BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teoritis 2.1.1. Koro Benguk Koro benguk dikenal dengan sebutan velvet bean dalam bahasa Inggris dan memiliki nama ilmiah Mucuna pruriens (L). Kultivar koro benguk, pada umumnya tahan terhadap kekeringan yang dapat ditanam pada lahan tandus dan digunakan sebagai penghasil biji. Manfaat tanaman koro benguk diantaranya adalah bijinya dapat digunakan sebagai bahan pangan, sebagai tanaman penutup tanah dan pakan ternak, serta dapat digunakan sebagai tanaman perintis pada lahan tandus (Supriyono, 2010). Menurut USDA Plant dalam Fatmawati (2011), klasifikasi koro benguk adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae (tumbuhan)
Sub Kingdom : Tracheobionta (berpembuluh) Superdivisi
: Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (berbunga)
Kelas
: Dicotyledoneae (berbiji belah)
Sub Kelas
: Rosidae
Ordo
: Fabales
Famili
: Fabaceae (suku polong-polongan)
Genus
: Mucuna
Spesies
: Mucuna pruriens (L). DC
Koro benguk merupakan tanaman menjalar atau merambat dengan panjang 3-18 meter dengan daun yang terdiri atas tiga helaian besar berbentuk oval dan lebih pendek dibanding tangkai. Bunga berwarna putih hingga ungu gelap yang tumbuh dalam 2-3 rantai tandan dengan panjang bunga 2,5-3,2 cm. Polong memiliki panjang hingga lebih dari 15 cm dan memiliki 3-6 biji per polong. Biji koro benguk berwarna bervariasi tergantung dari kultivarnya mulai dari belang-belang, putih, coklat, dan hitam (Supriyono, 2010). Kenampakan biji koro benguk putih dapat dilihat pada gambar 2.1.
5
Gambar 2.1. Biji koro benguk putih
Koro benguk adalah salah satu jenis kacang lokal yang belum banyak dikembangkan dalam pengolahan. Ditinjau dari nilai gizinya, kandungan gizi biji koro benguk tidak kalah dengan jenis kacang yang lain seperti kedelai yaitu memiliki kandungan karbohidrat dan protein yang cukup tinggi namun memiliki kandungan lemak yang rendah. Akan tetapi kacang koro benguk mengandung asam sianida dalam bentuk glikosida sianogenik yang bersifat toksik dan asam fitat yang merupakan senyawa anti gizi seperti tanin dan polifenol yang dapat menghambat pencernaan protein (Sudiyono, 2010). Komposisi perbandingan zat gizi yang terdapat pada biji koro benguk dan kedelai dapat dilihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1. Komposisi zat gizi pada biji koro benguk dan kedelai mentah dalam 100 gram bahan Koro benguk (mg) Kedelai (g) (1) (2) Protein 23,9-27,1 46,3 Lemak 4,7-5,1 19,1 Karbohidrat 54,6-55,3 28,5 Serat 1,8-2,4 3,7 HCN 5,1-10,8 Sumber: (1) Gandjar, dkk., 1973; (2) Mien, dkk., 1990 dalam Handayani, 1996. Komposisi zat gizi
Kasmidjo (1990) dalam Fitriasari (2010) menyebutkan bahwa koro benguk mengandung senyawa HCN (asam sianida) sebesar 0,01%. Akan tetapi, kandungan asam sianida dapat diturunkan sampai dibawah batas toleransi dengan menggunakan cara yang sederhana seperti melalui proses pengolahan dengan merendam biji koro benguk dalam air bersih selama 2448 jam dengan setiap 6-8 jam airnya diganti, pencucian, dan perebusan.
6
Pada umumnya, pengolahan koro benguk diawali dengan perendaman untuk menghilangkan kandungan sianida yang relatif tinggi dan dilanjutkan dengan perebusan atau pemanasan (Handajani, dkk., 2008; Yuniastuti, 2008). HCN dapat dibebaskan dengan cara hidrolisis melalui proses pengolahan seperti perendaman dan pengecilan ukuran melalui pengirisan dan penghancuran (Fitriasari, 2010). Mulyani (1999) menyatakan bahwa asam sianida dapat berkurang jumlahnya pada saat koro benguk dimanfaatkan untuk makanan dengan melalui tahap pengolahan, seperti perebusan dan perendaman karena HCN bersifat larut dalam air. Hasil pengamantan yang dilakukan menunjukkan kandungan HCN berada dibawah batas normal konsumsi HCN yaitu < 50 ppm atau mg/kg.
