3 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bahan Humat 2.1.1 Pengertian Bahan Humat Secara sederhana, senyawa humat adalah senyawa organik dalam humus yang tidak dapat didekomposisikan lagi. Senyawa humat mudah ditemukan pada bahan organik yang sedang terdekomposisi, sehingga senyawa ini dapat ditemukan jika terdapat bahan organik, baik di tanah, air, ataupun hasil sedimentasi (Hayes et al., 1989). Dewasa ini persenyawaan-persenyawaan humat didefinisikan sebagai zat bersifat amorf koloidal, berwarna kuning coklat, hingga kehitaman dan memiliki berat molekul relatif tinggi (Tan, 1993). Bahan organik tanah sering dibagi menjadi bahan tidak terhumufikasi dan terhumifikasi. Bahan yang tidak terhumufikasi adalah senyawa di dalam tanaman dan organisme lain yang memiliki ciri khas seperti karbohidrat, asam amino, protein, lipid, asam nukleat dan lignin. Fraksi yang terhumifikasi dikenal sebagai humus atau senyawa humat dan dianggap sebagai produk akhir dari dekomposisi tanaman (Tan, 1993) Menurut Tan (1998) bahan humat tidak hanya terdapat pada tanah, tetapi juga sungai, danau, laut dan sedimennya. Bahan humat juga terdapat pada lignit, leonardite, batubara, dan deposit geologi lainnya sebagai sumber untuk memproduksi humat secara komersial. Untuk itu, Tan (2003) membagi bahan humat menjadi lima kelompok yaitu: 1. Bahan humat terrestrial atau terrigenous. Bahan humat ini berada di dalam tanah, yang sebagian besar terdiri dari lignoprotein kompleks. Asam humat dan asam fulvat merupakan unsur utama bahan humat ini. Berdasarkan jenis monomer lignin, bahan humat ini dapat dikelompokkan menjadi: a) Kayu yang berasal dari pohon berdaun jarum. b) Kayu yang berasal dari pohon berdaun lebar. c) Rumput dan bambu.
4 2. Bahan humat
aquatic. Bahan humat ini berasal dari danau, laut, dan
sedimennya. Pada kelompok ini, sebagian besar terdiri dari asam fulvat dan sebagian kecil asam humat. Kelompok ini dapat dibagi menjadi: a) Bahan humat allochthonous aquatic, yang merupakan bahan humat yang dibawa dari luar ke dalam air. Bahan humat ini terbentuk di dalam tanah, kemudian tercuci dan masuk ke sungai, danau maupun laut. Meskipun perubahan fisik dan kimia terjadi yang disebabkan oleh lingkungan air, tetapi sifat bahan humat masih sama seperti bahan humat di dalam tanah, yang terdiri dari lignoprotein kompleks. b) Bahan humat autochthonous aquatic, yang dibentuk oleh organisme di dalam air. Sumber bahan humat ini adalah sampah organik dari plankton, rumput laut dan ganggang. 3. Bahan humat dari gambut atau endapan rawa. Bahan ini mengandung asam humat dan asam fulvat, tetapi kandungan asam humatnya lebih tinggi. 4. Bahan humat anthropogenic. Bahan humat ini berasal dari aktivitas pertanian, industri, peternakan, dan sampah sisa pembuangan. 5. Bahan humat yang berasal dari deposit geologi seperti lignit atau leonardite dan beberapa tipe batu bara. Pada kelompok ini sebagian besar terdiri dari asam humat. Bahan humat yang digunakan pada penelitian ini yaitu bahan humat yang berasal dari deposit geologi berupa batu bara muda (Gambar 1).
Gambar 1. Bahan Humat Hasil Ekstraksi dari Batu Bara Muda (Hak Milik Basuki Sumawinata).
