BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Virus Virus Dengue adalah anggota genus Flavivirus dan famili Flaviviridae. Virus berukuran kecil (50 nm) ini memiliki single stranded RNA. Virionnya terdiri atas nucleocapsid dengan bentuk kubus simetris yang terbungkus dalam sampul lipoprotein. Genome dari virus Dengue berukuran panjang ± 11.000 base pairs, dan terbentuk dari tiga gen protein struktural yaitu selubung protein (E), nucleocapsid atau protein core ( C ), membrane associated protein (M) suatu protein envelope dan serta tujuh gen protein non struktural (NS) yaitu NS1, NS2a,NS2b, NS3, NS4a, NS4b, dan NS5. NS1 adalah protein nonstruktur 1, merupak glikoprotein yang berfungsi dalam siklus kehidupan virus yang belum jelas diketahui. NS1 dideteksi dengan kadar yang tinggi pada penderita infeksi virus dengue dengan reaksi imun sekunder, tetapi jarang dijumpai pada penderita yang menunjukkan reaksi imun primer. NS2 memiliki 2 protein (NS2a dan NS2b) yang berperan pada proses lipoprotein sedangkaan NS3 memiliki sebagian proteinase yang berfungsi sebagai sitosol. Gen NS4 memiliki 2 protein hidrofob (NS4a dan NS4b) yang berperan pada kompleks replikasi membrane RNA. NS5 memiliki berat molekul 105.000 dan merupakan petanda protein Flavivirus.Envelope glycoprotein berhubungan dengan aktifitas hemaglutinasi dan netralisasi virus.Terdapat empat serotipe virus yang dikenal dengan Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Keempat serotype ini terdapat di Indonesia dan dilaporkan bahwa serotype Den-3 sering menimbulkan wabah, sedang di Thailand penyebab wabah yang dominant adalah virus Den-2. Jika seseorang terinfeksi dengan salah satu serotipe tersebut, akan terjadi kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang bersangkutan. Meskipun keempat virus memiliki daya antigenis yang sama namun mereka berbeda dalam menimbulkan proteksi silang meski baru beberapa bulan terjadi infeksi dengan salah satu serotipe. Keempat
Universitas Sumatera Utara
serotipe dapat menyebabkan penyakit berat dan fatal (Suroso T, 2003), (Soegijanto S 2004)
Gambar 2.1 Virus dengue (Soegijanto S, 2004) 2.2.Vektor Penularan virus dengue dari orang ke orang lain adalah melalui gigitan nyamuk Aedes ( Ae) dari sub genus Stegomyia. Ae. aegypti merupakan vektor epidemi yang paling utama. Vektor sekunder lain yang juga berperanan pada penularan virus Dengue adalah Ae. albopictus, Ae. polynesiensis, anggota dari Ae. scuttelaris complex dan Ae. ( finlaya) niveus. Selain Ae. agypti semua vektor sekunder mempunyai daerah distribusi geografis tersendiri yang terbatas. Yang paling efisien sebagai vektor epidemi adalah Ae. Agypti (Suroso T, 2003) Nyamuk Aedes tersebar luas diseluruh pelosok tanah air, oleh karena itu seluruh wilayah Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit DBD kecuali pada daerah dengan ketinggian diatas 1000 m diatas permukaan laut, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk Aedes (Sungkar S, 2002), (Darlan DM, 2004) Siklus hidupnya dimulai setelah nyamuk betina meletakkan telurnya pada dinding tempat air jernih dan terlindung sinar matahari langsung ataupun tempat air yang sedikit terkontaminasi seperti bak mandi, drum, tangki air, tempayan, vas bunga, perangkap semut dan tempat minuman burung. Dalam suasana optimum, perkembangan dari telur sampai dewasa memerlukan waktu sekurang-kurangnya 9 hari. Nyamuk betina yang telah dewasa siap mengisap darah manusia dan kawin sehari atau dua hari setelah keluar dari pupa (kepompong). Nyamuk jantan tidak
Universitas Sumatera Utara
