10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kontrak Psikologis 2.1.1
Definisi Kontrak Psikologis Kontrak merupakan hal yang tidak asing lagi dijumpai dalam setiap
aspek kehidupan manusia, dengan formalitas dan variasi yang beragam. Kontrak merupakan keyakinan akan kewajiban yang terdapat diantara dua atau lebih pihak terkait. Rousseau (1995: 23) mendefinisikan kewajiban sebagai komitmen terhadap perilaku di masa mendatang yang harus ditepat. Kontrak dapat disampaikan baik secara tertulis, verbal, maupun dalam bentuk ekspresi yang beragam (Rousseau, 1995), namun, ada kontrak yang muncul tanpa disadari keberadaannya karena bersifat informil, yaitu kontrak yang tidak dipaparkan secara langsung dan bersifat tersirat. Salah satu bentuk kontrak yang bersifat informil namun memegang peranan penting dalam dunia kerja adalah kontrak psikologis. Rousseau (1995: 9) mendefinisikan kontrak psikologis sebagai kepercayaan yang diyakini oleh karyawan yang terkait dengan perjanjian hubungan tenaga kerja antara pihak karyawan dengan perusahaan. Agyris (dalam Barling dan Cooper, 2008) berargumen bahwa kontrak ini dapat mendorong karyawan untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi dengan meminimalisir keluhan untuk memperoleh rasa aman dalam pekerjaan serta gaji yang lebih tinggi. Isakson (dalam Petersitzke, 2009) mendefinisikan kontrak psikologis sebagai persepsi terhadap harapan dan tanggung jawab yang bersifat timbal balik dalam perjanjian tenaga kerja.
11
Guest dan Conway (dalam Petersitzke, 2009) mendefinisikan kontrak psikologis sebagai persepsi terhadap hubungan dua pihak, karyawan dan perusahaan. Rousseau beserta dengan rekan kerjanya berargumen bahwa pelanggaran terhadap tanggung jawab dan kewajiban akan memberikan dampak yang lebih kuat dibandingkan pelanggaran terhadap harapan subjektif (Rousseau, 1995). MacNeil (dalam Haq, Jam, Azeem, Ali, & Fatima, 2011) menjelaskan bahwa kontrak psikologis dapat dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu kontrak transaksional dan relasional. Kontrak transaksional berorientasi pada hal yang berkaitan dengan moneter dan merupakan kontrak jangka pendek. Rousseau (dalam Haq, Jam, Azeem, Ali, & Fatima, 2011: 73) berargumen bahwa bentuk kontrak ini hanya menitikberatkan pada gaji yang tinggi namun tidak ada komitmen pada perusahaan yang terlibat di dalamnya. Pada umumnya, kontrak ini berlaku apabila perusahaan merekrut karyawan sementara untuk tujuan spesifik. Berbeda dengan kontrak transaksional, kontral relasional merupakan kontrak untuk periode jangka panjang. Elemen yang tergolong dalam kontrak ini adalah komponen sosio-emosional seperti loyalitas, komitmen, dan kepercayaan (Haq et al., 2011). Dapat disimpulkan bahwa kontrak psikologis merupakan sekumpulan perjanjian dan komitmen yang tidak tertulis namun ada dalam perjanjian antar dua belah pihak atau lebih. Hubungan ini menitikberatkan pada hubungan timbal balik antara karyawan dengan perusahaan. Walaupun tidak tertulis secara jelas, tidak dapat dipungkiri bahwa pemenuhan kontrak ini memainkan peran yang cukup besar dalam mengontrol dan memprediksi perilaku karyawan dalam perusahaan. 2.1.2 Pengembangan Kontrak Psikologis Saat karyawan baru memasuki suatu perusahaan, seringkali karyawan belum memiliki pemahaman seutuhnya mengenai hubungan kerja yang ada. Kontrak psikologis awal yang diyakini oleh karyawan bersumber dari perjanjian-perjanjian yang dijanjikan oleh perusahaan (dalam bentuk kesempatan berkarir, penghargaan financial, serta pekerjaan yang menarik)
12
maupun komitmen kerja yang telah dijanjikan oleh karyawan bagi perusahaan seperti loyalitas, fleksibilitas, kinerja yang baik, dan penuntasan tugas di luar tanggung jawab utamanya (Vos, Buyens & Schalk, 2003). Turnley dan Feldman (1998) dalam Boes (2006) berasumsi bahwa karyawan membangun harapan akan kontrak psikologisnya berdasarkan 3 sumber utama, yaitu janji yang dibuat oleh representatif pihak perusahaan,
persepsi
akan kultur
perusahaan, serta penyesuaian antara harapan dengan bagaimana perusahaan beroperasi. Kurangnya pemahaman ini mendorong karyawan baru untuk secara aktif menginterpretasikan pengalaman pertamanya di lingkungan baru untuk memprediksi apa yang akan terjadi kelak serta membangun harapanharapannya terhadap hubungan kerja yang dilakukan (Rousseau, 2001). De Vos dan Buyens (dalam Phuong, 2013) memaparkan bahwa kontrak psikologis terbentuk dari beberapa kategori dari janji dan tanggung jawab dan untuk memahami pengembangan dari kontrak psikologis, penting untuk memperhatikan setiap kategorinya dan tidak melihatnya sebagai satu kesatuan yang utuh. Rousseau (dalam
Petersitzke,
2009) menggambarkan kontrak
psikologis sebagai hasil dari dua faktor utama, yaitu petunjuk sosial yang diberikan oleh perusahaan serta kognisi dan karakter individu. Kontrak ini juga merupakan hasil dari dua proses, yaitu encoding dan decoding. Rousseau (dalam Petersitzke, 2009) mendefinisikan encoding sebagai proses yang terjadi ketika karyawan mempercayai perjanjian dan komitmen yang disampaikan oleh pihak perusahaan. Pada umumnya, proses ini terjadi apabila informasi disampaikan oleh pihak yang memiliki wewenang, disampaikan pada situasi yang tepat, dan apabila perjanjian disampaikan secara berulang. Proses ini diikuti oleh proses decoding, yaitu penyesuaian akan informasi yang dimiliki karyawan mengenai janji dan komitmen yang disampaikan oleh pihak perusahaan dengan karyawan. Proses ini dibangun berdasarkan informasi yang disampaikan oleh pihak perusahaan sehingga karyawan dapat membentuk kesimpulan mengenai standar perilaku yang harus ditampilkan. Berikut diagram proses pembentukan kontrak psikologis
13
Predisposition
Message Framing
Encoding
Social Cues
Psychological Contract
Decoding
Penanda faktor organisasi
Penanda faktor individual
Gambar 2.1 Proses Pembentukan Kontrak Psikologis (Rousseau, 1995) Berdasarkan diagram ini, dapat disimpulkan bahwa keyakinan karyawan akan perjanjian dan komitmen yang disampaikan oleh pihak perusahaan ditentukan oleh karakter dan cara berpikir setiap individu. Ketika karyawan telah mempercayai janji dan komitmen yang disampaikan oleh pihak
perusahaan,
proses
berikutnya
adalah
menyesuaikan
dan
membandingkan informasi yang dimiliki dengan kebudayaan serta situasi yang ada. Proses ini terbentuk berdasarkan petunjuk sosial yang ada. Setelah kedua proses ini berlangsung, maka kontrak psikologis akan terbentuk. Rousseau (dalam Petersitzke, 2009) meyakini bahwa kontrak psikologis terbentuk berdasarkan informasi yang disampaikan serta komitmen yang diberikan oleh pihak perusahaan. Informasi ini dapat disalurkan melalui beberapa cara, seperti komitmen yang disampaikan secara langsung dalam bentuk tertulis, observasi, serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam perusahaan. Kontrak psikologis merupakan kontrak yang bersifat dinamis dan dapat berubah seiring dengan proses adaptasi karyawan di perusahaan. Perubahan persepsi terhadap harapan serta perjanjian yang diyakini oleh karyawan dapat terjadi melalui dua proses, yaitu adaptasi sepihak dan adaptasi timbal balik. Dalam adaptasi sepihak, perubahan perspektif dari karyawan baru mengenai perjanjian dari salah satu pihak terjadi sebagai
14
dampak dari interpretasi berdasarkan kontribusi yang dilakukan oleh diri sendiri. Bertolak belakang dengan itu, adaptasi timbal balik terjadi ketika karyawan merubah perspektifnya terhadap perjanjian dari salah satu pihak sebagai hasil dari interpretasi terhadap sikap maupun perilaku yang dilakukan oleh pihak perusahaan (Vons, Buyens & Schalk, 2003). 2.2