5 2.1.2 Peranan Bahan Humat Humus dan bahan humat adalah komponen tanah yang sangat penting. Bersama-sama dengan klei, senyawa humat diketahui berperan terhadap sejumlah reaksi-reaksi kimia dalam tanah. Senyawa ini terlibat dalam reaksi-reaksi kompleks dan secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Secara tidak langsung, diketahui senyawa humat dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan memodifikasi kondisi-kondisi fisik, kimia dan biologi tanah. Secara langsung senyawa humat dapat merangsang pertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya terhadap metabolisme dan sejumlah proses-proses fisiologis. Persenyawaan humat juga berpartisipasi dalam proses pembentukan tanah dan berperan serta dalam translokasi atau mobilisasi klei, aluminium dan besi yang menjurus kepada pengembangan horizon spodik dan argilik (Tan, 1993). Tan (2003) menyebutkan bahwa bahan humat dapat mempengaruhi sifatsifat tanah baik secara fisik, kimia, maupun biologi yang diuraikan sebagai berikut: 1. Peran Bahan Humat terhadap Sifat Fisik Tanah. Pengaruh bahan humat terhadap sifat fisik tanah antara lain memperbaiki struktur tanah. Struktur tanah yang baik akan berpengaruh menyeimbangkan tiga komponen pembentuk tanah (padatan, air dan udara). Pengaruh bahan humat terhadap stuktur tanah yaitu membentuk dan mempertahankan struktur yang stabil dan dapat memberikan ruang pori dalam jumlah yang tepat untuk menyimpan air dan oksigen.
Bahan humat juga berperan sebagai agen
sementasi dalam pembentukan struktur tanah, terutama pada tanah berpasir. Pada tanah berliat bahan humat berperan membentuk struktur granular, sehingga kondisi fisik tanah liat yang kurang menguntungkan seperti terhambatnya aerasi, penetrasi dan pertumbuhan akar dapat dikurangi. 2. Peran Bahan Humat terhadap Sifat Kimia Tanah. Bahan humat dapat mempengaruhi sifat kimia tanah dengan berbagai cara karena bahan humat dapat menimbulkan berbagai reaksi kimia di dalam tanah. Reaksi kimia bahan humat secara umum dikendalikan oleh dua gugus
6 fungsional yaitu gugus -OH karboksil dan -OH fenolik. Senyawa humat memiliki nilai kapasitas tukar kation (KTK) yang tinggi. Senyawa humat mampu mengkelat logam beracun di dalam tanah. Aluminium dalam jumlah besar di dalam tanah dapat dikelat oleh senyawa humat, sehingga mampu mengurangi bahaya keracunan Al pada tanaman. Oleh karena itu, senyawa humat dapat berperan mengurangi dampak buruk dari logam berat dan zat beracun seperti pestisida dan xenobiotik lainnya. 3. Peran Bahan Humat terhadap Sifat Biologi Tanah. Perbaikan sifat kimia dan fisik tanah menciptakan situasi yang kondusif untuk menstimulasi perkembangan mikroorganisme tanah. Bahan humat merupakan bahan yang kaya energi dan memainkan peran penting dalam pertumbuhan tanaman dan siklus mikroba di dalam tanah. Perubahan yang ditimbulkan oleh bahan humat pada proses biokimia yaitu aktivitas dan perkembangan mikroba. Dua contoh penting peran bahan humat terhadap sifat biologi tanah yaitu pada siklus karbon dan siklus nitrogen. Bahan humat memainkan peran aktif dalam fiksasi dan pelepasan karbon organik. Dengan fiksasi karbon organik oleh bahan humat, maka karbon organik di dalam tanah tetap terjaga sehingga dapat mengurangi produksi CO2. Bahan humat memiliki kandungan karbon 50-57% yang sebagian besar relatif lebih tahan terhadap degradasi oleh