15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep 1. Partisipasi Partisipasi menurut Hoofsteede (dalam Khairuddin, 2000: 150), berarti: “The taking part in one or more phases of the process” atau mengambil bagian dalam suatu tahap atau lebih dari suatu proses, dalam hal ini proses pembangunan. Partisipasi menurut Soerjono Soekanto merupakan suatu proses identifikasi atau menjadi peserta, suatu proses komunikasi atau kegiatan bersama dalam situasi sosial tertentu. Dalam partisipasi terdiri atas beberapa jenis diantaranya partisipasi politik dan partisipasi sosial. Partisipasi sosial merupakan derajat partisipasi individu dalam kehidupan sosial. (Soekanto, 2006: 335). Menurut Tjokrowonoto, bahwa partisipasi adalah penyertaan mental dan emosi seseorang dalam situasi yang mendorong mereka untuk menyumbangkan ide, pikiran, dan perasaan serta tenaga untuk tujuan pencapaian bersama-sama bertanggung jawab terhadap tujuan tersebut (Tjokrowonoto, 1987: 29). Prinsip dalam partisipasi adalah melibatkan atau peran serta masyarakat secara langsung, dan hanya mungkin dicapai jika masyarakat sendiri ikut ambil bagian, sejak dari awal, proses dan perumusan hasil. Partisipasi masyarakat akan menjadi penjamin bagi suatu proses yang baik dan benar. Dengan demikian, Abe mengasumsikan bahwa hal ini menyebabkan masyarakat telah terlatih secara baik. Tanpa adanya pra kondisi, dalam arti mengembangkan pendidikan politik maka keterlibatan masyarakat secara langsung tidak akan memberikan banyak arti. Lebih lanjut Abe mengemukakan, melibatkan masyarakat secara langsung akan membawa dampak penting, yaitu: (1) Terhindar dari peluang terjadinya manipulasi. Keterlibatan masyarakat akan memperjelas apa yang sebenarnya dikehendaki oleh masyarakat; (2) Memberikan nilai tambah pada
16
legitimasi rumusan perencanaan karena semakin banyak jumlah mereka yang terlibat akan semakin baik; dan (3) Meningkatkan kesadaran dan keterampilan politik masyarakat (Hadi, 2008: 98). Menurut Prety, J. (dalam Syahyuti, 2006: 200), terdapat tujuh karakteristik tipologi partisipasi, yang berturut-turut semakin dekat kepada bentuk yang ideal, yaitu: a. Partisipasi pasif atau manipulatif, merupakan bentuk partisipasi yang paling
lemah.
Karakteristiknya
adalah
masyarakat
menerima
pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi. Pengumuman sepihak oleh pelaksana proyek tidak memperhatikan tanggapan masyarakat sebagai sasaran program. Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran belaka. b. Partisipasi informatif, yaitu masyarakat hanya menjawab pertanyaanpertanyaan untuk proyek, namun tidak berkesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses keputusan. c. Partisipasi
konsultatif.
Masyarakat
berpartisipasi
dengan
cara
berkonsultasi, sedangkan orang luar mendengarkan, menganalisis masalah dan pemecahannya. Dalam pola ini belum ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama. Para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti. d. Partisipasi insentif. Masyarakat memberikan korbanan dan jasa untuk memperoleh imbalan insentif berupa upah, walau tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran
atau
eksperimen-eksperimen
yang
dilakukan. Masyarakat tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan. e. Partisipasi fungsional. Masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian proyek, setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap kemudian menunjukkan kemandiriannya.
17
f. Partisipasi interaktif. Masyarakat berperan dalam proses analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan, Pola ini cenderung melibatkan metode interdisipliner yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan. g. Mandiri (self mobilization). Masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi pihak luar) untuk merubah sistem atau nilai-nilai yang mereka junjung. Mereka mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan dan dukungan teknis serta sumberdaya yang diperlukan. Masyarakat juga memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan. Berdasarkan beberapa jenis partisipasi yang disebutkan diatas, maka dalam penelitian ini mengunakan jenis partisipasi interaktif dan mandiri/aktif. Partisipasi interaktif adalah partisipasi yang masyarakat ikut berperan
dalam
proses
analisis
untukperencanaan
kegiatan
dan
pembentukan atau penguatan kelembagaan. Dalam pola inicenderung melibatkan metode interdisipliner yang mencari keragama perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis. Masyarakat memiliki peranuntuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan. Dengan jenis partisipasi ini, maka masyarakat khususnya di Desa Selopamioro dapat ikuta dan berperan dari mulai perencanaan hingga evaluasi/monitoring kegiatan yang dilakukan di desa wisata “Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri” dalam pengembangan dan pembangunannya. Selain interaktif, partisipasi yang digunakan adalah untuk melihat bentuk partisipasi masyarakat Desa Selopamioro, adalah partisipasi jenis mandiri/aktif. Dalam partisipasi ini masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi pihak luar) untuk merubah sistem atau
18
nilai-nilai yang mereka junjung. Mereka mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan dan dukungan teknis serta sumberdaya yang diperlukan. Masyarakat juga memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan. Menurut Koentjaraningrat (1981: 79), bahwa partisipasi berarti frekuensi tinggi turut sertanya masyarakat pedesaan dalam aktifitasaktifitas yang sama. Partisipasi masyarakat menyangkut dua bentuk, yaitu: a. Partisipasi dalam aktifitas-aktifitas dalam proyek pembangunan yang khusus. Dalam hal ini, masyarakat diajak dan diperintahkan oleh wakil-wakil dari beraneka ragam departemen atau elemen pemerintah, baik desa mapun pusat untuk berpartisipasi dan menyumbangkan tenaga dan harta pada proyek-proyek pembangunan yang khusus (yang bersifat fisik). b. Partisipasi sebagai individu di luar aktifitas-aktifitas bersama dalam pembangunan. Partisipasi bentuk kedua ini tidak ada proyek aktifitas bersama yang khusus, akan tetapi ada proyek-proyek pembangunan biasanya yang tidak bersifat fisik dan tidak memerlukan suatu partisipasi rakyat atas perintah/paksaan dari atasannya, tetapi berdasarkan atas kemauan mereka sendiri. Dussedrop (dalam Slamet, 1993: 10) mengemukakan bentuk partisipasi berdasarkan derajat kesukarelaan dan berdasarkan keterlibatan dalam berbagai tahap proses pembangunan terencana sebagai berikut: a. Partisipasi bebas, yakni partisipasi yang dilandasi oleh rasa sukarela yang bersangkutan untuk mengambil bagian dalam suatu kegiatan. b. Partisipasi spontan, yakni apabila seseorang mulai berpartisipasi setelah diyakinkan melalui program penyuluhan maupun adanya pengaruh yang lain. Dunia pariwisata pedesaan, khususnya dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat menuntut adanya koordinasi dan kerjasama serta peran yang berimbang dari berbagai pihak dan seluruh elemen masyarakat.Salah satu pendektana yang digunakan untuk mengembangkan
19
pariwisata pedesaan agar lebih maju dan lebih baik (pariwisata berbasis masyarakat) adalah pendekatan partisipasi (Demartoto, 2009: 21). Partisipasi masyarakat dalam dunia pariwisata adalah sebagai salah satu kegiatan pemanfaatan sumber daya secara lestari yang terdapat dalam lokasi wisata tersebut. Dengan pemanfaatan tersebut, maka segala kemanfaatan akan dirasakan langsung oleh masyarakat terutama masyarakat yang berada di sekitar daerah wisata. Partisipasi juga sebagai kegiatan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan yaitu pelimpahan tanggungjawab dalam hal pengambilan keputusan dan pemanfaatan sumberdaya. Dwiyanto, dkk (dalam Pratikno, 2005: 313) memandang partisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan dalam dua aspek, yaitu pertama dilihat dari tingkat pengetahuannya mengenai keberadaan kegiatan-kegiatan publik yang berada di lingkungannya. Asumsinya adalah semakin banyak individu yang mengetahui ada tidaknya kegiatan publik, maka akan semakin meningkat partisipasinya. Dwiyanto menyebut hal itu sebagai dimensi kognitif dari sebuah tindakan. Aspek yang lain adalah dimensi afektif yang meliputi kehadiran (fisik), keaktifan, peran, dan sumbangan dalam kegiatan-kegiatan publik. Kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi oleh beberapa faktor. Hasil penelitian Goldsmith dan Blustain (dalam Pratikno, 2005: 314) menunjukkan bahwa di Jamaica masyarakat tergerak untuk berpartisipasi apabila: a) partisipasi itu dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau sudah ada di tengah-tengah masyarakat yang bersangkutan, b) partisipasi memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang bersangkutan dan manfaat yang diperoleh melalui partisipasi itu dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat, dan c) dalam proses partisipasi itu terjamin adanya kontrol yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam partisipasi ternyata dapat berkurang apabila mereka tidak dan kurang berperanan dalam segala kegiatan.
