BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kota Yang Manusiawi Kota dan pemukiman adalah contoh spesifik lingkungan binaan (Amos
Rapoport, 1977), pengertian lingkungan binaan adalah suatu pengorganisasian empat buah unsur yang meliputi: ruang, makna, komunikasi dan waktu. Menurut Onggodipuro dalam pengantar sejarah perencanaan perkotaan, bahwa lingkungan tersebut dapat dilihat dari serangkaian hubungan antara elemen-elemen dengan manusia (antara benda dengan benda lain, benda dengan orang-orang, orang dengan orang lainnya). Rancangan dan perancangan pengaturan wilayah atau suatu kawasan yang besar sampai pengaturan perabot sebuah ruangan dapat dikelompokkan sebagai pengorganisasian ruang. Proses perkembangan kota tidak statis melainkan selalu dinamis dan seringkali susah ditebak. Banyak hal-hal yang diluar dugaan muncul dengan tiba-tiba. Kejadian dan perubahan, ekspresi dan improvisasi, merupakan faktor yang justru memanusiawikan lingkungan dan dianggap layak untuk diberi wadah maupun dikembangkan. Akibatnya ruang terbuka publik berguguran satu demi satu karena sebagian masyarakat tidak tahu bahwa hakekat ruang terbuka merupakan surga perkotaan. Para pengelola pembangunan kota cenderung lebih mendambakan terciptanya kota yang indah, dengan memanfaatkan teknologi tinggi dan perangkat
Universitas Sumatera Utara
keras yang kontemporer. Padahal sesungguhnya yang lebih penting dalam hal ini bagaimana menciptakan kota manusiawi dengan sentuhan rasa yang penuh kepekaan. Syarat-syarat yang dibutuhkan kota atau ruang publik dalam mengakomodir kebutuhan masyarakatnya antara lain adalah (Carr et al, 1992 dalam Ariyanti, 2005): 1. Comfortable, yaitu nyaman dan aman ketika beraktivitas di dalamnya. 2. Relaxation, yaitu bisa merasa tenang karena tekanan aktivitas sehari-hari berkurang dengan berada di dalam ruang tersebut. 3. Passive engagement, yang umumnya merupakan aktivitas “melihat atau mengamati” sehingga dapat menciptakan rasa dan kenikmatan sendiri dan bisa didukung dengan penambahan atraksi-atraksi pada event-event tertentu dan didukung dengan bentuk fisik yang membuat orang menjadi tertarik. 4. Responsive, yaitu dirancang dan dikelola untuk melayani kebutuhan penggunanya. 5. Democratic, yaitu terbuka untuk semua kelompok manusia dan dapat memberikan kebebasan untuk melakukan sesuatu. 6. Meaningfull, dapat memberikan makna tersendiri bagi manusia yang dirasakan ketika berada didalamnya dan memberikan hubungan yang kuat antara tempat, kehidupan pribadi dan dunia yang lebih luas. Terkait dengan pengertian kota manusiawi dibutuhkan adanya sinergi antara pemerintah, perencana kota dan arsitek (perancang kota) dalam meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
kualitas kota secara fisik agar kota tidak menjadi sesak dan padat oleh perabot kota, tidak terjadinya kemacetan di mana-mana, rancangan kota lebih teratur dan terkesan melayani lingkungannya serta tersedianya ruang publik bagi warganya. Jadi dalam mewujudkan kota yang manusiawi bagi warganya, kota tersebut harus tanggap dan peduli terhadap lingkungan.
2.2
Kota Manusiawi Secara Visual Minaret Branch (1995) mengemukakan bahwa di dalam perencanaan kota
komprehensif, perancangan kota memiliki suatu makna yang khusus sehingga membedakannya dari berbagai aspek proses perencanaan kota. Perancangan kota berkaitan dengan tanggapan inderawi manusia terhadap lingkungan fisik kota: penampilan visual, kualitas estetika, dan karakter spasial. Jika teori ini dihubungkan dengan judul penelitian dapat diinterpretasikan kalau signage erat kaitannya dengan inderawi manusia secara visual, dimana visibilitas (keterlihatan) papan/tanda terpengaruh oleh faktor lokasi, tiang penempatan, cat pantul dan sebagainya. Begitu pula kaitannya dengan legibilitas informasi (keterbacaan, kejelasan), dengan macam dan ukuran, jarak, lokasi, warna dasar, warna dan sebagainya sangat tergantung pada tanggapan inderawi manusia yang melihatnya. Teori mengenai gagasan bahwa pikiran manusia tersusun untuk menyerap lingkungan dengan suatu bagian yang berbeda dan bertalian disebut psikologi gestalt. Sedangkan pengaturan pola yang berlainan yang diserap disebut gestalt. Teori ini merupakan bagian proses perancangan mengekspresikan hubungan antara bagian-bagian rancangan. Teori
Universitas Sumatera Utara
gestalt memiliki seperangkat karakter yang digunakan untuk memperkuat atau memperlemah hubungan visual antara bagian-bagian komposisi. Nilai visual dapat diperoleh dari skala, pola, warna, tekstur, dan dimensi. Teori dari Gordon Cullen menjadi landasan teori dalam penelitian ini sebab untuk membuat konsep desain signage yang memenuhi aspek-aspek manusiawi. Selain keharmonisan signage dengan arsitektur bangunan tempatnya berada, keberadaan signage juga perlu dikendalikan sehingga mampu mengkomunikasikan informasi penting yang terkandung di dalamnya dengan baik kepada semua orang, baik yang sedang bergerak cepat maupun lambat. Penampilan signage
harus disesuaikan
dengan target audiencenya (manusia yang melihat objek tersebut) sehingga tercipta keseimbangan antara pengendalian kesemrawutan dan penciptaan perhatian sekaligus penyampaian pesan/informasi dari signage tersebut. Menurut Kevin Lynch dalam bukunya, The Image of The City, 1960 mengemukakan bahwa salah satu keberhasilan pembentuk ruang untuk merancang sebuah kota adalah imageability, artinya kualitas secara fisik suatu obyek akan memberikan pengaruh kuat untuk menciptakan image yang dapat diterima orang. Dalam hal ini image ditekankan pada kualitas fisik suatu kawasan yang menghubungkan atribut identitas dengan strukturnya. Kaitan teori ini dengan penelitian yang dilakukan adalah mengenai image atau citra sebuah kota akibat adanya signage dalam ruang kota. Selain image yang menjadi pembentuk place, begitu pula halnya dengan visual dan symbol conection. Visual Conection adalah hubungan yang terjadi karena adanya keserasian visual antara satu objek dengan
Universitas Sumatera Utara
objek lain dalam suatu kawasan, sehingga menimbulkan image tertentu (kota yang manusiawi). Dalam hal ini kesamaan objek dapat didefenisikan sebagai bagian dari elemen-elemen fisik kota termasuk di dalamnya adalah signage.
2.3
Tinjauan Terhadap Signage Menurut Shirvani Hamid (1985), dalam bukunya The Urban Design Process,
Van Nostrand Reinhold Company, disebutkan bila dalam perancangan kota ada 6 (enam) kriteria yang tak terukur, salah satunya adalah pemandangan (views). Pemandangan bukan hanya aspek kejelasan yang terkait dengan orientasi manusia terhadap bangunan, tetapi juga merupakan hubungan dengan view dari elemen fisik kota lainnya, salah satu elemen tersebut yaitu signage. Signage yang ideal harus mampu merefleksikan karakter visual kawasan, mampu menjamin kemampuan pandangan/memiliki sudut pandang untuk dapat dilihat secara jelas, bentuk yang ada sesuai dengan arsitektur bangunan dimana signage ditempatkan, signage merupakan elemen yang menyatu dengan bangunan bukan sebagai elemen tambahan serta mampu menyatukan komunikasi langsung atau tidak langsung (Shirvani, 1985). Kondisi
signage
pada
koridor
Jalan
Gatot
Subroto
Medan
tidak
mencerminkan apa yang terdapat pada teori di atas, pola tatanan signage yang semrawut tidak memiliki keteraturan dan mengganggu sudut pandang manusia baik terhadap kawasan tersebut maupun bangunan yang ada di sekitarnya. Signage yang berada di lokasi penelitian pada umumnya lebih cenderung menghalangi fasade
Universitas Sumatera Utara
bangunan, dimana satu signage dengan yang lainnya saling memperebutkan lokasilokasi yang strategis dalam menyampaikan informasinya.
2.3.1 Arti signage Menurut Echols (1975), signage adalah tanda sedangkan dalam arsitektur signage diartikan sebagai bentuk-bentuk informasi dan orientasi kota yang dirancang khusus sebagai bagian dari delapan elemen urban design (Shirvani, 1985). Sedangkan Rubenstain (1992) mendefeniskan signage sebagai tanda-tanda visual diperkotaan yang berfungsi sebagai sarana informasi atau komunikasi secara arsitektural. Senada dengan hal tersebut, Lynch (1962) menyebutkan bahwa sign dapat berfungsi sebagai alat untuk orientasi bagi warga kota. Sama halnya dengan Sanoff (1991) yang mengatakan bahwa signage memberikan informasi kepada masyarakat yang sedang melintas, berjalan atau berkendaraan. Venturi et al. (1978) dalam penelitian signage di kota Las Vegas mengidentifikasikan bahwa signage dapat menciptakan image bagi suatu kota, Image of Las Vegas: Inclusion and Allusion. Hal ini disebabkan oleh keberadaan signage yang mendominasi kota Las Vegas, Las Vegas Without Signage is Not Las Vegas, (Frey, 1999). Dari teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa signage adalah kumpulan dari tanda-tanda individual yang telah didesain untuk mengidentifikasikan atau mengarahkan lalu lintas dan atau sebuah bangunan yang kompleks atau berkelompok. Hal-hal yang menyangkut tanda sebagai sebuah sistem harus berdasarkan elemenelemen desain, seperti bahan, bentuk, warna, dan elemen desain lainnya. Tanda-tanda
Universitas Sumatera Utara
yang dipakai di dalam sebuah signage pada dasarnya mengungkapkan makna aturanaturan yang merupakan standar internasional, sehingga akan mudah untuk dipahami maksudnya oleh semua orang di seluruh dunia.
