9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Komunikasi Massa 2.1.1.
Pengertian Komunikasi Massa Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh
Bitter. Beliau mendefinisikan komunikasi massa sebagai pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (mass communication is message communicated through a mass medium to a large number of people)1. Ahli komunikasi lainnya, Joseph A. De Vito merumuskan komunikasi massa pada intinya merupakan penjelasan tentang pengertian massa dan media yang digunakannya. Ia mengemukakan definisinya dalam dua poin; pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditunjukan kepada massa dan khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang menonton televisi, film ataupun mendengarkan radio tetapi berarti bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk didefinisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio maupun yang audio-visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih
1
Elvinaro Adrianto, “Komunikasi Massa Suatu Pengantar”, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004), hal. 3
9
10
mudah dan logis bila didefinisikan menurut bentuknya: televisi, radio siaran, surat kabar, majalah dan film2. Sementara itu menurut Wright bentuk baru komunikasi dapat dibedakan dari corak-corak yang lama karena memiliki karakteristik utama sebagai berikut: diarahkan pada khalayak yang relatif besar, heterogen dan anonim; pesan disampaikan secara terbuka, seringkali dapat mencapai kebanyakan khalayak secara serentak, bersifat sekilas, komunikator cenderung berada atau bergerak dalam organisasi yang kompleks dan melibatkan biaya besar. Dalam definisinya, Wright mengemukakan karakteristik komunikan secara khusus, yakni anonim dan heterogen. Ia juga menyebutkan pesan diterima komunikan secara serentak (simultan) pada waktu yang sama, serta sekilas (khusus untuk media elektronik seperti siaran radio, televisi)3. Ahli komunikasi dalam negeri sendiri, Jalaludin Rakhmat juga tak mau ketinggalan mendefinisikan arti komunikasi massa. Menurut beliau, komunikasi massa adalah jenis komunikasi yang ditunjukkan kepada semua khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak ataupun elektronik. Sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat4. Kata massa dalam komunikasi massa dapat diartikan lebih dari sekedar “orang banyak”. Massa mengandung pegertian orang banyak, tetapi mereka tidak harus berada disuatu lokasi tertentu yang sama. Mereka dapat
2
Ibid., hal. 6 Ibid., hal. 5 4 Ibid., hal. 7 3
11
tersebar atau dapat terpencar di berbagai lokasi dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan dapat memperoleh pesan-pesan komunikasi yang sama5. Dari beberapa definisi yang diungkapkan di atas dapat diketahui bahwa komunikasi massa itu harus menggunakan media massa. Massanya pun tidak harus berada pada suatu wilayah yang sama. Namun, meskipun komunikasi itu disampaikan kepada khalayak yang banyak, seperti ketika orasi kampanye yang dihadiri oleh ribuan orang, jika tidak menggunakan media massa, maka itu tidak dapat dikatakan komunikasi massa. 2.1.2.
Unsur-unsur Komunikasi Massa Harold D. Laswell, memformulasikan unsur-unsur komunikasi
dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut, “Who Says What in Which Channel to Whom With What Effect?”. 1. Unsur Who (sumber atau komunikator). Sumber utama dalam komunikasi massa adalah lembaga atau organisasi. Lembaga yang dimaksud meliputi, perusahaan surat kabar, stasiun radio, televisi, majalah dan sebagainya. 2. Unsur Says What (pesan). Pesan-pesan komunikasi massa dapat diproduksi dalam jumlah yang sangat banyak. Pesan-pesan itu berupa berita, pendapat lagu, iklan dan sebagainya. 3. Unsur In Which Channel (saluran atau media). Unsur ini meyangkut semua peralatan yang digunakan untuk menyebarluaskan pesan-pesan komunikasi massa. Media yang mempunyai kemampuan tersebut adalah televisi, surat kabar, majalah, radio, internet, dan sebagainya.
5
Wiryanto, “Teori Komunikasi”, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001), hal. 1
12
4. Unsur To Whom (penerima; khalayak; audien). Penerima pesan-pesan komunikasi massa biasa disebut audien atau khalayak. Orang menonton film, televisi, membaca surat kabar, mendengarkan radio, browsing internet, merupakan contoh audien. 5.
Unsur With What Effect (efek atau dampak). Efek atau dampak yang dimaksud adalah perubahan-perubahan di dalam diri audien, sebagai akibat dari pesan-pesan yang disampaikan media. David Berlo, mengklasifikasikan efek atau perubahan ini ke dalam tiga kategori, yaitu: perubahan dalam ranah pengetahuan, sikap dan perilaku nyata. Perubahan ini biasanya berlangsung secara berurutan.
2.1.3.
Karakteristik Komunikasi Massa Komunikasi massa memiliki beberapa karakteristik, yaitu6 :
1. Komunikasi melalui media massa pada dasarnya ditunjukkan ke khalayak yang luas, heterogen, anonim, tersebar, serta tidak mengenal batas geografi kultural. Khalayak itu heterogen maksudnya adalah masyarakat luas yang bermacam-macam tidak dibatasi oleh latar belakang pendidikan, penghasilan, ataupun status sosialnya. Khalayak yang bersifat anonim artinya di antara satu dengan yang lainnya adalah terpisah dan tidak saling mengenal. Di antara pembaca koran, pembaca majalah, pendengar radio, penonton film atau pemirsa televisi satu dengan lainnya saling terpisah, khalayak juga tersebar dan tidak mengenal batas usia, tempat tinggal golongan, dan batasan-batasan lainnya. 6
Sasa Djuarsa Sendjaja, “Pengantar Ilmu Komunikasi”, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2001), hal. 12
13
2. Bentuk kegiatan komunikasi melalui media massa bersifat umum, bukan perorangan atau pribadi. Isi pesan yang disampaikan menyangkut kepentingan orang banyak, tidak hanya untuk kepentingan perorangan atau pribadi. Lebih lanjut, pengertian dari ciri ini, bahwa kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan operasi suatu media massa akan mencakup orang banyak yang terorganisasi di dalam organisasi media. 3. Pola penyampaian pesan media massa. Pola ini berjalan secara cepat dan mampu menjangkau khalayak luas, bahkan mungkin tidak terbatas baik secara geografis maupun kultural. Karena karakteristiknya yang demikian, media massa disebut sebagai massage multiplier (memiliki kemampuan untuk menyampaikan pesan secara cepat dan terjangkau khalayak luas). 4. Penyampaian pesan melalui media massa cenderung berjalan satu arah, umpan balik atau tanggapan dari pihak penerima (khalayak) lazimnya berlangsung secara tertunda. 5. Kegiatan komunikasi melalui media massa dilakukan secara terencana, terjadwal dan terorganisasi. Komunikator pada media massa bekerja melaui aturan organisasi dan pembagian kerja yang jelas. Identitas yang dibawakan bukan semata-mata identitas pribadi, tetapi yang justru yang ditonjolkan adalah identitas organisasi atau kelompok. 6. Penyampaian pesan melaui media massa dilakukan secara berkala, tidak bersifat kontemporer.
14
7. Isi pesan yang disampaikan melalui media massa dapat mencakup berbagai aspek kehidupan manusia (sosial, ekonomi, politik, budaya dan lain-lain) baik yang bersifat informatif, edukatif maupun hiburan. 2.1.4.
Fungsi Komunikasi Massa Sementara itu di dalam buku komunikasi massa Elvinaro Ardianto
mengemukakan fungsi komunikasi massa secara umum adalah7: 1. Fungsi Informasi Fungsi memberikan informasi ini diartikan bahwa media massa adalah penyebar informasi bagi pembaca, pendengar, penonton atau pemirsa. 2. Fungsi Pendidikan Media massa merupakan sarana pendidikan bagi khalayaknya (mass education). 3. Fungsi Mempengaruhi Fungsi mempengaruhi dari media massa secara implisit terdapat pada tajuk/ editorial, features, iklan, artikel, dan sebagainya. 4. Fungsi Meyakinkan (to persuade) Fungsi meyakinkan atau persuasi. Persuasi bisa datang dalam bentuk: a. Mengukuhkan atau memperkuat sikap, kepercayaan atau nilai seseorang b. Mengubah sikap, kepercayaan atau nilai seseorang c. Menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu d. Memperkenalkan etika atau menawarkan sistem nilai tertentu
7
Elvinaro Ardianto, “Komunikasi Massa”,( Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005), hal. 19
15
5. Fungsi Menghibur Sulit dibantah lagi bahwa pada kenyataannya hampir semua media menjalankan fungsi menghibur 6. Fungsi Membius (Narcotization) Salah satu fungsi media massa yang paling menarik dan paling banyak dilupakan adalah fungsi membiusnya. Ini berarti bahwa apabila media menyajikan informasi tentang sesuatu, penerima percaya bahwa tindakan tertentu harus diambil. 2.1.5.
Hambatan-Hambatan dalam Komunikasi Massa Pada
setiap
kegiatan
komunikasi,
apakah
komunikasi
antarpersonal, komunikasi kelompok dan komunikasi massa sudah dapat dipastikan akan menghadapi berbagai hambatan yang akan mengganggu kelancaran proses komunikasi. Bahkan pada komunikasi massa, jenis hambatannya relatif lebih kompleks sejalan dengan komponen-komponen komunikasi massa. Berikut hambatan-hambatan komunikasi massa yang mencakup8: 1. Hambatan Psikologis a. Kepentingan (Interest), Kepentingan atau Interest akan membuat seseorang selektif dalam menanggapi
atau
menghayati
pesan.
Orang
hanya
akan
memperhatikan perangsang (stimulus) yang ada hubungannya dengan kepentingannya. 8
Siti Karlinah, “Buku Materi Pokok Komunikasi Massa”, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2008), hal. 4.2-4.19
16
b. Prasangka (Prejudice) Prasangka berkaitan dengan persepsi orang tentang seseorang atau kelompok lain dan sikap serta perilakunya terhadap mereka. c. Stereotip (Stereotype) Prasangka sosial berkaitan dengan stereotip yang merupakan gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang atau golongan lain yang bercorak negatif. d. Motivasi (Motivation) Semua tingkah laku manusia pada hakikatnya mempunyai motif tertentu. Motif merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan manusia berbuat sesuatu. 2. Hambatan Sosiokultural a. Faktor Semantik Semantik adalah makna kata yang sebenarnya. Maka hambatan semantik adalah hambatan mengenai bahasa, baik bahasa yang digunakan oleh komunikator maupun komunikan. b. Pendidikan Belum Merata Di perkotaan,
relatif
banyak
penduduk
yang
menyelesaikan
pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi, sedangkan di desa-desa kecil untuk dapat menyelesaikan pendidikan dasar pun mereka belum mampu. Wawasan dan pengetahuan mereka tidak dapat menjangkau atau menginterprestasikan pesan komunikasi.
