BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Lansia
2.1.1 Definisi Usia lanjut adalah suatu tahap akhir dari siklus kehidupan manusia dan merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Berdasarkan kriteria Badan Kesehatan Dunia (WHO) membagi batasan usia lansia menjadi: kelompok usia 45 – 59 tahun sebagai usia pertengahan (middle elderly), kelompok usia 60 – 74 tahun disebut lansia (elderly), kelompok usia 75 – 90 tahun disebut tua (old), dan usia di atas 90 tahun disebut sangat tua (very old). Berdasarkan UU No. 13 Tahun 1998 menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Rohana, 2011). Penurunan anatomik dan fungsi organ lebih tepat jika tidak dikaitkan ke dalam umur kronologik akan tetapi dengan umur biologiknya. Dengan kata lain, mungkin seseorang dengan usia kronologik baru mencapai usia dewasa akhir, tetapi sudah menunjukkan berbagai penurunan anatomik dan fungsional yang nyata akibat umur biologiknya yang sudah lanjut sebagai akibat tidak baiknya faktor nutrisi, pemeliharaan kesehatan, dan kurangnya aktivitas. Menua adalah proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap paparan dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Darmojo, 2006). 2.1.2 Epidemiologi Gangguan Keseimbangan pada Lansia Gangguan keseimbangan postural merupakan hal yang sering terjadi pada lansia. Apabila keseimbangan postural lansia tidak terkontrol, maka akan dapat meningkatkan resiko jatuh (Siburian, 2006). Faktor risiko jatuh pada lansia meliputi faktor intrinsik (host) dan faktor ekstrinsik (environmental). Faktor intrinsik terdiri dari: permasalahan keseimbangan dan berjalan, kelemahan otot, riwayat jatuh sebelumnya, penggunaan alat bantu, permasalahan penglihatan, radang sendi, depresi, permasalahan kognitif, serta usia lebih dari 80 tahun. Faktor ekstrinsik meliputi: penggunaan alas kaki yang tidak tepat, permukaan lantai yang licin atau kasar, pencahayaan yang kurang, serta banyaknya hambatan yang terdapat pada lingkungan (Rubenstein, 2002). Setiap tahunnya terdapat satu per tiga lansia di dunia yang berumur di atas 65 tahun mengalami jatuh. Angka ini cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Jatuh dan osteoporosis secara bersamaan mengakibatkan terjadinya fraktur panggul pada lansia. Sebanyak 38% lansia yang jatuh dan dirawat di rumah sakit mengalami fraktur panggul dan 90% kejadian fraktur panggul dialami oleh lansia berumur 70 tahun ke atas (British Columbia, 2004). Sekitar satu per empat kematian di AS disebabkan oleh jatuh dan terjadi pada 13% populasi lansia yang berusia di atas 65 tahun. Sekitar 30-73% lansia yang mengalami jatuh cenderung akan terjadi jatuh yang berulang. Jatuh yang berulang menjadi alasan utama ketergantungan lansia pada lingkungan sekitar. Efek
panjang yang dirasakan lansia yaitu berkurangnya rasa percaya diri, depresi, hingga terisolasi secara sosial (Josephson, 2006). 2.2
Keseimbangan
2.2.1 Definisi Keseimbangan merupakan kemampuan relatif untuk mengontrol pusat gravitasi (center of gravity) atau pusat massa tubuh (center of mass) terhadap bidang tumpu (base of support). Pusat gravitasi (center of gravity) adalah suatu titik dimana massa dari suatu obyek terkonsentrasi berdasarkan tarikan gravitasinya. Pada manusia normal, pusat gravitasi terletak di perut bagian bawah dan sedikit di depan sendi lutut. Agar dapat menjaga keseimbangan, pusat gravitasi tersebut harus berpindah untuk mengompensasi gangguan yang dapat menyebabkan orang kehilangan keseimbangannya (Barnedh, 2006). Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap bagian tubuh dan didukung oleh sistem muskuloskeletal serta bidang tumpu. Tujuan tubuh mempertahankan keseimbangan, yaitu untuk menyangga tubuh melawan gaya gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar sejajar dan seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilkan bagian tubuh ketika tubuh lain bergerak (Irfan, 2012). Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara efektif dan efesien (Yuliana, 2014). 2.2.2
Fisiologi Keseimbangan Keseimbangan tercipta apabila terdapat integritas antara tiga sistem sensorik
(visual, vestibular, dan proprioseptif), sistem saraf pusat sebagai unit pemroses
(central processing), serta sistem neuromuskuloskeletal sebagai efektor melalui respon motorik untuk merespon perubahan gravitasi, pergerakan linear atau angular, dan perubahan lingkungan. Sistem proprioseptif memiliki peranan dalam menjaga keseimbangan postural dan memiliki hubungan dengan traktus spinoserebralis posterior dan anterior. Traktus ini membawa informasi proprioseptif dan postural dari ekstremitas bawah. Sinyal-sinyal yang dijalarkan dalam traktus spinoserebralis posterior terutama berasal dari kumparan otot dan sebagian kecil berasal dari reseptor somatik di seluruh tubuh, seperti organ tendon Golgi, reseptor taktil yang besar pada kulit, dan reseptor-reseptor sendi. Semua sinyal ini memberitahu serebelum tentang bagaimana keadaan (1) kontraksi otot, (2) derajat ketegangan tendon otot, (3) posisi dan kecepatan gerakan bagian tubuh, dan (4) kekuatan kerja pada permukaan tubuh (Guyton, 2008). Traktus ini kemudian naik di medulla spinalis ipsilateral masuk ke pedunkulus serebelum inferior dan berakhir di serebelum. Traktus spinoserebralis anterior menerima masukan somatosensorik dari batang tubuh dan ekstremitas atas, masuk ke radiks dorsalis, traktus tersebut menyilang dan naik ke serebelum melalui pedunkulus serebelum superior. Traktus ini membawa informasi proprioseptif dari batang tubuh dan ekstremitas atas dan sebagian kecil ekstremitas bawah (Barnerdh, 2006). Batang otak juga memiliki sistem dalam mengatur gerakan seluruh tubuh dan keseimbangan. Sistem keseimbangan postural melibatkan nuklei retikular pontin dan nuklei retikular medular. Kedua rangkaian ini berfungsi secara antagonistik satu sama lain dimana nuklei retikular pontin akan merangsang otot-
