BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa tumbuhan dan binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Bahan demikian berada dalam proses pelapukan aktif dan menjadi mangsa serangan jasad mikro. Sebagai akibatnya, bahan itu berubah terus dan tidak mantap dan selalu harus diperbaharui melalui penambahan sisa-sisa tanaman atau binatang (Soepardi, 1983). Komponen organik tanah berasal dari biomassa yang mencirikan suatu tanah yang aktif.
Komponen organik yang tidak hidup terbentuk melalui
pelapukan kimia dan biologi, terutama dari bahan tanaman (Tan, 1982). Bahan organik tanah persentasenya relatif kecil dibandingkan dengan komponen penyusun yang lain, namun demikian fungsinya melebihi komponen yang lain. Bahan organik tanah memiliki peran dan fungsi yang sangat vital di dalam tanah, ia berperan sangat penting dalam mempengaruhi ketiga sifat tanah. Terhadap sifat fisik tanah bahan organik tanah berperan penting dalam proses pembentukan dan mempertahankan kestabilan struktur tanah serta meningkatkan daya memegang air tanah (Iswaran, 1980). Bahan organik tanah juga memberikan warna pada tanah, mengurangi plastisitas dan kohesi tanah. Terhadap sifat kimia, bahan oraganik tanah berperan dalam meningkatkan KTK tanah, meningkatkan daya sangga tanah, sebagai unsur hara tanaman terutama N, P, S dan unsur mikro, mampu mengikat atau menetralkan senyawa atau unsur yang beracun, membentuk dan melarutkan hara dari mineral-mineral tanah sehingga tersedia bagi tanaman. Bahan organik tanah merupakan sumber energi bagi kehidupan di dalam tanah, dan bahan organik tanah merupakan bagian dari sifat biologi tanah itu sendiri yang merupakan jiwa bagi tanah (Djajakirana, 2002). Bahan organik tanah akan mengalami degradasi dan dekomposisi, baik sebagian maupun keseluruhan, baik secara kimia, fisika dan biologi di dalam tanah.
Dekomposisi dapat didefinisikan sebagai proses biokimia yang di
dalamnya
terdapat
bermacam-macam
kelompok
mikroorganisme
yang
menghancurkan bahan organik ke dalam bentuk humus (Soepardi, 1983).
2.1.1. Peranan Bahan Organik Tanah Peranan bahan organik tanah sangat penting bagi tumbuhan, bahan organik mengandung sejumlah zat tumbuh dan vitamin dimana pada waktu-waktu tertentu dapat merangsang pertumbuhan tanaman dan jazad mikro. Bahan organik tanah juga berpengaruh terhadap ciri tanah. Peranan terhadap sifat fisik antara lain : 1. Kemampuan tanah menahan air meningkat 2. Warna tanah menjadi coklat sampai hitam 3. Merangsang granulasi agregat dan memantapkannya 4. Menurunkan plastisitas, kohesi, dan sifat buruk lainnya dari liat Peranan terhadap ciri kimia antara lain : 1. Meningkatkan daya jerap dan kapasitas tukar kation 2. Meningkatkan jumlah kation yang dapat dipertukarkan 3. Unsur N, P, dan S diikat dalam bentuk organik 4. Pelarutan sejumlah unsur hara dari mineral oleh asam humat Peranan terhadap ciri biologi antara lain : 1. Jumlah dan aktivitas metabolik organisme tanah meningkat 2. Kegiatan jazad mikro dalam dekomposisi bahan organik meningkat
2.1.2. Bentuk-bentuk Bahan Organik Tanah 1. Bahan organik bebas (belum terlapuk) Bahan organik bebas merupakan bahan organik yang belum melapuk atau belum terdekomposisi. Bahan organik dalam bentuk bebas memiliki peranan dalam fisika tanah antara lain sebagai penutup tanah untuk melindungi tanah
terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, melindungi tanah dari daya perusak aliran permukaan. 2. Bahan organik berikatan dengan liat Mineral liat dan bahan organik saling berinteraksi membentuk kompleks liat organik di dalam tanah.
