BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bumbu Giling Bumbu adalah tanaman aromatik yang telah ataupun belum diolah yang ditambahkan pada makanan untuk penyedap dan pembangkit selera makan, digunakan dalam keadaan segar seperti (cabe, bawang merah, bawang putih, jahe, sereh, kemangi, paprika, daun suji dan lain-lain). Bumbu merupakan bagian yang penting dalam pengolahan makanan, dengan penambahan atau penggunaan bumbu dan rempah maka hasil olahan akan mendapat rasa, aroma, serta warna yang menarik. Adapun fungsi bumbu : 1) Memberi rasa dan aroma pada makanan. 2) Meningkatkan rasa serta aroma pada makanan yang sedang dimasak. 3) Merangsang nafsu makan. 4) Membantu pencernaan makanan, bumbu yang ditambahkan pada makanan dapat merangsang usus untuk mencerna makanan lebih banyak. 5) Sebagai bahan pengawet makanan (asam, jeruk, gula, kunir). Sedangkan bumbu giling adalah bubur hasil penggilingan dari tanaman aromatik yang ditambahkan pada makanan untuk penyedap dan pembangkit selera makan, digunakan dalam keadaan segar, dengan atau tanpa bahan tambahan pangan. Umumnya beberapa bumbu giling diberi garam sampai konsentrasi 20%, bahkan ada mencapai 30% (Mujianto dkk, 2013).
10
Universitas Sumatera Utara
11
2.1.1 Pembuatan Bumbu Giling 1. Bahan dan Peralatan a. Bahan Pembuatan bumbu giling diperlukan bahan-bahan yaitu cabe merah, bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe yang biasanya ditambahkan pada makanan untuk penyedap dan pembangkit selera makan, digunakan dalam keadaan segar, garam dan air yang membantu penggilingan dari masing masing bahan tersebut. b. Peralatan Selain bahan juga diperlukan peralatan yang membantu dalam proses penggilingan seperti mesin penggiling, dimana alat ini digunakan untuk menggiling sampai halus, selain penggiling juga diperlukan ember dan sendok. 2. Proses Pembuatan Bumbu Giling Tata cara pengolahan cabe merah, bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe menjadi produk bumbu giling meliputi langkah-langkah kerja sebagai berikut: 1. Menyiapkan bahan-bahan yaitu cabe merah, bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe segar yang telah melalui tahap-tahap penanganan pascapanen. 2. Bahan-bahan tersebut dibersihkan, membuang bagian yang tidak diperlukan kemudian dicuci hingga bersih. 3. Bahan-bahan yang sudah dibersihkan selanjutnya masing-masing digiling sampai halus seperti bubur, sambil ditambah dengan garam dan air yang membantu proses penggilingan.
Universitas Sumatera Utara
12
4. Dari masing-masing bahan yang sudah halus tersebut, setiap hasil penggilingan ditampung dalam wadahnya masing-masing sambil diaduk rata (Survey, 2016).
2.2 Keamanan Pangan Menurut PP RI No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Keamanan pangan merupakan masalah kompleks sebagai hasil interaksi antara toksisitas mikrobiologik, toksisitas kimiawi dan status gizi. Hal ini saling berkaitan, dimana pangan yang tidak aman akan mempengaruhi kesehatan manusia yang pada akhirnya menimbulkan masalah terhadap status gizinya. Keamanan pangan muncul sebagai suatu masalah yang dinamis seiring dengan berkembangnya peradaban manusia dan kemajuan ilmu dan teknologi, maka diperlukan suatu sistem dalam mengawasi pangan sejak diproduksi, diolah, ditangani, diangkut, disimpan dan didistribusikan serta dihidangkan kepada konsumen. Toksisitas mikrobiologik dan toksisitas kimiawi terhadap bahan pangan dapat terjadi pada rantai penanganan pangan dari mulai saat pra-panen, pascapanen/pengolahan, sampai saat
produk pangan didistribusikan dan
dikonsumsi (Seto, 2001).