Pelanggaran Kontrak Psikologis 2.2.1 Definisi dan Pendorong Terjadinya Pelanggaran Kontrak Psikologis Rousseau (dalam Hussain et al., 2011) memaparkan bahwa pelanggaran terhadap kontrak psikologis terjadi ketika karyawan beranggapan bahwa
pihak perusahaan telah gagal dalam memenuhi janji dan
komitmennya. Morrinson dan Robinson (dalam Hussain et al., 2011) mendefinisikan pelanggaran terhadap kontrak psikologis sebagai kesenjangan antara pandangan mengenai hal yang dijanjikan dengan apa yang diperoleh. Robinson (dalam Hussain et al., 2011) berpendapat bahwa pelanggaran ini terjadi ketika karyawan tidak memperoleh apa yang diharapkannya, namun, pada tahun 2004, Robinson menambahkan bahwa pelanggaran
terhadap
kontrak
psikologis
terjadi
ketika
karyawan
membandingkan kontrak psikologisnya dengan sikap yang ditampilkan oleh pihak perusahaan. 2.2.2 Dampak Pelanggaran Kontrak Psikologis Terjadinya pelanggaran kontrak psikologis akan membawa dampak negatif, baik bagi karyawan maupun untuk pihak perusahaan. Dalam teori pertukaran sosial yang dipaparkan oleh Coyle-Shapiro dan Conway (dalam Bordia, Tang, dan Restubog, 2008), hubungan tenaga kerja antara karyawan dan perusahaan dibangun berdasarkan rumus pertukaran sosial. Ketika karyawan mempersepsikan adanya pelanggaran perjanjian oleh pihak perusahaan, karyawan akan memberikan respon dengan menimbulkan perilaku yang dapat memberikan kerugian pada perusahaan
15
Dalam Bordia, Tang, dan Restubog (2008), dipaparkan bahwa persepsi karyawan terhadap adanya pelanggaran kontrak psikologis akan memberikan dampak, seperti hilangnya perasaan memiliki perusahaan hilangnya kepercayaan karyawan terhadap perusahaan, menurunkan kepuasan kerja, kinerja karyawan, dan peningkatan tingkat absensi karyawan . Lebih lanjut lagi, pelanggaran kontrak ini juga dapat mendorong kemarahan, menurunkan loyalitas, perasaan bertanggung jawab, bahkan melakukan
penyelewengan
dalam
lingkungan
kerja.
Perilaku
yang
menyimpang dalam lingkungan kerja dapat dilakukan dalam taraf minim seperti pulang lebih cepat dan kurang menghargai rekan kerja, hingga pada taraf yang membawa kerugian besar seperti melakukan tindak pencurian, membocorkan data perusahaaan pada pihak lain, dan tidak bekerja dengan baik (Hussain et al, 2011). 2.2.3
Faktor Penyebab Terjadinya Pelanggaran Kontrak Psikologis Morrinson dan Robinson (2000) memaparkan bahwa terjadinya
pelanggaran kontrak psikologis disebabkan oleh dua akar utama, yaitu pengingkaran dan ketidaksesuaian. Pengingkaran terjadi ketika pihak perusahaan menyadari keberadaan dari tanggung jawab yang dimaksud, namun gagal memenuhi tanggung jawabnya. Berbeda dengan itu, ketidaksesuaian terjadi ketika karyawan memiliki perbedaan pandangan dengan pihak perusahaan mengenai tanggung jawab yang ada dalam hubungan tenaga kerja. Berikut diagram mengenai proses terjadinya pelanggaran kontrak psikologis:
16
Gambar 2.2 Proses terjadinya pelanggaran kontrak psikologis (Robinson & Morrinson, 2000)
Berdasarkan gambar ini, dapat disimpulkan bahwa pengingkaran dan ketidaksesuaian merupakan awal mula terjadinya persepsi pelanggaran kontrak pada karyawan. Pengingkaran dapat terjadi ketika pihak perusahaan tidak mampu ataupun tidak mau memenuhi tanggung jawabnya. Hal ini juga dapat terjadi ketika produktivitas dan kinerja karyawan dinilai rendah. Ketidaksesuaian terjadi apabila pihak perusahaan dan karyawan memiliki perbedaan pandangan mengenai tanggung jawab dan hak yang terdapat dalam perjanjian tenaga kerja. Perbedaan pandangan ini dapat terjadi dalam interaksi pada proses penerimaan karyawan.
17
Morrinson dan Robinson (2000) berpendapat bahwa kesenjangan pandangan dapat dijembatani dan diminimalisir melalui proses sosialisasi karyawan di perusahaan. Karyawan yang mampu melalui proses sosialisasi dengan
optimum
kepercayaannya
akan
mampu
menyamakan
mengenai perjanjian yang
apa
yang
disampaikan
menjadi
oleh
pihak
perusahaan dengan pandangan dari pihak perusahaan. Morrinson dan Robinson (2000) juga berpendapat bahwa intensitas komunikasi antar karyawan dengan pihak perusahaan sebelum karyawan menjadi pegawai dalam perusahaan dapat meminimalisir munculnya kesenjangan ini. Ketika salah satu dari kedua akar utama penyebab munculnya persepsi karyawan akan adanya pelanggaran kontrak psikologis terjadi, taraf seberapa tinggi karyawan memperhatikan seberapa baik perusahaan memenuhi tanggung jawabnya, memainkan peran. Karyawan yang secara berkala memperhatikan adanya kesenjangan ini memiliki kecenderungan untuk mempersepsikan terjadinya pelanggaran kontrak psikologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan yang tidak menitikberatkan perhatiannya pada pemenuhan tanggung jawab dari pihak perusahaan. Riset yang dilakukan oleh Fiske dan Taylor (dalam Robinson dan Morrinson, 2000) membuktikan bahwa hal ini terjadi karena ketika karyawan memantau secara berkala bagaimana perusahaan memenuhi tanggung jawabnya: ini akan mendorong mereka untuk mencari celah akan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pihak perusahaan serta mencari bukti untuk mendukung kepercayaan mereka. Morrinson dan Robinson (2000) berargumen bahwa tingkat perhatian karyawan terhadap pemenuhan tanggung jawab dari pihak perusahaan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu ketidakpastian yang dirasakan oleh karyawan, tingkat kepercayaan antara karyawan dengan atasan, serta besarnya kerugian yang muncul sebagai dampak dari kegagalan pemenuhan tanggung jawab oleh pihak perusahaan. Salah satu penyebab adanya ketidakpastian yang dirasakan oleh karyawan adalah perubahan organisasi yang terjadi. Perubahan-perubahan
18
organisasi yang terjadi dapat memicu munculnya perasaan tidak aman bahwa pihak perusahaan tidak akan memenuhi tanggung jawabnya secara penuh. Salah satu pemicu tingginya perhatian karyawan terhadap pemenuhan tanggung jawab oleh pihak perusahaan adalah kepercayaan yang ada antara pihak perusahaan dengan karyawan. Robinson dan Morrinson (2000) berargumen bahwa kepercayaan karyawan terhadap pihak perusahaan dapat menurun apabila pihak perusahaan gagal dalam memenuhi tanggung jawabnya di masa lalu. Zhao et al., (dalam Phuong, 2013) menganjurkan empat metode yang dapat diterapkan untuk mengukur pelanggaran kontrak psikologis. Metode pengukuran yang pertama adalah pengukuran konkret. Pengukuran ini merujuk pada berbagai konten yang merupakan bagian dari kontrak psikologis, seperti upah yang tinggi, pelatihan diberikan, dan rasa aman dalam pekerjaan. Dalam pengukuran ini, responden akan diminta untuk menilai seberapa baik perusahaan telah memenuhi janjinya dalam setiap aspek. Pengukuran yang kedua adalah pengukuran global. Pengukuran
ini
tidak menitikberatkan pada setiap butir dari konten secara spesifik, namun mengarah pada persepsi dari responden mengenai seberapa baik atau gagal perusahaan telah memenuhi apa yang telah dijanjikan kepada responden (Phuong, 2013). Pengukuran ketiga yang dikembangkan oleh Zhao dinamakan dengan pengukuran berat. Sama seperti dengan pengukuran konkret, metode ini juga menilai setiap konten secara spesifik dari kontrak psikologis dan meminta responden untuk memberikan penilaian terhadap pelanggaran yang terjadi pada setiap butir. Namun, yang membedakan adalah, dalam pengukuran ini ditambahkan penilaian mengenai seberapa penting setiap konten yang ada bagi responden (Phuong, 2013). Metode lainnya yang dapat digunakan untuk mengukur pelanggaran kontrak psikologis adalah metode dimensi. Metode ini serupa dengan pengukuran konkret, dimana meminta responden untuk memberikan penilaian terhadap pemenuhan janji perusahaan pada setiap butir pertanyaan.