otot antigravitasi dan nuklei retikular medular berfungsi untuk merelaksasi otot yang sama (Guyton, 2008). Nuklei retikular pontin menjalarkan sinyal eksitasi menuju medula melalui traktus retikulospinal pontin pada kolumna anterior medula spinalis. Serabutserabut dari jaras ini berakhir pada neuron-neuron motorik bagian medial dan anterior yang merangsang otot-otot aksial tubuh yang berfungsi untuk melawan gravitasi, meliputi: otot-otot kolumna vertebra dan otot-otot ekstensor dari anggota tubuh. Sebaliknya nuklei retikular medular menjalarkan sinyal inhibitorik ke neuron-neuron motorik anterior antigravitasi yang sama melalui traktus yang berbeda, yaitu traktus retikulospinal medula yang terletak pada kolumna lateralis medula spinalis. Nuklei retikular medular menerima input kolateral yang kuat dari traktus kortikospinal, traktus rubrospinal, dan jaras motorik lainnya dan secara normal semua sistem ini mengaktifkan sistem inhibitorik retikular medular untuk memberikan umpan balik sinyal eksitasi dari sistem retikular pontin, sehingga dalam keadaan normal, otot-otot tidak tegang secara abnormal (Guyton, 2008). Seluruh nuklei vestibular, fungsinya berkaitan dengan nuklei retikular pontin untuk mengatur otot-otot antigravitasi. Nuklei vestibular menjalarkan sinyal
eksitasi
yang
kuat
ke
otot-otot
antigravitasi
melalui
traktus
vestibulospinalis medialis dan lateralis dalam kolumna anterior medulla spinalis. Peran spesifik dari nuklei vestibular adalah untuk mengatur secara selektif sinyalsinyal eksitatorik dari berbagai otot antigravitasi untuk menjaga keseimbangan sebagai responnya terhadap sinyal dari apparatus vestibular (Guyton, 2008). Traktus vestibulospinalis lateralis mendapatkan informasi lewat macula (utrikulus
dan sakulus) dan berperan dalam percepatan linear. Pada waktu gerakan percepatan linear tersebut terjadi eksitasi neuron motorik ekstensor dan inhibisi neuron motorik fleksor. Sedangkan traktus vestibulospinalis medial menjalar ke medulla spinalis servikal dan torakal atas fasikulus longitudinalis medial. Traktus vestibulospinalis medial terutama berfungsi mengatur refleks vestibulospinal untuk stabilisasi kepala dan mata, traktus ini menghubungkan kanalis semisirkularis ke neuron motorik servikalis yang menginervasi otot-otot leher (Barnerdh, 2006). Jika seseorang berdiri di atas permukaan yang tidak bergerak dengan lapang visual yang stabil, maka input visual dan somatosensorik mendominasi kontrol orientasi dan keseimbangan karena mereka merupakan sistem keseimbangan yang lebih sensitif dari sistem vestibular terhadap perubahan posisi tubuh yang halus. Sistem somatosensorik khususnya proprioseptif lebih sensitif terhadap perubahan cepat dari orientasi tubuh, sedangkan sistem visual lebih sensitif terhadap perubahan posisi yang lebih lambat. Sedangkan bila seseorang berdiri di atas permukaan yang bergerak atau miring, otot-otot batang tubuh dan ekstremitas bawah berkontraksi dengan cepat untuk mengembalikan pusat gravitasi tubuh ke posisi seimbang. Dalam hal ini yang berperan adalah sistem proprioseptif dan vestibular. Sistem vestibular terutama berperan dalam perubahan posisi yang lambat. Sedangkan perubahan posisi yang cepat terutama dikompensasi oleh sistem proprioseptif (Barnerdh, 2006).
2.2.3
Komponen-komponen Pengontrol Keseimbangan
1) Sistem Informasi Sensoris a. Sistem Visual Penglihatan merupakan sumber utama informasi tentang lingkungan dan penglihatan berperan dalam mengidentifikasi dan mengatur jarak sesuai dengan tempat kita berada. Penglihatan muncul ketika mata menerima sinar yang berasal dari obyek sesuai jarak pandang (Irfan, 2012). Sistem visual juga memberikan informasi mengenai posisi kepala, penyesuaian kepala untuk mempertahankan penglihatan, dan mengatur arah serta kecepatan pergerakan kepala karena ketika kepala bergerak, objek sekitar berpindah dengan arah berlawanan (Colby, 2007). Masukan reseptor visual berperan penting terutama pada landasan penunjang yang tidak stabil, misalnya pada saat bertumpu pada tumit, goyangan anteroposterior pada tubuh akan berkurang pada saat mata terbuka dibandingkan dengan mata tertutup (Sugiarto, 2005). Gambar anatomi mata disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Sistem Visual Sumber: anonim, 2009
Sistem visual memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan. Sekitar dua puluh persen serabut saraf dari mata berinteraksi dengan sistem vestibular. Gangguan visual yang dapat menyebabkan gangguan keseimbangan, di antaranya: - aneisokonia adalah perbedaan kemampuan magnifikasi atau pembesaran dan pembentukan bayangan di retina pada mata kanan dan kiri, - anisometropia adalah keadaan di mana terdapat perbedaan refraksi yang signifikan antara ke dua mata (perbedaan 10 Dioptri), - diplopia (double vision) adalah keadaan melihat bayangan ganda akibat sumbu ke dua mata tidak parallel, - gangguan fungsi binocular vision, yaitu gangguan dalam mengordinasikan ke dua mata sebagai satu kesatuan dalam aspek konvergensi dan divergensi dengan aspek akomodasi, - serta strabismus yaitu gangguan aligment mata kanan dan kiri (Sugiarto, 2005). b. Sistem Vestibular Aparatus vestibular merupakan organ sensoris untuk mendeteksi sensasi keseimbangan. Alat ini terbungkus di dalam labirin tulang. Dalam sistem ini terdapat tabung membran dan ruangan yang disebut labirin membranosa dan merupakan bagian fungsional dari apparatus vestibular. Labirin membranosa terdiri atas: koklea (duktus koklearis), tiga kanalis seminiverus, dan ruangan besar yaitu, utrikulus dan sakulus. Koklea merupakan organ sensorik utama pendengaran dan tidak berhubungan dengan keseimbangan. Kanalis seminiverus bertanggung jawab terhadap keseimbangan dinamis, yaitu keseimbangan saat
