BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketahanan Pangan Undang-undang no 7 tahun 1996 tentang pangan mengartikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sesuai Dengan pengertian dalam undang-undang tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat diatikan lebih lanjut sebagai berikut ( Suryana, 2004 : 103): 1. Terpenuhinya pangan yang cukup diartikan ketersediaan pangan. 2. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia dan benda / zat lain yang dapat menggangu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah agama. 3. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dapat diartikan pangan harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air. 4. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh oleh setiap rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Ketahanan pangan merupakan suatu sistem ekonomi pangan yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan, dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi dari ketiga subsistem tersebut.
Universitas Sumatera Utara
1. Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antar ekspor dan impor pangan. 2. Subsistem distribusi pangan mencakup akspek aksesibilitas secara fisik dan ekonomi atas pangan secara merata yang tercermin oleh harga dan daya beli masyarakat. 3. Subsistem konsumsi menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Ditinjau dari sistem kelembagaan pangan, terwujudnya ketahanan pangan dihasilkan oleh bekerjanya secara sinergis suatu sistem yang terdiri dari subsistem rumah tangga, subsistem lingkungan masyarakat, dan subsistem pamerintahan. Subsistem rumah tangga mencakup pengaturan pola konsumsi, pola pengadaan, pola cadangan; subsistem lingkunagn masyarakat mencakup pengaturan produksi, distribusi dan pemasaran; dan subsistem pemerintahan mencakup kebijakan, fasilitas dan pengamanan. Terpenuhinya pangan di suatu daerah mengurangi ketergantungan terhadap penyediaan pangan nasional sehingga akan memperkecil kemungkinan impor beras. Selain itu kelebihan produksi akan membantu penyediaan pangan daerah lain.
Universitas Sumatera Utara
2.1.1 Program Peningkatan Ketahanan Pangan Program ini bertujuan untuk : 1. Meningkatkan keanekaragaman produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan bersumber dari tanaman pangan, holtikultura serta produk-produk olahannya. 2. Mengembangkan kelembagaan produksi pangan yang mendukung peningkatan ketersediaan dan distribusi, serta konsumsi pangan. 3. Mengembangkan
usaha
bisnis
pangan
yang
kompetitif
yang
menghindarkan monopoli usahabisnis pangan. 4. Menjamin ketersediaan pangan dan gizi yang baik bagi masyarakat.
Sasaran program ini adalah :
1. Meningkatnya
produksi
dan
ketersediaan
pangan,
beras
secara
berkelanjutan serta mempertahankan swasembada pangan. 2. Meningkatnya keaneka ragaman dan kualitas konsumsi pangan masyarakat perkapita dan menurunnya konsumsi beras. 3. Meningkatnya sektor mutu pola pangan harapan dan berkurangnya keluarga rawan pangan dan gizi. 4. Meningkatnya pemanfaatan tehnologi produksi pangan dan pengolahan bahan pangan. 5. Meningkatnya kuantitas dan kualitas pangan yang dipasarkan
6. Meningkatnya partisipasi masyarakat dan investasi swasta dalam pengembangan bisnis pangan
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan Pokok meliputi :
1. Peningkatan produktivitas faktor – faktor produksi pangan beras dan non beras dari masyarakat petani 2. Mengembangkan prasarana dan sarana pendukung ketahanan pangan (melalui program pembangunan agenda ke lima membangun prasarana dan sarana daerah) 3. Memanfaatkan lahan tidur dan lahan kurang produktif yang mengacu pada rencana tata ruang wilayah. 4. Peningkatan bantuan tambahan pangan dalam jangka pendek kepada keluarga miskin/ rawan pangan 5. Pengembangan pengolahan persediaan pangan termasuk pengembangan lumbung desa dan pengembangan cadangan serta pengembangan budidaya serta perternakan. 6. Peningkatan penegakan hukum dalam pemanfaatan dan pelestarian sumber daya hayati. 7. Peningkattan upaya pengendalian hama, penyakit dan gulma secara terpadu. 8. Peningkatan kualitas SDM masyarakat dan petugas pertanian 9. Pengembangan prasarana dan sarana pertanian. 10 Pengembangan bengkel – bengkel alat mesin pertanian (alsintan) 11.Pembinaan kredit – kredit yang menunjang peningkatan ketahanan pangan.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Kebijakan Pertanian