Tidak hanya senyawa-senyawa seperti protein,
karbohidarat, selulosa, dan hemiselulosa tetapi juga fraksi humus dapat berinteraksi dengan mineral liat, akibatnya menjadi kurang tersedia bagi mikroorganisme (Kononova, 1966). Ikatan liat dan bahan organik dapat terjadi dalam keadaan saat liat dan bahan organik bermuatan negatif maupun positif.
Pada kondisi biasa, liat
memperoleh muatan negatif dan pada kondisi tertentu permukaan tepi liat yang patah memperoleh muatan positif, sama halnya dengan bahan organik pada kondisi biasa bermuatan negatif (Tan, 1992). 3. Bahan organik berikatan dengan seskuioksida Bahan organik di dalam tanah mempuyai peranan membentuk kompleks dengan ion-ion logam, terutama Al dan Fe. Kompleks bahan organik dengan Al dan Fe disebut khelat (Stevenson, 1982). Pengkhelatan tersebut secara efektif akan
menurunkan
aktifitas
ion-ion
logam
dan
secara
tidak
langsung
mempengaruhi kelarutan mineral yang mengandung unsur tersebut. Senyawasenyawa Fe dan Al biasanya tidak dapat larut pada kisaran pH tanah yang normal. Namun, kelarutan dari zat-zat ini dapat ditingkatkan dengan pembentukan kompleks atau pengkhelatan Fe dan Al oleh senyawa humat tanah (Tan, 1992).
2.1.3. Metode Penetapan C-organik Karbon organik terkandung di dalam fraksi tanah organik, terdiri dari selsel mikroorganisme, tanaman dan sisa-sisa hewan pada beberapa tahap dekomposisi, humus dan yang tertinggi senyawa karbon terdapat di arang, grafit dan batubara. C-organik di dalam tanah mungkin dapat diperkirakan dengan perbedaan diantara C-total dan C-inorganik. C-organik dapat ditetapkan langsung pada prosedur C-total setelah pemisahan C-inorganik atau pada tehnik aliran
oksidasi titrasi dikromat. Prosedur meliputi analisis C-total, biasanya meliputi semua bentuk C-organik di dalam tanah, sedangkan prosedur oksidasi dikromat meliputi perubahan bagian elemental C, dan dalam beberapa prosedur, melihat perubahan jumlah C-organik yang terkandung di dalam humus (Nelson dan Sommer, 1982). Metode yang biasa dipakai untuk penentuan C-Organik adalah metode Walkley and Black. Metode ini dipakai karena dianggap sederhana, cepat, mudah dikerjakan dan membutuhkan sedikit peralatan. Tetapi bagaimanapun metode aliran K2Cr2O7 (metode Walkley and Black) memiliki beberapa kelemahan, yaitu adanya gangguan unsur tanah lain seperti Cl-, Fe2+, dan MnO2 (Nelson dan Sommer, 1982). Analisis kandungan C-organik tanah untuk melihat sifat tanah secara lebih rinci tentunya membutuhkan biaya yang lebih besar dan resiko yang lebih tinggi, mengingat mahal dan berbahayanya kalium dichromat (K2Cr2O7). Menurut Sholichah (2006), kesulitan ini bisa diatasi dengan menggunakan data kehilangan bobot tanah untuk pendugaan kandungan C-organik dalam tanah. Berdasarkan hasil penelitian pengukuran kandungan C-organik tanah dengan menggunakan metode Walkley and Black, CHNS Analyser dan DTA (Diferential Thermal Analysis) dan meregresikan hasil pengukuran kandungan C-organik dari ketiga metode tersebut, maka diperoleh hasil korelasi yang baik.
Hal ini
menunjukan bahwa kehilangan bobot tanah dapat digunakan untuk menduga kandungan C-organik dalam tanah.