2.3.2 Jenis-jenis signage Dalam sistem komunikasi visual, tanda mengalami perkembangan menjadi lima jenis tanda dengan kode yang mudah untuk diingat (Rubenstein, 1992). Jenisjenis tanda tersebut adalah: a. Tanda Petunjuk dan Informasi, tanda ini biasanya digunakan untuk menuntun audiencenya dengan menginformasikan di mana suatu lokasi berada, juga di saat kantor-kantor atau toko-toko yang sedang buka atau tutup, dan informasi-informasi lainnya. b. Tanda Petunjuk Arah, tanda-tanda yang termasuk dalam kelompok ini mencakup arah panah yang mampu mengarahkan pemakainya menuju ke suatu tempat, seperti sebuah ruangan, toko, jalan, atau fasilitas lain. c. Tanda Pengenal, tanda ini dipakai untuk menunjukkan suatu identitas, seperti sebuah kantor, toko, fasilitas, atau sebuah gedung. d. Tanda
Larangan
dan
Peringatan,
tanda
ini
bertujuan
untuk
menginformasikan mengenai apa yang tidak boleh dikerjakan atau dilarang. Selain itu, tanda ini juga menginformasikan agar audience berhati-hati. Biasanya, dalam penerapannya dikombinasikan dengan katakata atau dipakai sebagai simbol-simbol.
Universitas Sumatera Utara
e. Tanda Pemberitahuan Resmi, tanda ini menunjukkan informasi tentang pemberitahuan resmi dan agar tidak dikacaukan dengan tanda-tanda petunjuk (orientation sign).
2.3.3 Lokasi perletakan signage Menurut Shirvani (1985) terdapat pembagian lokasi signage berdasarkan zona peruntukannya (Gambar 2.1), adapun zona-zona tersebut antara lain: a.
Zona Periklanan (Advertising Zone) Merupakan zona penempatan tanda informasi yang bersifat private dan berukuran besar. Penempatan pada zona ini diperhitungkan untuk tidak mengganggu sirkulasi dan pandangan pejalan kaki.
b.
Zona Trafic (Traffic Zone) Merupakan zona tanda informasi yang ditempatkan di badan atau pulau jalan. Peruntukan signage adalah yang relevan dengan kegiatan pengendalian sirkulasi lalu lintas.
c.
Zona Pejalan Kaki (Pedestrian zone) Merupakan zona tanda informasi untuk kepentingan umum, seperti petunjuk arah, orientasi pedestrian, papan informasi kota dan sebagainya.
d.
Zona Identifikasi (Identification zone) Merupakan zona yang diperuntukkan bagi orientasi identitas bangunan, rancangan etalase, dan tanda informasi yang berukuran kecil.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Lokasi Signage Menurut Zonanya Sumber: Shirvani, Urban Design Process, City of Charlotte Design Guidelines Pengklasifikasian signage berdasarkan zona penempatannya dapat dilihat pada tabel Tabel 2.1). Tabel 2.1 Klasifikasi Signage Berdasarkan Zona Penempatan No.
Zona Penempatan Signage
Jenis-Jenis Signage
1
Advertising Zone (Zona Periklanan)
a) Free Standing Signs (Pole Signs dan Ground Signs) b) Wall Signs c) Projected Signs d) Window/ Door Signs e) Roof Signs f) Marque Signs
2
Trafic Zone (Trafic zone)
a) Tanda Peraturan Lalu Lintas b) Umbul- Umbul c) Spanduk, Bendera, dsb. (Kites, Barner and Flags).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 (Lanjutan) No. 3
4
Zona Penempatan Signage Pedestrian Zone (Zona Pejalan Kaki)
Identification Zone (Zona Identifikasi)
Jenis-Jenis Signage a) b) c) d)
Tanda Peraturan Lalu Lintas Tanda Petunjuk Arah Awning Signs Suspended Signs
a) Tanda Identifikasi (Identitas Gedung) b) Tanda Larangan dan Peringatan c) Peta-Peta dan Tanda Khusus
Sumber: Shirvani 1985:42
2.3.4 Bentuk dan desain signage Elemen
gambar
pertama
yang
dapat
dijadikan
landasan
dalam
mengekspresikan kategori dari fungsi adalah suatu bentuk. Ada tiga fungsi dasar dimana tanda/simbol memungkinkan untuk dipakai, yaitu peraturan, peringatan, dan informasi. Masing-masing fungsi tersebut diwakili oleh bentuk geometris, yaitu: a. Lingkaran, bentuk ini digunakan untuk tanda-tanda yang berisikan peraturan. b. Segitiga sama sisi, bentuk ini digunakan untuk tanda-tanda peringatan. c. Persegi empat, bentuk ini digunakan untuk tanda yang berisi informasi (McLendon 42 – 43 dalam Pramono, 2006). Dalam desain perkotaan (Shirvani, 1985) terdapat elemen-elemen fisik urban design yang bersifat ekspresif dan mendukung terbentuknya struktur visual kota serta terciptanya citra lingkungan yang dapat pula ditemukan pada lingkungan di lokasi
Universitas Sumatera Utara
penelitian, salah satu elemen tersebut adalah simbol dan tanda,ukuran dan kualitas dari signage diatur untuk; menciptakan kesesuaian, mengurangi dampak negatif visual, menghilangkan kebingungan serta persaingan dengan tanda lalu lintas atau tanda umum yang penting, selain itu tanda yang didesain dengan baik menyumbangkan karakter pada fasade bangunan dan menghidupkan street space dan memberikan informasi bisnis. Dua pendekatan yang dipakai untuk mendesain signage yaitu: pertama hendaknya disesuaikan dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu, pembuatan signage sebaiknya dipertimbangkan agar menjadi satu kesatuan dengan elemen-elemen yang sudah ada, karena suatu signage mempunyai aspek fungsional dan estetika. Untuk mengkomunikasikan suatu informasi, tanda-tanda tersebut harus diperhatikan, namun untuk membuatnya memiliki nilai estetis dibutuhkan suatu kehati-hatian dalam menyeimbangkan antara nilai estetis dan fungsinya. Dalam pembuatannya, perancangan ini lebih kompleks dan membutuhkan banyak waktu, karena semua hubungan antara lingkungan dan tanda harus betul-betul dipertimbangkan. Pendekatan kedua yang bisa dilakukan adalah mendahulukan fungsi komunikasinya, baru memasukkan nilai estetis. Dalam pendekatan ini, semua elemen yang ada harus diseragamkan, baik dalam bentuk, material, warna, dan detail. Pendekatan ini biasanya menghasilkan suatu signage yang kontras dengan lingkungan sekitarnya agar terlihat lebih fokus oleh orang yang berada di sekitar lingkungan tersebut, dan biasanya sesuai digunakan untuk proyek-proyek transportasi dan industri.
Universitas Sumatera Utara
Dimensi signage berkaitan dengan luasan dan ketinggian signage, beberapa faktor yang mempengaruhi dimensi signage adalah lokasi penempatan, luas ruang dan kecepatan pergerakan (Ashihara 1983, Lynch 1988, Kelly dan Raso 1991, Smardon 1992). Oleh sebab itu dimensi signage akan berlainan untuk jalan di dalam kota dan jalan bebas hambatan. Selain itu skala signage, yang meliputi jangkauan dan proporsi signage terhadap lingkungan sekitarnya juga harus diperhatikan.
2.3.5 Warna dan pencahayaan signage Dalam pemilihan warna dan material signage yang menjadi pertimbangan utamanya adalah keindahan dan faktor kejelasan (legibility). Hal ini dikarenakan sasaran signage adalah untuk menarik perhatian orang yang melihatnya maka, signage dibuat dalam warna-warna mencolok. Hal ini dapat menimbulkan efek kontras terhadap lingkungan. Untuk mengurangi efek negatif warna maka perlu penyesuaian warna signage dengan lingkungan sekitarnya. Menurut Daniel dalam Kurniawan (2002) suatu objek akan kelihatan baik jika kombinasi warna tidak lebih tiga macam, apabila lebih akan menimbulkan ketidakjelasan objek yang ingin ditampilkan. Sedangkan pemilihan material berpengaruh terhadap estetika dan efek pencahayaan. Material mengkilap seperti fiber glass atau plastik menimbulkan glare jika terkena cahaya, terutama cahaya langsung. Efek utama pencahayaan adalah penerangan pada malam hari, seperti diungkapkan oleh Appleyard dalam Smardon (1986), bahwa tidak ada efek yang
Universitas Sumatera Utara
menarik selain pencahayaan di malam hari. Dari pencahayaan tersebut dapat terlihat node-node, dengan banyaknya cahaya tidak beraturan yang ditimbulkan oleh signage. Menurut Kelly dan Raso (1992), ada tiga dasar pencahayaan signage yaitu; (1) Internal Lighting, penyinaran yang berasal dari permukaan bidang, (2) Direct External Lighting, penerangan langsung dari luar bidang seperti spotlight, lampu sorot, (3) External but Integral to Signage, penyinaran dari luar tapi integral dengan signage, seperti lampu bohlam.
2.3.6
Sasaran dan fungsi signage Signage mempunyai dua sasaran, yaitu langsung dan tidak langsung.