Sistem otonomi daerah dan desentralisasi mendominasi serta populer dalam pelaksanaan tata kepemerintahan. Kewenangan tata kepemerintahan sebagian besar dilimpahkan kepada daerah. Sebuah pelimpahan kewenangan yang besar ini juga disertai tanggung jawab yang besar pula. Amanah UU No 22 tahun 1999 menegaskan pelaksanaan otonomi daerah diwujudkan dalam pemberian wewenang yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proporsional melalui pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta dilandasi prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Kebijakan
pertanian
tesebut
meliputi
pengembangkan
pertanian
berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif dengan optimalisasi sumber daya pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta mewndorong usaha-usaha pertanian yang efesien, berkeadilan dan kondusif terhadap investasi dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan PAD. Pembangunan Pertanian berperan besar dalam rangka penyediaan pangan untuk mendukung ketahanan pangan nasional dan menyumbang penerimaan devisa dan pendapatan produk domestik bruto daerah (PDRB). Revitalisasi pembangunan pertanian yang akan menentukan kondisi keamanan pangan amat tergantung kepada masalah sarana produksi termasuk pupuk. Di hampir seluruh Kabupaten/Kota di Sumatera Utara program pupuk bersubsidi masih bermasalah. Hal ini harus segera diakhiri
Universitas Sumatera Utara
dengan menindak tegas para pelaku penyimpangan agar program yang vital ini tidak gagal.Arah dari kebijakan pertanian tersebut diantaranya :
1. Meningkatkan Ketahanan Pangan serta meningkatkan pendapatan petani,diarahkan pada :
1) Peningkatan serta ketersediaan bahan pangan dengan cara intensifikasi, difersifikasi bahan pangan dan pengembangan agrobisnis didukung oleh sistem agropolitan.
2) Optimalisasi pemanfaatan, rehabilitasi dan pengembangan prasarana dan sarana Mendukung ketahanan pangan seperti prasarana, distribusi, transportasi, pergudangan, dan sarana produksi pupuk, benih, dan permodalan.
3) Peningkatan akses petani terhadap modal tehnologi, benih / bibit pasar dan informasi bisnis pangan serta peningkatan efesiensi tehnologi, benih/bibit, dan informasi bisnis pangan, melalui penyediaan kredit agribisnis dan penyerapan tehnologi spesifik lokasi.
4) Pengembangan dan pembinaan kemitraan usaha dan kelembagaan bisnis pangan serta pembinaan prilaku bisnis pangan sesuai kebutuhan pasar.
5) Koordinasi kebijakan dan pelaksanaan antara kabupaten/kota propinsi dan pusat.
Universitas Sumatera Utara
6) Pengembangan produk olahan (agroindustri) pangan karbohidrat. Dan protein dalam rangka diversifikasi pangan.
7) Pencegahan dan penanggul angan masalah pangan.
2. Meningkatkan pengembangan agribisnis tanaman pangan dan hortikultura diarahkan untuk :
1) Meningkatkan akses dan optimalisasi Sumber Daya lahan dan air bagi komoditi komersial.
2) Peningkatan akses terhadap modal.
3) Peningkatan akses terhadap saran dan prasarana
4) Meningkatkan penyediaan dan akses terhadap tehnologi
5) Repitalisasi penyuluhan
6) Meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan dan hortikultura (TPH)
7) Meningakatkan akses terhadap pasar.
8) Menumbahkan usaha agribisnis/agroindustri.
9) Peningkatan / perbaikan data statsitik tanaman pangan dan hortikultura.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Ketersediaan Beras 2.3.1 Produksi Beras Beras merupakan
bahan makanan pokok hampir seluruh masyarakat
Indonesia. Yang ketersediaannya sangat diharapkan untuk mencapai ketersediaan beras yang cukup, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Hal tersebut tercipta dari produksi padi yang siap untuk diproduksi menjadi beras. Menurut Suryana ( 2004:93)Terwujudnya ketahanan pangan menuntut agar seluruh rumah tangga dapat menjangkau kebutuhan pangannya dalan jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu. 2.3.2Teori Produksi Produksi merupakan proses pengolahan input menjadi output. Produksi pertanian merupakan kemampuan para petani dalam menghasilkan produk pertanian dengan menggunakan faktor produksi yang dimiliki . Dalam proses produksi yang bertujuan menghasilkan output harus menggunakan berbagai input. Menurut Kadariah ( 1994 : 99 )Dalam pengambilan keputusan produksi terbagi menjadi tiga jangka waktu yaitu : 1. Keputusan jangka pendek merupakan keputusan tentang bagaimana memanfaatkan pabrik dan alat-alat produksi yang ada dengan sebaikbaiknya.
