7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengawasan Bibliografis Sejalan dengan maraknya ledakan informasi yang dapat dilihat dari semakin banyaknya literatur dan terbitan yang dihasilkan, maka pengawasan terhadap sumber informasi dan pengetahuan yang dituangkan dalam sebuah terbitan merupakan hal yang perlu untuk dilakukan. Dalam hal demikian Perpustakaan Nasional RI memiliki tanggung jawab untuk melakukan pengawasan bibliografis sebagaimana dinyatakan Scott bahwa peran penting perpustakaan nasional adalah mengumpulkan seluruh terbitan dan melakukan pengawasan bibliografis agar terbitan tersebut mudah diakses dan dapat dilestarikan sebagai warisan budaya bangsa dalam berbagai bentuk informasi, termasuk dalam bentuk elektronik (Scott, 2003). Salah satu definisi tentang pengawasan bibliografis diberikan oleh Davinson bahwa
pengawasan
bibliografis
merupakan
upaya
pengembangan
dan
pemeliharaan suatu sistem pencatatan bagi semua bentuk informasi rekam, bahan tercetak, bahan audio-visual maupun bentuk lainya ini berguna untuk memudahkan ditemu kembali koleksi perpustakaan untuk kepentingan masyarakat yang dapat menambah khasanah pengetahuan dan informasi. (Davinson, 1981). Kegiatan dari pengawasan bibliografis ini sendiri merupakan upaya untuk mengidentifikasikan suatu dokumen sehingga dokumen tersebut dapat dengan mudah ditemukan dan dimanfaatkan secara maksimal oleh pengguna. (Anderson, 1974). Dari definisi yang telah diutarakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengawasan bibliografis merupakan kumpulan karya bibliografi dan kreasi yang diterapkan guna mengatasi masalah pencarian informasi. Sebagai alat pengawasan bibliografis terdapat tiga unsur yang perlu dipenuhi, antara lain: (1) Kelengkapan Kelengkapan informasi yang tercantum dalam bibliografi mengenai terbitan apa saja yang telah diterbitkan dan dalam bidang apa saja. Dengan
8
kelengkapan informasi ini, maka akan memudahkan pola pendekatan atau akses ke sumber informasi (2) Akses ke suatu bagian Bibliografi yang ideal memungkinkan akses atau pendekatan kepada bagian yang spesifik atau bagian yang lebih kecil dari bentuk-bentuk terbitan tersebut. (3) Bentuk yang beragam Sarana bibliografi yang komprehensif atau menyeluruh akan memasukkan semua bentuk atau format pada sistem komputer. (Katz, 1987 : 22) Upaya untuk menemukan suatu dokumen memerlukan suatu sarana yang baku yang dapat dimengerti dan mudah digunakan oleh berbagai pihak sehingga pencarian informasi akan lebih mudah dilakukan. Kegiatan dari pengawasan bibliografis melibatkan beberapa sumber informasi antara lain; kompilasi deskripsi
bibliografi,
pembuatan
katalog
subjek
(meliputi
klasifikasi,
menempatkan subjek, indeks dan abstrak). (Knutsen, 2002) Setiap dokumen idealnya hanya satu kali saja dibuatkan cantuman komprehensif, yaitu oleh badan yang berwewenang di negara tempat dokumen tersebut diterbitkan atau diciptakan. Data bibliografis yang dapat diakses melalui media internet, maka perlu diperhatikan adalah tengara yang ada pada cantuman bibliografi koleksi sebaiknya ditampilkan agar sistem dapat membaca dari setiap ruas bibliografis (Thomas, 1994). Cantuman itu harus dibuat secepatnya, segera setelah dokumen itu terbit sesuai dengan standar internasional yang disiapkan untuk disebarluaskan agar koleksi dapat digunakan oleh masyarakat secara umum, maupun pemustaka secara khusus yang dapat ditelusur dari pengarang, subyek, dan judul. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Wellisch bahwa tujuan pengawasan bibliografis adalah untuk memudahkan pemustaka untuk menemukan kembali dokumen yang telah dibuatkan daftar bibliografisnya dan dapat ditelusur berdasarkan unsur bibliografis yang telah dibuat sebelumnya, misalnya penelusuran berdasakan pengarang, judul maupun kombinasi dari kedua unsur data tersebut. (Wellisch, 1980).
