BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kanker Kanker merupakan suatu gangguan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol atau abnormal. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit kanker yaitu faktor genetik, karsinogen dan gaya hidup manusia. Apabila seseorang memiliki riwayat hidup dalam keluarganya yang pernah menderita penyakit kanker maka ada kemungkinan keturunannya juga akan mengalami penyakit kanker. Asher (2004) menjelaskan bahwa 5-10% dari semua kasus kanker yang ada disebabkan secara turun-temurun dalam satu riwayat keluaraga. Selain itu, faktor karsinogen dapat meliputi virus, hormon, zat kimia dan radiasi dan gaya hidup manusia yang tidak sehat juga dapat memicu timbulnya kanker dalam tubuh. Contoh gaya hidup yang tidak sehat diantaranya perokok aktif maupun pasif, pola makan yang tidak sehat, sering minum alkohol dan kurangnya olahraga (Abidin et al., 2014). Terdapat beberapa jenis kanker yang menyerang pada sistemik tubuh manusia. Salah satu diantaranya ialah glioblastoma multiforme yang merupakan tumor di dalam sel otak. Tumor ini memiliki pertumbuhan paling cepat jika dibandingkan dengan jenis tumor otak yang lain. Glioblastoma multiforme termasuk kanker otak dengan tingkat keganasan yang tinggi yaitu stadium 4 dan umumnya kanker ini diderita baik pria maupun wanita berusia 55-74 tahun. Seringkali glioblastoma multiforme berada pada bagian otak cerebral hemisphere yaitu bagian otak kanan maupun kiri, namun kanker ini juga dapat menyerang di bagian otak manapun bahkan mampu menyerang di bagian spinal cord yaitu urat saraf pada tulang belakang (Asher, 2004). 2.2. Terapi Kanker dengan BNCT Prinsip metode BNCT adalah adalah mengiradiasi
10
B dengan berkas
neutron (Rokhmadi et al., 2002). Metode BNCT dilakukan dalam 2 tahap, 8
9
pertama
10
pembawa
B dalam bentuk senyawa diinjeksikan ke dalam tubuh. Senyawa 10
B terdiri atas Sodium Borocaptate (BSH) dengan rumus kima
Na2B12H11SH dan Boronophenylalanine (BPA) dengan rumus kimia C9H12BNO4 yng mampu membawa
10
B menuju target kanker (Barth et al., 2012). Sel tumor
memiliki pembuluh darah yang lebih banyak maka dari itu konsentrasi
10
B yang
terdeposisi di dalam sel tumor akan lebih banyak jika dibandingkan sel sehat. Kedua, berkas neutron dengan range energi rendah baik termal maupun epitermal ditembakkan menuju target sasaran (Smith, 2000). Pada akhirnya neutron akan ditangkap dan diserap oleh inti 10B sehingga terjadi reaksi inti (Mofakham et al., 2014). Reaksi tangkapan neutron oleh inti
10
B dijelaskan pada persamaan 2.1.
Reaksi yang memiliki kebolehjadian tertinggi yaitu sebesar 93,9% menghasilkan partikel α dan inti 7Li dalam keadaan tereksitasi beserta energi sebesar 2,31 MeV. Inti 7Li dengan segera akan menuju ke keadaan dasar dengan memancarkan foton dengan energi 0,48 MeV (Deng et al., 2011, Rasouli & Masoudi, 2012, dan Zasneda et al., 2010).