mikroba. Bahan humat juga memiliki peran aktif dalam mempengaruhi siklus nitrogen. Berbagai senyawa nitrogenous misalnya asam amino, amina, peptida yang merupakan bagian dari sintesis bahan humat dilepaskan. Beberapa penulis menyebut hal ini sebagai proses immobilisasi. Selain berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah, bahan humat juga berpengaruh terhadap fisiologi tanaman. Sejumlah penemuan mengindikasikan bahwa bahan humat secara umum dapat merangsang respirasi dan fotosintesis pada tanaman. Penyemprotan bahan humat pada tanaman dapat meningkatkan respirasi pada beberapa tanaman seperti tomat, jagung, gandum dan labu. Bahan humat dapat meningkatkan pelepasan CO2, sehingga tanaman dapat lebih banyak menyerap CO2. Bahan humat juga berpengaruh terhadap fotosintesis tanaman. Pemberian bahan humat mampu meningkatkan kandungan klorofil daun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian bahan humat pada tanaman bit gula dan tomat
7 dapat meningkatkan jumlah klorofil daun. Dengan meningkatnya kandungan klorofil, maka proses fotosintesis dapat berjalan dengan baik dan mencegah terjadinya klorosis (Tan, 2003). Menurut Lestri (2006), semaian padi yang diberi bahan humat dengan dosis yang tepat memiliki tinggi tanaman yang lebih baik. Namun jika diberi secara berlebihan akan mengganggu pertumbuhan tanaman. 2.2 Padi 2.2.1 Morfologi dan Klasifikasi Tanaman Padi Padi merupakan tanaman berumput semusim yang batangnya berbentuk bulat, berongga dan beruas ruas. Daun terdiri dari helai daun yang menyelubungi batang. Bunga padi membentuk malai keluar dari buku paling atas dengan jumlah bunga tergantung varietas yang berkisar antara 50-500 bunga. Buah atau biji padi beragam dalam bentuk, ukuran, dan warnanya (Siregar, 1981). Buah padi/gabah terdiri dari sekam, bulir beras, endosperma dan embrio. Sekam terdiri dari modifikasi dua daun, yaitu palea dan lemma (De Datta, 1981). Menurut De Datta (1981), batang padi terdiri dari beberapa ruas. Pada ruas yang paling bawah dapat tumbuh/terbentuk anakan. Akar tanaman padi berupa akar serabut, yang terdiri dari dua macam akar, yaitu: 1. Akar seminal, yaitu akar yang tumbuh pada radikula (akar yang tumbuh pada saat benih berkecambah). Akar ini bersifat sementara. 2. Akar adventif, yaitu akar yang tumbuh pada ruas batang paling bawah. Akarakar ini menggantikan akar seminal. Klasifikasi tanaman padi menurut Grubben dan Partohardjono (1996) adalah sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Family
: Graminae (Poaceae)
Genus
: Oryza
Spesies
: Oryza sativa L
8 2.2.2 Lingkungan Tumbuh Tanaman Padi Di Indonesia, padi ditanam di seluruh daerah, mulai pantai sampai ke dataran tinggi di pegunungan. Umumnya padi diusahakan sebagai padi sawah dan sebagian kecil diusahakan sebagai padi gogo. Penyebaran pusat-pusat padi di Indonesia cenderung erat hubungannya dengan tipe iklim, khususnya curah hujan dan topografi wilayah. Di Jawa, pusat produksi padi sawah umumnya terdapat di dataran rendah sampai medium (Ismunadji et al., 1988). Faktor lingkungan yang penting untuk tanaman padi antara lain tanah/lahan dan iklim. Penguasaan tentang lingkungan tumbuh padi ini sangat penting untuk menentukan cara budidaya yang paling tepat dan menguntungkan. Terciptanya ragam budidaya padi dan teknologinya adalah upaya penyesuaian tanaman padi dengan lingkungan tumbuhnya (Fagi