BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Bidang kajian perencanaan pengembangan wilayah mempunyai ruang lingkup dari berbagai disiplin keilmuan, yaitu ilmu-ilmu fisik (geografi, geofisik), ilmu sosial ekonomi (sosiologi, ekonomi), ilmu manajemen, hingga seni/estetika. Menurut Rustiadi at al. (2009), perencanaan pengembangan wilayah merupakan bidang kajian yang mengintegrasikan berbagai cabang ilmu untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan serta aspek-aspek politik, manajemen, dan administrasi perencanaan pembangunan yang berdimensi ruang atau wilayah. Proses kajian perencanaan dan pembangunan wilayah memerlukan pendekatanpendekatan yang mencakup: (1) aspek pemahaman, yaitu aspek yang menekankan pada upaya memahami fenomena fisik alamiah hingga sosial ekonomi di dalam dan antar wilayah. Oleh karena itu diperlukan pemahaman pengetahuan mengenai teknik-teknik analisis dan model-model sistem sebagai alat (tools) untuk mengenal potensi dan memahami permasalahan pembangunan wilayah. Selanjutnya (2) aspek perencanaan, mencakup proses formulasi masalah, teknikteknik desain dan pemetaan hingga teknis perencanaan, dan (3) aspek kebijakan, mencakup pendekatan evaluasi, perumusan tujuan pembangunan dan proses pelaksanaan pembangunan seperti proses politik, administrasi, dan manajerial pembangunan. Dengan demikian bidang kajian ini ingin menjawab tidak saja pertanyaan “mengapa keadaan wilayah demikian adanya”, tetapi juga menjawab “bagaimana wilayah dibangun”. Oleh karenanya akan mencakup aspek-aspek perencanaan yang bersifat spasial (spatial planning), tataguna lahan (land use planning), hingga perencanaan kelembagaan (structural planning) dan proses perencanaan itu sendiri (Rustiadi at al. 2009). Adanya kesadaran kritis tentang semakin terbatasnya sumber daya alam yang tersedia dan kebutuhan manusia yang terus meningkat mengharuskan pendekatan pemanfaatan sumber daya alam yang efisien. Lebih dari itu, pemanfaatan sumber daya tidak boleh mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Dalam konteks perencanaan dan pengembangan
6
wilayah, konsep ini dikenal sebagai pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yakni suatu konsep pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang (Rustiadi at al. 2009).
2.2 Penggunaan dan Penutupan Lahan Penggunaan lahan dan penutupan lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, tetapi sebenarnya mengandung penekanan yang berbeda. Penggunaan lahan (land use) mengandung aspek menyangkut aktifitas pemanfaatan lahan oleh manusia sedangkan penutupan lahan (land cover) lebih bernuansa fisik (Rustiadi at al. 2009).
Lillesand dan Kiefer (1990)
mendefinisikan penggunaan lahan (land use) berhubungan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan, sedangkan penutup lahan (land cover) lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Arsyad (2010) mengelompokkan penggunaan lahan ke dalam dua bentuk yaitu (1) penggunaan lahan pertanian yang dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut; dan (2) penggunaan lahan nonpertanian seperti penggunaan lahan pemukiman kota atau desa, industri, rekreasi, dan sebagainya. Sebagai wujud kegiatan manusia, maka di lapangan sering dijumpai penggunaan lahan baik bersifat tunggal (satu penggunaan) maupun kombinasi dari dua atau lebih penggunaan lahan.
Dengan demikian, sebagai keputusan manusia untuk
memperlakukan lahan ke suatu penggunaan tertentu, selain disebabkan oleh faktor permintaan dan ketersediaan lahan demi meningkatkan kebutuhan dan kepuasan hidup, penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karakteristik fisik lahan (suitability), perilaku manusia, teknologi maupun modal, faktor ekonomi (feasibility) yang dipengaruhi oleh lokasi, aksesibilitas, sarana dan prasarana, faktor budaya masyarakat (culture) dan faktor kebijakan pemerintah (policy). Menurut FAO (1976) dalam Arsyad (2010), penggunaan lahan dibedakan atas dua kelompok yaitu (1) penggunaan lahan secara umum (major kind of land
7
use), adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan atau daerah rekreasi; dan (2) penggunaan lahan secara terperinci atau dikenal sebagai Land Utilization Type (LUT), adalah tipe penggunaan lahan yang diperinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu daerah dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu. Contohnya: “tanaman pangan tadah hujan dengan padi sebagai tanaman utama, modal kecil, pengolahan lahan dengan ternak, banyak tenaga kerja, lahan kecil 2-5 hektar”.