tubuh sedang bergerak seperti berjalan atau dalam keadaan tidak seimbang (tersandung atau tergelincir), sedangkan fungsi dari utrikulus dan sakulus sebagai penjaga keseimbangan statis tubuh, yaitu berperan dalam kontrol postur dan monitoring kepala (Guyton, 2008). Pada permukaan dalam utrikulus dan sakulus terdapat daerah sensorik kecil yang disebut sebagai makula. Makula pada utrikulus berperan penting dalam menentukan orientasi kepala ketika kepala dalam posisi tegak, sebaliknya makula pada sakulus memberikan sinyal orientasi kepala saat seseorang sedang berbaring. Anatomi sistem vestibular dijabarkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Sistem Vestibular Sumber: anonim, 1997 Setiap makula ditutupi oleh lapisan gelatinosa yang dilekati oleh kristal kalsium karbonat kecil yang disebut statokonia. Dalam makula, juga terdapat beribu-ribu sel rambut dan akan menonjolkan silia ke dalam lapisan gelatinosa
tersebut. Setiap sel rambut mempunyai 50 sampai 70 silia kecil yang disebut stereosilia, ditambah satu silium besar yang disebut kinosilium. Perlekatan filamentosa yang tipis, menghubungkan ujung setiap stereosilium dengan strereosilum selanjutnya yang lebih panjang dan pada akhirnya ke kinosilium. Apabila stereosilia melekuk ke arah kinosilium pelekatan filamentosa akan menarik stereosilia berikutnya ke arah luar badan sel dan mampu menghantarkan ion positif mengalir ke dalam sel dari cairan endolimfatik di sekelilingnya sehingga menimbulkan depolarisasi membran reseptor. Sebaliknya, pelekukan stereosilia ke arah berlawanan (ke belakang kinosilium) akan menurunkan tegangan pada pelekatan dan keadaan ini mampu menutup saluran ion dan terjadilah hiperpolarisasi reseptor. Pada setiap makula, setiap sel rambut diarahkan ke berbagai jurusan sehingga beberapa dari sel rambut dapat terangsang ketika kepala menunduk ke depan, dan yang lainnya terangsang ketika kepala menengadah ke belakang atau ketika membelok ke salah satu sisi. Pola inilah yang nantinya memberitahukan kepada otak posisi kepala dalam ruangan, seperti yang dijabarkan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Sel rambut dari alat keseimbangan Sumber: Pearson, 2011
Setiap apparatus vestibularis terdapat tiga buah kanalis semisirkularis dikenal sebagai kanalis semisirkularis anterior, posterior, dan lateral (horizontal) yang tersusun tegak lurus satu sama lain, sehingga kanalis ini terdapat dalam tiga bidang. Sel-sel rambut akan menjalarkan sinyal yang sesuai ke nervus vestibularis untuk memberitahukan sistem saraf pusat mengenai perubahan perputaran kepala dan kecepatan perubahan pada setiap tiga bidang ruangan. Dengan kata lain, mekanisme
kanalis
semisirkularis
dapat
meramalkan
akan
terjadinya
ketidakseimbangan, sehingga menyebabkan pusat keseimbangan mengadakan tindakan pencegahan antisipasi yang sesuai. Dengan cara ini, orang tidak akan jatuh
secara
tak
terduga
sama
sekali,
karena
sebelum
terjadinya
ketidakseimbangan orang itu mulai mengadakan koreksi keadaan tubuhnya
(Guyton, 2008). Mekanisme kerja sistem vestibular terhadap keseimbangan dijabarkan pada bagan Gambar 2.4. Sistem Vestibuler Reseptor
Utrikulus dan Sakulus
Kanalis Semisirkularis
Fungsi Statik
Fungsi Dinamik
Monitoring posisi kepala
Kontrol Postur
Mengara hkan gerakan kepala
Kontrol reflek dari gerakan mata
Informasi diteruskan ke: Serebelum N. VII Batang Otak Otot Ekstra Okuler
Gambar 2.4 Mekanisme kerja sistem vestibular terhadap keseimbangan Sumber: Sugiarto, 2005 c. Sistem Somatosensorik Somatosensorik adalah perasaan yang dirasakan pada bagian tubuh yang berasal dari somatopleura yaitu kulit, otot, tulang, dan jaringan pengikatnya. Somatosensorik tediri dari perasaan dangkal (perasa eksteroseptif), perasa dalam (perasa proprioseptif), dan perasa luhur. Somatosensorik eksteroseptif sederhana meliputi rasa nyeri, rasa suhu, dan rasa raba. Somatosensorik proprioseptif terdiri dari rasa nyeri dalam, rasa getar, rasa tekan, rasa gerak, dan rasa sikap. Somatosensorik luhur adalah perasaan yang mempunyai sifat diskriminatif dan
tiga dimensional, misalnya dengan meraba, menekan, dan merasakan suhu suatu benda dengan mata tertutup, dapat menentukan benda apa yang dipegang, dari bahan apa benda itu dibuat, dan sebagainya. Susunan somatosensorik adalah perantara untuk menyadari dan merasakan rangsang dari dunia luar. Dari susunan saraf perifer, rangsangan diteruskan melalui neuron-neuron ke susunan saraf pusat yang mengolah impuls, sehingga dapat menghasilkan suatu perasaan. Impuls tersebut dinamakan impuls aferen. Ada dua jenis susunan saraf yang digunakan untuk mengalirkan impuls aferen tersebut, yaitu susunan eksteroseptif dan susunan proprioseptif (Sugiarto, 2005). Susunan proprioseptif adalah susunan saraf yang menghantarkan impuls rasa tekan, rasa gerak, rasa sikap, rasa getar, rasa nyeri dalam, dan rasa diskriminatif. Sel neuron sistem proprioseptif mempunyai neurit dan dendrit yang hampir sama panjangnya. Informasi proprioseptif disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus medialis dan thalamus (Willis Jr, 2007). Macam-macam reseptor dalam sistem proprioseptif yaitu: korpus vaterpacini untuk rasa tekan, letaknya di bagian bawah kulit dan jaringan ikat, organ golgi di dalam tendon dan selaput sendi, muscle spindle ada dalam otot berfungsi sebagai stretch reseptor, piring GolgiMassoni ada dalam kulit untuk menangkap rasa tekan halus (Sugiarto, 2005). Pengaturan serebral dan sereberal terhadap gerakan voluntar yang melalui sistem somatosensorik dijabarkan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Pengaturan Serebral dan Sereberal Terhadap Gerakan Voluntar Sumber: Guyton dan Hall, 2008 2) Central Processing Central processing berfungsi untuk menentukan titik tumpu tubuh dan alligment gravitasi pada tubuh serta mengorganisasikan respon sensorimotor yang dibutuhkan oleh tubuh. Respon motorik yang dihasilkan oleh sistem saraf pusat berguna untuk menjaga postur tubuh agar tetap seimbang. Sistem saraf pusat menerima input sensorik, menginterpretasikan dan mengintegrasikan kemudian menghubungkan pada sistem neuromuskular untuk memberikan output motorik yang korektif sehingga mampu menciptakan keseimbangan yang baik ketika