17
c. Hambatan Mekanis Hambatan teknis atau hambatan mekanis. Hambatan mekanis pada media televisi ataupun radio terjadi disaat stasiun ataupun pemancar penerima mendapat gangguan berupa gambar/suara tidak jelas atau tidak ada gambar/suara sama sekali. Dalam media cetak, berupa kerusakan mesin cetak yang mengakibatkan keterlambat ataupun huruf-huruf cetakan tidak terbaca. 3. Hambatan Interaksi Verbal a. Polarisasi Polarisasi (Polarization) adalah kecenderungan untuk melihat dunia dalam bentuk lawan kata dan menguraikannya dalam bentuk ekstrem, seperti baik atau buruk, positif atau negatif, sehat atau sakit, pandai atau bodoh dan lain-lain. b. Orientasi Intensional Orientasi intensional mengacu pada kecenderungan kita untuk melihat manusia, objek, dan kejadian dengan ciri yang melekat pada mereka. c. Evaluasi Statis Seseorang melihat seorang komunikator X berbicara melalui TV. Menurut persepsinya, cara berkomunikasi dan materi komunikasi yang kemukakan komunikator tersebut tidak baik sehingga kita membuat abstraksi tentang komunikator itupun tidak baik. Evalusinya tentang komunikator X bersifat statis/tetap seperti itu.
18
2.2.
Media Massa Sebagai Alat Komunikasi Massa 2.2.1.
Pengertian Media Massa Media massa memiliki arti yang bermacam – macam bagi
masyarakat dan memiliki banyak fungsi, tergantung pada jenis sistem politik dan ekonomi di mana media itu berfungsi, tingkat pengembangan masyarakat, minat dan kebutuhan individu tertentu. Media massa merupakan istilah yang digunakan untuk mempertegas kehadiran suatu kelas, seksi media yang dirancang sedemikian rupa agar dapat mencapai audiens yang sangat besar dan luas (yang dimaksud dengan besar dan luas adalah seluruh penduduk dari suatu bangsa/negara). Pengertian media massa ini semakin luas penggunaannya sehubung dengan lahirnya percetekan oleh Guttenberg di abad pertengahan dan disusul penemuan radio yang melintasi lautan Atlantik pada 1920, dan terakhir perkembangan jaringan radio, televisi, meluasnya sirkulasi surat kabar dan majalah serta internet yang berhubungan dengan massa9. Media massa merupakan alat untuk menjembatani komunikator yang akan menyampaikan pesan kepada komunikannya. Media massa bisa dikatakan sebagai alat dalam penyampaian pesan dari sumber ke khalayak dengan menggunakan alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio dan televisi10. Media massa biasanya mempunyai ciri keluaran yang relatif tinggi dengan masukan yang rendah; atau dengan kata lain, media massa adalah 9
Alo Liliweri, “Komunikasi: Serba Ada Serba Makna”, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 874 Havied Cangra, “Pengantar Ilmu Komunikasi”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1964), hal. 126
10
19
corong yang kuat –hanya sedikit orang yang membuat berita, hiburan, iklan yang dilihat, didengar atau dibaca oleh jutaan orang11. Media massa juga merupakan jenis media komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melewati media cetak maupun elektronik, sehingga pesan informasi yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat12. 2.2.2.
Peranan Media Massa Media massa merupakan salah satu institusi yang berperan sebagai
agent of change yaitu sebagai pelopor perubahan. Dalam menjalankannya, maka media massa berperanan13: 1.
Media
massa
sebagai
institusi
pencerahan
masyarakat,
yaitu
perananannya sebagai media pendidikan. Media massa menjadi media yang setiap saat mendidik masyarakat supaya cerdas, terbuka pikirannya, dan menjadi masyarakat yang maju. 2.
Media massa menjadi media informasi, yaitu media yang setiap saat menyampaikan informasi kepada masyarakat. Dengan informasi yang terbuka, Jujur dan benar di sampaikan media massa kepada masyarakat, maka masyarakat yang terbuka dengan informasi, dan masyarakat akan menjadi informatif, masyarakat yang dapat menyampaikan informasi dengan jujur kepada media massa.
11
Werner J. Severin dan James W. Tankard, “Teori Komunikasi: Sejarah, Metode & Terapan Di Dalam Media Massa”, edisi kelima, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 63 12 Marshall McLuhan, “Understanding Media: The Extention Of Man”, (New York: McGraw Hill, 1964), hal. 11 13 Burhan Bungin, “Sosiologi Komunikasi”, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), hal. 85
20
3.
Media massa sebagai hiburan, Agent of change , media massa juga menjadi institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong kebudayaan.
2.2.3. Karakteristik Media Massa Khalayak akan tertarik membaca surat kabar/ majalah, menonton suatu film, program acara TV atau mendengarkan siaran radio, apabila isi pesan yang disampaikan media tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut14: 1. Novely (Sesuatu yang baru) Sesuatu yang “baru” merupakan unsur yang terpenting bagi pesan media. Khalayak akan tertarik untuk menonton suatu film, program acara TV, mendengarkan siaran radio atau membaca surat kabar / majalah apabila isi pesannya dipandang mengungkapkan sesuatu hal yang baru atau belum diketahui. 2. Jarak Jarak terjadinya suatu peristiwa dengan tempat dipublikasikannya peristiwa itu, mempunyai arti penting. 3. Popularitas Peliputan tentang tokoh organisasi kelompok, tempat, dan waktu yang penting dan terkenal akan menarik perhatian khalayak.
14
Sasa Djuarsa Sendjaja, “Pengantar Ilmu Komunikasi”, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2005), hal 7.15-7.17
21
4. Pertentangan (conflict) Hal-hal yang mengungkapkan pertentangan, baik dalam bentuk kekerasan ataupun menyangkut perbedaan dan nilai. 5. Komedi (Humor) Manusia pada dasarnya tertarik dengan hal yang lucu dan menyenangkan. Oleh karena itu bentuk-bentuk penyampaian pesan yang bersifat humor(komedi) lazimnya disenangi khalayak 6. Sex dan Keindahan Salah satu sifat manusia adalah menyenangi unsur seks dan keindahan atau kecantikan, sehingga kedua unsur tersebut bersifat universal. Karena unsur seks dan keindahan, kecantikan bersifat Universal dan menarik perhatian khalayak, maka media massa sering kali menonjolkan kedua unsur ini. 7. Emosi Hal-hal yang berkaitan dan menyentuh kebutuhan dasar (Basic Needs) manusia, seringkali menimbulkan emosi dan simpati khalayak. 8. Nostalgia Pengertian nostalgia di sini adalah menunjuk pada hal-hal yang mengungkap masa lalu. 9. Human Interest Setiap orang pada dasarnya ingin mengetahui segala peristiwa atau hal yang menyangkut kehidupan orang lain.
22
2.2.4.
Efek Media Massa Pada sub-sub ini penulis hanya membahas dua pendekatan saja, yaitu
efek dari media massa yang berkaitan dengan pesan atau media serta jenis perubahan yang terjadi pada khalayak yang terdiri atas efek kognitif, afektif, dan konatif15. 1. Efek Kehadiran Media Massa a. Efek Ekonomi Kehadiran media massa di tengah kehidupan manusia dapat menumbuhkan berbagai usaha produksi, distribusi dan konsumsi jasa media massa. b. Efek Sosial Efek sosial berkaitan dengan perubahan pada struktur atau interaksi sosial sebagai akibat dari kehadiran media massa. c. Penjadwalan Kegiatan Sehari-hari Kehadiran media massa dapat mengubah jadwal kegiatan masyarakat dengan jadwal tertentu pada waktu tersebut. d. Efek Hilangnya Perasaan Tidak Nyaman Orang
menggunakan
media
untuk
memuaskan
kebutuhan
psikologisnya dengan tujuan untuk menghilangkan perasaan kesepian, marah, kesal, kecewa dan sebagainya.
15
Jalaludin Rakhmat, “Psikologi Komunikasi”, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 223
23
e. Efek Menumbuhkan Perasaan Tertentu Kehadiran media massa bukan saja dapat menghilangkan perasaan tidak nyaman pada diri seseorang, tetapi dapat juga menumbuhkan perasaan tertentu. 2. Efek Pesan a. Efek Kognitif, (berhubungan menonton dengan fikiran). Meliputi peringkat kesadaran, belajar dan tambahan ilmu. Efek media massa dapat membentuk dan merubah citra, yaitu dunia menurut persepsi kita atau gambaran tentang realitas yang tidak selalu sesuai dengan realitas. b. Efek Afektif, (berhubungan emosi, perasaan, attitude/ sikap). Efek ini timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi atau dibenci khalayak. c. Efek Konatif atau Behavioral berhubungan dengan perilaku dan niat untuk melakukan sesuatu menurut cara tertentu. Salah satu perilaku proporsional adalah memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Keterampilan tersebut diperoleh dan saluransaluran interpersonal, seperti orangtua, atasan, pelatih atau guru.
24
2.2.5.
Jenis-Jenis Media Massa Media massa pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni
media cetak dan media elektronik. Media cetak yang dapat memenuhi kriteria sebagai media massa adalah surat kabar dan majalah. Sedangkan media elektronik yang memenuhi kriteria media massa adalah radio, televisi, film, dan media online (internet)16. 1. Surat Kabar Surat kabar merupakan media massa tertua dibandingkan jenis media massa lain. Fungsi yang menonjol pada surat kabar adalah informasi. Fungsi hiburan surat kabar pun tidak terabaikan karena tersedia rubrik artikel ringan, feature, rubrik cerita bergambar atau komik, serta cerita bersambung. Begitu pula dengan fungsinya mendidik dan memengaruhi akan ditemukan pada artikel ilmiah, editorial dan rubrik opini. 2. Majalah Edisi perdana majalah yang diluncurkan di Amerika pada pertengahan 1930-an. Majalah telah membuat segmentasi pasar tersendiri dan membuat fenomena baru dalam dunia media massa cetak di Amerika. Keberadaan majalah sebagai media massa terjadi tidak lama setelah surat kabar. Tipe suatu majalah ditentukan oleh sasaran khalayak.