2.1.2. Asam Sianida (HCN) Glikosida sianogenik merupakan senyawa yang terdapat dalam bahan pangan nabati yang tersusun dari satu molekul glukosa dan komponen aglikon, serta terurai menjadi asam sianida (HCN) yang bersifat racun (Alma’arif, 2012; Priyatmoko, 2003). Glikosida sianogenik adalah salah satu bentuk sianida yang dalam jumlah kecil tersebar luas pada berbagai jenis tanaman. Konsentrasi yang tinggi ditemukan dalam beberapa jenis rumput tertentu, jenis umbi, dan beberapa jenis kacang (Palupi, dkk., 2007). Glikosida sianogenik memiliki nama senyawa yang berbeda pada setiap tanaman seperti amigladin pada biji almond, aprikot dan apel, dhurin pada biji shorgum, dan linamarin pada kara dan singkong (Winarno, 2004). Asam sianida dikeluarkan apabila bahan tersebut dihancurkan, dikunyah, diiris, atau rusak sehingga teroksidasi. Nok dan Ikediobi (1990) dalam Alma’arif (2012) memaparkan bahwa kerusakan mekanis yang terjadi akan mengakibatkan jaringan dan sistem sel rusak, senyawa alkaloid sebagai substrat yang berada dalam vakuola dan enzim dalam sitoplasma akan saling kontak dan mengalami reaksi enzimatis dengan bantuan enzim β-glukosidase membentuk glukosa dan senyawa aglikon. Senyawa aglikon kemudian dengan cepat akan mengalami pemecahan menjadi asam sianida (HCN) dan senyawa aldehid atau keton. Dalam Suciati (2012), secara umum reaksi
7
pembentukan asam sianida dari glikosida sianogenik digambarkan pada persamaan berikut: CH3 β-glukosidase O6H12C6
O
C
CN
C6H12O6 + HO
CH3 Glikosida sianogenik Glukosida sianogenik
β-glukosidase
CH3 C
CN
CH3 HCN + C = O
CH3 Glukosa
Aseton Aseton sianhidrin sianhirin
CH3 Asam Aseton Asam Aseton sianida sianida
Tergantung pada dosisnya, asam sianida dapat menyebabkan sakit sampai kematian karena sangat cepat terserap oleh sistem pencernaan dan masuk ke dalam darah apabila dicerna. Dosis lethal asam sianida pada manusia adalah 0,5-6 mg/kg berat badan (Priyatmoko, 2003). Gejala yang timbul akibat keracunan HCN pada dosis rendah dapat mengakibatkan sakit kepala, sesak pada tenggorokan, dada berdebar-debar, dan kelemahan otot. Sedangkan pada dosis tinggi dapat mengakibatkan mati rasa pada seluruh tubuh, pusing, pingsan, kejang, koma, dan akhirnya meninggal. HCN dapat menyebabkan kelumpuhan dan terjadi kegagalan pernafasan karena menekan sistem pernafasan saraf pusat, apabila tidak segera ditolong akan menyebabkan kematian (Amalia, 2011) Berikut batas maksimum kandungan asam sianida dalam produk pangan menurut SNI 01-7152-2006 ditampilkan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2. Batasan Kandungan Asam Sianida dalam Produk Pangan Produk pangan Makanan Minuman Pengecualian pada: - Kembang gula - Sari buah berbiji tunggal - Minuman beralkohol - Produk yang mengandung aneka jenis kacang dan umbi Sumber: Badan Standardisasi Nasional, 2006.
Batas maksimum 1 mg/kg 1 mg/kg 25 mg/kg 5 mg/kg 1% per volume 50 mg/kg
Menurut Mark dan Liener dalam Pambayun (2007), sifat-sifat asam sianida diantaranya adalah senyawa ini termasuk senyawa volatile yang tidak berwarna, memiliki bau menyengat seperti asam lainnya dan memiliki rasa yang pahit, serta memiliki titik didih 25,7oC. Dalam kondisi bebas HCN 8
sangat mudah larut dalam air, sedangkan dalam jaringan senyawa ini terakumulasi, namun cepat atau mudah menguap apabila terdapat pada suatu permukaan. Karena sifat kelarutannya yang tinggi dalam air, senyawa ini mudah dihilangkan dari bahan (Pambayun, 2007). Selain itu Winarno (2004) juga memaparkan bahwa HCN bersifat menguap di udara terutama pada suhu lebih tinggi dari 25oC.
2.1.3. Efek Pengolahan terhadap Kandungan N-total Nitrogen (N) merupakan unsur penting yang terkandung dalam protein yang membedakan dari karbohidrat dan lemak, akan tetapi tidak semua N berasal dari ptotein. Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O dan N. Protein merupakan zat makanan penting bagi tubuh yang berfungsi sebagai zat pembangun, pengatur, serta sebagai bahan bakar (Winarno,
1991).