2.3 Perubahan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan suatu wilayah sifatnya tidak permanen. Suatu lahan memiliki kemampuan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Dengan adanya kemampuan lahan yang dapat diterapkan untuk berbagai tujuan inilah suatu lahan tidak terbatas penggunaannya pada suatu tujuan tertentu saja. Bentuk penggunaan lahan dapat berubah sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan kebudayaan manusia. Perubahan pola pemanfaatan lahan ini akan memunculkan suatu fenomena dimana satu pemanfaatan lahan dikorbankan untuk pemanfaatan lainnya. Misalnya pemanfaatan lahan yang pada awalnya sebagai lahan pertanian berubah sebagai lahan permukiman. Dalam hal ini dikatakan lahan pertanian dikorbankan untuk pemanfaatan lainnya yaitu sebagai lahan permukiman. Bentuk penggunaan lahan terjadi dalam dua bentuk yaitu perubahan dengan perluasan atas suatu penggunaan tertentu dan perubahan tanpa perluasan untuk penggunaan tertentu. Perubahan penggunaan lahan pada suatu lokasi dapat terjadi dengan berubahnya penggunaan lahan tersebut dari suatu penggunaan tertentu ke penggunaan lainnya. Perluasan penggunaan lahan untuk tujuan tertentu sering terjadi di daerah pinggiran atau pedesaan dimana lahan masih “tersedia” dalam jumlah yang luas. Sedangkan perubahan tanpa perluasan wilayah sering disebut dengan pemadatan, dan terjadi pada wilayah perkotaan atau daerah-daerah tertentu dengan adanya faktor-faktor pembatas.
Pemadatan terjadi atas suatu
penggunaan tertentu. Perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lahan lain yang dapat bersifat
8
permanen maupun sementara, dan merupakan bentuk konsekuensi logis adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang.
Apabila penggunaan lahan untuk sawah berubah
menjadi pemukiman atau industri maka perubahan penggunaan lahan ini bersifat permanen dan tidak dapat kembali (irreversible), tetapi jika beralih guna menjadi perkebunan biasanya bersifat sementara. Perubahan penggunaan lahan pertanian berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat. Perubahan penggunaan lahan pertanian ke nonpertanian bukanlah semata-mata fenomena fisik berkurangnya luasan lahan, melainkan merupakan fenomena dinamis yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia, karena secara agregat berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat (Winoto et al. 1996). Informasi perubahan lahan pada suatu wilayah tertentu sangat penting artinya dalam perencanaan wilayah tersebut dimasa yang akan datang. Informasi penggunaan lahan dapat memberikan penjelasan pada pengguna tentang apa yang harus dilakukan terhadap lahan tersebut untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Disamping itu, angka “kecepatan” perubahan lahan pertanian kearah lahan pemukiman merupakan gambaran umum perbaikan taraf hidup dan kemampuan daya beli.
2.4 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu, teknik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu peralatan tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990). Pendeteksian data penggunaan lahan dan perubahannya dengan metode penginderaan jauh berupa citra satelit sudah umum dilakukan oleh berbagai kalangan, karena berbagai manfaat yang dimilikinya antara lain: 1. Membantu mengumpulkan informasi dari daerah yang sulit dijangkau dan memungkinkan untuk meneliti daerah yang luas sekaligus dalam waktu yang hampir bersamaan (synoptic view), sehingga hubungan antarwilayah dapat dianalisis;
9
2. Memungkinkan dilakukan ulangan pengamatan (repetitive) dengan cermat, dimana rekaman mengenai obyek, area atau kejadian yang sama dapat diulang dengan hasil yang dapat diperbandingkan; 3. Mampu merekam informasi secara kontinyu dan real time dimana informasi tersebut dikirimkan ke stasiun pengolahan bumi menghasilkan data foto dan digital, sehingga memungkinkan dapat diolah secara statistik; 4. Mempunyai kemampuan melihat lebih baik dari pada mata manusia, karena dapat menangkap panjang gelombang tak tampak oleh mata; dan 5. Biaya operasional relatif murah (cost effective) dibandingkan dengan survei secara langsung ke lapangan. Cara memperoleh obyek dalam penginderaan jauh adalah dengan mendeteksi
gelombang
elektromagnetik
yang
dipantulkan,
diserap
dan