2.2. Tanah Andosol Andosol di Indonesia berkembang dan tersebar pada daerah dengan curah hujan tahunan rata-rata 2000 mm sampai 7000 mm dengan variasi temperatur antara 18 – 22
0
C. Tanah Andosol terbentuk dari bahan volkanik, seperti abu
volkan, lava atau bahan volkan klastik (Soepardi, 1983). Di Indonesia akumulasi bahan organik tinggi menyebabkan banyak Andosol di Indonesia mempunyai horizon A berwarna hitam. Persentasi karbon organik di tanah-tanah Andosol Indonesia berkisar antara 6% sampai 15%, tergantung dari letak tanahnya di dataran rendah atau lereng-lereng gunung.
Variasi dalam hal warna hitam
seharusnya memang ada mengingat Andosol di Indonesia meliputi daerah-daerah yang tidak seragam dalam hal iklim dan faktor-faktor pembentukan lainnya. Andisol mempunyai bobot isi rendah, kapasitas menahan air tinggi, dan porositas
tinggi,
tetapi
Andosol
juga
bersifat
memperlihatkan plastisitas dan stickness rendah.
gembur
(friable)
dan
Dalam keadaan basah atau
lembab, Andosol terasa berminyak (greasy) dan melumur (smeary). Di Indonesia diketahui apabila Andosol dikeringkan, perubahan yang jelas terlihat sekali terjadi dalam sifat-sifat fisiknya berupa gejala yang dinamakan mountain granulation (granulasi gunung). Dalam keadaan kering, tanahnya menjadi sangat halus dan memperoleh sifat-sifat debu halus. 2.2.1. Persoalan Dispersi Gejala sukar dibasahkan kembali memberikan banyak masalah dalam analisis tekstur tanah Andosol, karena tanah Andosol sukar didispersikan. Birrell (1964) dalam Tan (1984) berpendapat bahwa dispersi yang sukar umumnya disebabkan oleh (1) ZPC (Zero Point of Charge atau Titik Zero Muatan) dari liat amorf yang lebih tinggi dari ZPC liat kristalin, dan (2) kemampuan oksida-oksida hidrat
untuk
melakukan
reaksi
ko-presipitasi.
Calgon
atau
natrium
hexametafosfat, senyawa dispersi umum dalam analisis tekstur tanah, tidak berguna dalam hal mendispersikan tanah Andosol, bahkan senyawa kimia tersebut mempunyai afinitas tinggi sekali terhadap Al terbuka di permukaan alofan. Hal itu bisa memperbesar ko-presipitasi dengan menimbulkan flokulasi ujung dengan ujung agrerat. Kesulitan dalam mendispersikan tanah Andosol telah dicatat oleh banyak orang. Dahulu disarankan penggunaan HCl encer untuk dispersi. Davies (1933) dalam Maeda et al (1977) dalam Tan (1984) termasuk orang pertama yang mempelajari masalah ini dan merekomendasikan penggunaan HCl 0.002 N untuk mendispersikan tanah Andosol. Dilaporkan bahwa pH optimum untuk dispersi yang baik pada pH 2.5-3.5 dan agar mencapai dispersi total disarankan penggunaan ultrasonic dan pengaturan pH pada nilai 4 atau 10, tergantung jenis liat amorf.
2.3. Tanah Latosol Latosol di Indonesia tersebar luas di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Di Indonesia Latosol umumnya terdapat pada bahan induk volkanik. Latosol ditemukan dari permukaan air laut hingga ketinggian 900 m, di daerah iklim tropika basah dengan curah hujan antara 2500-7000 mm (Dudal dan Soepraptohardjo, 1957 dalam Hardjowigeno, 1993). Latosol terbentuk melalui proses latosolisasi yang terdiri atas tiga proses utama, yaitu pelapukan yang intensif dan kontinyu serta proses hidrolisis dari silika, pencucian basa-basa seperti kalsium, magnesium, kalium dan natrium yang mengakibatkan tertimbunnya seskuioksida pada horison B, dan pembentukan mineral liat kelompok kaolinit (Yogaswara, 1977).