BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
2.1.1
Definisi JKN JKN adalah program jaminan kesehatan yang berupa perlindungan kesehatan
agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah (Kemenhumkam, 2013a). Program JKN merupakan bentuk reformasi dibidang kesehatan yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan fragmentasi dan pembagian jaminan kesehatan yang diterapkan melalui mekanisme asuransi kesehatan (Khariza, 2015). Berdasarkan hasil penelitian (Rumengan dkk, 2015) dijelaskan bahwa pelaksanaan program layanan kesehatan yang dilakukan BPJS telah banyak membantu kelompok masyarakat dengan pendapatan ekonomi yang kurang untuk mendapatkan layanan kesehatan yang sesuai namun masih banyak responden tidak memanfaatkan puskesmas. Asuransi kesehatan adalah suatu mekanisme pengalihan risiko sakit dari risiko perorangan menjadi risiko kelompok. Dengan cara mengalihkan risiko individu menjadi risiko kelompok, beban ekonomi yang harus dipikul oleh masing masing peserta akan lebih ringan tetapi mengandung kepastian karena memperoleh jaminan pembiayaan jatuh sakit (Muninjaya, 2012). Pernyataan ini sejalan dengan pendapat (Trisnawati , dkk 2015) yang menyatakan asuransi merupakan suatu instrumen sosial yang menggabungkan risiko individu menjadi risiko kelompok dan
9
10
menggunakan dana yang dikumpulkan untuk membayar kerugian yang diderita. Dengan adanya asuransi diharapkan risiko masyarakat harus membayar biaya kesehatan sendiri dapat diminimalisasi dan dapat mengatasi permasalahan mengenai asuransi kesehatan dengan sistem managed care. Managed Care adalah suatu system pembiayaan pelayanan kesehatan yang disusun berdasarkan jumlah anggota yang terdaftar dengan kontrol mulai dari perencanaan pelayanan serta meliputi kontrak dengan penyelenggara pelayanan kesehatan untuk pelayanan yang komprehensif, penekanan agar peserta tetap sehat sehingga utilisasi berkurang, unit layanan harus memenuhi standar yang telah ditetapkan dan terdapat program peningkatan mutu pelayanan. Pendekatan ini dapat mengurangi bahaya moral (moral hazard) terhadap pelayanan kesehatan yang tidak dibutuhkan oleh pasien sehingga mengakibatkan kerugian kesejahteraan masyarakat (Suhanda, 2015) JKN merupakan program lanjutan dari Sistem Jaminan Sosial Nasional yang telah dicanangkan sejak tahun 2004. Sejak disahkan Undang-Undang Nomor. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada saat ini juga seharusnya program JKN sudah mulai beroperasi di Indonesia. Namun karena berbagai pertimbangan pemerintah dan berbagai kepentingan politik maka program JKN ini secara resmi mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014. Sesuai dengan Undang undang No. 24 Tahun 2011 dibentuk juga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai badan yang berfungsi sebagai penyelenggara dan pengawas dari program JKN (Kemenkes RI, 2014). penyelenggaraan dalam program JKN meliputi:
Berdasarkan Unsur-unsurnya,
11
1. Regulator Regulator adalah berbagai kementerian atau lembaga terkait seperti Kementerian
Koordinator
Kesejahteraan
Rakyat,
Kementerian
Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Dalam Negeri, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). 2. Peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Peserta dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah seluruh penduduk Indonesia, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. 3. Pemberi Pelayanan Kesehatan Pemberi pelayanan kesehatan adalah seluruh fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut. 4. Badan Penyelenggara Badan Penyelenggara merupakan badan hukum publik yang menyelenggarakan program jaminan kesehatan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). 2.1.2
Tujuan JKN Program JKN memiliki tujuan untuk melakukan pemerataan dan penyediaan
pelayanan kesehatan yang bisa diakses oleh semua kalangan masyarakat khususnya bagi masyarakat miskin dan tidak mampu, Sehingga dengan demikian dapat mewujudkan masyarakat yang sehat dan produktif (Khariza, 2015). Menjamin pembiayaan serta kebutuhan layanan merupakan visi dan misi dari JKN yang di
12
selenggarakan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) yaitu cakupan semesta pada tahun 2019. Cakupan semesta sering kali dikenal dengan istilah Universal Health Coverage. Universal Health Coverage merupakan sistem kesehatan di mana setiap warga di dalam populasi memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, yang bermutu dan dibutuhkan oleh masyarakat, dengan biaya yang terjangkau. Cakupan universal mengandung dua elemen inti yaitu pelayanan kesehatan yang adil dan bermutu bagi setiap warga dan perlindungan risiko finansial ketika warga menggunakan pelayanan kesehatan (WHO, 2005). 2.1.3
