BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Berdarah Dengue 1. Pengertian Beberapa pengertian DHF (Dengue Haemoragic Fever) menurut beberapa ahli : DHF adalah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi yang disertai
leucopenia,
limfadenopati,
dengan
atau
trombositopenia
tanpa ringan
ruam
(rash)
dan
dan
bintik-bintik
perdarahahan (petekie) spontan (Noer Sjaefullah, 2000).
Demam berdarah dengue adalah infeksi akut yang disebabkan oleh arbovirus (Arthropodhomvirus) dan Aedes Albopictus (Ngastiyah, 2005). Demam berdarah dengue adalah penyakit akut dengan ciriciri demam manifestasi perdarahan dan bertendensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian (Arif Mansjoer, 2000). Jadi demam berdarah dengue adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam disertai
gejala
perdarahan dan bila timbul
renjatan dapat
menyebabkan kematian. 2. Ciri-ciri Nyamuk Demam Berdarah Nyamuk pembawa atau penyebab penyakit demam berdarah adalah Aedes aegypti atau yang disebut nyamuk Dengue (Ngastiyah, 1997). Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah badan dan tungkainya bergaris-garis hitam putih, juga sayapnya terdapat bintik putih, gemar hidup ditempat-tempat yang gelap, jarak terbangnya kurang dari 100 meter, bersarang dan bertelur digenangan air jernih didalam dan disekitar rumah bukan di got atau comberan. Bahkan nyamuk ini sangat menyukai bak mandi, tampayan, vas bunga, tempat minum burung dan yang lainnya. Kebiasaan lainnya adalah suka hinggap
9
10
pada pakaian yang bergantungan dikamaran dan menggigit atau menghisap darah pada pagi dan sore hari. Dalam hidupnya, nyamuk ini mempunyai perilaku : mencari darah, istirahat dan berkembang biak. Disaat setelah kawin, nyamuk betina memerlukan darah untuk bertelur. Untuk itu nyamuk betina akan menghisap darah manusia setiap 2-3 hari sekali, selama pagi dan sore hari pada waktu-waktu tertentu (pukul 08.00-12.00 dan 15.00-17.00). Untuk mendapatkan cukup darah, nyamuk betina sering menggigit lebih dari satu orang dan mempunyai jarak terbang sekitar 100 meter (Indrawan, 2001). Setelah keyang menghisap darah, nyamuk betina memerlukan istirahat 2-3 hari untuk mematangkan telur. Tempat istirahat yang disukai adalah tempat-tempat lembab dan kurang terang (tertutup sinar matahari) seperti kamar mandi, dapur, WC, baju yang digantung didalam rumah, kelambu,tirai, dan tanaman hias diluar rumah. 3. Tanda dan Gejala DBD Tanda dan gejala pada penyakit demam berdarah diawali dengan : a. Mendadak panas tinggi selama 2-7 hari, tampak lemah dan lesu, suhu badan antara 380C-400C. b. Terjadi perdarahan pada hidung dan gusi c. Rasa sakit pada otot dan persendian, timbul bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah. d. Kadang-kadang disertai syok karena tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang, tekanan sistolik sampai 80 mmHg atau lebih rendah. e. Manifestasi perdarahan, dengan bentuk : uji tourniquet positif puspura
perdarahan,
konjungtifa,
epitaksis
melena,
dan
sebagainya. f. Gejala klinis lainnya yang dapat menyertai : anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit perut, diare, kejang dan sakit kepala.
11
4. Patofisiologi Virus Dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk terjadi viremia, yang ditandai dengan demam mendadak tanpa penyebab yang jelas disertai gejala lain seperti sakit kepala, mual, muntah, nyeri otot, pegal di seluruh tubuh, nafsu makan berkurang dan sakit perut, bintik-bintik merah pada kulit. Selain itu kelainan dapat terjadi pada sistem retikulo endotel atau seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Pelepasan zat anafilaktoksin, histamin dan serotonin serta aktivitas dari sistem kalikrein menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding kapiler/vaskuler sehingga cairan dari intravaskuler keluar ke ekstravaskuler atau terjadinya perembesaran plasma akibatnya terjadi pengurangan volume plasma yang terjadi hipovolemia, penurunan tekanan darah, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan. Selain itu sistem reikulo endotel bisa terganggu sehingga menyebabkan reaksi antigen anti body yang akhirnya bisa menyebabkan anaphylaxia.