16
Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala dan Siti Karlinah, “Komunikasi Massa: Suatu Pengatar”, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2014), hal. 103-150
25
3. Radio Siaran Radio adalah media massa elektronik tertua dan sangat luwes. Keunggulan radio siaran adalah berada dimana saja: di tempat tidur, di dapur, di dalam mobil, di jalanan dan berbagai tempat lainnya. 4. Televisi Televisi merupakan salah satu media massa yang berpengaruh besar pada kehidupan masyarakat. Televisi memiliki kelebihan, yakni dapat didengar sekaligus dapat dilihat. Sifatnya yang audio visual, dalam artian terdapat dua indera yang dirangsang sekaligus menyebabkan proses penyampaian pesan lebih mudah ditangkap oleh khalayak. Fungsi hiburan lebih dominan pada media massa ini. 5. Film Film atau motion pictures ditemukan dari hasil pengembangan prinsipprinsip fotografi dan proyektor. Film merupakan media massa yang mengutamakan fungsi hiburan. Akan tetapi film dapat terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. 6. Komputer dan Internet Internet
adalah
perkakas
sempurna
untuk
menyiagakan
dan
mengumpulkan sejumlah besar orang secara elektronis. Menurut Laquey (1997), asal mula internet tercipta oleh suatu ledakan tak terduga di tahun 1969, yaitu dengan lahirnya Arpanet, suatu proyek eksperimen Kementrian Pertahanan Amerika Serikat bernama DARPA (Departement of Defense Advanced Research Project Agency).
26
2.3.
Film Sebagai Media Massa 2.3.1.
Pengertian Film Film yang merupakan salah satu media komunikasi massa.
Dikatakan sebagai media komunikasi massa karena merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, dalam arti berjumlah banyak, tersebar dimana-mana, khalayaknya heterogen dan anonim, dan menimbulkan efek tertentu. Sebelumnya,
sekitar
tahun
60-an
pengertian
film
masih
diperbincangkan karena dipertimbangkannya “bahwa film merupakan alat publikasi massa yang sangat penting untuk pembangunan nasional (national bulding) dan pembangunan karakter (character buiding) dalam rangka mencapai
tujuan
revolusi”.
Berdasarkan
konsep
pemikiran
tersebut
pembahasan film sampai dimeja DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dalam RUU (Rancangan Undang-Undang) Perfilman, yang kutipannya sebagai berikut17: a) Film sebagai salah satu media komunikasi massa dengar pandang, mempunyai peran yang besar artinya dalam pengembangan budaya bangsa dan pembangunan nasional. b) Film adalah karya cipta yang merupakan media komunikasi dengar pandang yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan bahan celluloid, pita video, piringan video, dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses
17
JB Kristanto, “Nonton Film Nonton Indonesia”, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), hal. 469
27
kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara yang dapat dipertunjukkan, ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan atau lainnya. c) Film merupakan media komunikasi massa yang mempunyai fungsi penerangan, pendidikan, perkembangan budaya bangsa, dan hiburan juga mempunyai fungsi ekonomi. Kini, Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman pada Bab 1 Pasal 1 mencatat, yang dimaksud dengan film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan18. Dalam buku Kamus Istilah Pertelivisian yang ditulis oleh Leli Achlina dan Purnama Suwandi mendifinisikan, film merupakan media merekam gambar yang menggunakan seluloid sebagai macam bahan dasarnya, memiliki berbagai macam ukuran lebar pita, seperti 16 mm dan 35 mm19. Film juga merupakan suatu kombinasi antar usaha penyampaian pesan melalui gambar yang bergerak, pemanfaatan teknologi kamera, warna dan suara. Unsur-unsur tersebut dilatabelakangi oleh suatu cerita yang mengandung pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara kepada khalayak film20.
18
Republik Indonesia, “Undang-Undang RI Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman”, Bab 1, pasal 1. 19 Leli Achlina dan Purnama Suwandi, “Kamus Istilah Pertelevisian”, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2011), hal. 71 20 Astrid S. Susanto, “Komunikasi Massa 2”, (Bandung: Bina Cipta, 1982), hal. 60
28
Walaupun media film telah dinomor-duakan terhadap televisi, film juga menjadi lebih menyatu dengan media lain, terutama penerbitan buku, musik pop dan televisi. Film telah mendapatkan peran besar, (Jowett dan Linton, 1980) walaupun berkurangnya khalayak mereka sendiri sebagai sebuah pajangan bagi media lain dan sebagai sumber kebudayaan yang darinya menghasilkan buku, kartun strip, lagu, bintang televisi dan serta serial. Oleh karena itu, film adalah sebuah pencipta budaya massa21. Fakta didalam film ditampilkan secara abstrak, dimana tema cerita bertitik tolak dari fenomena yang terjadi ditengah masyarakat. Bahkan dalam film, cerita dibuat secara imajinatif. Film sebagai alat komunkasi massa baru dimulai pada 1901, ketika Ferdinand Zecca membuat film “The Story Crime” di Prancis dan Edward S. Porter membuat film “The Life An American Fireman” tahun 199222. Yang disebut film ialah hasil proyeksi pita film diatas layar putih, sedemikian rupa, sehingga foto-foto yang dirangkaikan itu menjadi gambargambar bergerak (movie)23. Bila kita telaah pengertiannya, film diartikan awal seakan-akan tentang fotografi, padahal dalam sejarahnya film memang berawal dari perkembangan fotografi.
21
Denis McQuail, “Teori Komunikasi Massa McQuail”, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), hal. 37 Mafri Amir, “Etika Komunikasi Massa: Dalam Pandangan Islam”, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 27 23 J. Verkuyl, “Film dan Bioskop”, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1958), hal. 5 22
29
2.3.2.
Sejarah Singkat Film Film dalam catatan sejarah-nya merupakan hasil dari perkembangan
proses fotografi yang dikembangkan oleh para penemu. Adapun mereka yang diketahui berperan dalam perkembangan proses fotografi yang penting untuk gambar bergerak diantaranya Joseph Nicephore Niepce sekitar tahun 1816, orang pertama yang menciptakan penggunaan praktis sebuah kamera dan film, lalu Louis Daguerre pada tahun 1839 yang menemukan daguerreotype (sebuah proses perekaman gambar pada plat metal yang sudah dipoles tembaga dan ditutupi lapisan tipis emulsi yodium perak), bersamaan dengan dikenalkan daguerreotype penemu asal Inggris William Henry Fox Tabolt yang menemukan calotype (menggunakan kertas yang bening dan tembus cahaya) yang sekarang dikenal negatif film24. Jauh sebelum fotografi ditemukan ataupun berkembangnya film, prinsip-prinsip film telah ada lebih dahulu di Indonesia, ini berdasarkan dari tulisan Gayus Siagian dalam buku-buku karangan sebelumnya yang dikutip Gatot Prakoso
(Dekan FFTV-IKJ). “Kita semestinya memperhatikan
pertunjukan wayang kulit, maka akan kita lihat, bahwa prinsip-prinsip film sudah ada di Indonesia, lama sebelum kita berkenalan dengan film barat. Benda-benda berupa gambar sosok manusia dari kulit yang diproyektir pada sebuah kelir (layar putih) di tempat gelap di depan penonton. Suara diberikan oleh seseorang yang menceritakan kisah tersebut disebutnya dalang, demikian juga musik untuk meng-gambarkan suasana diadakan dengan musik gamelan 24
Stanley J. Baran, “Pengantar Komunikasi Massa: Melek Media & Budaya”, Jilid 1, Edisi 5, (Jakarta: Erlangga, 2008), hal. 213-214
30
dan para penyanyi (sinden) yang seringkali mengantar kesedihan, kemarahan atau suasana riang gembira. Penonton melihat bayang-bayangan hitam putih. Skenario atau cerita seringkali diambil dari kisah Mahabrata atau Ramayana, ataupun cerita lokal seperti Dewa Ruci atau Palguna-Palgudi, bahkan untuk menolak bala seperti dalam cerita Ruwatan yang bukan berasal dari India. Tokoh-tokoh pewayangan biasanya sudah cukup dikenal penontonnya.25” Ide dasar sebuah film sendiri, terpikir secara tidak sengaja. Pada tahun 1878 ketika beberapa orang pria Amerika berkumpul dan terlibat perbincangan ringan, menimbulkan sebuah pertanyaan: “apakah keempat kuda berada pada posisi melayang pada saat bersamaan ketika kuda berlari?” pertanyaan itu terjawab ketika Edward Muybridge membuat 16 frame gambar kuda sedang berlari. Dari 16 framer gambar kuda tersebut yang sedang berlari tersebut, dibuat rangkaian gerakan secara urut sehingga gambar kuda terkesan sedang berlari. Dan terbuktilah bahwa ada satu momen dimana kaki kuda tidak menyentuh tanah ketika kuda tengah berlari kencang26. Pada tahun 1888 Thomas Edison turut andil pula dalam perfilman dengan
mengutus
ilmuwan
terbaiknya
William
Dickson
untuk
mengembangkan sebuah proyektor dengan menggabungkan temuan baru daru George Eastman, yaitu kamera Kodak (40 frame/second) dia menggunakan kinetograf-nya untuk mengambil film semua tipe penampilan teater. Filmfilmnya diputar melalui kinetoskop (semacam alat pameran gambar berbentuk
25
Gayus Siagian, “Sejarah Film Indonesia: Masa Kelahiran-Pertumbuhan”, (Jakarta: Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta, 2010), hal. 1 26 http://id.wikipedia.org/wiki/Perkembangan_Film Diakses pada tanggal 15 Juli 2014
31
kotak) sembari diiringi musik yang dikeluarkan dari fonograf, hasil temuan Edison27. Pada 1895, yang dibuat oleh Lumiere bersaudara salah satu film pertama yang pernah diputar berjudul “Kereta Tiba di Stasiun”, yang ceritanya sama persis dengan judulnya, sebuah kereta yang tiba di stasiun. Namun ketika kereta melaju ke arah layar, penonton berteriak dan pingsan karena mereka mengira akan tertabrak kereta. Tak ada yang pernah melihat adegan seperti itu sebelumnya28. Film Edison dan Lumiere adalah film yang berdurasi beberapa menit dan menunjukkan hanya sekedar realitas yang direproduksi kembali melalui film. Pembuat film George Melies adalah salah satu orang pertama yang menunjukkan bahwa film tidak harus selalu mencerminkan kehidupan nyata. Ia segera menyadari bahwa film memiliki kekuatan untuk mewujudkan mimpi. Melies mendapat banyak pengakuan karena menyempurnakan tipuan pengganti, atau efek khusus, yang memunginkan benda-benda muncul dan menghilang di layar secara tiba-tiba, seolah-olah disulap. Hal ini mengubah tampilan film untuk seterusnya. A Trip to the Moon (1902), film Melies yang paling terkenal, mengisahkan sekawanan petualang yang pergi ke bulan, berperang melawan penghuni bulan, dan kembali membawa tawanan, lalu mendapat banyak pujian29. Beberapa tokoh berpengaruh lainnya yang tercatat dalam sejarah perfilman, salah satunya Edwin S. Porter dalam karyanya yang berjudul The 27
Ibid. Brian Selznick, “The Invention of Hugo Cabret”, (Yogyakarta: Mizan Fantasi, 2012), hal. 357 29 Ibid., hal. 364-370 28
32
Great Train Robbery (1903) merupakan film pertama yang menggunakan teknik penyuntingan montase (suatu cara penggabungan dua gambar terpisah). Lalu ada D. W. Griffith yang dikenal sebagai sutradara brilian, dia memperkenalkan inovasi seperti latihan terjadwal sebelum pengambilan gambar terakhir dan produksi yang didasari ketaatan erat dengan naskah film30. Film bersuara yang pertama adalah satu dari tiga film yang diproduksi oleh Warner Brothers. Film itu bisa jadi Don Juan (1926) didistribusikan dengan musik dan efek suara yang telah diselaraskan. Atau mungkin saja film Warner yang lebih terkenal, Tha Jazz Singer (1927) yang memiliki beberapa adegan bersuara dan berbicara (keseluruhan sebanyak 354 kata), namun sebagian besar film itu bisu. Atau mungkin saja film pada tahun 1928 yang seluruhnya bersuara, Light of New York.31. 2.3.3.