Prinsip JKN Pelaksanaan dari program JKN dijalankan berdasarkan prinsip yang telah di
tetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Dalam buku pegangan sosialisasi JKN dalam SJSN juga menjelaskan tentang prinsip yang diterapkan BPJS Kesehatan selaku penyelenggara program JKN yaitu : 1. Prinsip kegotongroyongan Dalam pelaksanaan SJSN, prinsip gotong royong artinya peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi, dan peserta yang sehat membantu yang sakit. . Berdasarkan penelitian (Purwandari, 2015) yang menjelaskah bahwa untuk menerapkan prinsip gotong royong dalam program JKN terdapat 84,2% pekerja informal yang setuju, karena bagi
13
responden yang berpendapatan kecil merasa terbantu, dan bagi yang sakit sudah tidak memikirkan biaya yang akan dikeluarkan. 2. Prinsip nirlaba Nirlaba merupakan bentuk pengelolaan dana yang bersifat bukan untuk mencari laba. Sebaliknya memiliki tujuan untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. 3. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Prinsip ini merupakan hal yang mendasari seluruh kegiatan pengelolaan
dana
yang
berasal
dari
iuran
peserta
dan
hasil
pengembangannya. 4. Prinsip portabilitas Prinsip portabilitas dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 5. Prinsip kepesertaan bersifat wajib Kepesertaan merupakan suatu hal penting dalam pelaksanaan JKN. Prinsip ini memiliki tujuan untuk mewajibkan seluruh rakyat menjadi peserta sehingga mendapatkan jaminan. Walaupun kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat, pada penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan
ekonomi
rakyat
penyelenggaraan program.
dan
pemerintah
serta
kelayakan
14
6. Prinsip dana amanat Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana yang dititipkan kepada badan penyelenggara untuk dikelola sebaik-baiknya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan peserta. 7. Prinsip hasil pengelolaan dana Jaminan Sosial Prinsip ini berarti pengelolaan dana dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta. 2.1.4
Manfaat Pelayanan JKN Setelah peserta terdaftar sebagai kepesertaan BPJS Kesehatan maka adapun
hak dan kewajiban peserta serta manfaat pelayanan yang akan diterima peserta. Adapun hak peserta yang telah terdaftar di BPJS Kesehatan yaitu mendapatkan identitas peserta, serta manfaat pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Selain hak yang diterima sebagai peserta, peserta yang terdaftar perlu memenuhi kewajibannya sebagai peserta berupa membayar iuran dan melaporkan kepesertaannya kepada BPJS Kesehatan dengan menunjukkan identitas peserta pada saat pindah domisili maupun pindah kerja (BPJS Kesehatan, 2014b). Berdasarkan penelitian (Wulansih, 2003) dalam (Hidayah, 2013) Tentang Pelaksanaan jaminan sosial tenaga kerja di PT Madu Baru Yogyakarta yang mennyimpulkan bahwa keikutsertaan karyawan dalam program jaminan sosial tenaga kerja bermanfaat bagi pihak perusahaan maupun karyawan beserta keluarganya. Dengan memenuhi hak dan kewajiban sebagai peserta JKN maka peserta akan mendapatkan manfaat pelayanan kesehatan berupa : 1. Pelayanan kesehatan tingkat pertama meliputi pelayanan kesehatan non spesialistik yaitu :
15
a. Administrasi pelayanan b. Pelayanan promotif dan preventif c. Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis. d. Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif. e. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai. f. Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis g. Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pertama h. Rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi medis. 2. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan. Meliputi pelayanan kesehatan yang mencakup : a. Administrasi pelayanan b. Pemeriksaan, pengobatan dan komunikasi spesialistik oleh dokter spesialis dan subspesialis. c. Tindakan medis spesialistik, baik bedah maupun non bedah sesuai dengan indikasi medis. d. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai. e. Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis. f. Rehabilitasi medis. g. Pelayanan darah. h. Pelayanan kedokteran forensik klinik. i. Pelayanan jenazah pada pasien yang meninggal di fasilitas kesehatan. j. Perawatan inap non intensif. k. Perawatan inap di ruang intensif.