(2.1) Untuk lebih jelasnya reaksi BNCT di dalam sel kanker dapat disajikan dalam Gambar 2.1. Pada Gambar 2.1. ditampilkan ilustrasi sel kanker yang mengandung
10
B beserta sel sehat. Sel sehat digambarkan berbentuk elips,
sedangkan sel kanker berbentuk tak beraturan. Berkas neutron menuju target sasaran. Perlu diperhatikan bahwa dalam satu lokasi sasaran terdapat sel sehat dan sel kanker. Oleh sebab itu, selain menuju ke sel kanker, berkas neutron juga akan melalui sel sehat, oleh karena itu neutron akan berinteraksi dengan unsur penyusun jaringan tubuh dan menghasilkan foton beserta energi yang
10
dideposisikan. Tidak menutup kemungkinan metode BNCT juga dapat memberikan efek negatif pada sel sehat di sekitar kanker (Monshizadeh et al., 2015 dan Ariyoshi et al., 2007). Timbulnya efek negatif pada sel sehat sekitar kanker dapat dipengaruhi oleh besaran Linear Energy Transfer (LET) yang dimiliki masing-masing partikel hasil reaksi BNCT maupun foton. LET merupakan besaran yang menunjukkan berkurangnya energi partikel dari suatu jenis radiasi ketika melalui materi. Partikel α dan inti 7Li hasil dari reaksi
10
B(n,α)7Li memiliki LET yang tingggi yaitu sebesar 150 KeV/µm-1 untuk
partikel α dan 175 KeV/µm-1 untuk inti 7Li. Karena energi partikel α bernilai 1,47 MeV dan inti 7Li bernilai 0,84 MeV maka jangkauan yang dimiliki partikel α dan inti 7Li di dalam jaringan tubuh sebesar 4,5-10 µm (Sauerwein et al., 2012). Jarak ini setara dengan diameter sel tunggal pada tubuh manusia (Mukawa et al., 2011) yaitu sebesar 10-20 µm (Smith, 2000). Oleh sebab itu partikel α dan inti 7Li hanya terlokalisir dalam sel kanker yang mengandung 10B saja (Edgecock et al., 2014). Partikel α inilah yang berperan besar membunuh sel kanker dengan tingkat kerusakan pada sel sehat sekitar kanker yang minim (Ariyoshi et al., 2007, Barth et al., 2005, dan Monshizadeh et al., 2015). Kesimpulan yang didapatkan dari uraian singkat mengenai BNCT adalah metode ini bersifat selective cell targeting (Stella, 2011 dan Mukawa et al., 2011) karena memiliki efek radiasi yang tinggi pada sel kanker (Zasneda et al., 2010) dengan tingkat kerusakan pada sel sehat sekitar kanker yang minim (Monshizadeh et al., 2015 dan Ariyoshi et al., 2007).
Gambar 2.1. Reaksi BNCT dalam Sel Tubuh (Mukawa et al., 2011)
11
2.3. Sumber Neutron Berbasis Siklotron Kyoto University Research Reactor Institute (KURRI) telah menyediakan teknik pengobatan kanker dengan menggunakan BNCT. Pelaksanaan BNCT dengan menggunakan sumber neutron berbasis reaktor sudah dimulai dari tahun 1974 hingga tahun 2011. Reaktor riset tersebut dinamakan Kyoto University Research Reactor (KURR) yang didirikan oleh KURRI (Mitsumoto et al., 2013). Pada tahun 2006, KURRI menjalin kerja sama dengan Sumitomo Heavy Industries (SHI) dalam rangka untuk mengembangkan sumber neutron untuk BNCT yang lebih baik yaitu sumber neutron berbasis akselerator (Mitsumoto et al., 2013). Akselerator berfungsi untuk mempercepat partikel bermuatan untuk mendapatkan energi tertentu dan ditembakkan pada target sehingga menghasilkan berkas neutron (Burian et al., 2006). Berdasarkan lintasan partikel, akselerator dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu akselerator dengan lintasan yang berputar dan linear. Contoh dari akselerator dengan lintasan yang berputar ialah Siklotron, sedangkan contoh dari akselerator linear adalah Linac. Kedua jenis akselerator ini mampu untuk mempercepat partikel hingga didapatkan energi tertentu. Linac mampu mempercepat proton hingga energi maksimum sebesar 2 MeV dengan arus 2-4 mA (Sauerwein et al., 2012). Akselerator yang telah dibuat oleh SHI yaitu jenis Siklotron dengan tipe HM-30 yang mampu menghasilkan berkas proton dengan arus operasional 1 mA dan energi maksimum 30 MeV (Tanaka et al., 2009). Berkas proton yang dihasilkan nantinya ditembakkan ke material target yang mampu menghasilkan neutron. Tujuan dari pembuatan siklotron agar dapat menghasilkan berkas neutron epitermal yang lebih banyak jika dibandingkan dengan yang dihasilkan dari sumber neutron berbasis reaktor (Barth et al., 2012). Hal ini dapat dibuktikan melalui hasil penelitian oleh Tanaka et al (2009) mengenai perbandingan fluks neutron epitermal yang dihasilkan ketika menggunakan sumber neutron berbasis siklotron dan reaktor riset KURR yang ditunjukkan pada Gambar 2.2. Terlihat bahwa hasil fluks neutron epitermal paling banyak ketika menggunakan sumber neutron berbasis siklotron. Selain itu, laju dosis neutron cepat dan foton yang dihasilkan ketika menggunakan siklotron bernilai lebih rendah jika dibanding