dalam keadaan diam (statis) ataupun keadaan bergerak (dinamis). Komponen sistem saraf pusat yang terlibat dalam proses kontrol postural yaitu: corteks, thalamus, basal ganglia, nuckelus vestibular, dan cerebellum (Suadnyana, 2013). 3) Efektor a. Respon otot-otot postural yang sinergis Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak dari aktivitas kelompok otot yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas atas maupun bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri tegak serta mengatur keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan (Irfan, 2012). Keseimbangan pada tubuh dalam berbagai posisi hanya akan dimungkinkan jika respon dari otot-otot postural bekerja secara sinergi sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh. Kerja otot yang sinergi berarti bahwa adanya respon yang tepat (kecepatan dan kekuatan) suatu otot terhadap otot yang lainnya dalam melakukan fungsi gerak tertentu. Gerak dengan
pola
normal
berasal
dari
adanya
perencanaan
gerak
yang
diimplementasikan dalam bentuk aktivasi otot dengan kekuatan dan kecepatan yang sesuai (Irfan, 2012). b. Kekuatan otot Kekuatan otot diperlukan saat melakukan aktivitas. Semua gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya suatu peningkatan tegangan otot sebagai respon motorik. Kekuatan otot dapat dijabarkan sebagai kemampuan otot menahan beban baik berupa beban internal (internal force) maupun beban
eksternal (external force). Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf mengaktivasi otot untuk melakukan kontraksi, sehingga semakin banyak serabut otot yang teraktivasi, maka semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan otot tersebut (Irfan, 2012). Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat untuk mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya gaya dari luar. Kekuatan otot tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara berkelanjutan mempengaruhi posisi tubuh. Kemampuan otot untuk melakukan reaksi tegak dan stabil merupakan bentuk dari aktivitas otot untuk menjaga keseimbangan baik saat statis maupun dinamis. Hal tersebut dapat dilakukan apabila otot memiliki kekuatan dengan besaran tertentu (Irfan, 2012). c. Range of Motion Range of motion merupakan luas lingkup gerak sendi yang bisa dilakukan oleh sendi. ROM juga merupakan ruang gerak suatu kontraksi otot dalam melakukan gerakan, apakah otot tersebut memendek atau memanjang secara penuh atau tidak sehingga berpengaruh terhadap keseimbangan. ROM menentukan kemampuan sendi dalam membantu gerak tubuh dan mengarahkan gerakan terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan yang tinggi, serta keterjangkauan lingkup gerak sendi untuk memenuhi kebutuhan gerak yang memungkinkan untuk seimbang (Suadnyana, 2013).
Korteks Talamus Nukleus Vestibularis
Serebelum
Spinoserebralis
Nukleus Rubra
Rubrospinal
Visual
Organ Vestibuler
Proprioseptif
Vestibul ospinal
Retikulo spinal
Kornu anterior Neuromuskular
Gambar 2.6 Bagan Fisiologi Keseimbangan Sumber: Barnedh, 2006
2.2.4 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan 1) Pusat gravitasi (Centre of Gravity-COG) Pusat gravitasi merupakan titik utama pada tubuh yang mendistribusikan massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Gangguan keseimbangan dapat terjadi karena adanya perubahan postur sebagai akibat dari perubahan titik pusat gravitasi. Pada manusia, pusat gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang di antara depan dan belakang vertebra sakrum ke dua. Kemampuan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan dalam berbagai bentuk posisi tubuh sangat dipengaruhi oleh kemampuan tubuh menjaga centre of gravity untuk tetap dalam area batas
stabilitas tubuh (stability limit). Stability limit adalah batas dari luas area di mana tubuh mampu menjaga keseimbangan tanpa adanya perubahan tumpuan (Irfan, 2012). Pusat gravitasi tubuh dijabarkan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Centre of Gravity Sumber : Irfan, 2012 2) Garis gravitasi (Line of Gravity-LOG) Garis gravitasi adalah garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan bidang tumpu akan menentukan derajat stabilitas tubuh. Garis gravitasi pada seseorang yang sedang berdiri berjalan mulai dari prosesus mastoideus pada tulang temporal, bagian anterior sakral ke-dua, bagian posterior dari hip, dan anterior knee dan ankle,seperti yang dijabarkan pada Gambar 2.8 (Neumann, 2002).
Gambar 2.8 Line of Gravity Sumber : Irfan, 2012 3) Bidang tumpu (Base of Support-BOS) Bidang tumpu adalah bagian dari tubuh yang berhubungan dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada pada bidang tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Base of Support pada gerak manusia akan memberikan reaksi pada pola gerak individu. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi (Wen Chang, 2009). Bidang tumpu dijabarkan melalui Gambar 2.9.