pergi jauh dari tempat berkembang biak karena menunggu nyamuk betina menetas dan siap berkopulasi. Umumnya nyamuk betina akan mati dalam waktu 10 hari, tetapi masa tersebut cukup bagi nyamuk untuk inkubasi virus (3-10 hari) dan menyebarkan virus (Sungkar S, 2002)
2.3.Host Sebagai hospes atau pejamu dari virus Dengue adalah manusia dan beberapa spesies primata rendah. Tubuh manusia merupakan urban reservoir yang utama bagi virus tersebut (Suroso T, 2003)
2.4.Patogenese DBD DBD dimulai dengan masuknya virus dengue melalui gigitan nyamuk, kemudian virus ini mengalami replikasi pada lymphnode lokal dan setelah 2 – 3 hari menyebar ke sirkulasi dan jaringan-jaringan. Dalam siekulasi virus dengue menginfeksi sel fagosit yaitu makrofag, monosit , sel Kupfer, sel B dan sel T limfosit. Bila infeksi ini berlangsung untuk pertama kali dapat memberikan gejala dan tanda yang ringan atau bahkan simptomatik, bergantung pada jumlah dan virulensi virus serta daya tahan host. Seseorang yang terinfeksi pertama kali akan menghasil kan antibodi terhadap virus Dengue serotipe tersebut. Seharusnya, bila infeksi berikutnya terjadi oleh virus dengue dengan serotipe yang sama maka penderita akan kebal. Tetapi mengapa pada daerah yang hanya terdapat satu serotipe virus Dengue terdapat pula kasus yang berat? Hal ini terjadi oleh karena antibodi yang terbentuk bersifat non neutralisasi, yang artinya tak dapat menetraliser virus yang masuk. Keadaan ini mengakibatkan semakin mudahnya virus mengalami replikasi. Banyak para ahli sependapat bahwa infeksi sekunder adalah penyebab beratnya manifestasi klinis pada penderita DBD (Ginting Y, 2004)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Pathogenese DBD (Martina dkk, 2009)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3. Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue (Lei dkk, 2001)
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah : a) respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE); b)limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c)monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin
Universitas Sumatera Utara
oleh makrofag; d).selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a. (Suhendro dkk, 2009). Tabel 2.1
Mediator Imun yang berperan dalam infeksi virus dengue (Martina dkk, 2009)
Halsted pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila sesorang terinfeksi ulang virus dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun (antigen antibodi) yang tinggi . Keadaan ini mengakibatkan terjadinya reaksi imunologis berupa. 1. Aktivasi sistem komplemen Aktivasi sistem komplemen mengakibatkan aktivasi C3 dan C5 sehingga dilepaskan anafilatoksin C3a dan C5a. Anafilatoksin C3a dan C5a mengnakibatkan peninggian permeabilitas kapiler dengan konsekwensinya
Universitas Sumatera Utara
yaitu perembesan plasma ke ekstravaskuler yang mengakibatkan anjloknya volume darah dan dapat berakibat hipotensi, hemokonsentrasi, efusi pleura, efusi perikard, asites dan shok. Hipovolemik ini juga berakibat pada hipoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Perembesan plasma ini telah terjadi pada saat permulaan penyakit dan memuncak pada saat terjadi renjatan. 2. Disfungsi trombosit
.
Kompleks antigen-antibodi melekat pada permukaan trombosit mengakibatkan kerusakan trombosit yang berakibat pada:
.
–Gangguan agregasi trombosit
.
–Trombosit dimusnahkan oleh sistem retikuloendotelial terutam hati dan limpa. Hal ini akan mengakibatkan trombositopenia yang tentunya mengakibatkan perdarahan. – Trombosit yang aktif dalam agregasi melepaskan aminovasoaktif yang mengakibatkan meningginya permeabilitas kapiler yang bisa berakibat pada shok. 3. Pelepasan mediator
.