9
Cantuman komprehensif ini harus memiliki semua unsur data yang diperlukan di perpustakaan dan pusat informasi untuk pengawasan bibliografis. Unsur data ini dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) Data yang berkaitan dengan kepengarangan. (2) Data yang mendeskripsikan dokumen, termasuk bentuk fisiknya, seperti jumlah halaman, ukuran. (3) Nomor atau kode identifikasi dokumen yang unik, seperti sistem penomoran internasional. (4) Data yang berkenaan dengan subjek. Upaya dalam mengembangkan pengawasan bibliografis, perpustakaan nasional sebagai lembaga pengelola informasi harus mempertimbangkan komponen nasional agar menjadi komponen internasional yang disebut sebagai Universal bibliographic control (UBC). Keberhasilan pengawasan bibliografis tergantung dari unsur dasarnya, yaitu cantuman bibliografi komprehensif untuk tiap dokumen atau rekaman informasi dengan mengunakan standar yang dapat diterima secara internasional agar dapat diakses secara internasional dengan tujuan akhir menjadi universal bibliographic control. (Wellisch, 1980) Universal bibliographic control merupakan program yang diadaptasi oleh Unesco dan IFLA yang berguna dalam pengembangan sistem yang mendunia untuk pengawasan dan pertukaran bibliografi, seperti yang diungkapkan Wellisch bahwa tujuan UBC adalah pembuatan standar bibliografi yang tepat dan dapat diterima secara internasional oleh semua negara (Wellisch, 1980).
2.2. Konsep Undang-Undang Deposit secara Umum Undang-undang deposit muncul pertama kali pada pertengahan abad 17 tepatnya pada tahun 1537 di Prancis pada masa pemerintahan Raja Francois I, pada saat itu raja memerintahkan penerbit dan pencetak untuk menyerahkan secara gratis setiap cetakan barunya ke Royal Library berdasarkan dekrit yang disebut Ordonance Montpellier. Kerajaan tidak mengijinkan penjualan segala jenis buku kecuali satu salinan terbitan sudah diserahkan pada kerajaan tersebut. Tujuan raja pada saat itu ingin mengumpulkan karya bangsanya dan dapat
10
dirasakan hingga masa mendatang. Ketentuan hukum raja Francois ini diterapkan di banyak negara. Upaya untuk memahami apa itu undang-undang deposit, maka kita harus mengetahui definisi undang-undang deposit itu sendiri. Definisi dari undangundang deposit adalah: “Legal deposit is statutory obligation which requires that any organization, commercial or public, and any individual producing any type of documentation in multiple copies, be obliged to deposit one or more copies with a recognized institution”. (Lariviere, 2000). Hal ini berarti bahwa bahwa undang-undang deposit adalah ketetapan menurut undang-undang yang mewajibkan penerbit untuk mendepositkan sejumlah eksemplar dari terbitannya ke perpustakaan-perpustakaan negara dimana mereka menerbitkan terbitannya, maka dapat kita ketahui bahwa undang-undang deposit pada suatu negara dimaksudkan untuk mewajibkan setiap penerbit di suatu negara menyerahkan secara cuma-cuma kepada satu atau beberapa perpustakaan yang ditunjuk oleh undang-undang tersebut untuk dikelola sebagai koleksi deposit terbitan nasional suatu bangsa. Keberadaan Undang-Undang Deposit sangat penting untuk kelangsungan seluruh terbitan karya bangsa itu sendiri, seperti yang dikemukakan Muir bahwa fungsi dari legal deposit adalah mewujudkan pelestarian hasil budaya bangsa agar dapat diakses dan dimanfaatkan hingga masa mendatang (Muir, 2001). Dari pernyataan yang telah diutarakan tersebut, maka tidak diragukan lagi begitu besar manfaat undang-undang deposit bagi suatu negara. Manfaat dari undang-undang deposit bagi kelangsungan dari hasil karya bangsa bahwa dengan menyimpan beberapa salinan koleksi nasional secara fisik di perpustakaan nasional bertujuan untuk memberikan perlindungan dari kehilangan atau kerusakan terbitan, sehingga kelangsungan dari warisan budaya bangsa yang berharga ini dapat terjaga hingga masa mendatang. Diberlakukannya
undang-undang
deposit
menguatkan
Perpustakaan
Nasional untuk melakukan pengumpulan dan pelestarian bahan pustaka yang diterbitkan di dalam negeri, sehingga tersedia deskripsi bibliografi dalam bentuk fisik dari terbitan tersebut, juga sangat relevan dalam menjalankan fungsinya untuk mengumpulkan warisan bangsa yang berkesinambungan (Lor, 2001).
11
Beberapa definisi dan tujuan undang-undang deposit yang telah diuraikan sebelumnya, maka secara rinci dapat diketahui bahwa fungsi dari undang-undang deposit adalah sebagai berikut: (1) Menghimpun, menyimpan dan melestarikan hasil karya intelektual suatu bangsa. (2) Mendokumentasikan hasil karya manusia dalam bentuk bibliografi dan bentuk fisik dari terbitan tersebut. (3) Menghimpun statistik perkembangan penerbitan di suatu negara. (Lor, 2001).