19
Jumlah skor keseluruhan pada satu dimensi kemudian akan dinilai rataratanya sebagai rata-rata dari dimensi tersebut (Phuong, 2013). Studi mengenai kognisi sosial, relasi, perbaikan, dan keadilan yang dilakukan oleh Rousseau (dalam Boes, 2006), pelanggaran kontrak lebih cenderung terjadi dalam kontrak yang dinamis berdasarkan alasan sebagai berikut: (1) Salah satu pihak memberikan nilai yang rendah pada hubungan tenaga kerja; (2) Insentif dari kontrak yang dilangar cukup besar; (3) Terjadinya pola eksternal dari pelanggaran kontrak; (4)Adanya sejarah konflik yang terjadi dan menyebabkan rasa percaya yang rendah; (5) Adanya jarak sosial pada kedua pihak sehingga kedua pihak tidak saling memahami perspektif dari yang lainnya. Meyer dan Starke (dalam Robinson dan Morrinson, 2000) menemukan bahwa orang cenderung menghindari informasi yang akan mengecewakan mereka. Berdasarkan penemuan ini, Robinson dan Morrinson (dalam Robinson dan Morrinson, 2000) berpendapat bahwa karyawan cenderung tidak memantau secara berkala bagaimana pihak perusahaan memenuhi tanggung jawabnya apabila mereka merasa ada ancaman bahwa kontrak psikologis mereka tidak terpenuhi. Dengan demikian, maka karyawan yang saat sebelum menandatangani kontrak perjanjian kerja memiliki lebih banyak alternatif
pekerjaan
lainnya
cenderung
lebih
memantau
bagaimana
perusahaan memenuhi tanggung jawab dan janjinya dibandingkan dengan karyawan yang saat sebelum menandatangani kontrak perjanjian kerja hanya memiliki sedikit alternatif pekerjaan. Rousseau (dalam Rousseau, 2000) memaparkan bahwa kontrak psikologis dipengaruhi oleh 4 aspek utama, yaitu relasi (relational), keseimbangan
(balanced),
transaksional
(transactional),
dan
transisi
(transitional). Berikut pembagian rincian setiap aspek dari kontrak psikologis menurut Rousseau (Rousseau, 2000): •
Relasi (relational): Pengaturan tenaga kerja yang bersifat terbuka dan berorientasi jangka panjang didasari oleh rasa saling percaya dan loyalitas. Dimensi ini dibagi menjadi:
20
o Stabilitas (stability): Karyawan bertanggung jawab untuk tetap berada dalam perusahaan dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk menjaga agar kegiatan operasional terus berlangsung. Pihak perusahaan juga telah menjajikan adanya upah yang stabil dan hubungan tenaga kerja antar karyawan dengan perusahaan dalam jangka panjang o Loyalitas (loyality): Karyawan bertanggung jawab untuk mendukung perusahaan, menanamkan loyalitas serta komitmen untuk
kepentingan
perusahaan
juga
dan telah
kebutuhan berkomitmen
perusahaan. untuk
Pihak
menjaga
kesejahteraan karyawan serta memberikan tunjangan bagi karyawan beserta dengan keluarganya •
Keseimbangan (balance): Adanya kondisi yang terbuka dan dinamis untuk
menunjang
keberhasilan
perusahaan
sehingga
mampu
memberikan kesempatan berkarir bagi karyawan. Pihak perusahaan dan karyawan secara timbal balik membagikan ilmu beserta perkembangan yang diperoleh. Hadiah diberikan kepada karyawan berdasarkan kinerja dan kontribusi bagi perusahaan dalam bersaing dengan para competitor, terutama dalam menghadapi perubahan permintaan pasar sebagai dampak dari tekanan pasar. Dimensi ini dibagi menjadi: o Kemampuan tenaga kerja eksternal: Karyawan bertanggung jawab untuk mengembangkan ketrampilan yang dibutuhkan oleh pasar. Perusahaan berkomitmen untuk mengembangkan kemampuan dan ketrampilan yang dibutuhkan karyawan untuk jangka panjang, baik di dalam perusahaan maupun di luar perusahaan itu sendiri o Pengembangan internal: Karyawan bertanggung jawab untuk mengembangkan
ketrampilan
yang
dibutuhkan
oleh
perusahaan. Sebaliknya, pihak perusahaan berkomitmen untuk menciptakan kesempatan pengembangan karir di dalam perusahaan o Kinerja yang dinamis: Karyawan bertanggung jawab untuk menghasilkan kinerja yang baik serta mencapai tujuan yang
21
lebih menantang, yang dapat terus berubah dengan berjalannya waktu. Pihak perusahaan berkomitmen untuk memberikan pembelajaran secara terus menerus serta membantu karyawan untuk dapat menghasilkan kinerja yang dibutuhkan dengan baik •
Transaksional (transactional): Pengaturan tenaga kerja untuk kurun waktu yang singkat, biasanya berfokus terhadap pertukaran ekonomi. Bentuk dari pengaturan ini ditandai dengan pekerjaan dengan variasi yang terbatas, spesifik, serta adanya keterbatasan dalam keterlibatan karyawan di perusahaan. Dimensi ini dibagi menjadi: o Menyempit: Karyawan bertanggung jawab hanya memiliki tanggung jawab dalam jumlah yang terbatas dan sifatnya sudah tetap. Perusahaan tidak memberikan pelatihan maupun pengembangan karyawan yang lainnya o Jangka pendek: Karyawan tidak memiliki tanggung jawab untuk tetap bekerja pada suatu perusahaan. Pihak perusahaan hanya mempekerjakan karyawan untuk periode waktu yang singkat serta tidak memiliki komitmen untuk mempertahankan hubungan tenaga kerja dalam orientasi waktu jangka panjang
•
Transisional (transitional): Dimensi ini menjelaskan perubahan kognisi yang dapat timbul sebagai dampak dari perubahan dan transisi perusahaan yang bertentangan dengan pengaturan tenaga kerja sebelumnya. Dimensi ini dapat dibagi menjadi: o Ketidakpercayaan: Karyawan meyakini bahwa perusahaan memberikan informasi yang bercampur aduk dan tidak konsisten sehingga menimbulkan ketidakpercayaan pada pihak perusahaan o Ketidakpastian: Karyawan merasa tidak yakin akan tanggung jawabnya terhadap pihak perusahaan o Erosi: Karyawan memperkirakan bahwa di masa mendatang, akan menerima hasil dari kontribusi yang telah diberikannya dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan hasil yang di dapatkan di masa lalu. Pihak perusahaan melakukan perubahan dengan menurunkan upah dan tunjangan karyawan
22
sehingga menurunkan kesejahteraan dari kehidupan dalam lingkungan pekerjaan pada karyawan 2.2.4 Dimensi Pelanggaran Kontrak Psikologis Dalam pengukuran kontrak psikologis pada penelitian yang dilakukan, peneliti menggunakan metode pengukuran global, dimana penilaian berdasarkan keseluruhan aspek dari pemenuhan janji dan tidak menitikberatkan setiap aspek atau bagian secara spesifik. Aspek yang diukur merupakan sudut pandang pemenuhan janji dari seorang individu berdasar atas kontrak pisikologis yang diberikan oleh perusahaan. Penyusunan alat ukur dibentuk berdasarkan 5 dimensi pembentuk kontrak psikologis, yang mencakup: kepuasan akan pekerjaan, kesempatan berkarir, dukungan, kepuasan gaji dan kompensasi, dan pelatihan yang diberikan. Aspek yang tercakup dalam kepuasan akan pekerjaan antara lain dapat diukur dengan tingkat pemahaman pekerjaan individu serta kegembiraan dalam pekerjaan. Aspek kesempatan berkarir lebih kepada tingkat probabilitas seseorang mendapatkan posisi maupun pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya melalui perusahaan. Aspek dukungan yang dimaksud adalah dukungan yang didapat individu dalam pekerjaannya baik dukungan dari atasan. Aspek gaji dan kompensasi merupakan aspek yang diukur berdasarkan nominal pendapatan yang dimiliki ditambah dengan kompensasi ataupun fasilitas yang didapat. Senada dengan keseluruhan aspek diatas, aspek pemberian pelatihan juga merupakan dimensi yang perlu diukur karena sering kali perusahaan memberikan apresiasi kepada karyawannya dalam bentuk pelatihan yang diberikan. 2.3
Sikap Tentang Risiko 2.3.1 Definisi Sikap Tentang Risiko Dalam bukunya, Berry (2004: 9) mendefinisikan risiko sebagai kemungkinan terjadinya situasi yang tidak menyenangkan. . Peneliti menyimpulkan bahwa sikap tentang risiko merupakan kecenderungan individu untuk membuat keputusan dalam situasi yang berisiko.