Virus dengue menginfeksi sel-sel fagosit. Hal ini menyebabkan sel yang terinfeksi mengeluarkan mediator yaitu sitokin-sitokin, antara lain interferon (IFN), interleukin 1 (IL-1), interleukin 6 (IL-6) dan Tumor Necrosing Factor (TNF). Sitokin-sitokin ini yang mengakibatkan peninggian permeabilitas kapiler. Selain itu sitokin akan merangsang hipotalamus anterior dan korteks serebelum yang mengakibatkan demam. Pelepasan sitokin juga dapat diakibatkan oleh karena endotoksin dari sel gram negatif yang masuk ke sirkulasi. Hal ini dapat terjadi apabila pasien mengalami syok yang berakibat pada iskemia dan nekrosis usus. 4. Koagulopati Sitokin yang dilepaskan oleh sel yang terinfeksi akan menstimulasi sistem koagulasi, sehingga terjadi penurunan faktor fibrinogen, faktor V, VII, VIII, X dan XII. Gangguan pada sistem koagulasi ini dapat menyebabkan koagulasi intravascular disseminata(KID) (Ginting Y, 2004), (Suhendro dkk, 2009)
Universitas Sumatera Utara
Mekanisme patofisiologi yang utama pada DBD adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopeni dan diatesis hemoragik. Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningkatnya nilai hematokrit menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler melalui kapiler yang rusak. Trombositopenia terjadi akibat destruksi trombosit yang meningkat dan depresi fungsi megakariosit. Perdarahan kulit pada penderita DBD umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia, sedangkan perdarahan masif terjadi akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks lagi yaitu trombositopenia, gangguan faktor pembekuan dan kemungkinan besar oleh adanya Koagulasi Intravaskular Diseminata ( KID) (Sungkar S, 2002) Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme : 1) Supresi sumsum tulang, dan 2).destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematoppoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petaanda degranulasi trombosit. (Suhendro dkk, 2009)
Universitas Sumatera Utara
2.5. Diagnosa demam berdarah (WHO, 1997), (Suhendro dkk, 2009) Diagnosa demam berdarah dengue ditegakkan berdasarkan kriteria WHO tahun 1997.WHO telah membuat penuntun untuk menegakkan diagnosis klinis DBD : A. Kriteria klinis : 1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2 – 7 hari. 2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan : a. Uji torniquet positip b. Petekie, ekimosis, purpura. c. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat lain d. Hematemesis dan atau melena. 3. Pembesaran hati ( hepatomegali ). 4. Syok ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah B.Kriteria laboratorium : 1. Trombositopenia ( 100.000 / ml atau kurang ) 2.Adanya kebocoran plasma (plasma leakage) karena peningkatan permeabilitas kapiler dengan manifestasi : -
peningkatan hematokrit ≥ 20 % dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin.
-
penurunan hematokrit ≤ 20 % setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
-
tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, ascites atau hipoproteinemia. .
Dua kriteria klinis pertama ditambah salah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya peningkatan hematokrit) sudah dapat menegakkan diagnosis klinis DBD.
Universitas Sumatera Utara
2.6.Derajat Penyakit (WHO, 1997) Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue terdiri dari demam dengue dan DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat ( pada setiap derajat sudah ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi ) Demam Dengue
Demam disertai 2 atau lebih tanda : sakit kepala, nyeri retro orbital, mialgia, artralgia
DBD Derajat I
Demam disertai gejala seperti diatas dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji Tourniquet.
DBD Derajat II
Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain.
DBD Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab serta gelisah DBD Derajat IV Syok berat disertai nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur. WHO pada tahun 2009 mengeluarkan klasifikasi dan derajat keparahan dari infeksi virus dengue, yaitu kriteria probable dengue, warning sign dan kriteria severe dengue. Ini dapat dilihat pada gambar 2.4
