BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Autis 1.
Pengertian Autis Autisme berasal dari kata “autos” yang berarti segala sesuatu yang
mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum, autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri daripada melihat kenyataan/realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penderita autisme sering disebut orang yang hidup di “alamnya” sendiri. Anak dengan autisme mengalami gangguan perkembangan dalam hal berkomunikasi, interaksi sosial, emosi, perilaku, serta proses sensoris. (Movieta, 2006). Menurut Seroussi (2004), autisme adalah gangguan perkembangan yang menghambat perkembangan sosial dan bahasa. Autisme menyerang keluarga dengan latar belakang kelas, budaya, dan etnis apapun. Autisme bukan penyakit mental dan bukan disebabkan oleh trauma, melainkan penyakit neurobiologis yang gejala-gejalanya dapat dikurangi dengan diit bebas gluten dan kasein. Kurniawan, Koesworini, Mulatsih, Hasuki, Solahuddin, Prianggono, Halim, Hartono (200) menyatakan autis adalah gangguan perkembangan berat yang terutama ditandai dengan gangguan pada area perkembangan sebagai berikut, yaitu keterampilan komunikasi, adanya tingkah laku stereotype, serta minat dan aktifitas yang terbatas. Umumnya, mereka juga mengalami kesulitan berkomunikasi, baik verbal amupun nonverbal. Sebagian anak autis juga menunjukkan hiperaktifitas, misalnya berlarian dari suatu ruangan ke ruangan lain sepanjang hari. Atau tak bisa duduk diam tanpa ada yang memeganginya. Ada pula yang hipoaktifitas. Sepanjang hari hanya diam, menolak dilibatkan dalam aktifitas orang lain. Kurniasih, dkk. (2002) menyatakan bahwa autisme dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan waktu munculnya gangguan, yaitu autisme sejak
1
2
bayi (infantile) dan autisme regresif. Pada autisme yang terjadi sejak bayi, anak sudah menunjukkan perbedaan-perbedaan dibandingkan dengan anak nonaustik sejak ia bayi. Sedangkan autisme regresif ditandai dengan regresi (kemunduran kembali) perkembangan. Kemampuan yang sudah diperoleh jadi hilang. Kasus gangguan autisme yang terjadi sejak bayi bisa terdeteksi sekitar usia enam bulan. Sedangkan untuk kasus autisme regresif, orang tua biasanya menyadari ketika anak berusia 1,5-2 tahun. 2.
Penyebab Terjadinya Autis Menurut Tuti Soenardi dan Susirah Soetardjo (2007), ada beberapa
faktor yang diyakini sebagai penyebab autisme diantaranya: -
penyakit ibu saat hamil, misalnya cacar air / rubella, virus citomegalo, keracunan kehamilan, anemia berat, dan lain-lain yang mungkin mempengaruhi perkembangan sel syaraf otak janin / susunan syaraf pusat.
-
Bahan-bahan kimia seperti yang terdapat pada pengawet makanan, pewarna makanan, penambah rasa (MSG), dan food additive lainnya.
-
Keracunan logam berat (polutan) misalnya timbal (Pb) dari limbah kendaraan bermotor, merkuri (Hg) dari ikan yang tercemar / air raksa sebagai pengawet vaksin ang kadarnya melebihi ambang batas aman.
-
Gangguan metabolisme protein gluten dan kasein.
-
Infeksi jamur / yeast.
-
Alergi dan intoleransi makanan, dan lain-lain. Seperti gangguan perkembangan lainnya, autisme dipandang sebagai
gangguan
yang
memiliki
banyak
sebab
(multi-origin), sekaligus
penyebabnya tak sama dari satu kasus ke kasus yang lainnya. Padahal, penyebab-penyebab itu mungkin saja tidak berdiri sendirian, melainkan berinteraksi sekaligus. Dengan kata lain, sangat sulit menentukan penyebab tunggal dari gangguan autisme. Bahkan hingga kini belum bisa ditegakkan, apa penyebab pasti dari autisme. (Kurniasih, dkk., 2002). 3.