Komunikasi langsung menspesifikasikan identitas usaha, lokasi dan barang-barang bisnis serta pelayanan yang ditawarkan. Signage tersebut mempunyai keterkaitan langsung dengan bangunan dan lingkungan setempat. Sedangkan signage yang tidak mempunyai keterkaitan dengan kegiatan di dalam bangunan atau lingkungan setempat merupakan komunikasi tidak langsung. Sebagai salah satu elemen urban design dan penanda bagi suatu kawasan atau kota, signage memiliki bermacam-macam fungsi. Rubenstein (1992) dalam bukunya Pedestrian Malls, Streetscape and Urban Spaces, ada beberapa fungsi utama signage yang menjadikannya elemen penting di dalam kota: 1. Jati diri (identitas), mall identity, dapat berupa simbol atau logo untuk memberikan identitas suatu mall dan dapat digunakan sebagai informasi pada publik.
Universitas Sumatera Utara
2. Rambu-rambu lalu lintas (traffic sign), yang meliputi rambu-rambu pada highway, lampu-lampu lalu lintas, rute-rute perjalanan, tanda parkir, tanda berhenti, penyeberangan pejalan kaki dan tanda petunjuk arah. 3. Jati diri komersial (commercial identity), dimana penempatan signage pada bangunan sebagai jatidiri pertokoan seperti papan nama, sign advertising di sepanjang jalan atau blok bangunan. Tanda-tanda informasi (informatial sign), merupakan tanda-tanda yang berfungsi untuk memberikan informasi seperti petunjuk arah, peta-peta dan tandatanda khusus yang menunjukkan lokasi parkir, subway atau halte bus sehingga orang yang melihatnya dapat dituntun menuju arah tertentu.
2.3.7 Tipologi signage Signage dapat dibedakan dalam berbagai klasifikasi, pengklasifikasian setiap signage berbeda–beda dan disesuaikan dengan sudut pandang tujuan dan kepentingan yang hendak dicapai. Perbedaan pengklasifikasian ini berkaitan erat dengan bentuk– bentuk pengelolaan atau pengaturan yang ditetapkan. Pemahaman atas kesamaan dan perbedaan antara kelompok signage tersebut diklasifikasikan merupakan kunci dalam memahami suatu pengelolaan signage (Yulisar,1999). 2.3.7.1 Klasifikasi secara umum Secara umum klasifikasi signage dapat berdasarkan isi pesan, bahan, sifat informasi dan teknis pemasangannya. Berdasarkan hal tersebut, klasifikasi media signage dapat dipaparkan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Berdasarkan isi pesannya, media signage dibedakan atas (Mandelker, 1982 dalam Pramono, 2006): a. Media komersial, menyangkut media signage yang memberikan informasi suatu barang atau jasa untuk kepentingan dagang (private sign). b. Media signage non-komersial, merupakan media signage yang mengandung informasi pelayanan kepada masyarakat (public sign). 2. Berdasarkan bahan dan periode waktu yang digunakan, media signage dibedakan atas (Damain dan Gray, 1989 dalam Pramono, 2006): a. Media signage permanen, media ini ditempatkan atau dibuat pada pondasi sendiri, dimasukkan ke dalam tanah, dipasang atau digambar pada struktur yang permanen. Kebanyakan jenis media signage ini yang diizinkan untuk dipasang. b. Media signage temporer, biasanya digunakan pada suatu waktu yang tertentu saja ketika ada suatu acara/pertunjukan dan sejenisnya, dan sesudahnya tidak digunakan lagi. Media signage jenis ini mempunyai ciri mudah untuk dipindahkan atau dibongkar secara tidak terbuat dari bahan yang mahal. 3. Berdasarkan sifat penyampaian informasi, terdiri atas (Shirvani, 1982): a. Media signage yang bersifat langsung, media ini berkaitan dengan kegiatan pada suatu bangunan atau lingkungan tempat media signage
Universitas Sumatera Utara
tersebut diletakkan, seperti media signage yang menunjukkan identitas usaha atau bangunan. b. Media signage yang bersifat tidak langsung, media signage jenis ini berisi pesan–pesan yang tidak mempunyai keterkaitan langsung dengan kegiatan dalam bangunan atau lingkungan dimana media signage tersebut berada.
2.3.7.2 Klasifikasi berdasarkan teknis pemasangan Secara teknis pemasangannya, signage dapat dibedakan dalam beberapa jenis (Kelly dan Raso, 1989), yakni: Signage yang berdiri sendiri (free standing signs) memiliki dua bentuk (Gambar 2.2) yaitu: 1. Signage dengan tiang (pole signs), signage ini didukung oleh tiang, kadang–kadang lebih dari satu, terpisah dari tanah oleh udara dan terpisah dari bangunan dan struktur yang lain. Tipe signage ini hanya diperbolehkan di jalan arteri, ketinggian maksimumnya tidak lebih dari 16 ft dan luas maksimum 72 ft². 2. Signage yang terletak di tanah (ground signs), dasar dari media signage ini terletak di tanah atau tertutup oleh tanah dan terpisah dari bangunan atau struktur sejenis yang lain.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Jenis signage yang berdiri sendiri (free standing signs) Sumber: Sign regulations (City of San Luis Obispo, 2004) Signage pada atap bangunan (roof signs) ada dua jenis, yaitu (lihat Gambar 2.3): 1. Signage yang tidak menyatu dengan atap, signage ini dibangun di atas atap bangunan atau disangga oleh struktur atap dan pada umumnya berada tinggi di atas atap. 2. Signage yang menyatu dengan atap, signage yang menyatu dengan atap ini dicirikan dengan tidak adanya bagian signage yang melebihi ketinggian atap dan terpasang secara pararel tidak lebih dari 21 cm.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Signage pada atap bangunan (roof signs) Sumber : Sign regulations (City of San Luis Obispo, 2004)
Signage dari tenda (canopy signs and awning signs) dapat dilihat pada Gambar 2.4. Ketentuan penataan signage dari tenda (awning) adalah: 1. Signage ini ditempatkan pada tenda maupun awning yang permanen. 2. Signage pada tenda maupun awning yang dapat dilihat dengan berbagai ukuran. 3. Jumlah awning signs yang diizinkan adalah satu buah per pemilik bangunan. 4. Jarak bebas awning signs minimal 8 feet (2,4 meter) dari atas permukaan trotoar tempat pejalan kaki. 5. Ukuran awning signs tidak lebih dari 25 persen dari luas permukaan tenda. 6. Zona perletakan awning signs pada umumnya berada di lokasi komersial.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4 Signage dari tenda atau awning (canopy and awning signs) Sumber : Sign Regulations (City of San Luis Obispo , 2004) Signage yang diletakkan pada bangunan atau dinding bangunan dengan menghadap arus kendaraan (Projected Signs), seperti terlihat pada Gambar 2.5. Ketentuan pemasangan projected signs adalah sebagai berikut: 1. Jarak signage dari permukaan dinding tidak lebih dari 15 cm dari dinding bangunan dan dipasang tegak lurus dari bangunan. 2. Projected signs harus melekat pada fasade bangunan yang memiliki pintu masuk publik dan harus menjaga jarak bebas minimal 8 kaki di atas trotoar. 3. Jumlah projected signs yang diperbolehkan hanya satu per pemilik bangunan dan luas maksimum projected signs maksimal 6 ft².
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5 Projected Signs Sumber : Sign Regulations (City of San Luis Obispo, 2004) Signage yang ditempatkan pada dinding (wall signs), signage yang masuk dalam kategori ini adalah signage yang dipasang secara pararel dalam jarak maksimum 15 cm dari dinding bangunan, signage biasanya dicat pada permukaan dinding atau sruktur bangunan yang lain (Gambar 2.6). Adapun ketentuan lain untuk penataan signage tipe ini adalah: 1. Signage harus terpasang pada permukaan bangunan yang datar dan tidak menghalangi detail arsitektural bangunan. 2. Signage harus diletakkan pada fasade bangunan yang terdapat pintu masuk untuk umum. 3. Jumlah maksimal signage yang diizinkan adalah dua buah per pemilik bangunan. 4. Luas signage tidak lebih 15% dari luas fasade bangunan. 5. Dapat dilengkapi dengan lampu penerangan pada segmen kawasan tertentu, sesuai dengan peraturan penerangan signage.
Universitas Sumatera Utara
6. Wall signs diizinkan dipasang di seluruh area dinding bangunan.
Gambar 2.6 Signage yang ditempatkan pada dinding (wall signs) Sumber: Sign Regulations (City of San Luis Obispo , 2004) Signage yang digantung (suspended signs) pada bagian bawah bidang horizontal (langit–langit) pada serambi bangunan. Umumnya signage ini berukuran lebih kecil dari papan nama atau alamat untuk memberitahukan pada pejalan kaki yang tidak dapat melihat media signage lebih besar diletakkan pada dinding di atas serambi bagian depan bangunan (Gambar 2.7). Ketentuan pemasangan suspended signs adalah sebagai berikut: 1. Signage harus melekat pada fasade bangunan yang memiliki pintu masuk untuk umum. 2. Jarak ketinggian signage minimal 8 ft atau 2,4 m dari atas permukaan area pedestrian. 3. Luas maksimum signage jenis ini maksimal 2,4 m². 4. Signage jenis ini biasanya diterangi dengan penerangan eksternal dari pencahayaan yang ada di dekatnya.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.7 Signage yang digantung (suspended signs) Sumber: Sign Regulations (City of San Luis Obispo , 2004)
Signage di atas pintu keluar masuk bangunan (marque signs). Media signage ini diletakkan pada struktur bangunan seperti pada atap atau di atas pintu keluar masuk bangunan (Gambar 2.8).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8 Signage di atas pintu keluar masuk bangunan (marque signs) Sumber: Sign Regulations (City of San Luis Obispo , 2004) Signage pada jendela atau pintu (window/door signs). Signage jenis ini dapat berupa gambar, simbol atau kombinasi keduanya yang dirancang untuk memberikan informasi mengenai suatu aktivitas, bisnis, komoditi, peristiwa, perdagangan atau suatu pelayanan yang diletakkan pada jendela atau pintu kaca dan kelihatan dari sisi sebelah luar (Gambar 2.9).