dan Las, 1988). Padi dapat ditanam pada berbagai tanah mulai dari tanah tergenang yang drainasenya buruk hingga yang drainasenya baik. Tanaman padi juga tumbuh pada berbagai kondisi iklim dan hidrologi yang berbeda, akibatnya terdapat berbagai karakteristik pedogenetik dan morfologi tanah sawah (De Datta, 1981). Segala jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup tersedia. Proses pembentukan profil tanah sawah adalah genangan air di permukaan, dan penggenangan serta pengeringan yang bergantian. Proses pembentukan profil tanah sawah meliputi berbagai proses, yaitu (a) proses utama berupa pengaruh kondisi reduksi-oksidasi (redoks) yang bergantian, (b) penambahan dan pemindahan bahan kimia atau partikel tanah, dan (c) perubahan sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi tanah, akibat penggenangan pada tanah kering yang disawahkan, atau perbaikan drainase pada tanah rawa yang disawahkan (Hardjowigeno, 2004). Pada ekosistem sawah, air sangat diperlukan. Hilangnya air dari ekosistem sawah diantaranya melalui transpirasi, evaporasi, dan perkolasi. Total air yang hilang berkisar antara 5.6-20.4 mm/hari, tetapi sebagian besar hasil pengamatan menunjukkan bahwa total kehilangan air berkisar antara 6-10 mm/hari. Untuk itu rata-rata curah hujan yang dibutuhkan tanaman padi yaitu 180-300 mm/bulan (Yoshida, 1981). Suhu udara juga mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman padi karena mempengaruhi fotosintesis dan respirasi. Ketidak seimbangan antara
9 fotosintesis dan respirasi dapat mengurangi bobot gabah (Yoshida, 1981). Suhu yang dibutuhkan tanaman padi berbeda-beda pada berbagai tahapan tumbuh padi (Tabel 1). Tabel 1. Kisaran Suhu Udara Optimum dan Kritis (°C) pada Tahap Pertumbuhan Tanaman Padi menurut Yoshida (1981). Kritis Stadia pertumbuhan Optimum Rendah Tinggi Perkecambahan 20-35 10 45 Perkembangan kecambah 25-30 12-13 35 Perakaran 25-28 16 35 Perkembangan daun 31 7-12 45 Perakaran 25-31 9-16 33 Inisiasi malai 15 Diferensiasi malai 15-20 38 Antesis-pembungaan 30-33 22 35 Pematangan 20-25 12-18 30 2.2.3 Siklus Hidup Tanaman Padi Tanaman padi biasanya berumur 3-6 bulan sejak berkecambah hingga panen, tergantung varietas yang digunakan dan lingkungan tumbuhnya. Pertumbuhan tanaman padi dibagi menjadi 3 fase yaitu: (1) vegetatif (awal pertumbuhan sampai pembentukan bakal malai/primordial), (2) reproduktif (primordial sampai pembungaan), (3) pematangan (pembungaan sampai gabah matang) (Yoshida, 1981). Fase vegetatif ditandai dengan terbentuknya anakan, tanaman bertambah tinggi, dan munculnya daun secara berkala. Anakan terbentuk ketika batang utama telah memiliki jumlah daun 5-6 helai. Jumlah anakan ini akan terus bertambah sampai jumlah anakan maksimum tercapai. Setelah jumlah anakan maksimum tercapai, bakal malai (primordia) muncul dan sebagian anakan akan mati (jumlah anakan maksimum berkurang). Jumlah anakan maksimum terus berkurang hingga jumlah anakan sama dengan jumlah malai (Yoshida, 1981). Menurut Vergara (1991), fase vegetatif dapat dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu: 1. Pembentukan anakan. Di daerah tropis, jumlah anakan maksimum tercapai 4060 hari setelah tanam, tergantung pada varietas, jarak tanam, dan tingkat kesuburan tanah. Jumlah anakan dan jumlah malai yang dihasilkan merupakan komponen hasil utama yang mendukung hasil gabah.
