BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritik 1. Konsep Tuberkulosis ( TB Paru ) a. Etiologi Penyakit TB Paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk basil yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis dan dapat menyerang semua golongan umur. Penyebaran TB Paru melalui perantara ludah atau dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis paru.9 Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai batang tahan asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert koch pada tanggal 24 maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil koch. Penyakit TB paru kadang disebut sebagai koch pulmonum.9 b. Cara Penularan Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif pada waktu batuk atau bersin. Pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya, penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Selain itu, ventilasi yang baik dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, maka semakin tinggi pula tingkat penularan pasien tersebut.10 c. Tanda dan Gejala Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu http://digilib.unimus.ac.id
dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam, meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB seperti, bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspect) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.10 d. Tipe Pasien Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu kasus baru, kasus kambuh, kasus setelah putus berobat, kasus setelah gagal, serta kasus pindahan. Kasus baru merupakan pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu), kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur), kasus setelah putus berobat (default) merupakan pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif, kasus setelah gagal (failure) merupakan pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan, dan kasus pindahan (transfer in) merupakan pasien yang dipindahkan dari UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya, serta kasus lain merupakan semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.10 e. Diagnosis TB Paru Diagnosis TB dibagi menjadi dua, yaitu diagnosis TB Paru dan TB Ekstra Paru. TB Paru dilakukan dengan cara semua suspek TB diperiksa 3
http://digilib.unimus.ac.id
spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi -sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto thoraks, dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Diagnosis terhadap TB tidak dibenarkan apabila hanya berdasarkan pemeriksaan foto thoraks saja. Foto thoraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB Paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Hal tersebut disebabkan karena gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. TB Paru yang kedua adalah TB Ekstra Paru. Cara diagnosis TB paru yang kedua adalah dengan cara melihat gejala dan keluhan. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan, sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala
klinis
TB
yang
kuat
(presumtif)
dengan
menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan, pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologianatomi, serologi, foto toraks dan lainlain.10 f. Pemeriksaan Diagnostik a) Pemeriksaan dahak Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (S-P-S). S (sewaktu) dilakukan dengan cara dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
http://digilib.unimus.ac.id
pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. P (Pagi), dimana
dahak
dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur kemudian pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK, dan S (sewaktu) yaitu dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.9 b) Pemeriksaan thoraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto thoraks. Namun, pada kondisi tertentu pemeriksaan foto thoraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi yaitu hanya 1 dari 3 spesimen dahak S-PS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto thoraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif, dan ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak S-P-S pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).10 g. Pengobatan TB Paru Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan panduan
OAT
Kategori
1:
2HRZE/4H3R3;
2HRZES/1RHZE/5H3R3E3; dan Kategori 3: 2HRZ/4H3R3.
Kategori
2:
6
Disamping ketiga kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE). Paduan obat ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan.10
http://digilib.unimus.ac.id