Universitas Sumatera Utara
2. Keputusan jangka panjang merupakan keputusan tentang pemilihan pabrik dan alat-alat produksi dan proses produksi baru dengan melihat kemungkinan-kemungkinan teknik yang diketahui. 3. Keputusan jangka sangat panjang
merupakan keputusan tentang
bagaimana memberanikan diri atau menyesuaikan diri dengan penemuanpenemuan baru. Pada dasarnya faktor produksi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu : 1. Fixel input yaitu faktor-faktor produksi yang tidak dapat diubah dengan segera untuk memenuhi perubahan produksi yang diminta oleh pasar. Namun dalam jangka panjang input ini dapat diubah. 2. Variabel input yaitu faktor-faktor produksi yang dapat diubah dengan segera sesuai dengan perubahan produksi yang diminta oleh pasar. 2.3.3 Fungsi Produksi Fungsi produksi merupakan suatu fungsi yang menunjukkan hubungan antara tingkat output dengan input yang digunakan. Suatu fungsi produksi akan menggambarkan tentang metode produksi yang efisien secara teknis, dalam arti dalam metode produksi tertentu kualitas input yang digunakan adalah minimal dan begitu juga barang modal yamg lain. Metode produksi yang minimal merupakan hal yang diharapkan oleh semua produsen. Petani sebagai produsen hasil pertanian mengharapkan hasil yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan modal yang telah dikeluarkan.
Universitas Sumatera Utara
Secara umum fungsi produksi menunjukkan bahwa jumlah hasil produksi tergantung pada jumlah dan kualitas faktor produksi yang digunakan. Fungsi produksi dapat dinyatakan sebagai berikut : Q = f ( K,L,R,T ) Dimana:
Q : Output K : Kapital / modal L : Labour / Tenaga kerja R : Resources / sumber daya T : Teknologi
Persamaan tersebut merupakan suatu pernyataan matematik yang pada dasarnya berarti bahwa tingkat produksi suatu barang tergantung pada jumlah modal, jumlah tenaga kerja, jumlah sumberdaya alam, dan tingkat teknologi yang digunakan. Jumlah produksi yang berbeda-beda dengan sendirinya akan memerlukan berbagai faktor produksi yang berbeda-beda pula. Disamping itu, untuk tingkat suatu produksi tertentu, dapat pula digunakan gabungan factor produksi yang berbeda. Untuk produksi sejumlah hasil pertanian tertentu perlu digunakan tanah yang lebih luas apabila bibit unggul dan pupuk tidak digunakan; tetapi luas lahan dapat dikurangi apabila pupuk dan bibit unggul dan teknik bercocok taman modern digunakan.
Universitas Sumatera Utara
Fungsi produksi terbagi menjadi dua jangka waktu yaitu : 1. Fungsi produksi jangka pendek merupakan fungsi yang menunjukkan bahwa hanya variabel input yang dapat berubah untuk merubah output, sedangkan input tetap tidak dapat berubah. Dalam produksi jangka pendek dapat didefinisikan tiga konsep produksi yaitu : Total Product ( TP = Q ) yaitu total output yang dihasilkan oleh produsen dengan menggunakan input tertentu sedangkan input lain dianggap tetap. Sehingga : TP = f ( L ) Average Product ( AP ) yaitu rata-rata output yang dihasilkan oleh produsen dengan menggunakan inpu tertentu. Secara matematis APL Dapat dituliskan : APL= TP/L Marginal Product ( MP ) yaitu pertambahan terhadap total produk sebagai akibat pertambahan satu unit input yang dipakai sedangkan input lain dianggap konstan. Secara matematis dapat diformulasikan menjadi : MP =
2. Fungsi produksi jangka panjang. Dalam fungsi produksi jangka panjang telah menggunakan dua input produksi, baik input variabel maupun input fixel keduanya dapat mengalami perubahan. Hal ini dapat dituliskan :
Universitas Sumatera Utara
Q = f ( K, L ) K = Modal L = Tenaga kerja Penggunaan dua macam
input produksi yaitu K dan L dapat
diperoleh kurva Isoquant atau Isokuan disebut juga Isoproduk. Kurva Isoquant suatu kurva yang menunjukkan kombinasi dua jenis input K dan L yang dapat memberikan tingkat output yang sama ( Simbolon,2007 : 97). K