Gambar 2.4 Klasifikasi dengue dan derajat keparahan (WHO, 2009)
Universitas Sumatera Utara
2.7.Manifestasi Klinis WHO pada tahun 2009 mengeluarkan Guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control. Dalam panduan tersebut WHO membagi hari-hari sakit demam dengue menjadi 3 fase : 1. Fase Demam, 2.Fase Kritis, 3.Fase Recovery. 1.Fase Demam Penderita mengalami demam akut 2-7 hari disertai muka wajah memerah, kulit memerah, nyeri seluruh badan, mialgia, atralgia dan sakit kepala. Ada juga gejala nyeri tenggorokan, faring hiperemis, konjunctiva hiperemis. Anorexia, nausea dan muntah muntah umum terjadi. Sulit untuk membedakan dengue dengan non dengue pada fase demam, uji torniquet positip mempertinggi kemungkinan penderita mengalami infeksi virus dengue. Diperlukan monitor untuk menilai timbulnya tanda bahaya (warning sign) yang akan membuat pasien masuk ke fase ke 2 fase kritis. Manifestasi perdarahan ringan seperti petechiae dan perdarahan membran mukosa (seperti perdarahan hidung dan gusi) dapat terjadi. Perdarahan pervaginam yang masif dapat terjadi pada wanita usia muda dan perdarahan saluran cerna dapat terjadi pada fase ini tetapi jarang. Hati dapat membesar dan tegang/nyeri setelah demam beberapa hari. Tanda paling awal dari pemeriksaan darah rutin adalah menurunnya total leukosit (leukopenia) yang dapat menjadi dasar klinisi untuk menilai pasien sudah terjangkit virus dengue. 2.Fase Kritis Selama fase rawatan, pada saat temperatur tubuh turun menjadi ≤ 37,5
-38oC dan
bertahan pada suhu tersebut, terjadi pada hari ke 3-7, meningkatnya permeabilitas kapiler bersamaan dengan meningkatnya kadar hematokrit dapat terjadi. Ini merupakan tanda awal fase kritis. Leukopenia yang progresif diikuti dengan menurunnya jumlah trombosit mengiindikasikan kebocoran plasma. Efusi pleura dan ascites dapat terdeteksi tergantung dari derajat kebocoran plasma dan volume dari terapi cairan. Foto thorax dan ultrasonografi abdomen dapat digunakan untuk mendiagnosa efusi pleura dan ascites. Shok dapat terjadi didahului oleh timbulnya tanda bahaya (warning sign). Temperatur tubuh dapat subnormal saat shok terjadi. Shok yang memanjang, terjadi hipoperfusi organ yang dapat mengakibatkan kegagalan organ, metabolik asidosis dan disseminated intravascular coagulation
Universitas Sumatera Utara
(DIC). Hepatitis akut yang berat, encephalitis, mmiokarditis dan atau terjadi perdarahan yang masif dapat terjadi 3.Fase Recovery Bila pasien telah melewati 24-48 jam fase kritis, reabsorpsi cairan dari kompartemen extravascular terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum membaik, kembalinya nafsu makan, berkurangnya gejala gastrointestinal, hemodinamik stabil dan cukup diuresis. Bradikardia dan perubahan EKG dapat terjadi pada fase ini. Hematokrit kembali normal atau lebih rendah karena efek dilusi cairan yang diberikan. Leukosit kembali meningkat disusul dengan meningkatnya trombosit. (WHO, 2009)
Gambar 2.5 Fase hari hari sakit infeksi virus dengue (WHO, 2009)
Universitas Sumatera Utara
Primal Sudjana dkk, melakukan penelitian penelitian epidemiologi dengue dan DHF di Bandung, Prop Jawa Barat mendapatkan menifestasi klinis yang dapat dilihat pada tabel (Sudjana P, 2005)
Tabel 2.2 Manifestasi Klinis Dengue dan Non Dengue (Sudjana P, 2005)
2.8.Diagnosis Laboratorium Diagnosis definitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan cara, isolasi virus, deteksi antigen virus atau jaringan tubuh, dan deteksi antibodispesifik dalam serum pasien (Wuryadi S, 2000)
2.8.1. Diagnosis serologis Dikenal 6 jenis uji serologic yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus dengue, yaitu :
2.8.1.1.Haemagglutination Inhibition test (HI test) Diantara uji serologi, uji HI adalah uji serologi yang paling sering dipakai dan dipergunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pada uji HI ini : a. Uji HI ini sensitive tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat menunjukkan tipe virus yang menginfeksi.