ditransmisikan atau dipancarkan oleh masing-masing obyek yang datang padanya, sehingga energi pantulan atau pancaran yang diterima oleh sensor dapat dipergunakan sebagai ciri pengenalan obyek, daerah atau fenomena yang sedang diteliti (Lillesand dan Kiefer 1990). Oleh karena itu kegiatan mengindera obyek di permukaan bumi memerlukan peralatan seperti kamera, radiometer, skener (scanner) atau sensor lainnya yang diterima oleh suatu wahana pengangkut (platform). Salah satu aplikasi teknik penginderaan jauh yang dapat digunakan untuk memantau perubahan penggunaan lahan adalah data penginderaan jauh dari satelit Geoeye. Geoeye merupakan satelit dari Amerika Serikat yang menyediakan citra multispektral (MS) dan pankromatik (PAN) secara komersil. Salah satu produknya adalah citra Ikonos yang memiliki resolusi 1 – 4 meter. Dengan resolusi yang dikategorikan tinggi, penggunaan citra Ikonos dapat dilakukan untuk
pengenalan obyek atau pemetaan yang sangat detail. Pada tanggal 8
September 2008, diluncurkan satelit Geoeye-1 yang diorientasikan sebagai satelit sumber daya alam dengan ketinggian 478 mil (700 km). Satelit ini mampu menyajikan resolusi spasial terbaik untuk saat ini, yaitu 0,41 m. Kemampuan yang sejenis juga telah dirancang untuk satelit OrbView-4. Resolusi spasial 0,41 m itu lebih baik dibanding dengan satelit yang telah masuk di pasaran citra dunia, yaitu QuickBirds (0,64 m), yang citranya telah banyak digunakan di Indonesia. Citra
10
Geoeye-1 memiliki 3 jenis resolusi temporal, yaitu tinggi (<24 jam - 3 hari), sedang (4-16 hari), dan rendah (>16 hari). Demikian juga resolusi spektralnya ada 3 jenis, yaitu tinggi (220 band), sedang (3-15 band), dan rendah (3 band) 2).
2.5 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu teknologi informasi yang berkaitan dengan pengumpulan dan pengolahan data bereferensi spasial dan berkoordinat geografis (Barus dan Wiradisastra 2000). Menurut Prahasta (2005), Barus dan Wiradisastra (2000), SIG mempunyai empat komponen utama dalam menjalankan prosesnya, yaitu: 1. Data input: komponen ini bertugas mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber serta bertanggung jawab mengkonversi atau mentransformasikan data ke dalam format yang diminta perangkat lunak, baik dari data analog maupun data digital lain, atau dari bentuk data yang ada menjadi bentuk yang dapat dipakai dalam SIG. 2. Data manajemen: Komponen ini mengorganisasikan baik data spasial maupun nonspasial (atribut) ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah untuk dilakukan pemanggilan, updating dan editing. 3. Data manipulasi dan analisis: Komponen ini melakukan manipulasi dan permodelan data untuk menghasilkan informasi sesuai dengan tujuan. Komponen perangkat lunak yang memiliki kedua fungsi tersebut merupakan kunci utama dalam menentukan keandalan sistem SIG yang digunakan. Kemampuan analisis data spasial melalui algoritma atau pemodelan secara matematis merupakan pembeda suatu SIG dengan sistem informasi yang lain. 4. Data output: Komponen ini berfungsi menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data dalam bentuk (a) cetak lunak (softcopy) berupa produk pada tampilan monitor monokrom atau warna, (b) cetak keras (hardcopy) yang bersifat permanen dan dicetak pada kertas, mylar, film fotografik atau bahanbahan sejenis, seperti peta, tabel dan grafik, dan (c) elektronik berbentuk berkas (file) yang dapat dibaca oleh komputer. Menurut Barus dan Wiradisatra (2000) aplikasi SIG telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang, seperti pengelolaan dalam penggunaan 2)
www.geoeye.com
11
lahan di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan; dalam bidang bisnis dan perencanaan pelayanan, seperti analisis wilayah pasar dan prospek pendirian suatu bisnis baru; dan dalam bidang logistik dan transportasi, untuk pergerakan subyek/obyek (makanan dan minuman) dikaitkan dengan infrastruktur dan rutenya. Dalam bidang lingkungan aplikasi SIG digunakan dalam analisis erosi dan dampaknya, analisis daerah rawan banjir, kebakaran atau lahan kritis, dan analisis kesenjangan. Seperti juga penginderaan jauh yang telah diaplikasikan oleh berbagai kalangan dan kepentingan, maka aplikasi SIG telah digunakan baik oleh kalangan swasta, perguruan tinggi maupun pemerintah daerah. Aplikasi SIG untuk tugas dan kewenangan pemerintah daerah sebagian besar berkaitan dengan data geografis dengan memanfaatkan keandalan SIG antara lain: kewenangan di bidang pertanahan, pengembangan ekonomi, perencanaan penggunaan lahan, kesehatan, perpajakan, infrastuktur (jaringan jalan, perumahan, transportasi), informasi kependudukan, pengelolaan darurat, dan pemantauan lingkungan.