Gambar 2.9 Signage pada jendela atau pintu (window/door signs) Sumber : Sign Regulations (City of San Luis Obispo , 2004)
Universitas Sumatera Utara
Adapun ketentuan untuk penataan signage tipe ini adalah: 1. Window/door signs disesuaikan dengan skala pedestrian dan diarahkan atau ditujukan untuk window shopper yang berjalan di trotoar. 2. Bentuknya berupa grafis ukuran kecil dalam sebuah rangka jendela kaca untuk memberi informasi mengenai produk yang ditawarkan. 3. Window sign tidak boleh menghalangi pandangan ke dalam bangunan. 4. Tidak ada persyaratan lokasi tertentu atau batas jumlah windows/door signs yang diperbolehkan. 5. Window/door signs adalah tanda yang dicat atau melekat pada jendela dan terletak 12 inchi dari muka jendela. 6. Jam kerja operasi atau membuka/menutup toko bukan termasuk dalam window/door signs. 7. Ukuran signage jenis ini dibatasi maksimum 15% dari luas area jendela. 2.3.8
Persyaratan penyelenggaraan signage Signage yang menempel pada dinding bangunan harus proporsional dengan
permukaan bangunan tempatnya berada, ukuran signage yang digunakan tidak boleh mengganggu ataupun menutupi detail-detail bangunan seperti jendela, pintu, dan profil bangunan. Kemudian melarang pemasangan papan signage raksasa yang mendominasi pemandangan suatu kawasan tertentu, biasanya pada daerah-daerah yang sering digunakan oleh pejalan kaki seperti ruang terbuka hijau, taman bermain dan lapangan untuk kepentingan umum (Gambar 2.10).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.10 Proporsi ukuran signage terhadap luas dinding bangunan Sumber: Dokumen pribadi peneliti, 2012
2.3.9 Signage sebagai elemen visual ruang kota Dalam desain kota signage merupakan bagian penting yang termasuk dalam dimensi visual kota dan akan mempengaruhi pandangan visual kota. Signage dalam ruang kota dapat dikategorikan sebagai townscape (suatu gambaran atau pandangan sebuah kota atau bagian dari sebuah kota), yang merupakan hasil dari irama bangunan-bangunan dan material-material urban dan episode jalan, yang dalam bahasa Gordon Cullen hal tersebut membentuk drama. Sebagai dimensi visual Gordon Fulton dalam bukunya Reviving Main Street menyatakan bahwa ada beberapa
Universitas Sumatera Utara
aspek yang perlu dipenuhi oleh suatu signage, yaitu aspek visibilitas, legibilitas dan redibilitas, serta aspek visual dan estetika. Aspek visibilitas adalah kemampuan suatu signage untuk dapat terlihat oleh masyarakat, yang terdiri dari beberapa unsur yaitu : bentuk, penempatan, dimensi, material, pencahayaan dan jarak antar satu sign dengan signage lain. Aspek legibilitas dan redibilitas adalah kemampuan untuk mengenal dan menangkap pesan sebuah signage, yang terdiri dari unsur-unsur lokasi, ukuran tulisan, jenis tulisan dan warna. Sedangkan aspek visual dan estetika yaitu ketepatan ekspresi dan keharmonisan suatu signage dengan lingkungan tempat dia berada, yang dapat memberikan karakter pada ruang kota serta dan membedakannya dengan ruang lain yang ada di sekitarnya.
2.4
Fungsi Estetika Visual Menurut Vining dan Stevens (dalam Smardon,1994), dijelaskan yang
merupakan aspek kualitas estetika diantaranya adalah proporsi, komposisi, pola dan tatanan. Sedangkan menurut Broadbent (1980) menyatakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi kualitas fisik kota secara visual adalah bentuk yang terlihat melalui pengaturan masing-masing objek/bangunan dan keterkaitan satu sama lainnya melalui deretan, skala, proporsi dan hirarki. Kondisi visual koridor menurut Cullen (1961), sangat erat berkaitan dengan fenomena fisik yaitu yang berkaitan dengan penataan dan pengaturan lingkungan serta korelasi visual, Cullen menyebutkan bahwa korelasi visual yang baik akan memberikan kepuasan estetis tertentu bagi orang yang mengamati dan berada di tempat tersebut (Gambar 2.11).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.11 Segitiga Semiotika Model Odgen Richards Sumber: Broadbent (1980:81)
Berdasarkan pada tujuan penelitan dengan hubungan teori ini, maka langkah tinjauan pustaka adalah untuk mendapatkan rumusan tentang keadaan signage yang berada di koridor jalan Gatot Subroto Medan serta kaitannya dengan fungsi estetika visual dalam mempengaruhi kualitas fisik kota, baik itu dalam pengaturan dimensi signage, komposisi dan pola tatanan perletakan signage sebagai pembentuk urban space sehingga dapat mengarahkan analisisnya.
2.5
Karakteristik Visual Kualitas visual merupakan atribut khusus yang ditentukan oleh nilai-nilai
kultural dan properti fisik yang hakiki Smardon, (1986). Menurut Krier (1979), yang menentukan karakteristik geometris koridor adalah pola fungsi, sirkulasi dan dinding yang membatasi, dinding atau pembatas tersebut dapat berupa bangunan, pepohonan
Universitas Sumatera Utara
atau unsur lain yang membentuk kesan ruang. Selanjutnya dijelaskan bahwa karakter visual suatu kawasan ditunjukkan oleh adanya kualitas fisik yang terbentuk oleh interelasi antar elemen visual dalam landskap kota yang tediri dari: a) Dominasi (domination) dibentuk oleh satu atau dua elemen yang sangat kontras dan secara visual sangat menonjol. b) Keragaman (diversity), yang dimaksud disini tingkat keragaman visual. c) Kesinambungan (continouity) adalah kesinambungan secara visual. d) Kepaduan (intacness), yaitu integrasi dari tatanan lansekap alam maupun buatan manusia yang bebas dari gangguan visual. e) Kesatuan (unity), adalah harmoni secara keseluruhan yang mengacu pada kecocokan atau kesesuaian antar elemen visual. f)
Sekuens (sequence), merupakan tatanan unit-unit visual yang tidak dijumpai di lingkungan lain.
g) Keindahan
(vividness),
yaitu
suatu
penampilan
secara
khusus
mengesankan, dibentuk oleh adanya elemen visual yang menonjol dan menarik. h) Keunikan (unique), yaitu kondisi atau karakter visual yang tidak dijumpai di lingkungan lain.
2.6
Tinjauan Estetika Keindahan (estetika) dalam arsitektur menurut Ishar (1993) adalah nilai-nilai
yang menyenangkan mata, pikiran dan telinga. Karena Arsitektur adalah seni visual,
Universitas Sumatera Utara
maka keindahan menjadi syarat. Keindahan bentuk lebih banyak berbicara mengenai sesuatu yang lebih nyata, oleh sebab itu dapat diukur atau dihitung. Kebutuhan akan keindahan (aesthetics needs), merupakan kebutuhan utama manusia, sebagaimana kebutuhan kita akan udara segar (Spreiregen 1978, Lang 1995). Sedang Hubert dalam Ishar (1993) merumuskan bahwa keindahan sebagai hubungan harmonis yang dirasakan dari semua elemen yang diamati. Hubungan ini dapat diterapkan dalam hubungan kota dengan alam, atau hubungan antara bagianbagian kota dan kehidupan sehari-hari. Menurut Lang (1995) dan Porteus (1996) ada tiga kategori estetika (aesthetics) yakni: 1. Sensory aesthetics, suatu keindahan yang berkaitan dengan sensasi menyenangkan dalam lingkungan meliputi suara, warna, tekstur dan bau. 2. Formal aesthetics, keindahan yang memperhatikan apresiasi dari bentuk, ritme, kompleksitas dan hal-hal yang berkaitan dengan sekuens visual. 3. Symbolic aesthetic, meliputi apresiasi meaning dari suatu lingkungan yang membuat perasaan nyaman.
2.7
Faktor-faktor Estetika Elemen-elemen untuk menganalisa kualitas estetis urban design menurut
Moughtin (1992) dan Moughtin et al (1995) terdiri dari keterpaduan, keseimbangan, proporsi, skala, kontras, harmoni serta ritme. Estetika suatu kota dapat dirasakan oleh setiap orang yang berada di dalamnya apabila elemen-elemen kotanya memiliki unsur-unsur tersebut (Ishar, 1993).