12
dengan KURR yaitu sebesar 5,84×10-13 dan 7,75×10-14 Gy.cm2 sedangkan hasil yang diperoleh ketika menggunakan KURR secara berturut-turut sebesar 9,10×1013
dan 2,40×10-13 Gy.cm2. Reaksi inti yang dapat digunakan untuk menghasilkan neutron yang
memanfaatkan proton dari siklotron adalah 7Li(p,n)7Be dan 9Be(p,n)9B (Bayanov et al., 2015 dan Burian et al., 2006). Namun lebih disarankan untuk menggunakan reaksi 9Be(p,n) karena 9Be memiliki keunggulan lebih jika dibanding dengan lithium. 9Be memiliki titik leleh yang lebih tinggi dibanding dengan lithium yaitu sebesar 1287ºC untuk berilium, dan 181ºC untuk lithium. Sehingga material target dengan berilium akan lebih tahan panas dan tidak cepat meleleh (Hashimoto et al., 2015). Masing-masing neutron yang dihasilkan pada reaksi di atas dapat digunakan untuk iradiasi inti boron-10 yang telah diinjeksikan ke tubuh pasien dan pada akhirnya reaksi BNCT dapat terjadi (Rokhmadi et al., 2002).
Gambar 2.2. Perbandingan Spektrum Neutron Epitermal antara Siklotron dengan KURR (Tanaka et al., 2009)
13
2.4. Pemandu Berkas Neutron Reaksi 9Be(p,n) dengan proton berenergi 30 MeV mampu menghasilkan neutron dengan energi cepat. Untuk keperluan BNCT pada kanker dengan kedalaman tertentu di bawah permukaan kulit, maka dibutuhkan neutron epitermal yang berasal dari pemandu berkas neutron. Dengan meninjau energi neutron yang dihasilkan dari reaksi 9Be(p,n) adalah neutron cepat, maka dibutuhkan pemandu berkas neutron yang mampu menyediakan fluks neutron yang mencukupi untuk BNCT. Langkah ini dapat ditempuh dengan menggunakan Beam Shaping Assembly (BSA) agar fluks neutron epitermal dapat sesuai dengan parameter yang ditetapkan oleh IAEA, dan menggunakan Collimator Assembly supaya berkas neutron dapat terpusat menuju pasien. Desain BSA yang baik terdiri dari moderator, reflektor, kolimator, filter gamma, dan filter neutron termal (Monshizadeh et al., 2015). 2.4.1.Reflektor Reflektor merupakan dinding kolimator yang menyebabkan intensitas berkas neutron meningkat. Selain itu, reflektor dapat berperan sebagai penghambur neutron, sekaligus berfungsi agar neutron tidak bocor keluar dari pemandu berkas neutron (Jarahi et al., 2016). Material yang sesuai untuk reflektor adalah material yang memiliki karakteristik tampang lintang atau kebolehjadian reaksi hamburan elastis yang besar dengan tampang lintang serapan yang kecil (Tanaka et al., 2009). Material yang direkomendasikan oleh IAEA sebagai reflektor adalah Pb dan Bi (Rorer et al., 2001 & IAEA, 2001). 2.4.2.Moderator Moderator merupakan komponen utama untuk mendapatkan fluks neutron epitermal yang cukup untuk terapi BNCT dengan tetap memperhatikan fluks neutron epitermal yang direkomendasikan oleh IAEA. Bagian ini berfungsi untuk menurunkan energi neutron cepat menjadi neutron epitermal. Mengingat bahwa hasil terbesar dari reaksi proton dengan 9Be adalah neutron cepat, maka dipastikan bahwa moderator sangat diperlukan di dalam sistem pemandu berkas neutron
14
(Rorer et al., 2001). Material yang cocok untuk moderator adalah material yang memiliki karakteristik tampang lintang hamburan non-elastik yang tinggi untuk neutron cepat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hashimoto et al (2015) material moderator yang cocok untuk reaksi 9Be(p,n) pada range energi proton 830 MeV adalah CaF2, MgF2, dan AlF3. 