10 2. Pembentukan daun. Daun terbentuk satu helai per minggu pada batang utama, tetapi tergantung pada faktor lingkungan dan varietas yang digunakan. Varietas yang unggul di daerah tropis memiliki 14-18 daun, mirip dengan sebagian besar varietas di daerah beriklim sedang. Fase reproduktif ditandai dengan peningkatan tinggi tanaman, penurunan jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting, heading (keluarnya bunga atau malai), dan pembungaan (Yoshida, 1981). De Datta (1981) menyebutkan bahwa fase reproduktif terdiri dari beberapa tahapan, yaitu: 1. Pembentukan malai. Tahap ini dimulai ketika bakal malai sudah terbentuk. Pembentukan bakal malai dapat dilihat hanya dengan menggunakan mikroskop (Yoshida, 1981). Pembentukan malai pertama kali terjadi pada batang utama, kemudian pada anakan dengan pola yang tidak sama. Pembentukan malai dapat tertunda jika kebutuhan air tidak tercukupi. Pada varietas berumur pendek (105 hari), bakal malai mulai terbentuk sejak 40 hari setelah disemai dan akan terlihat setelah 11 hari setelah bakal malai terbentuk. 2. Pengembangan malai. Selama tahap pengembanagn malai, bulir padi dapat dibedakan dan malai memanjang ke atas di dalam selubung daun bendera. Malai terus berkembang secara bertahap. Ketika malai sudah berukuran 5 cm (7 hari setelah malai terlihat), jumlah bulir padi telah ditentukan. Pada tahap pengembangan malai ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu: a) Bunting. Malai muda terus bertambah ukurannya dan terus berkembang ke atas di dalam pelepah daun bendera yang menyebabkan pelepah daun mengembung. Pengembungan ini disebut bunting. b) Heading (keluarnya bunga) atau malai. Heading ditandai dengan munculnya ujung malai dari pelepah daun bendera. Malai ini akan terus berkembang sampai keluar seutuhnya dari pelepah daun. c) Pembungaan. Tahap ini dimulai ketika benang sari bunga yang paling ujung pada tiap cabang malai telah tampak keluar dari bulir dan terjadi proses pembuahan. Pembungaan terjadi sekitar 25 hari setelah inisiasi malai
11 terlihat. Pembungaan terus berlanjut sampai bulir pada malai yang paling dalam telah mekar. 3. Penyerbukan dan pembuahan. Pada tahap ini kelopak bunga terbuka. Pembungaan ini terjadi dengan cepat pada pagi hari dengan cuaca cerah, dan lambat pada cuaca lembab dan berawan. Pada proses pembungaan ini, benang sari memanjang, dan serbuk sari ditumpahkan ke kepala putik, kemudian kelopak bunga menutup. Fase terakhir yaitu fase pematangan. Di daerah tropis, fase pematangan (dari pembungaan sampai gabah matang) membutuhkan waktu 25-35 hari tergantung varietas yang digunakan. Sedangkan pada daerah temperate seperti Jepang, Australia dan Amerika fase pematangan membutuhkan waktu 45-60 hari (De Datta, 1981). Fase pematangan ditandai dengan penuaan daun, ukuran dan bobot butir meningkat, serta warna butir berubah. Selama butir terus berkembang, baik bobot basah maupun bobot kering terus meningkat. Menuju tahap gabah matang, bobot kering meningkat secara perlahan, sedangkan bobot basah menurun sebagai akibat dari hilangnya air (Yoshida, 1981).
Menurut De Datta (1981) fase
pematangan ini dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu: 1. Tahap gabah matang susu. Pada tahap ini, gabah mulai terisi dengan cairan kental berwarna putih susu. 2. Tahap gabah setengah matang. Pada tahap ini, isi gabah yang menyerupai susu, berubah menjadi gumpalan lunak dan akhirnya mengeras. 3. Tahap gabah matang penuh. Pada tahap ini, warna gabah berubah dari hijau menjadi kuning. Tahap ini berakhir jika 90-100% butir gabah telah berwarna kuning. Malai terus merunduk, gabah berwarna kuning dan mengeras. Pada saat yang sama, daun bagian atas, termasuk daun bendera menjadi tua dan mengering, namun untuk beberapa varietas, batang dan daun bagian atas tetap berwarna hijau.