Universitas Sumatera Utara
2.7.1 Keterpaduan (Unity) Dalam bahasa Indonesia unity berarti kesatuan atau keterpaduan yang berarti tersusunnya beberapa unsur menjadi satu kesatuan yang kompak, utuh dan serasi (Ishar, 1993). Pola bahasa arsitektur termasuk dalam bahasa visual kota, yang pada prinsipnya language of town sangat banyak macamnya. Keterpaduan menciptakan kesatuan secara visual dari tiap-tiap komponen kota dari elemen yang berbeda, sehingga membuat hal-hal yang kurang menyatu ke dalam organisasi visual terpadu (Mougtin 1992 dan Moughtin et al 1995). Hal penting dalam karakteristik unity adalah proporsi dari tiap-tiap elemen yang membentuk komposisi. Gibberd dalam Moughtin (1992) menyatakan bahwa jalan bukanlah muka bangunan, tetapi ruang yang dibentuk oleh bangunan-bangunan yang membentuk street picture. Oleh sebab itu tampak luar bangunan individu sangat penting dalam membentuk keseluruhan townscape. Keterpaduan dapat menciptakan kesatuan visual yang utuh dari tiap elemen koridor yang berbeda. Menurut Ishar (1993) semakin sedikit jumlah unsur yang harus disatukan, semakin mudah dicapai keterpaduan, dan semakin besar jumlah elemen yang yang harus disatukan, semakin sulit mencapai keterpaduan, tetapi jika berhasil, semakin besar pula nilai keterpaduan yang telah dicapai. Hal serupa juga disampaikan oleh Darmawan (2003), bahwa kesatuan visual elemen-elemen kota adalah dengan menghindarkan semaksimal mungkin perbedaan. Jakle (1987) menambahkan bahwa untuk menciptakan kesatuan yang baik, elemen-elemen koridor yang berjumlah banyak harus tertata secara keseluruhan sehingga pemandangan yang terlihat pertama
Universitas Sumatera Utara
kali adalah satu pemandangan keseluruhan sepanjang koridor sebelum pemandangan tertentu ke elemen-elemen koridor. Signage akan lebih efisien jika dibuat terpadu dalam satu tiang (Barnet, 1982) dan seperti Spreiregen (1979) ungkapkan banyaknya tiang di jalanan akan mengurangi kualitas estetika.. Menurut Ishar keterpaduan memiliki karakteristik berupa proporsi setiap elemen yang membentuk komposisi massa dan street furniture menjadi kesatuan. Padahal traffic signs akan lebih jelas dan fungsional jika menggabungkannya dengan berbagai fungsi signage, seperti diungkapkan Barnet (1982). Jadi objek mestinya tidak merusak kualitas perasaan pengguna dan visual koridor, dengan mengutamakan kesatuan dan keterpaduan yang ada di kawasan tersebut (Cullen, 1961).
2.7.2 Proporsi Proporsi merupakan suatu perbandingan kuantitatif dari dimensi-dimensi yang menghasilkan hubungan dan kesan visual yang konsisten berdasarkan keseimbangan rasio, yaitu suatu kualitas permanen dari rasio ke rasio lainnya (Ching,1991). Dalam urban design proporsi adalah hubungan antara elemen–elemen dan signage secara keseluruhan menjadi hubungan menyatu secara visual (Moughtin,1992 dan Muoughtin et al 1995), Gambar 2.12. Bangunan dikatakan memiliki bentuk proporsional jika dilihat dari jarak sudut pandang pengamat memenuhi persyaratan tertentu. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa proporsi didapatkan dari hubungan antara ketinggian, lebar dan tinggi. Proporsi menunjukkan kualitas keruangan yang terbentuk dari masing-masing posisi pengamatan. Sebagai contoh
Universitas Sumatera Utara
dalam bahasan ini, suatu objek memiliki bentuk proporsional yang baik dengan jalan adalah apabila objek dapat dilihat secara utuh dari jarak dan sudut pandang tertentu. Aspek
penting
townscape
diperoleh
melalui
komposisi
dengan
membandingkan antara lebar jalan (D) dengan ketinggian bangunan (H). Perbandingan ini telah ditemui baik di jalan-jalan Medieval City, Baroque City maupun Renaisance City (Ashihara, 1983). Dengan membandingkan antara D/H akan diperoleh proporsi sebagai berikut: a) D/H=1, terjadi proporsi seimbang antara ketinggian bangunan/signage dan lebar jalan/pedestrian path. b) D/H < 1, ruang intim, berkesan sempit dan terasa tertekan. c) D/H > 1, ruang berkesan terbuka, semakin besar hasil perbandingan D/H maka berkesan semakin terbuka. d) D/H = 1,2 atau 3 sangat umum di dalam ruang kota. e) D/H > 4, pengaruh ruang sudah tidak terasa.
Gambar 2.12 Hubungan Antara Elemen–Elemen Dan Signage Menjadi Hubungan Menyatu Secara Visual Sumber: Dokumen Pirbadi Peneliti, 2012
Universitas Sumatera Utara
2.7.3
Skala (Scale) Produk arsitektur merupakan tempat atau ruang yang selalu berhubungan
dengan manusia. Oleh sebab itu skala dalam arsitektur harus selalu menunjukkan perbandingan antara elemen bangunan atau ruang dengan elemen tertentu yang ukurannya sesuai dengan kebutuhan manusia. Menurut Ching (1991) skala adalah suatu perbandingan tetentu yang digunakan untuk menetapkan ukuran dan dimensidimensinya. Dimensi adalah manifestasi dari ukuran secara matematis dari bentuk bangunan, sedangkan skala memiliki arti perbandingan besarnya unsur suatu bangunan secara relatif terhadap bentuk-bentuk lainnya. Pada ruang-ruang yang masih dapat dijangkau manusia, dapat langsung dikaitkan dengan ukuran manusia, tetapi pada ruang-ruang di luar jangkauan penentuan skala harus didasarkan pada pengamatan visual dengan membandingkan elemen yang berhubungan dengan manusia (Budiharjo dan Sujarto, 1998). Walaupun kesan sebuah tempat tergantung pada banyak faktor, dapat dikatakan secara umum bahwa skala, yaitu hubungan antar lebar/panjang dan tinggi ruang dari suatu tempat memberikan kesan yang bersifat agak umum pada orang yang bergerak di dalamnya. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa ukuran suatu ruang dari dua tempat akan sangat berbeda, walaupun skalanya tetap sama (Zahnd, 1999). Istilah "skala manusia" seringkali digunakan untuk menggambarkan dimensi bangunan berdasarkan ukuran tubuh manusia. Skala manusia kadang-kadang disebut sebagai "antropomorfik skala." (Gambar 2.13)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.13 Skala Perkotaan, Dengan Memperhatikan Pembatas Place Secara Vertikal Sumber: Zahnd (1999;150) Selain itu Ashihara (1974) dan Spreiregen (1978) menjelaskan melalui sudut pandangan mata sebagai berikut: 1. Jika orang melihat lurus ke depan maka bidang pandangan horizontal dengan sudut 40°, atau 2/3 seluruh pandangan mata. 2. Orang dapat melihat seluruh bangunan atau signage dengan sudut pandang 27°, atau D/H = 2.
Universitas Sumatera Utara
3. Orang akan melihat sekelompok bangunan atau sekelompok signage sekaligus dengan sudut mata 18°, ini terjadi jika D/H=3. 4. Bangunan atau signage akan dilihat sebagai pembatas depan saja, jika sudut pandang 7°, atau D/H > 4. Sudut pandang manusia secara normal pada bidang vertikal adalah 60°, tetapi bila ia melihat secara intensif maka sudut pandangnya berubah menjadi 1°. H. Marten seorang arsitek Jerman dalam papernya ”Scale in Civic Design” mengatakan bahwa bila orang melihat lurus ke depan maka bidang pandangan vertikal di atas bidang pandangan horizontal mempunyai sudut 40°. Orang dapat melihat keseluruhan objek bila sudut pandangnya 27° atau bila D/H=2 (perbandingan jarak bangunan dan tinggi bangunan = 2) atau dapat dilihat pada Gambar 2.14.
Gambar 2.14. Sudut Pandang Manusia Secara Normal Pada Bidang Vertikal Sumber: Ashihara dalam Iswanto, 2006 2.7.4 Keseimbangan Keseimbangan merupakan suatu nilai pada setiap obyek yang daya visualnya di kedua sisi pusat seimbang atau pusat daya tarik adalah keseimbangan. Pusat
Universitas Sumatera Utara
keseimbangan ini adalah titik istirahat mata, titik perhentian mata yang menghilangkan kekacauan dan keresahan. Darmawan (2003) menjelaskan bahwa manusia secara naluri mencari pusat keseimbangan dan berjalan ke arah itu. Pentingnya keseimbangan karena mempunyai daya untuk menunjuk arah gerak manusia. Keseimbangan ini menunjukkan sumbu yang jelas (dapat berupa garis) yang menyeimbangkan dua arah massa-massa yang berhadapan (Moughtin,1995). Pandangan yang seimbang menjadi salah satu faktor yang dapat memberikan nilai tambah dalam desain. Menurut Ishar (1992), keseimbangan adalah nilai yang ada pada setiap objek yang daya tarik visualnya terdapat dikedua titik pusat keseimbangan. Secara jelas Jakle (1987) menambahkan bahwa dalam interpretasi ekspresi visual, Keseimbangan dapat memberikan rasa yaitu kestabilan visual yang muncul dari kesan sebuah garis aksis. Hal lain yang perlu diketahui keseimbangan tak hanya diraih dari sesuatu yang simetris, namun bisa juga berasal dari sesuatu yang asimetris dan simetris radial (Jakle,1987) diperlihatkan pada Gambar 2.15.
Gambar 2.15. Balance dicapai dengan formal simetry Sumber: Moughtin, et al 1995
Universitas Sumatera Utara
2.7.5
Irama (Rhythm) Ritme atau irama dalam seni visual adalah pengulangan ciri secara sistematis
dari unsur-unsur yang mempunyai hubungan yang dikenal (Ishar, 1992). Ritme di dalam urban design diperoleh dengan membuat komposisi yang serasi dengan memberi penekanan, interval atau jarak dan arah tertentu dari elemen-elemen pembentuk ruang kota (Moughtin,et al, 1995). Menurut Darmawan (2003) keberhasilan desain sebuah koridor dari segi estetis apabila dapat menghindari kemonotonan dan memiliki daya tarik. Kemonotonan terjadi bila objek yang diulang adalah objek yang bentuknya tidak kontras, sebaliknya bila objek yang diulang adalah bentuk yang kontras dibandingkan
lingkungannya,
maka
pengguna
akan
mudah
untuk
menginterpretasikannya. Jakle (1987) menambahkan bahwa Irama tersebut dapat memainkan peranan sehingga dapat memunculkan kesan kawasan yang berkarakter dan menyeluruh. Adanya pengulangan objek menimbulkan kesan pergerakan bagi pengamat dalam ruang koridor, (Gambar 2.16).