K
C
'
K 1
A
'' K
D
K 2
lq2
B
0
L 1
L
'
L 2
lq1 L''
L
Gambar 2.1 Kurva Isoquant Pada gambar 2.1 ( yang dapat diukur dengan pengertian kardinal ) dapat dihasilkan dengan menggunakan input K sebesar K1 dan input L sebesar L1 atau menggunakan input K sebesar K2 dan input L sebesar L2. apabila dihubungkan
Universitas Sumatera Utara
dengan titik-titik kombinasi, antara K dan L atau ditarik suatu garis dari A ke B ini disebut kurva Isoquant (lq1). Jumlah produk yang paling besar ditunjukkan pada isoquant yang paling tinggi seperti lq2. Untuk menghasilkan lq2 digunakan input K sebear k’ dan L sebesar L’ atau input K sebesar K’’ dan L sebesar L’’. hal ini akan menunjukka n output yang sama. Ciri-ciri dari kurva isoquant yaitu : 1. Mempunyai garis dari kiri atas kekanan bawah dengan kemiringan negatif. 2. Kurva cembung kearah titik origin. 3. Kurva isoquant tidak saling berpotongan. Isoquant dari fungsi produksi akan menunjukkan jenis teknologi yang digunakan dalam proses produksi. Pada kurva isoquant dapat digambarkan dengan menggunakan fungsi produksi “ Cobb-Douglas” dengan rumus sebagai berikut : Q = F ( K,L ) = AKaLb
A,a,b = bilangan konstan yang positif
2.3.4 Tahap-Tahap produksi Hukum penambahan hasil yang semakin berkurang dalam produksi jangka pendek dikatakan bahwa ada faktor produksi yang bersifat tetap ( fixel input) dan ada faktor produksi yang yang bersifat berubah ( variable input). Jika faktor produksi yang bersifat variabel tersebut terus menerus ditambah maka produksi total akan semakin meningkat hingga sampai pada suatu tingkat tertentu ( titik maksium), dan apabila sudah pada tingkat maksimum tersebut faktor produksinya
Universitas Sumatera Utara
terus ditambah produksi total akan semakin menurun. Ini berarti bahwa hukum tambahan hasil yang semakin berkurang ( The Low Of Diminishing Return ) mulai berlaku. Hukum hasil lebih yang semakin berkurang menyatakan bahwa apabila faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya ( misalnya tenaga kerja) terus menerus ditambah sebanyak satu unit, pada mulanya produksi total akan semakin banyak pertambahannya, tetapi sesudah mencapai suatu tingkat tertentu produksi tambahan akan semakin berkurang dan akhirnya akan mencapai nilai negatif. Sifat pertambahan produksi seperti ini menyebabkan pertambahan produksi total semakin lambat dan akhirnya ia mencapai tingkat yang maksimum dan kemudian menurun (Sukirno, 193) Output (Q) B
C TP
Tahap I
Tahap II
Tahap III
A 0
AP L1
L2
L3
MP
Labour ( L)
Gambar 2.2 Kurva Tahapan-Tahapan Produksi
Universitas Sumatera Utara
Keterangan gambar Tahap I berlaku hukum penambahan hasil yang semakin meningkat ( Low Of Increasing Returns). Tahap ini mencakup jarak penggunaan input variabel, dimana terlihat bahwa produk rata-rata meningkat. Yang ditunjukkan mulai dari titik origin (0) hingga ke titik B, dimana produksi rata-rata (AP) maksimum. Pada tahap ini AP mengalami kenaikan, MP positif dan MP lebih besar dari AP. Dengan kenaikan AP berarti biaya produksi per unit semakin kecil dengan semakin ditambahnya produksi. Dengan menggunakan anggapan bahwa faktor produksi tenaga kerja saja yang merupakan input variabel, sedangkan input lainnya adalah tetap, maka pada gambar diatas dapat dilihat bahwa, dengan semakin bertambahnya tenaga kerja yang digunakan, produksi total akan semakin naik dan kemudian mencapai titik maksimum yang akhirnya akan menurun. Pada kurva MP (marginal product) mula-mula naik kemudian mencapai titik maksimum dan akhirnya menurun yang akhirnya pula akan mencapai titik dimana MP-nya bernilai nol ( pada gambar terlihat MP = 0 jika TP = maksimum). Produksi total mencapai maksimum dan marginal produk = 0. Pada tahap I tidak ada pilihan lain bagi produsen yang rasional kecuali menambah jumlah tenaga kerjanya. Dalam tahap ini kita juga dapat melihat bahwa laju kenaikan produksi marginal semakin besar ( lihat kurva MP). Hal tersebut menjadi kemungkinan karena adanya spesialisasi faktor produksi tenaga kerja. Semakin banyak tenaga kerja yang digunakan semakin memungkinkan
