dasar-dasar teori yang dapat digunakan untuk mendukung dan menunjang penelitian yang dilakukan penulis.
1.7
Lokasi dan Waktu Panelitian Penelitian ini dilakukan pada KPP Bandung Cicadas Jl. Soekarno-hatta
No.781, Bandung 40725. Lamanya penelitian diperkirakan memerlukan waktu tiga bulan, yakni mulai dari pengumpulan data, hingga selesainya penyusunan hasil penelitan ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pajak
2.1.1
Tinjauan Umum Tentang Pajak Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat.
Masyarakat yang dimaksud disini adalah masyarakat hukum, yaitu masyarakat yang mempunyai ciri-ciri sebagai masyarakat tetap, yang merupakan satu kesatuan yang kuat untuk jangka waktu yang panjang, yang anggota masyarakatnya satu sama lain mempunyai hubungan erat, mempunyai kepentingan sama, dan kepentingan bersama ini dilaksanakan dengan cara bergotong royong. Tanpa ada masyarakat, tidak mungkin ada suatu pajak. Tujuan atau kepentingan bersama inilah yang mengakibatkan adanya pajak. Apabila masing-masing individu tidak berhubungan satu dengan yang lainnya dan tidak mempunyai kepentingan bersama, maka tentu tidak ada upaya untuk memenuhi kebutuhan bersama, sehingga tidak ada pula pajak. Jadi, pajak hanya dapat dibenarkan apabila pajak tersebut bermanfaat bagi masyarakat.
Bagi masyarakat maupun individu-individu yang berbeda didalamnya, masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Sebaliknya individu pun memiliki hak dan kewajiban terhadap masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat, setiap individu harus mendahulukan kepentingan umum artinya kepentingan pribadi (hak asasi manusia) hanya dapat dibatasi oleh kepentingan bersama. Pajak adalah alat yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang merupakan tanggung jawab setiap individu, sehingga setiap individu tidak membayar pajak yang telah menjadi kewajibannya berarti melanggar hak asasi masyarakat dan akan ditindak oleh masyarakat itu sendiri melalui pemerintah, dalam hal ini pemerintah atau fiskus diartikan sebagai wakil masyarakat untuk melaksanakan seluruh hak dan kewajiban masyarakat.
2.1.2
Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Undang-undang no. 28 Tahun 2007 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No. 1: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. Definisi atau pengertian pajak menurut P.J.A Andriani yang dikutip oleh Waluyo dan Wirawan B. Ilyas (2005, 22) adalah sebagai berikut : “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintah”. Pengertian pajak menurut Soeparman Soemahamidjaja dari disertasinya yang berjudul Pajak Berdasarkan Azas Gotong Royong dikutip oleh Waluyo dan Wirawan B. Ilyas (2005, 3) menyatakan bahwa : “Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup
biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”. Menurut Sommerfeld Ray M, Anderson Herscel M, dan Brock Horace R: “Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sector swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan”. Sedangkan menurut Rachmat Soemitro yang dikutip oleh Waluyo dan wirawan B. Ilyas (2005, 3) menyatakan bahwa : “Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat disahkan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Menurut Waluyo dan Wirawan B. Ilyas (2005, 3) dari pengertian pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa : 1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan. Kesimpulan ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya
masih
terdapat
surplus,
dipergunakan untuk
membiayai public investment. 5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengisi kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu pajak juga sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan Negara dalam lapangan ekonomi dan sosial.
Dalam pengenaan pajak Adam Smith dalam bukunya “An Inguiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nation” yang diterbitkan pada tahun1776 memberikan kriteria, bahwa agar undang-undang pajak itu adil, maka sebaiknya memenuhi persyaratan dibawah ini: a. Equality Pembebanan pajak diantara subjek pajak hendaknya seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya dibawah perlindungan pemerintah. b. Certainty Pajak yang dibayar oleh Wajib Pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan adalah mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak dan ketentuan mengenai pembayarannya. c. Convenience of Payment Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi Wajib Pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan atau keuntungan yang dikenakan pajak. d. Economic of Collections Pemungutan pajak hendaknya dilakukan secara hemat dan efisien, jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri.
2.1.3
Dasar Hukum Pajak Dasar hukum pajak tercantum dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 menyatakan bahwa “Segala pajak untuk kepentingan Negara berdasarkan Undang-Undang”, yang berarti bahwa pengertian tersebut telah disetujui rakyat bersama pemerintah yang dituangkan ke dalam bentuk UndangUndang. Suatu kaidah hukum harus mempunyai dasar berlaku yuridis (juridisce gelding). Dasar yuridis ini sangat penting dalam pembuatan pengaturan
perundang-undangan karena akan menunjukkan adanya beberapa hal, salah satu diantaranya adalah keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu undang-undang tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, demikian pula seterusnya sampai ada peraturan perundang-undangan tingkat lebih bawah.
2.1.4
Fungsi Pajak Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan
bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan Negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu: 1. Fungsi anggaran (budgeter) Sebagai sumber pendapatan Negara, pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran negara. Sebagai contoh, yaitu dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. 2. Fungsi mengatur (regular) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial ekonomi. Sebagai contoh, yaitu dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah. 3. Fungsi stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa silakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien. 4. Fungsi redistribusi pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh Negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan
sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
2.1.5
Syarat Pemungutan Pajak Tidaklah mudah untuk membebankan pajak kepada masyarakat. Bila
terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan, yaitu: 1. Pemungutan pajak harus adil. Seperti halnya produk hukum, pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptaka keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundangundangan, maupun adil dalam pelaksanaannya. 2. Pengaturan pajak harus berdasarkan Undang-Undang. Sesuai pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi “Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan Negara diatur dengan Undang-Undang”, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Undang-Undang tentang pajak, yaitu: a. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh Negara yang berdasarkan Undang-Undang tersebut harus dijamin kelancarannya. b. Jaminan hukum bagi para Wajib Pajak untuk tidak diperlakukan secara umum. c. Jaminan hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi para Wajib Pajak. 3. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian. Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah. 4. Pemungutan pajak harus efisien.
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan, agar pajak yang diterima tidak lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian Wajib Pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak, baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana. Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pemungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan Wajib Pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai, sehingga akan memberikan dampak positif bagi para Wajib Pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, masyarakat akan semakin enggan membayar pajak.
2.1.6
Tata Cara Pemungutan Pajak Menurut Waluyo dan Wirawan B. Ilyas (2005, 16) mengemukakan tentang
Tata Cara Pemungutan Pajak ke dalam beberapa bagian yaitu: 1. Stelsel Pajak Cara pemungutan pajak dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel, yaitu : a. Stelsel nyata (riil stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui). b. Stelsel anggapan (fictive stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Sebagai contoh, penghasilan suatu tahun dianggap
sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Kelemahannya adalah pajak
yang
dibayar
tidak
berdasarkan
pada
keadaan
yang
sesungguhnya.
c. Stelsel campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah kekurangannya. Demikian pula sebaliknya, apabila lebih kecil, maka kelebihannya dapat diminta kembali. 2. Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi: a. Official Assessment Sistem Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang. Ciri-ciri Official Assessment Sistem: 1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus. 2. Wajib Pajak bersifat pasif. 3. Hutang pajak timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus. b. Self Assessment Sistem Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang member wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Ciri-ciri Self Assessment Sistem: 1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri. 2. Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. 3. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. c. Witholding Sistem Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-ciri Witholding Sistem: Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
2.1.7
Pengelompokkan Pajak Menurut Waluyo dan Wirawan B. Ilyas (2005, 12) mengemukakan bahwa
pajak dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bagian yaitu: 1. Menurut golongan a. Pajak
langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat
dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Sebagai contoh Pajak Penghasilan. b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain. Sebagai contoh Pajak Pertambahan Nilai. 2. Menurut sifat Pembagian
pajak
menurut
sifat
dimaksudkan
perbedaan
dan
pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip: a. Pajak Subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak Objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Menurut pemungut dan pengelolanya a. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. b. Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: Pajak reklame, Pajak hiburan, Pajak Kendaraan Bermotor.