2.6 Evaluasi Lahan Lahan didefinisikan
sebagai
kesatuan sumber daya daratan yang
merupakan suatu sistem yang tersusun atas komponen struktural, yaitu karakteristik lahan, dan komponen fungsional, yaitu kualitas lahan (Worosuprodjo 2005). Sifat dan karakteristik yang berbeda pada lahan akan ditentukan oleh interaksi komponen sumber daya yang ada pada suatu lahan sehingga lahan yang satu dengan yang lain akan berbeda, baik dalam segi ruang dan waktu (Notohadiprawiro 1991). Oleh karena itu, lahan sebenarnya memiliki sifat yang dinamis yang akan selalu berkaitan dengan kepentingan dan keperluan manusia seiring dengan perubahan aktifitas manusia seperti perubahan sosial, politik, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Cara pandang akan lahan antara satu lokasi dengan lokasi lain tentu berbeda, terutama dalam peruntukan lahan, walaupun mungkin lahan memiliki karakteristik yang sama. Hal ini disebabkan oleh komponen pendamping
dari
lahan
berbeda
sehingga
interaksinya
pun
berbeda
(Notohadiprawiro 1992). Ruang lingkup sumber daya lahan meliputi segala kondisi, sifat, prosesproses karakteristik dan fenomena lahan yang dapat digunakan untuk memenuhi
12
kebutuhan manusia (Worosuprodjo 2005). Kondisi sumber daya lahan yang berbeda akan menentukan potensi lahan itu sendiri sehingga akan berpengaruh terhadap pemanfaatan/penggunaan lahan. Keberagaman sumber daya lahan akan sangat kompleks dalam susunan ruang dan waktu sehingga sumber daya lahan akan selalu bersifat dinamis. Untuk itu, evaluasi lahan sangat diperlukan agar sumber daya lahan dapat di inventarisasi sehingga potensi sumber daya lahan dapat diketahui dan dimanfaatkan sesuai porsinya. Evaluasi lahan dapat diartikan sebagai upaya menilai sumber daya lahan untuk penggunaan atau tujuan tertentu untuk memberikan masukan berupa arahan dalam perencanaan penggunaan lahan yang akan dikembangkan. Sitorus (1985) menjelaskan bahwa dalam evaluasi lahan ada tiga aspek utama yang dibutuhkan yaitu lahan, penggunaan lahan, dan aspek ekonomis. Evaluasi lahan dilakukan pada kondisi sekarang yang memungkinkan dapat diketahui perubahan yang terjadi pada lahan dan bisa dimanfaatkan untuk perencanaan penggunaan lahan kedepan (FAO 1976 dalam Worosuprodjo 2005). Cara-cara dalam evaluasi lahan dibagi menjadi dua, yaitu cara langsung dan tidak langsung (Sitorus 1985). Cara langsung dilakukan dengan melihat kenampakan di lapangan, namun hal ini akan terkendala dengan data. Data yang tidak lengkap menyebabkan evaluasi secara langsung sukar dilakukan sehingga cara langsung ini sudah banyak ditinggalkan. Cara tidak langsung dinilai memiliki keunggulan baik dari segi biaya maupun waktu, karena dalam cara ini digunakan suatu pembatas yaitu satuan pemetaan tanah dengan asumsi bahwa pada satu karakteristik akan menghasilkan produk yang sama ketika lahan digunakan untuk kepentingan tertentu. Penilaian lahan dapat dilakukan menggunakan tiga kriteria, yaitu kemampuan lahan, kesesuaian, dan nilai lahan (Sitorus 1985).