23
2.3.2 Faktor yang Menentukan Sikap Tentang Risiko Setiap individu memiliki kesempatan untuk memberikan respon yang beragam terhadap satu situasi yang sama, sehingga setiap individu dapat memberikan respon yang berbeda untuk situasi yang serupa. Pengambilan keputusan terhadap situasi yang berisiko sangat dipengaruhi oleh faktor situasional. Berikut faktor situasional yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang berisiko (Hillson & Webster, 2007): •
Tingkat dari ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki Ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki individu mengenai situasi terkait mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan. Individu akan lebih berani untuk mengambil keputusan berisiko dalam bidang yang dikuasainya, dimana ia telah memiliki ketrampilan dan pengetahuan yang cukup, sehingga ia akan mampu lebih baik dalam mengevaluasi situasi tersebut, namun, individu akan lebih enggan untuk mengambil keputusan berisiko pada situasi yang kurang familiar dan dimana ia tidak memilik pengetahuan yang cukup untuk mengevaluasi situasi tersebut
•
Persepsi mengenai dampak yang mungkin terjadi Setiap individu memiliki persepsi risiko yang berbeda terhadap situasi yang sama. Bagi beberapa individu, satu situasi dapat dianggap sebagai situasi yang netral, namun, situasi ini dipersepsikan sebagai situasi yang berisiko bagi individu lainnya. Individu yang lebih sensitif terhadap penilaian situasi sebagai situasi yang berisiko memiliki memiliki kecenderungan untuk menghindari segala situasi yang berisiko.
•
Persepsi mengenai kontrol yang dimiliki terhadap situasi Faktor ini membedakan persepsi individu mengenai apakah suatu situasi dipersepsikan dapat dikontrol dan dikendalikan atau tidak dapat dikontrol. Ketika individu berpendapat ia dapat mengendalikan situasi, maka kecenderungannya adalah ia akan mengambil keputusan yang lebih berisiko, namun, ketika individu berpendapat ia tidak dapat mengendalikan situasi yang mungkin terjadi, maka ia akan cenderung untuk menghindari pengambilan keputusan yang berisiko
24
•
Rentan waktu untuk konsekuensi serta risiko terjadi Ketika individu mempersepsikan bahwa ketidakpastian dapat terjadi dalam rentan waktu yang lebih singkat, maka situasi tersebut akan dipersepsikan
lebih
berisiko
dibandingkan
dengan
ketika
ketidakpastian dapat terjadi dalam rentan waktu yang lebih panjang. •
Potensi untuk terjadinya konsekuensi secara langsung Individu akan lebih berhati-hati dalam mengevaluasi dan membuat keputusan berisiko ketika dampak dari konsekuensi akan merujuk langsung pada individu maupun kelompoknya, dibandingkan apabila konsekuensi dapat terjadi pada orang lain. Flanagan, Stout, dan Gallay (dalam Shaw, Amsel, Schillo, 2011)
mengemukakan bahwa sikap tentang risiko turut dipengaruhi oleh pemahamannya yang terus dikembangkan secara aktif mengenai moral (konsekuensi negatif terhadap orang lain), konvensional (konsekuensi legal), pribadi (keputusan pribadi), dan kebijaksanaan (dampak yang merusak terhadap diri sendiri). Individu dengan pengembangan moral, konvensional, pribadi, dan kebijaksanaan yang lebih baik akan lebih memiliki banyak pertimbangan dalam pengambilan keputusan berisiko dan menghindari segala kemungkinan yang dapat menyebabkan kerugian bagi pihak lain maupun diri sendiri (Shaw, Amsel, Schillo, 2011). Faktor lainnya yang turut berperan dalam pengambilan keputusan berisiko adalah proses heuristik, yaitu individu menganalisa situasi ambigu berdasarkan situasi serupa yang pernah dialami sebelumnya (Hillson & Webber, 2007). Dalam konteks sikap tentang risiko, heuristik merupakan usaha yang dilakukan individu maupun kelompok untuk mengevaluasi keadaan yang tidak pasti serta menentukan respons yang sesuai, dengan mempertimbangkan pengalaman di masa lalu (Hillsonm & Webster, 2007). Weber (dalam Blais dan Weber, 2006) mengemukakan bahwa pada awalnya, sikap tentang risiko dipertimbangkan sebagai bentuk dari karakter dan kepribadian pada umumnya yang sifatnya permanen.
25
Allport & Allport (dalam Blais dan Weber, 2006) mendefinisikan karakter sebagai bentuk yang sifatnya stabil dan permanen. Eysenck dan Eysenck (dalam Blais dan Weber, 2006) berargumen bahwa karakter merupakan hasil dari perbedaan biologis maupun pengalaman masa awal kehidupannya. Namun, di sisi lain, Mischel dan Shoda (dalam Blais dan Webber, 2006) memaparkan bahwa observasi empiris terhadap sikap tentang risiko membuktikan adanya korelasi yang rendah antara perilaku karakter yang seharusnya stabil dalam situasi yang berbeda. Studi yang dilakukan oleh Schoemaker (dalam Blais dan Weber, 2006) membuktikan bahwa dengan metode pengujian yang sama, individu tidak menunjukkan adanya konsistensi dalam pengambilan keputusan berisiko dalam situasi yang berbeda. Webber (2006) juga memaparkan bahwa berdasarkan model risiko psikologis, pandangan mengenai risiko merupakan hal yang akan berbeda pada satu individu dan individu lainnya serta dipengaruhi oleh konten dan konteks situasi yang berlaku. Studi dan pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa individu merespon dengan sikap tentang risiko yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Namun, individu memberikan respon mengenai sikap tentang risiko secara lebih konsisten dalam ranah atau aspek yang serupa. Hal yang mendasari hal ini adalah keputusan mengenai sikap tentang risiko dipengaruhi oleh pandangan mengenai risiko yang ada, keuntungan yang mungkin mengikuti, dan pilihan alternatif yang tersedia. Aspek-aspek yang mempengaruhi ini biasanya serupa dan bersikap konsisten, sehingga sikap tentang risiko lebih stabil dan konsisten dalam aspek atau ranah yang sama. Ranah dimana individu memiliki pengambilan keputusan berisiko yang cukup berbeda mencakup investasi finansial, perjudian, keputusan terkait dengan bisnis, dan pengambilan keputusan personil (Blais & Weber, 2006). Weber, Ames, dan Blais (dalam Blais dan Weber, 2006) memaparkan bahwa keputusan personil dapat dipecah lagi menjadi kategori yang lebih kecil, seperti finansial, rekreasi, kesehatan/keselamatan, sosial, dan keputusan etis.