16
Manfaat pelayanan JKN terdiri dari dua jenis, yaitu manfaat medis dan manfaat non-medis. Manfaat medis berupa pelayanan kesehatan yang komprehensif yaitu pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif sesuai dengan indikasi medis yang tidak terikat dengan besaran iuran yang dibayarkan. Manfaat non-medis meliputi akomodasi dan ambulan. Manfaat akomodasi untuk layanan rawat inap sesuai hak kelas perawatan peserta. (Kemenkes RI, 2014). Adapun Pelayanan promotif dan preventif yang diberikan meliputi : 1. Penyuluhan kesehatan perorangan. Penyuluhan kesehatan meliputi penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat. 2. Imunisasi dasar Pemberian imunisasi dasar meliputi : Imunisasi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan Hepatitis B (DPTHB), Polio, dan Campak. 3. Keluarga Berencana Manfaat pelayanan keluarga berencana meliputi : Konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi serta melakukan kerjasama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana. 4. Skrining kesehatan Manfaat skrining diberikan secara selektif bertujuan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu. Berdasarkan manfaat pelayanan yang dapat diterima adapun manfaat akomodasi yang diterima oleh peserta PPU dalam hal ini badan usaha swasta yaitu ruang perawatan kelas I dan kelas II dengan ketentuan sebagai berikut :
17
1. Ruang perawatan kelas I Peserta Pekerja Penerima Upah
dengan gaji atau upah di atas Rp
4.000.000,00 sampai dengan Rp 8.000.000,00 (Kemenhumkam, 2016). 2. Ruang perawatan kelas II Peserta Pekerja Penerima Upah dengan gaji atau upah sampai dengan Rp 4.000.000,00 (Kemenhumkam, 2016). Dalam menerapkan pelayanan yang berkualitas dan sesuai dengan aturan, tentunya program JKN seringkali mengalami permasalahan dan kecurangan yang terjadi (fraud). Kecurangan (fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan pada Sistem Jaminan Sosial Nasional yang selanjutnya disebut kecurangan JKN adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh peserta, petugas BPJS Kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, serta penyedia obat dan alat kesehatan untuk mendapatkan keuntungan finansial dari program jaminan kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui perbuatan curang yang tidak sesuai dengan ketentuan (Kemenkes RI, 2015). 2.1.5
Kepesertaan JKN Berdasarkan visi dan misi dari program JKN yang menargetkan Indonesia
untuk mencapai cakupan semesta pada tahun 2019. Maka BPJS Kesehatan selaku badan penyelenggara program JKN melakukan rekrutmen kepesertaan agar seluruh masyarakat Indonesia terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Adapun beberapa persyaratan dan kriteria sebagai peserta BPJS kesehatan yang perlu diperhatikan. Yang dimaksud sebagai peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran atau yang iurannya dibayar pemerintah (BPJS Kesehatan, 2014b).
18
Kepesertaan yang bersifat wajib pada program JKN tentunya berbeda dengan sistem asuransi komersial yang dikenal dengan seleksi bias (adverse selection). Seleksi bias (adverse selection) merupakan keadaan dimana orang orang yang berisiko tinggi atau di bawah standar yang cendrung menjadi atau terus melanjutkan kepesertaan (Thabrany, 2015). Keuntungan tidak adanya seleksi bias (adverse selection) akan memmpengaruhi terhadap pengumpulan dana untuk penanggulangan risiko (risk pool). risk pool adalah suatu upaya menggabungkan risiko perorangan atau kumpulan kecil menjadi risiko bersama dalam sebuah kumpulan yang besar. Semua anggota kelompok (peserta) tanpa kecuali harus ikut dalam asuransi sosial yang mengakibatkan kumpulan anggota menjadi besar atau sangat besar (Thabrany,2015). Berdasarkan penelitian (Purwandari, 2015) yang menyatakan bahwa hasil penelitian tentang kepesertaan dalam JKN yang bersifat wajib bagi pekerja informal terdapat 53,4% responden yang setuju, sedangkan 28,8% responden tidak setuju. Kepesertaan JKN dibagi menjadi dua kelompok yaitu Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan dan Peserta Bukan Penerima Iuran (Non PBI) Jaminan Kesehatan (BPJS Kesehatan, 2014b). Adapun penjelasan mengenai kedua kelompok kepesertaan JKN yaitu : a. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) merupakan peserta yang iurannya dibayarkan atau ditanggung oleh pemerintah. Peserta PBI biasanya orang yang memiliki perekonomian tidak mampu atau fakir miskin. b. Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran (Non PBI) adalah peserta yang iurannya dibayarkan melalui pemberi kerja maupun pribadi dan bukan tergolong peserta yang tidak mampu. Adapun pengelompokan peserta Non PBI terdiri dari :