2.4.3. Filter Sistem pemandu berkas neutron untuk BNCT memerlukan filter yang terdiri atas filter neutron dan filter ɣ. Adapun jenis filter neutron yang digunakan adalah filter neutron termal dan filter neutron cepat. Filter neutron merupakan bagian pemandu berkas neutron yang memiliki kemampuan untuk menahan neutron cepat beserta neutron termal, dan mampu meloloskan neutron epitermal. Material yang direkomendasikan sebagai filter neutron ialah material yang memiliki karakterisitik tampang lintang serapan untuk neutron termal dan neutron cepat yang tinggi. Material tersebut diantaranya LiF dan Cd. Material LiF mampu menyerap neutron dengan energi <10 eV dan mampu mengurangi neutron dengan energi >10 keV. Sedangkan material Cd secara efektif mampu untuk menyerap neutron termal (Katarzyna, 2009). Filter neutron cepat berfungsi untuk mengurangi komponen neutron cepat. Kandidat material yang dapat digunakan sebagai filter neutron cepat ialah material yang memiliki kemampuan menyerap neutron cepat yang besar diantaranya material Fe dan Pb (Sato et al., 2014). Filter ɣ berfungsi menyerap atau meminimalisir sinar ɣ yang kemungkinan terjadi pada sistem pemandu berkas neutron. Material yang direkomendasikan sebagai filter ɣ adalah material Pb dan Bi. Kedua material ini memiliki densitas atom yang besar dan mampu menahan sinar ɣ. Namun kelemahan dari komponen ini adalah kemungkinan pengaruh yang terjadi saat berkas neutron melewati material filter ɣ adalah menurunnya intensitas berkas neutron itu sendiri. Menurut Rorer et al (2001) material Bi lebih baik dalam meloloskan neutron epitermal jika dibanding dengan material Pb.
15
2.5. Berkas Neutron dalam BNCT 2.5.1. Penggunaan Neutron dalam BNCT Pada dasarnya neutron dapat dibagi menjadi 3 rentang energi yaitu neutron termal, neutron epitermal dan neutron cepat. Neutron termal yaitu neutron dengan rentang energi kurang dari 1 eV, neutron epitermal yaitu neutron dengan rentang energi antara 1eV hingga 10 KeV, dan neutron cepat yaitu neutron dengan rentang energi lebih dari 10 KeV (Sentinuwo, 2014). BNCT menggunakan neutron dengan 2 rentang energi yaitu neutron termal dan neutron epitermal. Neutron termal mampu menembus hingga kedalaman 2 cm dari permukaan kulit (Podgorsak, 2006) sedangkan neutron epitermal mampu menembus kedalaman hingga 8 cm dari permukaan kulit. Penggunaan neutron termal ketika target berada pada permukaan kulit, sedangkan target yang berada di bawah permukaan kulit dapat menggunakan neutron epitermal (Bisceglie et al., 1999 dan Sentinuwo, 2014). Contoh kasus kanker yang menggunakan terapi neutron termal ialah kanker kulit, sedangkan yang menggunakan terapi neutron epitermal ialah kanker yang berada pada kepala maupun leher manusia (Kumada, 2014). 2.5.2. Parameter Berkas Neutron oleh IAEA untuk BNCT Tujuan utama dari pembuatan desain sumber neutron dalam BNCT ialah menghasilkan berkas neutron yang cukup dengan faktor resiko terhadap sel sehat adalah minim. Pada tahun 2001 International Atomic Energy Agency (IAEA) merekomendasikan beberapa parameter mengenai berkas neutron yang cukup dengan faktor resiko pada sel sehat yang minim. Faktor resiko pada sel sehat berasal dari kontaminasi neutron cepat yang berlebih sehingga menimbulkan banyaknya reaksi tangkapan neutron cepat oleh atom tubuh, neutron termal yang keluar dari aperture kolimator yang tidak mampu menembus menuju sel kanker sehingga menimbulkan efek kerusakan pada kulit, dan radiasi foton yang berasal dari sumber neutron. Beberapa parameter standar yang direkomendasikan oleh IAEA untuk BNCT khususnya yang dapat ditampilkan melalui Tabel 2.2 (Kumada, 2014). Berkas neutron yang digunakan dalam BNCT harus memenuhi
16
standar yang telah direkomendasikan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) diantaranya fluks neutron epitermal, rasio fluks neutron termal dengan fluks neutron epitermal, rasio laju dosis neutron cepat dengan fluks neutron epitermal, dan rasio laju dosis gamma dengan fluks neutron epitermal. Kelima parameter ini untuk mode epitermal akan ditampilkan melalui Tabel 2.1. Tabel 2.1. Parameter Berkas Neutron oleh IAEA untuk BNCT (Monshizadeh et al., 2015) Parameter
Notasi
Rekomendasi
Satuan
IAEA Fluks neutron epitermal Rasio fluks neutron termal terhadap fluks neutron epitermal Rasio laju dosis neutron cepat terhadap fluks neutron epitermal Rasio laju dosis foton terhadap fluks neutron epitermal Rasio arus neutron terhadap fluks neutron total
Φ? ? ?