Unsur-Unsur Film Pembuatan sebuah film dikenal sebagai kerja kolaboratif, artinya
melibatkan sejumlah keahlian tenaga kreatif yang harus menghasilkan suatu keutuhan, saling mendukung, dan isi-mengisi. Perpaduan yang baik antara sejumlah keahlian ini merupakan syarat utama bagi lahirnya film yang baik. Maka dari itu berikut unsur-unsur film32: 1. Sutradara Sutradara menduduki posisi tertinggi dari segi artistik. Ia memimpin pembuatan film tentang “bagaimana yang harus tampak” oleh penonton.
30
J. Baran, Op. Cit., hal. 215-216 J. Baran, Op. Cit., hal. 221 32 Marselli Sumarno, “Dasar-Dasar Apresiasi Film”, (Jakarta: Grasindo, 1996), hal.31-84 31
33
Tanggung jawabnya meliputi aspek-aspek kreatif, baik interpretatif maupun teknis, dari sebuah produksi film. 2. Penulis skenario Penulis skenario adalah orang yang mempunyai keahlian membuat transkripsi sebuah film. Membuat film dalam bentuk tertulis. Tugas penulis
skenario
yakni
membangun
cerita
yang
menunjukkan
perkembangan jalan cerita yang baik dan logis. 3. Penata fotografi Penata fotografi alias juru kamera adalah tangan kanan sutradara dalam kerja lapangan. Ia bekerja bersama dengan sutradara untuk menentukan jenis-jenis shot. Termasuk menentukan jenis lensa maupun filter lensa yang hendak digunakan. 4. Penyunting Tenaga pelaksana yang melakukan editing atau penyuntingan disebut editor atau penyunting. Editor bertugas menyusun hasil syuting hingga membentuk pengertian cerita. Ia bekerja dibawah pengawasan sutradara tanpa mematikan kreativitas sebab pekerjaan editor didasari konsep. 5. Penata artistik Tata artistik berarti penyusunan segala sesuatu yang melatarbelakangi cerita film, yakni menyangkut pemikiran tentang seting (setting). Yang dimaksud dengan setting adalah tempat dan waktu berlangsungnya cerita film.
34
6. Penata suara Tata suara dikerjakan di studio suara. Tenaga ahlinya dinamakan penata suara, yang dalam tugasnya dibantu tenaga-tenaga pendamping seperti perekam suara di lapangan, maupun studio. 7. Penata musik Penata musik berkewajiban menata paduan bunyi (yang bukan suara efek) yang mampu menambah nilai dramatik seluruh cerita film. 8. Pemeran Pemeran adalah seseorang yang memiliki kemampuan berlaku sebagai orang lain. Proses penokohan akan menggerakkan seorang pemeran menyajikan penampilan yang tepat (tanpa melupakan bantuan make-up dan kostum), seperti cara bertingkah laku, ekspresi emosi dengan mimik dan gerak-gerik, berdialog, untuk tokoh cerita yang dibawakan. 2.3.4.
Karakteristik Film Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah
layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh, dan identifikasi psikologis33. 1. Layar yang Luas/Lebar Film dan televisi sama-sama menggunakan layar, namun kelebihan media film adalah layarnya yang berukuran luas/lebar. Layar film yang luas/lebar telah memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-adegan yang disajikan dalam film.
33
Elvinaro Ardianto, Op. Cit., hal. 145-147
35
2. Pengambilan Gambar Sebagai konsekuensi layar lebar, maka pengambilan gambar atau shot dalam film bioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot, dan panoramic shot. 3. Konsentrasi Penuh Dari pengalaman kita masing-masing, disaat kita menonton film di bioskop, bila tempat duduk sudah penuh atau waktu main sudah tiba, pintu-pintu ditutup, lampu dimatikan, tampak di depan layar kita layar yang luas/lebar dengan gambar-gambar cerita film tersebut. Kita semua terbebas dari gangguan hiruk pikuknya suara diluar karena biasanya ruangan kedap suara. Semua mata hanya tertuju pada layar luas, sementara pikiran perasaan kita tertuju pada alur cerita. 4. Identifikasi Psikologis Kita semua dapat merasakan bahwa suasana di gedung bioskop telah membuat pikiran dan perasaan kita larut dalam cerita yang disajikan. Karena penghayatan kita yang amat mendalam, seringkali secara tidak sadar kita menyamakan (mengidentifikasikan) pribadi kita dengan salah seorang pemeran dalam film itu, sehingga seolah-olah kita-lah yang sedang berperan. Gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut sebagai identifikasi psikologis (Effendy, 1981: 192)
36
2.3.5.
Jenis-Jenis Film Sebagai seorang komunikator dengan menggunakan media film,
penting untuk mentahui jenis-jenis film agar dapat memanfaatkan film tersebut sesuai dengan karakteristiknya. Ditinjau dari suaranya, film dibedakan menjadi34: 1. Film Bisu Film bisu adalah film yang hanya menampilkan gambar visual saja, sedang suaranya diperoleh dari ilustrasi musik diluar film yaitu sound system tersendiri yang berfungsi untuk musik background saja. Sebelum teknologi berkembang seperti sekarang ini, dulunya bioskop memutar film bisu seperti Charly Chaplin dan sebagainya. 2. Film Bersuara Film bersuara menayangkan gambar visual dan suara yang telah disatukan pada film, yaitu telah direkam pada pita film di sisi lajur sepanjang film. Ada dua tipe sistem suara, yaitu: (1) sistem suara optik, suara direkam atau diputar kembali menggunakan sistem variasi perubahan sinar/cahaya yag menembus trak suara. Intensitas cahaya pada waktu merekam sesuai dengan perubahan tekanan suara yang direkam. (2) sistem suara magnetik, menggunakan jalur suara pada tepi film ditaburi bahan magnet sepanjang film. Karakternya sama dengan pita magnetik pada kaset/tape yang banyak digunakan pada video dan audio.
34
FR. Sri Sartono, “Teknik Penyiaran dan Produksi untuk SMK: Radio, Televisi dan Film”, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hal. 385-386
37
Ditinjau dari format program film yang diproduksi. Film dapat dikelompokkan pada jenis fim cerita, film berita, film dokumenter, dan film kartun35. 1. Film Cerita Film cerita (story film) adalah jenis film yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan. Cerita yang diangkat menjadi topik film bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari jalan ceritanya maupun dari segi gambarnya. 2. Film Berita Film berita (newsreel) adalah film yang mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada publik harus mengandung nilai berita (news value) 3. Film Dokumenter Film fokumenter (documentary film) didefinisikan oleh Robert Flaherty sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan” (creative treatment of actuality). Berbeda dengan film berita yang merupakan rekaman kenyataan, maka film dokementer merupakan hasil interpretasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut.
35
Elvinaro Ardianto, Op. Cit., hal. 148
38
4. Film Kartun Film kartun (cartoon film) dibuat untuk konsumsi anak-anak. Sebagian besar film kartun, sepanjang film itu diputar akan membuat kita tertawa karena kelucuan tokohnya. Namun ada juga film kartun yang membuat iba penontonnya karena penderitaan tokohnya. 2.3.6.