Patofisiologi Autisme
3
Penelitian menunjukkan, sebagian besar anak autis di Indonesia mengalami keracunan logam berat, seperti timbal (Pb), merkuri / raksa (Hg), kadmium (Cd), dan stibium (Sb). Kontaminasi logam ini bisa berasal dari polusi udara (dari asap kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar yang mengandung timbal), tambalan gigi yang menggunakan amalgam, vaksin (yang menggunakan merkuri sebagai pengawet), serta jika mengkonsumsi ikan dari perairan yang sudah tercemar. Terutama ikan yang berasal dari perairan dangkal, semisal teri dan kerang-kerangan. (Kurniasih, dkk., 2002). Logam berat yang masuk ke dalam tubuh, menimbulkan akibat dekstruktif yang sangat dahsyat. Misalnya, sel otak yang sedang berkembang bila ditetesi merkuri akan langsung rusak. Merkuri terutama merusak myelin, yaitu selaput pelindung saraf-saraf otak. Akibatnya, selsel saraf otak tampak seperti kabel-kabel listrik yang terbuka dan rusak, tidak bisa lagi berfungsi dengan baik. (Kurniasih, dkk., 2002). Selain itu, merkuri juga menyebabkan enzim DPP-4 tidak berfungsi. Enzim ini berfungsi sebagai pemecah gluten dan kasein. Hal inilah yang menyebabkan gluten dan kasein tidak bisa tercerna dengan baik di dalam usus. Dampak lainnya adalah turunnya daya kekebalan tubuh. Akibatnya, anak penyandang autis menjadi gampang sakit karena sel-sel pertahanan tubuhnya menurun drastis, sehingga tidak cukup jumlahnya untuk melawan bibit penyakit yang masuk. (Kurniasih, dkk., 2002). Biasanya bila anak sakit, orangtua akan langsung membawanya ke dokter dan oleh dokter akan diberi antibiotika. Padahal, antibiotika tak saja membunuh kuman-kuman penyakit, tetapi juga bakteri-bakteri baik di dalam perut, yaitu Lactobacillus. Dengan terbunuhnya Lactobacillus, keseimbangan yang ada di dalam usus menjadi berubah. Jamur yang pertumbuhannya selama ini dikontrol oleh Lactobacillus, bisa berkembang biak dengan bebas di dalam usus alias tak terkendali. Jamur ini beranakpinak sembari menempelkan diri ke dinding usus dan mengeluarkan enzim pencernaannya sendiri. Akibatnya, dinding mukosa usus menjadi
4
berlubang-lubang
kecil.
Lubang-lubang
kecil
ini
meningkatkan
permeabilitas usus, yaitu kemampuan usus untuk menyerap partikelpartikel makanan. (Kurniasih, dkk., 2002). Karena dinding usus penuh dengan jamur yang tumbuh seperti tanaman merambat pada dinding usus, enzim pencernaan pun terhalang. Jadi, kurangnya enzim pencernaan pada penyandang autisme ini selain disebabkan tidak berfungsinya enzim DPP-4 sehingga tidak bisa memecah gluten dan casein, juga akibat kurangnya enzim pencernaan yang lain. (Kurniasih, dkk., 2002). Akibat kurangnya enzim pencernaan yang berfungsi untuk memecah gluten dan kasein, maka gluten dan kasein tidak dipecah menjadi asam amino (struktur terkecil dari protein). Pada orang normal, protein yang bisa diserap oleh tubuh hanya yang berbentuk asam amino. Nah, bila ada gangguan pencernaan, sebagian gluten dan kasein tadi belum dipecah menjadi asam amino, melainkan masih terdiri dari rangkaian beberapa asam amino yang disebut peptide dan yang tak bisa diserap tubuh karena ukurannya yang besar. (Kurniasih,dkk., 2002). Namun, karena keadaan mukosa usus lebih bisa ditembus air, peptide sanggup menyelinap melalui lubang-lubang kecil pada mukosa, lalu terserap oleh usus dan dibawa aliran darah hingga ke otak. Di sini, jika