Gambar 2.9 Base of Support Sumber: Irfan, 2012
2.2.5
Penyusun Keseimbangan Postural Kontrol postural tidaklah dianggap sebagai salah satu sistem atau set
dalam meluruskan dan mencapai keseimbangan refleks. Sebaliknya, kontrol postural dianggap sebagai keterampilan motorik yang kompleks berasal dari interaksi antara berbagai proses sensorimotor. Terdapat dua tujuan utama dalam kontrol postural yaitu: orientasi postural dan keseimbangan postural. Orientasi postural dipengaruhi oleh kontrol aktif alignment tubuh terhadap gravitasi, landasan penyangga, sistem visual, dan informasi internal. Orientasi spasial pada kontrol postural bergantung pada interpretasi sistem visual, vestibular, dan somatosensoris. Keseimbangan postural dipengaruhi oleh koordinasi sensorimotor untuk menstabilkan center of mass dan penjalaran eksternal pada stabilitas postural. Horak (2006) menyimpulkan terdapat 6 komponen dasar penyusun sistem kontrol postural, seperti terlihat pada Gambar 2.10. Penurunan kemampuan pada
salah satu komponen dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan dan meningkatkan kejadian jatuh pada lansia.
Gambar 2.10 Penyusun Keseimbangan Postural Sumber: Horak, 2006 1). Kendala Biomekanik (Biomechanical Constraints) Komponen kendala biomekanik yang terpenting dalam keseimbangan adalah ukuran dan kualitas dari bidang tumpu (base of support) yaitu kaki. Keterbatasan pada ukuran, kekuatan, lingkup gerak, nyeri, atau kontrol dari kaki akan mempengaruhi keseimbangan (Tinetti et al, 1988). Pada posisi berdiri, terdapat area seperti kerucut (limit of stability) yang menjelaskan kemampuan seseorang dalam menggerakkan pusat gravitasi tubuh dan mengontrol keseimbangan tanpa merubah bidang tumpu, (McCollum dan Leen, 1989) seperti terlihat pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Normal dan Abnormal Limits of Stability Sumber: Horak, 2006 Pada gambar A menunjukkan lansia pria sehat yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke arah depan tanpa melewati batas stabilitas, sedangkan gambar B menunjukkan lansia wanita dengan gangguan multisensoris yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke arah depan tanpa melewati batas stabilitas. Gambar C menunjukkan lansia wanita dengan gangguan multisensoris yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke belakang, tetapi secara tiba-tiba mengambil langkah untuk melebarkan bidang tumpu. Secara singkat, batas stabilitas diartikan sebagai kemampuan untuk menggerakkan pusat gravitasi sejauh mungkin pada arah anteroposterior atau mediolateral tanpa memindahkan bidang tumpu (Sibley et al, 2015). Sistem saraf pusat mengatur keadaan internal pada batas stabilitas kerucut dengan mengatur seberapa besar gerakan yang diperlukan dalam mengontrol keseimbangan. Pada sebagian besar lansia dengan defisit keseimbangan, stabilitas kerucut ini sangatlah kecil atau representasi sistem saraf pusat terhadap stabilitas kerucut mengalami penurunan (Duncan et al, 1990).
2). Strategi Gerakan (Movement Strategies) Sistem saraf pusat memiliki 3 sistem untuk menjaga keseimbangan setelah tubuh mengalami perturbasi/gangguan, di antaranya: refleks regang, respon postural otomatis, dan respon volunter. Respon postural otomatis berhubungan dengan long loop reflexes yang biasanya terjadi sekitar 100-120 msec pada orang dewasa normal. Respon postural otomatis diinformasikan melalui situasi feedback dan feedforward. Feedforward mendeskripsikan mengenai pengaturan sistem saraf pusat dalam mengatur respon postural saat mengantisipasi suatu perubahan posisi tertentu. Sebagai contoh pada gerakan menangkap bola. Gerakan menangkap bola merupakan gerakan yang disadari atas perubahan pusat gravitasinya, tetapi respon postural otomatis setidaknya akan memprediksi keadaan ini dengan mengantisipasi gerakan volunteer dalam rangka menstabilisasi pusat gravitasi tubuh sehingga perubahan sikap atau gerakan terhadap stimulus yang diberikan akan menjadi akurat. Sementara, feedback berhubungan dengan situasi dimana tubuh mendapatkan gaya eksternal, seperti: tergelincir atau terdorong. Maka, pusat gravitasi tubuh berubah dan sistem saraf pusat berperan dalam mengatur respon postural untuk menyesuaikan pusat gravitasi tubuh terhadap bidang tumpu. Respon yang diberikan dapat berupa respon protektif atau respon korektif (Guccione, 2001). Penelitian dalam bidang respon postural otomatis berfokus pada respon neurofisiologi pada perturbasi postural dalam paradigma feedback. Bentuk gerakan yang biasanya digunakan dalam menyusun perturbasi misalnya ketika pasien berdiri secara normal. Variabel primer yang dites yaitu latency (waktu