19
1) Pekerja Penerima Upah (PPU) dan anggota keluarganya, meliputi : Pegawai Negeri Sipil (PNS), Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, Pegawai pemerintah non pegawai negeri, Pegawai swasta, dan pekerja selain yang disebutkan yang tentunya menerima upah. Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi : istri/suami yang sah, anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan anak angkat yang sah, sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang (Kemenhumkam, 2016). Adapun beberapa kriteria sebagai peserta pada anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan anak angkat dengan kriteria: a) Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri. b) Belum berusia 21 tahun atau belum berusia 25 tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal. 2) Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan anggota keluarganya, meliputi: a) Pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri b) Pekerja yang tidak termasuk pekerja mandiri yang bukan penerima upah. c) Pekerja sebagaimana dimaksud pada poin a dan poin b yang termasuk warga negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat enam bulan. 3) Bukan pekerja dan anggota keluarganya meliputi : investor, pemberi kerja, penerima pensiun, Veteran, perintis kemerdekaan, dan bukan pekerja yang tidak disebutkan yang mampu membayar iuran
20
Berdasarkan kelompok jenis kepesertaanya menurut buku pedoman sosialisasi JKN dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dapat dilihat bahwa Badan Usaha Swasta masuk pada kelompok peserta PPU. Untuk menjadi peserta JKN maka peserta PPU dalam hal ini badan usaha swasta harus mengetahui dan mengikuti alur proses pendaftaran badan usaha swasta sebagai peserta JKN. Adapun alur maupun proses pendaftaran badan usaha swasta sebagai peserta JKN (BPJS Kesehatan, 2014a): 1. Badan usaha melakukan registrasi di kantor BPJS Kesehatan. membawa kelengkapan berupa : a. Form Registrasi (terlampir SIUP dan NPWP) b. Menyerahkan surat komitmen implementasi aplikasi New e-DABU c. Menyerahkan surat PIC Cetak Kartu e-ID 2. Badan usaha mendapatkan ( Virtual account, username +password aplikasi new e-DABU dan e-ID 3. Badan usaha melakukan entry data peserta beserta tanggungannya dan melakukan approval tiket melalui aplikasi new e-DABU 4. Badan Usaha melakukan pembayaran iuran sesuai tagihan iuran yang akan muncul di awal bulan berikutnya pada aplikasi new e-DABU. 5. Badan Usaha melakukan cetak kartu e-ID melalui website 6. Peserta mendapatkan pelayanan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. 2.1.6
Iuran JKN Setiap peserta JKN diwajibkan untuk membayar iuran yang besarnya
ditetapkan berdasarkan persentase dari upah untuk pekerja penerima upah atau
21
berupa jumlah nominal tertentu untuk peserta bukan penerima upah dan PBI. Iuran jaminan kesehatan merupakan sejumlah uang yang dibayarkan secara rutin oleh peserta, pemberi kerja, dan atau pemerintah. Berdasarakan hasil penelitian (Handayani dkk, 2013) didapatkan bahwa nilai kemauan membayar (WTP) dan kemampuan membayar (ATP) menjadi faktor penting bagi peserta melihat sejauh mana peserta memiliki kemampuan dan kemauan untuk membayar iuran secara rutin. Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran peserta yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut setiap bulan kepada BPJS Kesehatan secara berkala yaitu paling lambat tanggal 10 setiap bulannya. Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari kerja berikutnya. Apabila peserta JKN mengalami keterlambatan pembayaran iuran maka peserta akan dikenakan denda administratif sebesar 2% perbulan dari total iuran yang tertunggak dan dibayar oleh pemberi kerja. Keterlambatan pembayaran hanya boleh dilakukan maksimal selama 3 bulan, dan apabila melebihi maka hak atas pelayanan JKN akan dicabut (Kemenkes RI, 2014). Apabila terjadi kelebihan ataupun kekurangan iuran JKN yang dibayarkan oleh peserta maka BPJS Kesehatan akan memberitahukan secara tertulis kepada pemberi kerja dan/atau peserta paling lambat 14 hari kerja sejak diterimanya iuran. Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan dengan pembayaran iuran bulan berikutnya. Menurut Perpres No. 111 Tahun 2013 menetapkan tentang pembayaran iuran kelompok peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) dalam hal ini badan usaha swasta.Dalam aturan tertulis bahwa