Universitas Sumatera Utara
13
2.3 Bahan Tambahan Pangan Bahan tambahan pangan adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk bahan pangan. Bahan tambahan pangan ditambahkan untuk memperbaiki karakter pangan agar memiliki kualitas yang meningkat. Bahan tambahan pangan pada umumnya merupakan bahan kimia yang telah diteliti dan di uji lama sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang ada. Pemerintah sendiri
telah mengeluarkan berbagai aturan yang
diperlukan untuk mengatur pemakaian bahan tambahan pangan secara optimal (Syah, 2005). Bahan tambahan pangan merupakan bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponenkhas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan (Cahyadi, 2009). Menurut Permenkes RI No.033 tahun 2012, bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Bahan tambahan pangan yang digunakan dalam pangan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut (Depkes, 2012) : a.
BTP tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung dan/atau tidak diperlakukan sebagai bahan baku pangan.
Universitas Sumatera Utara
14
b.
BTP dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan/atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung.
c.
BTP tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.
2.3.1 Tujuan dan Fungsi Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pada umumnya tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan. Secara khusus tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah (Syah, 2005) : 1.
Mengawetkan makanan dengan mencegah pertumbuhan mikroba perusak pangan atau mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan.
2.
Membentuk makanan menjadi lebih baik, renyah dan lebih enak di mulut.
3.
Memberi warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah selera.
4.
Meningkatkan kualitas pangan.
5.
Menghemat biaya.
Universitas Sumatera Utara
15
Disamping tujuan penggunaannya , secara umum fungsi penambahan dari bahan tambahan pangan tersebut adalah (Saparinto dan Hidayati, 2006) : 1.
Memperbaiki daya tahan makanan agar tidak mengalami perubahan struktur kimia atau pembusukan, misalnya anti oksidan.
2.
Memperbaiki rasa dan warna.
3.
Menambah gizi makanan dan vitamin. Bahan tambahan pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila
(Cahyadi, 2009) : 1.
Dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dalam pengolahan.
2.
Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau tidak memenuhi persyaratan.
3.
Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk pangan.
4.
Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan.
2.3.2 Jenis Bahan Tambahan Pangan Penggunaan bahan tambahan pangan sebaiknya dengan dosis di bawah ambang batas yang telah ditentukan. Pada umumnya bahan tambahan pangan dibagi menjadi dua jenis, yaitu : 1.
Sengaja ditambahkan (Direct Additives atau Intentional food) Merupakan bahan tambahan pangan yang sengaja ditambahkan pada
makanan. Jumlah penambahannya telah ditentukan untuk menghindari dampak yang kurang baik bagi kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
16
Untuk hal ini dibagi dalam 3 kategori : 1) Bersifat aman atau GRAS (Generally Recognize As Safe), dengan dosis yang relatif tidak dibatasi, misalnya: pati (sebagai pengental). 2) Bahan
tambahan
pangan
yang
boleh
digunakan
namun
harus
mendapatpersetujuan dari instansi yang berwenang (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan). Misalnya, zat warna yang sudahdilengkapi sertifikat dari negara asalnya bahwa aman dan boleh digunakanpada makanan (Diluar daftar Permenkes RI No.033 tahun 2012). 3) Bahan tambahan pangan yang digunakan dengan dosis tertentu, dimana untuk menggunakannya ditentukan dosis maksimum sesuai Permenkes RI No.033 tahun 2012. 2. Tidak sengaja ditambahkan (Indirect Additives atau Incidental food Additives) Merupakan bahan tambahan pangan yang tanpa sengaja masuk pada rantai makanan, penyebabnya timbul dari berbagai akibat penyimpangan dalam produksi, pembuatan, cara kerja, pengemasan maupun pemasaran makanan. Beberapa bahan kimia ikutan yang dapat menimbulkan indirect additives ialah (Fardiaz, 2007) : 1) Residu
pestisida
kimia
yang
terdapat
pada
hasil-hasil
pertanian/perkebunan akibat penggunaan pestisida kimia pada saat penanaman.
Universitas Sumatera Utara
17
2) Bahan tambahan pangan atau obat-obatan yang diberikan pada makanan ternak, berupa antibiotik, hormon dan lain-lain. Umumnya terbawa padaproduk daging, telur dan susu. 3) Unsur-unsur bahan pengemas yang terlepas pada makanan. 4) Zat pencemar yang berasal dari proses pengolahannya, misalnya: minyak pelumas yang digunakan pada mesin pembuat makanan. Berdasarkan Permenkes RI No.033 tahun 2012, terdapat penggolongan bahan tambahan pangan yaitu bahan tambahan pangan yang diizinkan dan bahan tambahan pangan tidak diizinkan. Terdapat 27 golonganbahan tambahan pangan yang diizinkan digunakan dalam pangan, dan 19 bahan tambahan pangan yang tidak diizinkan digunakan dalam pangan karena bersifat karsinogenik (Lampiran 1) (Depkes, 2012).