2.3. Objek Undang-Undang Deposit Secara umum semua jenis hasil cetakan maupun rekaman termasuk dalam obyek undang-undang deposit. Undang-undang deposit menurut obyeknya terdiri dari: (1) Karya Cetak 1.1 Buku Buku merupakan obyek paling awal dari Undang-Undang Deposit. Definisi buku sendiri merupakan dokumen hasil catatan maupun rekaman yang diterbitkan dan digandakan oleh suatu penerbit. Yang patut diperhatikan pada koleksi ini adalah mengenai edisi revisi di mana buku tersebut telah mengalami koreksi atau dilengkapi. Buku dalam kondisi revisi ini dianggap sebagai karya baru, sehingga penerbit harus menyerahkan kembali buku edisi revisi kepada Perpustakaan Nasional. 1.2 Serial atau Terbitan Berkala Serial merupakan koleksi yang sangat berharga. Pada koleksi ini banyak menilai informasi
yang tidak tidak terhingga nilainya. Materi serial
meliputi semua jenis terbitan yang dikeluarkan pada waktu yang berkesinambungan, baik dalam waktu beraturan maupun
yang tidak
beraturan penerbitannya. Penerbitan serial ini dapat berupa jurnal, surat kabar, majalah, indeks dll. Jenis dan jumlah serial sangat banyak , sehingga setiap negara sebaiknya mempertimbangkan materi apa saja yang wajib disimpan sebagai hasil dari pelaksanaan Undang-Undang Deposit.
12
1.3. Pamflet Sebaiknya pamflet harus dimasukkan dalam bagian undang-undang deposit. Pada beberapa negara yang membuat peraturan minimal halaman yang dapat diserahkan oleh penerbit. 1.4. Lembaran Musik Lembaran musik atau musik tercetak merupakan bagian penting sebagai warisan budaya bangsa, sehingga koleksi ini perlu dilestarikan. 1.5. Ikonografi Materi ini dapat berupa poster, selebaran, foto, ukiran, dan lain-lain. Yang perlu
diperhatikan
dari
koleksi
ini
adalah
cara
dan
tempat
mendokumentasikannya. 1.6. Terbitan Pemerintah Terbitan ini dapat menjadi bagian dari pelaksanaan undang-undang deposit tergantung pada sistem pemerintahan, jika negaranya memiliki sistem pemerintahan federal, maka negara bagiannya tidak dapat dipaksakan menyerahkan terbitannya. Ditemukan juga pada beberapa negara yang tidak mewajibkan penerbit untuk menyerahkan koleksinya untuk dilestarikan, padahal seperti diketahui bahwa terbitan pemerintah ini sangat banyak dan beragam. Sesuai dengan peraturan di Indonesia, penerbit wajib menyerahkan dua eksemplar terbitannya ke Perpustakaan Nasional. 1.7. Peta Tidak semua negara mengumpulkan koleksi ini untuk dimasukkan sebagai bagian dalam pelaksanaan undang-undang deposit. Ada beberapa negara yang hanya mengumpulkan peta yang sudah dikemas dalam bentuk buku, seperti atlas. Jumlah koleksi yang diserahkan ke Perpustakaan Nasional pada beberapa negara berjumlan satu eksemplar. (2) Jenis Karya Tidak Tercetak (Non print material) Koleksi ini merupakan perkembangan dari karya cetak yang membawa warna baru bagi koleksi perpustakaan. Koleksi ini terdiri dari :
13
2.1. Mikrofilm Koleksi bentuk mikro ini dapat berasal dari karya asli yang langsung dibuat dalam bentuk microfilm atau merupakan cetak ulang karya yang telah diterbitkan. Kedua bentuk ini
tanpa pengecualian masuk dalam
undang-undang deposit. 2.2. Materi Audiovisual Bentuk ini dapat berupa rekaman suara dan gabungan antara rekaman suara dan visual. Penanganan koleksi ini berbeda dengan karya tercetak, diperlukan peralatan tertentu untuk mengakses informasi ini. Dokumentasi ini meliputi cakram, tape, slide, film, videotape, videodisc dan multimedia lainnya. Materi audiovisual ini merupakan benda yang m itu dipudah rusak dan pecah, oleh sebab itu diperlukan perawatan khusus untuk menanganinya. Banyak negara yang sudah membuat dokumentasi ini dalam bentuk digital sebagai salinan jika koleksi aslinya rusak. Tetapi yang saat ini menjadi masalah adalah mengenai Undang-Undang Hak Cipta. 2.3. Materi Lainnya Dokumentasi ini dapat berupa koin, perangko, uang kertas dan lain-lain. Secara umum yang merupakan kewajiban untuk disimpan pada koleksi ini adalah segala sesuatu yang terkait dengan sejarah. (3) Terbitan Elektronik Terdapat dua kategori pada publikasi elektronik, yakni: 3.1. Publikasi elektronik yang tidak tersambung pada jaringan. Publikasi ini merupakan publikasi yang berwujud nyata dan berbentuk fisik, seperti disket dan CD ROM 3.2. Jenis kedua adalah publikasi yang terhubung pada sebuah jaringan. Publikasi ini merupakan publikasi yang tidak berwujud fisik, seperti buku elektronik (Lariviere : 2000) Terbitan elektronik juga merupakan karya yang wajib diserahkan kepada perpustakaan nasional untuk dilestarikan. Perlu dipertimbangkan pada koleksi ini adalah sebaiknya dibuat pembatasan akses pemanfaatan informasi dari koleksi ini, agar tidak terjadi penyalahgunaan akses oleh pengguna. Upaya dalam pembuatan