mulai tanggal 1 Juli 2015, iuran yang
22
dibayarkan yaitu sebesar 5% dari gaji yaitu dengan pembagian 4% dibayar oleh pemberi kerja sedangkan 1% dibayar oleh peserta (Kemenhumkam, 2013a). 2.2
Badan Usaha Swasta
2.2.1
Definisi Badan Usaha Swasta Badan usaha adalah kesatuan hukum, teknis, dan ekonomis yang bertujuan
mencari laba atau keuntungan. Sementara perusahaan adalah tempat dimana badan usaha mengolah faktor - faktor produksi. Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 33 bentuk badan usaha dibedakan menjadi tiga yaitu : Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan Koperasi (Sagoro, 2013). Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) adalah badan usaha yang pemilik sepenuhnya berada ditangan individu atau swasta dan bertujuan untuk mencari keuntungan. Namun ada beberapa badan usaha ini tidak bertujuan untuk keuntungan dan lebih mengarah ke motif sosial seperti : rumah sakit, sekolah, akademi, universitas, dan panti asuhan (Sagoro, 2013). Menurut jenisnya badan usaha milik swasta dibagi menjadi 4 jenis yaitu : Perseroan dengan tanggung jawab terbatas (PT), Persekutuan Komanditer (CV), Firma, dan perusahaan perorangan. 2.2.2
Bentuk Badan Usaha Swasta
1. Perseroan Terbatas (PT) Perseroan Terbatas ( PT ) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian untuk menjalankan usaha yang modalnya terdiri dari saham-saham, yang pemiliknya memiliki bagian sebanyak saham yang dimilikinya. Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
23
Terbatas dijelaskan bahwa Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Kekayaan perusahaan terpisah dari kekayaan pribadi pemilik perusahaan sehingga memiliki harta kekayaan sendiri. Pemilik saham akan memperoleh bagian keuntungan yang disebut dividen. Selain berasal dari saham, modal PT dapat pula berasal dari obligasi. Keuntungan yang diperoleh para pemilik obligasi adalah mereka mendapatkan bunga tetap tanpa menghiraukan untung atau ruginya perseroan terbatas tersebut (Sagoro, 2013). 2. Persekutuan Komanditer (CV) Persekutuan Komanditer (CV) adalah perusahaan yang memiliki dua pemodal atau lebih. Pembentukan pesekutuan bisa berdasarkan kontrak tertulis atau kesepakatan yang legal. Bentuk ini biasanya merupakan kombinasi antara firma dan PT. (Sagoro, 2013). 3. Firma Firma adalah bentuk usaha yang pengumpulan modalnya diperoleh dari beberapa orang dalam bentuk tunai, bukan saham, Jumlah penyetor modal tidaklah sebanyak PT melainkan beberapa orang saja (Rosydi, 2014). 4. Perusahaan Perseorangan Perusahaan perorangan adalah perusahaan yang didirikan seseorang dengan modal sendiri dan memimpin serta bertanggungjawab sendiri atas jalannya perusahaan (Widiyono, 2013).
24
Berdasarkan data yang didapat dari Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu & Penanaman Modal (BPPTSP&PM) Kota Denpasar didapatkan jumlah badan usaha yang mengurus Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) berdasarkan bentuk usaha swasta dari tahun 2010 hingga 2015 sebagai berikut : Tabel 2.1 Jumlah Pembuatan SIUP Badan Usaha Swasta di Kota Denpasar No
Bentuk Badan Usaha
Izin
Izin
Izin
Izin
Masuk
Ditolak
Terbit
Diambil
1
Perseroan Terbatas (PT)
1.372
183
1.158
1.155
2
Persekutuan
Komanditer
1.671
159
1.489
1.486
Perseorangan
5.662
227
5.387
5.369
1
0
1
1
8.706
569
8.035
8.011
(CV) 3
Perusahaan (PO)
4
Firma (Fa) Total
Sumber : Aplikasi Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu & Penanaman Modal (BPPTSP&PM) Kota Denpasar tentang Jumlah Pembuatan SIUP Badan Usaha Swasta di Kota Denpasar pada tahun 2010 hingga 2015
Menurut data dari Dinas Perijinan Kota Denpasar, didapatkan bahwa jumlah badan usaha swasta yang mengurus SIUP berjumlah 8.076. sedangkan SIUP yang ditebitkan berjumlah 8.035. Dari total SIUP yang diterbitkan hanya 8.011 badan usaha swasta yang mengambil SIUP di Dinas Perijinan Kota Denpasar. Hal ini membuktikan bahwa dari 8.011 badan usaha swasta yang telah memiliki SIUP hanya 1.378 badan usaha swasta yang telah terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan di Kota Denpasar.