2.4 Bahan Pewarna Pangan Menurut International Food Information Council Foundation (IFIC) 1994, pewarna pangan adalah zat yang digunakan untuk memberikan atau meningkatkan warna suatu produk pangan, sehingga menciptakan image tertentu dan membuat produk lebih menarik. Definisi yang diberikan oleh Depkes 1999 lebih sederhana, yaitu bahan tambahan pangan (BTP) dapat memperbaiki atau memberi warna pada pangan (Wijaya, 2011). Pewarna makanan banyak digunakan untuk berbagai jenis makanan, terutama berbagai jenis produk jajan pasar serta berbagai makanan olahan yang dibuat oleh industri kecil atau industri rumah tangga meskipun pewarna buatan
Universitas Sumatera Utara
18
juga ditemukan pada berbagai yang dibuat oleh industri besar. Hampir setiap makanan olahan ditambahkan pewarna sintesis mulai dari jajanan anak, tahu, kerupuk, terasi, cemilan bahkan buah dingin terutama mangga (Yuliarti, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2009)tentang penggunaan pewarna sintetis padasaus cabe yang dipasarkan di pasar tradisional Kota Medan, menunjukkan bahwa dari 18 sampel yang diuji, terdapat 14 sampel yang positif menggunakan zat pewarna sintetis. Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Nasution (2009) terhadap cabe giling yang beredar di pasar tradisional Kota Medan, menunjukkan bahwa dari 10 sampel yang diuji terdapat 1 sampel dari pasar sentral yang positif menggunakan zat pewarna sintetis yaitu Rhodamin B. Penelitian yang sama juga Mujianto dkk (2013) terdapat Rhodamin B dalam 4 sampel dari 36 sampel cabe giling, penelitian Putra dkk (2014) menunjukkan bahwa dari 25 sampel saus cabai sebanyak 10 sampel mengandung Rhodamin B dan 15 sampel mengandung pewarna sintetis yang diizinkan penggunaannya yaitu Erytrosin yang semua sampel melebihi kadar yang diperbolehkan. Berdasarkan hasil penelitian diatas bahwa terlihat masih banyak pewarna sintetis yang dilarang beredar dan digunakan sebagai pewarna dalam berbagai produk makanan dan minuman, ini merupakan contoh beberapa kasus penggunaan zat pewarna yang belum diawasi secara penuh oleh BPOM.
Universitas Sumatera Utara
19
2.4.1 Jenis Bahan Pewarna Pangan Menurut Cahyadi (2009), berdasarkan sumbernya dikenal dua jenis zat pewarna yang termasuk dalam golongan bahan tambahan pangan, yaitu : 1.
Pewarna alami, tanaman dan hewan memiliki warna menarik yang dapat digunakan sebagai pewarna alami pada makanan. Contoh: kunyit, paprika, bit yang digunakan sebagai pewarna pada bahan pangan yang aman dikonsumsi.
2.
Pewarna sintetis merupakan zat warna yang dibuat melalui perlakuan pemberian asam sulfat atau asam nitrat yang sering terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang bersifat racun. Sebelum mencapai produk akhir, pembuatan zat pewarna organik harus melalui senyawa antara yang cukup berbahaya dan senyawa tersebut sering tertinggal dalam produk akhir atau terbentuk senyawa-senyawa baru yang berbahaya. Yang menjadi perbedaan antara zat pewarna sintetik dan alami adalah
sebagai berikut (Tabel 2.1). Tabel 2.1 Perbedaan antara Zat Pewarna Sintetik dan Alami No. Pembeda Zat pewarna Zat pewarna sintetis alami 1 Warna yang dihasilkan Lebih cerah Lebih pudar Lebih homogen Tidak homogen 2 Variasi warna Banyak Sedikit 3 Harga Lebih murah Lebih mahal 4 Ketersediaan Tidak terbatas Terbatas 5 Kestabilan Stabil Kurang stabil Sumber : Cahyadi (2009) Peraturan mengenai penggunaan zat pewarna yang diizinkan untuk pangan di Indonesia diatur melalui Permenkes RI No.033 tahun 2012 mengenai bahan tambahan pangan (Tabel 2.2).