Universitas Sumatera Utara
b. Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai lama sekali (> 48 tahun), maka uji ini baik dipergunakan pada studi sero-epidemiologi. c. Untuk diagnosa pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali kelipatan dari titer serum akut atau konvalesen dianggap sebagi presumtif positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi (recent dengue infection) (Wuryadi S, 2000)
2.8.1.2.Complement Fixation test (CF test) Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagostik secara rutin, oleh karena selain cara pemeriksaan agak ruwet, prosedurnya juga memerlukan tenaga pemeriksa yang berpengalaman. Berbeda dengan antibody HI, antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2 sampai 3 tahun) (Wuryadi S, 2000)
2.8.1.3.Neutralization test (NF test) Uji neutralisasi adalah uji serologi yang paling spesifik dan sensitive untuk virus dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut plaque reduction neutralization test (PRNT) yaitu berdasarkan reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibody neutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan lama (> 48 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin( Wuryadi S, 2000)
2.8.1.4.Uji ELISA Anti-Dengue IgM Uji antibody-capture ELISA telah berhasil mengukur titer antibody IgM terhadap virus dengue. IgM anti-Dengue timbul pada infeksi primer maupun sekunder. IgM timbul sekitar hari ke 3 dan kadarnya meningkat pada akhir minggu pertama sampai dengan minggu ke-3 dan menghilang pada minggu ke-6, sedang IgG timbul pada hari ke-5 dan mencapai kadar tertinggi pada hari ke-14, kemudian
Universitas Sumatera Utara
bertahan sampai berbulan-bulan. Pada infeksi sekunder kadar IgG telah meningkat pada hari ke-2 melebihi kadar IgM. Uji ini telah dipakai untuk membedakan infeksi virus dengue dari infeksi virus Japanese B ensefalitis. Penelitian yang dilakukan Wu SJL dkk dengan menggunakan tes dipstick ELISA untuk mendeteksi IgG dan IgM Anti dengue di dalam serum mennunjukkan sensitivitas 97,9 % dan spesifitas 100 % (Wu SJL dkk, 1997). Sedangkan dengan pemeriksaan rapid immunochromatographic untuk mendiagnosa adanya IgM dan IgG Anti Dengue mendapatkan sensitivitas 100 % dan spesifitas 88 % pemeriksaan ini juga untuk membedakan infeksi primer dan infeksi sekunder dengue, Japanese Encephalitis disebabkan virus dan bukan infeksi flavivirus (Vaughn DW dkk, 1998).Ada juga penelitian yang membandingkan 2 tes komersial antara dipstick ELISA (Integrated Diagnostics, Baltimore, Md) dan test immunochromatographic (Panbio, Brisbane, Australia) untuk menilai Ig M Anti Dengue, dengan Dipstik ELISA mendapatkan hasil sensitivitas 92,6 % dan spesifitas 94,3 %. Sedangkan test ICT Panbio mendapatkan senstivitas 97,9 % dan spesifitas 97,1 % ( Wu SJL, 2000).
2.8.1.5.Uji Dengue NS1 antigen Tahun 2002, team dari ”Institut Pasteur” menjelaskan percobaan untuk mendeteksi Dengue NS1 antigen untuk infeksi DBD primer dan sekunder selama fase akut (Alcon S dkk, 2002). Penelitian lain mendapatkan sensitivitas pada infeksi DBD primer fase akut sebesar 97,3 % dibanding infeksi DBD sekunder sebesar 70 % dengan nilai prediksi positif 100 % dan nilai prediksi negatif 97,3 % (Kumarasamy V dkk, 2007). (Dussart P dkk, 2006 ) melakukan penelitian dari 239 sampel serum pasien infeksi akut yang ditesting positip dengan RT-PCR atau isolasi virus terhadap satu dari empat serotipe dengue mendapatkan sensitivitas 88,7 % (95 % confidence interval, 84,0 % – 92,4 %) 212 sampel positip dari 239 sampel dengan spesivitas 100 % (95 % confidence interval, 84,9 % – 100 %)
Universitas Sumatera Utara
2.8.2. Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) Cara ini merupakan cara diagnosis yang sangat sensitif dan spesifik terhadap serotipe tertentu. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang berasal dari darah, jaringan tubuh manusia dan nyamuk. Meskipun sensitivitas PCR sama dengan isolasi virus, PCR tidak begitu dipengaruhi oleh penanganan spesimen yang kurang baik (misalnya dalam penyimpanan dan handling), bahkan adanya antibodi dalam darah juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR. Selain untuk menentukan adanya RNA virus dengue juga dapat menetukan serotipe virus dengue yang ditemukan. Hal ini penting untuk dapat membuat pola distribusi serotipe virus dengue di berbagai wilayah khususnya yang berbeda kondisi geografis dan klimatologisnya, seperti daerah dataran rendah, dataran sedang dan dataran tinggi.Hingga saat ini telah diketahui ada 4 serotipe virus dengue yaitu : Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4 (Wuryudi S, 2000)
2.8.3.Isolasi virus Diagnosis pasti yaitu dengan cara isolasi virus dengue dengan menggunakan kultur sel. Ada beberapa cara isolasi yang dikembangkan yaitu : a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1 – 3 hari b.Inokulasi pada biakan jaringan mammalia dan nyamuk Aedes albopictus c.Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik/intraserebral pada larva. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan isolasi virus adalah pengambilan spesimen yang awal biasanya dalam lima hari setelah demam, penanganan spesimen serta pengiriman spesimen yang baik ke laboratorium. Bahan untuk isolasi virus dengue dapat berupa serum, plasma atau lapisan buffy-coat darah-heparinized. Keterbatasan metode ini adalah sulitnya peralatan serta memerlukan waktu dua sampai tiga minggu untuk mendapatkan hasil (Wuryudi S, 2000)