Protein
merupakan
salah
satu
kelompok
bahan
makronutrien yang berperan lebih penting dalam pembentukan biomolekul daripada sebagai sumber energi (Sudarmadji, dkk., 1989). Protein dapat dihidrolisa atau diuraikan menjadi komponen yang lebih sederhana oleh air. Hidrolisa pada protein akan melepas asam-asam amino penyusunnya dan dapat dilakukan misalnya dengan asam seperti HCL dan H2SO4 6-8 N selama 12-48 jam, serta alkali seperti BaOH, dimana protein akan dihidrolisa sehingga menghasilkan sifat optis aktif yang tetap seperti di alam (Sudarmadji, dkk., 1989). Pengolahan pada bahan pangan bertujuan untuk meningkatkan daya cerna dan kenampakan, memperbaiki cita rasa, dan menekan/mematikan mikroorganisme yang tidak diinginkan dalam bahan pangan. Beberapa proses pengolahan yang mempengaruhi kandungan protein diantaranya adalah pemanasan, pendinginan, pengalengan, pengeringan, fermentasi,
dan
penambahan bahan kimia. Pemanasan yang dilakukan pada protein dapat menyebabkan denaturasi, kehilangan aktivitas enzim, perubahan kelarutan, perubahan warna, serta pemutusan ikatan peptida (Sugiran, 2007). Asrullah, dkk (2012) menjelaskan bahwa penambahan larutan asam dan pemanasan
9
pada suhu tinggi dapat mendenaturasi protein dan menurunkan daya cerna protein terhadap bahan makanan yang memiliki kandungan protein tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sundari, dkk (2015) menyatakan bahwa proses perebusan menggunakan suhu tinggi (90-100oC) menyebabkan penurunan kandungan protein pada tempe dan tahu berturut-turut sebesar 1,37% dan 3,74%. Penelitian yang dilakukan oleh Djaafar, dkk (2012) juga menyebutkan bahwa kandungan protein biji kerandang mengalami penurunan sebesar 17,54% setelah diberikan kombinasi perlakuan perendaman selama 24 jam dan perebusan selama 20 menit. Penetapan kandungan N-total dapat dianalisis menggunakan metode Kjeldahl dengan menggunakan prinsip penghitungan jumlah N yang terkandung dalam suatu bahan. Dalam Winarno (1991) menyabutkan bahwa penggunaan metode Kjeldahl akan berhasil baik apabila N dalam bentuk ikatan N-N dan N-O dalam sampel tidak terdapat dalam jumlah yang besar.
2.1.4. Metode pengurangan racun 2.1.4.1. Pemanasan Pemanasan merupakan salah satu proses pengolahan yang sering diterapkan pada hasil panen. Teknik pemanasan ada beberapa macam termasuk perebusan, pengukusan, pengovenan, dan penjemuran dibawah sinar matahari. Pemanasan yang dilakukan pada kedelai dimaksudkan untuk menginaktifkan enzim lipoksigenase yang menyebabkan bau dan rasa langu. Selain itu, pengukusan suhu 100oC selama 15-20 menit mampu menghancurkan daya racun hemaglutinin (menggumpalkan sel darah merah) pada kedelai (Koswara, 2009). Proses pemanasan dapat mengurangi atau menghilangkan aktivitas senyawa atau faktor anti gizi yang terdapat pada koro benguk berupa sianida dalam bentuk glikosida sianogenik (Yuniastuti, 2008). Proses perebusan dalam pembuatan tempe koro pedang dapat menurunkan sianida dan membuat tekstur koro menjadi lunak (Puspitasari, 2014). Perebusan yang dilakukan pada biji koro benguk selama 30 menit dapat menghancurkan kulit dan memudahkan pengelupasan kulit sehingga
10
HCN terlarut dalam air, serta mengoven pada suhu 60oC selama 5 jam dapat menguapkan HCN (Sudiyono, 2010). Pengeringan di bawah sinar matahari atau penjemuran dapat menurunkan kandungan racun sianida yang terkandung dalam bahan. Penelitian Aman (2007) membuktikan bahwa tindakan pengeringan dibawah sinar matahari efektif menurunkan kandungan sianida ubi hutan sebesar 48,28% dan kombinasi perlakuan pengeringan dan perendaman dalam air tawar mampu menurunkan sianida sebesar 68,24%. 2.1.4.2. Abu sekam Abu sekam merupakan hasil samping dari pembakaran sekam padi yang mengandung silikat (SiO2) sebagai komponen utamanya. Secara alami silikat dalam sekam terdapat dalam bentuk amorf dan tetap dalam bentuk demikian apabila sekam dibakar pada suhu 300oC – 500oC. Abu sekam dalam bentuk amorf digolongkan sebagai penukar kation golongan anorganik yang disebabkan memiliki kandungan silikat (SiO2) dan natrium oksida (Na2O) yang cukup tinggi, sehingga secara teoritis dapat digunakan sebagai penukar kation. Pembayun (2000) dalam Riyadi (2010) menyebutkan bahwa pengolahan pangan dengan menggunakan perendaman abu gosok atau abu dapur adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menghambat laju oksidasi racun dan menetralkan asam yang bersifat karsinogenik. Pemakaian abu khususnya abu sekam dapat menurunkan sianida pada bahan karena mempunyai kemampuan menyerap cairan sel dalam jaringan bahan keluar sehingga mempermudah keluarnya alkaloid dioskorin pada bahan gadung (Mulyani, 1990 dalam Riyadi, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Alma’arif (2012) menyebutkan bahwa abu dapat digunakan sebagai bahan penyerap karena abu mengandung unsur basa kuat seperti Ca dan K. Berbagai unsur yang terkandung dalam abu sekam dapat dilihat dalam tabel 2.3.