26
2.3.3
Kategori Sikap Tentang Risiko Berdasarkan alat ukur DOSPERT dalam menilai kecenderungan
individu mengambil keputusan pada situasi berisiko, sikap tentang risiko dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu (Blais & Weber, 2006): •
Memiliki toleransi lebih kecil terhadap risiko(risk aversion): Bersikap negatif terhadap risiko Kategori ini ditandai dengan perasaan tidak nyaman dalam kondisi yang tidak pasti, memiliki toleransi yang rendah terhadap ambiguitas, serta mencari situasi yang aman dan resolusi ketika diperhadapkan dengan risiko. Individu yang tergolong dalam kategori ini melandaskan keputusannya dengan akal sehat serta lebih menyukai fakta dibandingkan dengan teori. Ketika diperhadapkan dengan ancaman, kelompok ini cenderung akan menjadi lebih sensitif serta memberikan respons berlebihan terhadap ancaman yang ada, namun menjadi kurang peka dan memberikan penilaian yang lebih rendah terhadap kesempatan yang ada. Kelompok ini juga mempersepsikan situasi lebih berisiko dibandingkan dengan kelompok dalam kategori lainnya.
•
Memiliki toleransi lebih besar terhadap risiko (risk-seeking) : Bersikap positif terhadap risiko Individu yang tergolong dalam kategori ini biasanya mudah beradaptasi, memiliki sumber daya yang cukup banyak, menikmati hidup, serta tidak takut untuk memulai suatu tindakan. Kelompok ini dapat bersikap santai dalam menyikapi risiko dan ancaman serta menantang situasi yang tidak pasti dengan potensi yang dimilikinya. Sikap ini dapat merujuk pada keputusan yang tidak bijak dan dapat menimbulkan kerugian. Dalam proses evaluasi situasi, para pencari risiko menilai situasi berisiko lebih netral dan tidak mengancam dibandingkan kelompok lain pada umumnya.
27
2.4
Emosi moral Emosi moral dapat didefinisikan sebagai emosi yang mendorong individu untuk menampilkan perilaku yang etis serta emosi yang memotivasi individu untuk memenuhi standar mengenai apa yang benar dan yang salah (Cohen, Insko, Panther, & Wolf, 2011). Cohen, Insko, Panther, dan Wolf (2011)
juga
memaparkan
bahwa
emosi
moral
dapat
dilihat dari
kecenderungan munculnya rasa malu dan kecenderungan rasa bersalah ketia melakukan kesalahan yang disadari. 2.4.1 Definisi Rasa Malu dan Bersalah Perasaan malu dan bersalah terjadi apabila terdapat stress yang muncul sebagai dampak dari pelanggaran yang dilakukan (Cohen, et all., 2011). Tangney (dalam Cohen et all., 2011) memaparkan bahwa rasa malu dan bersalah merupakan emosi yang terjadi dari kesadaran diri sebagai hasil dari refleksi dan evaluasi diri. Kedua emosi ini juga merupakan pendorong munculnya regulasi diri. Akan tetapi, walau terlihat serupa, perlu diingat bahwa kedua emosi ini adalah hal yang berbeda. Berdasarkan pandangan perilaku diri (self-behavior) yang dikemukakan oleh Tracy dan Robins (dalam Cohen et al., 2011), perasaan bersalah terjadi ketika seseorang membuat atribusi internal mengenai perilaku spesifik yang tidak sesuai dengan perilakunya sehingga merujuk pada munculnya perasaan negatif mengenai perilaku yang dilakukan. Di sisi lain, rasa malu muncul ketika seseorang membuat atribusi internal yang bersifat stabil dan global mengenai dirinya sehingga merujuk pada perasaan negatif mengenai diri secara global (Cohen et al., 2011). Pandangan lain yang turut mengulas perbedaan mengenai rasa malu dan bersalah adalah pandangan umum-pribadi (publicprivate) yang dikemukakan oleh Combs, Campbell, Jackson, dan Smith (dalam Cohen et al., 2011). Pandangan ini melandaskan pandangan antropologi dalam pembahasannya. Menurut pandangan ini, perasaan bersalah diasosiasikan dengan perasaan pribadi bahwa telah melakukan hal yang salah dan bertentangan dengan hati nuraninya. Sebaliknya, perasaan malu merupakan perasaan negatif yang muncul ketika seseorang melakukan
28
kesalahan dan kesalahannya dikemukakan di muka umum (Cohen, et al., 2011). 2.4.2 Faktor yang Menentukan Kecenderungan Rasa Malu dan Bersalah Tangney dan Dearing (dalam Cohen et al., 2011), memaparkan bahwa kepribadian merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap kecenderungan munculnya rasa malu dan bersalah. Sebagai contoh, rendahnya kepercayaan diri lebih merujuk pada kecenderungan akan perasaan malu dibandingkan bersalah. Sebaliknya, perasaan empati lebih merujuk pada kecenderungan akan perasaan bersalah dibandingkan malu (Cohen et al., 2011). 2.4.3 Dampak Dari Kecenderungan Rasa Malu dan Bersalah Adanya kecenderungan rasa malu dan kecenderungan rasa bersalah merupakan bagian dari emosi moral. Emosi moral merupakan emosi yang mendorong individu untuk menampilkan perilaku yang sesuai dengan standar etis yang berlaku. Individu dengan emosi moral yang lebih baik akan lebih berhati-hati dalam menampilkan perilaku yang melanggar norma. Munculnya perasaan bersalah lebih diinisiasikan dari diri sendiri. Kecenderungan rasa bersalah dapat muncul ketika individu melakukan kesalahan, walaupun kesalahan ini belum terungkap oleh pihak luar. Berti, Garattoni, dan Ventruini (dalam Eyre, 2004) berpendapat bahwa bentuk dari munculnya perasaan bersalah dapat terlihat dari permohonan maaf setelah melakukan perbuatan yang kurang sesuai, melakukan perbaikan untuk menyeimbangkan keadaan dan mengatasi kesalahan yang telah dilakukan, menawarkan bantuan bagi yang membutuhkan, mengakui kesalahan, serta berkomitmen untuk memperbaharui diri dan tidak mengulang kesalahan yang sama. Studi yang dilakukan oleh Schmader dan Lickel (dalam Cohen et al., 2011) membuktikan bahwa sama seperti rasa bersalah, perasaan malu juga dapat menimbulkan perbaikan perilaku, namun dapat juga menyebabkan seseorang menjadi menarik diri.