Akibat lain dari virus dengue dalam peredaran darah akan menyebabkan depresi sumsum tulang sehingga akan terjadi trombositopenia yang berlanjut akan menyebabkan perdarahan karena gangguan trombosit dan kelainan koagulasi dan akhirnya sampai pada perdarahan kelenjar adrenalin.
Plasma merembas sejak permulaan demam dan mencapai puncaknya saat renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat, volume plasma dapat berkurang sampai 30% atau lebih. Bila renjatan hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan plasma yang tidak dengan segera diatasi maka akan terjadi anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Terjadinya renjatan ini biasanya pada hari ke-3 dan ke-7.
12
Reaksi lainnya yaitu terjadi perdarahan yang diakibatkan adanya gangguan pada hemostasis yang mencakup perubahan vaskuler, trombositopenia (trombosit < 100.000/mm3), menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protrombin, faktor V, IX, X dan fibrinogen). Pembekuan yang meluas pada intravaskuler (DIC) juga bisa terjadi saat renjatan. Perdarahan yang terjadi seperti petekie, ekimosis, purpura, epistaksis, perdarahan gusi, sampai perdarahan hebat pada traktus gastrointestinal. 5. Klasifikasi Demam Beradah Dengue (DBD) Berdasarkan patokan dari WHO (1999) DBD dibagi menjadi 4 derajat: 1. Derajat I Demam disertai gejala klinis lain tanpa perdarahan spontan, uji tourniquet (+) thrombocytopenia hemokonsentrasi. 2. Derajat II Derajat I dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau perdarahan lain. 3. Derajat III Ditemukan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah tekanan darah rendah, gelisah, sianosis mulut, hidung dan ujung jari. 4. Derajat IV Syok hebat dengan tekanan darah atau nadi tidak terdeteksi. (Ngastiyah, 1997). Dengue Syok Syndrome (DSS) Suluruh krtiteria diatas untuk DBD disertai dengan kegagalan sirkulasi dengan manifetasi nadi yang cepat dan halus, tekanan nadi turun (20≤ mmHg), hipotensi dibandingkan standart sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah. Penderita seringkali mengeluhkan nyeri didaerah perut sesaat sebelum renjatan timbul. Nyeri tersebut seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal.
13
6. Epidemiologi Demam Beradah Dengue (DBD) Istilah epidemiologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata “epi” yang berarti atas, pada, “demos” yang berarti
rakyat dan
“logos” yang berarti ilmu. Maka epidemiologi sebenarnya berarti: ”ilmu mengenai hal-hal yang terjadi pada rakyat”. Ruang lingkup epidemiologi yang semula mempelajari penyakit menular lambat laun
diperluas,
sehingga
epidemiologi
menjadi
ilmu
yang
mempelajari faktor-faktor yang menentukan frekuensi dan distribusi penyakit pada rakyat. Definisi epidemiologi lainnya ialah ilmu yang mempelajari tentang sifat, penyebab, pengendalian dan faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi dan distribusi penyakit, kecacatan dan kematian dalam populasi manusia. Epidemiologi juga meliputi pemberian ciri pada distribusi status kesehatan, penyakit atau kesehatan masyarakat lainnya berdasarkan usia, jenis kelamin, ras, geografi, agama, pendidikan, pekerjaan, perilaku, waktu, tempat, orang dan sebagainya (Soemirat, 2005).
