jual produk setelah mark up. Karena dalam metode ini mark up dihitung berdasarkan harga pokok produk, maka dalam penetapan harga jual dihitung dengan mengalikan persentase (%) setelah mark up dengan harga pokok penjualan.
b.
Metode Mark Up untuk Beban Pemakaian Bahan Samryn
(2012:354-355)
mengemukakan
bahwa
mark
up
berdasarkan beban pemakaian bahan merupakan suatu pendekatan dalam menentukan mark up yang diaplikasikan terhadap biaya bahan yang dirancang untuk menutupi biaya-biaya pemesanan, penanganan dan pengangkutan bahan dalam persediaan akhir dan
48
memungkinkannya untuk mendapatkan laba. Dalam metode ini,
persentase (%) mark up dapat dihitung berdasarkan biaya bahan
baku langsung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Ψ
Ψ
= 0,4641 atau 46,41 % Dengan demikian harga jual dapat ditetapkan sebesar (100% + 46,41) x Rp 14.625.000 = Rp 21.451.993,20. Selanjutnya Samryn (2012:355) mengemukakan bahwa dalam metode penetapan harga dengan penetapan Mark Up untuk Beban Pemakaian Bahan ini, terlebih dahulu harus dihitung persentase (%) mark up nya. Setelah diketahui persentase (%) mark up tersebut, baru bisa dihitung harga jual produk setelah mark up. Karena dalam metode ini mark up dihitung berdasarkan beban pemakaian bahan, maka dalam penetapan harga jual dihitung dengan mengalikan persentase (%) setelah mark up dengan biaya bahan baku langsung.
2)
Penetapan Harga Break Even (Break Even Pricing Method) Samryn (2012:361-362) mengemukakan bahwa metode penetapan harga break even (break even pricing) merupakan cara penetapan harga yang didasarkan pada permintaan pasar sekaligus masih mempertimbangkan
49
biaya. Menurut cara ini, suatu usaha akan mendapatkan laba apabila
penjualan yang dicapai berada di atas titik break even dan rugi penjualan berada di bawah titik break even. Penetapan harga break even dapat
diterapkan dengan menggunakan beberapa syarat yaitu seluruh biaya
usaha digolongkan ke dalam biaya tetap dan biaya variabel, seluruh
barang yang diproduksi terjual, dan biaya variabel per unitnya tetap.
Misalnya PT ABC sudah memproduksi kaos sebanyak 200 buah, biaya tetap yang sudah dikeluarkan sebesar Rp 10.000.000, biaya variabel per unit sebesar Rp 15.000, maka penetapan harga jual per unit berdasarkan metode break even (Break Even Pricing Method) dapat dirumuskan sebagai berikut :
Harga jual per unit = Rp 65.000 Berdasarkan perhitungan di atas, perusahaan akan mendapatkan keuntungan apabila harga jual per unit ditetapkan di atas Rp 65.000 dengan syarat semua produk harus habis terjual. Masih menurut Samryn (2012:362) bahwa untuk meninjau break even pricing secara lebih mendalam kita bisa mengadakan analisa tabuler. Volume break-even diperoleh dari pembagian antara biaya tetap total dengan marjin yang ada pada setiap tingkat harga. Kemungkinan masalah yang paling serius dalam penetapan harga break-even ini adalah masalah kurangnya
50
permintaan. Penentuan harga yang optimal sangat dipengaruhi oleh
hubungan antara harga jual eceran dengan jumlah produk yang akan dibeli oleh konsumen. Adapun faktor- faktor yang mempengaruhi
keputusan ini antara lain:
• Faktor saingan
• Pengalaman dalam penetapan harga.
• Kondisi dan produk yang ditawarkan.