29
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Cohen et al., mengenai kecenderungan rasa malu dan bersalah, dipaparkan bahwa perasaan bersalah secara signifikan berkorelasi dengan perasaan empati, pengambilan perspektif, moralitas konvensional, dan berorientasi dengan pengembangan diri. Cohen, et al., juga memaparkan bahwa dimensi ini berkorelasi negatif dengan perilaku yang tidak etis dan antisosial. Di sisi lain, diperkirakan bahwa kecenderungan perasaan malu secara signifikan berkorelasi dengan tekanan personal, neurotisisme, kebencian, rasa harga diri yang rendah, dan rasa belas kasih yang rendah. Cohen et al., (2011) meyakini bahwa evaluasi diri negatif, evaluasi perilaku negatif, dan perilaku memperbaiki kesalahan berkorelasi negatif dengan pengambilan keputusan yang tidak etis. Dapat dikatakan bahwa individu yang cenderung mengevaluasi diri dan perilaku secara negatif serta memiliki inisiatif untuk melakukan perilaku memperbaiki kesalahan saat melakukan kesalahan, cenderung untuk tidak mengambil keputusan yang melanggar etis. Namun, ditemukan bahwa pengambilan keputusan yang tidak etis tidak berkorelasi dengan perilaku menarik diri. Lebih lanjut, Cohen et al., (2011) juga meyakini bahwa GASP (guilt and shame proneness) atau kecenderungan perasaan bersalah dan rasa malu, merupakan pengukuran yang efektif untuk mendeteksi kemungkinan individu melakukan tindak korupsi maupun melakukan hal yang melanggar etis lainnya. 2.4.4
Dimensi Emosi Moral Tendensi korupsi dapat diprediksi dari emosi moral yang dimiliki
individu. Emosi moral itu sendiri memiliki 4 dimensi, yaitu evaluasi perilaku negatif (NBE), inisiatif memperbaiki kesalahan (REP), evaluasi diri negatif (NSE), dan perilaku menarik diri (WIT) (Cohen, et al., 2011). Dimensi NBE dan REP merupakan indikasi adanya kecenderungan rasa bersalah, sedangkan NSE dan WIT mengindikasikan adanya kecenderungan rasa malu ketika melakukan kesalahan. Aspek yang membedakan antara dimensi NBE dengan dimensi REP adalah NBE mengukur disposisi emosi moral, sedangkan REP mengukur orientasi perilaku moral (Cohen, et al., 2011). Cohen, et all (2011)
30
juga memaparkan bahwa dimensi NBE berkorelasi dengan dimensi REP, namun, dimensi NSE tidak berkorelasi dengan dimensi WIT. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Cohen, et al., (2011), dapat dilihat bahwa NBE, NSE, dan REP yang tinggi berkorelasi negatif dengan perilaku menyimpang atau pelanggaran moral. Namun, berbeda dengan itu, WIT berkorelasi positif dengan perilaku penyimpangan moral. Dapat disimpulkan bahwa tendensi korupsi atau perilaku penyimpangan moral dapat diindikasikan dengan skor NBE, NSE, dan REP yang rendah serta WIT yang tinggi. Sebagai
metode
pengukuran,
pengembang
alat
ukur
GASP
merekomendasikan untuk melakukan pengukuran ke 4 dimensi secara terpisah dan tidak menjumlahkan ke 4 dimensi secara bersamaan. Pengukuran dengan menjumlahkan ke 4 dimensi ini dapat merujuk pada terjadinya multikolienaritas. 2.5
Kerangka Berpikir Peneliti menduga bahwa sikap tentang risiko dan pelanggaran kontrak psikologis merupakan variabel yang dapat memprediksi emosi moral pada karyawan
perbankan.
Emosi
moral
merupakan
faktor
yang
dapat
memprediksi kecenderungan karyawan untuk melakukan korupsi. Isu terkait tindak korupsi bukanlah hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Tindakan korupsi merajarela, baik pada pemerintahan negara, perusahaan, pendidikan, maupun dalam skala kecil. Sangat disayangkan, industri perbankan pun tidak luput dari tindakan korupsi. Salah satu kasus yang baru saja terjadi adalah pembobolan senilai 65 Milliar di Bank BNI yang dilakukan oleh dua orang karyawannya (Saputra, 2013). Sungguh ironis, industri yang seharusnya mampu mempertahankan kepercayaan serta memberikan rasa aman bagi masyarakat, sebaliknya menjadi salah satu sarang untuk tindak korupsi. Korupsi tidak terjadi sebagai dampak dari satu hal saja, namun, ada beberapa faktor yang harus terpenuhi sehingga koruptor melakukan tindakan korupsi. Donald Cressey, seorang kriminolog terkemuka, dalam Turvey (2013) memaparkan bahwa harus ada 3 aspek yang terpenuhi sehingga memungkinkan seseorang melakukan
31
penyimpangan atau penipuan, yang sering dikenal dengan segitiga penyimpangan. Ketiga hal ini adalah motivasi, rasionalisasi, dan kesempatan
Gambar 2.3 Fraud triangle (Turvey, 2013) Aspek motivasi mencakup hal-hal yang mendorong karyawan untuk melakukan penyimpangan, seperti perihal finansial yang mendesak, adiksi terhadap obat-obatan terlarang, dan sensasi yang dirasakan saat dapat melakukan tindak penyimpangan tanpa terdeteksi. Proses rasionalisasi terjadi ketika karyawan membuat alasan-alasan tertentu yang membuat tindak penyimpangan yang dilakukannya seakan-akan merupakan hal yang sah untuk dilakukan. Hal ini mendorong individu untuk membenarkan kesalahan yang dilakukannya dengan mencari alasan logis dan pembenaran diri. Rasionalisasi dapat terjadi dalam bentuk pemikiran bahwa ia tidak mendapatkan hak yang seharusnya didapatkannya, demi kebahagiaan keluarganya, dan lainnya. Kesempatan terjadi ketika terdapat celah yang memungkinkan karyawan melakukan penyelewengan ini tanpa teridentifikasi oleh pihak lain (Cendrowski, Martin, Petro, 2007).
32
Pelanggaran Kontrak Psikologis
Emosi Moral Sikap Tentang Risiko
Gambar 2.4 Kerangka Berpikir
Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko diperkirakan dapat memprediksi NBE dalam arah negatif. Ketika seseorang yang memiliki kecenderungan pencari risiko merasa bahwa kontrak psikologisnya dilanggar, maka akan lebih mudah bagi individu untuk melakukan penyimpangan. Kekecewaan penyimpangan
yang yang
menyebabkan dilakukan
munculnya bukanlah
proses
kesalahan
rasionalisasi namun
upaya
bahwa untuk
menyeimbangkan keadaan, disandingkan dengan kepribadian individi pencari risiko yang cenderung memandang bahaya serta kerugian yang dapat diakibatkan dari perbuatannya secara lebih netral dibandingkan kelompok penghindar risiko, mendorong individu ini untuk lebih enggan untuk menilai perilaku penyimpangan yang dilakukannya secara negatif. Peneliti berasumsi bahwa pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko dapat memprediksi REP dalam arah negatif. Ketika karyawan mempersepsikan bahwa haknya telah dilanggar, maka akan muncul motivasi untuk melakukan perilaku yang merugikan dan proses rasionalisasi bahwa penyimpangan yang dilakukan bukan merupakan kesalahan. Kelompok pencari risiko cenderung untuk mencari kegiatan yang berisiko serta menerima konsekuensi dan hukuman sebagai situasi yang lebih netral dibandingkan kelompok penghindar risiko. Ketika situasi dimana pelanggaran kontrak psikologis terjadi yang disandingkan dengan kecenderungan individu untuk mencari risiko, maka kemungkinan individu untuk berupaya memperbaiki diri ketika melakukan penyimpangan akan semakin minim.
33
Peneliti berasumsi bahwa pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko dapat memprediksi NSE dalam arah negatif. Individu yang mempersepsikan adanya pelanggaran kontrak psikologis akan lebih terdorong untuk melakukan penyimpangan secara disengaja. Namun, dalam perilaku penyimpangan ini, terjadi proses rasionalisasi, dimana individu membenarkan perbuatannya atas dasar upaya untuk menyesuaikan keadaan. Ketika proses rasionalisasi terjadi, individu akan mempersepsikan bahwa kesalahan terletak pada pihak perusahaan dan individu tidak menaruh kesalahan dalam dirinya. Pencari risiko lebih termotivasi untuk melakukan kegiatan dengan risiko yang tinggi serta menilai konsekuensi dari perilakunya terhadap orang lain secara lebih netral. Apabila hal ini disandingkan dengan situasi dimana individu menganggap bahwa kontrak psikologisnya telah dilanggar, maka ketika individu melakukan penyimpangan, individu cenderung untuk tidak merasa bersalah dan memiliki NE yang rendah. Peneliti berasumsi bahwa pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko diperkirakan dapat memprediksi WITH dalam arah positif. Ketika individu mempersepsikan bahwa kontrak psikologisnya telah dilanggar,
maka
penyimpangan
terdapat
dengan
kemungkinan
disengaja.