peptide bersatu dengan sel-sel reseptor opiod, mereka akan bereaksi seperti morfin. Peptide yang berasal dari gluten akan menjadi gluteomorphin, sedangkan peptide yang berasal dari kasein akan menjadi caseomorphin. (Sianturi, 2003). Dinding usus yang lebih bisa ditembus air ini, juga mendasari keadaan multiple food allergy (alergi terhadap berbagai jenis makanan) pada penyandang autisme. Makanan-makanan yang belum tercerna dengan sempurna aakn menyelinap melewati lubang-lubang kecil pada dinding usus. Di luar dinding usus, sudah menunggu sel-sel pembuat sel-sel pembuat antibodi. Oleh sel-sel antibodi, makanan yang belum tercerna sempurna tadi dianggap sebagai zat asing dalam tubuh. Bila kebetulan
5
yang belum tercerna ini adalah telur, maka telur akan disergap sel-sel pembuat antibodi selanjutnya akan dibuatkan antibodi untuk telur. Akibatnya, tubuh si penyandang autisme menjadi alergi terhadap telur. Hal sama terjadi untuk bahan-bahan makanan lainnya. Jika keadaan dinding usus ini tidak cepat-cepat diperbaiki, daftar makanan yang dapat menyebabkan reaksi alergi pada anak pun bisa bertambah panjang. (Kurniasih,dkk., 2002). 4. Terapi Diit GF-CF (Gluten Free-Casein Free) Para ahli sepakat, penyandang autis sebaiknya berdiet gluten dan kasein yang dikenal diet GF-CF (gluten free dan casein free). Selain diyakini dapat memperbaiki gangguan pencernaan, juga bisa mengurangi gejala atau tingkah laku autistik anak. Meski sama-sama keluarga protein, gluten dan kasein berbeda. Gluten adalah protein yang berasal dari keluarga gandum-ganduman, semisal terigu, wheat, oat, dan barley, sementara kasein berasal dari susu sapi. Yang jelas, kedua jenis protein ini sulit dicerna. (Seroussi, 2004). Penderita autis harus menjauhi hasil-hasil olahan yang berbahan dasar kedua protein ini. Hasil olahan yang mengandung gluten adalah semua yang berasal dari tepung terigu, seperti makaroni, spageti, mi, ragi, juga bahan pengembang kue dan roti. Selain itu, sereal atau snack crackers juga umumnya terbuat dari gandum-ganduman. Sedangkan produk
olahan
yang mengandung kasein, selain susu sapi segar maupun susu bubuk, adalah mentega, keju, yoghurt, coklat, dan es krim. Bagi penyandang autis yang mengalami gangguan pencernaan, mengkonsumsi gluten dan kasein bisa membuat mereka tambah menderita. (Kurniasih, dkk., 2002). Diit kedua protein ini memang amat disarankan. Dengan catatan, asupan gluten dan kasein tidak dihentikan sama sekali. Sebab, ibarat pecandu narkoba, jika mendadak dihentikan konsumsi narkobanya, bisa mengalami kondisi sakaw atau ketagihan. Pada anak autis, jika kedua protein ini tiba-tiba dihentikan, justru bisa memperburuk kondisi anak. Kontak mata yang sudah tercipta, misalnya, akan hilang lagi. Bahkan
6
kadang ia memukuli kepalanya sendiri dan hiperaktif. Baru setelah 2-3 minggu, kondisi anak akan membaik kembali. (Kurniasih, dkk., 2002). Oleh sebab itu, penyetopan asupan gluten dan casein dari menu makanan anak sebaiknya dihentikan secara bertahap. Kalau perlu, makanan yang baru itu dicampur bersama-sama dengan gluten dan casein. Selain untuk menghindari kondisi sakaw pada anak, ia pun akan terbiasa dengan rasa makanan yang baru tadi. Orang tua misalnya, dapat mencampur susu kedelai yang aman dengan susu sapi, sambil mengurangi porsi susu sapinya. (Kurniasih, dkk., 2002). Efek menghilangkan susu dan