14
kebijakan pelaksanaan undang-undang deposit, terdapat tujuh unsur penting yang harus tercakup di dalam undang-undang deposit yang berlaku untuk semua jenis terbitan. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: (1) Asal-usul terbitan Pada dasarnya undang-undang deposit terbatas hanya untuk terbitan nasional dalam berbagai bentuk yang diterbitkan negara tersebut. Penentuan asal-usul penerbitan, agen penerbitan dan tanggal penerbitan sangat penting untuk diperhatikan karena sesuai dengan undang-undang deposit, ketentuan ini hanya berlaku terbatas di dalam suatu negara, tidak dapat menjangkau batas negara lain. (2) Komprehensif Semua bahan pustaka harus tercakup sebagai obyek dalam undang-undang deposit. Tujuan peraturan ini ialah menghindari kehilangan koleksi yang pada mulanya dianggap tidak penting tetapi kemudian hari ternyata mempunyai nilai historis. Ini berarti seluruh bahan pustaka yang diterbitkan untuk pertama kalinya di suatu negara dalam bentuk apapun juga terkena kewajiban untuk diserahkan kepada perpustakaan nasional sebagai pelaksana dari undang-undang deposit. (3) Depositor Undang-undang deposit mempunyai kekuatan yang sangat besar untuk memaksa penerbit
maupun pengusaha rekaman untuk menyerahkan
terbitannya kepada lembaga nasional yang ditunjuk sebagai pelaksana peraturan tersebut. Di negara-negara yang undang-undang depositnya berhubungan langsung dengan hak cipta tetap dikenakan peraturan tersebut. (4) Depositori Lembaga yang ditunjuk sebagai tempat penyimpanan bahan-bahan deposit dan sebagai pelaksana undang-undang deposit di berbagai negara berbedabeda. Perpustakaan nasional bukanlah satu-satunya lembaga yang mempunyai tanggung jawab untuk memelihara koleksi deposit, justru di beberapa negara perpustakaan lain yang ditunjuk sebagai pelaksana undang-undang deposit. Contohnya di Inggris, British Library menunjuk lima perpustakaan lainnya untuk ikut bertanggung jawab sebagai perpustakaan deposit, yakni: The
15
Bodleian Library, Oxford, Cambridge University Library, The National Library of Scotland, The National Library of Wales, The Library of Trinity College, Dublin. (5) Jumlah eksemplar Berdasarkan ketentuan yang ada, jumlah koleksi yang diserahkan ke depositor sekurang-kurangnya satu eksemplar, sebab tujuan dari undangundang ini adalah untuk kepentingan bangsa agar koleksi ini dapat dilestarikan dan didayagunakan. Tetapi pada kenyataannya, tiap negara mempunyai kebijakan yang berbeda-beda tentang berapa jumlah bahan deposit yang harus diserahkan. Salah satu contoh adalah Republik Rakyat Cina mewajibkan lima eksemplar disimpan pada perpustakaan nasional dan dua yang lain dikirim ke perpustakan hak cipta. Jadi memang jumlah eksemplar yang harus diserahkan penerbit kepada pelaksana undang-undang deposit sangat tergantung pada kebijakan, prosedur pelaksanaan dan faktor ekonomi dari negara masing-masing. (6) Kompensasi ganti-rugi Tidak ada ketentuan yang mewajibkan lembaga yang ditunjuk sebagai perpustakaan deposit untuk memberikan imbalan kepada penerbit maupun pengusaha rekaman. Hal ini dikarenakan bahwa tujuan dari undang-undang ini adalah menjamin kelangsungan hasil karya bangsa untuk generasi di masa mendatang. Depositor berhak menerima koleksi deposit secara gratis tanpa imbalan apa pun. Walaupun demikian ada beberapa negara yang memberikan kompensasi sebagai imbalan ganti rugi ongkos produksi penerbitan, seperti di negara Jepang. (7) Waktu penyerahan Waktu penyerahan koleksi deposit lebih baik dilakukan sesegera mungkin agar dapat dipublikasikan dan didaftarkan pada bibliografi nasional. Kebijakan waktu penyerahan ini tidak diatur secara internasional, sehingga setiap negara membuat kebijakannya masing-masing. Di Finlandia batas waktu penyerahan koleksi deposit paling lambat dua bulan setelah diterbitkan, sedangkan di Indonesia sediri batas waktu penyerahan adalah 3 bulan setelah diterbitkan.