20
Partisipasi masyarakat merupakan sebuah bentuk tindakan sosial yang dapat diasumsikan sebagai pola tindakan masyarakat yang respon terhadap apa yang terjadi disekitar mereka. Respon dalam hal ini adalah bertujuan untuk memanfaatkan kearifan lokal sebagai salah satu penunjang untuk pengambangan pariwisata pedesaan dan sebagai salah satu daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke obyek wisata “Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri”. Dengan begitu, maka hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Weber bahwa dalam tindakan sosial selalu memiliki sebuah tujuan yang akan dicapai. Berkaitan dengan hal tersebut, maka Weber membagi jenis tindakan sosial menjadi empat jenis, yaitu sebagai berikut: a) Rasionalitas Sarana-Tujuan/rasionalitas Instrumental (Zweckrationalitat). Tindakan ini adalah tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain. Harapan-harapan ini digunakan sebagai syarat atau sarana untuk mencapai tujuan-tujuan aktor lewat upaya dan perhitungan yang rasional. Tingkat rasionalitas yang tinggi ini meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar berhubungan dengan tujuan dari tindakan tersebut dan juga alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Weber menjelaskan, bahwa tindakan diarahkan secara rasional ke suatu sistem dari tujuan-tujuan individu yang memiliki sifatsifatnya sendiri apabila tujuan, alat dan akibat-akibat sekundernya diperhitungkan dan dipertimbangkan semuanya secara rasional. Hal ini mencakup pertimbangan rasional atas alat alternatif untuk dapat mencapai tujuan itu, pertimbangan mengenai hubungan-hubungan tujuan itu dengan hasil-hasil yang mungkin dari penggunaan alat tertentu, sehingga tujuantujuan berbeda secara relatif. b) Rasionalitas Nilai. Tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain yang terlepas dari prospek keberhasilan. Tindakan religius merupakan tindakan yang berorientasi pada nilai. Orang beragama menilai pengalaman subjektif mengenai kehadiran Tuhan bersamanya atau
21
perasaan damai dalam hati atau dengan manusia seluruhnya. Nilainya sudah ada, maka individu memilih alat seperti meditasi, doa, dan lain-lain untuk
memperoleh
pengalaman
religius.
Sifat
rasionalitas
yang
berorientasi pada nilai yang penting adalah bahwa alat (seperti doa dan meditasi) hanya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar. Adapun tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya. c) Tindakan Afektual. Tindakan yang ditentukan oleh kondisi emosi aktor. Tindakan ini didominasi oleh perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Tindakan ini benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis, ideologi atau kriteria rasionalitas lainnya. d) Tindakan Tradisional. Tindakan yang ditentukan oleh cara bertindak aktor yang biasa dan telah lazim dilakukan dan ini tindakan yang bersifat nonrasional. Dalam tindakan tradisional individu akan membenarkan atau menjelaskan tindakan tersebut kalau diminta hanya dengan mengatakan bahwa dia selalu bertindak demikian karena merupakan kebiasaan baginya. Adapun yang menjadi pembenar ketika suatu kelompok melakukan tindakan tersebut adalah dengan mengatakan bahwa tindakan ini sudah dilakukan oleh nenek moyang kami. Weber melihat bahwa tindakan ini akan lenyap ketika meningkatnya rasionalitas instrumental (Johnson, 1986: 220-221). 2. Kearifan Lokal Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan. Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat,
22
sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasangagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Echols, 2008: 200). S. Swarsi Geriya dalam Iun tentang Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali, http://www.balipos.co.id, diakses pada tanggal 17 Desember 2014, mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar, sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. I Ketut Gobyah dalam Berpijak pada Kearifan Lokal dalam http://www.balipos.co.id diakses pada tanggal 17 Desember 2014, mengatakan bahwa kearifan lokal (local wisdom) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Menurut disiplin antropologi dikenal adanya istilah local genius. Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan
kemampuan
sendiri
(Ayatrohaedi,
1986:18-19).
Sementara
Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah: a. Mampu bertahan terhadap budaya luar.
23
b. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar. c. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli. d. Mempunyai kemampuan mengendalikan. e. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya. Pengertian yang lain diungkapkan oleh Ocholla dan Akullo, bahwa Indigenous Knowledge atau dalam bahasa lain adalah kearifan lokal merupakan seperangkat alat pengetahuan dan teknologi yang tersimpan dalam memori yang mana hal itu dilakukan dalam kehidupan masyarakat, kemudian hal tersebut dikembangkan oleh penduduk asli (Matualage, 2011: 69). Menurut Saini (dalam Permana, 2010: 1) bahwa kearifan lokal seringkali dikaitkan dengan masyarakat lokal. Dalam bahasa asing kearifan lokal dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom) atau kecerdasan setempat (local genius). Kearifan lokal juga diartikan sebagai suatu pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkunagn rohani dan jasmani. Kearifan lokal juga sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab suatu persoalan dan berbagai masalah dalam pemenuhuan kebutuhan hidup. Menurut Geriya (dalam Permana, 2010: 6), bahwa kearifan lokal berorientasi pada 5 aspek,yaitu: 1) keseimbangan dan harmoni manusia, alam, dan budaya atau kultur. 2) kelestarian dan keragaman alam dan kultur. 3) konservasi sumberdaya alam dan warisan budaya. 4) penghematan sumberdaya yang bernilai ekonomis. 5) moralitas dan spiritualitas. Kearifan lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk menghayati hidup, mempertahankan dan melangsyngkan hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan dan tata
24
nilai yang dihayati di dalam masyarakat yang bersangkutan. Kearifan lokal kemudian menjadi bagian dari cara hidup mereka yang arif untuk memecahkan segala permasalahan hidup yang mereka hadapi. Dengan kearifan lokal mereka dapat melangsungkan hidup, bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan (sustainabledevelopment) (Permana, 2010: 3). Menurut Ife (dalam Permana, 2010: 4), bahwa kearifan lokal memiliki enam dimensi, yaitu: a. Dimensi pengetahuan lokal, setiap masyarakat dimanapun mereka berada selalu memiliki pengetahuan lokal yang berkaitan dengan lingkungan hidupnya. b. Dimensi nilai lokal, dalam mengatur kehidupan antar warga masyarakat, maka setiap masyarakat memiliki atauran atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan disepakati bersama oleh anggota masyarakat. c. Dimensi ketrampilan lokal, ketrampilan lokal bagi setiap masyarakat digunakan sebagai kemampuan untuk bertahan hidup (survival). Ketrampilan lokal biasanya hanya cukup dan mampu untuk memenuhi kebutuhan keluarganya masing-masing (ekonomi subsistensi). d. Dimensi sumber daya lokal, pada umumnya adalah sumber daya alam. Masyarakat akan menggunakan sumber daya lokal sesuai dengan kebutuhan masing-masing dan tidak akan mengeksploitasi secara besar-besaran atau dikomersialkan. Sumber daya lokal sudah diperuntukkan untuk masyarakat sekitar, seperti hutan, lahan pertanian, sumber air, dan permukiman. e. Dimensi mekanisme pengambilan keputusan lokal. Setiap masyarakat pada dasarnya memeliki mekanisme tersendiri dalam pengambilan sebuah keputusan yang berbeda-beda untuk kemajuan daerahnya. f. Dimensi solidaritas kelompok lokal, masyarakat pada umumnya dipersatukan oleh ikatan komunal yang dipersatukan oleh ikatan komunikasi untuk membentuk solidaritas lokal.
