BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Batasan Konsep 1. Tindakan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) mengartikan kata ‘tindakan’ yang berasal dari kata dasar ‘tindak’ yang berarti langkah atau perbuatan dengan ‘sesuatu yang dilakukan atau perbuatan’ atau ‘dilaksanakan untuk mengatasi sesuatu.’ Cambridge Dictionaries (2016) mengartikan tindakan atau action (doing something) sebagai, “the process of doing something, especially when dealing with a problem or difficulty” Sementara Oxford Dictionaries (2016) mengartikan action sebagai, “The fact or process of doing something, typically to achieve an aim”. Soerjono Soekanto dalam Kamus Sosiologi (1983: 46) mengartikan tindakan sebagai suatu tingkah laku yang menyangkut atau berkaitan dengan pihak lain. Disisi lain Weber seperti yang dikutip oleh Ritzer (2012: 214) menuturkan bahwa suatu tindakan jelas-jelas melibatkan campur tangan atas proses pemikiran (dan tindakan bermakna yang dihasilkan di antara kejadian suatu stimulus serta respons terakhir, tindakan dikatakan terjadi bila para individu melekatkan makna-makna subjektif kepada tindakan mereka). Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan yaitu suatu proses perbuatan yang dilakukan dengan tujuan tertentu maupun untuk mengatasi hal-hal tertentu.
7
2. Menjajakan Diri Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) ‘menjajakan’ berasal dari kata dasar ‘jaja/ berjaja’ yang berarti
pergi berkeliling
membawa dan menawarkan barang dagangan (supaya dibeli orang). Sementara menjajakan berarti menjual barang dagangan (dengan dibawa berkeliling). Dalam konteks penelitian ini ‘menjajakan diri’ dapat diartikan pula dengan ‘menjual diri sendiri’ atau ‘melacurkan diri’. Menjajakan diri merujuk pada pengertian dimana seseorang dengan secara sengaja melakukan aktivitas menjual diri untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu dalam hal ini terkait dengan kegiatan seksual dengan orang lain/ pasangan yang tidak sah dengan imbalan yang telah ditentukan. Peneliti mengartikan menjajakan diri sebagai praktek prostitusi/ pelacuran dimana si pelaku prostitute bersedia dengan sadar untuk melakukan aktivitas seksual dengan orang lain yang bersedia untuk membayarnya. 3. Mantan Pekerja Seks Komersial World Health Organization (WHO) mendefinisikan pekerja seks komersial sebagai, “Sex workers are women, men and transgendered people who receive money or goods in exchange for sexual services, and who consciously define those activities as income generating even if they do not consider sex work as their occupation. The words “women”, “men” and “people” in this document include sexually active adolescents” (Cheryl, 2002). University of Exeter dalam ‘Sex ork and Sexual Exploitation in the European Union’ menguraikan mengenai pekerja seks komersial, ‘The term 'prostitute' is generally considered to refer to a woman over the age of consent who willingly exchanges sexual services for money. The name, however, encompasses much more. According to some, all forms of engagement in the sex industry, be it as a lap dancer, a pornographic actor(ess), or a 'call girl' equal prostitution. Thus 'Sex Worker' refers to the group of
8
people, female, transgender, male, under-age, immigrant, native, etc who actively choose to exchange sexual services for money or payment in kind.” Mukherji dan Hantrakull (dalam Rera, 2009) mengemukakan bahwa seorang perempuan yang menjual dirinya untuk kepentingan seks kepada beberapa pria dapat disebut juga sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK). Harcourt dan Donovan menyusun daftar panjang dari berbagai jenis layanan seksual yang dilakukan oleh pekerja seks di seluruh dunia. Dari daftar ini mereka dikelompokkan jenis layanan seksual menjadi dua kategori; pekerja seks langsung dan tidak langsung. Pekerja seks langsung mengacu pada layanan, seperti pelacuran indoor dan outdoor serta layanan escort. Jenis pekerjaan seks biasanya melibatkan pertukaran seks dengan biaya di mana umumnya disertai kontak kelamin (UCL Institute of Health Equity, 2014). Sementara itu mantan pekerja seks komersial dapat diartikan sebagai mantan pelaku prostitusi baik langsung atau tidak langsung yang tidak lagi melakukan praktek-praktek prostitusi dengan imbalan tertentu akibat terjaring razia atau menyerahkan diri kepada pihak-pihak tertentu seperti contohnya Satpol PP, Kepolisian maupun pada balai-balai rehabilitasi sosial. Di dalam penelitian ini yang dimaksud seorang mantan pekerja seks komersial dapat juga disebut dengan eks wanita tuna susila, dimana yang bersangkutan sudah tidak lagi menjalani profesi sebagai pekerja seks komersial dan tengah menjalani rehabilitasi sosial.
4. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) World Health Organization (WHO) dalam World Report on Violence and Health, mendefinisikan kekerasan sebagai, “the intentional use of physical force or power, threatened or actual, against oneself, another person, or against a group or community, that either results in or has a high likelihood of resulting in injury, death, psychological harm, maldevelopment or deprivation” (Krug, 2002). 9
Mansour Fakih (1996: 17) mendefinisikan kekerasan (violence) sebagai serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Walter Miller dalam Thomas (2002: 11-13) mengartikan kekerasan sebagai istilah yang mengandung makna kehinaan atau kekejian yang sangat kuat serta diberlakukan dengan sedikit diskriminasi pada berbagai hal yang tidak disetujui secara umum. Istilah kekerasan digunakan juga untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive), yang disertai penggunaan kekuataan kepada orang lain. Sementara itu perilaku kekerasan atau agresi menurut Stephan & Stephan mengandung maksud menjadikan orang lain menderita dan adanya penolakan secara hukum maupun norma terhadap perilaku tersebut. Lebih lanjut, pengertian yang lebih luas diajukan oleh Galtung dimana kekerasan didefinisikan sebagai “any avoidable impediment to self-realization” atau dengan kata lain kekerasan merupakan segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar (As’ad, M, 2000). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan merupakan suatu perilaku ancaman fisik maupun dengan kekuasaan yang dimiliki terhadap seseorang maupun kelompok lain sehingga mengakibatkan cedera fisik atau psikologis serta menyebabkan orang lain merasa terhalang dalam mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. Mansour Fakih (1996: 17-20) mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender ini disebut gender-related violence yang pada dasarnya disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Banyak macam dan bentuk kejahatan gender diantaranya:
10
a. Bentuk
pemerkosaan
pemerkosaan
dalam
terhadap perkawinan.
perempuan, Perkosaan
termasuk terjadi
jika
seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidakrelaan ini seringkali tidak bisa terekspresikan disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya ketakutan, malu, keterpaksaan baik ekonomi, sosial maupun kultural, tidak ada pilihan lain. b. Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence). Termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse). c. Bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital mutilation). d. Kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan
bentuk
kekerasan
terhadap
perempuan
yang
diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. e. Kekerasan dalam bentuk pornografi. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan non fisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan di mana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang. f. Kekerasan dalam bentuk pemaksaaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana (enforced steriliztion). g. Jenis kekerasan terselubung (molestation), yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. h. Tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan dimasyarakat yakni yang dikenal dengan pelecehan seksual atau sexual and emotional harassement. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap
11
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sementara itu dalam pasal 2 dijelaskan bahwa lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang tersebut meliputi: a. suami, isteri, dan anak b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Aroma Elmina (2012: 2-3) mengungkapkan bahwa kekerasan terhadap perempuan biasanya terjadi dalam ruang lingkup rumah tangga. Tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) memiliki kekhususan yang ditunjukkan dengan tipologi pelaku dan korban yang sama dengan frekuensi jumlah tindak pidana kekerasan yang terjadi bukan hanya satu kali dilakukan namun berulang-ulang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan perbuatan penganiayaan, kekerasan baik berupa fisik, psikologis/ mental, maupun seksual, pemaksaaan maupun perampasan kemerdekaan terutama terhadap kaum perempuan dalam lingkup rumah tangga dimana hal tersebut dilakukan terjadi secara berulang-ulang sehingga menyebabkan kerugian serta kesengsaraan.