Five C’s of Cinematography Menurut Joseph V. Mascelli, pemenang 3 hadiah OSCAR untuk
tata-fotografi, banyak orang film yang mahir dalam menemukan cara tepat untuk memfilmkan suatu subjek. Tapi kemauan itu hanya instingtif, dan ia tidak mampu menjelaskan kenapa cara itu yang dilakukannya. Setidaknya sedikit sekali yang bisa menjelaskan tentang hukum-hukum dari pembuatan film, meskipun sebenarnya ia sendiri berpegang teguh pada hukum-hukum tersebut. Yang dimaksud dengan 5 C sinematografi dalam buku “The Five C’s of Cinematography” itu adalah36: 1. Camera angle Sebuah film terbentuk dari sekian shot. setiap shot membutuhkan penempatan kamera pada posisi yang paling baik bagi pandangan mata penonton, bagi tata set dan action pada suatu saat tertentu dalan perjalanan cerita.
36
Joseph V. Mascelli, The Five C’s of Cinematography, diterjemahkan oleh H. M. Y. Biran, Jakarta: Yayasan Citra, 1987, hal. 1-409
39
2. Continuity Film bersuara yang dibuat secara profesional harus menyajikan citra visual secara bersinambungan, lancara, mengalir secara logis, ditambahkan suara, penggambaran peristiwa yang difilmkan secara berkaitan yang masuk akal. Itu adalah aspek kesinambungan (continous) dari film. 3. Cutting Editing film bisa diperbandingkan dengan memotong, mengasah dan menyunting berlian. Berlian yang masih dalam bentuk bongkahan tidak bisa dikenali. Bongkah itu harus dipotong dulu, diasah, dan dihargai sepenuhnya. Sema saja dengan itu, film cerita adalah tumpukan semrawut shot-shot, seperti juga berlian, film ini dipotong, diasah dan disunting. 4. Close-up Close-up adalah sarana unik dari film. Hanya film yang bisa membuat penggambaran skala besar atas bagian dari action. Muka, sebuah objek kecil, action berskala kecil, bisa dipilih dari keseluruhan scene, dan diperlihatkan sepenuh layar dalam sebuah close-up. 5. Composition Komposisi yang baik adalah aransemen dari unsur-unsur gambar untuk membentuk suatu kesatuan, yang serasi (harmonis) secara keseluruhan. Penempatan dan gerakan para pemain dalam set harus direncanakan untuk mendapatkan reaksi-reaksi yang sesuai dari penonton.
40
2.4.
Teori Kritis Sebagai Kritik Ideologi Teori kritis lahir sebagai koreksi dari pandangan konstruktivisme yang
kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Analisis kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi didalamnya. Teori kritis dianggap sama dengan paradigma konstruktivisme dengan alasan sebagai berikut37: 1. Teori kritis menyakini bahwa ilmu pengetahuan itu dikonstruksi atas dasar kepentingan manusiawi. 2. Dalam praksis penelitian (dalam pemilihan masalah untuk penelitian, instrumen
dan
metode
analisis
yang
digunakan
interpretasi,
kesimpulan dan rekomendasi) dibuat sangat bergantung pada nilainilai peneliti. 3. Standar penilaian ilmiah bukan ditentukan oleh prinsip verifikasi atau falsifikasi melainkan didasarkan konteks sosial historis serta kerangka pemikiran yang digunakan ilmuwan. Aliran teori kritis ini sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu paradigma, tetapi lebih tepat disebut ideologically oriented inquiry, yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi: neo-marxisme, materialisme, 37
Elvinaro Ardianto dan Bambang Q. Anees, “Filsafat Ilmu Komunikasi”, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007), hal. 167-168
41
feminisme, frereisme, partisipatory inquiry, dan paham-paham yang setara (Denzin dan Guba. 2001: 41)38. Kritik adalah salah satu ciri dan sifat penting dari pekerjaan otak manusia dan kritik itu menjadi dasar untuk berpikir dan mengembangkan pikiran. Kritik yang sebenarnya tidak bermaksud untuk meruntuhkan sesuatu. Melainkan untuk memperbaiki dan akhirnya untuk mendapat kemajuan. Kritik yang jujur harus senantiasa didorong oleh rasa keadilan, cinta dan kasih sayang, baik sesama manusia maupun kebenaran39. Kritik membuka diri untuk diperdebatkan, mencoba
meyakinkan
dan
mengundang
kontradiksi-kontradiksi.
Dengan
demikian, kritik menjadi bagian dari tukar pendapat publik40. Kata kritik sebenarnya sudah dipakai sejak masa Renaissance (13501600). Dalam masa itu masyarakat Eropa membangkitkan kembali kebudayaan Yunani dan Romawi dan karena banyak inspirasi rasional ditimba darinya, kecenderungan-kecenderungan berpikir didalam masa ini telah mulai mengusir kegelapan dogmatis Abad Pertengahan (600-1400) yang dikuasai cara berpikir gaya Gereja dimana faktor iman dan kepatuhan kepada otoritas gereja mendapat porsi yang besar. Dalam Renaissance itu para sarjana dan seniman menyibukkan diri dengan teks-teks sastra dari zaman Yunani-Romawi, termasuk Kitab Suci. Mereka mencoba memberi penjelasan dan penilaian atas teks-teks itu. Sebagaimana lazim waktu itu, penjelasan semacam itu juga dipergunakan untuk menyerang atau mempertahankan ajaran iman tertentu. Seni menilai dan 38
Ibid. Djamaludin Adinegoro, “Tata Kritik”, (Jakarta: Nusantara BukitTinggi, 1958), hal. 10 40 Terry Eagleton, “The Function of Criticism”, diterjemahkan oleh Hardono Hadi, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hal. 2 39
42
menjelaskan teks-teks ini menjadi awal hermeneutika Kitab Suci dan akhirnya menjadi seni kritik yang lepas dari kegiatan pengetahuan yang dilatarbelakangi iman. Lama-kelamaan kritik sastra ini menjadi seni kritik yang rasional melulu41. Kritik merupakan konsep kunci untuk memahami teori kritis. Teori ini dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt (aliran Frankfurt). Kritik juga merupakan suatu program bagi Mazhab Frankfurt untuk merumuskan suatu teori yang bersifat emansipatoris tentang kebudayaan dan masyarakat modern. Kritik-kritik mereka diarahkan pada berbagai bidang kehidupan masyarakat modern, seperti: seni, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan kebudayaan pada umumnya yang bagi mereka telah menjadi rancu karena diselubungi ideologi-ideologi yang menguntungkan pihak-pihak tertentu sekaligus mengasingkan manusia individual didalam masyarakatnya. 2.4.1.
Mazhab Frankfurt Jika teori kritis mempergunakan konsep kritik, hal itu terlebih
dihubungkan dengan konsep kritik yang diperkembangkan pada masa-masa setelah Renaissance, yaitu pada masa Aufklarung (Abad 17-18) dan abad ke19. Pada masa-masa itu muncul filsuf-filsuf seperti: Kant, Hegel, Marx yang oleh Mazhab Frankfurt dipandang sebagai filsuf-filsuf kritis. Serta seorang pemikir yang kendatipun bukan seorang filsuf namun bagi Mazhab Frankfurt dipandang sebagai pemikir kritis, yakni Sigmund Freud. Jika teori kritis mempergunakan kata ‘kritik’, hal itu langsung dikaitkan pada ke-empat
41
P. Connerton, “Critical Sociology”, (New York: Penguin Books, 1976), hal. 15
43
pemikir kritis itu. Dengan demikian, kritik dipahami dalam arti Kantian, Hegelian, Marxian, dan Freudian dijelaskan dibawah ini42:
a) Kritik dalam Arti Kantian Immanuel Kant adalah seseorang pemikir yang kritis karena mempertanyakan the conditions of possibility dari pengetahuan kita sendiri. Kant menyelidiki kemampuan dan batas-batas dari rasio untuk menunjukkan sampai sejauh mana klaim-klaim dari rasio kita itu dapat dianggap benar. Jalan yang ditempuh oleh Kant ini disebutnya sendiri “kritisisme” dalam perlawanannya dengan jalan yang ditempuh para filsuf sebelumnya, yakni dogmatisme. Kant menyatakan: “kritik saya ditujukan pada dogmatisme saja, yaitu pengandaian bahwa mungkinlah membuat suatu kemajuan dengan pengetahuan murni (filosofis) yang terdiri atas konsep-konsep dan yang diarahkan oleh rasio, tanpa terlebih dahulu menyelidiki dengan cara apa dan dengan hak apa rasio sampai memiliki konsep-konsep dan prinsip-prinsip itu. Karena dogmatisme adalah jalan yang dipakai oleh rasio murni tanpa kritik terlebih dahulu atas kemampuan-kemampuannya.” Disini Kant dengan epistemologinya ingin menunjukkan bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi “pengadilan tinggi” terhadap hasil-hasil refleksinya sendiri., yaitu ilmu ilmu pengetahuan dan metafisika. Kritik dalam pengertian ini Kantian lalu berarti
42
Francisco Budi Hardiman, “Kritik Ideologi”, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hal. 47-52
44
kegiatan menguji shahih tidaknya klaim-klaim pengetahuan tanpa prasangka dan kegitan ini dilakukan oleh rasio belaka.
b) Kritik dalam Arti Hegelian Kritik Kant yang bersifat transendental dan dengan cara itu ia ingin meletakkan rasio yang kritis itu diatas suatu dasar yang pasti dan tak tergoyahkan. Rasio semacam ini tak mengenal waktu, netral dan ahistoris. Hegel yang kritis terhadap kritisisme Kant ini menempatkan kegiatan pengetahuan kita atau rasio
didalam konteks proses perkembangan
pengetahuan didalam sejarah. Menurut
Hegel,
rasio
ditempatkan
didalam
rangka
proses
pembentukkan diri (Bildungsprozess). Rasio bersifat kritis tidak dengan cara transendental dan ahistoris seakan-akan rasio itu sudah sempurna pada dirinya. Rasio menjadi kritis justru kalau ia menyadari asal-usul pembentukkannya sendiri. Rasio bukanlah kesadaran lengkap yang bebas dari rintangan-rintangan dalam sejarah manusia dan alam, melainkan merupakan proses menjadi semakin sadar justru didalam rintangan-rintangan itu. Kesadaran rasional kita akan sesuatu muncul justru setelah kita merefleksikan rintangan-rintangan itu dan karena munculnya kesadaran itu kita dapat membebaskan diri dari rintangan-rintangan itu untuk menjadi semakin rasional. Proses sejarah manusia memahami siapa dirinya, apa itu masyarakat, kebudayaan dan alam semesta adalah proses pembentukkan diri rasio.