Universitas Sumatera Utara
20
Tabel 2.2 Bahan Pewarna Sintetis yang Diizinkan di Indonesia No. Nama BTP Pewarna sintetis (Synthetic colour) INS 1 Tartrazin CI. No. 19140 Tartrazine 102 2 Kuning kuinolin CI. No. 47005 Quinoline yellow 104 3 Kuning FCF CI. No. 15985 Sunset yellow FCF 110 4 Karmoisin CI. No. 14720 (carmoisine) 122 5 Ponceau 4R CI. No. 16255 (Ponceau 4R) 124 6 Eritrosin CI. No. 45430 (Erythrosine) 127 7 Merah allura CI. No. 16035 (Allura red) 129 8 Indigotin CI. No. 73015 (Indigotine) 132 9 Biru berlian FCF CI No. 42090 (Brilliant blue FCF) 133 10 Hijau FCF CI. No. 42053 (Fast green FCF) 143 11 Coklat HT CI. No. 20285 (Brown HT) 155 Sumber: Permenkes RI No.033 tahun 2012 Peraturan mengenai penggunaan zat pewarna yang dilarang untuk pangan di Indonesia diatur melalui Permenkes RI No.033 tahun 2012 mengenai bahan tambahan pangan (Tabel 2.3). Tabel 2.3 Bahan Pewarna Sintetis yang Dilarang di Indonesia No. Bahan Pewarna Nomor Indeks Warna (C. I. No) 1 Citrus red No. 2 12156 2 Ponceau 3R (Red G) 16155 3 Ponceau SX (Food Red No.1) 14700 4 Rhodamine B (Food Red No. 5) 45170 5 Guinea Green B (Acid Green No.3) 42085 6 Magenta (Basic Violet No. 14) 42510 7 Chrysoidine (Basic Orange No. 2) 11270 8 Butter Yellow (Solvent Yellow No. 2) 11020 9 Sudan I (Food Yellow No. 2) 12055 10 Methanil Yellow (Food Yellow No. 14) 13065 11 Auramine (Ext. D&C Yellow No. 1) 41000 12 Oil Oranges SS (Basic Yellow No. 2) 12100 13 Oil Oranges XO (Solvent Oranges No. 7) 12140 14 Oil Yellow AB (Solvent Oranges No. 5) 11380 15 Oil Yellow OB (Solvent Oranges No. 6) 11390 Sumber: Permenkes RI No.033 tahun 2012
Universitas Sumatera Utara
21
Penggunaan zat pewarna yang tidak dizinkan diatas dapat meimbulkan bahaya bagi konsumen, seperti menyebabkan gangguan pada fungsi hati bahkan kanker hati. 2.4.2 Dampak Bahan Pewarna Pangan Terhadap Kesehatan Menggunakan bahan pewarna sintetis dalam makanan walaupun mempunyai dampak positif bagi produsen dan konsumen, diantaranya dapat membuat suatu makanan lebih menarik, meratakan warna makanan dan mengembalikan warna dari bahan dasar yang hilang atau berubah selama pengolahan, ternyata dapat pula menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan dan bahkan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan manusia. Beberapa hal yang mungkin memberikan dampak negatif tersebut terjadi apabila (Cahyadi, 2009) : 1.
Bahan pewarna sintetis ini dimakan dalam jumlah kecil namun berulang.
2.
Bahan pewarna sintetis dimakan dalam jangka waktu yang lama.
3.
Kelompok masyarakat luas dengan daya tahan yang berbeda-beda, yaitu tergantung pada umur, jenis kelamin, berat badan, mutu makanan sehari-hari dan keadaan fisik.
4.
Berbagai lapisan masyarakat yang mungkin menggunakan bahan pewarna sintetis secara berlebihan.
5.