2.2
Pajak Penghasilan
2.2.1
Pengertian Pajak Penghasilan Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan
perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional, atau regresif. Definisi Pajak Penghasilan seperti halnya yang tercakup dalam pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia nomor 17 Tahun 2000 mengenai pengertian Pajak Penghasilan adalah: “Pajak
Penghasilan
dikenakan
terhadap
Subjek
Pajak
atas
Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak”. Dari pengertian di atas berdasarkan pasal 4 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 dijelaskan sebagai berikut: 1. Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. 2. Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Yang tidak termasuk objek pajak adalah: a. 1. Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil …..zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh …..Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak. 2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau pengusaha antara pihak-pihak yang bersangkutan. b. Warisan c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal. d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau pemerintah. e. Pembayaran dari pengusaha asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa. f. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak di dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan 2. Bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut. g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai. h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan. i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang
modalnya
tidak
terbagi
atas
saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi. j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: 1. Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan, dan 2. Sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.
2.2.2
Subjek Pajak Penghasilan Menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan,
subjek pajak penghasilan adalah sebagai berikut: 1. Subjek pajak pribadi, yaitu setiap orang yang tinggal di Indonesia atau tidak bertempat tinggal di Indonesia yang mendapatkan penghasilan dari Indonesia.
2. Subjek pajak harta warisan belum terbagi, yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak. 3. Subjek pajak badan, yaitu perkumpulan orang dan/atau modal baik melakukan usaha maupun tidak melakukan kegiatan usaha. Meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan bentuk usaha apapun seperti firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, perkumpulan, persekutuan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau organisasi sejenis, lembaga, Bentuk Usaha Tetap dan bentuk badan lainnya. 4. Bentuk Usaha Tetap, yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.
2.2.3
Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan
1. Badan perwakilan Negara asing. 2. Pejabat perwakilan diplomatik, konsulat atau pejabat-pejabat lain dari Negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat: a. Bukan warga Negara Indonesia; b. Di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut; c. Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. 3. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat: a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia, selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat: a. Bukan warga Negara Indonesia; b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2.2.4
Tarif Pajak Penghasilan Tarif pajak penghasilan sesuai yang diatur dalam pasal 17 UU No. 17
Tahun 2000 adalah sebagai berikut: 1. Wajib Pajak Orang Pribadi No. 1 2 3 4 5
Lapisan Penghasilan s.d Rp. 25.000.000,di atas Rp. 25.000.000, - s.d Rp. 50.000.000,di atas Rp. 50.000.000,- s.d Rp. 100.000.000,di atas Rp. 100.000.000,- s.d Rp. 200.000.000,di atas Rp. 200.000.000,-
Tarif 5% 10% 15% 25% 35%
2. Wajib Pajak Badan No. 1 2 3
Lapisan Penghasilan s.d Rp. 50.000.000,di atas Rp. 50.000.000,- s.d Rp. 100.000.000,di atas Rp. 100.000.000,-
Dengan
pesatnya
perkembangan
sosial
ekonomi
Tarif 10% 15% 30% sebagai
hasil
pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, dipandang perlu untuk dilakukan perubahan peraturan pajak penghasilan guna meningkatkan fungsi dan peranannya dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi. Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, dilakukan perubahan tarif PPh dengan dasar perubahan: Menjunjung tinggi hak warga Negara. Menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan. Merupakan sarana peran serta masyarakat dalam pembiayaan Negara.
Meningkatkan fungsi dan peranan UU PPh dalam mendukung kebijakan pembangunan nasional (khususnya ekonomi), seirama dengan pesatnya perkembangan sosial ekonomi, globalisasi serta reformasi di berbagai bidang. Peningkatan
optimalisasi
penerimaan
negara
dengan
tetap
mempertahankan self assessment dan konsep perpajakan world wide income. Sehingga tarif pajak penghasilan adalah sebagai berikut: 1. Wajib Pajak Orang Pribadi UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 17 ayat (1) a tentang Pajak Penghasilan: No. 1 2 3 4
Lapisan Penghasilan s.d Rp. 50.000.000,di atas Rp. 50.000.000,- s.d Rp. 250.000.000,di atas Rp. 250.000.000,- s.d Rp. 500.000.000,di atas Rp. 500.000.000,-
Tarif 5% 15% 25% 30%
2. Wajib Pajak Badan UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 17 ayat (1) b tentang Pajak Penghasilan: Merubah tarif progresif menjadi tarif tunggal. Menurunkan tarif tertinggi dari 30% menjadi 28% pada tahun 2009, dan 25% pada tahun 2010. Untuk Wajib Pajak badan go publik, diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif normal, dengan kriteria minimal 40% sahamnya dijual di BEI.
2.3
Pengertian Wajib Pajak Pengertian Wajib Pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No. 2: “Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak
dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”. Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Hal tersebut dijelaskan bahwa: 1. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Penjelasan: Setiap Wajib Pajak sebagai pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. 2. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor
barang,
melakukan
usaha
perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean. Penjelasan : Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan: 1. Tempat pendaftaran dan/atau pelaporan usaha selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2); dan/atau
2. Tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu. 3. Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. Penjelasan: Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau
Pengusaha
Kena
Pajak
tidak
melaksanakan
kewajibannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).
2.4
Surat Pemberitahuan (SPT)
2.4.1
Pengertian Surat Pemberitahuan Pengertian Surat Pemberitahuan berdasarkan Pasal 1, angka 11 Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan: “Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”. Adapun fungsi SPT dapat dilihat dari Wajib Pajak, pengusaha kena pajak atau pemotong/pemungut pajak sebagai berikut: Fungsi Surat Pemberitahuan bagi: 1. Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai saran untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan
penghitungan
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
jumlah
pajak
yang
a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak; b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak; c. Harta dan kewajiban; d. Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan. 2. Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam 1 (satu) Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 3. Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
2.4.2
Jenis Surat Pemberitahuan (SPT) Secara garis besar Surat Pemberitahuan (SPT) dibedakan menjadi 2 (dua),
yaitu: 1. SPT Masa Surat Pemberitahuan Masa adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan perhitungan dan/atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu masa pajak atau pada suatu saat. 2. SPT Tahunan
Surat Pemberitahuan Tahunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan perhitungan dan/atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak.
2.4.3
Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Menurut Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan: “Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak”. Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan: Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah: 1. Untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak; 2. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau 3. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan: “Wajib
Pajak
Pemberitahuan
wajib dengan
mengisi benar,
dan
menyampaikan lengkap,
jelas,
Surat dan
menandatanganinya”
2.4.4
Perpanjangan Batas waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Pasal 3 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan :
Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan ternyata tidak dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan pada ayat (3) huruf b, atau huruf c karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan keuangan, atau sebab lainnya sehingga sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan, Wajib Pajak dapat memperpanjang penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain, misalnya dengan pemberitahuan secara elektronik kepada Direktur Jenderal Pajak.
2. 5
SPT Pembetulan Dalam dunia perpajakan istilah SPT mungkin sudah sangat dikenal karena
SPT inilah sarana komunikasi atau pertanggungjawaban dari Wajib Pajak kepada otoritas perpajakan yaitu Direktorat Jenderala Pajak sebagai instansi yang yang bertugas untuk mengawasi kewajiban perpajakan SPT sendiri adalah singkatan dari Surat Pemberitahuan. Dalam kaitannya dengan SPT ini dikenal juga adanya istilah SPT Pembetulan. Kata “pemebetulan” ini mengandung pengertian perbaikan atau koreksi atas SPT yang sudah disampaikan sebelumnya. Misalnya PT X menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan 2006 pada tanggal 31 Maret 2007. Ternyata diketahui saat ini bahwa ada data yang belum diperhitungkan dalam SPT tersebut. Akhirnya PT X membuat dan meyampaikan SPT Tahunan Pembetulan PPh badan tahun 2006 pada tanggal 17 September 2008. Pembetulan terhadap SPT ini bisa dilakukan lebih dari satu kali. Dengan demikian dikenal istilah pembetulan pertama, pembetulan kedua, dan seterusnya.
2.5.1
Dasar Hukum SPT Pembetulan Masalah pembetulan KUP ini diatur dalam Pasal Undang-undang KUP.