12
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara: a. Kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. b. kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang. c. kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/ atau tujuan tertentu. d. penelantaran rumah tangga yaitu tindakan yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/ atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Menurut Hasbianto seperti yang dikuti dalam penelitian berjudul Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Keluarga pada Masyarakat Minangkabau Kontemporer oleh Dra. Fachrina, Msi dan Dra. Nini Anggraini, M. Pd pada tahun 2007 disebutkan bahwa secara umum terdapat empat macam Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yaitu: 1. Kekerasan fisik dapat
berupa memukul/
menampar,
meludahi,
menjambak, menendang, menyundut rokok, memukul/ melukai dengan barang/ senjata dan lain sebagainya. 2. Kekerasan ekonomi seperti tidak memberi uang belanja, memakai atau menghabiskan uang istri
13
3. Kekerasan emosional dalam bentuk perilaku mencela, menghina, mengejek dan berbicara kasar serta mengancam/ menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak atau mengisolir istri dari dunia luar. 4. Kekerasan seksual seperti memaksa melakukan hubungan seksual atau tidak memperhatikan kepuasaan istri. Balai Rehabilitasi Sosial “Wanita Utama” Surakarta pada tahun 2015 menangani sejumlah 135 orang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PKMS) mantan pekerja seks komersial
dengan berbagai latar
belakang permasalahan. Namun, penulis mengidentifikasi lima orang mantan pekerja seks komersial yang pernah mengalami tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) baik berupa kekerasan fisik, kekerasan mental/ psikologis serta kekerasan ekonomi sehingga mendorong mereka melakukan tindakan menjajakan diri baik akibat trauma fisik maupun psikologis. Umumnya praktek-praktek kekerasan yang mereka alami dilakukan oleh suami dan mantan suami sehingga menimbulkan kerugiankerugian pada pihak istri atau dalam hal ini mantan pekerja seks komersial yang bersangkutan. B.
Penelitian Terdahulu Pencantuman hasil penelitian terdahulu yang sejenis dilakukan sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian-penelitian lanjutan. Di bawah ini merupakan bentuk penelitian sejenis yang dirangkum oleh peneliti sehingga dapat menjadi acuan maupun pertimbangan yaitu: 1.
Penelitian pertama berjudul “Understanding Experiences of Female Survivors of Domestic Violence: Stories of Strength, Resilience, and Mechanisms That Assist in Leaving Violent Relationships” (2014) oleh Annel Cordero. Penelitian ini membahas mengenai praktek Kekerasan Dalam Rumah Tangga (domestic violence) yang dapat terjadi pada perempuan dari segala usia, etnis, kebangsaan, dan dari semua lapisan masyarakat baik miskin ataupun kaya, menunjukkan bagaimana luasnya fenomena ini serta menjelaskan efek buruk dari hal tersebut bagi
14
seorang individu atau pun masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih baik dari cerita perempuan dan mekanisme yang membantu perempuan dalam meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan dengan mendapatkan gambaran lengkap dari hubungan mereka dari awal sampai akhir. Tiga belas perempuan dari berbagai etnis, status sosial ekonomi (SES) dan latar belakang pendidikan, dan usia (19-65 tahun) yang diidentifikasi sebagai korban domestic violence dan tidak lagi berada dalam suatu hubungan yang penuh kekerasan berpartisipasi dalam penelitian ini. Penelitian berlangsung di dua negara bagian dan terdiri dari dua tahap: (a) tatap muka wawancara dan (b) kelompok fokus di setiap lokasi. Temuan dari penelitian ini didukung dengan enam tema utama dan beberapa subtema dan kategori masing-masing. Selama hubungan terjadi para perempuan mengungkapkan bagaimana penyalahgunaan meningkat dari waktu ke waktu, interaksi kerentanan dengan karakteristik pelaku kekerasan, dan cara-cara
bagaimana
mereka
dapat
selamat.