Penyimpanan bahan pewarna sintetis oleh pedagang bahan kimia yang tidak memenuhi persyaratan. Rhodamin B merupakan zat warna sintetis berbentuk serbuk kristal dan
tidak berbau yang biasa digunakan pada industri tekstil, pewarna kertas, wol dan
Universitas Sumatera Utara
22
sutra. Penyalahgunaan Rhodamin B banyak ditemui pada makanan dan minuman seperti es cendol, permen, saus tomat dan kue. Pengaruh buruk Rhodamin B bagi kesehatan antara lain menimbulkan iritasi pada saluran pernapasan, mata, kulit, dan saluran pencernaan serta berpotensi menimbulkan terjadinya kanker hati (Wijaya, 2011). Bahan pewarna sintetis yang juga dilarang di Indonesia yang didasarkan pada Permenkes RI No.033 tahun 2012yaitu methanyl yellow karena pewarna ini hanya digunakan untuk pewarna industri tekstil (kain), kertas dan cat, tidak boleh digunakan sebagai bahan tambahan untuk pangan. Methanyl yellow dengan senyawa azo yang bersifat karsinogenik dapat menyebabkan timbulnya gangguan saluran pencernaan, serta dalam jangka waktu lama dapat merusak jaringan hati (Pertiwi, 2013). Zat pewarna sintesis yang sering ditambahkan pada jajanan adalah Rhodamin B dan methanyl yellow, yaitu merupakan zat warna sintetik yang umum digunakan sebagai pewarna tekstil. Kedua zat ini merupakan zat warna tambahan yang dilarang penggunaannya dalam produk-produk pangan. Keduanya bersifat karsinogenik sehingga dalam penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan kanker. Berdasarkan penelitian uji toksisitas Rhodamin B yang telah dilakukan terhadap 3 mencit dan tikus dengan injeksi subkutan dan secara oral. Rhodamin B dapat menyebabkan karsinogenik pada tikus ketika diinjeksi subkutan, yaitu timbul sarcoma lokal. Sedangkan secara IV didapatkan LD50 89,5 mg/kg yang ditandai dengan gejala adanya pembesaran hati, ginjal, dan limfa diikuti perubahan anatomi berupa pembesaran organnya (Utami dan Suhendi, 2009).
Universitas Sumatera Utara
23
2.5 Bahan Pengawet Pangan Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Penggunaan pengawet dalam bahan pangan harus tepat, baik jenis dan dosisnya. Bahan pengawet pangan adalah senyawa yang mampu menghambat, memperlambat dan menghentikan proses fermentasi, pengasaman atau bentuk kerusakan lainnya atau bahan yang dapat memberikan perlindungan bahan pangan dari pembusukan(Cahyadi, 2009). Menurut Permenkes RI No.033 tahun 2012, pengawet (preservative) adalah bahan tambahan pangan untuk mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman, penguraian dan perusakan lainnya terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme.Menurut Hermita (2010), pengawet makanan termasuk dalam kelompok zat tambahan pangan yang bersifat inert secara farmakologik atau efektif dalam jumlah kecil dan tidak toksis. Pengawet penggunaannya sangat luas, hampir seluruh industri menggunakannya termasuk industri makanan, kosmetik dan farmasi. Jika pemakaian zat pengawet dan dosisnya tidak sesuai dengan aturan, kemungkinan besar akan merugikan manusia baik bersifat langsung misalnya keracunan ataupun bersifat tidak langsung misalnya zat pengawet yang digunakan bersifat karsinogenik. Pengawet yang banyak dijual dipasaran yang digunakan di berbagai makanan seperti: saus, mie basah, jelly, minuman ringan dan lain-lain pada umumnya adalah Natrium Benzoat (Siaka, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rohadi dan tim peneliti Fakultas Teknologi Pertanian Semarang, yang melaporkan bahwa mayoritas saos
Universitas Sumatera Utara
24