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari pola kesehatan dan penyakit serta faktor yang terkait di tingkat populasi. Ini adalah model corestone penelitian kesehatan masyarakat, dan membantu menginformasikan kedokteran berbasis bukti (eveidence based medicine) untuk mengidentifikasikan faktor risiko penyakit serta menentukan pendekatan penanganan yang optimal untuk praktik klinik dan untuk kedokteran preventif (Yusuf, 2011). Soegijanto (2006) menyatakan bahwa epidemiologi DBD dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Agent Virus Dengue merupakan bagian dari famili Flafiridae dan termasuk dalam group B Arthropod born viruses (arboviruses). Keempat serotipe virus dengue (disebut DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN4) dapat dibedakan dengan metode serologi. Keempat
14
tipe virus tersebut telah ditemukan diberbagai daerah di Indonesia antara lain Jakarta danYogyakarta. Virus yang banyak berkembang dimasyarakat adalah virus dengue tipe satu dan tipe tiga. Infeksi pada manusia oleh salah satu serotipe menghasilkan imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang sama, tetapi hanya menjadi perlindungan sementara dan parsial terhadap serotipe yang lain (WHO. 2002). b. Vektor Aedes aegypti adalah spesies nyamuk tropis dan subtropis yang ditemukan di bumi, biasanya antara garis lintang 350 LU dan 350 LS, kira-kira berhubungan dengan musim dingin isoterm 100C. Meski Aedes aegypti telah ditemukan sejauh 450 LU, invasi ini telah terjadi selama musim hangat dan nyamuk tidak hidup pada musim dingin. Distribusi Aedes aegypti juga dibatasi oleh ketinggian. Ini biasanya tidak ditemukan diatas ketinggian 1.000 m tetapi telah dilaporkan pada ketinggian 2.121 m di India, pada 2.200 m di Kolombia, dimana suhu rerata tahunan adalah 170C, dan pada ketinggian 2.400 m di Eritrea. Aedes aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling efisien untuk arbovirus,
karena nyamuk ini sangat antropofilik dan hidup
dekat dengan manusia dan sering hidup di dalam rumah. Wabah dengue juga telah disertai dengan Aedes albopictus, Aedes poly nesiensis dan banyak spesies kompleks Aedes scutellaris. Setiap spesies ini mempunyai distribusi geografisnya masing-masing, namun mereka adalah vektor epidemik yang kurang efisien dibanding Aedes aegypti. Faktor penyulit pemusnahan vektor adalah bahwa telur-telur Aedes aegypti dapat bertahan dalam waktu lama terhadap desikasi (pengawetan dengan pengeringan), kadang selama lebih dari satu tahun (WHO, 2002). Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai warna
15
dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan, kaki dan sayapnya. Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna yaitu : telur – jentik – kepompong – nyamuk. Stadium telur, jentik dan kepompong hidup di dalam air. Telur nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam dengan ukuran + 0,80 mm. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu + 2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, stadium pupa (kepompong) berlangsung antara 2-4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa mencapai 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan. Kemampuan terbang nyamuk betina ratarata 40 meter, maksimal 100 m. Namun secara pasif, misalnya karena angin atau terbawa kendaraan nyamuk ini dapat berpindah lebih jauh. Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub tropis. Di Indonesia, nyamuk ini tersebar luas baik di rumah-rumah maupun di tempat umum (TTU). Nyamuk ini dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah + 1000 m dari permukaan air laut. Diatas ketinggian 1000 m tidak dapat berkembang biak, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk tersebut. c. Host Manusia adalah penjamu (host) pertama yang dikenai virus, meskipun studi telah menunjukkan bahwa monyet pada beberapa bagian dunia dapat terinfeksi dan mungkin bertindak sebagai sumber virus untuk nyamuk penggigit. Virus bersirkulasi dalam darah manusia terinfeksi pada kurang lebih saat dimana mereka mengalami demam, dan nyamuk tak terinfeksi mendapatkan virus bila mereka menggigit individu saat dia dalam keadaan viramia. Virus kemudian berkembang di dalam tubuh nyamuk selama periode 8-10 hari sebelum ini dapat ditularkan ke
16
manusia lain selama menggigit atau menghisap darah berikutnya. Lama waktu yang diperlukan untuk inkubasi ekstrinsik ini tergantung pada kondisi lingkungan khususnya suhu sekitar (WHO, 2002). d. Lingkungan 1) Suhu dan Kelembaban Udara. Nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah, tetapi proses metabolismenya menurun atau bahkan terhenti bila suhu turun sampai dibawah suhu kritis. Rata-rata suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25ºC - 27ºC, pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali bila suhu kurang
dari
10ºC.