25
3. Kebudayaan Lokal Kata “Kebudayaan” berasal dari bahasa Sanksekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang bermakna “budi” atau “akal”. Kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal, tetapi ada juga sarjana lain yang mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi-daya yang berarti “daya dari budi”, sehingga mereka membedakan antara “budaya” dari “kebudayaan”. Dengan demikian, “budaya” adalah “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan “kebudayaan” adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa. Kata culture merupakan kata asing yang sama artinya dengan “kebudayaan” berasal dari bahasa latin colere yang berarti “mengolah, mengerjakan” terutama mengenai tanah dan bertani, dari arti tersebut berkembang arti culture sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam (Koentjrataningrat, 2009: 146). Menurut ilmu Antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang
dijadikan
milik
diri
manusia
dengan
belajar
(Koentjaraningrat, 2009: 144). Menurut antropolog lain, yaitu E.B. Tylor mendefinisikan
kebudayaan
adalah
kompleks
yang
mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi mendefinisikan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat (Soekanto, 2006:150-151). Ralph Linton (Ihromi, 2006: 18) menjelaskan definisi kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari berbeda dengan definisi seorang ahli antropologi, mendefinisikan kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan.
26
Menurut Kluckohn dan Kelly, kebudayaan adalah semua rancangan hidup yang tercipta secara historis, baik yang secara eksplisit maupun yang secara implisit, rasional, irasional, dan nonrasional yang pada suatu waktu menjadi pedoman yang potensial untuk perilaku manusia. Menurut Kroeber, kebudayaan adalah keseluruhan relasi gerak, kebiasaan, tata cara, gagasan dan nilai-nilai yang dipelajari dan diwariskan. Sedangkan menurut Herskovits, kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia (Keesing, 1999: 68) Menurut J.J Honigmann (dalam Koentjaraningrat, 2009: 150), bahwa kebudayaan itu ada tiga wujud yaitu: a. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, peraturan dan sebagianya. b. Wujud kebudayaan sebagai sesuatu komplek aktivitas serta pola tindakan manusia dalam masyarakat. c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda dari hasil karya manusia. Kebudayaan mempunyai unsur-unsur yang pokok di dalamnya, yang hal itu merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan. Mengenai unsur-unsur dari kebudayaan beberapa ahli telah merumuskan hal tersebut. Melville J. Herskovits mengajukan empat unsur kebudayaan, yaitu: 1) alat-alat teknologi, 2) sistem ekonomi, 3) keluarga, 4) kekuasaan politik (Soekanto, 2006: 153). Menurut C. Kluckhohn, menyebutkan bahwa unsur-unsur kebudayaan ada tujuh unsur. Ketujuh unsur tersebut sebagai isi pokok kebudayaan di dunia itu adalah: 1) bahasa, 2) sistem pengetahuan, 3) organisasi sosial, 4) sistem peralatan hidup dan teknologi, 5) sistem mata pencaharian hidup, 6) sistem religi, dan 7) kesenian (Koentjaraningrat, 2009: 165). Kebudayaan secara lebih luas sebagai seluruh karakteristik para anggota sebuah masyarakat, termasuk peralatan, pengetahuan, dan cara berpikir dan bertindak yang telah terpolakan, yang dipelajari dan disebarkan serta bukan merupakan hasil pewarisan secara biologis. Terdapat empat karakteristik utama kebudayaan. Pertama, kebudayaan
27
mendasarkan diri pada sejumlah simbol. Bagi kebudayaan simbol sangat esensial karena ia merupakan mekanisme yang diperlukan untuk menyimpan dan mentransmisikan sejumlah informasi yang membentuk kebudayaan. Kedua, kebudayaan dipelajari dan tidak tergantung kepada pewaris biologis dalam transmisinya. Ketiga, kebudayaan adalah sistem yang dipikul bersama oleh para anggota masyarakat. Keempat, kebudayaan cenderung terintegrasi. Berbagai komponen dan bagian kebudayaan cenderung menyatu sedemikian rupa, sehingga konsisten satu dengan yang lainnya (Sanderson, 2010: 44). Berdasarkan definisi kebudayaan yang telah dipaparkan oleh para ahli di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian dari kebudayaan lokal adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dan keseluruhan relasi gerak, kebiasaan, tata cara, gagasan dan
nilai-nilai
yang
dipelajari
dan
diwariskan
yang
mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lainnya. Semua itu masih erat dam berkaitan dengan hal-hal yang berbau lokal serta masih asli dari daerah atau masyarakat setempat tersebut. 4. Konsep Pariwisata Menurut Robinson dan Murphy, bahwa perkembangan pariwisata karena adanya gerakan manusia di dalam mencari sesuatu yang belum diketahuinya, menjelajahi wilayah yang baru, mencari perubahan suasana atau bahkan untuk mendapat perjalanan yang baru. Ketika melihat sejarah, sesungguhnya pariwisata sudah dimulai sejak adanya perdaban manusia itu sendiri. Hal itu ditandai dengan adanya gerakan manusia yang ziarah dan perjalanan agamanya lainnya. Sebagai contoh, hal itu dapat ditelusuri dalam perjalanan Marcopolo (1254-1324) yang menjelahi Eropa hingga ke Tiongkok kemudian kembali ke Vanesa. Setelah itu kemudian disusul dengan perjalanan Pangeran Henry (1394-1460), lalu Cristopher Colombus (1451-1506), dan perjalanan Vasco da Gama pada akhir abad XV. Selanjutnya dalam perkembangannya, pariwisata mulai menjadi
28
sektor kegiatan ekonomi mulai pada awal abab 19, serta menjadi industri internasional pariwisata mulai tahun 1869 (Pitana, 2005: 40). Kata wisata (tour) secara harfiah dalam kamus mempunyai arti: perjalanan di mana si pelaku kembali ke tempat awalnya; perjalanan sirkuler yang dilkaukan untuk tujuan bisnis, bersenang-senang atau pendidikan. Pada berbagai tempat yang dikunjungi biasanya pelaku menggunkan jadwal perjalanan yang sudah terencana” (Pitana, 2005: 43). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan memberikan definisi bahwa wisata adalah: “Kegiatan perjalanan atau sebagaian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW)”. Masih dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan pada Bab IV Pasal 4 disebutkan bahwa obyek pariwisata terdiri dari: a. Obyek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan yang terwujud dalam keadaan alam, flora dan fauna. b. Obyek dan daya tarik wisata hasil karya manusia atau wisata buatan, berupa museum, peninggalan sejarah, wisata argo, wisata tirta, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi dan tempat hiburan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10.Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,
pengusaha,
Pemerintah,
dan
Pemerintah
Daerah.