tomat mengandung pengawet (benzoat) yang melebihi standar mutu yang ditentukan (1000 mg/kg), yaitu berkisar 1100 – 1300 mg/kg, penelitian yang sama yang dilakukan Sella (2013) menunjukkan pada sempel saos tomat J yang beredar di pasar tradisional Kota Blitar mengandung pengawet (benzoat) yang melebihi standar mutu yang ditentukan (1000 mg/kg), yaitu 2240 mg/kg. Dari hasil penelitian yang dilakukan olehMujianto dkk (2013) pada bumbu giling di pasar tradisional Kota Jakarta, ditemukan dari 112 sampel bumbu giling, 84 diantaranya dinyatakan positif mengandung boraks. Penelitian Silalahi dkk (2012) melaporkan di Kota Medan didapati adanya kandungan boraks pada jajanan bakso, bahwa 80% dari sampel yang diperiksa ternyata mengandung boraks. Kadar boraks yang ditemukan berkisar antara 0,08-0,29% dari berbagai lokasi yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian diatas bahwa terlihat masih banyak pengawet yang beredar dan digunakan sebagai pengawet dalam berbagai produk makanan dan minuman, meskipun diizinkan namun masih juga terdapat penggunaan kadar yang melebihi batas dan penggunaan jenis pengawet yang dilarang, ini merupakan contoh beberapa kasus penggunaan zat pewarna yang belum diawasi secara penuh oleh BPOM. 2.5.1 Jenis Bahan Pengawet Pangan Dibawah ini terdapat dua jenis bahan pengawet pangan yaitu (Cahyadi, 2009) : 1. Zat pengawet anorganik Zat pengawet anorganik yang masih sering dipakai adalah sulfit, hidrogen peroksida, nitrat dan nitrit. Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na
Universitas Sumatera Utara
25
atau K sulfit, bisulfit dan metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang tidak terdisosiasi dan terutama terbentuk pH di bawah 3. Molekul sulfit lebih mudah menembus dinding sel mikroba bereaksi dengan asetaldehid membentuk senyawa yang tidak dapat difermentasi oleh enzim mikroba, mereduksi ikatan disulfida enzim dan bereaksi dengan keton membentuk hidroksisulfonat yang dapat menghambat mekanisme pernapasan. Garam nitrat dan nitrit umumnya digunakan pada proses curing daging untuk memperoleh warna yang baik dan mencegah pertumbuhan mikroba seperti Clostridium botulinum, suatu bakteri yang dapat memproduksi racun yang mematikan. Akhirnya, nitrit dan nitrat banyak digunakan sebagai bahan pengawet tidak saja pada produk-produk daging, tetapi pada ikan dan keju. 2. Zat pengawet organik Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada yang anorganik karena bahan ini lebih mudah dibuat. Bahan organik digunakan baik dalam bentuk asam maupun dalam bentuk garamnya. Zat kimia yang sering dipakai sebagai bahan pengawet ialah asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat dan epoksida. 2.5.2 Dampak Bahan Pengawet Pangan Terhadap Kesehatan Konsentrasi bahan pengawet yang diizinkan oleh peraturan bahan pangan sifatnya adalah penghambatan dan bukannya mematikan organisme-organisme pencemar. Oleh karena itu, sangat penting bahwa populasi mikroorganisme dari bahan pangan yang akan diawetkan harus dipertahankan minimum dengan cara penanganan dan pengolahan secara higienis. Jumlah bahan pengawet yang
Universitas Sumatera Utara
26
diizinkan akan mengawetkan bahan pangan dengan muatan mikroorganisme yang normal untuk satu jangka waktu tertentu (Mujianto dkk, 2013). Dari 2 jenis pengawet dibawah ini terdapat beberapa dampaknya terhadap kesehatan sebagai berikut (Cahyadi, 2009) : 1. Bahan Pengawet Organik Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan bahan pengawet bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik yang bersifat patogen yang dapat menyebabkan gangguan keracunan atau gangguan kesehatan lainnya maupun mikroba yang nonpatogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan. Namun dari sisi lain, bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang merupakan bahan asing yang masuk bersama bahan pangan yang dikonsumsi. Apabila penggunaan jenis pengawet dan dosisnya tidak diatur maka menimbulkan kerugian bagi si pemakai. Misalnya, keracunan atau terakumulasinya pengawet dalam organ tubuh dan bersifat karsinogenik. Efek beberapa pengawet pangan terhadap kesehatan : a)
Asam benzoat dan garamnya (Ca, K dan Na) Pada penderita asma dan orang yang menderita urticaria sangat sensitif terhadap asam benzoat, jika dikonsumsi dalam jumlah besar akan mengiritasi lambung.