45
Kritik dalam arti Hegel ini tak lain dari refleksi atau refleksi diri atas rintangan-rintangan,
tekanan-tekanan
dan
kontradiksi-kontradiksi
yang
menghambat proses pembentukkan diri dari rasio dalam sejarah. Kritik juga berarti refleksi atas proses menjadi sadar atau refleksi atas asal-usul kesadaran.
c) Kritik dalam Arti Marxian Jika Hegel mengembangkan konsep kritik dalam konteks filsafat idealismenya, Marx mengembangkan konsep ini dalam materialismenya. Marx mendaratkan idealisme Hegel ini menjadi materialisme sejarah yang bersifat praktis emansipatoris dan bersamaan dengan itu konsep kritik diterapkan dalam sejarah yang konkret dari masyarakat yang nyata. Dalam pandangan Marx, apa yang terjadi di didalam masyarakat dan sejarah adalah orang-orang yang bekerja dengan alat-alat kerja untuk mengolah alam. Didalam masyarakat alatalat kerja, para pekerja dan pengalaman kerja merupakan kekuatan-kekuatan produksi masyarakat, sedangkan hubungan-hubungan antarpekerja dalam proses produksi itu merupakan hubungan-hubungan produksi. Jika kekuatankekuatan produksi berkembang, hubungan-hubungan produksi juga berubah. Dalam praktek, hubungan-hubungan produksi ini adalah hubunganhubungan kekuasaan antara pemilik modal disatu pihak dan kaum buruh dipihak lainnya. Hubungan-hubungan hak milik dan penguasaan ini bersifat konservatif dan ingin dipertahankan terus karena menguntungkan para pemilik modal. Didalam pengertian inilah Marx telah mendaratkan dialektika Hegel kedalam masyarakat nyata. Dalam pandangan Marx, kontradiksi-kontradiksi
46
dalam masyarakat itu mencerminkan pula pertentangan-pertentangan antara kaum kapitalis dan kelas buruh (proletariat). Setelah revolusi sosial terjadi, sistem ekonomi masyarakat berubah dan bersamaan ini bentuk-bentuk kesadaran sosial juga berubah sebab perubahan pada basis ekonomis mau tak mau menentukan perubahan pada superstruktur kesadaran. Pengetahuan atau rasio kita ditentukan oleh faktor-faktor ekonomis masyarakat dan kesadaran baru yang timbul hanyalah akibat langsung dari penataan baru atas produses-proses produksi sosial. Kritik dalam kontek sejarah ini berarti praxis revolusioner yang dilakukan kaum proletariat atau perjuangan kelas. Kritik berarti usaha-usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan alienasi yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan didalam masyarakat. Kritik dalam artian Marx juga berarti teori dengan tujuan emansipatoris. Dengan menyingkapkan kenyataan sejarah dan masyarakat lewat analisisnya itu, Marx tidak sekedar melukiskan masyarakat, melainkan hendak membebaskannya. Kritik yang adalah teori dan praxis emansipatoris inilah kritik dalam arti Marxian.
d) Kritik dalam Arti Freudian Freud memberi pengertian yang lebih lengkap terhadap konsep kritik, ia mengintegrasikan konsep-konsep kritis dari mengenai gangguangangguan psikis dan nalusriah-naluriah kedalam kritik ideologi Marx. Dengan cara ini suatu kritik yang bersifat kemasyarakatan mendapat pendasaran psikologisnya. Praktek psikoanalisis sendiri merupakan kritik. Sebagai seorang
47
psikolog, subyek psikoanalisis Freud ini adalah manusia yang menipu diri tentang dirinya sendiri, karena adanya mekanisme-mekanisme tak sadar dalam dirinya yang berupa tekanan-tekanan psikis. Situasi represi, ketertindasan psikis, penipuan diri, gambarangambaran palsu, yang terbentuk ini oleh Generasi Pertama teori kritis diterapkan didalam kenyataan sosial, khususnya pada ideologi-ideologi dan hubungan-hubungan kekuasaan. Apa yang terjadi pada taraf individual diterapkan pada taraf sosial. Lalu kritik dalam arti Freudian adalah refleksi, baik, baik dari pihak individu maupun masyarakat, atas konflik-konflik psikis yang menghasilkan represi dan ketidakbebasan internal tersebut sehingga dengan cara refleksi itu masyarakat dan individu dapat membebaskan diri dari kekuatan-kekuatan asing yang mengacau kesadarannya. Bila disingkat, kritik tak lain dari pembebasan individu dan masyarakat dari irrasionalitas menjadi rasionalitas, dari ketidaksadaran menjadi kesadaran. 2.4.2.
Karakteristik Teori Kritis Teori Kritis memakai metode dialektika tertentu yang mengarahkan
masa depan atau apa yang mereka sebut unabgeschlossene dialektik (dialektika terbuka). Kekuatan kritis itu termuat didalam metode dialektiktika itu sendiri karena pemikiran dialektis mencari kontradiksi-kontradiksi didalam kenyataan konkret. Dengan metode dialektis itu, menurut Horkheimer teori kritis memiliki empat karakter, sebagai berikut43:
43
Ibid., hal. 58
48
1. Teori kritis bersifat historis. Artinya teori kritis diperkembangkan berdasarkan situasi masyarakat yang konkret dan berpijak diatasnya. 2. Teori kritis itu bersifat kritis terhadap dirinya sendiri. Maksudnya teori kritis menyadari resiko bahwa setiap teori sangat mungkin jatuh ke salah satu ideologi. Teori kritis mempertahankan kesahihannya melalui evaluasi, kritik dan refleksi terhadap dirinya sendiri. 3. Teori kritis memiliki kecurigaan kritis terhadap masyarakat aktual. Kecurigaan teori kritis itu dapat dihubungkan dengan kritik ideologi Marx yang bermaksud menelanjangi kedok-kedok ideologis yang dipakai untuk menutupi manipulasi, ketimpangan dan kontradiksikontradiksi dalam masyarakat. 4. Teori kritis merupakan teori dengan maksud praxis. Maksudnya teori kritis dibangun justru untuk mendorong transformasi masyarakat dan transformasi masyarakat itu hanya dilakukan didalam praxis.
49
2.5.
Alienasi 2.5.1.
Fenomena Alienasi Bagi sebuah negara, ekonomi menjadi tunjang pembangunan atau
kemajuan yang penting. Oleh karena itu, konsep kerja menjadi satu agenda kehidupan yang mempengaruhi sebagian besar kehidupa masyarakat modern. Kerja ialah aktivitas keseharian yang penting untuk mendapatkan keperluan sehari-hari, kuasa, pangkat, kedudukan, status dan kemudahan. Kerja zaman modern mempunyai kaitan erat dengan teknologi, yang merupakan ciri fundamental dalam sistem pekerjaan modern. Beberapa kajian menunjukkan bahwa disamping memberikan faedah yang besar kepada kemajuan ekonomi, teknologi dan sistem pekerjaan modern yang dikatakan bersifat rasional itu turut memberikan dampak yang besar terhadap kehidupan sehari-hari pekerja. Salahsatu wujud fenomenanya yang disebut alienasi44. A.W. Funifter mengatakan bahwa keterasingan biasanya dipandang sebagai suatu ancaman terhadap kelangsungan dari sistem politik (Funifter, 1970). Masalahnya adalah bagaimana sistem yang sudah ada harus mengatasi permasalahan dari orang-orang yang terasing dan bukan orang-orang itu yang harus menyesuaikan diri dengan suatu sistem yang terasing45. Seperti dikemukakan oleh Robert E. Lane, bahwa orang-orang yang terasing dalam politik adalah mereka yang tidak puas terhadap politik. Sedangkan orang-orang yang tidak terasing adalah mereka yang senang dengan sistem politik. Sistem 44
Ahmad Shukri dan Rosman, “Konsep, Teori, Dimensi dan Isu Pembangunan”, (Malaysia: Universiti Teknologi Malaysia, 2009) hal. 190 45 A.W. Funifter, “Dimension of Political Alienation”, American Political Science Review, vol. LXIV no. 2, hal. 389-406
50
politik perlu disesuaikan untuk menjamin agar cukup banyak orang tergerak untuk melakukan apa yang dituntut bagi kelangsungan sistem politik tersebut (Lane, 1965). Lebih lanjut Lane mengatakan, jika pendekatan terhadap konsep keterasingan semacam ini dilihat dai sudut analisa peranan, maka tampaknya hanya terjadi ketika orang-orang dengan terpaksa menerima peranan-peranan yang telah dipersiapkan untuk mereka46. Jika suatu kegiatan bersifat terasing, maka semakin banyak orang yang terlibat, semakin terasinglah dia. Gagasan bahwa keterasingan akan lebih menonjol pada orang-orang yang tidak banyak terlibat dalam kegiatankegiatannya, adalah kurang tepat. Maka dapat diasumsikan bahwa jarak peranan mengisyaratkan suatu keterasingan. Karena dengan mengambil jarak peranan, individu mengisyaratkan pada dirinya sendiri dan orang lain bahwa ia merupakan sesuatu lain dari peranan yang ia mainkan. Keterasingan telah dikatakan sebagai kurangnya identifikasi individu terhadap perannya. Dalam bidang pekerjaan, pembicaraan tentang alienasi banyak ditulis oleh Karl Marx. Dikatakannya bahwa alienasi dalam pekerjaan pada pokoknya mempunyai dua segi, yaitu alienasi manusia dari pekerjaannya dan alienasi dari orang lain. Alienasi dari pekerjaan tampak jelas, oleh karena tidak ada paksaan fisik atau yang lain, pekerjaan dijauhi sebagai penyakit menular (Marx, 1961). Alienasi dari orang lain menurut Marx, disebabkan hak milik pribadi atas alat-alat produksi, dimana telah mengkotakkan masyarakat kedalam kelas-kelas yang bermusuhan, yaitu antara kelas pemilik alat kerja dan 46
Robert E. Lane, “The Political of Consensus in a Age of Affluance”, American Political Science Review, vol. LIX, hal. 874-895
51
kelas pemilik tenaga kerja. Ciri khas alienasi itu adalah bahwa hubungan antar manusia bersifat saingan, yaitu persaingan antara buruh dan majikan, antara buruh sendiri dan diantara para majikan (Soerjanto dan Bertens, 1985)47. Menurut analisa Hegel, seorang filsuf idealies Jerman, mestinya manusia senang bekerja, karena pekerjaan adalah tindakan pernyataan dari manusia. Tetapi banyak orang benci dengan pekerjaannya. Mereka bekerja tidak karena senang melainkan terpaksa, yaitu demi untuk mendapatkan uang guna kelangsungan hidup dirinya dan keluarganya (Soerjanto, 1985). Dalam hal ini Marx menulis lebih tajam bahwa pekerjaan itu sesuatu yang lahiriah bagi buruh, tidak termasuk hakekatnya. Ia tidak membenarkan diri dalam pekerjaannya melainkan menyangkal diri. Tidak kerasan (giat) didalamnya melainkan menderita. Pekerjaan tidak mengembangkan tenaga fisik dan merusak mentalnya. Si buruh baru kerasan (giat) bila berada diluar pekerjaannya (Mizruchi, 1967)48. 2.5.2.