>1x10?
n. cm? ? . s? ?
Ḋ ? Φ? ? ?
<2,0 x 10? ? ?
Gy.cm? Gy.cm?
J
<2,0 x 10? ? ? >0,7
-
Φ?? Φ? ? ? D?̇ Φ? ? ?
<0,05
-
Φ?? ?? ?
Batas fluks neutron epitermal yang sesuai standar IAEA yaitu sebesar >109 n/cm2s (Monshizadeh et al., 2015). Batas fluks neutron epitermal yang disarankan ini berpengaruh pada waktu iradiasi ke pasien. Fluks neutron epitermal yang keluar dari aperture kolimator bernilai 109 n/cm2s akan memerlukan waktu iradiasi kurang dari 1 jam. Apabila fluks neutron epitermal bernilai 1010 n/cm2s atau lebih maka waktu radiasi akan lebih singkat yaitu sekitar 10 menit. Toleransi minimum fluks neutron epitermal yang masih diperbolehkan yaitu sebesar 5x108 n/cm2s, namun sebagai konsekuensinya waktu yang diperlukan untuk iradiasi akan berlangsung lebih lama yaitu lebih dari 1 jam (Kumada, 2014).
17
Berkas neutron termal yang keluar dari aperture kolimator sumber neutron akan memberikan efek kerusakan pada kulit dan scalp. Hal ini dikarenakan energi neutron bernilai sangat rendah dan tidak mampu menembus hingga sel kanker yang menjadi target. Pada akhirnya neutron hanya mampu menembus pada permukaan kulit dan akan berinteraksi dengan atom sel permukaan kulit. Oleh sebab itu, IAEA menyarankan bahwa neutron termal yang berasal dari sumber neutron harus diminimalisir. Standar yang direkomendasikan oleh IAEA yaitu rasio antara fluks neutron termal dengan fluks neutron epitermal <0,05 (Kumada, 2014). Sinar ɣ menimbulkan dosis ɣ yang bersifat non-selektif, berbeda dengan dosis α yang bersifat selektif hanya pada sel tumor saja. Dosis ɣ bisa terdapat di dalam sel kanker maupun sel sehat di sekitar kanker. Sinar ɣ dapat dihasilkan melalui sumber neutron yang digunakan. Untuk meminimalisirnya, maka diperlukan filter ɣ di dalam sistem sumber neutron yang digunakan. Standar IAEA yang direkomendasikan sebesar <2,0 x 10? ? ? Gy.cm? per neutron epitermal. 2.6. Interaksi Radiasi dalam BNCT Interaksi radiasi dengan materi yang terjadi dalam BNCT terdiri atas interaksi neutron, α, dan foton terhadap materi yang dapat dijelaskan sebagai berikut, 2.6.1. Interaksi Neutron Neutron merupakan partikel tidak bermuatan listrik atau netral, sehingga neutron tidak dipengaruhi oleh medan listrik. Karena neutron tidak berinteraksi dengan elektron orbit, maka neutron akan berinteraksi dengan inti. Timbulnya interaksi neutron dengan inti suatu atom dapat menyebabkan reaksi, diantaranya hamburan dan serapan. Reaksi hamburan terdiri dari hamburan elastis dan non elastis, sedangkan reaksi serapan terdiri dari tangkapan radiatif, particle ejection, fisi (DOE-HDBK, 1993). Hamburan neutron terjadi ketika sebuah neutron berjalan menumbuk inti target dan diserap setelah itu inti memancarkan sebuah neutron. Reaksi hamburan
18
elastis merupakan reaksi antara neutron dengan inti target dengan energi kinetik dan momentum bersifat kekal, tidak terjadi perpindahan energi ke dalam bentuk energi eksitasi inti target, meskipun ada sebagian energi kinetik yang diberikan ke inti target. Sedangkan untuk hamburan non elastis merupakan reaksi neutron dengan inti target dengan disertainya perpindahan energi ke dalam bentuk energi eksitasi inti target. Pada saat neutron bergerak menuju inti target, neutron masuk dan inti mengalami eksitasi. Kemudian neutron kembali keluar