Kepariwisataan berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kepariwisataan bertujuan untuk: a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi; b. meningkatkan kesejahteraan rakyat; c. menghapus kemiskinan; d. mengatasi pengangguran; e. melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya; f. memajukan kebudayaan; g. mengangkat citra bangsa; h. memupuk rasa cinta tanah air; i. memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan j. mempererat persahabatan antarbangsa
29
Wisatawan (tourits) adalah orang yang melakukan perjalanan wisata.Dalam hal ini tentu saja batasan tentang wisatawan menjadi beragam dari yang umum hingga yang spesifik. United Nation Conference on Travel and Tourism di Roma telah memberikan batasan tentang wisatawan dari aspek yang umum dengan mneggunakan istilah visitor (pengunjung). Dalam pengertiannya bahwa visitor adalah setiap orang yang mengunjungi negara yang bukan merupkan tempat tinggalnya untuk berbagai tujuan, akan tetapi juga bukan untuk mencari pekerjaan atau penghidupan di negara yang dikunjungi. Selanjutnya visitor juga dibedakan menjadi 2 macam, yaitu: a) wisatawan (tourits), yaitu orang yang mengunjungi suatu daerah lebih dari 24 jam, dan a) pengunjung (excursionists), yaitu orang-orang yang tinggal di daerah tujuan wisata kurang dari 24 jam (Pitana, 2005: 43). Menurut Pitana (2009: 54), bahwa pariwisata merupakan aktivitas dari visitor (pengunjung wisata), orang yang melakukan perjalanan ke dan tinggal di tempat di luar tempat tinggalnya (residen) sehari-hari untuk periode tidak lebih dari 12 bulan untuk beragam kegiatan perjalanan, bisnis, agama, dan alasan pribadi lainnya, tetapi tidak mendapat upah/gaji dari perjalanannya. Menurut Smith, bahwa pengertian pariwisata haruslah mencakup beberapa elemen, yaitu: a) dapat diterima dan diterapkan secara global, b) sesederhana dan sejelas mungkin, c) dapat diaplikasikan secara statistik, dan d) sedapat mungkin konsisten dengan standar internasional (Pitana, 2009: 50). Menurut Murphy (dalam Pitana, 2005: 44-45), definisi dari pariwisata adalah keseluruhan dari beberapa elemen-elemen yang terkait (wisatawan, daerah tujuan (destination) wisata, perjalanan, industri dan lain sebagainya) yang mana hal itu merupakan akibat dari perjalanan wisata ke daerah tujuan wisata, dan sepanjang perjalanan itu tidak permanen. Pariwisata oleh Jafari (dalam Pitana, 2005: 44), didefinisikan secara akademis sebagai sebuah studi tentang manusia yang berwisata dengan berbagai implikasinya:
30
“The study of man away from his usual habitat, of the industry wich responds to his needs, and the impacts that both he and the industry have on the host’s social, cultural. Economic and physical environments” “Studi tentang manusia yang melakukan perjalanan dari tempat asalnya, merespon dalam hal industri yang dibutuhkan, dan hal-hal yang berdampak pada keduanya, dalam industri tersebut terdapat beberapa hal, seperti dalam hal sosial, kultural, ekonomi dan alam lingkungan sekitar”. Menurut Mathieson dan Wall (dalam Pitana, 2005: 46) mengatakan bahwa di dalam pariwisata terdapat tiga elemen yang mencakupnya: a. A dynamic element, yaitu travel atau perjalanan ke suatu destinasi wisata. b. A static element, yaitu singgah di daerah tujuan wisata c. A consequential element, yaitu akibat dari dua hal di atas (khususunya pada masyarakat lokal) yang meliputi dampak secara ekonomi, sosial, dan fisik dari adanya kontak dengan wisatawan. Walaupun dalam mendefinisikan tentang pariwisata terdapat beberapa perbedaan, menurut Richardson dan Fluker (dalam Pitana, 2005: 46) bahwa dalam pariwisata tetap mengandung beberapa ciri pokok, yaitu: a. Adanya unsur perjalanan (travel), yaitu pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya. b. Adanya unsur tinggal sementara di tempat yang bukan merupakan tempat tinggal biasanya. c. Tujuan utama dari pergerakan manusia tersebut bukan untuk mencari penghidupan atau pekerjaan di tempat yang dituju. 5. Desa Wisata Mendefinisikan desa wisata, tentu tidak akan terpisahkan dari definisi tentang wisata. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Pariwisata, bahwa wisata didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmata obyek dan daya tarik wisata.
31
Desa pertama kali ditemukan di Indonesia oleh Mr. Herman Warner Muntinghe, seorang Belanda Anggota Road Van Indie pada masa penjajahan kolonial Inggris yang merupakan pembantu Gubernur Jenderal Inggris yang berkuasa pada tahun 1811 di Indonesia. Dalam laporannya pada tanggal 14 Juli 1817 kepada pemerintahnya disebutkan tentang adanya desa-desa di daerah-daerah pesisir utara pulau Jawa. Dan dikemudian hari juga ditemukan desa-desa di kepulauan luar Jawa yang kurang lebih sama dengan yang ada di Jawa. Itulah sejarah singkat tentang desa, adapun untuk istilah kata “desa” itu sendiri berasal dari bahasa India “Swadesi” yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma, serta memiliki batas yang jelas (Wadistiono, 2007: 7). Menurut Dintaro, definisi desa dari segi geografis adalah suatu hasil dari perwujudan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil dari perpaduan itu adalah suatu wujud atau penampakan di muka bumi yang timbul oleh unsur-unsur fisiografi, sosial ekonomi, politisi, dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah lain (Wadistiono, 2007: 7). Desa wisata merupakan suatu wilayah perdesaan yang dapat dimanfaatkan berdasarkan kemampuan unsur-unsur yang memiliki atribut produk wisata secara terpadu, dimana desa tersebut menawarkan secara keseluruhaan suasana yang memiliki tema dengan mencerminkan keaslian pedesaan, baik dari tatanan segi kehidupan sosial budaya dan ekonomi serta adat istiadat keseharian yang mempunyai ciri khas arsitektur dan tata ruang
desa
menjadi
suatu
rangkaian
aktivitas
pariwisata
(www.wikipedia.org, diakses pada tanggal 23 Januari 2015). Desa wisata merupakan bagian dari penyelenggaraan pariwisata yang terkait langsung dengan jasa pelayanan, yang membutuhkan kerjasama dengan berbagai komponen penyelenggaraan pariwisata yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat.