Pengertian Alienasi Batasan mengenai alienasi berbeda antar peneliti, tergantung pada
aspek perilaku mana yang hendak ditekankan, meskipun demikian ada dua hal yang muncul dalam setiap pembahasan tentang alienasi. Pertama, bahwa orang tersebut teralienasi bila berada diluar irama gerak masyarakatnya dan oleh karenanya tidak mendapatkan kepuasan hidup dalam kondisi tersebut. Kedua, sebagai implikasinya orang tersebut akan merasa senang bila masyarakatnya berubah atau apabila dirinya yang harus berubah, maka arahnya adalah 47 48
Soerjanto dan K. Bertens, “Sekitar Manusia”, (Jakarta: PT. Gramedia, 1985), hal. 87-88 Dikutip dari Sugeng Astanto, “Alienasi dalam Pekerjaan”, 1994, Tesis: hal. 20-21
52
semakin konform dengan harapan mayoritas dari masyarakatnya (Triandis, 1980)49. Menurut Johnson, alienasi merupakan kata yang mengerikan (atricious), baik dalam konsep umum, konsep ilmiah, pengertian populer maupun istilah budaya. Alienasi telah mempunyai kekayaan semantik yang membingungkan. Sebagai konsep, alienasi telah dipergunakan untuk menunjuk secara denotatif berbagai variasi fenomena yang berbeda (Johnson, 1973). Secara khusus, alienasi juga didefinisikan sebagai perasaan negatif atau belief yang sinikal terhadap konteks sosial tertentu, dimana ketidakcocokkan yang terjadi didasarkan pada tidak kompatibelnya karakter pribadi individu dengan peran sosial yang dimainkannya (Triandis, 1980)50. Lystiad, dalam bibliografinya menggunakan konsep yang luas mengenai teori dan metode alienasi. Dalam definisi luas tersebut, setiap orang dianggap memiliki setidak-tidaknya sesuatu sentuhan alienasi. Cara tersebut dipergunakan untuk melihat alienasi dikalangan buruh, pemilih dalam pemilihan umum, orang tua dan orang muda di Amerika. Dia juga mengatakan bahwa fokus mengenai alienasi mencakup pula upaya untuk mengklarifikasi arti dalam term tersebut, konseptualisasi yang luas mengenai penyebab dan konsekuensi alienasi serta riset empiris mengenai prevelensi alienasi dewasa ini. Pendekatan yang luas ini akan membawa kita pada pemahaman bahwa
49 50
Ibid., hal. 23 Ibid.,
53
tidak hanya struktur ekonomi yang menjadi penyebab alienasi, tetapi berbagai struktur sosial lainnya 51. Secara etimologi kata alienasi berasal dari kata “alienare” yang mempunyai akar kata “alienus” yang berarti menjadikan asing, menjadi milik orang lain. Di Inggris pada masa abad pertengahan, alienasi diartikan sebagai: “to transfer the ownership of something to another man by the act of the owner in which possession of that whichis transfered is institutionally acknowledge”. Dalam tata bahasa Jerman, alienasi yang disebut “Entfremdung” mempunyai arti yang sangat berbeda, yaitu penyerahan dalam konotasi dirampas: “the making alien involved is not to be concieved in terms of lawful transfer of ownership, but rather in terms of the activities subsequently listed by the grimms: robbing, taking stripping” (Shact, 1971)52. Hegel memandang konsep alienasi dengan sikap yang positif. Konsep alienasi yang pertama adalah keadaan dimana individu telah kehilangan kemandiriannya. Yang kedua, yang berintikan penyerahan diri sepenuhnya kedalam substansi sosial demi terciptanya ketertiban sosial. Dalam bukunya, “Economic and Philosophical” Marx mengatakan: “alienation is apperent... in fact that everything is something other than mine, and... that inhuman power rules over everything” (Marx, 1961). Singkatnya ia, menggunakan konsep alienasi ini dalam tiga pengertian yang saling terkait, yakni alienasi kerja, alienasi sosial dan alienasi diri, yang pada hakekatnya menunjukkan kegagalan individu untuk menampilkan atau mengekspresikan 51 52
Ibid., hal. 24 Ibid.,
54
ciri khas dirinya. Ia tidak tampil secara utuh. Menurut Marx, orang baru dapat dikatakan manusia seutuhnya
bila
ia telah berhasil mengolah dan
memanusiakan seluruh pengertian dan perasaannya. Hal ini akan tampak dalam kehidupan sosialnya53. Bagi Erich Fromm, alienasi merupakan kondisi manusia gagal mendapatkan nilai intrinsik dalam hidupnya, gagal mendapatkan dirinya sendiri, atau gagal mengindentifikasi dirinya dengan dirinya sendiri. Bertolak dari pengertian ini, maka sangat persoalan hubungan atau relasi. Pada dasarnya manusia hanya mampu menjadi dirinya sendiri bila ia mampu mengadakan hubungan
dengan
dunianya
atau
lingkungannya.
Kegagalan
untuk
mendapatkan dirinya atau mengidentifikasi dirinya dengan dirinya sendiri, dengan demikian harus dipahami konteks hubungan atau relasi54. 2.5.3.
Sebab-Sebab Alienasi Berdasarkan pengertian alienasi menurut Erich Fromm yang
mempersoalkan hubungan atau relasi yang menyebabkan manusia teralienasi. Adapun dimensi-dimensi tersebut adalah sebagai berikut55: 1. Keterpisahaan Keterpisahan disini harus dipahami sebagai kondisi psikologis yang menunjukkan adanya jarak dan sekaligus batas yang merupakan pemisahannya.
53
Ibid., hal. 25-32 Ibid., hal. 33 55 Ibid., hal. 34-39 54
55
2. Ketidakberdayaan Ini diambil dari konsep Marx, dimana ia menggambarkan keadaan kaum buruh pada zamannya yang tidak berdaya dalam menentukan hidupnya sendiri. Ketidakberdayaan kaum buruh tampak lebih nyata karena adanya majikan, sedangkan ketidakberdayaan pada kaum majikan memang merupakan pilihannya sendiri. 3. Kecemasan Dimensi kecemasan dari alienasi ini menunjukkan kondisi, hubungan atau relasi manusia satu dengan lainnya yang semu. Rasa cemas bukannya didasarkan pada kondisi yang semestinya, manusia yang berdaya atau kemampuan, tetapi dibangun atas ketidakberdayaannya. 4. Kesemuan Perkembangan akal budi manusia dengan demikian mempengaruhinya dalam mengadakan relasi dengan sesama dan lingkungannya. Semua ditumpukan pada daya gunanya. Inilah yang disebut dengan relasi yang tidak murni lagi, tidak instrinsik. Relasi yang ada hanya instrumentalis dan ini disebut relasi yang semu. 5. Penolakan diri Dalam kehidupannya semua dimensi terus ada dan dipertahankannya. Dengan demikian secara aktif manusia membangun benteng-benteng untuk mempertahankan diri dalam kehidupan yang semu, yang terpisah. Dan ini berarti dia tidak mencari dirinya yang asli, ia justru menolak dirinya.
56
Menurut Marx, adapun sebab-sebab alienasi itu dapat dirinci sebagai berikut56: 1. Adanya
sistem
hak
milik
pribadi.
Sistem
ini
menimbulkan
pertentangan dengan membagi masyarakat kedalam kelas yang mempunyai dan tidak mempunyai alat produksi. 2. Sistem uang menunjukkan alienasi, karena dengan demikian manusia diasingkan “dari dalam” (suatu barang dihargai bukan karena kualitas yang dimilikinya, melainkan karena nilai utamanya) dan dari “sesama manusia” (hubungan antar manusia ditentukan oleh kebutuhan dan saling membantu, tetapi oleh uang pembayarannya). 3. Karya bukan lagi merupakan ekspresi kepribadian manusia dan pencerminan kecakapannya, tetapi sudah berubah menjadi kerja upahan dan barang dagangan. 4. Keuntungan diperoleh pengusaha didapat dari nilai lebih. Dengan demikian kuntungan menurut Marx hanyalah hasil penghisapan tenaga seorang buruh. 2.5.4.
Akibat Alienasi Menurut Marx, akibat alienasi itu dapat disebutkan57:
1. Alienasi menyebabkan seorang pekerja terasing dari produknya. Produk hasil pekerjaannya sendiri jatuh menjadi milik orang lain. 2.
Seorang pekerja menjadi terasing dari pekerjaannya itu sendiri. Buruh tidak dapat memilih macam pekerjaan yang disukainya tetapi diberi
56 57
Ibid., hal. 21-22 Ibid.,
57
macam pekerjaan yang tersedia dalam pabrik. Dengan demikian karya pekerjaan kehilangan artinya semula dan ia terasing dari dirinya sendiri. 3. Seorang pekerja menjadi terasing dengan sesamanya. Selama hak milik pribadi dipertahankan, maka fungsi sosial dari hak milik tidak dijalankan secara semestinya. 2.5.5.