16
Konsep awal dari tujuan undang-undang deposit ialah produsen karya cetak dan rekam wajib menyerahkan satu atau lebih salinan karyanya untuk dilestarikan sebagai karya intelektual bangsa yang dapat dimanfaatkan dan diakses oleh masyarakat, maka menurut Muir dinyatakan bahwa empat persyaratan penting dalam pelaksanaan undang-undang deposit, yaitu: ketuntasan, pelestarian, publisitas, bibliografi nasional dan kemudahan akses oleh masyarakat. Ketuntasan menyiratkan bahwa semua bahan, terlepas dari kualitas atau format apapun harus disimpan untuk pelestarian. (Muir, 2001) Perpustakaan Nasional sebagai pelaksana undang-undang deposit sebaiknya dapat menyajikan berbagai informasi yang mungkin tidak tersedia di tempat lain agar dapat diakses oleh masyarakat dari setiap tempat terutama untuk tujuan penelitian. Perpustakaan nasional mempunyai dua peranan untuk dalam penyebaran akses informasi: 1. Perpustakaan dapat menyediakan akses informasi, ide dan konsep pengetahuan, pikiran dan budaya. 2. Perpustakaan memiliki tanggung jawab untuk menjamin dan menfasilitasi akses kegiatan pendidikan dan intelektualitas. Perpustakaan nasional harus mencerminkan suatu keanekaragaman dari berbagai kalangan sosial. (KavcicColic, 2003). Akhir-akhir ini mulai menjadi pembicaraan berbagai negara apakah bahan pustaka deposit ini sebaiknya dikemas dalam bentuk digital atau tidak, yang menjadi pertimbangan dalam melakukan digitalisasi koleksi ini adalah adanya peluang pembajakan karya seseorang yang telah diterbitkan tersebut. Seperti yang dinyatakan Brian Lang (2010) bahwa perpustakaan nasional seharusnya membangun kepercayaan penerbit bahwa hasil terbitannya yang diserahkan ke perpustakaan nasional tidak akan mengurangi pendapatan mereka karena pembajakan dari isi dokumen. Penerbit saat ini khawatir terhadap dampak dari pemanfaatan teknologi informasi. Perpustakaan nasional harus menunjukkan kepada penerbit manfaat yang akan didapatkan oleh penerbit jika menyerahkan terbitannya sebagai koleksi deposit yaitu pelestarian koleksi hingga masa mendatang. (Lang, 2000)
17
Tugas penting perpustakaan nasional bukan hanya menitikberatkan pada pengumpulan dan pemeliharaan bahan deposit saja, tetapi
juga memiliki
tanggung jawab dalam perlindungan informasi yang sudah diserahkan oleh penerbit
kepada
perpustakaan
nasional.