dalam melakukan respon otot) dan sequence (ketepatan gerakan respon otot). Nashner menjelaskan mengenai 3 strategi gerakan sebagai respon normal dalam mengantisipasi perturbasi postural yang tidak diinginkan. (1). Ankle Strategy digunakan pada perubahan bidang tumpu yang cukup kecil. Pada strategi ini, aktivasi otot dilakukan dari distal ke proksimal yaitu mengaktivasi otot-otot bagian ekstremitas bawah. Misalnya, saat tubuh mengalami kehilangan keseimbangan ke arah belakang, maka otot yang akan diaktivasi pertama kali yaitu m. tibialis anterior (100 msec) yang diikuti oleh m. quadriceps dan m. abdominal. Sebaliknya, apabila tubuh kehilangan keseimbangan ke arah depan maka otot yang akan diaktivasi yaitu: m. gastrocnemius, m. hamstring, dan m. paraspinal. (2). Hip Strategy terjadi ketika perturbasi besar atau pusat gravitasi tubuh mendekati limit of stability (batas stabilitas) akibat bidang tumpu yang tidak stabil. Tujuan dari strategi ini yaitu mempertahankan pusat gravitasi tubuh terhadap bidang tumpu dengan mengaktivasi tubuh bagian proksimal ke distal. Pada forward sway akan mengaktivasi m. abdominal dan m. quadriceps, sedangkan backward sway akan mengaktivasi m. paraspinal dan m. harmstring. (3). Stepping strategy terjadi saat perturbasi dalam jumlah yang sangat besar yaitu pusat gravitasi tubuh melebihi batas stabilitas. Strategi ini digunakan untuk memperbesar bidang tumpu sehingga dapat mempertahankan keseimbangan (Nashner et al, 1979). 3). Strategi Sensoris (Sensory Strategies) Informasi sensoris dari somatosensori, visual, dan vestibular, harus diintegrasikan untuk menginterpretasi keadaan lingkungan. Dalam lingkungan
yang cukup terang dengan basis yang kuat dari dukungan, orang sehat mengandalkan informasi somatosensori (70%), visual (10%), dan vestibular (20%). Namun, ketika seseorang berdiri di atas permukaan yang tidak stabil, mereka meningkatkan bobot sensorik untuk vestibular dan informasi visual mereka serta mengurangi ketergantungan masukan somatosensori untuk orientasi postural (Peterka, 2002). Kemampuan untuk meningkatkan informasi bobot sensorik (re-weight sensory) bergantung pada seberapa penting konteks sensori dalam menjaga stabilitas ketika seorang individu bergerak dari satu konteks sensori ke yang lainnya. Seorang individu dengan gangguan defisit periperal pada sistem vestibular atau somatosensori (neuropati) akan mengalami keterbatasan dalam kemampuan untuk meningkatkan informasi bobot sensorik dan memiliki peluang jatuh lebih tinggi (Horak, 2006). 4). Orientasi dalam Ruang (Orientation in Space) Kemampuan untuk mengarahkan bagian-bagian tubuh sehubungan dengan gravitasi, bidang tumpu, sistem visual dan referensi internal adalah komponen penting dari kontrol postural. Sistem saraf yang sehat secara otomatis mengubah cara tubuh berorientasi pada ruang, tergantung pada konteks dan tugas. Orang yang sehat dapat mengidentifikasi gravitasi vertikal dalam gelap untuk jarak 0,5°. Penelitian telah menunjukkan bahwa persepsi vertikal atau tegak, mungkin memiliki beberapa representasi saraf (Karnath et al, 2000). Persepsi vertikal visual atau kemampuan untuk menyelaraskan garis ke gravitasi vertikal dalam gelap, tidak tergantung pada persepsi postural (atau proprioseptif) vertikal;
misalnya kemampuan untuk menyelaraskan tubuh dalam ruang tanpa visual. Ketiadakakuratan referensi internal pada vertikalitas akan menghasilkan keselarasan (alignment) postural otomatis yang tidak selaras dengan gravitasi dan membuat seseorang tidak stabil (Bisdorff et al, 1996). 5). Kontrol Dinamik (Control of Dynamics) Mengontrol keseimbangan selama berjalan dan ketika berpindah dari satu postur ke lainnya memerlukan kontrol yang kompleks dari pusat gravitasi tubuh. Tidak seperti dalam posisi tegak, pusat gravitasi tubuh tidak dalam basis dukungan kaki ketika berjalan atau berubah dari satu postur ke yang lain (Winter et al, 1993). Stabilitas postural ke arah depan selama berjalan datang dari ayunan ekstremitas di bawah jatuhnya pusat gravitasi. Namun, stabilitas lateral berasal dari kombinasi kontrol tubuh bagian lateral dan peletakan kaki bagian lateral (Bauby dan Kuo, 2000). Seorang lansia yang rentan terhadap jatuh cenderung memiliki penempatan lateral yang lebih besar dari pusat gravitasi tubuh serta penempatan kaki secara lateral dan tidak teratur (Prince et al, 1997). 6). Proses Kognitif (Cognitive Processing) Banyak sumber daya kognitif yang diperlukan dalam kontrol postural. Bahkan berdiri diam-diam membutuhkan proses kognitif, seperti dapat dilihat oleh peningkatan waktu reaksi pada orang berdiri dibandingkan dengan mereka yang duduk dengan dukungan. Semakin sulit tugas postural, semakin pengolahan kognitif diperlukan. Dengan demikian, waktu reaksi dan kinerja dalam tugas kognitif menurunkan kesulitan saat tugas postural meningkat (Teasdale dan Simoneau, 2001). Karena kontrol postur dan sumber lain berbagi proses kognitif,
kinerja tugas postural juga terganggu oleh tugas kognitif sekunder (Camicioli et al, 1997). Individu yang memiliki pengolahan kognitif yang terbatas karena gangguan neurologis dapat menggunakan lebih dari proses kognitif yang tersedia untuk mengendalikan postur. Jatuh merupakan hasil dari proses kognitif yang tidak cukup untuk mengontrol postur sementara sibuk dengan tugas kognitif sekunder lainnya (Horak, 2006). 2.3
Proses Penurunan Keseimbangan pada Lansia Penurunan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh berbagai macam
faktor di antaranya adalah adanya gangguan pada sistem sensorik, gangguan pada sistem saraf pusat (SSP), maupun adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal. Informasi mengenai posisi tubuh terhadap lingkungan atau gravitasi diberikan oleh sistem sensorik, sedangkan sistem saraf pusat berfungsi untuk memodifikasi komponen motorik dan sensorik sehingga stabilitas dapat dipertahankan melalui kondisi yang berubah-rubah. Gangguan pada sistem sensorik meliputi gangguan pada sistem visual, vestibular, dan somatosensoris (Suadnyana, 2013). Sistem visual seperti sistem organ lain mengalami degenerasi karena proses penuaan. Pada sistem visual lansia, terjadi penebalan jaringan fibrosa dan atrofi serabut saraf, berkurangnya sel-sel reseptor di retina, serta perubahan elastisitas lensa dan otot siliaris. Penurunan fungsi visual tersebut, menyebabkan masalah dalam persepsi bentuk dan kedalaman serta informasi visual mengenai posisi tubuh yang diperlukan untuk kontrol postural (Barnedh, 2006). Sistem lain yang mengalami penurunan fungsi adalah sistem vestibular. Perubahan degeneratif tersebut mengenai organ vestibular seperti: otolith,