Dalam UU yang lama (sampai dengan UU No. 26 tahun 2000) terdapat 6 ayat yang mengatur pembetulan SPT ini. Dalam UU KUP yang baru (UU No. 28 Tahun 2007) terdapat pembahasan dua ayat baru yaitu ayat (1a) dan ayat (2a) sehingga terdapat 8 ayat. Adapun perubahan-perubahan terjadi dalam hal pembetulan SPT ini adalah sebagai berikut: Pertama, batasan waktu pembetulan di ayat (1) UU yang lama dihilangkan. Artinya dengan berlakunya UU baru, pembetulan SPT bias dilakukan kapan saja tidak harus dalam jangka waktu 2 tahun sejak berkhirnya tahun pajak atau masa pajak. Walupun demikian, pembetulan boleh dilakukan sepanjang DIRJEN Pajak belum melakukan pemeriksaan. Kedua, Khusus untuk SPT Pembetulan yang manyatakan Lebih Bayar atau Rugi, penyampaiannya dibatasi dua tahun sebelum daluarsa penetapan. Hal ini diatur dalam ayat baru yaitu ayat (1a). ketentuan ini nampaknya dimaksudkan agar Dirtjen Pajak mempunyai cukup waktu untuk melakukan pemeriksaan sebelum daluarsa penetapan. Ketiga,
ketentuan
sanksi
bunga
akibat
pembetulan
SPT
yang
menyebabkan utang pajak bertambah dibedakan antara SPT Tahunan dan SPT Masa. Dalam UU lama, sanksi bunga diatur hanya dalam Pasal 2 dimana sanksi bunga akibat pembetulan SPT dihitung sebesar 2% per bulan sejak penyampaian SPT berakhir samapi dengan tanggal pembayaran. Di UU KUP lama, ayat (2) khusus mengatur sanksi akibat pembetulan SPT Tahunan, sementara ayat (2a) khusus mengatur sanksi akibat pembetulan SPT Masa. Untuk SPT Tahunan, sanksi bunga dihitung sebesar 2% per bulan atas jumlah yang kurang bayar dihitung sejak berakhirnya saat penyampaian SPT Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian bulan dihitung penuh satu bulan. Sedangkan untuk SPT Masa, sanksi bunga ini sebesar 2% per bulan atas jumlah yang kurang bayar dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian bulan dihitung penuh satu bulan.
Keempat, sanksi pasal 8 ayat (3) diubah besarnya 2 kali dari jumlah yang kurang bayar menjadi 150% dari jumlah pajak ynag kurang bayar. Pasal 8 ayat (3) ini mengatur mengenai pembetulan yang dilakukan setelah dilakukan pemeriksaan tetapi sebelum dilakukan penyidikan mengenai ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 18. Atas pembetulan ini, kepada Wajib Pajak tidak dilakukan penyidikan. Kelima, syarat pembetulan dalam Pasal 8 ayat (4) diperlonggar. Dalam UU KUP lama, Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan dengan laporan sendiri walaupun jangka waktu pembetulan sudah berakhir asalkan belum diterbitkan SKP dengan syarat pajak yang harus dibayar bertambah atau rugi menjadi lebih kecil atau jumlah harta menjadi lebih besar atau jumlah modal menjadi besar. Dalam KUP baru, substansinya diubah sehingga menjadi berbunnyi sebagai berikut. Walaupun Dirjen Pajak sudah melakukan pemeriksaan asalkan belum diterbitkan SKP, Wajib Pajak dapat mengungkapkan ketidakbenaran SPT dalam laporan tersendiri yang mengakibatkan pajak yang harus dibayar bertambah atau berkurang, rugi menjadi lebih kecil atau lbeih besar , jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil, atau jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil. Adapun sanksi atas kekurangannya yang diatur dalam ayat (5) tidak berubah. Masih tetap 50% dari pajak yang kurang bayar. Keenam, di ayat (6) Wajib Pajak dapat membetulkan SPT Tahunan sebagai akibat dari Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan SKP tahun sebelumnya yang menyebabkan kompensasi kerugian berubah. Di ayat (6) UU KUP yang baru ditambahkan, selain SKP, Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, juga ada Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan pembetulan SPT Tahunan ini. 2.5.2
Batas Waktu Pembetulan Untuk tahun pajak 2007 dan sebelumnya, pembetulan SPT dapat
dilakukan dalam jangka waktu 2 tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan pemeriksaan adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak
disampaikan kepada Wajib Pajak, atau wakil, atau kuasa, atau, pegawai, atau diterima oleh anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. Sekalipun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi sepanjang belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 18, terhadap ketidakbenaran perbaikan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidak benaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 kali jumlah pajak yang kurang dibayar. Walaupun jangka waktu dua tahun telah berakhir dan Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan SKP kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum membetulkan SPT masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan, yang dapat berupa SPT Tahunan atau SPT Masa untuk bertahun-tahun atau masa-masa sebelumnya. Pengungkapan ketdakbenaran pengisian SPT tersebut terbatas pada hal-hal sebagai berikut: a. Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar, atau b. Rugi berdasrkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil, atau c. Jumlah harta menjadi lebih besar, atau d. Jumlah modal menjadi lebih besar Kekurangan pembayaran pajak dalam kasus ini hrus dilunasi ditambah dengan denda kenaikan 50% sebelum laporan tersendiri disampaikan. Pembetulan melebihi batas waktu dua tahun jug adapt dilakukana dalam Wajib Pajak menerima keputusan keberatan atau putusan banding tahun-tahun sebelumnya yang menyebabkan adanya kompensasi kerugian yang berbeda dengan yang sudah dilaporkan. Untuk tahun pajak 2008 dan sesudahnya, batas waktu dua tahun dihilangkan sehingga Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan sepanjang belum dilakukan pemeriksaan.
Namun demikian, SPT Pembetulan yang menyatakan rugi atau lebih bayar, jangka waktu dibatasi yaitu paling lambat dua tahun sebelum daluarsa penetapan. Daluarsa penetapan sendiri adalah lima tahun setelah saat terutang pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. Dengan kata lain, bats waktu penyampaian SPT Pembetulan rugi atau lebih bayar paling lambat adalah sekitar tahun sejak berakhirnya Masa Pajak atau Tahun Pajak. Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 18, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% dari jumlah pajak yang belum dibayar. Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan tetapi belum menerbitkan SKP kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum membetulkan SPT
masih
diberikan
kesempatan untuk mengungkapkan
ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan, yang dapat berupa SPT Tahunan atau SPT Masa untuk tahun atau masa yang diperiksa. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT tersebut dilakukan dalam laporan tersendiri dan harus mencerminkan keadan yang sebenarnya sehingga dapat diketahui jumlah pajak yang sesungguhnya terutang. Namun, untuk membuktikan kebenaran laporan Wajib Pajak tersebut, proses pemeriksaan tetap dilanjutkan sampai selesai. Kekurangan pembayaran pajak dalam kasus ini harus dilunasi ditambah dengan denda kenaikan 50% sebelum laporan tersendiri disampaikan. Wajib Pajak dapat membetulkan SPT Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima SKP, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sesudahnya, yang
menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitauan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
2.5.3
Sanksi Bunga Atas Pembetulan Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan yang
mengakibatkan utang pajak lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan 2.6
Sunset Policy
2.6.1
Tinjauan umum mengenai Sunset Policy Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007. Secara singkat Undang-undang itu disebut dengan UU KUP. Salah satu hal baru yang diatur dalam perubahan terakhir UU KUP adalah adanya pasal 35A yang memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk mengumpulkan data dan informasi perpajakan dari setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lain. Yang dimaksud dengan data dan informasi perpajakan adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data
transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar Direktorat Jenderal Pajak. Pemberian kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk mengumpulkan data dan informasi tersebut merupakan konsekwensi penerapan sistem self assesment dan dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan. Undang-Undang KUP Tahun 2008 memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menghimpun data perpajakan dan mewajibkan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lainnya untuk memberikan data kepada Direktorat Jenderal Pajak. Ketentuan ini memungkinkan Direktorat Jenderal Pajak mengetahui ketidakbenaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang telah dilaksanakan oleh masyarakat. Untuk menghindarkan masyarakat dari pengenaan sanksi perpajakan yang timbul apabila masyarakat tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya secara benar, Direktorat Jenderal Pajak di tahun 2008 ini memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mulai memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela dan melaksanakannya dengan benar. Undang-undang Pajak di Indonesia menganut sistem self assesment. Dengan sistem self assesment, maka wajib pajak diberikan kesempatan menghitung dan memperhitungkan sendiri pajak-pajaknya. Menghitung artinya menghitung sendiri besarnya pajak yang terutang. Memperhitungkan artinya memperhitungkan pajak-pajak yang sudah dipungut oleh pihak lain. Menghitung dan memperhitungkan tersebut untuk pajak penghasilan orang pribadi dituangkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan. Sistem self assestment memberikan kesempatan yang besar kepada wajib pajak, namun disertai dengan pengawasan. Sebagai imbal balik dari sistem self assesment, tentu saja serangkaian denda dan sanksi bisa dikenakan apabila terdapat ketidakbenaran dalam menyampaikan SPT nya. Disamping harus melunasi pajak yang kurang dibayar akibat ketidakbenaran, wajib pajak orang pribadi juga dapat dikenakan senda dan sanksi sebagai berikut:
1. SPT disampaikan melewati jangka waktu yang ditentukan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah); 2. Sudah menyampaikan SPT tepat pada waktunya, namun terdapat kesalahan kemudian membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar; 3. Sudah dilakukan pemeriksaan namun belum diterbitkan Surat Ketetapan Pajak,
wajib
pajak
dengan
kesadaran
sendiri
mengungkapkan
ketidakbenaran pengisian SPT dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar; 4. Sudah dilakukan pemeriksaan namun belum dilakukan penyidikan, wajib pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT, maka tidak dilakukan penyidikan dengan ketentuan wajib pajak dikenakan sanki administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar; 5. Berdasarkan hasil pemeriksaan, terdapat kekurangan pembayaran pajak, maka dikenakan sanksi administrai berupa bunga 2% (dua persen) per bulan. Pemerintah dan DPR menyadari bahwa sampai dengan saat ini, kesadaran wajib pajak untuk menyampaikan pemberitahuan yang benar masih cukup rendah. Dalam kondisi kesadaran yang rendah itu, maka apabila sanksi yang keras pada UU KUP diperlakukan tanpa adanya pemahaman yang baik oleh masyarakat bisa menimbulkan gejolak dan mungkin ada efek kontra produktif. Dengan pertimbangan tersebut masyarakat perlu diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela. Kesempatan itu diberikan dalam bentuk pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007. Pembetulan tersebut dituangkan dalam SPT sesuai pasal 37A UU KUP yang dibuat untuk tahun-tahun yang dilakukan pembetulan. Kesempatan untuk menyampaikan pembetulan SPT inilah yang dalam kampanye
disebut sebagai sunset policy atau pengampunan pajak. Wajib pajak yang menyampaikan SPT dalam rangka sunset policy akan memperoleh manfaat : 1. Sunset policy memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk menyampaikan SPT baru apabila dalam tahun yang bersangkutan belum pernah menyampaikan SPT. Dengan kesempatan ini, maka wajib pajak tidak dikenakan sanksi administrasi karena keterlambatan penyampaian SPT. SPT yang seharusnya disampaikan untuk tahun pajak 2006 dan tahun-tahun sebelumnya, dapat disampaikan pada tahun 2008 tanpa dikenakan sanksi. Ini artinya wajib pajak terhindar dari sanksi nomor 1 tersebut di atas. 2. Sunset policy memberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak. Sebagaimana disampaikan di atas, denda atas keterlambatan pelunasan kekurangan pajak adalah 2% (dua persen) per bulan dari pajak yang kurang dibayar. Ini artinya wajib pajak terhindar dari sanksi nomor 2 tersebut di atas. 3. SPT yang disampaikan dalam rangka sunset policy tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar. Dengan demikian, maka wajib pajak terhindar dari kemungkinan dikenakan kekurangan pembayaran dan denda pada saat pemeriksaan maupun setelah dilakukan pemeriksaan. Ini artinya wajib pajak terhindar dari kemungkinan adanya sanksi nomor 3, 4 dan 5 tersebut di atas. Sunset Policy ini hanya berlaku dalam satu tahun, yaitu mulai berlaku dari 1 Januari 2008 sampai 31 Februari 2009. Yang dapat memanfaatkan Sunset Policy adalah :
1. Orang Pribadi yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang dalam tahun 2008 secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan menyampaikan SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak 2007 dan tahun-tahun pajak sebelumnya paling lambat 31 Maret 2009. 2. Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan yang telah memiliki NPWP sebelum tahun 2008, yang menyampaikan pembetulan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2006 dan tahun-tahun pajak sebelumnya untuk melaporkan penghasilan yang belum diperhitungkan dalam pelaporan SPT Tahunan PPh yang telah disampaikan. Orang pribadi yang belum memiliki NPWP dapat memanfaatkan Sunset Policy dengan cara : 1. Mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP Domisili) atau melalui e-registration, dalam tahun 2008. 2. Mengisi SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2007 dan tahun-tahun pajak sebelumnya (sejak memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak). 3. Melunasi pajak yang harus dibayar berdasarkan SPT Tahunan PPh ke Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). 4. Menyampaikan SPT Tahunan PPh yang dilampiri dengan SSP, paling lambat tanggal 31 Maret 2009, ke KPP Domisili (KPP tempat Wajib Pajak terdaftar). Wajib Pajak orang pribadi atau badan yang telah memiliki NPWP dapat memanfaatkan Sunset Policy dengan cara : 1. Membetulkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2006 dan/atau tahun-tahun pajak sebelumnya yang telah disampaikan dengan cara mengisi kembali
formulir SPT Tahunan tersebut, apabila menurut Wajib Pajak masih terdapat kekurangan pajak yang harus dibayar. 2. Melunasi kekurangan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan pembetulan SPT Tahunan PPh ke Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). 3. Menyampaikan pembetulan SPT Tahunan PPh yang dilampiri dengan SSP paling lambat tanggal 31 Desember 2008 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Wajib Pajak orang pribadi atau badan yang telah memiliki NPWP sebelum tahun 2008 tetapi belum menyampaikan SPT Tahunan PPh dapat memperoleh fasilitas Sunset Policy , dengan cara: 1. Mengisi SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2006 dan tahun-tahun pajak sebelumnya yang belum disampaikan. 2. Melunasi pajak yang harus dibayar berdasarkan SPT Tahunan PPh ke Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). 3. Menyampaikan SPT Tahunan PPh yang dilampiri dengan SSP paling lambat tanggal 31 Desember 2008 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Bagi
wajib
pajak
yang
sedang
dilakukan
pemerikasaan
yang
memanfaatkan fasilitas Sunset Policy diberikan penegasan lebih lanjut sebagai berikut: 1. KPP lokasi yang melakukan pemeriksaan atas kewajiban perpajakan wajib pajak lokasi wajib memberitahukan ke KPP domisili dalam waktu paling lambat tanggal 22 agustus 2008 atau paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah SP3 diperlihatkan Wajib Pajak.
2. Dalam hal Wajib Pajak yang diperiksa untuk seluruh jenis pajak (all taxes) membetulkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi, dan SPT unutk jenis pajak lainnya tidak ada yang menyatakan lebh bayar, pemeriksaan untuk seluruh jenis pajak tersebut dihentikan, kecuali: a. Jika PPh Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang terutang berdasarkan temuan pemeriksaan yang didukung oleh bukti yang akurat/konkrit (bukan hasil ekualisasi, pengujian arus piutang, pengujian arus utang, dsb.) sampai dengan saat Wajib Pajak membetulkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi lebih besar daripada PPh yang terutang menurut pembetulan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi, maka pemeriksaan dilanjutkan setelah mendapat persetujuan dari atasan langsung Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan; atau b. Jika terdapat indikasi tindak pindana di bidang perpajakan, maka pemeriksaan
tersebut
ditindaklanjuti
dengan
mengusulkan
Pemeriksaan Bukti Permulaan. Temuan pemeriksaan tersebut hanya menyangkut temuan pemeriksaan yang terkait dengan pemeriksaan atas SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi. Dengan demikian, temuan pemeriksaan atas pemeriksaan untuk jenis pajak lainnya tidak dapat digunakan sebagai bahan pertimabangan untuk melanjutkan pemeriksaan. Usulan
pemeriksaan
bukti
permulaan
dilakukan
dengan
tetap
memperhatikan kebijakan Pemeriksaan Bukti Permulaan. 3. Dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi sedang dilakukan pemeriksaan tetapi SPT untuk jenis pajak lainnya sedang diperiksa, dan Wajib Pajak memanfaatkan Sunset Policy, pemeriksaan tersebut dihentikan dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1.
4. Dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi tidak sedang dilakukan pemeriksaan tetapi SPT untuk jenis pajak lainnya sedang diperiksa, dan Wajib Pajak memanfaatkan Sunset Policy, pemeriksan ditindak lanjuti sebagai berikut: a. Jika terdapat pemeriksaan atas SPT jenis pajak lainnya yang menyatakan lebih bayar (misalnya SPT Masa PPN lebih bayar), pemeriksaan atas SPT lebih bayar tersebut tetap dilanjutkan tanpa dikaitkan dengan pembetulan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi. b. Jika terdapat pemeriksaan atas SPT jenis pajak lainnya yang menytakan tidak lebh bayar, pemeriksaan untuk jenis pajak lainnya harus dihentikan, kecuali: 1) Terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, maka pemeriksaan
tersebut
ditindaklanjuti
dengan
mengusulkan
Pemeriksaan Bukti Permulaan; atau 2) Surat Pemberitahuan Hasik Pemeriksaan (SPHP) terkait dengan pemeriksaan atas SPT jenis pajak lainnya telah disampaikan kepada Wajib Pajak, maka pemeriksaan tetap dilanjutkan smapai dengan penerbitan Laporan Hasil Pemeriksaan
dan Nota
Penghitungan. Usulan pemeriksaan bukti permulaan dilakukan dengan tetap memperhatikan kebijakan Pemeriksaan Bukti Permulaan. 5. Terkait dengan prosedur penghentian pemeriksaan pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebagaimana dimaksud dalam angka IV huruf D angka 3 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008, perlu ditegaskan kembali dan dibaca sebagai berikut: a. Berdasarkan daftar Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Tahunan PPh atau pembetulan SPT Tahunan PPh dalam rangka Sunset Policy, Kepala Seksi Pemeriksaan atau Kepala Seksi PPh Badan/Kepala Seksi PPh OP/Kepala Seksi PPN dan PTLL/Kepala Seksi P2PPh meminta Tim Pemeriksa Pajak untuk menentukan dapat tidaknya pemeriksaan
dihentikan dengan mendasarkan pada kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka IV huruf A Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008. b. Dalam hal pemeriksaan dihentikan Karen tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka IV Huruf A Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008: 1) Tim Pemeriksa Pajak membuat konsep Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy utuk mendapatkan persetujuan dari Kepala KPP dengan memperhatikan jangka waktu penyampaian Surat Ucapan Terima Kasih, yaitu paling lama 2 (satu) bulan. 2) Tim Pemeriksa Pajak menguraikan temuan pemeriksaan yang didukung oleh bukti yang akurat/konkrit sampai dengan saat Wajib Pajak membetulkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi dala Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy serta menguraikan alas an penghentian pemeriksaan dalam Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy. 3) Format Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy menggunakan Laporan Hasil Pemeriksaan yang selama ini berlaku, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/2002 (Seri Pemeriksaan 01-02) tanggal 16 mei 2002, dengan menuliskan keterangan pada halaman judul berupa “(Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy)”. Laporan ini diadministrasikan sebagaimana Laporan Hasil Pemeriksaan yang lain. 4) Perstujuan oleh Kepala KPP dilakukan dengan menandatangani konsep Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy. Mengingat perstetujuan penghentian pemeriksaan telah dilakukan oleh Kepala KPP dengan menandatangani konsep
laporan, maka nota dinas tentang penghentian pemeriksaan tidak diperlukan lagi. 5) Tim Pemeriksa Pajak menyampaikan Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy kepada Kepala Seksi Pemeriksaan/Kepala Seksi PPh Badan/Kepala Seksi PPh OP terkait. 6) Berdasarkan Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy, Kepala Seksi Pemeriksaan menyampaikan Nota Dinas kepada Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi terkait untuk menginformasikan tentang penghentian pemeriksaan atas Wajib Pajak yang memanfaatkan Sunset Policy. 7) Kepala Seksi PPh Badan/Kepala Seksi PPh OP berdasarkan Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy atau Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi berdasarkan Nota Dinas dari Kepala Seksi Pemeriksaan, membuat Surat Ucapan Terima Kasih dan Penghentian Pemeriksaan dengan format sebagaimana terdapat dalam Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini. 8) Kepala KPP menandatangani dan menyampaikan Surat Ucapan Terima Kasih dan Penghentian Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang bersangkutan. 9) Tim Pemeriksa Pajak mengembalikan buku, catatan, dan dokumen yang dipinjam kepada Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy. c. Dalam hal pemeriksaan dilanjutkan karena memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka IV huruf A angka 1 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008: 1) Tim Pemeriksa Pajak membuat nota dinas usulan untuk melanjutkan pemeriksaan kepada Kepala KPP dengan menjelaskan alas an dilanjutkannya pemeriksaan.
2) Dalam hal usulan Tim Pemeriksa Pajak untuk melanjutkan pemeriksaan disetujui, Kepala KPP membuat dan mengirim surat usulan untuk melanjutkan pemeriksaan kepada Kepala Kantor Wilayah atasannya. Sebaliknya, dalam hal tidak disetujui, pemeriksaan dihentikan dengan prosedur sebagaimana dimaksud pada huruf b. 3) Dalam hal usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari Kepala KPP disetujui,
Kepala
Kantor
Wilayah
memerintahkan
agar
pemeriksaan oleh KPP dihentikan dan selanjutnya menerbitkan instruksi Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan memperhatikan kebijakan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Sebaliknya, dalam hal tidak
disetujui,
pemeriksaan
dihentikan
dengan
prosedur
sebgaimana dimaksud pada huruf b atau dilanjutkan sepanjang memenuhi criteria sebagaimana dimaksud dalam angka IV huruf A angka 1 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE33/PJ/2008 tanggal 27 juni 2008 dengan prosedur sebagaimana dimaksud pada huruf c. 6. Terkait
dengan
prosedur
penghentian
pemeriksaan
pada
Kantor
Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Kantor Wilayah, atau Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam angka IV huruf D angka 4 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008, perlu ditegaskan kembali dan dibaca sebagai berikut: a. Berdasarkan daftar Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Tahunan PPh atau pembetulan SPT Tahunan PPh dalam rangka Sunset Policy, Kepala Seksi Pemeriksaan atau Kepala Seksi PPh Badan/Kepala Seksi PPh OP membuat surat mengenai daftar Wajib Pajak yang sedang diperiksa dan menyampaikan SPT Tahunan PPh atau pembetulan SPT Tahunan PPh dalam rangka Sunset Policy. b. Kepala KPP menandatangani dan menyampaikan surat mengenai daftar Wajib Pajak yang sedang dipriksa dan menyampaikan SPT Tahunan PPh atau pembetulan SPT Tahunan PPh dalam rangka Sunset
Policy kepada Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Kepala Kantor Wilayah, atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan, yang dilampiri dengan fotokopi SPT Tahunan PPh dalam rangka Sunset Policy, dengan terlebih dahulu mengirimkan surat tersebut ( tanpa lampiran fotokopi SPT Tahunan PPh) melalui faksimil. c. Berdasarkan daftar Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Tahunan PPh atau pembetulan SPT Tahunan PPh dalam rangka Sunset Policy, Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penagihan memerintahkan Tim Pemeriksa Pajak untuk menentukan dapat tidaknya pemeriksaan dihentikan dengan mendasarkan pada kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka IV huruf A Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008. d. Dalam hal pemeriksaan dihentikan karena tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka IV huruf A Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal Juni 2008: 1) Tim Pemeriksa Pajak membuat konsep Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy untuk mendapatkan persetujuan dari Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penagihan dengan memperhatikan jangka waktu penyampaian Surat Ucapan Terima Kasih, yaitu paling lama 1 (satu) bulan. 2) Tim Pemeriksa Pajak menguraikan temuan pemeriksaan yang didukung oleh bukti yang akurat/konkrit sampai dengan saat Wajib Pajak membetulkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan atau Wajib
Pajak
Orang
Pribadi
dalam
Laporan
Penghentian
Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy serta menguraikan alas an
penghentian
pemeriksaan
dalam
Laporan
Penghentian
Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy. 3) Format Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy menggunakan Laporan Hasil Pemeriksaan yang selama ini berlaku, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/2002 (Seri Pemeriksaan 01-02) tanggal
16 Mei 2002, dengan menuliskan keterangan pada halaman judul berupa “(Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy)”. Laporan ini diadministrasikan sebagaimana Laporan Hasil Pemeriksaan yang lain. 4) Persetujuan oleh Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Kepala Kantor Wilayah, atau Direktur Pemeriksaan dan Pengaihan dilakukan dengan menandatangani konsep Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy. Mengingat persetujuan penghentian pemeriksaan telah dilakukan oleh Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Kepala Kantor Wilayah, atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dengan menandatangani konsep laporan, maka nota dinas tentang penghentian pemeriksaan tidak diperlukan lagi. 5) Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Kepala Kantor Wilayah, atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan menyampaikan Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. 6) Berdasarkan Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi/Kepala Seksi PPh Badan/Kepala Seksi PPh OP terkait membuat Surat Ucapan Terima Kasih dan Penghentian Pemeriksaan. 7) Kepala KPP menandatangani dan menyampaikan Surat Ucapan Terima Kasih dan Penghentian Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang bersangkutan. 8) Tim Pemeriksa Pajak mengembalikan buku,catatan, dan dokumen yang dipinjam kepada Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy. e. Dalam hal pemeriksaan dilanjutkan karena memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka IV huruf A angka 1 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008.