b) Ester dan asam benzoat (paraben) Ester asam benzoat (metil-p-hidroksi benzoat dan propil-p-hidroksi benzoat) memberikan gangguan berupa reaksi yang spesifik. Ester asam
Universitas Sumatera Utara
27
benzoat (paraben) pada pemakaiannya memberikan efek terhadap kesehatan dengan timbulnya reaksi alergi pada mulut dan kulit. 2. Bahan Pengawet Anorganik Sebagai contoh belerang dioksida merupakan bahan pengawet yang sangat luas pemakaiannya, namun pada dosis tertentu dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan, keracunan adanya belerang dioksida dapat menyebabkan luka usus. Suatu hasil penelitian menyatakan bahwa anak-anak pengidap asma ternyata hipersinsitivitas atau intoleransinya terhadap pengawet lebih kecil dibandingkan dengan orang dewasa. Untuk mengurangi resiko kambuhnya penyakit bagi pengidap asma adalah memilih bahan pangan yang bebas dari belerang dioksida khususnya dan bahan tambahan pangan lain pada umumnya. Apabila tubuh mengkonsumsi bahan pengawet secara berlebih, dapat mengganggu kesehatan, terutama menyerang syaraf (Rohadi, 2002). Berdasarkan Siaka(2009) yang mengutip penelitianAlimi, dapat disimpulkan pemberian Natrium Benzoat kepada tikus mencit selama 60 hari secara terus menerus dan dilaporkan bahwa pada pemberian benzoat dengan kadar 0,2% menyebabkan sekitar 6,67% mencit putih terkena radang lambung, usus dan kulit. Sedangkan pada pemberian kadar 4% menyebabkan sekitar 40% tikus mencit menderita radang lambung dan usus kronis serta 26,6% menderita radang lambung dan usus kronis yang disertai kematian. Boraks dinyatakan dapat mengganggu kesehatan bila digunakan dalam makanan, misalnya mie, bakso kerupuk. Efek negatif yang ditimbulkan dapat berjalan lama meskipun yang digunakan dalam jumlah sedikit. Jika tertelan
Universitas Sumatera Utara
28
boraks dapat mengakibatkan efek pada kerusakan susunan syaraf pusat, ginjal dan hati. Konsentrasi tertinggi dicapai selama ekskresi. Ginjal merupakan organ paling mengalami kerusakan dibandingkan dengan organ lain. Dosis fatal untuk dewasa 15-20 g dan untuk anak-anak 3-6 g (Simpus, 2005). Berdasarkan penelitianTatukude (2014) tentang pemberian boraks kepada tikus selama 10 hari secara terus menerus dan dilaporkan bahwa pada pemberian boraks 20mg, 30mg, dan 40mg dapat menyebabkan kerusakan hati yang menunjukkan secara mikroskopik sel hati yang terpapar boraks mengalami degenerasi hidropik, proliferasi fibrolas, dan secara makroskopis sel hati hewan coba mengalami perbesaran dan berwarna coklat kehitaman.
2.6 Bahan Penyedap Rasa Menurut Permenkes RI No.033 tahun 2012,penguat rasa (Flavour enhancer) adalah bahan tambahan pangan untuk memperkuat atau memodifikasi rasa dan/atau aroma yang telah ada dalam bahan pangan tanpa memberikan rasa dan/atau aroma baru. Penyedap rasa didefinisikan sebagai bahan tambahan pangan yang dapat
memberikan dan menambah atau mempertegas rasa dan aroma.
Penyedap rasa merupakan gabungan dari semua perasaan yang terdapat dalam mulut, termasuk mouth feel. Mouth feel suatu bahan pangan yaitu perasaan kasar licin, lunak liat dan cair kental (Depkes, 2012). Penyedap rasa bukan hanya merupakan suatu zat, melainkan suatu komponen tertentu yang bersifat khas.Sifat utama pangan seperti flavor jeruk manis, jeruk nipis, lemon dan sebagainya. Bahan penyedap mempunyai fungsi
Universitas Sumatera Utara
29
dalam bahan pangan sehingga dapat bersifat memperbaiki, membuat lebih bernilai atau lebih diterima dan lebih menarik. Tujuan penggunaan penyedap rasa dalam pengolah pangan yaitu mengubah aroma hasil olahan dan penambahan aroma tertentu selama pengolahan, modifikasi, pelengkap atau penjual aroma, menutupi atau menyembunyikan aroma bahan pangan yang tidak disukai, membentuk aroma baru atau menetralisir atau bergabung dengan komponen dalam bahan penyedap (Cahyadi, 2009). Berdasarkan penelitian Widyalita dkk(2014) kandungan monosadium glutamat (MSG) masih terdapat pada pangan jajanan anak SD dimakassar, yang menunjukkan terdapat kadar Monosodium Glutamat (MSG) pada 6 sampel uji yaitu bakso kasar 12,8 mg, bakso halus 15,34 mg, kuah bakso 216 mg, tela-tela 37,35 mg, nugget 23, 25 mg, dan sosis 22,88 mg. Menurut Nuryani dan Jinap, Monosodium Glutamat (MSG) adalah garam natrium yang berikatan dengan asam amino berupa asam glutamat. MSG berbentuk kristal putih yang stabil, tetapi dapat mengalami degradasi oleh oksidator kuat. Meskipun diperkenankan sebagai penyedap masakan, penggunaan MSG berlebihan dapat mengakibatkan rasa pusing dan mual. MSG pada makanan yang dikonsumsi sering mengganggu kesehatan karena MSG akan terurai menjadi sodium dan glutamat. Garam dari MSG mampu memenuhi kebutuhan garam sebanyak 20-30%, sehingga konsumsi MSG yang berlebihan menyebabkan kenaikan kadar garam dalam darah (Setiawati, 2008).