dengan energi kinetik yang berkurang, karena adanya transfer energi, dan pada saat yang bersamaan inti target kembali ke ground state dengan memancarkan foton (DOEHDBK, 1993). Reaksi serapan merupakan reaksi antara neutron dengan inti target yang menyebabkan neutron menghilang dikarenakan diserap oleh inti, dan kemudian membentuk inti baru bersama dengan pemancaran partikel bermuatan ataupun sinar γ. Jenis dari reaksi serapan yang pertama ialah radiative capture, terjadi saat neutron diserap oleh inti target, kemudian inti target mengalami eksitasi. Pada saat kembali ke ground state, inti target memancarkan sinar γ. Kedua, particle ejection merupakan reaksi yang ditandai dengan adanya neutron yang terserap oleh inti target, kemudian energi yang dimiliki neutron akan digunakan untuk membuat inti dalam keadaan eksitasi, yang selanjutnya inti akan kembali ke ground state sambil menghasilkan inti baru dalam keadaan eksitasi ataupun tidak dan juga partikel α (DOE-HDBK, 1993). Reaksi fisi merupakan reaksi terserapnya neutron oleh inti target yaitu inti berat yang mudah fisi. Setelah neutron terserap, maka inti akan berada dalam keadaan eksitasi. Karena energi eksitasi yang tinggi, maka inti dapat terbelah menjadi 2 bagian dan neutron baru (DOE-HDBK, 1993). 2.6.2. Interaksi α Partikel α merupakan partikel bermassa dan bermuatan positif yang memiliki daya ionisasi besar namun jangkauannya yang pendek. Partikel α sangat reaktif ketika bertemu dengan materi dan mampu mengionisasi di sepanjang lintasannnya. Peristiwa yang termasuk dalam interaksi α ialah ionisasi dan
19
eksitasi. Ionisasi merupakan peristiwa ketika partikel α bergerak menuju elektron orbit terluar yang kemudian keduanya mengalami interaksi Coulomb. Akibatnya elektron terluarnya menjadi elektron bebas dan atom mengalami ionisasi menjadi ion positif. Eksitasi merupakan peristiwa berubahnya atom dari keadaan stabil menjadi atom tidak stabil dikarenakan adanya perpindahan elektron dari tingkat energi rendah menuju ke tingkat energi lebih tinggi (DOE-HDBK, 1993). 2.6.3. Interaksi Foton dengan Materi Ketika foton mengenai suatu materi maka foton tersebut akan mengalami interaksi yang terbagi menjadi 3 bagian, yaitu Efek Fotolistrik, Efek Compton dan Produksi Pasangan (Beiser, 1990). a.
Efek Fotolistrik Efek ini terjadi ketika foton berinteraksi dengan elektron yang berada di
kulit lebih dalam pada atom, dimana elektron pada materi memiliki energi ikat sama atau lebih kecil dari energi foton. Energi foton yang datang sepenuhnya akan diserap oleh elektron atom. Energi yang diserap seluruhnya ini digunakan elektron untuk bebas dari tenaga ikat dan sisanya untuk pergerakan elektron sebagai energi kinetik (Beiser, 1990). b.
Efek Compton Efek
ini terjadi ketika energi foton berinteraksi dengan electron yang
letaknya di kulit atom yang paling luar. Elektron seperti ini memiliki energi ikat jauh lebih kecil daripada energi foton yang datang (bisa disebut elektron bebas atau hamper bebas). Energi foton yang datang sebagian akan diberikan kepada elektron bebas yang nantinya elektron akan dihamburkan. Akibatnya foton yang datang tadi akan bergerak dengan energi yang berkurang (Beiser, 1990). c.
Produksi Pasangan Efek ini akan terjadi apabila energi foton yang datang lebih dari 1,02 MeV.