Kelembaban
optimum
dalam
kehidupannya adalah 70% - 80%. Kelembaban dapat memperpanjang umur nyamuk. Umumnya nyamuk akan meletakkan telurnya pada temperatur udara sekitar 20ºC – 30ºC (Depkes RI, 2003). 2) Musim dan Curah Hujan Peningkatan curah hujan mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti, demikian pula pada musim
penghujan. Dikarenakan akan semakin banyak jumlah tempat penampungan air yang dapat digunakan sebagai tempat perindukan. Perubahan musim akan berpengaruh pada frekuensi gigitan nyamuk atau panjang umur nyamuk dan berpengaruh pula pada kebiasaan hidup manusia untuk lebih lama tinggal didalam rumah pada waktu musim hujan. 3) Sanitasi Lingkungan Sanitasi lingkungan mempengaruhi tempat perkembang biakan nyamuk Aedes aegypti terutama tempat-tempat penampungan air sebagai media breeding place nyamuk. Seperti bak mandi/WC, gentong, tempayan, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas dan lain-lain.
17
Tempat penampungan air yang berisi air jernih dan ada didalam rumah serta tidak terkena sinar matahari langsung adalah tempat yang disukai nyamuk. 4) Kepadatan dan Mobilitas Penduduk Kepadatan
dan
mobilitas
penduduk
ikut
menunjang
penularan DBD, semakin padat penduduk maka semakin mudah penularan DBD. Jarak antara rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari suatu rumah ke rumah lain, semakin dekat jarak antara makin mudah nyamuk menyebar kerumah sebelah. Mobilitas memudahkan penularan dari satu tempat ke tempat lain dan biasanya penyakit menjalar dimulai dari suatu pusat sumber penularan kemudian mengikuti lalu lintas penduduk. Makin ramai lalu lintas itu, makin besar kemungkinan penyebaran.
B. Perilaku Pencegahan 1. Pengertian Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktifitas organisme yang berkelanjutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktifitas manusia itu sendiri. Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung atau tidak langsung (Notoatmodjo, 2005). Perilaku atau aktivitas yang ada pada individu itu tidak timbul dengan sendirinya tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh individu yang bersangkutan baik stimulus eksternal maupun internal. Menutut Tridayakisni dan Hudaniah (2001) membatasi perilaku proposial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis.
18
Pencegahan
penyakit
menular
didefinisikan
sebagai
usaha
pemutusan rantai penularan penyakit. Pada penyakti DBD yang merupakan komponen epidemiologi adalah terdiri dari virus dengue, nyamuk Aedes aegypti dan manusia. Belum adanya vaksin untuk pencegahan penyakit DBD dan belum ada obat-obatan khusus untuk penyembuhannya maka pengendalian DBD tergantung pada pemberantasan nyamuk Aedes aegypti. Perilaku pencegahan adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh individu untuk memutuskan rantai penularan penyakit.
Perilaku proporsial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas
bagi
pelakunya
(Tridayakisni
dan
Hudaniah,
2001).
Sebagaimana diketahui bahwa perilaku yang ada pada individu tidak timbul dengan sendirinya melainkan sebagai akibat dari stimulus atau rangsang yang diterima oleh individu yang bersangkutan, baik stimulus eksternal maupun internal (Walgito, 2001).
Menurut Skinner (1938) dalam (Notoatmodjo, 2003) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). 2. Bentuk perilaku Bila dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003), yaitu : a. Perilaku tertutup (convert behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.
19
b. Perilaku terbuka (overt behavior) Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek yang demikian mudah diamati atau dilihat oleh orang lain.