32
Menurut Inskep (dalam Demartoto, 2009: 124) pariwisata pedesaan atau desa wisata sebagai bentuk wisata baru atau trend baru dalam dunia pariwisata internasional, dimana wisatawan datang dalam kelompokkelompok
kecil
dan
berinteraksi
intensif
dengan
penduduk
desa.Wisatawan datang dan mempelajari kehidupan masyarakat lokal yang dikunjunginya dan bahkan ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan oleh penduduk. Menurut Kuvacic (dalam Raharjana, 2010: 9) memaknai pariwisata perdesaan dengan menunjukkan suatu lingkungan geografis tempat terjadi/berlangsungnya aktivitas pariwisata dan karakteristik asli berupa budaya tradisional, budaya pertanian, lanskap pedalaman dan gaya hidup sederhana. Konteks ruang (space) menjadi penting untuk memposisikan aktivitas dan implikasi perkembangan pariwisata perdesaan. Desa wisata merupakan bentuk alternatif pariwisata yang mampu menyumbang perubahan-perubahan positif terhadap sumberdaya sosial, ekonomi dan budaya di daerah perdesaaan. Desa Wisata adalah suatu wilayah pedesaan dengan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian “desa baik dari struktur ruang, arsitektur
bangunan,
masyarakatnya,
serta
maupun mampu
pola
kehidupan
menyediakan
sosial-budaya
komponen-komponen
kebutuhan pokok wisatawan seperti akomodasi, makanan dan minuman, cindera mata, dan atraksi-atraksi wisata (Pitana, 1999: 108). Sedangkan menurut Nuryati (1993: 2-3), desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Terdapat dua komponen terpenting di dalam konsep desa wisata, yaitu: a) Akomodasi: sebagian dari tempat tinggal para penduduk setempat atau unit-unit yang berkembang, b) Atraksi: seluruh kehidupan keseharian penduduk setempat beserta setting fisik lokasi desa yang memungkinkan berintegrasinya wisatawan sebagai partisipasi aktif dalam kegiatan, seperti
33
bahasa, pelatihan kerajinan dan hal-hal yang bersifat spesifik (Demartoto, 2009: 125). Mengenai tentang desa wisata, menurut Agus Muriawan Putra (2005: 78) bahwa suatu daerah atau wilayah berkembang menjadi desa wisata adalah dengan memanfaatkan unsur–unsur yang ada dalam masyarakat desa yang berfungsi sebagai atribut produk wisata, menjadi suatu rangkaian aktivitas pariwisata yang terpadu dan memiliki tema. Adapun unsur–unsur dari desa wisata adalah: a. Memiliki potensi pariwisata, seni, dan budaya khas daerah setempat. b. Lokasi desa masuk dalam lingkup daerah pengembangan pariwisata atau setidaknya berada dalam koridor dan rute paket perjalanan wisata yang sudah dijual. c. Diutamakan telah tersedia tenaga pengelola, pelatih, dan pelaku– pelaku pariwisata, seni, dan budaya. d. Aksesibilitas dan infrastruktur pendukung program desa wisata. e. Terjaminnya keamanan, ketertiban, dan kebersihan. Desa wisata atau desa pariwisata merupakan salah satu tipologi desa yang ada di Indonesia, hal tersebut sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Sapirin (Murdiyanto, 2008: 61-62), bahwa di Indonesia terdapat tujuh tipologi desa, yaitu: a) Desa Tambangan, yaitu desa yang memiliki kegiatan utama penyebrangan orang atau barang dimana terdapat sungai besar. b) Desa Nelayan, yaitu desa yang penduduknya bermata pencaharian perikanan laut. c) Desa Pelabuhan, yaitu desa yang mempunyai hubungan dengan mancanegara. d) Desa Perdikan, yaitu desa yang dibebaskan dari pungutan pajak. e) Desa penghasil usaha pertanian, kegiatan perdagangan, industri kerajinan, pertambangan dan sebagainya. f) Desa Perintis, yaitu desa yang terjadinya karena kegiatan transmigrasi. g) Desa pariwisata, yaitu desa yang mata pencaharian pendudukanya karena adanya obyek pariwisata. Seiring dengan perkembangan masa, maka dewasa ini banyak desa-desa yang berkembang menjadi desa wisata yang
34
menyajikan suasana dan ciri khas dari desa tersebut kepada para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
B. Peneltian relevan 1. Penelitian yang dilakukan oleh Destha Titi Raharjana (2010) tentang “Membangun Pariwisata Bersama Rakyat Kajian Partisipasi Lokal Dalam Membangun Desa Wisata Di Dieng Plateau”. Kajian dalam penelitian ini menfokuskan pada proses partisipasi masyarakat Dieng Kulon dalam membangun desa wisata di lingkungan tempat tinggal mereka. Berbagai tahapan perencanaan dikerjakan secara kolektif dan kemudian dipraktekkan bersama-sama. Dengan menerapkan metode action riset, studi ini menemukan beberapa temuan berikut (a) identifikasi masalah-masalah dalam pengembangan desa wisata, (b) pemetaan potensi desa wisata, dan (c) identifikasi potensi jejaring antar lembaga yang dapat mendukung keberlanjutan desa wisata di Dieng Kulon. Adapun dalam penelitian yang akan diteliti perbedaannya adalah dalam aspek kajian yaitu dalam penelitian selanjutnya adalah lebih menekankan tentang partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan kearifan lokal. 2. Penelitian oleh Nur Dewi Setyowati (2013) tentang “Karakteristik Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal Dalam Berkelanjutan Pengembangan Kawasan Agrowisata Air Terjun Krecekan Denu Di Lereng Gunung Wilis Kabupaten Madiun”. Konsep pemberdayaan dengan menggunakan pendekatan sosiokultural yakni memperhatikan aspek keagamaan, aspek gender dan kebiasaan, mengubah tingkat kesadaran masyarakat dan meningkatkan pemahamannya untuk turut serta berperan mencapai tingkat kemandirian keberdayaan secara kontinyu dan terpadu. Pemberdayaan tiap elemen masyarakat bersifat unik dengan indikator karakteristik kelompok dan karakteristik program pada tingkat kemandirian untuk mengelola kawasan agrowisata air terjun Krecekan Denu di Lereng Gunung Wilis dengan
35
melihat nilai-nilai tradisi budaya dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan terbentuknya jaringan kerja yang lebih luas untuk menjamin keberlanjutan program pemberdayaan masyarakat. 3. Penelitian oleh Sukawi (2010) tentang “Penerapan Kearifan Lokal melalui Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Kota Pasca Bencana”. Upaya rekonstruksi dan rehabilitasi yang dilakukan di kota Teluk Dalam, Nias Selatan perlu mendapat dukungan semua pihak dan pemerintah daerah setempat juga perlu mempersiapkan diri dalam melanjutkan kegiatan-kegiatan yang telah dan sedang dilaksanakan pada masa rekonstruksi dan rehabilitasi ini. Koordinasi antarpihak menjadi agenda penting untuk kelanjutan pembangunan. Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan perlu diperkuat dengan adanya suatu forum atau organisasi perencanaan berbasis masyarakat. Karena salah satu syarat keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan perencanaan pembangunan adalah dengan adanya forum atau organisasi yang sifatnya berkelanjutan. Melalui suatu forum, masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya, sebaliknya forum tersebut juga dapat berperan menyampaikan kebijakankebijakan dari pemerintah daerah kepada kelompok masyarakat di tingkat bawah secara langsung. Forum kota dapat mencerminkan prinsip keterwakilan agar tetap terjaga komitmen bersama untuk membawa kepentingan-kepentingan masyarakat kepada pihak-pihak pengambil keputusan. Dengan forum kota, kearifan lokal yang sudah ada di masyarakat dapat diterapkan dan mengejawantah dalam wujud tata kota yang adaptif danresponsif terhadap lingkungan yang rawan bencana. Metode yang digunakan adalah yang cocok dengan situasi dan kondisi pembangunan serta tujuan yang ingin dicapai, salah satunya adalah metode Community-Based. Pembuatan keputusan didasarkan atas masyarakat lokal sebagai ahlinya dan pendatang merupakan fasilitator teknis yang keberadaannya adalah untuk belajar. Metode yang terkait adalah Participatory Rural