a) Kategori-1 (2HRZE/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z) dan Etambutol (E) diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniasid (H) dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk penderita baru TB Paru BTA positif; penderita TB Paru BTA negatif rongten positif yang “sakit berat”; dan penderita TB ekstra paru berat. b) Kategori-2 (2HRZES/1RHZE/5H3R3E3) Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), Etambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di UPK. Terapi intensif dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirasinamid (Z), dan Etambutol (E), setiap hari. Terapi lanjutan dilakukan dengan HRE yang diberikan 3 kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure), dan penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default). c) Kategori-3(2HRZE/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirasinamid dan Etambutol diberikan setiap hari selama 2 bulan, diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari Isoniazid, dan Rifampisin selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan untuk penderita baru BTA negatif dan rongten positif sakit ringan; penderita ekstra paru ringan, yaitu TB kelenjar limfe (limfadenitis), pluritis eksudativa unilateral, TB Kulit, TB tulang (kecuali tulang belakang) sendi dan kelenjar adrenal. d) OAT sisipan OAT sisipan diberikan bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak
http://digilib.unimus.ac.id
masih BTA positif. Obat sisipan (HRZE) diberikan setiap hari selama 1 bulan. Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos kecil. Pemerintah juga menggunakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) untuk memberantas TB Paru. DOTS dapat diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka pendek setiap hari oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengawasan pengobatan secara langsung, pasien tidak memikul sendiri tanggung jawab akan kepatuhan penggunaan obat. Para petugas pelayanan kesehatan, petugas kesehatan masyarakat, pemerintah dan masyarakat semua harus berbagi tanggung jawab dan memberi banyak dukungan kepada pasien untuk melanjutkan dan menyelesaikan pengobatannya. Pengawas pengobatan bisa jadi siapa saja yang berkeinginan, terlatih, bertanggung jawab, dapat diterima oleh pasien
dan
bertanggung
jawab
terhadap
pelayanan
pengawasan
pengobatan tuberkulosis. Seorang PMO harus ditentukan dan dihadirkan di puskesmas untuk diberi penjelasan tentang DOTS dan tugas-tugasnya. Tujuan strategi DOTS adalah tercapainya angka kesembuhan yang tinggi, mencegah putus obat, mengatasi efek samping obat jika timbul dan pencegahan resistensi. DOTS harus dijelaskan kepada pasien tentang cara dan manfaatnya sebelum pengobatan pertama kali dimulai.11 2. Insiden Tuberkulosis Paru a. Umur Penelitian Andreas di Klinik Paru di RSUD Prof. DR Margono Soekarjo Purwokerto menemukan bahwa umur penderita TBC terbanyak berumur 40 tahun (57,1%).11 Penelitian Niko di kota Solok menemukan bahwa umur penderita TBC terbanyak berumur dibawah 50 tahun .6 Penelitian Siti Fatimah di Kabupaten Cilacap menemukan bahwa umur penderita TBC terbanyak berumur 35-54 tahun (57,6%).5 b. Jenis Kelamin Penelitian Andreas (2009) di Klinik Paru di RSUD Prof. DR Margono Soekarjo Purwokerto menemukan bahwa jenis kelamin penderita TBC
http://digilib.unimus.ac.id
terbanyak adalah laki - laki (60%).11 Penelitian Niko (2011) di kota Solok menemukan bahwa jenis kelamin penderita TBC terbanyak adalah (63,6%).6 Penelitian Siti Fatimah (2011) di Kabupaten Cilacap menemukan bahwa jenis kelamin penderita TBC terbanyak adalah laki - laki (53%).5 c. Pendidikan Terakhir Penelitian Andreas (2009) di Klinik Paru di RSUD Prof. DR Margono Soekarjo Purwokerto menemukan bahwa pendidikan terakhir penderita TBC terbanyak adalah tamat SD (51,2%).11 Penelitian Siti Fatimah (2011) di Kabupaten Cilacap menemukan bahwa pendidikan terakhir penderita TBC terbanyak adalah tamat SD (48,5%).5 d. Pekerjaan Penelitian Andreas (2009) di Klinik Paru di RSUD Prof. DR Margono Soekarjo Purwokerto menemukan bahwa pekerjaan penderita TBC terbanyak adalah swasta (60%).11 Penelitian Siti Fatimah (2011) di Kabupaten Cilacap menemukan bahwa pekerjaan penderita TBC terbanyak adalah swasta (54,5%).5 3. Rumah Sehat Rumah di samping merupakan lingkungan fisik manusia sebagai tempat tinggal, selain itu merupakan tempat yang menjadi faktor resiko terjadi penyakit. Penyakit akan diderita oleh penghuni rumah, apabila kriteria rumah sehat belum terpenuhi. Menurut angka statistik kematian dan kesakitan paling tinggi terjadi pada orang-orang yang menempati rumah yang tidak memenuhi syarat dan terletak pada tempat yang
tidak memiliki sanitasi yang baik.