Selanjutnya Bringham dalam Tridayakisni dan Hudaniah (2001) juga mengatakan bahwa perilaku proporsial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahterahan orang lain. Untuk terwujudnya suatu sikap menjadi perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi
yang
memungkinkan,
antara
lain
adalah
fasilitas
(Notoatmodjo, 2003). Tingkat-tingkat praktek tersebut adalah : 1. Persepsi (Perception), mengenal dan memilih objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil. 2. Respon terpimpin (Guided respons), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh. 3. Mekanisme
(Mecanism),
apabila
seseorang
telah
dapat
melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis. 4. Adaptasi (Adaptation), suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. 3. Faktor yang mempengaruhi perilaku Perilaku seseorang atau subjek dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor baik dari dalam maupun luar subjek. Dalam perilaku kesehatan menurut Green dalam Notoatmodjo (2003), terdapat 3 teori sebagai penyebab masalah kesehatan yaitu : a. Faktor Pendahulu (Predisposing factor) Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, pendidikan, lingkungan dan umur masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi. Faktor-faktor ini terutama yang positif mempermudah
20
terwujudnya perilaku, maka sering disebut faktor pemudah. b. Faktor pemungkin (Enabling factor) Faktor ini mencakup ketersediaan sarana prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya : air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja. Termasuk fasilitas pelayanan kesehatan seperti : Puskesmas, Rumah Sakit, Poliklinik, Posyandu, Polides, Pos Obat Desa, Dokter atau Bidan praktik swasta. Faktor ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktorfaktor ini disebut faktor pendukung atau pemungkin. c. Faktor Penguat (Reinforcing factor) Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas kesehatan. Termasuk juga undang-undang, peraturan-peraturan baik pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat masyarakat kadang-kadang bukan haya memerlukan pengetahuan dan sikap positif dan dengan dorongan fasilitas saja, melainkan tokoh agama, para petugas, lebih-lebih para petugas kesehatan. Di samping itu undang-undang juga memperkuat perilaku masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Notoatmodjo (2007), domain perilaku dibagi menjadi dua yaitu : a. Determinan faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat “given” atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. b. Determinan faktor eksternal, yakni lingkungan baik fisik, sosial,budaya,
ekonomi,
politik
dan
sebagainya.
Faktor
lingkungan ini sering merupakan faktor dominan dalam mewarnai perilaku seseorang.
21
4. Perilaku pencegahan Penyakit DBD Pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD seperti juga penyakit menular
lainnya
didasarkan
pada
usaha
pemutusan
rantai
penularannya. Pada penyakti DBD yang merupakan komponen epidemiologi adalah terdiri dari virus dengue, nyamuk Aedes aegypti dan manusia. Belum adanya vaksin untuk pencegahan penyakit DBD dan belum ada obat-obatan khusus untuk penyembuhannya maka pengendalian DBD tergantung pada pemberantasan nyamuk Aedes aegypti. Penderita penyakit DBD diusahakan sembuh guna menurunkan angka kematian, sedangkan yang sehat terutama pada kelompok yang paling tinggi resiko terkena, diusahakan agar jangan mendapatkan infeksi virus dengan cara memberantas vektornya (Depkes RI, 2000).
Sampai saat ini pemberantasan vektor masih merupakan pilihan yang terbaik untuk mengurangi jumlah penderita DBD. Strategi pemberantasan vektor ini pada prinsipnya sama dengan strategi umum yang telah dianjurkan oleh WHO dengan mengadakan penyesuaian tentang ekologi vektor penyakit di Indonesia. Strategi tersebut terdiri atas perlindungan perseorangan, pemberantasan vektor dalam wabah dan pemberantasan vektor untuk pencegahan wabah, dan pencegahan penyebaran penyakit DBD. a. Pengelolaan Lingkungan dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Pengelolaan lingkungan meliputi berbagai kegiatan untuk mengkondisikan lingkungan menyangkut upaya pencegahan dengan mengurangi perkembang biakan vektor sehingga mengurangi kontak antar vektor dengan manusia. Metode pengelolaan lingkungan mengendalikan Aedes aegypti dan Aedes albopictus serta mengurangi kontak vektor dengan manusia adalah dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk. Pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembang
22
biakan buatan manusia dan perbaikan desain rumah (Depkes RI, 2002). Upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) DBD adalah upaya untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti, dilakukan dengan cara: (Depkes, 2002) 1) Menguras dengan menggosok tempat-tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali yang bertujuan untuk merusak telur nyamuk, sehingga jentik-jentik tidak bisa menjadi nyamuk atau menutupnya rapat-rapat agar nyamuk tidak bisa bertelur di tempat penampungan air tersebut. 2) Mengganti air vas bunga, perangkap semut, air tempat minum burung seminggu sekali dengan tujuan untuk merusak telur maupun jentik nyamuk. 3) Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas dan sampah-sampah lainnya yang dapat menampung air hujan sehingga tidak menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk. 4) Mencegah
barang-barang
/
pakaian-pakaian
yang
bergelantungan di kamar ruang yang remang-remang atau gelap.