Universitas Sumatera Utara
produsen melakukan spesialisasi tenaga kerja sehingga dapat meningkatkan produktifitasnya. Sementara itu produksi rata-rata pada tahap I terus meningkat hingga mencapai titik puncak pada saat penggunaan tenaga kerja sebanyak L₂ atau pada saat total produksi ( kurva TP ) berada pada titik belok A. dan pada saat itu kurva MP berpotongan dengan kurva AP. Pada kondisi demikian jika tenaga kerja terus ditambah lagi penggunaannya hingga mencapai L₃ atau masuk pada tahap II, maka total produksi terus meningkat hingga mencapai Q₃ atau mencapai titik optimum produksi. Pada tahap II tersebut pruduksi total terus meningkat sedangkan produksi rata-rata mulai menurun dan produksi marginal bertambah dengan proporsi yang semakin menurun pula hingga pada akhirnya produksi marginal mencapai titik nol. Hal demikian berarti berlaku hukum penambahan hasil produks i yang semakin berkurang ( Low OF Diminishing Return). Dan jika pada kondisi terssebut penggunaan tenaga kerja masih saja ditambah maka memasuki tahap III merupakan penambahan tenaga kerja yang akan menyebabkan turunnya total produksi. Jadi penggunaan tenaga kerja sudah terlalu banyak hingga produksi rata-rata menurun dan produksi marginal menjadi negatif. Oleh sebab itu tidak ada pilihan lain kecuali mengurangi penggunaan tenaga kerja. 2.3.5 Biaya Produksi Biaya produksi merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan output baik biaya implisit maupun biaya eksplisit. Biaya produksi dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Biaya produksi jangka pendek ( short run) yaitu suatu jangka waktu perencanaan yang cukup singkat sehingga produsen tidak mampu mengubah biaya-biaya produksi tetap ( fixel cost ) tetapi hanya dapat mengubah biaya variabel ( variable cost ). Analisis biaya jangka pendek terdiri dari dua konsep yaitu konsep total dan konsep sacara rata-rata dan marginal. Konsep total terdiri dari : a. Total fixel cost (TFC) atau biaya total tetap yaitu total biaya yang tetap jumlahnya dibayar oleh produsen walaupun berapa tingkat outputnya. Biaya ini juga dikeluarkan walaupun produsen tidak melakukan produksi. b. Total variable cost (TVC) atau biaya variabel total yaitu total biaya yang dikeluarkan produsen untuk membayar input produksi yang jumlahnya berubah sesuai dengan perubahan output yang diproduksi. c. Total cost (TC) atau biaya total merupakan penjumlahan dari biaya tetap total dengan biaya variabel total. TC = TFC + TVC Untuk konsep rata-rata dan marginal terdiri dari : a. Average fixel cost (AFC) atau biaya tetap rata-rata merupakan biaya tetap yang dibebankan pada setiap unit output yang dihasilkan. Untuk memperoleh nilai ini TFC dibagi dengan output yang dihasilkan.
Universitas Sumatera Utara
AFC = b. Average variable cost (AVC) atau biaya rata-rata merupakan total variabel cost yang yang dibagi dengan output yang dihasilkan atau semua biaya-biaya lain yang dibebankan pada setiap unit output yang dihasilkan. AVC = c. Average total cost (ATC) atau biaya total rata-rata merupakan biaya produksi dari setiap unit output yang dihasilakan. ATC = d. Marginal cost (MC) atau biaya marginal merupakan pertambahan terhadap biaya total sebagai akibat pertambahan satu unit output yang dihasilakn. MC = 2. Biaya produksi jangka panjang (Long run) yaitu suatu jangka waktu perencanaan yang cukup panjang bagi produsen sehingga baik fixel cost maupun variable cost dapat dirubah.