Gambar 2.16 Irama Memiliki Sifat Yang Menarik Dalam Menghubungkan Dua Tempat Secara Visual Sumber: Sign Regulations (City of San Luis Obispo), 2004
Universitas Sumatera Utara
2.7.6 Warna Pemilihan warna pada desain signage harus hati-hati, warna adalah satu aspek penting dari komunikasi visual yang mempengaruhi kemampuan mata melihat pesan yang akan disampaikan. Pemilihan warna berkontribusi terhadap kejelasan dan desain signage. Warna dapat menimbulkan kesan tertentu pada suatu bangunan atau kawasan (Porter, 1982). Meskipun bukan merupakan unsur utama dalam membentuk kualitas estetika townscape tetapi warna berperan cukup penting karena pengaruhnya cukup kuat. Hal ini disebabkan oleh karena tiap-tiap individu memiliki cita rasa tersendiri terhadap warna. Frank Orr (1995) menjelaskan bahwa warna terang dan gelap dapat memperkuat hubungan, dominasi, dan subordinasi. Warna juga dapat memberikan pengaruh terhadap kesan skala, menciptakan keseimbangan dan irama tertentu (Ishar, 1992), lihat Gambar 2.17.
Gambar 2.17. Skema Warna Signage Memberikan Penegasan Pada Ruang Jalan Sumber: Moughtin, et. al 1995
Universitas Sumatera Utara
Ada dua cara pemakaian warna dalam urban design, untuk menggambarkan hue dari pelangi warna (merah, kuning, biru dan sebagainya), dan yang lebih populer dengan pemakaian warna hitam, putih dan abu-abu. Dalam urban design terdapat bermacam-macam kualitas warna dari kota ke kota atau kawasan ke kawasan lain dan dari waktu ke waktu. Warna-warna terang akan memberikan kesan ruang lebih luas, sedang warna gelap memberikan kesan sempit atau berat (Moughtin et al. 1995). Masih menurut Moughtin, ada empat perbedaan skala warna di dalam kota yaitu: 1. Skala dari kota atau kawasan kota. 2. Skala jalan atau square, dimana warna dapat memberikan karakteristik, atau mempengaruhi bangunan sekelilingnya. 3. Skala dari masing-masing bangunan/signage. 4. Skala dari detail bangunan seperti jendela, pintu atau elemen dekorasi lainnya. Warna juga memiliki peran penting pada signage, dan dapat digunakan sebagai pemberi stimulus yang efektif dan fungsional. Menurut Daniel dalam Kurniawan (2002), kombinasi warna yang baik adalah tidak lebih dari 3 (tiga) macam, apabila lebih akan menimbulkan ketidakjelasan objek yang ingin ditonjolkan.
2.7.7
Orientasi (Orientation) Sebuah kota atau bagian kota tidak dapat dilihat dalam satu titik saja, tetapi
melalui proses pengamatan di dalam gerakan. Cullen memakai istilah optics dalam proses tersebut, yang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Pemandangan yang ada (existing view), terfokus pada satu daerah saja. 2. Pandangan yang timbul (emerging view), fokusnya pada kaitan antara satu daerah dengan daerah lain. Biasanya orang melakukan hal tersebut tanpa pengetahuan atau perhatian khusus, dan mereka melihat tanpa sadar apa yang ada dan terjadi secara visual, jika bergerak dari satu tempat ke satu tempat lain. Namun dalam ketidaksadarannya orang selalu menerima berbagai informasi dari lingkungan yang akan mempengaruhi keadaaannya, baik melalui faktor sosial maupun arsitektural (Zahnd, 1999).
2.7.8 Posisi (position) Cullen (1962) mengilustrasikan bahwa orang selalu membutuhkan perasaan terhadap posisinya dalam suatu lingkungan, dimana dia berada, baik secara sadar ataupun tidak sadar. Akan tetapi dalam aspek ini, perasaan orang terhadap identitas tempat terebut selalu mempunyai dua sisi, yaitu: saya disini, bukan disana. Ungkapan tersebut sering sekali bagi perasaan orang, karena tanpa kepekaan terhadap disana tidak muncul kepekaan terhadap disini dan sebaliknya. Antara di sini dan di sana dalam urban design tergantung pada cara pemisahan atau perhubungannya. Masih menurut Cullen, perasaan terhadap posisi orang sangat tergantung pada dua faktor yaitu pada tingkat batasnya (enclosure) dan tingkat perlindungan (exposure). Dengan adanya perasaan posisi ini maka orang akan dapat merasakan mereka berada di pinggir, di dalam atau di luar suatu kawasan kota (Zahnd, 1999). Berikut ini adalah sebagian dari kategori posisi:
Universitas Sumatera Utara
1. Occupied Teritory adalah bayangan, tempat berlindung, orang bercakapcakap atau aktivitas biasanya menjadi daerah pemilikan atau penguasaan yang akan menimbulkan suatu image tersendiri pada sebuah kota (Cullen, 1962). 2. Enclosure adalah pola dasar lingkungan selain suara dan komunikasi yang tidak membentuk ruang. Di dalam ruang seperti pada alun-alun atau courtyard, pada enclosure akan terasakan suatu skala manusia (Cullen, 1962). 3. Focal Point merupakan titik tangkap pandang mata pada satu lingkungan atau kawasan. Pada sekumpulan objek signage yang membentuk ruang enclosure, unsur vertikal menjadi focal point. Pada suatu kawasan kota, bangunan tugu vertikal akan mengkristal menjadi titik tangkap lingkungan. (Gambar 2.18).
Gambar 2.18 Dengan Adanya Perasaan Posisi Ini Maka Orang Akan Dapat Merasakan Mereka Berada di Pinggir, di Dalam atau di Luar Suatu Kawasan Kota. Sumber: Dokumen Pribadi Peneliti, 2012
Universitas Sumatera Utara
2.7.9 Isi (Content) Perasaan orang terhadap satu tempat juga dipengaruhi oleh apa yang ada, dalam aspek ini perasaan terhadap identitas ada dua macam, yang pertama ini adalah ini dan bukan itu, artinya tanpa kepekaan terhadap ini maka tidak muncul kepekaan terhadap itu dan sebaliknya. Manusia membedakan dan menghubungkan bahan-bahan melalui rupa, warna pola, sifat, skalanya dan lain-lain. Sedangkan perasaan orang terhadap suatu tempat tergantung dari dua faktor, yaitu konformitas (conformity) dan pada tingkat kreativitas (creativity). Hal ini dapat diartikan jika suatu tempat diwujudkan dengan cara yang sama, akibatnya timbul rasa bosan akibat ruang diisi oleh objek-objek yang sama tanpa adanya kreativitas yang memberikan perbedaan atau ketertarikan terhadap isi ruang tersebut. Namun jika perwujudannya dengan cara yang sangat berbeda maka timbul kekacauan akibat tidak munculnya kreativitas berupa pengaturan objek-objek yang muncul secara semrawutan (Zahnd, 1999). Masih menurut Zahnd, tugas membangun di kawasan perkotaan adalah mencari titik temu diantara kedua polarisasi atau pertentangan itu. Artinya dalam mencari kerangka sebuah tata kota (network of urban fabric) harus menjadi konformitas, dimana kreativitas justru mempunyai arti. Tetapi dalam realitas kota tersebut sering kurang diperhatikan dengan baik, sehingga menimbulkan dampak negatif , baik bagi lingkungan maupun bangunannya. Aspek yang termasuk dalam content antara lain seeing in detail, trees in value centre dan publicity, artinya memperlihatkan bagian detail dari bagian isi ruang kota akan memberikan nilai.
Universitas Sumatera Utara
2.8.
Kaedah-kaedah penataan signage dalam upaya menciptakan kota yang manusiawi secara visual Dalam penataaan signage yang manusiawi secara visual terdapat beberapa
aspek yang harus dipenuhi, yakni; aspek visibilitas, legibilitas, redibilitas, serta aspek visual dan estetika. Aspek visibilitas adalah suatu kemampuan suatu signage untuk dapat terlihat oleh masyarakat yang terdiri dari beberapa unsur, yaitu; bentuk, penempatan, dimensi, material, pencahayaan dan jarak antar satu signage dengan signage lain. Legibilitas dan redibilitas adalah kemampuan masyarakat untuk mengenal dan menangkap pesan sebuah signage, yang terdiri dari unsur lokasi, ukuran tulisan, jenis tulisan dan warna, sedangkan aspek visual dan estetika adalah ketepatan ekspresi dan keharmonisan suatu signage dengan lingkungan tempat dia berada serta dapat memberikan karakter pada ruang kota. Berikut ini adalah kaedah-kaedah penataaan signage dalam upaya menciptakan kota yang manusiawi secara visual: 1. Jarak tanda yang satu dengan yang lain harus memadai dan menghindari kepadatan dan kekacauan, karena bila menggunakan skala
manusia
kemampuan jarak pandang manusia untuk melihat keseluruhan objek adalah 270, atau jarak posisi pengamat dengan objek adalah dua kali tinggi objek (D/H=2). Teori ini mengintepretasikan bahwa jarak satu signage dengan signage berikutnya dapat dikatakan baik apabila memenuhi aspek legibilitas dan redibilitas pengamat dalam melihat objek tersebut, (Gambar 2.19).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.19 Jarak Antara Signage Memenuhi Aspek Legibilitas Dan Redibilitas Sumber: Dokumen Pribadi Peneliti, 2012
2. Mengurangi persaingan antara sesama iklan dan rambu-rambu lalu lintas yang umum diperlukan. Dalam hal ini unsur unity (keterpaduan) dapat dijadikan solusi untuk mengatasi persaingan tersebut. Keterpaduan dapat menciptakan kesatuan visual yang utuh dari tiap elemen koridor yang berbeda, bukan dengan menambah perbedaaan negatif antara sesama signage, berupa tampilan dimensi signage yang lebih besar dari yang lainnya dengan anggapan agar objek tersebut lebih dominan dari yang lainnya. Oleh karena itu kualitas rancangan dan ukuran advertensi pribadi harus diatur untuk membentuk kesesuaian dengan rambu-rambu lalu lintas sehingga penyampaian informasi dari signage pribadi tidak mengganggu fungsi traffic signs yang menyangkut kepentingan umum dan keselamatan bagi pengguna jalan (Gambar 2.20).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.20 Kualitas Rancangan dan Ukuran Advertensi Pribadi Harus Diatur Untuk Membentuk Kesesuaian Dengan Rambu Lalu Lintas. Sumber : Dokumen Pribadi Peneliti, 2012
3. Penempatan signage harus disesuaikan dengan zonasi peruntukkannya diantaranya yaitu: zona periklanan untuk signage yang bersifat privat dan berukuran besar tetapi tidak mengganggu sirkulasi dan pandangan pejalan kaki, trafic zone untuk papan tanda informasi yang ditempatkan di badan jalan atau pulau jalan berfungsi sebagai pengendali sirkulasi lalu lintas berupa rambu-rambu yang sifatnya berhubungan dengan kepentingan dan keselamatan pengguna jalan, zona pejalan kaki untuk signage yang berhubungan dengan kepentingan umum seperti petunjuk arah, orientasi pedestrian, papan informasi kota, dan zona identifikasi diperuntukkan bagi orientasi identitas bangunan, rancangan etalase dan tanda informasi yang berukuran kecil dan pada umumnya memberikan informasi tentang tempatnya berada (Gambar 2.21).