Dengan melakukan kegiatan PSN DBD secara rutin oleh semua masyarakat maka perkembang biakan penyakit di suatu wilayah tertentu dapat di cegah atau dibatasi. b. Perlindungan Diri Upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk antar lain dengan menggunakan pakaian pelindung, menggunakan anti nyamuk bakar, anti nyamuk lotion (repellent), menggunakan kelambu baik yang dicelup larutan insektisida maupun tidak.
23
c. Pengendalian Biologis Penerapan pengendalian biologis ditujukan langsung terhadap jentik Aedes dengan menggunakan predator, contohnya dengan memlihara ikan pemakan jentik seperti ikan kepala timah, dan ikan gupi. Selain menggunakan ikan pemakan jentik, predator lain yang digunakan yaitu bakteri dan cyclopoids (sejenis ketam laut). Ada dua spesies bakteri endotoksin yakni Bacillus thuringiensis serotype H-14 (Bt.H-14) dan Bacillus sphaericus (BS) yang dinilai efektif untuk mengendalikan nyamuk dan bakteri tersebut tidak mempengaruhi spesies lain. (Depkes, 2000) d. Pengendalian dengan Bahan Kimia. Bahan kimia telah banyak digunakan untuk mengendalikan Aedes aegypti sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Metode yang digunakan dalam pemakaian insektisida adalah dengan larvasida
untuk
membasmi
jentik-jentik
(abatisasi)
dan
pengasapan untuk membasmi nyamuk dewasa (fogging). Pemberantasan
jentik
dengan
bahan
kimia
biasanya
menggunakan temephos. Formulasi temephos (abate 1%) yang digunakan yaitu granules (sand granules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10 gram temephos (kurang lebih 1 sendok makan rata) untuk setiap 100 liter air. Abatisasi dengan temephos ini mempunyai efek residu 3 bulan, khususnya di dalam gentong tanah liat dengan pola pemakaian air normal. Pengendalian nyamuk dewasa dengan insektisida dilakukan dengan sistem pengasapan. Hal ini merupakan metode utama yang digunakan untuk pemberantasan DBD selama 25 tahun di berbagai Negara. Tetapi metode ini dinilai tidak efektif karena menurut penelitian hanya berpengaruh kecil terhadap populasi nyamuk dan penularan dengue. Pada umumnya ada 2 jenis penyemprotan yang digunakan utuk pembasmian Aedes aegypti yaitu thermal fogs (pengasapan panas) dan Cold fogs (pengasapan dingin).
24
Keduanya dapat disemprotkan dengan mesin tangan atau mesin dipasang pada kendaraan. (Depkes, 2002) e. Pendekatan Pemberantasan Terpadu Pendekatan pemberantasan terpadu adalah suatu strategi pemberantasan
vektor
penyakit
yang
dilakukan
dengan
menggunakan beberapa metode yaitu dengan pengendalian biologi, pengendalian secara kimiawi, perlindungan diri, pengelolaan lingkungan, dan penyuluhan kesehatan secara terpadu. Pemberantasan sarang nyamuk DBD merupakan upaya pemberantasan vektor dengan metode pendekatan terpadu karena menggunakan beberapa cara yaitu secara kimia dengan menggunakan larvasida, secara biologi dengan mengguanakan predator, dan secara fisik yang dikenal dengan kegiatan 3 M (Menguras, Menutup, dan Mengubur). Pengurasan tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur sekurangkurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak berkembang biak ditempat itu. Apabila PSN-DBD dilakukan oleh seluruh masyarakat maka diharapkan nyamuk Aedes aegypti dapat dibasmi. Untuk itu diperlukan upaya penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, karena keberadaan Aedes aegypti berkaitan erat dengan perilaku masyarakat.