epithelium sensorik dan sel rambut, nervus vestibularis, dan serebelum. Makula secara progresif mengalami demineralisasi dan menjadi terpecah-pecah. Hal ini mengakibatkan penurunan kemampuan dalam menjaga respon postural terhadap gravitasi dan pergerakan linear. Selain itu terjadi pula atrofi sel rambut disertai pembentukan jaringan parut dan setelah usia di atas 70 tahun terjadi penurunan sebanyak 20% jumlah sel rambut di makula dan 40% di krista ampularis kanalis semisirkularis (Barnedh, 2006). Sistem somatosensori memberikan informasi tentang posisi tubuh dan kontak dari kulit melalui tekanan, taktil sensor, getaran, serta proprioseptor sendi dan otot. Sensasi kulit melalui sentuhan, getaran dan tekanan sensor penting dalam setiap aktivitas sehari-hari, terutama yang melibatkan gerakan. Sensitivitas kulit berkurang dengan bertambahnya usia. Kurangnya masukan dari taktil, tekanan dan getaran reseptor membuatnya sulit untuk berdiri atau berjalan dan mendeteksi perubahan dalam pergeseran, yang penting dalam menjaga keseimbangan (Suadnyana, 2013). Lansia juga mengalami penurunan dalam kemampuan motorik. Hal ini berhubungan dengan penurunan terhadap kontrol neuromuskular, perubahan sendi, dan struktur lainnya. Menurunnya sistem muskuloskeletal berpengaruh terhadap keseimbangan tubuh lansia karena terjadinya atropi otot yang menyebabkan penurunan kekuatan otot, terutama ekstremitas bawah, sehingga menyebabkan langkah kaki lansia menjadi lebih pendek, jalan menjadi lebih lambat, tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah, serta ada kecenderungan untuk tersandung. Hal ini mengakibatkan lansia menjadi kurang percaya diri dan
lebih berhati-hati dalam berjalan. Penurunan kekuatan otot pelvis dan tungkai juga menjadi faktor kontribusi bagi penurunan respon postural tersebut. Secara bersamaan, hampir seluruh gerakan menjadi tidak elastis dan halus. Gangguan motorik ini utamanya disebabkan oleh mulai hilangnya neuron-neuron di medulla spinalis, otak, dan serebelum (Siti, 2009). Oleh karena itu, penurunan fungsi setiap sistem pada lansia akan menyebabkan penurunan pada keseimbangan, seperti yang dijabarkan pada Gambar 2.12. Proses Degenerasi
Makula
Degenerasi Otolit
Kanalis Semisirkularis
Penurunan jumlah sel rambut di Krista ampularis
Penurunan respon gravitasi dan akselerasi linear
Penurunan respon gerakan angular
Gangguan visus dan proprioseptif
Penurunan respon postural
n. vestibularis
Penurunan jumlah serabut saraf dan berkurangnya sinaps di ganglion skarpa
Penurunan kecepatan hantaran saraf
GANGGUAN KESEIMBANGAN POSTURAL
Gambar 2.12 Gangguan Keseimbangan Postural Sumber: Barnedh, 2006
Hemiparesis OA Genu, DM Gagal Jantung Medikasi
2.4 Balance Strategy Exercise 1) Latihan strategi pergelangan kaki (ankle strategy exercise) Ankle strategy exercise menekankan pada kontrol goyangan postural dari ankle dan kaki. Ankle strategy exercise berfungsi untuk menjaga pusat gravitasi tubuh, yaitu ketika membangkitkan putaran pergelangan kaki terhadap permukaan penyangga dan menetralkan sendi lutut dan sendi panggul untuk menstabilkan sendi proksimal. Saat latihan kepala dan panggul bergerak dengan arah dan waktu yang sama dengan gerakan bagian tubuh lainnya di atas kaki. Pada goyangan ke depan, respon sinergis otot normal pada latihan ini mengaktifkan otot gastrocnemius, hamstring dan otot-otot ekstensor batang tubuh Pada respon goyangan ke belakang, mengaktivasi otot tibialis anterior, otot quadrisep diikuti otot abdominal (Yuliana, 2014). Ankle strategy exercise dijabarkan melalui Gambar 2.13.
Gambar 2.13 Ankle strategy exercise Sumber: Yuliana, 2014 2) Latihan strategi pinggul (hip strategy exercise) Hip strategy exercise menggambarkan kontrol goyangan postural dari pelvis dan trunkus. Kepala dan pinggul dengan arah yang berlawanan. Hip strategy
exercise mengandalkan gerakan batang tubuh yang cepat untuk membangkitkan gaya gesek/gerakan horizontal melawan landasan penyangga untuk menggerakkan pusat gravitasi. Dalam hal ini bila permukaan landasan penyangga digerakkan ke belakang, subyek miring ke depan pada sendi panggul dengan mengaktifkan otototot abdominal dan otot quadrisep, tibialis anterior. Strategi ini diobservasi bila goyangan besar, cepat dan mendekati batas stabilitas, atau jika berdiri pada permukaan sempit dan tidak stabil untuk memberikan pengimbangan tekanan (Yuliana, 2014). Hip strategy exercise dijabarkan melalui Gambar 2.14.
Gambar 2.14 Hip strategy exercise Sumber: Yuliana, 2014 3) Latihan strategi melangkah (stepping strategy exercise) Stepping strategy exercise mengGambarkan tahapan dengan kaki atau menjangkau dengan lengan dan mencoba untuk memperbaiki landasan penyangga baru dengan mengaktifkan anggota gerak bila titik berat melampaui landasan penyangga semula. Strategi melangkah dilakukan sebagai upaya dalam merespon gangguan yang menyebabkan subyek goyang melebihi batas stabilitas. Dalam keadaan demikian, melangkah yang harus dilakukan untuk mendapatkan kembali
keseimbangan (Yuliana, 2014). Stepping strategy exercise dijabarkan melalui Gambar 2.15.