25
2.2.3 Badan Usaha Berdasarkan Skala Produksi dan Pekerja 1. Badan Usaha Kecil Badan usaha kecil merupakan usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai maupun menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau badan usaha besar. Adapun kriteria sebagai badan usaha kecil sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa kriteria dari badan usaha kecil yaitu : Kekayaan
bersih
lebih
dari
Rp.50.000.000,00
sampai
dengan
Rp.500.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, kemudian hasil penjualan tahunan mencapai lebih dari Rp.300.000.000,00 sampai dengan Rp.2.500.000.000,00 (Maylia, 2015). Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang dimiliki, badan usaha kecil biasanya memiliki pekerja dengan jumlah antara 5 – 19 orang (BPS, 2015). 2. Badan Usaha Menengah Badan usaha menengah merupakan usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, dilakukan oleh perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha kecil atau usaha besar. Adapun jumlah besar kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor. 20 tahun 2008 yang menyebutkan bahwa kriteria dari usaha menengah ini meliputi : kekayaan bersih perusahaan lebih dari Rp.500.000.000,00 sampai
26
dengan Rp.10.000.000.000,00 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Kemudian untuk hasil usaha penjualan tahunan lebih dari Rp.2.500.000.000,00 sampai dengan Rp.50.000.000.000,00 (Maylia, 2015). Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang dimiliki, badan usaha menengah biasanya memiliki pekerja dengan jumlah antara 20 – 99 orang (BPS, 2015). 3. Badan Usaha Besar Badan usaha besar merupakan usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh badan usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari usaha menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia dengan kekayaan perusahaan dan hasil penjualan yang melebihi nominal usaha menengah maupun usaha kecil (Maylia, 2015). Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang dimiliki, badan usaha besar biasanya memiliki pekerja lebih dari 100 orang (BPS, 2015). 2.3
Persepsi Persepsi merupakan proses seseorang merasionalkan suatu situasi yang akan
mempengaruhi sikap, sifat, dan perilakunya (Buchbinder, 2014), Sedangkan Cohen mengemukakan bahwa persepsi merupakan interpretasi bermakna atas sensasi sebagai representatif objek eksternal. Persepsi adalah pengetahuan yang tampak mengenai apa yang ada di luar sana. Persepsi merupakan inti komunikasi , sedangkan interpretasi merupakan inti persepsi, yang identik dengan penyandingan balik atau decoding (Riswandi, 2009). Manusia memiliki karakterisktik yang beragam dalam menilai suatu hal yang menarik perhatian mereka. Perhatian manusia akan dipengaruhi dan disaring oleh asumsi, nilai, pengetahuan, tujuan, pengalaman
27
lampau, dan perbedaan personal lainnya. Akibatnya akan mempengaruhi informasi yang diterima dan tindakan yang akan dilakukan (Buchbinder, 2014). Berdasarkan jenisnya persepsi dibedakan menjadi dua, yaitu perepsi lingkungan fisik dan persepsi sosial atau persepsi terhadap manusia. Perbedaan dari kedua jenis tersebut yaitu : 1. Persepsi Lingkungan Fisik Persepsi lingkungan fisik merupakan suatu kegiatan dalam menafsirkan stimulus berupa lambang lambang yang bersifat fisik baik terhadap suatu objek. Persepsi terhadap objek terjadi dengan menanggapi sifat luar objek. Objek bersifat statis, sehingga ketika seseorang mempersepsikan suatu objek, objek tersebut tidak memberikan tanggapan. Berdasarkan pengertiannya maka salah satu contoh dari persepsi lingkungan fisik yaitu persepsi seseorang terhadap program JKN. Persepsi program JKN dapat dikatakan suatu obyek (Riswandi, 2009). 2. Persepsi Sosial Persepsi sosial merupakan persepsi terhadap orang melalui lambanglambang verbal dan non-verbal. Persepsi sosial yaitu menghadapi sifat- sifat luar dan dalam yang meliputi perasaan, motif, harapan, keyakinan, dan lain sebagainya. Persepsi terhadap manusia bersifat interaktif, dimana ketika seseorang mempersepsikan orang lain terdapat kemungkinan timbul reaksi dari orang yang dipersepsikan. Berdasarkan pengertian dari persepsi sosial maka dapat diambil salah satu contoh yaitu persepsi seseorang terhadap penyelenggara program JKN yaitu BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan dikatakan sebagai persepsi sosial karena persepsi ini ditujukan kepada orang atau individu lainnya (Riswandi, 2009).