Perpustakaan
nasional
memang
mempunyai wewenang untuk menyediakan akses informasi koleksi deposit kepada masyarakat, tetapi tetap harus melakukan pembatasan akses koleksi deposit. Dengan pembatasan ini artinya perpustakaan nasional telah memberikan umpan balik kepada penerbit dalam hal perlindungan data. Perpustakaan nasional sebagai lembaga pelaksana undang-undang sebaiknya memperhatikan beberapa hal dalam pengelolaan koleksi deposit. Menurut Payne, terdapat beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan koleksi deposit, antara lain: (1) Penyimpanan koleksi deposit Kegiatan yang dilakukan adalah memasukkan data koleksi deposit pada basis data dan menempatkan koleksi deposit dalam ruang penyimpanan. (2) Konservasi Penting untuk melakukan pembersihan dan perbaikan koleksi deposit ada kerusakan dilakukan. (3) Pelestarian koleksi dari lingkungan Melakukan pelestarian jangka panjang, terutama koleksi deposit dengan bahan baku kertas. Salah satu caranya adalah dengan menjaga suhu rendah dan tingkat kelembaban koleksi. (4) Pendayagunaan koleksi deposit Menyediakan fasilitas kepada pemustaka untuk melihat dan menggunakan informasi pada koleksi deposit (5) Pelayanan melalui media internet Memberikan informasi koleksi deposit melalui jaringan internet, biasanya dalam bentuk katalog yang dapat diakses melalui media internet. (6) Ruang baca Menyediakan ruang baca di tempat bagi pemustaka yang ingin mendapatkan informasi pada koleksi deposit (Payne, 2005)
18
2.4. Undang-undang No. 4 Tahun 1990 tentang Karya Cetak dan Karya Rekam Undang-undang No.4 Tahun 1990 tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam disahkan pada tanggal 9 Agustus 1990. Undang-undang ini dibentuk dalam rangka melestarikan hasil budaya bangsa yang disalurkan melalui karya cetak dan karya rekam. Peraturan Pemerintah nomor 70 tahun 1991 diterbitkan pada tanggal 28 Desember dan PP No. 23 tahun 1999 untuk menunjang undangundang ini. Perjalanan panjang pelaksanaan deposit bahan pustaka mengalami beberapa periode yang seiring sejarah terbentuknya Perpustakaan Nasional RI, yakni: (1) Periode Hindia Belanda Zaman kolonial Belanda melalui ordonansi, penerbit yang berada di wilayah Indonesia dihimbau untuk mengirimkan beberapa kopi dari buku hasil terbitannya ke Bibliotheek Bataviaaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Library of The Batavia Society for Arts and Sciences). (2) Periode tahun 1952 Pada tahun 1952 berubah menjadi Lembaga Kebudayaan Nasional dan akhirnya menjadi Perpustakaan
Museum Pusat dengan menggunakan
Staatblad No. 7981 Tahun 1913. Pada tahun yang sama berdiri Perpustakaan Negara dan Biro Perpustakaan Departemen Pendidikan dan kebudayaan yang kemudian
berubah
nama
menjadi
Pusat
pembinaan
Perpustakaan
(Pusbinpustak) (3) Periode 1980 Berdasarkan Surat Keputusan Menteri No 0164/0/1980 tanggal 17 Mei 1980 dibentuklah Perpustakaan Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang
sesuai
dengan
petunjuk
pelaksanaan
perpustakaan
nasional
berkedudukan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bidang perpustakaan di lingkungan Departemen P&K. (4) Periode 1990 – sekarang Berdasarkan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 1980 bahwa posisi Perpustakaan Nasional RI sebagai satu-satunya perpustakaan di Indonesia yang mempunyai tugas untuk menghimpun, mengumpulkan, menyimpan dan
19
melestarikan seluruh terbitan sebagai warisan budaya bangsa tersebut diperkuat dengan dikeluarkannya undang-undang deposit di Indonesia yaitu Undang-undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1990 tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam dan untuk pelaksanaanya dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1991 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 4 Tahun 1990 tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam. Kewajiban serah-simpan karya cetak dan karya rekam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 berlaku bagi terhadap setiap penerbit dan pengusaha rekaman di wilayah Republik Indonesia yang hasil karyanya diterbitkan atau direkam didalam maupun di luar negeri. Materi yang tercakup dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1990 adalah jenis karya cetak dan karya rekam. Hal tersebut tercantum pada bab I, pasal 1, ayat I dan 2, disebutkan bahwa jenis bahan pustaka yang dikumpulkan dari para wajib serah simpan karya cetak dan karya rekam terdiri dari: (a) Karya cetak Terdir dari buku fiksi, buku non fiksi, buku rujukan, karya artistik, karya ilmiah yang dipublikasikan, majalah, surat kabar, peta, brosur, karya cetak lain yang ditetapkan oleh Kepala Perpustakaan Nasional RI. Karya cetak yang termasuk wajib diserahkan adalah edisi cetakan kedua dan seterusnya yang mengalami perubahan isi dan atau bentuk. (b) karya rekan Film, kaset audio, video disk, piringan hitam, disket dan bentuk lain sesuai dengan perkembangan teknologi (1993:5). Pasal 4 ayat (c) UU No. 4 tahun 1990 menyatakan salah satu tujuan perpustakaan adalah menyediakan wadah bagi pelestarian hasil budaya bangsa, baik berupa karya cetak maupun
karya rekam melalui program wajib serah
simpan karya cetak dan karya rekam. Melanggar ketentuan ini merupakan tindakan pidana yang dapat dihukum penjara atau denda. Kewajiban serah simpan karya cetak dan karya rekam yang diatur dalam undang-undang ini bertujuan untuk mewujudkan koleksi deposit nasional dan melestarikannya sebagai hasil budaya bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
20
Tujuan diterbitkannya Undang-Undang nomor 4 tahun 1990 adalah seperti terlihat dalam pasal 5 adalah mewujudkan koleksi nasional dan melestarikannya sebagai hasil budaya bangsa dalam rangka mencerdaskan bangsa. Sesuai dengan yang dijabarkan pada Undang-undang No. 4 Tahun 1990, maka tujuan dari pelaksanaan undang-undang serah simpan karya cetak dan karya rekam di Indonesia dapat berupa: (1) Pengumpulan dan pelestarian koleksi nasional. (2) Kelengkapan koleksi nasional. (3) Penyediaan sarana belajar, penelitian dan informasi berbagai disiplin ilmu pengetahuan bangsa. (4) Penyediaan sarana penyusunan bibliografi nasional dan berbagai bibliografi subyek ilmu pengetahuan. (5) Penyediaan sarana penyusunan statisik hasil produksi karya cetak dan karya rekam bangsa.