36
Appraisal (PRA). Berdasarkan hasil penjaringan aspirasi masyarakat yang berbasis pada kearifan lokal dengan berkaitan dalam kegiatan perencanaan kembali Kota Teluk Dalam pasca bencana gempa dan Tsunami: Kota Teluk Dalam memiliki potensi laut, sungai, pantai, yang dapat dikembangkan. Tepi pantai ini dapat dipakai untuk kegiatan yang bersifat rekreatif dan sekaligus bermanfaat sebagai lading mata pencaharian nelayan. Pemanfaatan tepi pantai ini sesuai dengan kearifan lokal bahwa tepi pantai hanya dimanfaatkan sebagai tempat mata pencaharian sedangkan hunian bagi masyarakat tradisional harus berada dibukit bukit yang tinggi sesuai dengan kepercayaan leluhur suku Nias. Selain itu sudah sejak lama, Nias merupakan daerah yang berpotensi terjadi gempa dan tsunami sehingga nenek moyang mereka melarang untuk tinggal disekitar pantai. 4. Penelitian oleh Zulkarnain,dkk (2008) tentang “Kearifan Lokal Dalam Pemanfaatan Dan Pelestarian Sumberdaya Pesisir (Studi Kasus di Desa Panglima Raja Kecamatan Concong Kabupaten Indragiri Hilir Propinsi Riau)”. Berdasarkan pembahasan dan analisis hasil penelitian yang telah dijelaskan maka kesimpulan sebagai berikut: Kearifan lokal masyarakat Desa Panglima Raja tentang pemanfaatan sumberdaya pesisir yang masih ada berupa: (a) menentukan waktu menangkap ikan berdasarkan cuaca dan musim; (b) mengembangkan alat tangkap ikan dan alat pengumpul kerang, dan; (c) menentukan kawasan penebangan bakau. Sedangkan kearifan lokal tentang pelestarian sumber daya pesisir berupa: (a) ritualisasi (pengupacaraan) penghormatan terhadap laut; (b) adanya komitmen untuk tidak menangkap dan membunuh lumba-lumba, membuang sampah ke laut, menggunakan Songko bermesin dalam menangkap ikan dan mengumpulkan kerang, serta; (c) menjaga hutan bakau di sekitar pinggiran pantai. Sumber utama kearifan lokal tersebut adalah kepercayaan atau adat serta ajaran Islam dan Hindu. Kearifan lokal tersebut berlandaskan pemahaman prinsip ekologi dan ekosistem yang dikemas dalam bahasa
37
yang sederhana, berupa filosofi yang memuat substansi nilai dan berperilaku terhadap alamat atau lingkungan. Peran lembaga adat terhadap kearifan
lokal
mengalami
kemunduran
sejak
zaman
kerajaan.
Pemerintahan nasional meneruskan saja sistem dan cara-cara yang sudah berlaku. Lembaga pemerintahan desa dalam hal ini belum berperan maksimal
dalam mengakomodir nilai-nilai kearifan
lokal secara
partisipatif. 5. Penelitian oleh Made Henry Urmila (2013) tentang “Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Pengembangan Desa Wisata di Kabupaten Tabanan, Bali”. Penelitian ini, secara singkat menyebutkan, bahwa partisipasi masyarakat lokal merupakan unsur terpenting dalam pembangunan pariswisata khususnya yang berbasis masyarakat (Community Based Tourism). Partisipasi merupakan hak warga untuk bisa terlibat dalam setiap keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan. Melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan merupakan penjelmaan proses politik yang demokratis. 6. Penelitian oleh Vázquez1, (2005) tentang“Role Of Bulgarian Country Image As International Rural Tourism Destination”. Di Eropa Timur, desa wisata secara luas dianggap sebagai alat utama untuk pengembangan dalam konteks bantuan luar negeri hibah dan persyaratan keanggotaan Uni-Eropa. Karena orang asing membentuk target utama dari setiap usaha pariwisata, termasuk desa wisata, untuk menarik kualitas pengunjung wisatawan dari luar negeri. Dengan demikian, penelitian ini menunjukkan beberapa bukti yang dikumpulkan dari penelitian prospektif yang dilakukan di Spanyol mengenai apa dirasakan negara Bulgaria gambar vis-à-vis yang pedesaan, status pariwisata dan potensi masa depan. Penelitian ini dilakukan pada pengunjung/wisatwan dan prospek lainnya. Akhirnya, diharapkan hasil
38
penelitian ini akan digunakan sebagai indeks untuk desain masa depan dan peningkatan pariwisata pedesaan Bulgaria. 7. Penelitian oleh Roselyne Okech (2012) Tentang “Rural Tourism As A Sustainable Development Alternative: An Analysis With Special Reference To Luanda, Kenya”. Sebagai desa wisata, harus mencerminkan karakteristik yang menandakan pedesaan daerah termasuk permukiman kecil, kepadatan penduduk yang rendah, ekonomi berbasis agraria, dan masyarakat tradisional. Penelitian ini mengidentifikasi tersedia fasilitas obyek wisata dalam Luanda daerah pedesaan di Kenya Barat dan tentang bagaimana penduduk setempat dapat berpartisipasi secara langsung dalam pariwisata kewirausahaan dan manajemen. Daerah yang diteliti tidak baik dicitrakan, komodifikasi, dan dikemas untuk memanfaatkan potensi desa wisata daerah. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan solusi untuk kembali membayangkan fitur daerah pedesaan dan kegiatan dalam rangka untuk membuat wisata yang menarik dan yang berhubungan desa wisata dengan unsur-unsur sosial, budaya, dan ekonomi pedesaan. 8. Penelitian oleh Kamonthip Kongprasertamorn (2007) tentang “Local Wisdom, Environmental Protection And Community Development: The Clam
Farmers
In
Tambon
Bangkhunsai,
Phetchaburi
Province,
Thailand”. Pasal ini adalah studi tentang penggunaan rakyat penelitian dan pengembangan metode sebagai sarana mempromosikan kearifan lokal kebijaksanaan, perlindungan lingkungan, dan pengembangan masyarakat di Tambon, Bangkhunsai, Phetchaburi, Thailand. Metode yang digunakan dalam penelitian ini memungkinkan masyarakat untuk melakukan penelitian mereka sendiri dan untuk memanfaatkan kearifan lokal mereka sebagai bentuk modal yang belum dimanfaatkan di mana kemandirian dapat dibangun. Temuan penelitian menunjukkan bahwa penelitian dan metode pengembangan bisa merangsang masyarakat lokal unruk meningkatkan dunia pariwisata yang berbasis kearifan lokal.