Selama
proses
meninggalkan, dijelaskan pula mengenai kekuatan, hambatan, dan caracara mengatasinya. Setelah meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan para korban menggambarkan
bagaimana pentingnya
membuat makna mengenai pengalaman mereka, faktor-faktor yang membantu mereka untuk bisa keluar serta kemampuan mereka untuk menciptakan kehidupan mereka kembali. Selain itu peran norma masyarakat/ latar belakang budaya, agama, dan spiritualitas dalam hidup mereka juga diungkap. Pada bagian akhir penelitian ini terdapat rekomendasi dari para korban yang dicatat menggunakan kata-kata para korban
sendiri,
kemudian
temuan
disajikan
bersama
dengan
kemungkinan implikasi dan saran untuk penelitian selanjutnya. Relevansi penelitian di atas dengan tema penelitian ini adalah keduanya sama-sama mencoba mendeskripsikan secara kualitatif mengenai cerita, kisah serta perjalanan para korban kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di wilayah tertentu mengenai bagaimana hal
15
tersebut dapat terjadi kepada mereka. Penelitian di atas mencoba mengungkap pula bagaimana perempuan korban kekerasan dapat keluar dari situasi yang merugikan tersebut serta mencoba melakukan berbagai perlawanan, sementara dalam penelitian ini lebih berfokus pada bagaimana trauma-trauma tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat memberikan dorongan pada mantan pekerja seks komersial untuk menjajakan diri. 2.
Penelitian kedua dengan judul “How Domestic Violence Impact Female Victims and Their Children” (2009) oleh Affiong S. Oduok mencoba melakukan tinjauan historis, teoritis, dan penelitian terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimana korban dipengaruhi oleh kekerasan. Kekerasan dalam rumah tangga didefinisikan sebagai serangkaian perilaku mulai dari pelecehan verbal, ancaman dan intimidasi, perilaku manipulatif, penyerangan fisik dan seksual, pemerkosaan dan bahkan pembunuhan. Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan wawasan pada korban perempuan dan anak-anak mereka, bagaimana mereka dipengaruhi dan sumber daya apa yang ada untuk mereka. Penelitian ini juga menjelaskan mengenai programprogram serta memberikan wawasan tentang perempuan dan anak-anak yang terkena ‘wabah’ ini dengan berinteraksi dengan orang-orang yang berurusan
dengan
kekerasan
setiap
hari.
Penelitian
juga
merekomendasikan perbaikan untuk tempat penampungan agar bisa lebih mengakomodasi korban perempuan dan anak-anak mereka karena seperti yang diketahui kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah yang mempengaruhi jutaan orang dan tidak boleh diabaikan. Peneliti juga menjadikan penelitian diatas sebagai acuan karena dalam penelitian ini juga dibahas mengenai bangaimana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) lebih banyak terjadi pada perempuan sebagaimana diungkapkan dengan kata ‘wabah’. Jutaan perempuan mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan hal tersebut juga mempengaruhi masa depan anak-anak mereka, sehingga peneliti
16
merasa perlu menjadikan penelitian tersebut sebagai referensi yang lain dengan tujuan agar dapat mempelajari lebih dalam mengenai bagaimana tinjuan historis dan teoritis mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dialami oleh lebih banyak kaum perempuan. Kaitan lainnya adalah dalam penelitian tersebut juga dijelaskan mengenai akomodasi yang diberikan kepada para perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan anak-anak mereka. Di dalam
penelitian ini peneliti
juga
berfokus pada
bagaimana
menghilangkan trauma para korban kekerasan dan bagaimana memenuhi kebutuhan mereka dengan lebih baik di suatu balai rehabilitasi. Meskipun dalam penelitian ini peneliti tidak serupa dengan penelitian tersebut diatas yang juga memaparkan mengenai programprogram tertentu terkait dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), karena peneliti dalam penelitian ini fokus pada bagaimana para perempuan korban kekerasan dapat memilih untuk menjajakan diri lalu menjadi mantan pekerja seks komersial
dengan alasan-alasan
seperti menunjukkan kekuatan serta keberanian pada pelaku kekerasan, balas dendam, sakit hati atau lain sebagainya. 3.