Foton mendekati inti atom materi dan menghilang. Perubahan foton dikarenakan adanya medan listrik yang kuat, dan hasil dari efek ini ialah terbentuk satu pasang positron dan elektron, dengan masing-masing berenergi 0,51 MeV (Beiser, 1990).
20
Hasil dari ketiga interaksi yang telah dijelaskan adalah elektron dan ion positif. Elektron akan berinteraksi dengan atom tubuh secara langsung maupun tidak langsung. Interaksi langsung apabila energi elektron terserap oleh DNA secara langsung, sedangkan interaksi tidak langsung apabila elektron berinteraksi terlebih dahulu dengan air yang kemudian dilanjutkan berinteraksi dengan DNA. Perlu diketahui bahwa 80% tubuh manusia mengandung air, maka kebolehjadian interaksi terbesar terjadi secara tidak langsung. Hasil dari interaksi tidak langsung ini adalah ion H+ dan OH- beserta hidrogen peroksida yang bersifat toksik bagi tubuh. Efek yang diterima akibat interaksi yang terjadi adalah putusnya rantai susunan DNA dalam tubuh manusia yang mengakibatkan kerusakan DNA itu sendiri (Cember, 2009). 2.7. Tampang Lintang Neutron Besaran tampang lintang menunjukkan kebolehjadian reaksi antara neutron dengan inti (DOE-HDBK, 1993). Tampang lintang neutron terbagi 2 yaitu tampang lintang serapan dan tampang lintang hamburan. Tampang lintang serapan merupakan kebolehjadian neutron terserap oleh inti yang disimbolkan ? ?
sedangkan tampang lintang hamburan merupakan kebolehjadian neutron dihamburkan yang disimbolkan ? ? . Oleh sebab itu, tampang lintang mikroskopik
total neutron dapat dirumuskan pada persamaan (2.2) ? ? = ?? + ??
(2.2)
Tampang lintang hamburan terdiri dari tampang lintang hamburan elastis
dan non-elastis, sedangkan tampang lintang serapan terdiri atas tampang lintang fisi dan radiative capture. Boron-10 memiliki karakteristik tampang lintang tangkapan neutron termal yang tinggi. Unsur penyusun utama jaringan tubuh adalah 16O, 12C, 1H, dan
14
N
yang masing-masing juga memiliki tampang lintang tangkapan neutron termal sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2.2. Dapat dilihat pada Tabel 2.2, saat neutron memasuki jaringan tubuh manusia, yang memiliki kebolehjadian ditangkap/diserap paling besar adalah oleh
10
B yang terlokalisir di dalam sel
kanker. Sedangkan penyusun jaringan tubuh yang memiliki tampang lintang
21
tangkapan neutron termal tertinggi ialah 1H. Interaksi antara 1H dengan neutron termal menghasilkan 2H dengan pemancaran foton berenergi 2,2 MeV (Barth et al., 2013).
Tabel 2.2. Tampang Lintang Tangkapan Neutron (Sauerwein et al., 2012, Sopera, 2012 dan Smith, 2000) Nuklida
Neutron Termal
Neutron Cepat
B
3,835 × 103
1 × 101
O
1,90 × 10-4
1,43 × 10-5
C
3,70 × 10-3
9,88 × 10-7
H
3,32 × 10-1
3,90 × 10-4
7,50 × 10-2
9,77 × 10-5
10 16
12 1
Tampang Lintang Tangkapan (barn*)
14
N
*
1 barn = 10-24 cm2
2.8. Reaksi Utama dalam BNCT 2.8.1.Reaksi Tangkapan Neutron Termal oleh 10B Reaksi tangkapan neutron termal oleh inti
10
B telah dijelaskan melalui
gambar 2.1. Energi partikel α sebesar 2,31 MeV akan terdeposisi secara lokal di dalam sel kanker. Namun foton sebagai hasil dari reaksi tangkapan neutron termal oleh
10
B akan mendeposisikan energinya sebesar 0,48 MeV yang bersifat non-
lokal, artinya bahwa dosis foton tidak hanya terlokalisir di dalam sel kanker namun juga sel sehat sekitar kanker karena jangkauan yang dimiliki sangat besar (Sauerwein et al., 2012). 2.8.2. Reaksi Tangkapan Neutron oleh Unsur Penyusun Jaringan Tubuh Reaksi tangkapan neutron oleh atom tubuh terdiri atas reaksi tangkapan neutron termal oleh hidrogen dan reaksi tangkapan neutron termal oleh nitrogen. Reaksi 1H(n,ɣ)2H menghasilkan gamma sebesar 2,22 MeV, sedangkan reaksi
22
14
N(n,p)14C disertai dengan pelepasan energi sebesar 0,66 MeV (Smith, 2000).