semua makanan yang terbuat dari susu cepat terlihat; bisa dalam waktu 2-3 hari pada anak-anak, sedangkan pada orang dewasa 10-14 hari, bahkan biasanya lebih cepat dari itu. Diit ini perlu dilakukan selama tiga minggu. Pada tahun 1995, menurut Lucarelli, 66% anak-anak dalam percobaannya mendapatkan manfaat yang baik. Tentu saja ada kurun waktu saat efek samping diit ini timbul (misalnya ketagihan atau withdrawal). Tetapi, pada akhir minggu ke-3, biasanya semua sudah kembali baik. Efek ketagihan susu biasanya tidak lama, tetapi bisa sangat parah, terutama pada anak yang lebih kecil dan muda. Itulah sebabnya, pembuangan kasein dan gluten tidak dilakukan bersama-sama, melainkan berurutan. Memang ada orang tua yang menyingkirkan kasein dan gluten secara serentak dari diit anaknya. Namun, hal ini tidak dianjurkan karena terjadinya proses penolakan. Terutama pada anak di bawah umur empat tahun, reaksinya bisa sangat gawat. Pada tahap ini, kalau dilakuakn profil urin di laboratorium, betacasomorfin; bentuk lain dari pepida normal tidak terlihat lagi. Karena itu, tidak diperkirakan bahwa peptida adalah penyebab efek ketagihan susu tadi. Penelitian Gillberg tahun 1996 menemukan bahwa kasus autisme lebih banyak terjadi pada para imigran dibandingkan dengan penduduk asli Swedia. Berdasarkan teori, banyak kemungkinan yang bisa menjelaskan
7
fenomena ini, namun kemungkinan yang paling besar adalah bahwa sistem pencernaan para pendatang itu kurang mampu mencerna susu karena secara genetik mereka kekurangan enzim pencerna susu. Orang keturunan Afrika misalnya tidak mempunyai enzim laktase (pencerna susu), sedangkan pada keturunan Cina, enzim tersebut menghilang ketika mereka mencapai usia 12 tahun. Beberapa reaksi yang dapat timbul akibat alergi kasein adalah muntahmuntah, eczeme (eksim) terutama di belakang lutut dan lekukan siku, benjolan-benjolan putih di bawah kulit, sering terjadi infeksi telinga, konstipasi (sulit buang air besar), diare yang dimulai pada usia dini, dan gangguan pernafasan yang menyerupai asma. Diit bebas gluten berarti menghilangkan protein (prolamin) yang terdapat pada beberapa jenis gandum dari menu anak. Gluten banyak terdapat pada wheat, oats, barley, dan rye. Bagi masyarakat Barat yang pola makannya sangat tergantung pada gandum, diit ini sangat dianjurkan. Menurut pengalaman, hal ini bisa mereka lakukan tanpa kesulitan yang berarti. Diit bebas gluten ini dicoba selama tiga bulan. Percobaan di Inggris yang dilakukan oleh Whiteley pada 1999 memperlihatkan bahwa setelah melakukan diit bebas gluten selama lima bulan, kadar peptida dalam urin hanya turun 26%. Hal ini bisa terjadi karena peptida sering masuk dalam tubuh. Tubuh akan selalu mencoba membuang peptida lewat urin. Namun, jika jumlah urin terlalu banyak, maka sebagian disimpan dalam jaringan lemak di tubuh. Ketika sumber peptida dihilangkan dari makanan, maka keluar pulalah peptida yang ada dalam jaringan tubuh. Makin tua usia anak, makin banyak peptida yang telah diserap dalam lemak. Sehinga dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk membuangnya. Membuang gluten dari makanan tidak memberikan efek langsung secara dramatis, kecuali pada anak-anak yang masih kecil. Perubahan mungkin baru terlihat dalam kurun waktu 3-4 minggu atau lebih. Oleh karena itu, menghilangkan gluten sebaiknya paling sedikit selama 3 bulan.