Dalam
bahwa situasi
individu ini,
akan
melakukan
individu
melakukan
penyimpangan sebagai upaya untuk menyeimbangkan ketidakadilan yang terjadi. Individu dengan toleransi terhadap risiko yang lebih besar cenderung untuk lebih tidak bertanggung jawab atas perilakunya dan kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya. Kemungkinan individu untuk menarik diri dan tidak mau bertanggung jawab atas kesalahannya semakin didorong oleh adanya rasa amarah terhadap pihak perusahaan. Berdasarkan hipotesa ini, peneliti berargumen bahwa pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko dapat memprediksi WITH dalam arah positif. NSE merupakan proses evaluasi, dimana individu memandang buruk diri sendiri setelah melakukan hal yang tidak baik. Rousseau (1995) dalam Hussain et al., (2011: 576) mendefinisikan pelanggaran kontrak psikologis sebagai situasi yang terjadi ketika karyawan mempersepsikan adanya kegagalan dari pihak perusahaan dalam memenuhi janji serta tanggung jawabnya. Ketika karyawan mempersepsikan adanya ketidakseimbangan dalam hubungan tenaga kerja, karyawan akan berusaha untuk mengembalikan keadaan sehingga kontribusi yang diberikan oleh kedua belah
34
pihak seimbang. Usaha untuk menyeimbangkan keadaan dapat berupa perilaku menyimpang seperti melakukan korupsi yang dapat merugikan perusahaan, namun membawa keuntungan pribadi bagi karyawan. Namun, dalam situasi ini, karyawan akan berasumsi bahwa penyimpangan ini merupakan upaya untuk pengembalian keadaan dan merupakan dampak yang harus diterima oleh perusahaan. Ada proses rasionalisas yang terjadi, yaitu membenarkan perbuatan karena kesalahan berakar dari pihak perusahaan. Dengan pembenaran diri ini, karyawan akan memiliki evaluasi diri negatif dalam tingkat yang rendah ketika melakukan penyimpangan. Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berpendapat bahwa ketika terjadi pelanggaran kontrak psikologis, karyawan akan memiliki NSE yang rendah saat melakukan penyimpangan dalam perusahaan. Dapat disimpulkan bahwa peneliti berasumsi bahwa pelanggaran kontrak psikologis dapat memprediksi NSE dalam arah negatif. NBE merupakan kecenderungan
individu untuk memandang buruk
perilakunya ketika menyadari melakukan hal yang tidak baik. Ketika karyawan mempersepsikan adanya pelanggaran terhadap kontrak psikologisnya, karyawan cenderung akan berupaya untuk mengembalikan keadaan agar keadilan atau keseimbangan terjadi. Upaya ini dapat dilakukan dengan melakukan penyimpangan dalam lingkup perusahaan. Berdasarkan teori pertukaran sosial (social exchange theory) yang dipaparkan oleh Bordia, Tang, dan Restubog (2008), ketika muncul persepsi bahwa kontrak psikologisnya telah dilanggar, maka karyawan akan merespon dengan menampilkan perilaku secara disengaja untuk merugikan perusahaan, baik dengan berhenti dari perusahaan, melakukan penyimpangan, maupun tidak memberikan kontribusi positif pada perusahaan (Bordia, Tang, & Restuborg, 2008). Ketika penyimpangan dilakukan, karyawan akan mempersepsikan bahwa perilakunya bukanlah hal yang negatif, namun upaya untuk mencapai keadaan yang seimbang. Ada proses rasionalisasi yang terjadi, yaitu karyawan menilai penyimpangan yang dilakukannya bukanlah hal yang salah namun hanya sebuah umpan balik dari ketidakadilan yang dilakukan perusahaan. Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berasumsi bahwa ketika karyawan mengalami pelanggaran kontrak psikologis, apabila karyawan melakukan penyimpangan dalam lingkup perusahaan, karyawan akan memiliki evaluasi perilaku negatif yang rendah. Dapat disimpulkan bahwa
peneliti berpendapat bahwa pelanggaran kontrak psikologis dapat
memprediksi NBE dalam arah negatif.
35
REP merupakan upaya individu untuk memperbaiki kesalahannya ketika sadar telah melakukan kesalahan. Saat karyawan mengalami pelanggaran kontrak psikologis, karyawan akan merasa kecewa dan memiliki kemarahan pada perusahaan. Kemarahan ini dapat berdampak pada perilaku yang dengan sengaja dilakukan untuk menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Perilaku yang merugikan ini akan dipersepsikan sebagai upaya membalas kekecewaan yang telah ditimbulkan oleh perusahaan. Berdasarkan uraian ini, peneliti berasumsi bahwa sepanjang karyawan masih memiliki kemarahan pada perusahaan, karyawan akan memiliki inisiatif untuk memperbaiki perilaku yang merugikan ini dalam tingkat yang minim. Hipotesa peneliti adalah pelanggaran kontrak psikologis mampu memprediksi REP dalam arah negatif. WITH adalah upaya individu untuk menghindari tanggung jawab ketika melakukan kesalahan. Seringkali menarik diri dilakukan untuk menghindari tanggung jawab dan konsekuensi pada pihak yang dirugikan. Ketika karyawan mempersepsikan bahwa perusahaan telah gagal dalam memenuhi kontrak psikologisnya, maka karyawan memiliki kecenderungan untuk membalas perilaku tidak adil yang dilakukan perusahaan. Tindakan merugikan ini dianggap sebagai upaya untuk memperoleh keadilan dan membalas perusahaan. Dalam kondisi ini, karyawan cenderung menghindari adanya konsekuensi dan tanggung jawab yang mengikuti mengingat penyelewengan yang dilakukan adalah upaya untuk membalas kesalahan perusahaan. Berdasarkan uraian ini, peneliti berargumen bahwa pelanggaran kontrak psikologis dapat memprediksi WITH dalam arah positif. Sikap tentang risiko merupakan kecenderungan individu dalam pengambilan keputusan yang berisiko. Weber dan Blais (2006) memaparkan bahwa individu memiliki sikap tentang risiko yang berbeda dalam situasi yang berbeda. Dalam alat ukur yang dikembangkannya, yaitu DOSPERT (Domain-Specifi-Risk-Taking), Weber dan Blais (2006) mengkategorikan sikap tentang risiko kedalam dua kategori, yaitu pencari risiko (risk-taker) dan penghindar risiko (risk averse). Pencari risiko ditandai dengan sikap berani menantang dan menerima risiko yang ada dengan santai dan menggunakan segala potensi yang dimiliki. Flanagan, Stout, dan Gallay (dalam Shaw, Amsel, dan Schillo, 2011) mengemukakan bahwa sikap tentang risiko turut dipengaruhi oleh pemahamannya yang terus dikembangkan secara aktif mengenai moral (konsekuensi negatif terhadap orang lain), konvensional (konsekuensi legal),
36