Sedangkan atom penyusun tubuh lain yang memiliki tampang lintang serapan neutron termal yang lebih rendah adalah atom 12
12
C dan
16
O, dengan reaksi
C(n,α)9Be dan 16O(n,α)13C.
2.9. Dosimetri Besaran radiasi yang sering digunakan dalam bidang medis adalah dosis serap. Dosis serap (D) merupakan energi rata-rata (dE) yang diserap suatu materi yang tiap satuan massa materi (dm) tersebut. Dosis serap berlaku untuk semua jenis radiasi dan semua materi yang dikenainya dengan satuan internasional Gray (Gy) atau joule/kg (Cember, 2009). Persamaan yang menjelaskan mengenai dosis serap adalah sebagai berikut,
? =
??
??
(2.3)
Laju Dosis Serap merupakan dosis yang diserap suatu materi (D) tiap satuan waktu (t) yang disimbolkan sebagai ? ̇ (Cember, 2009). Laju dosis serap memiliki
satuan internasional Gy/jam atau Joule/kg.jam yang dapat dirumuskan sebagai berikut,
?̇ =
?
?
(2.4)
2.10. Simulasi Monte Carlo MCNPX dihasilkan dan dikembangkan oleh Laboratorium Nasional Los Alamos. Program ini menggunakan metode Monte Carlo yang merupakan metode perunut jejak atau langkah partikel secara acak mulai dari partikel itu hidup saat berasal dari sumbernya hingga partikel tersebut mati oleh karena terserap, terlepas, atau keluar dari sistem (Shultis & Faw, 2011 dan Bisceglie et al., 1999). MCNP merupakan software untuk membuat simulasi jejak dari berbagai jenis partikel dengan jangkauan energi yang besar. Langkah pembuatan simulasi
23
dengan software MCNP ialah pembuatan input file yang meliputi surface card yang merupakan batas geometri yang terdiri atas bidang datar (plane), lingkaran (sphere), tabung (cylinder), kerucut (cone), dan elips, kemudian pembuatan cell card yang berisikan nama material, nomor material, dan densitas material. Selain itu, ditambah pula pembuatan data card yang meliputi definisi sumber radiasi yang akan digunakan, jumlah partikel yang disimulasikan, definisi material dan dilanjutkan dengan pemilihan perintah tally (Reed, 2007). Perintah tally merupakan suatu perintah dalam simulasi untuk mengetahui nilai arus partikel, fluks, energi hingga dosis radiasi yang melalui suatu permukaan maupun volume. Adapun jenis tally yang disediakan di dalam MCNP yang dapat ditunjukkan pada Tabel 2.3 (Reed, 2007). MCNP memiliki tujuan khusus yaitu untuk perhitungan dalam bidang kajian fisika medis. Los Alamos National Laboratory juga mengeluarkan sebuah contoh untuk pemodelan tubuh manusia secara keseluruhan yang berfungsi untuk kalkulasi dosis radiasi internal dalam bidang medis atau Medical Internal Radiation Dose (MIRD) dengan menggunakan phantom ORNLMIRD (Reed, 2007). Tabel 2.3. Jenis Tally Perhitungan dalam MCNP (Thomas et al., 2003)
Tally
Mode Partikel
Deskripsi
Satuan
F1
:N, :P, :E
Arus yang melalui permukaan
Partikel
F2
:N, :P, :E
Fluks rata-rata yang melalui
Partikel/cm2
permukaan F4
:N, :P, :E
Fluks rata-rata yang melalui cell
Partikel/cm2
F5a
:N, :P
Fluks pada titik
Partikel/cm2
F6
:N, :P, :N,P
Energi terdeposisi rata-rata yang
MeV/g
melalui cell F7
:N
Energi terdeposisi fisi dalam cell
MeV/g
F8
:N, :P, :E, :P,E
Distribusi pulsa energi pada detektor
Pulsa