Penelitian selanjutnya yaitu “Domestic Abuse by Male Alcohol and Drug Addicts“ oleh Larry W. Bennett (1994). Enam puluh tiga laki-laki rawat inap alkohol dan obat pecandu serta 34 mitra perempuan mereka berpartisipasi dalam studi variabel yang terkait dengan kekerasan fisik dan non fisik pada perempuan. Penelitian ini mencoba mengungkapkan bagaimana kecanduan pada narkotika dan alkohol merupakan salah satu penyebab terjadinya kekerasan-kekerasan dalam rumah tangga. Sebagaimana dalam penelitian ini dimana latar belakang sebagai pecandu serta konsumen alkohol adalah alasan pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada mantan pekerja seks komersial berdasarkan studi kasus yang telah dilakukan di Balai Rehabilitasi Sosial “Wanita Utama” Surakarta.
17
4.
Penelitian terakhir berjudul “Kekerasan terhadap Perempuan dalam Masyarakat Minangkabau Kontemporer” Oleh Dra. Nini Anggraini, M.Pd Dra. Fachrina, Msi (2007). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga, dalam hal ini tindakan kekerasan suami kepada istri ditemui terjadi dalam masyarakat Minangkabau kontemporer dalam berbagai bentuk. Dari 30 orang responden diperoleh data sebanyak 33,33% mengalami KDRT secara fisik dalam bentuk prilaku dipukul, dicekek, ditampar, dijambak, dipotong rambutnya dan didorong sampai jatuh serta ditendang. Bentuk KDRT yang kedua yaitu secara psikologis (emosional), seperti dimarahi, dibentak dengan kata-kata kasar, diejek/ dihina, diancam dan diusir, dialami oleh 70% responden. Selanjutnya 46,67% mengalami KDRT secara ekonomi dalam bentuk tidak diberi uang belanja dan menghabiskan uang istri, sedangkan bentuk KDRT yang terakhir adalah melakukan hubungan suami istri tanpa persetujuan istri dan tanpa memperhatikan kepuasan pihak istri hanya ditemui sebanyak 10%, meskipun kekerasan seksual ini pada umumnya tidak dinyatakan oleh responden penelitian sebagai tindakan kekerasan. Mayoritas responden yang mengalami KDRT secara fisik (70%), emosional dan ekonomi masing-masing 57,14% serta seksual (66,66%) memilih sikap diam/ pasrah saja, meskipun hampir keseluruhan responden menyatakan bahwa tindakan KDRT tersebut merupakan tindakan yang tidak wajar. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindakan KDRT terhadap istri secara umum ditemui bervariasi. Mulai dari karena emosional atau kesal terhadap perilaku istri, tidak patuh kepada suami, pertengkaran karena masalah anak, ekonomi, tidak beres mengurus rumah tangga sampai karena faktor cemburu. Relevansi penelitian di atas dengan penelitian yang hendak peneliti lakukan ini adalah mengenai penyebab dari terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan mengenai pandangan bahwa lebih banyak kaum perempuan dibandingkan dengan laki-laki yang mengalami Kekerasan
18
Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang juga menjadi topik dari penelitian ini. Meskipun terdapat berbedaan dimana penelitian di atas dilakukan pada masyarakat Minangkabau sementara penelitian ini dilakukan di Balai Rehabilitasi Sosial “Wanita Utama” Surakarta yang merupakan UPTD Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah.
C.