8
Setelah itu, dilakukan penilaian ulang kemajuan yang telah dicapai anak. Efek buruk pelaksanaan diit bebas gluten tidak separah diit bebas kasein karena berkurangnya peptida dari gluten terjadi secara bertahap. Efek ketagihan lebih ringan, namun lebih lama terutama pada orang dewasa. Banyak kasus memperlihatkan bahwa kemajuan penyandang autisme tercapai setelah menjalani diit bebas gluten selama 7-9 bulan. Namun menurut Dr. Reichelt, ada juga kasus yang kemajuannya baru terlihat setelah menjalankannya selama 2 tahun. (Paul Shatock, 2002). Selain gluten dan casein, penyandang autisme juga disarankan untuk mengurangi konsumsi gula agar sistem pencernaan anak tidak semakin buruk. Tapi tidak berarti penyandang autis harus dijauhkan dari semua yang manis-manis. Buah-buahan yang manis misalnya, tidak dilarang sama sekali. Artinya, gula yang dilarang sangat tergantung pada jenisnya. (Kurniasih, dkk., 2002). 5. Unsur yang Harus Ada pada Makanan Anak Autis a. Air Hampir semua orang tahu bahwa kita dianjurkan untuk minum delapan gelas sehari, tetapi kita sering membiarkan tubuh kita setengah dehidrasi. Jika anak mengidap alergi, eksim, atau jika sistem kekebalan tubuhnya terganggu, bisa digunakan air yang sudah disaring dan dimurnikan. Selain itu, anak autis harus dijauhkan dari minuman yang manis dan bersoda. (Seroussi, 2004). b. Protein Protein bisa diperoleh dari daging, kacang, dan biji-bijian, kedelai, atau tofu, telur, dan nasi (terutama nasi merah). Hampir semua orang Amerika mengkonsumsi lebih banyak protein dari yan dibutuhkan oleh tubuh mereka. Jika anak tidak mendapatkan cukup protein, kedelai atau bubuk protein beras bisa ditambahkan ke dalam makanan atau minumannya.
9
c. Lemak dan Asam Lemak Minyak bunga matahari, minyak safflower, mentega yang 100% terbuat dari kelapa, atau minyak zaitun dapat digunakan, sehingga aman bagi anak autis. Bagi anak-anak yang makanannya sangat terbatas, diet ini cenderung rendah lemak. Kacang makadamia memiliki kandungan lemak dan protein tinggi, dan biasanya bisa ditoleransi oleh orang-orang yang sangat sensitif. Kacang bisa dihancurkan menjadi tepung dan ditambahkan ke dalam bahan pembuat kue (menambahkan tekstur kue), atau dicampurkan dengan air untuk membuat susu kacang, salah satu pengganti susu yang baik. Asam lemak sekarang dianggap sebagai salah satu zat yang dibutuhkan untuk kesehatan tubuh, termasuk untuk perkembangan otak. Hasil awal sejumlah penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pengidap autisme dan pengidap ganguan perkembangan lain sering kekurangan asam lemak esensial (EFA / essential fatty acid). Minyak biji rami dan primrose merupakan dua sumber asam esensial yang lazim, dan dapat dibeli di toko-toko makanan sehat. d. Karbohidrat dan Makanan Berserat Karbohidrat ditemukan di dalam buah-buahan dan makanan bertepung seperti beras dan kentang. Makanan berserat membantu menjaga kesehatan usus sehingga memudahkan buang air besar. e. Kalsium Tiga atau empat cangkir pengganti susu yang diperkaya kalsium mampu memenuhi kebutuhan kalsium anak, sehingga susu sapi sama sekali tidak diperlukan dalam diitnya. Cairan kalsium bebas gluten bisa ditambahkan ke dalam kue, wafel, atau panekuk. f. Vitamin dan Mineral (termasuk zat besi) Vitamin cair atau vitamin kunyah yang bebas gluten dan juga bebas dari alergen lain, seperti jagung, kedelai, produk susu, ragi, dan seterusnya sudah diproduksi khusus untuk anak autis.
10
Buah-buahan dan sayur-sayuran mengandung serat, air, vitamin, dan gula. Meskipun bergizi, jika seorang anak reaktif terhadap buah-buahan dan sayur-sayuran, maka sebaiknya tidak diberikan. Penumpukan ragi sering ditemukan dalam usus orang-orang yang tidak toleran terhadap gluten, sehingga mereka dianjurkan untuk menghindari buah-buahan yang banyak mengandung gula. Jika anak terbiasa diberi jus untuk mencukupi kebutuhannya akan vitamin dan suplemen, anggur hijau dan jus pir umumnya lebih ditoleransi dibandingkan apel dan jeruk. B.
Status Gizi 1.