Universitas Sumatera Utara
Cost
TC TVC
TFC
0
Biaya
Q MC ATC AVC
AFC 0
Q
Gambar 2.3 Kurva Biaya Total, Rata-Rata dan Marginal dalam Jangka Pendek
Universitas Sumatera Utara
2.4 Luas Panen 2.4.1 Pengertian Luas Panen Luas areal panen padi adalah jumlah seluruh lahan yang dapat memproduksi padi. Areal panen yang memadai merupakan salah satu syarat untuk terjaminnya produksi beras yang mencukupi. Peningkatan luas areal panen padi secara tidak langsung akan meningkatkan produksi padi. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kondisi alam yang terjadi pada suatu musin tanam. Apabila kondisi alam bersahabat dalam artian tidak terjadi kekeringan maupun kabanjiran, maka dapat diharapkan terjadi peningkatan dalam luas areal panen padi, sehingga berpengaruh terhadap produksi beras. 2.4.2 Pengertian Lahan Menurut Sutanto (1979), lahan diperlakukan sebagai ruang atau tempat di permukaan bumi yang dipergunakan oleh manusia untuk melakukan segala macam kegiatan. Lahan menurut Supraptoharjo (1975), adalah suatu daerah tertentu di permukaan bumi termasuk ke dalamnya atmosfir, tanah, geologi, topografi, hidrologi, tumbuh-tumbuhan, dan hewan serta kegiatan manusia masa lalu dan masa sekarang yang mempunyai pengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia sekarang dan masa yang akan datang ( http://www.pdfsearcher.com/pdf/teori-lahan-produktif.html ). Dalam praktek budidaya pertanian sendiri sering menimbulkan dampak pada degradasi lahan sehingga dapat mengurangi produksi pertanian. Dua faktor penting dalam usaha pertanian yang potensial menimbulkan dampak pada
Universitas Sumatera Utara
sumberdaya lahan, yaitu tanaman dan manusia (sosio kultural) yang menjalankan pertanian. Diantara kedua faktor, faktor manusialah yang berpotensi berdampak positif atau negatif pada lahan, tergantung cara menjalankan pertaniannya. Apabila dalam menjalankan pertaniannya benar maka akan berdampak positif, namun apabila cara menjalankan pertaniannya salah maka akan berdampak negatif. Kegiatan menjalankan pertanian atau cara budidaya pertanian yang menimbulkan dampak antara lain meliputi kegiatan pengolahan tanah, penggunaan sarana produksi yang tidak ramah lingkungan (pupuk dan insektisida) serta sistem budidaya termasuk pola tanam yang digunakan oleh para petani. 2.4.3 Jenis-Jenis Lahan Pertanian Jenis-jenis lahan pertanian terbagi menjadi dua bagian yaitu : 1. Lahan sawah Yang dimaksud dengan lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang ( galengan ), saluran untuk menahan/menyalurkan air, yang biasanya ditanami padi sawah tanpa memandang dari mana diperolehnya atau status tanah tersebut. Termasuk di sini lahan yang terdaftar di Pajak Hasil Bumi, Iuran Pembangunan Daerah, lahan bengkok, lahan serobotan, lahan rawa yang ditanami padi dan lahan-lahan bukaan baru (transmigrasi dan sebagainya). Berdasarkan pengairannya lahan sawah dibedakan menjadi :
Universitas Sumatera Utara
1. Lahan Sawah Berpengairan (Irigasi). Yaitu lahan sawah yang memperoleh pengairan dari sistem irigasi, baik yang bangunan penyadap dan jaringan-jaringannya diatur dan dikuasai dinas pengairan PU maupun dikelola sendiri oleh masyarakat. Lahan sawah irigasi terdiri atas : •
Lahan sawah irigasi teknis.
•
Lahan sawah irigasi setengah teknis.
•
Lahan sawah irigasi sederhana.
•
Lahan sawah irigasi non PU
2. Lahan Sawah Tak Berpengairan (Non Irigasi) Yaitu lahan sawah yang tidak memperoleh pengairan dari sistem irigasi tetapi tergantung pada air alam seperti : air hujan, pasang surutnya air sungai/laut dan air rembesan. Lahan sawah non irigasi meliputi : •
Lahan sawah tadah hujan.
•
Lahan sawah pasang surut.
•
Lahan sawah lainnya (lebak, polder, rembesan, lahan rawa yang dapat ditanami padi dan lain-lain).
Universitas Sumatera Utara
2. Lahan Bukan Sawah Yang dimaksud dengan lahan bukan sawah adalah semua lahan selain lahan sawah seperti lahan pekarangan, huma, ladang, tegalan/kebun, lahan perkebunan, kolam, tambak, danau, rawa, dan lainnya. Lahan yang berstatus lahan sawah yang sudah tidak berfungsi sebagai lahan sawah lagi, dimasukkan dalam lahan bukan sawah.