Landasan Teori Penelitian ini menggunakan Teori Tindakan Sosial yang dicetuskan oleh Max Weber. Weber dalam Ritzer (2012: 215-216) menyebut teori tindakan berfokus pada para individu, pola-pola dan regularitas-regularitas tindakan dan bukan pada kolektivitas. “Tindakan di dalam arti orientasi perilaku yang dapat dipahami secara subjektif, ada hanya sebagai perilaku seorang atau lebih manusia individual”. Lebih lanjut, Weber menggunakan metodologi tipe-idealnya untuk menjelaskan makna tindakan dengan memperkenalkan empat tipe dasar tindakan. Yang paling penting ialah pembedaan yang dilakukan Weber di antara dua tipe tindakan rasional. Yang pertama ialah rasionalitas alattujuan, atau tindakan yang “ditentukan oleh pengharapan-pengharapan mengenai perilaku objek-objek di dalam lingkungan dan perilaku manusia lainnya: pengharapan-pengharapan itu digunakan sebagai ‘kondisi-kondisi’ atau ‘alat-alat’ untuk pencapaian tujuan-tujuan sang aktor sendiri yang dikejar dan diperhitungkan secara rasional.” Kedua adalah rasionalitas nilai, atau tindakan yang “ditentukan oleh kepercayaan yang sadar akan nilai tersendiri suatu bentuk perilaku yang etis, estetis, religius, atau bentuk lainnya, terlepas dari prospek-prospek keberhasilannya.” Tindakan afektual (yang tidak banyak diperhatikan Weber) ditentukan oleh tindakan emosional sang aktor. Tindakan tradisional (yang jauh lebih banyak diperhatikan Weber) ditentukan oleh cara-cara berperilaku sang aktor yang biasa dan lazim. Weber memperjelas bahwa keempat tipe tindakan itu adalah tipe ideal dan secara empiris campuran dari satu atau lebih tipe tindakan itu mungkin terjadi.
19
Tindakan subjektif dibedakan dari perilaku karena melibatkan maksud atau pamrih. Teori tindakan adalah analisis tindakan yang dimulai dari aktor individual. Analisis dilakukan dalam hal aktor tertentu pada situasi tertentu dengan mengindentifikasikan tujuan, harapan dan nilai si aktor: sarana untuk mencapai tujuan itu: sifat situasi dan pengetahuan aktor terhadap situasi: diantara elemen-elemen lain (Turner dkk, 2010: 3).
D.
Kerangka Berpikir Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) mengakibatkan berbagai trauma psikologis dan fisik pada para korban dalam hal ini perempuan mantan pekerja seks komersial. Tidak jarang pula KDRT membawa konsekuensi perpisahan atau perceraian. Salah satu dari banyak dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah trauma mendalam yang dialami oleh lebih banyak korban perempuan dibanding dengan laki-laki. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) baik yang bersifat kekerasan fisik, psikologis maupun ekonomi pada mantan pekerja seks komersial sebelum mereka menjalani rehabilitasi sosial di Balai Rehabilitasi Sosial “Wanita Utama” Surakarta menimbulkan dorongandorongan pada korban untuk melakukan tindakan menjajakan diri. Tindakan menjajakan diri yang dilakukan oleh para korban didasari oleh trauma-trauma kekerasan baik yang bersifat psikologis maupun fisik. Tindakan menjajakan diri pada korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam hal ini mantan pekerja seks komersial dapat digolongkan ke dalam tipe tindakan rasional alat-tujuan serta tipe tindakan afektual sebagaimana yang telah dikelompokkan oleh Weber. Tindakan menjajakan diri pada mantan Pekerja Seks Komersial korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebelum mengikuti rehabilitasi sosial digolongkan sebagai tindakan rasional alat-tujuan karena dalam hal ini korban menggunakan tubuh mereka untuk mencapai tujuantujuan tertentu sementara tindakan menjajakan diri dapat digolongkan ke
20
dalam tindakan afektual karena dalam menjajakan diri para mantan pekerja seks komersial korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tersebut melibatkan emosi-emosi (afektif) tertentu sebagai konsekuensi akibat menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Uraian dari kerangka berpikir diatas dapat digambarkan sebagai berikut: Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan Fisik
Kekerasan Ekonomi
Kekerasan Psikologis
Menyebabkan korban depresi, trauma, sakit hati, dendam atau penurunan perekonomian keluarga
Korban Terdorong Melakukan Tindakan Menjajakan Diri
Rasionalitas Alat-Tujuan
Tindakan Afektual Bagan 2.1 Skema Kerangka Berpikir
21