2.5 Aplikasi Sistem Informasi Pengawasan Bibliografis Pengembangan sebuah sistem informasi di perpustakaan nasional sangat bermanfaat
untuk mempercepat dan memperluas operasi perpustakaan.
Pengembangan aplikasi sistem informasi ini setidaknya memiliki kualitas sebagai berikut: (1) Kemampuan beradaptasi dengan berbagai konfigurasi komputer dan kebutuhan perpustakaan. (2) Kemampuan dalam mengakses dan memperbarui data secara cepat. (3) Kemampuan untuk menangani semua jenis data bibliografi. (4) pengendalian mutu cermat untuk ketepatan dan kelengkapan data. (5) Kemampuan untuk beradaptasi dengan format MARC sebagai komunikasi standar dengan sistem informasi perpustakaan lain. (6) Memiliki kapasitas untuk melakukan kerjasama antar perpustakaan melalui jaringan internet. (Reed, 1993) Sistem informasi yang digunakan perpustakaan di berbagai negara sebaiknya ada standar yang sama. Tujuannya adalah agar dapat melakukan pertukaran data bibliografi secara internasional. Salah satu sistem aplikasi yang
21
telah diterapkan adalah istem informasi di perpustakaan Amerika Serikat. Sistem informasi yang digunakan di Perpustakaan Amerika Serikat adalah basis data WorldCat OCLC. WorldCat adalah jaringan global dengan konten perpustakaan dan layanan yang menggunakan web yang dapat terhubung dengan instansi lain dengan akses yang lebih terbuka dan lebih produktif.
2.6 Perpustakaan Nasional sebagai Pelaksana Undang-undang Nomor 4 Tahun 1990 Perpustakaan nasional merupakan lembaga pemerintah yang mempunyai tanggung jawab yang sangat mulia dalam hal pengumpulan dan pelestarian seluruh koleksi karya bangsa. Tanggung jawab utama dari perpustakaan nasional adalah mengumpulkan koleksi yang komprehensif dari publikasi yang diterbitkan pada negara tersebut, mengidentifikasi
dokumen serta pengaturan dalam
pendayagunaa, dan menjaga kelestaran warisan budaya hingga generasi penerus”. (Lang, 2000). Tugas dan wewenang Perpustakaan Nasional RI sebagai pelaksana undangundang deposit semakin diperkuat dengan dikeluarkannya Undang-undang nomor 4 tahun 1990 tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam, kemudian menyusul dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 1991 tentang pelaksanaan Undang-undang no. 4 Tahun 1990 tentang serah simpan karya cetak dan karya rekam. Wewenang yang diberikan kepada Perpustakaan Nasional ini dirinci pada pasal 1 ayat 5 UU No. 4 tahun 1990. Undang-undang ini menyatakan bahwa perpustakaan nasional adalah perpustakaan yang berkedudukan di ibukota negara yang mempunyai tugas untuk menghimpun, menyimpan, melestarikan dan mendayagunakan semua karya cetak dan karya rekam yang dihasilkan di wilayah Republik Indonesia. Dengan lahirnya undang-undang tersebut, maka semakin tegas bahwa Perpustakaan Nasional RI merupakan komponen yang ditunjuk dalam pelaksanaan Undang-undang nomor 4 tahun 1990 yang mempunyai kewajiban dan wewenang untuk mengelola, melestarikan bahkan menyebarkan informasi yang dikandung dari hasil pelaksanaan undang-undang tersebut.