1) Tim Pemriksa Pajak membuat nota dinas usulan untuk melanjutkan pemeriksaan kepada Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Kepala Kantor Wilayah, atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan
dengan
menjelaskan
alas
an
dilanjutkannya
pemeriksaan. 2) Dalam hal usulan Tim Pemeriksa Pajak untuk melanjutkan pemeriksaan disetujui, Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Kepala Kantor Wilayah, atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan, membuat dan mangirim surat usulan untuk melanjutkan pemeriksaan kepada atasan langsungnya. Sebaliknya, dalam hal tidak
disetujui,
pemeriksaan
dihentikan
dengan
prosedur
sebagaimana dimaksud pada huruf d. 3) Dalam hal usulan Kepala Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Kepala Kantor Wilayah, atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan disetujui oleh atasan langsung, atasan langsung membuat dan mengirim surat persetujuan untuk melanjutkan pemeriksaan kepada Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Kepala Kantor Wilayah, atau Direktur Pemeriksaan dan Penagihan yang ditembuskan kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Dalam hal pemeriksaan disetujui untuk dilanjutkan, Kepala KPP tidak perlu mengirimkan Surat Ucapan Terima Kasih dan Penghentian Pemeriksaan. Sebaliknya, dalam hal tidak disetujui, pemeriksaan dihentikan dengan prosedur sebagaimana dimaksud pada huruf d. f. Dalam hal pemeriksaan yang dilaksanakan oleh Kantor Pemeriksaan dan
Penyidikan Pajak
dilanjutkan
karena
memenuhi
kriteria
sebagaimana dimaksud dalam angka IV huruf A angka 2 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008, dengan memperhatikan kebijakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, proses pengusulan Pmeriksaan Bukti Permulaan diaksanakan dengan prosedur sebagai berikut:
1) Tim Pemeriksa Pajak membuat nota dinas usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak. 2) Dalam hal usulan Pemeriksaan bukti Permulaan dari Tim, Pemeriksa Pajak disetujui, Kepala kantor Pemeriksaan dan Penyidikan
Pajak
membuat
dan
mengirim
surat
usulan
Pemeriksaan bukti Permulaan kepada Kepala Kantor Wilayah atasannya. Sebaliknya, dalam hal tidak disetujui, pemeriksaan dihentikan dengan prosedur sebagaimana dimaksud pada huruf d atau pemeriksaan dilanjutkan sepanjang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka IV huruf A angka 1 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008 dengan prosedur sebagaimana dimaksud pada huruf e. 3) Dalam hal usulan Pemeriksaan bukti Permulaan dari Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak disetujui, Kepala Kantor Wilayah memerintahkan agar pemeriksaan oleh Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak dihentikan dan selanjutnya menerbitkan instruksi Pemeriksaan bukti Permulaan. Sebaliknya, dalam hal tidak disetujui, pemeriksaan dihentikan dengan prosedur sebagaimana dimaksud pada huruf d atau pemeriksaan dilanjutkan sepanjang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka IV huruf A angka 1 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008 dengan prosedur sebagaimana dimaksud pada huruf e. g. Dalam hal pemeriksaan yang dilaksanakan oleh Kantor Wilayah karena memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka IV hruf A angka 2 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008, dengan memperhatikan kebijakan Pemeriksaan bukti Permulaan, proses pengusulan Pemeriksaan bukti Permulaan dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut:
1) Tim Pemeriksa Pajak membuat nota dina usulan Pemeriksaan bukti Permulaan kepada Kepala Kantor Wilayah. 2) Dalam hal usulan Pemeriksaan bukti Permulaan dari Tim Pemeriksa Pajak disetujui, Kepala Kntor Wilayah membuat dan mengirim surat usulan Pemeriksaan bukti Permulaan kepada Direktur Intelijen dan Penyidikan. Sebaliknya, dalam hal tidak disetujui, pemeriksaan dihentikan denga prosedur sebagaimana dimaksud pada hruf d atau pemeriksaan dilanjutkan sepanjang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka IV huruf A angka 1 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008 dengan prosedur sebagaimana dimaksud pada huruf e. 3) Dalam hal usulan Pemeriksaan bukti Permulaan dari Kepala Knator Wilayah disetujui, Direktur Intelijen dan Penyidikan menerbitkan instruksi Pemeriksaan bukti Permulaan dengan memperhatikan kebijakan Pemeriksaan bukti Permulaan dan pemeriksaan oleh Kepala Kantor Wilayah dihentikan. Sebaliknya, dalam hal tidak disetujui, pemeriksaan dihentikan dengan prosedur sebagaimana dimaksud pada huruf d atau pemeriksaan dilanjutkan sepanjang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka IV huruf A angka 1 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008 dengan prosedur sebagaimana dimaksud pada huruf e. h. Dalam
hal
pemeriksaan
yang
dilaksanakan
oleh
Direktorat
Pemeriksaan dan Penagihan dilanjutkan karena memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka IV huruf A angka 2 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008, dengan memperhatikan kebijakan Pemeriksaan bukti Permulaan, proses pengusulan Pemeriksa Bukti Permulaan dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut:
1) Tim Pemeriksa Pajak membuat nota dins usulan Pemeriksaan bukti Permulaan kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan. 2) Dalam hal usulan Pemeriksaan bukti Permulaan dari Tim Pemeriksa Pajak disetujui, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan membuat dan mengirim nota dinas usulan Pemeriksaan bukti Permulaan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan tembusan kepada Direktur Intelijen dan Penyidikan. Sebaliknya, dalam hal tidak
disetujui,
pemeriksaan
dihentikan
dengan
prosedur
sebagaimana dimaksud pada huruf d atau pemeriksaan dilanjutkan sepanjang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka IV huruf A angka 1 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008 dengan prosedur sebagaimana dimksud pada hruf e. 3) Dalam hal usulan Pemeriksaan bukti Permulaan dari Direktur Jenderal Pajak dan Penagihan disetujui, Direktur Jenderal Pajak memerintahkan agar pemeriksaan oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan dihentikan dan selanjutnya menerbitkan instruksi Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada Direktur Intelijen dan Penyidikan. Sebaliknya, dalam hal tidak disetujui, pemeriksaan dihentikan dengan prosedur sebagaimana dimaksud pada huruf d atau pemeriksaan dilanjutkan sepanjang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka IV huruf A angka 1 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008 dengan prosedur sebagaimana dimaksud pada huruf e. 7. Terkait dengan prosedur penghentian pemeriksaan pada Kantor Pelayanan Pajak lokasi, perlu ditegaskan sebagai berikut: a. Berdasarkan daftar Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Tahunan PPh atau pembetulan SPT Tahunan PPh dalam rangka Sunset Policy, Kepala Seksi Pemeriksaan atau Kepala Seksi PPh Badan/Kepala Seksi PPh OP pada KPP lokasi dan memanfaatkan Sunset Policy.