Apabila kondisi lingkungan buruk, maka derajat kesehatan akan rendah. Sehingga
seharusnya
kondisi
lingkungan
pemukiman
harus
mampu
mendukung tingkat kesehatan penghuninya.3 Penanggulangan TBC dengan pengobatan semata tidak memberikan hasil maksimal tanpa mengendalikan faktor risiko lingkungan dan perilaku. Faktor risiko lingkungan yang mempengaruhi penularan penyakit TBC adalah sebagai berikut:
http://digilib.unimus.ac.id
a. Dinding Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan maupun angin serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta menjaga kerahasiaan (privacy) penghuninya. Beberapa bahan pembuat dinding adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata atau batu dan sebagainya. Bahan yang paling baik dalam pembuatan rumah adalah pasangan batu bata atau tembok (permanen) karena tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah dibersihkan. Dinding rumah sebaiknya kering agar ruangan tidak menjadi lembab.5 b. Jenis Lantai Jenis lantai yang baik adalah lantai yang kedap air dan mudah dibersihkan. Jenis lantai rumah yang ada di Indonesia bermacam – macam tergantung kondisi daerah dan tingkat ekonomi masyarakat, mulai dari jenis lantai tanah, papan, plester semen sampai kepada pasangan keramik. Dari beberapa jenis lantai diatas, maka jenis lantai tanah tidak baik dari segi kesehatan, mengingat lantai tanah ini lembab dan menjadi tempat yang baik untuk berkembang biaknya kuman TB Paru.6 c. Ventilasi Rumah Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia. Menurut indikator pengawas rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah lebih dari 10% luas lantai rumah dan ventilasi yang tidak memenuhi syarat adalah dibawah 10% luas lantai rumah.13 Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang dibawah 10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan
berkurangnya
konsentrasi
oksigen
dan
bertambahnya
konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya.13 Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis,
http://digilib.unimus.ac.id
karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus-menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.13 d. Pencahayaan Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya dalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat merusak mata. Cahaya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: a) Cahaya Alami Cahaya alami yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya kuman tuberkulosis. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Sebaiknya jalan masuk cahaya luasnya sekurang – kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah. 13 b) Cahaya Buatan Cahaya buatan yaitu cahaya yang menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan lain-lain.12 e. Kepadatan Hunian Kepadatan hunian diketahui akan meningkatkan resiko dan tingkat keparahan penyakit berbasis lingkungan. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dengan m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana minimal 10m2/orang. Apabila terdapat penderita TB dalam rumah dengan kepadatan cukup tinggi, maka penularan penyakit melalui udara maupun droplet akan lebih cepat terjadi.6 4. Perilaku Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan
http://digilib.unimus.ac.id
penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan.12 a. Perilaku individu Kebiasaan yang dilakukan sehari-hari yang dapat mempengaruhi terjadinya penularan penyakit TBC yaitu kebiasaan tidur bersama dengan anggota keluarga, membuang dahak di sembarang tempat, tidak pernah membuka jendela ruangan rumah, tidak membersihkan lantai dan kebiasaan merokok.2 b. Perilaku masyarakat Kebiasaan masyarakat yang dapat mempengaruhi terjadinya penularan penyakit TBC yaitu tidak menutup mulut pada waktu batuk dan bersin, tinggal di lingkungan padat penduduk, menggunakan alat makan secara bergantian, tidak periksa ke pelayanan kesehatan jika sakit, tidak mengkonsumsi makanan yang bergizi.10
http://digilib.unimus.ac.id
B. Kerangka Teori, Kerangka Konsep dan Hipotesis 1. Kerangka Teori a.
Teori Blum14
Keturunan
Lingkungan
Status kesehatan
Pelayanan kesehatan
Perilaku b. Segitiga Epidemiologi14 Manusia
Agen penyakit
http://digilib.unimus.ac.id
Lingkungan
2. Kerangka Konsep Keadaan Rumah : - Jenis dinding - Jenis lantai - Ventilasi rumah
Kejadian TB Paru Baru
- Pencahayaan - Kepadatan hunian Perilaku - Individu - Masyarakat
Ketahanan tubuh Keganasan kuman
http://digilib.unimus.ac.id
3. Hipotesis a. Terdapat hubungan antara keadaan rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru. b. Terdapat hubungan antara perilaku dengan kejadian Tuberkulosis Paru.
http://digilib.unimus.ac.id