39
9. Penelitian oleh Liliani Popescu dan Amalia Budita (2011) tentang “Rural Tourism To The Rescue of The Countryside? Oltenia As A Case Studi” Penelitian ini membahas tentang pariwisata dapat menjadi pengerak dalam dunia pembangunan ekonomi untuk lebih baik. Beberapa Negara telah memprioritaskan sektor pariwisata, dan berbagai cara telah dilakukan guna untuk mempromosikan sektor pariwisata tersebut. Mulai dari promosi pariwisata skala nasional maupun skala internasional. Dalam dekade terkhir ini, desa wisata menjadi satu tradisi yang dipertahankan dan dilestraikan oleh beberapa Negara di Eropa bagian barat, yaitu Oltenia, Romania. Pemerintah, baik nasional maupun lokal mengharapkan agar dengan adanya pengembangan desa wisata tersebut dapat meningkatkan perekonomian masyarakat bawah, khususnya masyarakat desa. 10. Penelitian oleh Felipe ludena vaquerizo (2013) tentang “Rural Tourism Development In Nepal”. Penelitian ini menunjukan bahwa sekitar 80% penduduk dalam suatu Negara kebanyakan tinggal di desa termasuk di Negara Nepal. Nepal mempunyai beberapa hal yang menjadikan daerah itu bisa menarik untuk pengembangan desa wisata, yaitu dari segi tradisi yang masih asli, kebudayaan dan alam untuk aktivitas petualangan. Dalam hasil penelitian ini, mengungkapkan apabila apa yang semuanya terdapat di Nepal tersebut dikelola dengan baik dan dikembangkan, maka dapat menjadi aset bagi pengembangan desa wisata. Selain itu juga sebagai prospek untuk dapat meningkatkan dan mensejahterakan ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Nepal ketika dikembangkan untuk menjadi sebuah pariwisata pedesaan agak sedikit lama dalam kemajuannya, sehingga perlu adanya inspirasi-inspirasi baru dalam pengembangannya. C. Landasan Teori 1. Tindakan Sosial Tindakan dikatakan terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan mereka. Weber dalam teori ini memusatkan perhatiannya pada tindakan yang jelas-jelas melibatkan campur tangan
40
proses pemikiran (dan tindakan bermakna yang ditimbulkan olehnya) antara terjadinya stimulus dengan respon. Tindakan dalam pengertian orientasi perilaku yang dapat dipahami secara subjektif hanya hadir sebagai perilaku seorang atau beberapa orang individual (Ritzer, 2008: 136-137). Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan oleh Weber dalam mengklasifikasi tipe-tipe tindakan sosial. Pembedaan pokok yang diberikan adalah antara tindakan rasional dan nonrasional.Tindakan rasional menurut Weber berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan (Johnson, 1986: 220). Weber mengunakan metodologi tipe idealnya dalam menjelaskan makna tindakan dengan cara mengidentifikasi empat tipe tindakan. Adapun empat tipe tindakan menurut Weber adalah sebagi berikut (Johnson, 1986: 220-221): a. Rasionalitas Instrumental (Zweckrationalitat) Tindakan ini adalah tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain. Harapan-harapan ini digunakan sebagai syarat atau sarana untuk mencapai tujuan-tujuan aktor lewat upaya dan perhitungan yang rasional. Tingkat rasionalitas yang tinggi ini meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar berhubungan dengan tujuan dari tindakan tersebut dan
juga
alat
yang
dipergunakan
untuk
mencapainya.Weber
menjelaskan, bahwa tindakan diarahkan secara rasional ke suatu sistem dari tujuan-tujuan individu yang memiliki sifat-sifatnya sendiri apabila tujuan, alat dan akibat-akibat sekundernya diperhitungkan dan dipertimbangkan semuanya secara rasional. Hal ini mencakup pertimbangan rasional atas alat alternatif untuk dapat mencapai tujuan itu, pertimbangan mengenai hubungan-hubungan tujuan itu dengan hasil-hasil yang mungkin dari penggunaan alat tertentu, sehingga tujuan-tujuan berbeda secara relatif
41
b. Rasionalitas Nilai Tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain yang terlepas dari prospek keberhasilan. Tindakan religius merupakan tindakan yang berorientasi pada nilai. Orang beragama menilai pengalaman subjektif mengenai kehadiran Tuhan bersamanya atau perasaan damai dalam hati atau dengan manusia seluruhnya. Nilainya sudah ada, maka individu memilih alat seperti meditasi, doa, dan lainlain untuk memperoleh pengalaman religius. Sifat rasionalitas yang berorientasi pada nilai yang penting adalah bahwa alat (seperti doa dan meditasi) hanya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar. Adapun tujuan-tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau merupakan nilai akhir baginya c. Tindakan Afektual Tindakan yang ditentukan oleh kondisi emosi aktor. Tindakan ini didominasi oleh perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar.Tindakan ini benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis, ideologi atau kriteria rasionalitas lainnya. d. Tindakan Tradisional Tindakan yang ditentukan oleh cara bertindak aktor yang biasa dan telah lazim dilakukan dan ini tindakan yang bersifat nonrasional. Dalam tindakan
tradisional
individu
akan
membenarkan
atau
menjelaskan tindakan tersebut kalau diminta hanya dengan mengatakan bahwa dia selalu bertindak demikian karena merupakan kebiasaan baginya. Adapun yang menjadi pembenar ketika suatu kelompok melakukan tindakan tersebut adalah dengan mengatakan bahwa tindakan ini sudah dilakukan oleh nenek moyang kami. Weber melihat bahwa tindakan ini akan lenyap ketika meningkatnya rasionalitas instrumental.
42
Menurut Max Weber (dalam Dwi Narwoko, 2010: 18) metode yang dapat digunakan untuk memahami arti-arti subjektif tindakan sosial seseorang atau kelompok adalah dengan verstehen. Maksud dari verstehen menurut Weber adalah kemampuan untuk berempati atau menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu. Berdasarkan definisi teori tindakan sosial yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tindakan sosial adalah merupakan tindakan atau hal-hal yang dilakukan oleh individu maupun kelompok di dalam interaksi atau situasi sosial tertentu.Tindakan sosial itu bisa berwujud tindakan tradisonal, tindakan afektif, rasionalitas nilai, dan rasionalitas instrumental atau sarana dan tujuan. Teori tersebut dengan penelitian ini sehubungan dengan keterlibatan masyarakat dalam memanfaatkan kearifan lokal di Desa Wisata “Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri” sebagai Obyek dan Daya Tarik Desa Wisata (ODTDW) dan pengembangan pariwisata religi. Keterlibatan masyarakat dalam suatu kegiatan budaya merupakan bentuk dari suatu tindakan atau tingkah laku. Keterlibatan tersebut bisa berwujud keterlibatan yang mengedepankan rasionalitas instrumental, orientasi nilai, afektual maupun yang berkaitan dengan hal warsan dari lelehur yang dalam bahasa Weber adalah tindakan tradisional. 2. Modal Sosial (Capital Social) Robert Putnam Putnam dalam konsep modal sosial lebih banyak untuk menerangkan perbedaan-perbedaan dalam keterlibatan masyarakat yang dilakukan. Putnam mendefinisikan istilah ini setelah menyajikan bukti secara terperinci tentang kinerja institusional relative dan level-level keterlibatan suatu masyarakat. Dalam hal ini Putnam merujuk modal social pada suatu organisasi, yaitu kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan efisien masyarakat dengan menfasilitasi tindakan-tindakan yang terkondisi.