b. Kepala KPP domisili menandatangani dan menyampaikan surat mengenai daftar Wajib Pajak yang sedang diperiksa KPP lokasi dan memanfaatkan fasilitas Sunset Policy kepada Kepala KPP lokasi, yang dilampiri dengan fotokopi SPT Tahunan PPh dalam rangka Sunset Policy, dengan terlebih dahulu mengirimkan sirat tersebut (tanpa lampiran fotokopi SPT Tahunan PPh) melalui faksimil. c. Berdasarkan daftar Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas Sunset Policy dari KPP domisili, Kepala KPP lokasi memerintahkan Tim Pemeriksa Pajak untuk menentukan dapat tidaknya pemeriksaan dihentikan dengan mendasarkan pada kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka IV huruf A angka 2 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008. d. Dalam hal pemeriksaan dihentikan karena tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka IV huruf A angka 2 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008: 1) Tim Pemeriksa Pajak KPP lokasi membuat konsep Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy untuk mendapatkan
persetujuan
Kepala
KPP
lokasi
dengan
memperhatikan jangka waktu pem\nyampaian Surat Ucapan Terima Kasih, yaitu paling lama 1 (satu) bulan. 2) Tim Pemeriksa KPP lokasi menguraikan temuan pemeriksaan yan didukung oleh bukti yang akurat/konkrit sampai denga saat Wajib Pajak membetulkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan atau Wajib
Pajak
Orang
Pribadi
dalam
Laporan
Penghentian
Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy serta menguraikan alas an
penghentian
pemeriksaan
dalam
Laporan
Penghentian
Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy. 3) Format Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy menggunakan Laporan hasil Pemeriksaan yang selama ini berlaku, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/2002 (Seri Pemeriksaan 01-02) tanggal
16 Mei 2002, dengan menuliskan keterangan pada halaman judul berupa “(Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy)”. Laporan ini diadministrasikan sebagaimana Laporan Hasil Pemeriksaan yang lain. 4) Persetujuan
oleh
Kepala
KPP
lokasi
dilakukan
dengan
menandatangani konsep Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy. Mengingat persetujuan penghentian pemeriksaan telah dilakukan oleh Kepala KPP lokasi dengan menandatangani konsep
laporan,
maka
nota
inas tentang
penghentian pemeriksaan tidak diperlukan lagi. 5) Kepala KPP lokasi menyampaikan kopi Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy kepada Kepala KPP domisili, dengan terlebih dahulu mengirimkan surat pengantar tentang penghentian pemeriksaan tersebut melalui faksimil. 6) Berdasarkan surat pengantar tentang penghentian pemeriksaan, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi/Kepala Seksi PPh Badan/Kepala Seksi PPh OP terkait pada KPP domisili membuat Surat Ucapan Terima Kasih dan Penghentian Pemeriksaan. 7) Kepala KPP domisili menandatangani dan meyampaikan Surat Ucapan Terima Kasih dan Penghentian Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang bersangkutan. 8) Tim Pemeriksa Pajak KPP lokasi mengembalikan buku, catatan, dan dokumen yang dipinjam kepada Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Penghentian Pemeriksaan Dalam Rangka Sunset Policy. e. Dalam hal pemeriksaan yang dilaksanakan oleh KPP lokasi dilanjutkan karena memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam angka IV huruf A angka 2 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE33/PJ/2008 tanggal 27 Juni 2008, dengan memperhatikan kebijakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, prose pengusulan Pemeriksaan Bukti
Permulaan,
proses
pengusulan
Pemeriksaan
Bukti
Permulaan
dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut: 1) Tim Pemeriksa Pajak KPP lokasi membuat nota dinas usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada Kepala KPP lokasi. 2) Dalam hal usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari Tim Pemeriksa Pajak disetujui, Kepala KPP lokasi membuat dan mengirim surat usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada Kepala Kantor Wilayah atasannya. Sebaliknya, dalam hal tidak disetujui, pemeriksaan dihentikan dengan prosedur sebagaimana dimaksud pada huruf d. 3) Dalam hal usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari Kepala KPP lokasi disetujui, Kepala Kantor Wilayah memerintahkan agar pemeriksaan oleh KPP lokasi dihentikan dan selanjutnya menerbitkan instruksi Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan memperhatikan
kebijakan
Pemeriksaan
Bukti
Permulaan.
Sebaliknya, dalam hal tidak disetujui, pemeriksaan dihentikan dengan prosedur sebagaimana dimaksud pada huruf d. f. Dalam hal pemeriksaan yang dilaksanakan oleh KPP lokasi dilanjutkan karena memenuhi kriteria SPT yang diperiksa menyatakan lebih bayar, kepala KPP lokasi memberitahukan hal tersebut kepada kepala KPP domisili dengan memperhatikan jangka waktu penyampaian Surat Ucapan Terima Kasih, yaitu paling lama 1 (satu) bulan. 2.6.2
Pengertian Sunset Policy Sunset Policy bukan jebakan. Pemberian Sunset Policy merupakan bentuk
kepercayaan Direktorat Jenderal Pajak terhadap Wajib Pajak, sama sekali tidak bermaksud untuk menjebak Wajib Pajak karena ketentuan/peraturan perundangundangan perpajakan dibuat untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Yang terpenting adalah Wajib Pajak harus jujur dan benar dalam mengisi dan melaporkan SPT atau Pembetulan SPT.
Perlu diingat bahwa Direktorat Jenderal Pajak tidak dapat menggunakan data dan/atau informasi yang terdapat dalam SPT Tahunan PPh yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam rangka memanfaatkan fasilitas Sunset Policy tersebut untuk menerbitkan ketetapan pajak atas jenis pajak lainnya. Jadi, Wajib Pajak pada dasarnya akan dilindungi sepanjang Wajib Pajak telah membetulkan SPT Tahunan PPh, dan menyampaikan SPT Tahunan PPh sesuai keadaan yang sebenarnya. Pada prinsipnya, Sunset Policy adalah fasilitas penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar yang diberikan kepada Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Tahunan PPh atau membetulkan SPT Tahunan PPh. Dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 yang memberikan semacam pengampunan pajak kepada Wajib Pajak tertentu. Kebijakan ini juga dikenal sebagai Sunset Policy. “Sunset Policy adalah kebijakan pemberian fasilitas perpajakan, yang berlaku hanya di tahun 2008, dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yang diatur dalam Pasal 37A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UndangUndang Nomor 28 Tahun 2007)”. 2.6.3
Keuntungan Menggunakan Sunset Policy Keuntungan Wajib Pajak yang memanfaatkan Sunset Policy, yaitu:
1. Tidak dikenai sanksi administrasi berupa bunga 2. Tidak dilakukan pemeriksaan, kecuali SPT yang disampaikan menjadi Lebih Bayar atau di kemudian hari ditemukan data atau keterangan lain yang ternyata belum dilaporkan di SPT tersebut 3. Apabila Wajib Pajak sedang diperiksa dan belum disampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP), pemeriksaan akan dihentikan
4. Data dan/atau informasi yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh terkait dengan pemanfaatan Sunset Policy tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas jenis pajak lainnya.
2.6.4
Tujuan Sunset Policy Sesuai dengan
latar
belakang
dari
Sunset Policy
yaitu
untuk
menghindarkan masyarakat dari pengenaan sanksi perpajakan yang timbul apabila masyarakat tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya secara benar, maka tujuan dari pelaksanaan Sunset Policy ini adalah:
1. Perbaikan sistem dan administrasi. Administrasi merupakan
proses
penyelenggaraan
bersama,
antara
sekelompok orang-orang tertentu untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang telah ditentukan dan direncanakan sebelumnya, kerjasama antara orang-orang tersebut berlangsung melalui organisasi. Administrasi dalam arti sempit pada umumnya hanya meliputi kegiatankegiatan atau pekerjaan-pekerjaan atau pekerjaan-pekerjaan tulis menulis, mengetik, steno, agenda, pembukuan sederhana dan sebagainya. Adiministrasi pajak dalam arti luas dilihat sebagai fungsi, sistem, lembaga dan manajemen publik, sedangkan administrasi pajak dalam arti sempit adalah penatausahaan dan pelayanan terhadap kewajiban-kewajiban dan hak-hak wajib pajak, baik penatausahaan dan pelayanan tersebut dilakukan di kantor fiskus maupun di kantor wajib pajak. Yang termasuk dalam kegiatan penatausahaan (clerical works) adalah pencatatan (recording), penggolongan (classifying) dan penyimpanan (filing). Sebagai unsur pelaksana Direktorat Jenderal Pajak di Kantor Wilayah Ditjen Pajak terdapat Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Pajak bumi dan Bangunan, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan.
Dalam upaya perbaikan sistem administrasi di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang secara terus menerus dilakukan, dapat dilihat dengan adanya berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam hal ini dengan adanya reformasi perpajakan, mulai dengan Reformasi Jilid Satu yang telah selesai pada akhir Februari 2009 dan diakhiri dengan adanya kebijakan Sunset Policy dan secara bertahap dilanjutkan dengan Reformasi Jilid Dua pada periode berikutnya. Adapun yang menjadi kegiatan utama dalam Reformasi Jilid Satu adalah Modernisasi Administrasi Perpajakan,
Reformasi
Kebijakan serta
Intensifikasi dan Ekstensifikasi. Reformasi jilid satu ini telah memberikan banyak manfaat bagi Wajib Pajak, antara lain adanya pemberian pelayanan yang lebih baik, terpadu dan personal dengan konsep One Stop Service yaitu pelayanan oleh petugas Account Representative, pemanfaatan IT dalam layanan e-Filing, e-SPT, e-Registration dan pembentukan Call Centre untuk pelayanan informasi dan pengaduan. Selain itu dengan adanya perbaikan sistem administrasi ini dapat meningkatkan rasa keadilan yang diharapkan dapat dirasakan oleh Wajib Pajak melalui tindakan penegakan
hukum
seperti pemeriksaan,
penagihan
dan
penyidikan yang lebih transparan dan profesional serta penerapan dan penegakan good governance di semua lini. Oleh karena itu kebijakan Sunset Policy tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dan kelanjutan dari kegiatan peningkatan sistem administrsai perpajakan baik yang ada di kantor fiskus maupun di kantor Wajib Pajak. Sedangkan yang menjadi sasaran dalam Reformasi Jilid Dua adalah perbaikan dan peningkatan dua hal yaitu Peningkatan Sistem dan Sumber Daya Manusia (SDM) serta Peningkatan Teknologi Informasi dan Komunikasai (TIK), yaitu meliputi pengembangan SDM melalui peningkatan kapasitas dan kompetensi pegawai, kegiatan Mapping, Profiling dan Benchmarking yang terotomasi, penyempurnaan pembayaran dan kegiatan perbaikan yang meliputi aspek core business DJP melalui
program yang disebut Project for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR).