C. Lingkungan 1. Pengertian Kesehatan lingkungan menurut WHO (World Health Organization) adalah suatu keseimbangan ekologi yang harus ada antara manusia dan lingkungan agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia. Ruang lingkup kesehatan lingkungan meliputi : penyediaan air minum, pengelolaan air buangan dan pengendalian pencemaran, pembuangan sampah padat, pengendalian vektor, pencegahan /
25
pengendalian pencemaran tanah oleh ekskreta manusia, hygiene makanan termasuk hygiene susu, pengendalian pencemaran udara, pengendalian radiasi, kesehatan kerja, pengendalian kebisingan, perumahan dan pemukiman, aspek kesehatan lingkungan dan transportasi udara, perencanaaan daerah perkotaan, pencegahan kecelakaan, rekreasi umum dan pariwisata, tindakan – tindakan sanitasi yang berhubungan dengan keadaan epidemi / wabah, bencana alam dan perpindahan penduduk, tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjamin lingkungan (Ghandi, 2010). 2. Faktor lingkungan yang berhubungan dengan DBD Host adalah manusia yang peka terhadap infeksi virus dengue. Beberapa faktor yang mempengaruhi manusia adalah lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit DBD adalah: a. Letak geografis Penyakit akibat infeksi virus dengue ditemukan tersebar luas di berbagai negara terutama di negara tropik dan subtropik yang terletak antara 30º Lintang Utara dan 40º Lintang Selatan seperti Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Caribbean dengan tingkat kejadian sekitar 50-100 juta kasus setiap tahunnya (Djunaedi, 2006). Infeksi virus dengue di Indonesia telah ada sejak abad ke18 seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Pada saat itu virus dengue menimbulkan penyakit yang disebut penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai nyeri otot, nyeri pada sendi dan nyeri kepala. Sehingga sampai saat ini penyakit tersebut masih merupakan problem kesehatan masyarakat dan dapat muncul secara endemik maupun epidemik yang menyebar dari suatu daerah ke daerah
26
lain atau dari suatu negara ke negara lain (Hadinegoro dan Satari, 2002). b. Musim Negara dengan 4 musim, epidemi DBD berlangsung pada musim panas, meskipun ditemukan kasus DBD sporadis pada musim dingin. Di Asia Tenggara epidemi DBD terjadi pada musim hujan, seperti di Indonesia, Thailand, Malaysia dan Philippines epidemi DBD terjadi beberapa minggu setelah musim hujan. Periode epidemi yang terutama berlangsung selama musim hujan dan erat kaitannya dengan kelembaban pada musim hujan. Hal tersebut menyebabkan peningkatan aktivitas vektor dalam menggigit karena didukung oleh lingkungan yang baik untuk masa inkubasi.
Faktor eksternal merupakan faktor DBD yang datang dari luar tubuh manusia. Faktor ini tidak mudah dikontrol karena berhubungan dengan pengetahuan, lingkungan dan perilaku manusia baik di tempat tinggal, lingkungan sekolah, atau tempat bekerja. Faktor yang memudahkan seseorang menderita DBD dapat dilihat dari kondisi berbagai tempat berkembangbiaknya nyamuk seperti di tempat penampungan air, karena kondisi ini memberikan kesempatan pada nyamuk untuk hidup dan berkembang biak. Hal ini dikarenakan tempat penampungan air masyarakat Indonesia umumnya lembab, kurang sinar matahai dan sanitasi atau kebersihannya (Satari dan Meiliasari, 2004). Nyamuk lebih menyukai benda-benda yang tergantung di
dalam
rumah
seperti
gorden,
kelambu dan
baju/pakaian. Maka dari itu pakaian yang tergantung di balik pintu sebaiknya dilipat dan disimpan dalam almari, karena nyamuk Aedes aegypti senang hinggap dan beristirahat di tempat-tempat gelap dan
27