2.4.4 Konversi Lahan Pertanian Sektor pertanian merupakan sektor yang strategis dan berperan penting dalam perekonomian nasional dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama dalam sumbangannya terhadap PDB, penyediaan lapangan kerja dan penyediaan pangan dalam negeri. Kesadaran terhadap peran tersebut menyebabkan sebagian besar masyarakat masih tetap memelihara kegiatan pertanian mereka meskipun negara telah menjadi negara industri. Sehubungan dengan itu, pengendalian lahan pertanian merupakan salah satu kebijakan nasional yang strategis untuk tetap memelihara industri pertanian primer dalam kapasitas penyediaan pangan, dalam kaitannya untuk mencegah kerugian social ekonomi dalam jangka panjang mengingat sifat multifungsi lahan pertanian. Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat mengurangi jumlah lahan pertanian, terutama lahan sawah, telah berlangsung sejak dasawarsa 90-an. Akan tetapi sampai saat ini pengendalian alih fungsi lahan pertanian belum berhasil diwujudkan. Selama ini berbagai kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian konversi lahan sawah
Universitas Sumatera Utara
sudah banyak dibuat. Setidaknya ada 10 peraturan/perundangan yang berkenaan dengan masalah tersebut. Tabel 2.1 Peraturan/perundangan terkait dengan alih-guna lahan pertanian No
Peraturan /Perundangan
Garis besar isi, khususnya yang terkait dengan alih guna lahan pertanian
1
UU no. 24/1992
Penyusunan RTRW harus mempertimbangkan budidaya pangan/ SIT:
2
Kepres No. 53/1989
Pembangunan kawasan industry, tidak boleh konversi SIT/ tanah pertanian subur:
3
Kepres No.33/1990
Pelarangan pemberian izin perubahan fungsi lahan basah dan pengairan beririgasi bagi kawasan pembangunan kawasan industry:
4
SE MNA/KPPN 4101851/1994
Pencegahan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaannon pertanian melalui penyusunan RTR
5
SE MNA/KPPN 4102261/1994
Izin lokasi tidak boleh mengkonversi sawah irigasi teknis (SIT)
6
SE/KBAPPENAS 5335/MK/9/1994
Pelarangn konversi lahan sawah irigasi teknis untuk non pertanian
7
SE MNA/KBPN 5335/MK/1994
Penyusunan RTRW Dati II melarang konversi lahan sawah irigasi teknis untuk non pertanian
8
SE MNA/KBPN 5417/MK/10/1994
Efisiensi pemanfaatan lahan bagi pembangunan perumahan
9
SE MENDAGRI 474/4263/SJ/1994
Mempertahankan sawah irigasi teknis untuk mendukung swasembada pangan
10
SE MNA/KBPN 4601594/1996
Mencegah konversi dan irigasi teknis mnjadi tanah kering:
Sumber : www.bappenas.go.id
Universitas Sumatera Utara
Seiring dengan proses pembangunan di Indonesia, masalah ketersediaan sumber daya lahan semakin terbatas. Prioritas kebijakan pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan investasi justru makin memacu proses industrialisasi dan memarjinalkan sektor pertanian. Karena ada anggapan pembangunan sektor industri lebih menguntungkan untuk berinvestasi dan memacu pertumbuhan ekonomi lebih cepat, sehingga pembangunan sektor pertanian terabaikan dan dianggap
sektor yang
inferior
yang
kurang
menguntungkan. Kondisi ini terus berjalan sampai dengan saat ini, di mana para pembuat kebijakan maupun perencana pembangunan cenderung lebih banyak mengadopsi teori-teori barat dengan berdasarkan pengalaman keberhasilan negara-negara Eropa dan Amerika. Hal ini berakibat sektor pertanian yang sebenarnya lebih cocok dengan iklim dan budaya masyarakat Indonesia (mayoritas tinggal di perdesaan) semakin terdesak, termasuk dalam penggunaan sumber daya lahannya. Kondisi ini dapat dilihat di dunia nyata bahwa makin pesatnya laju konversi lahan pertanian suburban dan produkt if beralih fungsi ke penggunaan non pertanian seperti industri dan permukiman. Proses terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian disebabkan oleh beberapa faktor. Kustiwan (1997) dalam Lestari (2009) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Faktor Eksternal. Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi. 2. Faktor Internal. Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan. 3. Faktor Kebijakan. Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian. Pasandaran dalam Lestari ( 2009) menjelaskan paling tidak ada tiga faktor, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan konversi lahan sawah, yaitu: 1. Kelangkaan sumberdaya lahan dan air 2. Dinamika pembangunan 3. Peningkatan jumlah penduduk Para pemilik atau pengguna lahan yang mempunyai hak kepemilikan lahan yang lebih luas lebih berpeluang mengalih fungsikan lahan mereka ke penggunaan lainnya, karena dengan semakin luasnya kepemilikan lahan maka banyak alternatif bagi penggunaan lahannya. Sementara mata pencaharian turut pula menentukan dalam perubahan penggunaan lahan, mereka yang bukan petani akan memiliki kecenderungan mengalih fungsikan lahan pertanian yang dimiliki ke penggunaan lainnya. 2.5 Harga Dasar Beras Menurut Ratna Anindita (2008), harga produk dibidang pertanian berbeda dengan harga produk dibidang industri dimana harga produk dibidang industri