2.7 Kemampuan Lahan Kemampuan lahan merupakan karakteristik lahan yang mencakup sifat tanah (fisik dan kimia), topografi, drainase, dan kondisi lingkungan hidup lain. Berdasarkan karakteristik lahan tersebut, dapat dilakukan klasifikasi kemampuan lahan ke dalam tingkat kelas, sub kelas, dan unit pengelolaan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Lahan diklasifikasikan kedalam delapan kelas, yang ditandai
13
dengan huruf Romawi I sampai dengan VIII. Dua kelas pertama (kelas I dan kelas II) merupakan lahan yang cocok untuk penggunaan pertanian dan 2 kelas terakhir (kelas VII dan kelas VIII) merupakan lahan yang harus dilindungi atau untuk fungsi konservasi. Kelas III sampai dengan kelas VI dapat dipertimbangkan untuk berbagai pemanfaatan lainnya. Meskipun demikian, lahan kelas III dan kelas IV masih dapat digunakan untuk pertanian. Dalam tingkat kelas, kemampuan lahan menunjukkan kesamaan besarnya faktor-faktor penghambat. Tanah dikelompokkan kedalam kelas I sampai kelas VIII, dimana semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin jelek, berarti risiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah dan pilihan penggunaan lahan yang dapat diterapkan semakin terbatas.
Selanjutnya
kemampuan lahan dalam tingkat sub kelas adalah pembagian lebih lanjut dari kelas berdasarkan jenis faktor penghambat yang sama. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan kedalam beberapa jenis, yaitu: bahaya erosi (e), genangan air (w), penghambat terhadap perakaran tanaman (s), dan iklim (c). Sub kelas erosi (e) terdapat pada lahan dimana erosi merupakan problema utama. Kepekaan erosi dan erosi yang telah terjadi merupakan petunjuk untuk penempatan dalam sub kelas ini. Sub kelas kelebihan air (w) terdapat pada lahan dimana kelebihan air merupakan faktor penghambat utama. Drainase yang buruk, air tanah yang dangkal, dan bahaya banjir merupakan faktor-faktor yang digunakan untuk penentuan sub kelas ini.
Sub kelas penghambat terhadap
perakaran tanaman (s) meliputi lahan yang dangkal, banyak batu-batuan, daya memegang air yang rendah, kesuburan rendah yang sulit diperbaiki, serta garam dan Na yang tinggi. Sub kelas iklim (c) terdiri dari lahan dimana iklim (suhu dan curah hujan) merupakan penghambat utama. Jenis-jenis faktor penghambat ini ditulis di belakang angka kelas seperti berikut: IIIe, IIw, IVs, dan sebagainya, yang masing-masing menyatakan lahan kelas III yang disebabkan oleh faktor erosi (e), lahan kelas II yang disebabkan oleh faktor air (w) dan lahan kelas IV yang disebabkan oleh terhambatnya perakaran tanaman (s). Untuk penyederhanaannya, dalam penentuan kemampuan lahan pada tingkat kelas, karakteristik yang paling berpengaruh signifikan adalah relief.
14
Relief adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah, termasuk di dalamnya perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Sifat-sifat tanah yang umumnya berhubungan dengan relief adalah (Hardjowigeno 1993): 1.
tebal solum;
2.
tebal dan kandungan bahan organik horison A;
3.
kandungan air tanah (relative wetness);
4.
warna tanah;
5.
tingkat perkembangan horison;
6.
reaksi tanah (pH);
7.
kandungan garam mudah larut;
8.
jenis dan tingkat perkembangan padas;
9.
suhu; dan
10. sifat dari bahan induk tanah (initial material).
2.8 Daya Dukung Lingkungan Salah satu pendekatan untuk mengkaji batas-batas keberlanjutan suatu ekosistem adalah ecological footprint (tapak ekologi). Ecological footprint mengukur perminaan penduduk atas alam dalam satuan metrik, yaitu area global biokapasitas. Konsep ecological footprint pertama kali dikemukakan oleh Mathias Wackernagel
dalam
disertasi
yang
berjudul
Ecological
Footprint
and
Appropriated Carrying Capacity: A Tool for Planning Toward Sustainability pada Universitas British Columbia Tahun 1994. Saat ini, pendekatan tersebut menjadi satu referensi yang paling penting untuk analisis keberlanjutan global (Rees dan Wackernagel 1996 dalam Rustiadi at al. 2010). Dengan mengemukakan mengenai bagaimana mengurangi dampak penduduk terhadap alam, konsep ecological footprint menjadi isu dunia yang penting, setidaknya dalam dua cara pandang (McDonald dan Patterson 2003 dalam Rustiadi at al. 2010). Pertama, ecological footprint mengukur total biaya ekologis (dalam area lahan) dari suplai seluruh barang dan jasa kepada penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk tidak hanya secara langsung memerlukan lahan untuk produksi pertanian, jalan, bangunan dan lainnya, akan tetapi secara tidak langsung lahan pun turut mewujudkan barang dan jasa yang dikonsumsi
15
penduduk. Dalam cara pandang ini, ecological footprint dapat digunakan untuk membuat nyata biaya ekologis dari aktifitas penduduk.