Gambar 2.15 Stepping Strategy Exercise Sumber: Yuliana, 2014
2.5 Pelatihan 12 Balance Exercise Gerakan 12 balance exercise meliputi: single limb stance, eye tracking, clock reach, tandem stance, single limb stance with arm, balancing wand, knee marching, body circles, heel to toe, grapevine, stepping exercises, dan dynamic walking (Wolf et al, 2001). Gerakan single limb stance merupakan gerakan mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengangkat salah satu kaki dan menjadikan kaki lainnya sebagai tumpuan. Target dari latihan ini yaitu untuk mengaktifkan otot-otot core dan gluteus yang berfungsi dalam memberikan postur yang baik pada tubuh sehingga memperbaiki alligment tubuh dan dapat menunjang dalam memperbaiki keseimbangan postural lansia (Krause, 2009). Latihan balancing wand merupakan latihan keseimbangan dengan meletakkan tiang pada telapak tangan dalam keadaan duduk dan lansia diinstruksikan untuk mempertahankan tiang tersebut agar tidak jatuh selama yang ia bisa lakukan. Latihan ini berfungsi untuk melatih koordinasi mata dengan
lengan tangan. Gerakan lengan tangan berperan penting dalam menjaga stabilitas tubuh sebagai efek dalam mempertahankan pusat gravitasi tubuh ketika memproteksi tubuh agar tidak jatuh. Ketika lansia tidak bisa mempertahankan landasan tumpu dan pusat gravitasi maka tubuh akan jatuh, tetapi lengan tangan memiliki refleks untuk menjaga agar trunk (tubuh) tidak membentur lantai (Maki, 1997). Posisi berdiri statis pada tandem stance berfungsi untuk meningkatkan keseimbangan
statis
dan
menguatkan
otot-otot
ankle
dalam
upaya
mempertahankan pusat gravitasi tubuh. Latihan ini juga berhubungan dengan latihan hel to toe pada 12 balance exercise. Heel to toe mengadaptasi gerakan tandem dan digunakan sebagai latihan berjalan. Latihan jalan tandem adalah bentuk latihan keseimbangan pada posisi tubuh dinamik, dimana kemampuan tubuh untuk menjaga keseimbangan pada posisi bergerak, dengan cara berdiri lurus dan pandangan ke depan kemudian berjalan pada satu garis lurus atau kaki kanan berada di depan kaki kiri dan saat melangkah berikutnya kaki kiri berada di depan kaki kanan begitu seterusnya sampai titik yang ditentukan (Wulandari, 2013). Latihan jalan dengan total durasi mencapai 4-6 menit pada 12 balance exercise dapat memperbaiki daya tahan pada lansia. Daya tahan dibutuhkan sebagai efektor dalam mempertahankan keseimbangan (Guccione, 2001). Kejadian jatuh pada lansia sering kali disebabkan karena multi gerakan seperti saat bekerja yang mengharuskannya melakukan gerakan berputar dan lain sebagainya. Oleh karena itu, latihan keseimbangan yang dianjurkan sebaiknya mampu memperbaiki koordinasi dari lansia serta memperkenalkannya pada situasi
lingkungan yang berbeda seperti pada 12 balance exercise yang menggunakan tantangan saat latihan. Latihan tersebut terlihat jelas pada stepping exercise di mana lansia diharapkan mampu menyelesaikannya sesuai urutan yang telah ditetapkan. Prinsip stepping exercise yaitu meningkatkan fungsi dari pengontrol keseimbangan tubuh, meliputi sistem informasi sensorik, central processing, dan efektor untuk bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan (Guccione, 2001). Latihan lainnya seperti dynamic walking merupakan latihan berjalan sambil membaca buku berguna untuk stimulasi sensorik pada sistem vestibular. Latihan ini berperan penting dalam mengirimkan input pada vestibulospinal dan memerintahkan efektor untuk mempertahankan posisi tubuh agar tetap stabil (Herdman, 1990). Penelitian yang dilakukan oleh Wolf et al, terhadap 49 lansia yang berusia lebih dari dari 75 tahun membuktikan bahwa pemberian 12 balance exercise 3 kali seminggu selama 4-6 minggu mampu meningkatkan keseimbangan dinamis setelah dievaluasi dengan menggunakan Berg Balance Scale. Hal ini dikarenakan 12 balance exercise dapat memperbaiki postural alignment, meningkatkan kekuatan otot ekstremitas lansia, dan memperbaiki daya tahan yang akan berdampak pada efektivitas dalam menjaga keseimbangan dinamis (Wolf et al, 2001). 2.6 Berg Balance Scale Berg Balance Scale (BBS) dibuat pada tahun 1989 dirancang untuk memberikan tantangan terhadap pasien untuk menjaga keseimbangan secara bertahap untuk mengurangi basis penyangga tubuh. BBS menggunakan 14 item
pengukuran dengan skala 0 sampai 4. Nilai 0 diberikan apabila pasien tidak mampu melakukan tugas yang diberikan dan nilai 4 diberikan apabila pasien mampu melengkapi tugas sesuai kriteria yang diberikan. Nilai maksimum untuk pengukuran ini adalah 56. Tes ini cukup mudah untuk dilakukan dan hanya membutuhkan stop watch, penggaris, 2 jenis kursi, dan bangku kecil (untuk melangkah). Berg Balance Scale dinilai sebagai prediktor yang paling efektif untuk jatuh dan gangguan keseimbangan serta sudah beberapa kali divalidasi (Neuls et al, 2011). Lima penelitian menginvestigasi hubungan BBS dengan populasi pada lansia. Empat penelitian menggunakannya pada komunitas lansia sedangkan 1 penelitian pada nursing home care. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa range sensitivitas antara 53% - 88,2%, spesifisitas antara 53% - 96%, dan cutoff scores antara 46 – 54. Peneliti juga menyimpulkan bahwa lansia yang memiliki score BBS dibawah 46 kemungkinan memiliki resiko yang besar untuk mengalami jatuh (Thorbahn, 1996). Studi lainnya juga menunjukkan bahwa BBS memiliki sensitivitas sebesar 82,5% dan spesifisitas sebesar 93%. Peneliti menyimpulkan bahwa lansia yang memiliki skor BBS sebesar 50 cenderung memiliki resiko jatuh sebesar 10 % dan apabila skor BBSnya sebesar 38 atau kurang, maka lansia memiliki risiko jatuh sebesar 90%. Peneliti menjelaskan bahwa berdiri dengan satu kaki merupakan prediktor terbaik dalam memprediksi jatuh pada lansia (Lajole, 2004).