Universitas Sumatera Utara
relatif konstan atau lebih banyak ditentukan oleh perusahaan, sedangkan harga produk pertanian relatif berfluktuasi karena produk pertanian mempunyai beberapa sifat yaitu: 1. Keadaan biologi di lingkungan pertanian, seperti hama dan penyakit begitu juga iklim menyebabkan output pertanian bersifat musiman dan tidak kontinu. 2. Adanya time lags (waktu yang terlambat ketika keputusan dalam menggunakan input dan menjual output) dibidang industri waktu ini sangat dekat. 3. Keadaan pasar, khususnya struktur pasar dan berbagai anggapan tentang pasar pertanian yang menyebabkan semakin tidak menentunya harga dibidang pertanian. 4. Dampak dari institusi, seperti BULOG dan komitmen perdagangan (antara lain pengurangan tarif dan lain-lain). 2.5.1 Kebijakan Harga Kebijakan harga dan non-harga untuk komoditas pangan telah lama dikenal dalam literatur ekonomi pertanian. Namun, kebijakan harga bagi kepentingan petani padi dan beras pertama sekali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1969. Sejak itu, kebijakan harga dan non-harga dilaksanakan secara bersamaan, sehingga Indonesia mampu meningkatkan produksi gabah yang tinggi. Kebijakan harga gabah/beras untuk produsen dapat terlaksana karena adanya pengadaan, dalam hal ini BULOG sebagai lembaga pengesekusi.
Universitas Sumatera Utara
Pengadaan
gabah/beras
dapat
terealisasi
karena
adanya
mekanisme
penyalurannya. Penyaluran beras pengadaan tersebut akan terhambat apabila kualitas gabah/beras tetap rendah. Kualitas gabah dan beras adalah salah satu kunci daya saing industri padi dan beras nasional. Oleh karena itu, kebijakan harga dan insentif pendukung lainnya perlu dirancang untuk saling memperkuat keterkaitan tersebut, sehingga mampu memperkuat industri primer (padi) dan industri sekunder (beras). Pemerintah mendorong petani untuk meningkatkan produksi melalui program bimbingan massal (BIMAS) pada pertengahan 1960an. Pada awalnya, pemerintah mendorong petani untuk meningkatkan produksi padi melalui kebijakan non-harga, seperti memperkenalkan varietas unggul padi, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, perbaikan pengairan, dan perbaikan teknik pertanian. Namun kebijakan non-harga saja ternyata belum cukup ampuh untuk mendorong petani meningkatkan produksi, karena harga gabah/beras yang diterima petani seringkali di bawah biaya produksi Pemerintah melalui Inpres no. 9 tahun 2001 mengganti kebijakan HDG( harga dasar gabah) menjadi Harga Dasar Pembelian Pemerintah ( HDPP ), dan selanjutnya diubah lagi menjadi Harga Pembelian Pemerintah ( HPP ) melalui Inpres No.2 tahu 2005. Kebijakan HPP memang berbeda dengan kebijakan HDG,walaupun keduanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu menyangga harga gabah supaya tidak anjlok utamanya pada musim panen raya melalui intervensi peningkatan permintaan pembelian harga gabah.
Universitas Sumatera Utara
Volume pembelian dan harga gabah pada kebijaka HPP telah ditentukan dengan kemampuan menajemen pemerintah (misalnya 2 juta ton beras dengan harga Rp 3550 per kg), sehingga diharapkan dengan jumlah pembelian sebesar itu, tekanan terhadap anjloknya harga gabah pada musim panen raya dapat dikurangi. Dengan demikian kebijakan HPP tidak menjamin bahwa harga gabah di pasar, utamanya pada panen raya, di atas HPP yang telah ditetapkan pemerintah. Kebijakan harga melalui jaminan harga dasar dapat memperkecil resiko dalam berusahatani, karena petani terlindungi dari kejatuhan harga jual gabah/beras di bawah ongkos produksi, yang sering terjadi dalam musim panen raya. Manakala resiko suatu usaha dapat ditekan sekecil mungkin, maka ketersediaan beras dari produksi dalam negeri lebih terjamin.
Universitas Sumatera Utara