Universitas Sumatera Utara
2.9.Diagnosa Banding (Suhendro dkk, 2009) Perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan Demam Chikungunya, Malaria, Epstein-Barr Virus (EBV), Leptospirosis, Demam Thypoid, Scarlet fever, Rickettsial diseases, Heapatitis A, Hantavirus (Suhendro dkk, 2009)
2.10. Penatalaksanaan (Suhendro dkk, 2009) Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi sportif. Dengan terapi suportif yang adekuat angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1 %. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dubutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna. Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria : •
Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai dengan indikasi.
•
Praktis dalam penatalaksanaannya
•
Mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :
Universitas Sumatera Utara
2.10.1.Protokol 1.Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa tanpa syok Digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada penderita DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang tersangka DBD di Unit Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila : •
Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya ( dilakukan pemeriksaan HB, Ht, Leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
•
Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
•
Hb,Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.
Gambar 2.6 Protokol 1 Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa tanpa syok
Universitas Sumatera Utara
2.10.2.Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok maka di ruang rawat diberikancairan infus kristaloid sesuai dengan rumus : 1500 + {20 x (BB dalam kg-20)}. Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg : 1500 +{20 x (55-20)}= 2200 ml. Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam : •
Bila Hb, Ht meningkat 10-20 % dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht, Trombosit dilakukan tiap 12 jam.
•
Bila Hb, Ht meningkat > 20 % dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan HT > 20 %.
Gambar 2.7. Protokol 2 Pemberian cairan pada tersangka DBD Dewasa di R.Rawat
Universitas Sumatera Utara
2.10.3. Protokol 3 Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20 % Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5 %. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit menurun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantaun keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian. Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tapi keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesusi dengan protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8. Protokol 3 Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20 %
2.10.4. Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering
Universitas Sumatera Utara
mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosis serta hemostasis harus segera dilakukan dan pemeriksaan hb,Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam. Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan APTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
Gambar 2.9 Protokol 4 Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa
2.10.5. Protokol 5.Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD
Universitas Sumatera Utara
mendapat pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat. Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan – pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatini. Pada fase awal, cairan elektrolit diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan infus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi). Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama setelah terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20 % saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan nafas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.
Universitas Sumatera Utara
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahn (internal bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan. Sebelum cairan kristaloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan tesebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan caian dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pembeian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH 2 O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.10 Protokol 5 Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa
2.11. Psidium Guajava (Gupta GK dkk, 2011), (Joseph B, 2011), (Kumar A, 2012) Guava (Psidium guajava L) termasuk tanaman famili Myrtaceae, banyak terdapat di negara tropis. Mulai dari akar, batang, daun dan buah Jambu biji mengandung senyawa kimia yang banyak manfaatnya.
2.11.1.Kandungan Kimia dan Mineral Psidium Guajava
2.11.1.1.Buah Jambu Biji Kandungan kimia dan mineral yang terdapat dalam nuah jambu biji diantaranya Vitamin C, Vitamin A, Iron, calcium, phosphorus. Guava mengandung 5 kali lebih banyak vitamin C dibandingkan jeruk. Mineral Mangan juga terdapat
Universitas Sumatera Utara
dalam buah yang berkombinasi dengan phosporic, oxalic dan malic acids. Juga mengandung saponin berkombinasi dengan oleanolic acid, morin-3-O-α-Llyxopyranoside,
morin-3-O-α-arabopyranoside,
flavonoids,
guaijavarin
dan
quercetin.