Bentuk-Bentuk Alienasi Bentuk-bentuk alienasi yang dikemukakan oleh Melvin Seeman,
merupakan varians dari konsep-konsep alienasi yang secara jelas merujuk pada konsep-konsep alienasi yang telah dikemukakan, baik oleh Hegel, Marx maupun Erich Formm. Menurut Seeman, terdapat lima bentuk (varian) alienasi, yakni sebagai berikut58: 1. Powerlessness (ketidakberdayaan) Merupakan pandangan asli dari Karl Marx yang berasal dari kondisi para
pekerja
dalam
masyarakat
kapitalis.
Dapat
diartikan
powerlessness sebagai gejala yang menunjukkan keyakinan seseorang bahwa dengan hanya usahanya sendiri ia tidak akan berhasil memperoleh apa yang ia harapkan. 2. Meaninglessness (ketidakberartian) Manheim mengaitkan dengan terjadinya peningkatan “functional rationality”
yang
seiring
dengan
menurunnya
“substantial
rationality”. sederhananya individu cenderung dirangsang untuk 58
Melvin E. Seeman, “Urban Alienations: Some Dobious Theses from Marx to Mercuse”, Journal Personality and Social Psichology, vol. XIX, hal. 135-143
58
mempunyai
kerangka
berpikir,
bagaimana
secepat
mungkin
memperleh hasil akhir yang diinginkan. 3. Normlessness (ketiadaan norma) Jenis alienasi ini berasal dari konsep E. Durkheim tentang anomi. Didalam konsep tradisional anomi menunjuk pada suatu situasi dimana norma-norma sosial yang mengatur individu sudah tidak bisa dipakai sebagai pedoman aturan tingkah laku. 4. Isolation (terisolasi) Gejala ini menunjukkan kurangnya komitmen seseorang terhadap lingkungannya. Dalam arti kurang menghargai hal-hal yang dianggap bernilai tinggi oleh lingkungannya sebagaimana mestinya. 5. Self-Estrangement (pengucilan diri) Para sosiolog berpendapat bahwa orang-orang konforsis, yang melakukan sesuatu karena adanya sesuatu “alien purpose”, sehingga kepribadiannya seolah telah menjadi sekedar alat, adalah orang-orang yang teralienasi.
59
2.6.
Semiotika Semiotika modern mempunyai dua bapak, yakni Charles Sander Pierce
(1834-1914) dan Ferdinand De Saussure (1857-1913). Mereka tidak saling mengenal. Kenyataan bahwa mereka tidak saling mengenal, menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan yang penting, terutama dalam penerapan konsep-konsep, antara hasil karya para ahli semiotik yang berkiblat pada Pierce disatu pihak dan hasil karya para pengikut De Saussure dipihak lain. Ketidaksamaan itu terutama disebabkan oleh perbedaan yang mendasar, yakni Pierce adalah ahli filsafat dan ahli logika, sedangkan De Saussure adalah cikal bakal linguistik umum. Perbedaan istilah antara semiotika dan semiologi. Bahwa istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa dan menunjukkan pengaruh kubu De Saussure, sementara semiotik cenderung dipakai oleh mereka yang berbahasa inggris dan lebih tertuju pada kubu Pierce. Semiotika berasal dari kata seemion, istilah Yunani, yang berarti “tanda”. Disebut juga sebagai semeiotikos, yang berarti “teori tanda”. Menurut Paul Colbey, kata dasar semiotika diambil dari kata seme (Yunani) yang berarti “penafsir tanda”59. Semiotika atau semiologi adalah studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya memaknai “makna” yang terkandung didalamnya. Sehingga dalam semiotika hendak mempelajari bagaimana manusia memaknai hal-hal. Memaknai berarti bahwa
59
Nawiroh Vera, “Semiotika Dalam Riset Komunikasi”, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2014), hal. 2
60
objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengonstruksi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2003:15)60. Semiotika, sebagaimana dijelaskan oleh Ferdinand De Saussure dalam In General Liguistic (dalam Hipersemiotika, 2003), adalah “ilmu yang mempelajari peran tanda (sign) sebagai bagian dari kehidupan sosial”. Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di masyarakat. Oleh sebab itu semiotika mempelajari relasi diantara komponen-komponen tanda. Serta relasi antara komponen tersebut dengan masyarakat penggunanya 61. Rosadi Ruslan dikatakan dalam bukunya, tujuan analisis semiotika adalah menemukan makna tanda-tanda dan termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah teks tertentu, seperti pesan-pesan teks atau tokoh iklan, narasi film dan berita62. Menurut John Fiske, bahwa semiotika mempunyai tiga bidang studi utama, yaitu63: 1. Tanda Itu Sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. 2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat 60
Tommy Suprapto, “Pengantar Ilmu Komunikasi”, (Yogyakarta: Caps, 2011), hal. 95 Yasif Amir Piliang, “Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna”, (Jakarta: Jalasutra, 2003), hal. 47 62 Rosady Ruslan, “Metode Penelitian: Public Relations dan Komunikasi”, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 225 63 John Fiske, “Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komperhensif”, (Bandung: Jalasustra, 2006), hal. 60 61
61
atau budaya atau untuk mengeskploitasi selama komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya. 3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. Semiotik secara garis besar, semiotika digolongkan menjadi tiga cabang penyelidikan64: 1. Sintaktik Semiotika sintaktik menguraikan kombinasi tentang asal usul tanda tanpa memperhatikan makna atau hubungnnya dengan perilaku subjek atau secara singkat semiotika ini menganalisis tanda dan kombinasinya secara deskriptif. Sintaktik digunakan sebagai pertimbangan atas tanda, kombinasi tanda, penggabungan berbagai macam tanda sehingga menjadi tanda majemuk serta sebagai kajian tentang hubungan formal antara satu tanda dengan tanda lainnya. 2. Semantik Semiotika semantik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan makna atau hubungan yang disampaikannya. Studi ini mempelajari relasi antara tanda dengan signifikasi atau makna (sesuatu yang diacu oleh tanda itu). Dalam konteks semiotika struktural, semantik dianggap merupakan bagian dari semiotika.
64
Winfried Noth, “Handbook Of Semiotics = Semiotik”, diterjemahkan oleh Abdul Syukur Ibrahim, (Surabaya: Airlangga University Press, 2006), hal. 51
62
3.
Pragmatik Semiotika pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh
yang
meggunakannya,
serta
efek
tanda
bagi
yang
mengintrepertasikannya dalam batas perilaku subjek. Semiotika ini mempelajari hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda. Selain itu cabang ini juga mengkaji asal mula, penggunaan, serta efek tanda terhadap penggunanya. Ia berkaitan dengan nilai, maksud, dan tujuan dari sebuah tanda, yang menjawab pertanyaan: untuk apa dan kenapa, serta pertanyaan mengenai pertukaran nilai tanda. Burhan bungin dalam bukunya merangkum sekurang-kurangnya ada sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang, yaitu65: 1. Semiotik analitis, yakni semiotik yang menganalisis sistem tanda. Pierce menyatakan bahwa semiotik berobjekan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, objek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek tertentu. 2. Semiotik deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap disaksikan seperti sekarang. Misalkan langit yang mendung menandakan bahwa hujan tidak lama lagi akan turun, dari dahulu hingga sekarang tetap seperti itu. Namun dengan majunya ilmu pengetahuan, 65
Burhan Bungin, “Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya”, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 169-171
63
teknologi dan seni, telah banyak tanda yang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya. 3. Semiotik fauna (zoosemiotic), yakni semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antar sesamanya, tetapi juga sering menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia. Misalnya, seekor ayam betina yang berkotek-kotek menandakan ayam itu telah bertelur atau ada sesuatu yang ia takuti. Tanda-tanda yang dihasilkan hewan seperti ini, menjadi perhatian orang yang bergerak dibidang semiotik fauna. 4. Semiotik kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Telah diketahui bahwa masyarakat sebagai makhluk sosial memiliki sistem budaya tertentu yang telah turun-temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat dalam masyarakat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda-tanda tertentu yang membedakannya dengan masyarakat lainnya. 5. Semiotik naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Telah diketahui bahwa mitos dan cerita lisan, ada diantaranya memiliki nilai kultural tinggi. Itu sebabnya Greimas (1987) memulai pembahasannya tentang nilai-nilai kultural ketika ia membahas persoalan semiotik naratif. 6. Semiotik natural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan di hulu telah turun
64
hujan, dan daun pohon-pohonan yang menguning lalu gugur. Alam tidak bersahabat dengan manusia, misalnya banjir atau tanah longsor, sebenarnya memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam. 7. Semiotik normatif, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya ramburambu lalu-lintas. Diruang kereta api sering dijumpai tanda yang bermakna dilarang merokok. 8. Semiotik sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang berwujud kata maupun lambang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat. Buku Halliday (1978) itu sendiri berjudul Language Social Semiotic. Dengan kata lain, semiotik sosial menelaah sistem tanda yang terdapat dalam bahasa. 9. Semiotik struktural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa. 10. Aliran semiotik konotasi yang dipelopori oleh Roland Barthes. Para ahli semiotik aliran konotasi pada waktu itu menelaah sistem tanda tidak berpegang pada makna primer, tetapi mereka berusaha mendapatkannya melalui makna konotasi. 11. Aliran semiotik ekspansionis yang dipelopori oleh Julia Kristeva. Para ahli semiotik beraliran ekspansionis melakukan penelaahan menggunakan
65
konsep yang terdapat didalam linguistik ditambah dengan konsep yang berlaku dalam psikoanalisis, sosiologi. 12. Aliran semiotik behavioris yang dipelopori oleh Morris. Para ahli semiotik beraliran behavioris mengembangkan teori semiotik dengan jalan memanfaatkan pandangan yang berlaku dalam psikologi (misalnya pandangan Skinner) yang tentu saja berpengaruh dalam dunia linguistik. Kaum behavioris dalam linguistik membahas bahasa sebagai siklus stimuli, respons yang jika ditelaah dari segi semiotik adalah persoalan sistem tanda yang berproses pada pengirim dan penerima. Daftar macam-macam semiotik yang dijabarkan tadi belumlah lengkap karena memang tidak mungkin lengkap. Selama semiotik diterapkan untuk menganalisis gejala-gejala baru, tanda baru, akan terbentuk bidang baru pula.