kain yang tergantung untuk berkembang biak, sehingga nyamuk berpotensi untuk bisa mengigit manusia (Yatim 2007). Menurut Hadinegoro et al (2001), semakin mudah nyamuk Aedes menularkan virusnya dari satu orang ke orang lainnya karena pertumbuhan penduduk yang tinggi dapat meningkatkan kesempatan penyakit DBD menyebar, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, peningkatan sarana transportasi. 3. Faktor lingkungan dan perilaku kesehatan yang berhubungan dengan penularan DBD Menurut penelitian Fathi, et al (2005) ada peranan faktor lingkungan dan perilaku terhadap penularan DBD, antara lain: a. Keberadaan jentik pada kontainer Keberadaan jentik pada container dapat dilihat dari letak, macam, bahan, warna, bentuk volume dan penutup kontainer serta
asal
air yang tersimpan dalam
kontainer sangat
mempengaruhi nyamuk Aedes betina untuk menentukan pilihan tempat bertelurnya. Keberadaan kontainer sangat berperan dalam kepadatan vektor nyamuk Aedes, karena semakin banyak kontainer akan semakin banyak tempat perindukan dan akan semakin padat populasi nyamuk Aedes. Semakin padat populasi nyamuk Aedes, maka semakin tinggi pula risiko terinfeksi virus DBD dengan waktu penyebaran lebih cepat sehingga jumlah kasus penyakit DBD cepat meningkat yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya KLB. Dengan demikian program pemerintah berupa penyuluhan kesehatan masyarakat dalam penanggulangan penyakit DBD antara lain dengan cara menguras, menutup, dan mengubur (3M) sangat tepat dan perlu dukungan luas dari masyarakat dalam pelaksanaannya.
28
b. Kepadatan vektor Kepadatan
vektor
nyamuk
Aedes
yang
diukur
dengan
menggunakan parameter ABJ yang di peroleh dari Dinas Kesehatan Kota. Hal ini nampak peran kepadatan vektor nyamuk Aedes terhadap daerah yang terjadi kasus KLB. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya yang menyatakan bahwa semakin tinggi angka kepadatan vektor akan meningkatkan risiko penularan. c. Tingkat pengetahuan DBD Pengetahuan merupakan hasil proses keinginan untuk mengerti, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terutama indera pendengaran dan pengelihatan terhadap obyek tertentu yang menarik perhatian terhadap suatu objek. Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan respons seseorang terhadap stimulus atau rangsangan yang masih bersifat terselubung, sedangkan tindakan nyata seseorang yang belum terwujud (overt behavior). Pengetahuan itu sendiri di pengaruhi oleh tingkat pendidikan, dimana pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah (intermediate impact) dari pendidikan kesehatan, selanjutnya perilaku kesehatan akan berpengaruh pada meningkatnya indikator pendidikan.
kesehatan
masyarakat
sebagai
keluaran
dari
29
D. Kerangka Teori Epidemiologi DBD : a. Agent b. Vektor c. Host
Faktor Pendahulu (Predisposing) : a. Pengetahuan b. Sikap c. Tindakan atau Praktek d. Karakteristik (umur, jenis kelamin)
Faktor Pendukung atau Pemungkin (enabling) : a. fasilitas kesehatan, b. pelayanan kesehatan c. pendapatan keluarga d. orang tua, guru dan petugas kesehatan e. lingkungan Faktor Penguat (Reinforcing) : a. Pengaruh teman b. Pengaruh media masa c. Pembinaan tenaga kesehatan d. Keyakinan/ Kepercayaan nilai-nilai tradisi
Perilaku Pencegahan Penyakit DBD
Kejadian DBD
Gambar 2.1 Kerangka Teori Sumber : Notoatmodjo (2003), Soegijanto (2006)
E. Kerangka Konsep
Perilaku Pencegahan Kejadian DBD Lingkungan Fisik Gambar 2.2 Kerangka Konsep F. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas (independent variable) dalam penelitian ini adalah perilaku pencegahan dan lingkungan fisik. 2. Variabel terikat (dependent variable) dalam penelitian ini adalah kejadian DBD di RW.XII Kelurahan Sendangmulyo Tembalang Semarang.
30
G. Hipotesis Penelitian 1. Ada hubungan yang bermakna antara perilaku pencegahan dengan kejadian DBD di RW.XII Kelurahan Sendangmulyo Tembalang Semarang. 2. Ada hubungan yang bermakna antara lingkungan fisik dengan kejadian DBD di RW.XII Kelurahan Sendangmulyo Tembalang Semarang.