43
Modal
sosial
memberikan
sumbangsih
terhadap
tindakan
masyarakat dengan meningkatkan biaya potensial. Penggunaan istilah modal sosial Putnam dalam beberapa hal berdasarkan studinya di Italia merupakan perluasan dari gagasannya Colemen. Putnam dalam hal ini lebih banyak memberikan perhatian pada sumber-sumber yang terkumpul melalui ikatan-ikatan longgar yang terbangun melalui organisasi yang telah terkonstruksi (Field, 2011: 49-50). Pada tahun 1990-an definsi modal sosial yang dikemukakan oleh Putnam sedikit berubah. Pada tahun 1996, Putnam menyatakan bahwa modal social yang dimaksud merupakan bagian dari kehidupan social, yaitu jaringan, norma, dan kepercayaan yang mendorog masyarakat berpartisipasi secara bersama-sama dan kolektif untuk dapat mencapai tujuan-tujuan bersama. Dalam bukunya yang berjudul Bowling Alone, Putnam berargumen bahwa gagasan inti dari modal sosial yaitu jaringan memiliki nilai dan kontak sosial mempengaruhi produktivitas individu dan kelompok. Hal itu merujuk pada hunungan antar individu, jaringan social dan norma resiprositas dan kepercayaan yang telah tumbuh dari hubunganhubungan tersebut. Putnam, Bourdieu, dan Coleman ketiga tokoh ini masing-masing punya perbedaaan dalam modal sosial yang mereka kemukakan. Bourdieu mendefinisikan modal social sebagai modal hubungan social yang jika diperlukan akan memberikan dukungan-dukungan bermanfaat, modal harga diri dan kehormatan yang seringkali diperlukan jika ingin menarik para klien ke dalam posisi yang penting secara sosial dan bisa menjadi alat tukar. Coleman mendefinsikan modal social merupakn seperangkat sumber daya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi social komunitas yang berguna bagi perkembangan kognitif atau sosial anak yang masih muda. Sumber daya tersebut berbeda bagi orang yang berkelainan dan dapat memberikan manfaat penting bagi anak-anak dan remaja dalam perkembangan modal sosial mereka. Dalam hal ini Coleman lebih mengarah pada modal sosial dalam ranah keluarga.
44
D. Kerangka Berpikir Penelitian Pesan-Trend Budaya Ilmu merupakan salah satu tempat yang menjadi pioner didaerah Bantul khususnya, dan daerah Yogyakarta pada umumnya, yang didalamnya selalu menyajikan sesuatu yang menjadi keunggulan daerah tersebut. “Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri” terletak di sebuah dusun yang berada di arah Selatan kota Yogyakarta, lokasinya berbatasan dengan Kabupaten Bantul dengan Gunung Kidul. Lebih tepatnya terletak di Dusun Nogosari, Selopamioro, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Sekeliling tempat ini masih dengan keaslian alamnya, ketika berkunjung akan langsung disapa dengan alam yang asri dan pohon-pohon besar di sekitarnya. “Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri” didirikan dan dipimpin oleh KH. HM. Nashruddin Anshoriy Ch atau yang dikenal akrab dengan sebutan Gus Nas. “Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri” memiliki sesuatu hal yang sinergis dengan adanya keasrian alam, yaitu konservasi budaya yang memiliki ruh “humanactivity” dalam lingkaran kearifan budaya masyarakat, spirit pemberdayaan dan partisipasi lingkungan dan masyarakat serta transformasi nilai-nilai religiusitas. Desa wisata “Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri” memiliki beberapa kearifan lokal, yang mana hal tersebut menjadi daya tarik dan keunikan tersendiri bagi para wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut. Pengelolaan desa wisata tersebut, semua elemen masyarakat terlibat. Keterlibatan masyarakat atau partisipasi masyarakat merupakan bentuk tindakan sosial yang tentunya berorientasi tujuan tertentu mulai dalam awal keterlibatan hingga akhir, khususnya tentang partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan kearifan lokal di Desa Wisata “Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri” secara interaktif dan mandiri (self mobilization). Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan. Keterlibatan/partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan kearifan lokal yang mana tujuan akhirnya adalah untuk pengembangan Desa Wisata “Pesan-
45
Trend Budaya Ilmu Giri” dijelaskan dengan teori tindakan sosial Weber yang terbagi berdasarkan empat jenis, yaitu Rasional Instrumental (Zwerkrational), Rasionalitas yang berorientasi nilai (Wertrationalitat), tindakan tradisional, dan tindakan afektif. Dengan masih adanya keterkaitan antara budaya lokal dengan pariwisata desa tersebut, maka hal ini merupakan sebagai salah satu wahana untuk pelestarian budaya lokal yang dikemas dengan pariwisata, sehingga dapat menjadi salah satu daya tarik untuk para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Keterlibatan/partisipasi masyarakat lokal dalam hal ini adalah dalam penyediaan layanan fasilitas untuk wisatawan, perencana dan pelaksana yaitu dengan adanya pemberdayaan dari masyarakat sekitar. Dalam berpartisipasi, masyarakat tentu tidak akan terlepas dari berbagai macam kendala/penghambat serta berbagai macam faktor-faktor yang mendukung berjalannya partisipasi tersebut, sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam dunia pariwisata masyarakat lokal merupakan bagian dari stakeholder pariwisata dan mempunyai motivasi-motivasi tertentu. Setiap stakeholder harus membangun networking (jaringan didalam pengelolan stakeholder pariwisata. Jaringan merupakan modal sosial yang penting didalam mengembangkan pariwisata. Putnam menyebutkan tentang unsur modal sosial dalam suatu masyarakat untuk dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat, yaitu jaringan, norma dan kepercayaan dalam pengembangan ecospiritual tourism. Sebagaimana dalam penelitiannya Made Henry Urmila, dkk (2013: 1213) bahwa partisipasi masyarakat lokal merupakan unsur terpenting dalam pembangunan pariswisata khususnya yang berbasis masyarakat (Community Based Tourism). Partisipasi merupakan hak warga untuk bisa terlibat dalam setiap keputusan yang mempengaruhi kehidupan merekaterutama dalam hal pemenuhan kebutuhan. Melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
merupakan
penjelmaan
proses
politik
yang
demokratis.
Keterlibatan masyarakat juga sebagai sarana bahwa masyarakat tidak hanya
46
sebagai obyek, akan tetapi juga subyek dalam pembangunan dunia wisata. Dengan keterlibatan tersebut dalam hal pemanfaataan kearifan lokal di desa tersebut, maka pada jangka waktu ke depan pariwisata eco-spirtual tourism dapat berkembang lebih baik dan maju serta tidak meninggalkan kearifankearifan lokal yang terdapat di “Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri” khususnya. Pengembangan eco-spiritual tourism “Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri” tidak hanya sebatas pada pemanfaatan kearifan lokal sebagai aset wisata. Pengembangan wisata tersebut di “Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri” yang saat ini menejemen pengelolaan sudah berkembang luas ke Dusun Turunan yang di kenal dengan wisata “Susuh Angin” yang diresmikan pada tahun 2013 silam. Gus Nas sebagai pengelola dari dua tempat wisata tersebut, maka menawarkan pariwisata baru dan juga sebagai pariwisata alternatif, yaitu Eco-Spiritual Tourism. Pariwisata ini merupakan pariwisata yang berbasis lingkungan dan spiritual. Berbasis lingkungan karena pariwisata ini mencoba untuk memberikan pendidikan dan penyadaran lingkungan lewat dunia wisata. Spiritual tourism merupakan pariwisata yang didalamnya dapat menghadirkan ketenangan dalam jiwa dan hati para wisatawan yang berkunjung. Pariwisata ini juga diperuntukkan untuk semua jenis agama.
47
Tindakan Sosial Max Weber 1.Rasional Instrumental 2.Tradisional 3.Berorientasi nilai 4.Afektual
Partisipasi Masyarakat 1.Partisipasi Interaktif 2. Partisipasi Mandiri (self mobilization) a. Sebagai perencana b. Sebagai pelaksana c. Menikmati hasil d. Sebagai evaluator
Pemanfaatan Kearifan Lokal 1. Bangunan 2. Makanan 3. Kesenian 4. Pengelolaan lingkungan
Pengembangan Eco-Spiritual Tourism “Pesan-Trend Budaya Ilmu Giri”
Faktor sosial pendukung 1. Masyarakat lokal 2. Media massa 3. Modal Sosial 4. Dukungan para tokoh
Bagan 1: Kerangka Berpikir
Faktor sosial penghambat 1. Pendidikan masyarakat lokal 2. Masyarakat terbuka 3. Birokrasi