Pengertian Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan
dan penggunaan zat-zat gizi. (Almatsier, 2001). Menurut Suhardjo dan Riyadi (1990), status gizi memiliki tiga konsep yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Ketiga konsep tersebut adalah : a. Proses dari organisme dalam meggunakan bahan makanan melalui proses pencernaan, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pembuangan untuk pemelihaaran hidup, pertumbuhan, fungsi organ tubuh, dan produksi energi, proses ini disebut gizi (Nutrition). b. Keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan zat gizi dengan pengeluaran oleh mikro organisme di pihak lain, keadaan ini disebut nutriture. c. Tanda-tanda penampilan yang diakibatkan oleh Nutriture dapat terlihat melalui variabel tertentu. Hal ini disebut status gizi (Nutritional status). 2.
Faktor yang mempengaruhi status gizi a. Faktor langsung Keadaan keseimbangan gizi tergantung dari tingkat konsumsi kualitas hidangan yang menunjukkan quantum masing-masing zat gizi
11
terhadap kebutuhan tubuh. Bila susunan hidangan dapat memenuhi kebutuhan tubuh baik dari sudut kualitas dan kuantitas, maka tubuh akan mendapatkan kesehatan yang sebaik-baiknya. Sebaliknya, konsumsi yang kurang baik dalam kualitas dan kuantitas akan memberi damoak pada kesehatan. Pangan dan gizi yang baik ditentukan oleh terjadinya keseimbangan antara banyaknya jenis zat gizi yang dikonsumsi dengan banyaknya zat yang dibutuhkan tubuh. Infeksi biasanya berhubungan dengan gangguan gizi. Infeksi mengakibatkan pengahancuran jaringan tubuh akan meningkat karena dipakai untuk pembentukan protein / enzim-enzim yang diperlukan dalam usaha pertahanan tubuh. Gangguan gizi dan infeksi sering bekerja secara sinergis. Infeksi akan memperburuk kemampuan seseorang untuk mengatasi penyakit infeksi. Zat gizi dibutuhkan oleh tubuh oleh tumbuh kembang guna mencapai hasil yang optimal. b.
Faktor tidak langsung Pengetahuan seseoprang biasanya diperoleh dari pengalaman yang
berasal dari berbagai macam sumber, misalnya media massa, elektronik, buku petunjuk, penyuluhan, dan kerabat dekat. (Yuwono, 1999). Pengetahuan
bertujuan
mendapatkan
kepastian
serta
menghilangkan prasangka sebagai akibat ketidakpastian dan adanya kepercayaan-kepercayaan
yang
tidak
dibutuhkan
kebenarannya.
Sedangkan pengetahuan gizi merupakan pemahaman masyarakat tentang pemilihan dan pengkonsumsian makanan sehari-hari dengan baik dan memberikan semua zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Pemilihan dan pengkonsumsian bahan makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik / optimal terjadi apabila tubuh memproduksi / cukup gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Status gizi kurang terjadi apabila tubuh mengalami kekurangan satu / lebih zat gizi yang esensial. Sedangkan status gizi lebih apabila tubuh
12
memproduksi
/
zat
gizi
dalam
jumlah
berlebihan,
sehingga
menimbulkan efek yang membahayakan. (Almatsier, 2003). 3.
Penilaian Status Gizi Menurut Supariasa, Bakri, dan Fajar (2001) ada dua metode penilaian
status gizi yaitu penilaian statu gizi secara langsung yang dibagi lagi menjadi empat yaitu penilaian antropometri, klinis, biokimia, dan biofisis. Penilaian statu gizi secara tidak langsung dapat dibagi menjadi tiga penilaian, yaitu survei konsumsi makanan, status vital, dan faktor ekologi. Adapun cara pengukuran yang paling sering digunakan adalah antropometri karena lebih praktis, cukup teliti, serta lebih mudah dilakukan oleh siapa saja dengan bekal latihan sederhana. (Jahari, 1998). C.
Kerangka Teori Status Gizi Kesehatan
Konsumsi makanan: - Energi - Protein
Pemeriksaa n kesehatan
Sanitasi lingkungan
Persediaan pangan Daya beli
Pendapata n Harga
Frekuensi makan
Distribusi makanan Pola makan Sumber : Supariasa, Bakri, dan Fajar, 2001.
13
D.
Kerangka Konsep Error: Reference source not found Konsumsi protein - gluten
Status Gizi
- kasein
E.
Hipotesa Hi : ada hubungan antara konsumsi gluten dengan status gizi anak autis. Hi : ada hubungan antara konsumsi kasein dengan status gizi anak autis.