Universitas Sumatera Utara
30
2.6.1 Jenis Bahan Penyedap Rasa Jenis Bahan Penyedap terdiri dari (Cahyadi, 2009) : 1.
Penyedap alami yaitu bumbu, herbal dan daun, minyak esensial, oleoresin, isolat penyedap, penyedap dari sari buah, ekstrak tanaman atau hewan.
2.
Penyedap sintetis merupakan komponen atau zat yang dibuat menyerupai aroma penyedap alami. Komponen aroma yang dipergunakan untuk pembuatan penyedap sintesis dapat digolongkan menjadi empat golongan yaitu : b. Komponen yang secara alami terdapat dalam tanaman, seperti minyak cengkih, minyak kayu manis dan minyak jeruk. c. Zat yang diisolasi dari bahan penyedap alami, seperti benzeldehid dari minyak almond, sinamat aldehid dari minyak cassia dan sebagainya. d. Zat yang dibuat secara sintetis, tetapi zat yang juga identik dengan zat yang terdapat secara alami. e. Zat-zat sintetis yang terdapat secara alami, contoh: allyl kaproat dan etil fenil glisidat. Beberapa senyawa sintesis tidak dapat menimbulkan aroma, tetapi dapat
menimbulkan rasa enak atau menekan rasa yang kurang enak dari suatu bahan pangan. Sebagai contoh: Monosodium Glutamat (MSG).
Universitas Sumatera Utara
31
2.6.2 Dampak Bahan Penyedap Rasa Terhadap Kesehatan Beberapa bahan penyedap rasa yang banyak beredar dipasaran yang bila dipakai berlebihan
dapat menyebabkan gangguan bagi kesehatan adalah
(Cahyadi, 2009) : a) Monosodium Glutamat (MSG) dapat menyebabkan kesemutan pada punggung, leher, rahang bawah, wajah berkeringat, sesak dada dan kepala pusing. b) Potasium
hydrogen
L-glutamat
(mono
potassium
glutamat)
dapat
menyebabkan mual, muntah dan kejang perut. Pada beberapa kasus Monosodium Glutamat (MSG) dapat memicu reaksi alergi seperti gatal-gatal, bintik-bintik merah di kulit, keluhan mual, muntah, sakit kepala dan migren. Selain itu, ada istilah “Chinese Restaurant Syndrome” yaitu gejala pusing dan sesak bila mengonsumsi Monosodium Glutamat (MSG) yang berlebih. Monosodium Glutamat (MSG) juga sangat berpengaruh terhadap kesehatan dalam jangka panjang seperti hipertensi, obesitas, kanker, gangguan spermatogenesis, parkinson, dan stroke (Widyalita dkk, 2014). Penelitian menyatakan bahwa mengkonsumsi MSG dosis tinggi yaitu sekitar 0,5 g/kg BB/hari akan memberikan efek kerusakan sel hipotalamus (otak) pada mencit. Pada binatang percobaan akan mengakibatkan gejala kerusakan sel syaraf otak, kerusakan retina mata , memicu cacat lahir, menginduksi kanker. Secara epidemiologis MSG dapat memicu terjadinya hipertensi, asma, diabetes militus, kelematan otot dan tulang (Ratnani,2009).
Universitas Sumatera Utara
32
2.7 Kerangka Konsep
Kandungan Zat : Pewarna Sintetis Pengawet Penyedap Rasa
Status Keamanan Pangan
Bumbu giling
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan : : Variabel Independen : Variabel Dependen : Variabel yang diteliti
Universitas Sumatera Utara