28
Dalam menentukan sebuah persepsi seseorang ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi
persepsi
tersebut.
Menurut
Riswandi
(2009),
faktor
yang
mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu objek yaitu: 1. Latar Belakang Pengalaman Pengalaman merupakan suatu peristiwa yang pernah dialami oleh seseorang. Selain mempengaruhi pegetahuan, pengalaman juga dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu obyek atau stimulus yang diterimanya. 2. Latar Belakang Budaya Budaya yang melekat pada diri seseorang seringkali mempengaruhi pola pikir serta cara pandang seseorang terhadap sesuatu. Umumnya, seseorang menganggap budaya yang selama ini diketahui dan dijalani sebagai pedoman dalam memandang hal baru yang ditemui. 3. Latar Belakang Psikologis Kondisi psikologis merupakan faktor internal dari diri individu yang mempengaruhi persepsi. Persepsi dari individu yang sama dapat berbeda dalam kondisi psikologis yang berbeda. 4. Latar Belakang Nilai, Keyakinan, dan Harapan Adalah hal yang mendasari seseorang dalam menafsirkan atau memandang sesuatu. Ketiga hal tersebut dapat menyebabkan seseorang memiliki persepsi yang positif dan dapat juga negatif. 5. Kondisi faktual alat-alat panca indera Kondisi faktual yang diterima melalui panca indera menjadi dasar kuat bagi seseorang dalam mempersepsikan sesuatu.
29
Persepsi merupakan suatu penilaian yang akan digunakan dalam penelitian ini untuk menggabarkan suatu situasi yang ada pada badan usaha swasta. Berdasarkan hasil penelitian dari (Sutanta, 2016) dikatakan bahwa pengetahuan masyarakat tentang program JKN didapatkan data dari pemahaman program JKN yang dibuktikan dengan persepsi masyarakat tentang program JKN. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh (Suryapranata dan sutarsa, 2014) yang menggunakan persepsi untuk melihat kesiapan Puskesmas Rendang dalam mengimplementasikan program JKN. Persepsi yang buruk terhadap risiko adalah perilaku seseorang yang tidak peduli terhadap risiko, bahkan cenderung ugal-ugalan atau urakan. Menurut (Nyman 2004) dalam (Widiyanto, 2014) menyebutkan bahwa persepsi yang buruk terhadap risiko ini sebagai „Moral Hazard‟ yang secara sederhana dideskripsikan kecerobohan atau ketidakpedulian terhadap kerugian. Moral hazard merupakan dampak dari asimetris informasi, hal ini selalu ada bila sekelompok orang dengan informasi yang menggiurkan
merubah
perilaku
masyarakat
agar
memilih
cara
yang
menguntungkannya ketika biaya naik dengan imformasi yang kurang lengkap. Kebanyakan bila pihak asuransi berencana mengurangi pengeluaran biaya berobat, perilaku individu diefektifkan dengan mengurangi harga perubahan ini di dalam perilaku disebut Moral hazard (Widiyanto, 2014). Pembentukan perilaku seseorang maupun tindakan yang akan dilakukan harus didorong dengan stimulus atau rangsangan. Menurut teori seorang ahli sosiologi dan ekonomi yaitu Max Weber menyatakan bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasarkan pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsiran atas
30
suatu objek. Teori yang diungkapkan Max Weber dikenal sebagai teori bertindak atau teori aksi ( Ritzer dalam Sarwono, 2012).