Universitas Sumatera Utara
Zona Periklanan
Zona Lalu Lintas
Zona Identifikasi
Zona Pejalan Kaki
Gambar 2.21 Penempatan Signage Sesuai Dengan Zonasi Peruntukkannya Sumber: Dokumen Pribadi Peneliti, 2012
4. Jumlah maksimal signage yang diizinkan adalah dua buah per pemilik bangunan. Ketentuan ini diberlakukan untuk mempermudah pengamat dalam mengidentifikasi signage dan berorientasi di koridor jalan tersebut (Gambar 2.22).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.22 Jumlah Signage Yang Ideal Dua Buah Perpemilik Bangunan Sumber: Dokumen Pribadi Peneliti, 2012
5. Larangan untuk papan iklan yang ukurannya besar dan mendominasi visual serta menciptakan pengaruh visual negatif terhadap lingkungan sekitarnya dan terkadang pesan yang disampaikan sulit dipahami oleh manusia yang mengamatinya terutama oleh orang yang berada di atas kendaraan (Gambar 2.23).
Gambar 2.23 Signage Berukuran Besar Menimbulkan Pengaruh Visual Negatif Sumber: Dokumen Pribadi Peneliti, 2012
Universitas Sumatera Utara
6. Khusus untuk jenis signage yang menempel pada dinding bangunan (wall signs), ukuran luas signage tidak lebih dari 100 ft² atau 15% dari luas fasade bangunan (Gambar 2.24).
Gambar 2.24. Signage pada dindig bangunan tidak melebihi 15% dari luas fasade Sumber: Dokumen Pribadi Peneliti, 2012
7. Penggunaan signage harus harmonis dengan elemen-elemen perancangan kota dimana signage berada sehingga dapat merefleksikan karakter ruang luar dari kawasan tersebut (Gambar 2.25).
Gambar 2.25 Penggunaan signage dapat merefleksikan karakter ruang luar Sumber: Dokumen Pribadi Peneliti, 2012
Universitas Sumatera Utara
8. Pembatasan lampu dan iklan kecuali untuk keperluan entertainmen yang sifatnya temporer. Pencahayaan dan warna yang terang mengekspresikan suasana yang menyenangkan, pencahayaan dan warna yang gelap mengekspresikan
suasana
yang
berwibawa
dan
sepi.
Gabungan
pencahayaan dan warna hendaknya juga memperhatikan kenyamanan penglihatan bagi pengguna yang melihatnya dengan tidak menggunakan warna dan cahaya yang menyilaukan mata (Gambar 2.26).
Gambar 2.26 Signage tidak menggunakan warna yang menyilaukan mata Sumber : Dokumen Pribadi Peneliti, 2012 2.9
Kriteria Penataan Signage Dalam penataan signage terdapat beberapa elemen utama yang perlu
diperhatikan, yaitu: 1). Jumlah Signage, 2). Lokasi Penempatan Signage, 3). Ukuran Signage, 4). Warna/Pencahayaan.
Universitas Sumatera Utara
Elemen-elemen
yang
diatur
bertitik
tolak
pada
persoalan-persoalan
pemasangan signage dan juga berkaitan dengan kualitas lingkungan kota serta beracuan kepada kebutuhan masyarakat dan lingkungan. Menurut panduan rancang kota (Shirvani, 1985), ukuran dan kualitas rancangan signage harus diatur supaya harmonis, dapat mengurangi dampak visual yang negatif, mengurangi kesemrawutan dan persaingan antara signage yang sifatnya komersial dengan yang sifatnya nonkomersial serta signage lalu-lintas.
2.10
Sintesis Teori Signage sebagai media iklan ruang luar lebih dominan menggunakan ruang
publik maupun milik pribadi sebagai lokasi pemasangannya. Pada umumnya perusahaan yang akan memasarkan produknya memilih titik-titik lokasi yang strategis sebagai media promosi agar mudah diketahui atau dilihat oleh masyarakat secara luas. Masyarakat yang menjadi sasaran utama dalam penyampaian pesan melalui signage adalah para pengguna jalan, yakni pejalan kaki dan orang yang sedang berada di kendaraan. Penempatan lokasi signage merupakan salah satu aspek penting dalam menciptakan estetika kota yang baik secara visual karena keindahan kota merupakan elemen yang tak ternilai harganya bagi kenyamanan warganya. Estetika visual kota yang baik akan memberikan citra yang baik pula, maka upaya penataan signage yang memenuhi kaedah-kaedah visual manusiawi sama artinya dengan sudah melaksanakan prinsip-prinsip parsipatory planning dalam mengelola kota.
Universitas Sumatera Utara
Penelusuran terhadap beberapa literatur yang relevan dengan penelitian digunakan untuk merepresentasikan kepentingan masyarakat dan keperluan proses pelaksanaan penelitian, diantaranya dengan mengatur elemen-elemen yang bersifat teknis dalam penataan media signage. Penataan signage yang manusiawi harus memenuhi beberapa aspek yaitu keindahan, keselamatan, kenyamanan dan efektifitas. Elemen-elemen penelitian dan kriteria-kriteria penataan signage yang berhubungan dengan aspek visual manusiawi menjadi bahan pertimbangan dalam studi ini dan dapat dilihat pada Tabel 2.2, 2.3 dan 2.4. Tabel 2.2 Elemen-Elemen Penelitian No.
Elemen/ Aspek
Keselamatan
Keindahan
Keefektifan
1
Konstruksi
√
√
-
2
Ukuran/Dimensi
√
√
√
3
Penempatan
√
√
√
4
Jumlah
-
√
√
5
Orientasi
-
√
√
6
Warna/Pencahayaan
-
√
√
Keterangan : (√) = dipertimbangkan Sumber: Shirvani,2005
(-) = tidak dipertimbangkan
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Kriteria-Kriteria Penataaan Signage Menurut Pertimbangan Aspek Visual Manusia Aspek Pertimbangan Keindahan
Kriteria a) Nyaman, enak dilihat secara visual manusiawi (tidak saling menghalangi antara signage satu dengan signage yang lainnya). b) Harmonis dengan lingkungan baik bentuk, ukuran maupun penempatannya (tidak mengganggu lingkungan).
Keselamatan
a) Desain konstruksi signage tidak membahayakan aktivitas pejalan kaki dan pengendara artinya material signage harus kuat dan memiliki struktur pondasi yang sesuai dengan kondisi tempatnya berdiri sehingga tidak mudah rubuh. b) Aman bagi lingkungan disekitar signage termasuk bagi pengguna jalan dan pejalan kaki, artinya signage tidak ditempatkan pada zona sirkulasi pejalan kaki atau zona lalu lintas.
Kenyamanan
a) Tidak mengganggu pengguna jalan.
kepentingan
umum
b) Memberikan rasa senang bagi pengguna jalan atau signage dapat menjadi perabot kota yang memberikan efek visual positif terhadap kawasan tersebut. Efektifitas
a) Mudah dilihat dan dibaca walaupun sambil lalu oleh pengamat yang berada di atas kendaraan. b) Penggunaan warna pada signage tidak terlalu beragam (tidak lebih dari tiga warna) sehingga informasi yang ingin disampaikan signage mudah dipahami pengamat.
Sumber: Shirvani,2005
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 Kajian literatur terkait signage yang manusiawi dengan elemen-elemen penelitan
No.
Teori
Ketentuan Teori Terhadap Penataan Signage
Kaitan TeoriTerhadap Elemen Penelitian
1.
Amos Rapoport, 1977
Lingkungan binaan merupakan pengorganisasian ruang kota, pengaturan wilayah atau suatu kawasan besar sampai pengaturan perabot sebuah ruangan.
Penempatan, ukuran dan jumlah signage
Keindahan dan efektifitas
2.
Stephen Carr et al, 1992
Untuk menciptakan kota yang manusiawi, signage harus dapat menciptakan rasa Comfortable, Relaxation, Passive Engagement, Responsive, Democratic, dan Meaningfull terhadap ruang kota.