2.11.1.2.Batang pohon Jambu Biji Mengandung 12-30 % tannin, polyphenols, resin, kristal calcium oxalate.
2.11.1.3.Akar pohon Jambu Biji Mengandung tannin, leukocyanidins, sterols, gallic acid. Juga kaya akan karbohidrat dan garam.
2.11.1.4.Daun Jambu Biji (Psidii folium) Pada daun jambu biji mengandung resin, fat, cellulose, tannin, questrin, flavonoid, volatile oil, chlorophyll, garam mineral, juga minyak esensial : α-pinene, β-pinene,limonene, menthol, terpenyl acetate, isopropyl alcohol, longicyclene, caryophyllene, β-bisabolene, caryophyllene oxide, β-caponene, farnesene, humulen., selinene, cardinene, curcumene, nerolidiol, β-sitosterol, ursolic, crategolic, guayavolic acid.
2.11.2.Aktifitas Antibakterial Ekstrak Psidium Guajava pada uji in vitro mempunyai efek sebagai antimikrob terhadap E.coli, Salmonella typhi, Staphylococcus aureus, Proteus Mirabilis, Shigella dysenteria. Daun jambu biji kaya akan tannin dan mempunyai efek antiseptik. Dilaporkan bahwa daun jambu biji mempunyai aksi antimikroba yang kuat terhadap Sarcina lutea, Staphylococcus aures, Mycobacterium phlei. Ada 4 kandungan antibakterial yang diisolasi dari daun jambu biji, 2 jenis flavonoid : guaijavarin dan quercetin dan 2 flavonoid glycosides : morin-3-O-α-Llyxopyranoside,
morin-3-O-α-arabopyranoside
.
MIC
(Minimum
inhibition
concentration) dari morin-3-O-α-L-lyxopyranoside, morin-3-O-α-arabopyranoside adalah 200 microg/ml terhadap Salmonella enteriditidis dan 250 microg/ml dan 300
Universitas Sumatera Utara
microg/ml terhadap Bacillus cereus. Pada batang pohon jambu biji kaya akan tannin. (Egharevba, 2010), (Lutterodt GD dkk, 1999), (Jaiarj P dkk, 1999), (Sanda KA dkk, 2011) (Arima H dkk, 2002)
2.11.3.Anti Diare (Sindermsuk dkk,1999), (Salgado, 2006) melaporkan penggunaan daun jambu biji sebagai anti diare pada study yang menggunakan 12 spesies patogen : Vibrio (2 species), Shigella (4 species), Salmonella (5 species) dan enteropathogenic E.coli, semua bakteri ini diinhibisi dengan 20 mg/dl ekstrak daun jambu biji yang dihangatkan dibandingkan dengan 100 mg/ml ekstrak buah mangosteen (Garcinia mangostana L). (Zhang WJ dkk, 2003) meneliti efek quercetin yang diekstrak dari Psidium guajava L. sebagai anti diare pada hewan percobaan guinea pig, tikus. Didapatkan hasil quercetin menginhibisi kontraksi ileum guinea pig pada percobaan in vitro dan menginhibisi gerakan peristaltic usus halus tikus dan menurunkan permeabilitas kapiler abdominal.
2.11.4. Anti Viral Senyawa tannin yang terdapat dalam daun jambu biji tenyata mempunyai efek inhibisi enzim reverse transcriptase dari virus RNA (Kakiuchi N dkk, 1985). (Sanzhez dkk, 2000) meneliti efek flavonoid terhadap virus dengue. Flavonoid diekstrak dari tanaman Mexico
Tephrosia madrensis, Tephrosia viridiflora &
Tephrosia crassifolia. Ekstrak flavonoid glabranine & 7-O-methyl-glabranine menginhibisi 70 % virus dengue pada konsentrasi 25 micro M.
2.11.5.Hepatoprotektif (Roy CK dkk, 2006) melakukan penelitian dengan menggunakan ekstrak daun jambu biji dengan dosis 250 & 500 mg secara bermakna menurunkan kadar serum aspartate transaminase, alanine transaminase, alkaline phosphatase, bilirubin pada pasien gagal hati akut yang diinduksi keracunan carbon tetrachloride, paracetamol atau thiocetamide juga kerusakan hati kronis yang diinduksi carbon tetrachloride.
Universitas Sumatera Utara