pribadi (keputusan pribadi), dan kebijaksanaan (dampak yang merusak terhadap diri sendiri). Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berasumsi bahwa individu yang lebih bijak dalam pengambilan keputusan berisiko memiliki pemahaman moral, konvensional, pribadi, serta kebijaksanaan yang lebih baik sehingga akan meminimalisir segala perilaku yang dapat menimbulkan kerugian baik bagi diri sendiri maupun pihak lain. NSE terjadi ketika individu menilai diri buruk atau memberikan penilaian diri secara keseluruhan dengan negatif ketika melakukan hal yang tidak bermoral. Kelompok penghindar risiko akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan berisiko serta mempertimbangkan terjadinya pelanggaran hukum, kerugian bagi orang lain, maupun diri sendiri dari setiap pengambilan keputusan berisiko. Seperti yang telah dipaparkan, salah satu faktor pembentuk kepribadian sikap tentang risiko adalah moral yang tertanam dalam diri individu. Aspek moral merupakan salah satu komponen penting yang mendorong individu untuk memberikan penilaian negatif terhadap diri sendiri ketika melakukan hal yang melanggar nilai moral secara sadar. Individu yang menanamkan aspek moral lebih baik memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk memberikan penilaian diri secara negatif ketika melakukan hal yang melanggar moral. Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berasumsi bahwa sikap tentang risiko dapat memprediksi NSEdalam arah negatif. NBE terjadi ketika individu menilai perbuatannya buruk saat menyadari melakukan hal yang melanggar moral. Individu dengan toleransi yang lebih besar terhadap risiko (risk taker) memiliki kecenderungan untuk kurang bijak dalam pengambilan keputusan berisiko serta menilai situasi berisiko sebagai situasi yang lebih netral dibandingkan dengan kelompok lainnya. Dalam hal ini, aspek motivasi memainkan peran dalam mendorong pencari risiko melakukan penyimpangan seperti tindak korupsi. Melakukan korupsi merupakan tindakan berisiko, mengingat besarnya risiko yang mengikuti apabila tindakan ini terungkap. Risiko yang dapat terjadi tidak hanya risiko pada nama baik, namun juga hukum pidana. Ketika pencari risiko melakukan korupsi, hal itu memenuhi aspek motivasi dalam segitiga penipuan (fraud triangle). Adanya aspek motivasi ini akan mendorong karyawan untuk merasa puas akan pelanggaran yang dilakukannya sehingga kemungkinan individu dengan toleransi akan risiko yang lebih besar untuk menilai perbuatannya secara negatif akan
37
minim. Dapat disimpulkan bahwa peneliti berasumsi bahwa sikap tentang risiko dapat memprediksi evaluasi perilaku NBE dalam arah negatif. REP merupakan upaya individu memperbaiki kesalahannya ketika sadar melakukan hal yang buruk. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, moral merupakan salah satu faktor yang membentuk kepribadian sikap tentang risiko. Moral merupakan aspek yang berperan penting untuk mendorong individu memperbaiki kesalahannya. Individu dengan toleransi yang lebih kecil terhadap risiko memiliki penanaman moral yang lebih baik dibandingkan kelompok pencari risiko. Hal lainnya adalah melakukan korupsi memenuhi aspek motivasi pada pencari risiko, dimana kelompok ini cenderung menyukai kegiatan yang berisiko. Dengan adanya kepuasan yang diperoleh ketika melakukan tindakan berisiko, kelompok ini memiliki kemungkinan lebih kecil untuk memperbaiki diri saat melakukan pelanggaran yang berisiko. Peneliti berasumsi bahwa sikap tentang risiko dapat memprediksi REP dalam arah negatif. WITH merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk menghindari situasi dimana ia melakukan kesalahan. Perilaku ini muncul sebagai usaha untuk menghindari tanggung jawab dan perasaan malu yang timbul karena terungkapnya kesalahan yang dilakukan. Namun, dalam jurnalnya, Cohen, et al., (2011) memaparkan bahwa skor WITH yang lebih tinggi mengindikasikan kemungkinan untuk menampilkan perilaku menyimpang yang lebih besar. Hal ini dapat dipaparkan sebagai hasil dari pemahaman individu dengan skor WITH yang lebih tinggi beranggapan bahwa ia dapat dengan mudah menghindari situasi dimana kesalahannya terungkap apabila kesalahannya teridentifikasi oleh pihak luar. Individu dengan toleransi yang lebih besar terhadap risiko memiliki pemahaman moral dan penilaian akan konsekuensi perbuatannya secara lebih rendah dibandingkan dngan individu dengan toleransi yang lebih kecil terhadap risiko. Ketika diperhadapkan pada situasi dimana kesalahannya terungkap, individu dengan toleransi yang lebih besar terhadap risiko akan lebih mudah untuk menampilkan perilaku menarik diri dan tidak bertanggung jawab atas dampak dari perbuatannya. Peneliti berasumsi bahwa sikap tentang risiko dapat memprediksi WITH dalam arah positif. Dampak dari terjadinya pelanggaran kontrak psikologis adalah kekecewaan dan rasa marah pada perusahaan. Ketika terjadi pelanggaran kontrak psikologis,
38
maka terdapat kemungkinan bahwa karyawan akan melakukan penyimpangan dengan disengaja. WITH merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan seseorang untuk menghindari situasi ketika kesalahan yang dilakukannya terungkap oleh pihak lain. Hal ini dapat dilakukan untuk menghindari situasi yang membuatnya merasa tidak nyaman dan menghindari tanggungjawab yang dapat mengikuti. Individu yang merasa bahwa pelanggaran kontrak psikologisnya telah dilanggar cenderung lebih memilih untuk menghindari tanggung jawab dan konsekuensi ketika kesalahannya terungkap. Berdasarkan hipotesa ini, peneliti berargumen bahwa pelanggaran kontrak psikologis dapat memprediksi WITH dalam arah positif. 2.6
Hipotesa Hipotesis yang dirumuskan oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
PCB
H5
NBE
H1 H6
Risiko
PCB
H7
REP
H2 H8
Risiko PCB
H9
NSE
H3 H10
Risiko PCB
H11
WITH
H4 H12
Risiko
Keterangan hipotesa: PCB: Psychologycal Contract Breach (Pelanggaran Kontrak Psikologis)
39
Hipotesa Utama 1. Hipotesa alternatif (Ha) 1: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko dapat memprediksi NBE dalam arah negatif Hipotesa nol (H0) 1: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko tidak dapat memprediksi NBE 2. Hipotesa alternatif (Ha) 2: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko dapat memprediksi REP dalam arah negatif Hipotesa nol (H0) 2: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko tidak dapat memprediksi REP 3. Hipotesa alternatif (Ha) 3: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko dapat memprediksi NSE dalam arah negatif Hipotesa nol (H0) 3: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko tidak dapat memprediksi NSE 4. Hipotesa alternatif (Ha) 4: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko dapat memprediksi WITH dalam arah negatif Hipotesa nol (H0) 4: Pelanggaran kontrak psikologis bersamaan dengan sikap tentang risiko tidak dapat memprediksi WITH Hipotesa tambahan 5. Hipotesa
alternatif
(Ha)
5:
Pelanggaran
kontrak
psikologis
dapat
memprediksi NBE dalam arah negatif Hipotesa nol (H0) 5: Pelanggaran kontrak psikologis tidak dapat memprediksi NBE 6. Hipotesa alternatif (Ha) 6: Sikap tentang risiko dapat memprediksi NBE dalam arah negatif Hipotesa nol (H0) 6: Sikap tentang risiko tidak dapat memprediksi NBE 7. Hipotesa alternative (Ha) 7: Pelanggaran kontrak psikologis dapat memprediksi REP dalam arah negatif Hipotesa nol (H0) 7: Pelanggaran kontrak psikologis tidak dapat memprediksi REP 8. Hipotesa alternatif (Ha) 8: Sikap tentang risiko dapat memprediksi REP dalam arah negatif Hipotesa nol (H0) 8: Sikap tentang risiko tidak dapat memprediksi REP
40
9. Hipotesa
alternatif
(Ha)
9:
Pelanggaran
kontrak
psikologis
dapat
memprediksi NSE dalam arah negatif Hipotesa nol (H0) 9: Pelanggaran kontrak psikologis tidak dapat memprediksi NSE 10. Hipotesa alternatif (Ha) 10: Sikap tentang risiko dapat memprediksi NSE dalam arah negatif Hipotesa nol (H0) 10: Sikap tentang risiko tidak dapat memprediksi NSE 11. Hipotesa alternatif (Ha) 11: Pelanggaran kontrak psikologis dapat memprediksi WITH dalam arah positif Hipotesa nol (H0) 11: Pelanggaran kontrak psikologis tidak dapat memprediksi WITH 12. Hipotesa alternatif (Ha) 12: Sikap tentang risiko dapat memprediksi WITH dalam arah positif Hipotesa nol (H0) 12: Sikap tentang risiko tidak dapat memprediksi WITH