2. Peningkatan kepatuhan. Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan formal dan kepatuhan materiil. Yang dimaksud dengan kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan Undang-Undang perpajakan, sedangkan yang dimaksud dengan kepatuhan materiil adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif/hakikat memenuhi semua ketentuan materiil perpajakan yakni sesuai dengan isi dan jiwa Undang-Undang perpajakan, kepatuhan materiil meliputi juga kepatuhan formal. Ketidakpatuhan secara bersamaan dapat menimbulkan upaya penghindaran pajak secara melawan hukum atau tax evasion. Upaya-upaya pemerintah di seluruh dunia untuk mengurangi tax evasion telah lama diadakan, untuk di Indonesia, pada tahun 1972 melalui SGATAR (Study Group on Asia Tax administration and Research) telah disidangkan di Jakarta dengan salah satu tema utama Some Aspect of Income Tax Avoidance or Evasion, perilaku wajib pajak yang tidak sepenuhnya memenuhi kewajiban perpajakannya oleh Bernard P. Herber dibedakan
menjadi tiga yaitu : tax evasion, tax avoidance dan tax
delinquency. Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa tax evasion adalah perbuatan melanggar Undang-Undang, misalnya : Dalam SPT jumlah penghasilan yang dilaporkan lebih rendah daripada yang sebenarnya (understatement of income) di satu pihak dan atau melaporkan biaya yang lebih besar daripada yang sebenarnya (overstatement of the deduaction) di pihak lain.
Bentuk tax evasion yang lebih parah lagi adalah apabila Wajib Pajak sama sekali tidak melaporkan penghasilannya (non-reporting of income). Dalam tax evasion wajib pajak memanfaatkan penghindaran dan peluangpeluang (loopholes) yang ada dalam Undang-Undang perpajakan, sehingga dapat membayar pajak yang lebih rendah, perbuatan ini secara harfiah tidak melanggar undang-undang perpajakan, tetapi dari segi jiwa Undang-Undang perpajakan termasuk perbuatan yang melanggar hukum. Adapun cara-cara mencegah wajib pajak melakukan tax evasion antara lain dapat berupa pemeriksaan pajak (tax audit); sistem informasi yaitu dengan cara mengadakan dialog dan saling tukar pandangan antara Wajib Pajak dan fiskus harus tetap diadakan; penegakan hukum di bidang perpajakan yaitu tindakan yang dilakukan oleh pejabat terkait untuk menjamin supaya Wajib Pajak dan calon Wajib Pajak memenuhi ketentuaan undang-undang perpajakan seperti menyampaikan SPT, pembukuan dan informasi lain yang relevan serta membayar pajak tepat pada waktunya. Sarana melakukan penegakan hukum dapat meliputi sanksi atas kelalaian menyampaikan SPT, bunga yang dikenakan atas keterlambatan pembayaran dan dakwaan pidana dalam hal terjadi penyelundupan pajak.
3. Peningkatan jumlah Wajib Pajak. Pajak adalah salah satu sumber penerimaan Negara yang mempunyai kedudukan sangat penting dan strategis. Salah satu faktor yang mempengaruhi pencapaian target penerimaan pajak yang optimal adalah tingkat kepatuhan dan kesadaran Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, dalam hal ini adalah kepatuhan dan kesadaran untuk mendaftarkan diri menjadi Wajib Pajak dan memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Tingkat kesadaran Wajib Pajak sehubungan dengan pendaftaran NPWP tergolong masih rendah, karena ternyata masih banyak penduduk yang sebenarnya telah memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak dan wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP tetapi belum
melaksanakan kewajibannya untuk mendaftarkan diri. Mengingat masih banyak Wajib Pajak yang belum terdaftar, maka Dirjen Pajak berusaha untuk memasyarakatkan pajak agar masyarakat sadar akan kewajibannya. Dengan adanya program Sunset Policy ini, diharapkan akan dapat menjaring Wajib Pajak baru yang secara otomatis dapat meningkatkan jumlah Wajib Pajak terdaftar.
4. Peningkatan penerimaan pajak tahun 2008 dan seterusnya. Direktorat Jenderal Pajak berencana dan terus berupaya meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP), dengan bertambahnya jumlah Wajib Pajak yang memanfaatkan Sunset Policy baik Wajib Pajak lama maupun Wajib Pajak baru (yang dengan sukarela mendaftarkan diri untuk dikukuhkan menjadi Wajib Pajak) akan berdampak pada pertumbuhan pendapatan pajak. Mengingat masih banyak Wajib Pajak yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak, maka perlu adanya kiat dan strategi dari Dirjen Pajak untuk memasyarakatkan pajak agar sadar akan kewajibannya, dengan upaya ekstensifikasi diharapkan akan terjaring Wajib Pajak baru yang secara otomatis dapat meningkatkan jumlah Wajib Pajak terdaftar yang akhirnya juga akan berpengaruh pada peningkatan penerimaan pajak baik pada saat ini maupun untuk tahun-tahun yang akan datang. Sunset Policy selain berdampak meningkatkan penerimaan tahun 2008/2009 juga akan berdampak terhadap penerimaan pajak tahun-tahun berikutnya, pasalnya data Wajib Pajak yang dilaporkan pada masa Sunset Policy ini akan dijadikan dasar untuk mengintensifkan potensi penerimaan pajak pada tahun-tahun mendatang. Misalnya : Sebelum Sunset Policy Wajib Pajak melaporkan harta kekayaannya melalui SPT hanya mempunyai 1 rumah saja, akan tetapi setelah mengisi SPT Sunset Policy melaporkan jumlah kekayaan (rumahnya) menjadi 3 rumah, dalam meningkatkan kepatuhan jumlah kewajiban pajaknya Dirjen Pajak tidak akan mempersoalkan sumber penghasilan sehubungan dengan tambahan
harta (rumah) tersebut, akan tetapi seberapa besar penghasilan
yang
dihasilkan dari tambahan kekayaan (rumah) yang dimilikinya. BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.1
Objek Penelitian Penelitian ini diadakan di Kantor Pelayanan Pajak Bandung Cicadas yang
berada dibawah naungan Departeman keuangan Republik Indonesia dengan menangani dan melayani terhadap wajib pajak yang mencakup kantor wilayah Direktorat Jendral Pajak Jawa Barat I. Objek penelitian pada skripsi ini adalah jumlah SPT Pembetulan, jumlah Wajib Pajak, dan jumlah Penerimaan Pajak dari Sunset Policy di KPP Pratama Bandung Cicadas, pada Seksi Pengolahan Data dan Informasi (PDI). Kantor Pelayanan Pajak Bandung Cicadas tidak hanya melayani wajib pajak dalam melakukan pembayaran semua jenis pajak (all tax) tetapi kantor ini juga menangani dan mengawasi kepada wajib pajak orang atau badan yang harus dilaporkan kepada KPP Bandung Cicadas untuk pembayaran tersebut. Tentu saja hal ini akan menimbulkan penerimaan di sektor perpajakan akan meningkat jumlahnya.
3.1.1
Sejarah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cicadas Sejarah pajak mula-mula berasal dari Negara Perancis pada zaman
pemerintahan Napoleon Bonaparte. Pada zaman pemerintahan beliau pajak terkenal dengan nama “Cope Napoleon”. Pada masa itu Negara Belanda dijajah oleh Negara Perancis. Sistem pajak yang ditetapkan oleh Perancis ditetapkan pula oleh Belanda di Indonesia, pada saat Belanda menjajah Indonesia dimana pada saat itu dikenal dengan sebutan “Oor Longs-Overgangs Blasting” (Pajak Penghasilan). Konsep pajak penghasilan kemudian dibuat dan ditetapkan pada tahun 1942 di Australia, pada tahun tersebut Indonesia masih diduduki oleh tentara Jepang.