Kedua, ecological
footprint sebagai indikator keberlanjutan, yaitu carrying capacity. Carrying capacity dalam ekologi adalah jumlah populasi maksimum yang dapat didukung oleh area lahan tertentu. Konsep ini merujuk untuk semua anggota ekosistem. Menjadi sangat menarik apabila populasi di sini adalah populasi manusia atau penduduk. Ecological footprint menghitung semua aktivitas manusia, baik yang menghasilkan barang produktif maupun limbah. Jika dipadankan dengan sektorsektor ekonomi, ecological footprint adalah semua bentuk pemanfaatan materi, informasi dan energi di alam. Oleh karena itu, ecological footprint harus dapat dikonversikan pada nilai yang setara dengan area bioproduktif yang bersesuaian dengannya. Dengan demikian, ecological footprint diekspresikan dalam satuan yang sama dengan biokapasitas, yaitu global hektar (gha). Atas dasar itu pula, ecological footprint merupakan apa yang diminta manusia untuk mendukung kehidupannya. Hasil dari permintaan itu adalah penggunaan barang, jasa, dan limbah yang terbuang di alam (Lenzen dan Murray 2003). Di sinilah konsep ecological footprint mendapatkan titik temunya dengan konsep daya dukung lingkungan (Rustiadi at al. 2010). Ecological footprint digunakan salah satunya untuk menghitung daya dukung lingkungan. Konsep daya dukung lingkungan (carrying capacity) dapat dipandang sebagai perkembangan lebih lanjut dari konsep kepadatan penduduk (population density). Kepadatan penduduk menunjukkan hubungan kuantitatif antara jumlah penduduk dan unit luas lahan. Untuk suatu daerah agraris, yang penting adalah kepadatan penduduk agraris yang menunjukkan jumlah penduduk yang tergantung hidupnya pada pertanian (jumlah petani dan keluarganya) per luas lahan pertanian. Konsep daya dukung menekankan kemampuan suatu daerah (wilayah) untuk mendukung jumlah maksimum populasi suatu spesies secara berkelanjutan pada suatu tingakt kebutuhan sumber daya yang diperlukan. Dengan demikian, kemampuan ini sangat tergantung pada kekayaan sumber daya yang dimiliki oleh suatu daerah dan tingkat kebutuhan sumber daya oleh suatu organisme. Dihubungkan dengan jumlah manusia (penduduk) yang mampu didukung
16
(ditampung) oleh lingkungan hidup di suatu wilayah secara berkelanjutan, konsep daya dukung menjadi lebih rumit karena peranan yang unik dari kebudayaan manusia. Terdapat tiga faktor kebudayaan yang saling terkait secara kritikal dengan daya dukung suatu wilayah (Ranganathan dan Daily 2003 dalam Rustiadi at al. 2010), yaitu: 1. Perbedaan-perbedaan individual dalam hal tipe dan kuantitas sumber daya yang dikonsumsi; 2. Perubahan yang cepat dalam hal pola konsumsi sumber daya; dan 3. Perubahan teknologi dan perubahan budaya lainnya. Di Indonesia, secara legal konsep daya dukung sudah diperkenalkan dalam Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Undang-Undang ini membedakan konsep daya dukung lingkungan atas daya dukung alam, daya tampung lingkungan binaan, dan daya tampung lingkungan sosial, dimana pengertian dari masingmasing konsep tersebut adalah sebagai berikut. 1. Daya dukung alam adalah kemampuan lingkungan alam beserta segenap unsur dan sumbernya untuk menunjang perikehidupan manusia serta makhluk lain secara berkelanjutan. 2. Daya tampung lingkungan binaan adalah kemampuan lingkungan hidup buatan manusia untuk memenuhi perikehidupan penduduk. 3. Daya tampung lingkungan sosial adalah kemampuan manusia dan kelompok penduduk yang berbeda-beda untuk hidup bersama-sama sebagai satu masyarakat secara serasi, selaras, seimbang, rukun, tertib, dan aman.