11
Tabel 2.3. Kandungan Berbagai Unsur dari Abu Sekam Padi Komposisi unsur Ca Mg Na K Si Sumber: Alma’arif, 2012.
Kandungan (%) 0,139233 0,1323 1,164367 1,691467 43,2531
Unsur Ca dan K yang terdapat dalam abu akan bereaksi pada HCN yang terkandung dalam umbi gadung dan O2 yang berada di sekitar tempat perendaman. Racun HCN akan bereaksi dengan basa kuat (CaO dan K2O) dan menghasilkan garam (CaCN dan KCN) yang bersifat mudah larut dalam air (Alma’arif, 2012). Reaksi yang terjadi pada saat pengabuan dapat dituliskan sebagai berikut: Ca2+ + O2 → CaO +
(1)
K + O2 → K2O
(2)
1. CaO + HCN → CaCN + H2O
(3)
2. K2O + HCN → KCN + H2O
(4)
Djaafar, dkk (2009) menjelaskan bahwa HCN yang terbentuk dalam bahan akan berikatan dengan Ca dalam bentuk Ca(OH)2 membentuk Ca(CN)2 yang mudah larut dalam air. Reaksi yang terjadi dapat dilihat sebagai berikut: CaO + H2O → Ca(OH)2 2 HCN + Ca(OH)2 → Ca(CN)2 + 2 H2O
2.1.4.3. Perendaman Pada berbagai jenis kacang, secara umum dilakukan perendaman sebelum proses pengolahan yang bertujuan untuk melunakkan biji, mengurangi bau langu dari biji yang diolah serta mereduksi lendir dan kotoran yang menempel pada keping biji (Anonim, 1977 dalam Supriyanti, 1997). Akan tetapi, Sundarsih dan Kurniaty (2009) mengatakan bahwa lama perendaman berpengaruh terhadap protein yang diekstrak. Pada proses perendaman, struktur selular biji akan mengalami pelunakan sehingga semakin lama perendaman proses dispersi protein dalam air semakin maksimal dan persentase protein tak terekstrak akan semakin sedikit.
12
Menurut Hadi (2012), perendaman bertujuan untuk menghidrolisis senyawa HCN yang bersifat mudah larut air serta mengoptimalkan kerja enzim dalam menghidrolisis glukosianida. Semakin lama proses perendaman maka semakin banyak HCN yang terlarut dalam air sehingga kandungan HCN dalam bahan semakin rendah. Paramita (2008) memaparkan bahwa, proses perendaman mampu menurunkan kandungan asam fitat pada biji mentah koro benguk, koro glinding, dan koro pedang. Selama perendaman terjadi proses difusi yang menyebabkan kandungan asam fitat pada koro menurun karena asam fitat yang terkandung dalam koro akan terlarut dalam air (Suhardi dan Kamarijani, 1985 dalam Pangestuti dan Triwibowo, 1996).
2.2. Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan kajian teori maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut: 1.
Perlakuan variasi waktu perendaman mempengaruhi kandungan asam sianida dan protein pada biji koro benguk. Semakin lama proses perendaman, maka kandungan HCN juga akan semakin rendah.
2.
Waktu perendaman yang mampu menurunkan kandungan HCN biji koro benguk hingga mendekati batas aman SNI 01-7152-2006 adalah perendaman 5 hari.
2.3. Definisi dan Pengukuran Variabel Untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap hipotesis yang dikemukakan, maka dibuat definisi dan pengukuran variabel sebagai berikut: 1. Asam sianida (HCN) adalah banyaknya asam sianida (HCN) yang terkandung dalam biji koro benguk yang diukur menggunakan metode destilasi (AOAC) pada biji koro benguk setelah dilakukan perlakuan perendaman. Kadar asam sianida dinyatakan dengan satuan mg/kg. 2. N-total adalah banyaknya N-total yang terkandung dalam biji koro benguk yang diukur menggunakan metode Kjeldahl pada biji koro benguk setelah dilakukan perlakuan perendaman. Kandungan N-total dinyatakan dengan satuan persen (%).
13