Ukuran, konstruksi dan penempatan signage
Kenyamanan
3.
Minaret Branch, 1995
Penataan elemen-elemen kota berkaitan dengan tanggapan inderawi manusia terhadap lingkungan fisik kota: penampilan visual, kualitas estetika, dan karakter spasial.
Konstruksi, orientasi dan penempatan signage
Keindahan dan efektifitas
4.
Echols, 1975
Signage dalam arsitektur diartikan sebagai bentukbentuk informasi dan orientasi kota yang dirancang khusus.
Konstruksi signage dan orientasi
Efektifitas
6.
Lynch, 1962
Signage berfungsi sebagai alat untuk berorientasi bagi warga kota.
Orientasi dan penempatan signage
Keselamatan
Aspek Manusiawi Yang Dipertimbangkan
Universitas Sumatera Utara
No.
Teori
Ketentuan Teori Terhadap Penataan Signage
Kaitan TeoriTerhadap Elemen Penelitian
Aspek Manusiawi Yang Dipertimbangkan
7.
Sanoff , 1991
Signage berfungsi memberikan informasi kepada masyarakat yang sedang melintas, berjalan atau berkendaraan.
Penempatan signage
Keselamatan dan efektifitas
8.
Venturi et al, 1978
Signage dapat menciptakan image bagi suatu kota, Image Of Las Vegas: Inclusion and Allusion
Ukuran, jumlah dan warna signage
Keindahan dan kenyamanan
9.
Frey, 1999
Perumpamaan Kota Las Vegas jika tanpa signage (Las Vegas Without Signage is Not Las Vegas)
Ukuran dan warna signage
Keindahan
10.
Shirvani, 1985
Pengaturan lokasi signage berdasarkan zona peruntukannya.
Penempatan signage
Keselamatan dan efektifitas
12.
Kelly dan Raso, 1992
Tiga dasar pencahayaan signage
Warna/pencaha yaan pada signage
Keindahan
13.
Mandelker, 1982 dalam Pramono, 2006
Signage memberikan informasi suatu barang atau jasa untuk kepentingan dagang (private sign) dan signage mengandung informasi pelayanan kepada masyarakat (public sign).
Penempatan signage
Efektifitas dan keselamatan
Universitas Sumatera Utara
No.
Teori
Ketentuan Teori Terhadap Penataan Signage
14.
Damain dan Gray, 1989 dalam Pramono, 2006
Signage permanen ditempatkan atau dibuat pada pondasi sendiri, dimsukkan ke dalam tanah, dipasang atau digambar pada struktur yang permanen.
15.
Daniel dalam Kurniawan, 2002
16.
17.
Kaitan TeoriTerhadap Elemen Penelitian
Aspek Manusiawi Yang Dipertimbangkan
Konstruksi signage
Keselamatan dan Keindahan
Suatu objek akan kelihatan baik jika kombinasi warna tidak lebih tiga macam, apabila lebih akan menimbulkan ketidakjelasan objek yang ingin ditampilkan.
Warna signage
Keindahan
Smardon,1994
Aspek kualitas estetika diantaranya adalah proporsi, komposisi, pola dan tatanan objek signage
Ukuran, Konstruksi, jumlah dan penempatan signage
Keindahan
Broadbent, 1980
Faktor utama yang mempengaruhi kualitas fisik kota secara visual adalah bentuk yang terlihat melalui pengaturan masing-masing signage dan keterkaitan satu sama lainnya melalui deretan, skala, proporsi dan hirarki.
Ukuran, konstruksi jumlah dan penempatan signage
Keindahan
Universitas Sumatera Utara
No.
Teori
Ketentuan Teori Terhadap Penataan Signage
Kaitan TeoriTerhadap Elemen Penelitian
Aspek Manusiawi Yang Dipertimbangkan
18.
Cullen, 1961
Kondisi visual koridor sangat erat berkaitan dengan fenomena fisik yaitu berkaitan dengan penataan dan pengaturan lingkungan serta memberikan kepuasan estetis.
Penempatan dan warna signage
Keindahan
19.
Krier, 1979
Karakteristik geometris koridor ditentukan oleh pola fungsi, sirkulasi dan dinding yang membatasi, dinding atau pembatas tersebut, dapat berupa bangunan, pepohonan atau unsur lain yang membentuk kesan ruang.
Konstruksi dan ukuran signage
Kenyamanan
20.
Ishar, 1993
Keseimbangan adalah nilai yang ada pada setiap objek (signage) yang daya tarik visualnya terdapat dikedua titik pusat keseimbangan.
Penempatan, ukuran dan jumlah signage
Keindahan
21.
Jakle, 1987
Keseimbangan tak hanya diraih dari sesuatu yang simetris, namun bisa juga berasal dari sesuatu yang asimetris dan simetris radial.
Penempatan dan ukuran signage
Keindahan
22.
Barnet, 1982
Penempatan signage
Keindahan, keselamatan dan kenyamanan
Signage akan lebih efisien jika dibuat terpadu dalam satu tiang, traffic signs akan lebih jelas dan fungsional jika menggabungkannya dengan berbagai fungsi signage.
Universitas Sumatera Utara
No.
Teori
Ketentuan Teori Terhadap Penataan Signage
Kaitan TeoriTerhadap Elemen Penelitian
Aspek Manusiawi Yang Dipertimbangkan
23.
Spreiregen, 1979
Banyaknya tiang di jalanan akan mengurangi kualitas estetika ruang kota.
Jumlah signage
Keindahan dan efektifitas
24.
Ashihara, 1983
Aspek penting townscape diperoleh melalui komposisi dengan membandingkan antara lebar jalan (D) dengan ketinggian bangunan (H).
Ukuran signage
Keindahan dan kenyamanan
25.
Budiharjo dan Sujarto, 1998
Penentuan skala harus didasarkan pada pengamatan visual dengan membandingkan elemen perancangan kota (signage) yang berhubungan dengan manusia
Ukuran signage
Keindahan dan kenyamanan
26.
Moughtin,et al, 1995
Ritme/ Irama di dalam urban design diperoleh dengan membuat komposisi yang serasi dengan memberi penekanan, interval atau jarak dan arah tertentu dari elemen-elemen pembentuk ruang kota.
Penempatan dan jumlah signage
Keindahan
27.
Frank Orr, 1995
Warna terang dan gelap dapat memperkuat hubungan, dominasi, dan subordinasi. Warna memberikan pengaruh terhadap kesan skala, menciptakan keseimbangan dan irama tertentu.
Warna signage
Keindahan dan kenyamanan
Universitas Sumatera Utara
No.
Teori
Ketentuan Teori Terhadap Penataan Signage
Kaitan TeoriTerhadap Elemen Penelitian
Aspek Manusiawi Yang Dipertimbangkan
28.
Daniel dalam Kurniawan, 2002
Kombinasi warna yang baik pada signage tidak lebih dari 3 macam, apabila lebih akan menimbulkan ketidakjelasan objek signage yang ingin ditonjolkan.
Warna signage
Kenyamanan dan efektifitas
29.
Moughtin et al. 1995
Warna-warna terang pada signage akan memberikan kesan ruang lebih luas, sedang warna gelap memberikan kesan sempit atau berat.
Warna signage
Kenyamanan
30.
Zahnd, 1999
Perasaan orang terhadap suatu tempat tergantung dari dua faktor, yaitu konformitas (conformity) dan pada tingkat kreativitas (creativity). Jika suatu tempat diwujudkan dengan cara yang sama, akibatnya timbul rasa bosan, tetapi jika perwujudannya dengan cara yang sangat berbeda maka timbul kekacauan.
Ukuran dan warna signage
Kenyamanan
31.
Shirvani, 1985
Ukuran dan kualitas rancangan signage harus diatur supaya harmonis, dapat mengurangi dampak visual yang negatif, mengurangi kesemrawutan dan persaingan antara signage.
Ukuran, konstruksi dan penempatan signage
Keindahan dan efektifitas
32.
Ishar, 1992
Warna memberikan pengaruh terhadap kesan skala, menciptakan keseimbangan dan irama tertentu.
Warna signage
Keindahan dan kenyamanan
Universitas Sumatera Utara
Dari kajian-kajian beberapa literatur di atas penataan signage yang manusiawi secara visual mempresentasikan beberapa aspek visual yang patut dipertimbangkan. Penataan signage yang manusiawi berdasarkan literarur yang ada pada umumnya mempertimbangkan aspek keindahan, keselamatan, kenyamanan dan efektifitas. Aspek keindahan merupakan pertimbangan yang paling banyak dikemukakan pada litetarur di atas, mulai dari pengorganisasian atau penataan signage, berupa pengaturan lokasi signage, pengaturan dimensi, pengaturan jumlah dan pengaturan warna signage. Sedangkan dari aspek keselamatan dan kenyamanan signage yang manusiawi lebih mempertimbangkan kepada ukuran, konstruksi dan kemudahan pengguna jalan untuk berorientasi di koridor ruang kota. Selain itu pada kajian literatur terdapat juga faktor efektifitas yang menjadi dasar dalam penentuan lokasi signage, ukuran dan jumlah signage sehingga secara legibilitas dan redibilitas penyampaian pesan atau informasi signage menjadi efektif. Beberapa kajian literatur tersebut akan menjadi acuan dalam menganalisa dan membuat konsep desain penataan signage yang manusiawi di jalan Gatot Subroto Medan dengan mengintepretasikan teori-teori terkait dengan aspek keindahan, keselamatan, kenyamanan dan efektifitas. Konstruksi signage, lokasi penempatan signage, ukuran signage, jumlah signage, orientasi dan warna signage merupakan beberapa point yang menjadi elemen penting dalam studi ini sehingga menjadi kriteria dalam penataan signage yang manusiawi.
Universitas Sumatera Utara