22
Mengacu pada pasal tersebut, perpustakaan nasional sudah sepantasnya mempersiapkan diri untuk menciptakan keberhasilan dari undang-undang deposit. Upaya perpustakaan nasional melakukan tugasnya sebagai pelaksana undang-undang deposit di Indonesia, maka akan dijabarkan pada kedudukan, tugas dan
fungsi perpustakaan pasional. Di dalam Undang-undang Republik
Indonesia nomor 43 tahun 2007 tentang perpustakaan pada pasal 21 ayat 1 dinyatakan bahwa perpustakaan nasional merupakan lembaga pemerintah non departemen yang melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang perpustakaan dan berkedudukan di ibukota negara. Tugas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perpustakaan nasional memiliki tanggung jawab sebagai berikut: (1) Mengembangkan
koleksi
nasional
yang
memfasilitasi
terwujudnya
masyarakat pembelajar sepanjang hayat. (2) Mengembangkan koleksi nasional untuk melestarikan hasil budaya bangsa. (3) Melakukan promosi perpustakaan dan gemar membaca dalam rangka mewujudkan masyarakat pembelajar sepanjang hayat. (4) Mengidentifikasi dan mengupayakan pengembalian naskah kuno yang berada di luar negeri. Pelaksana langsung dari undang-undang deposit pada saat ini adalah Subdirektorat Deposit yang berada di bawah Direktorat Deposit Bahan Pustaka. Uraian tugas Direktorat ini mempunyai tugas sebagai berikut: (1) Menyiapkan perumusan kebijakan teknis di Bidang Deposit. (2) Penerimaan, pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan pendayagunaan serah simpan karya cetak dan karya rekam. (3) Penerimaan, pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan pendayagunaan bahan pustaka terbitan badan internasional dan regional. (4) Pemantauan evaluasi dan tindak lajut kegiatan serah simpan karya cetak dan karya rekam. Berkaitan dengan tugas dan fungsinya, maka Subdirektorat Deposit memiliki beban kerja sebagai berikut:
23
(1) Menghimpun dan menerima, menyimpan, melestarikan dan mendayagunakan karya cetak dan rekam dari penerbit dan pengusaha rekaman baik swasta maupun pemerintah yang dihasilkan di wilayah Republik Indonesia. (2) Melaksanakan pemantauan, pengawasan, peringatan, teguran terhadap penerbit dan pengusaha rekaman baik swasta maupun pemerintah yang dihasilkan di wilayah Republik Indonesia. (3) Pengelolaan penerimaan karya cetak dan karya rekam sebagai berikut a) pengecekan jumlah dan kualitas karya cetak dan karya rekam penerbit yang berada di wilayah Republik Indonesia, b) penerimaan surat pengantar dari penerbit dan pengusaha rekaman, c)pemberian tanda bukti penerimaan, d)registrasi, e)inventarisasi, f)katalogisasi, g)klasifikasi dan h) identifikasi dalam rangka lokasi penyimpanan. (4) Melaksanakan pengelolaan penyimpanan berbagai jenis koleksi karya cetak dan karya rekam. (5) Evaluasi terhadap pelaksanaan serah-simpankarya cetak dan karya rekam.
2.7 MARC (Machine Readable Cataloging) Machine Readable Cataloging (MARC) merupakan format data yang memungkinkan pertukaran data katalog atau data lainnya yang terkait antara sistem perpustakaan yang memakai komputer (Pendit, 2008). Format data ini dianggap paling baik untuk saat ini,
karena MARC dirancang untuk untuk
menampung data bibliografis berbagai jenis informasi, yakni karya cetak atau naskah tekstual, berkas komputer, peta, musik, sumber daya yang berkelanjutan, materi visual, dan bahan elektronik. MARC merupakan merupakan standar penulisan katalog elektronik, Standar metadata katalog perpustakaan ini dikembangkan pertama kali oleh Library of Congress. Konsep ini akhirnya diadopsi oleh berbagai negara termasuk Indonesia yang menggunakan INDOMARC. INDOMARC merupakan
implementasi dari International Standard
Organization (ISO) 2719 untuk Indonesia. Format INDOMARC ini terdiri dari 700 elemen bibliografi yang sangat lengkap. Data yang ada akan disimpan pada ruas data dan setiap ruas diawali dengan tag atau tengara. Standar yang digunakan
24
dalam
membuat
cantuman
tengara
(tags)
adalah
tiga
digit
yang
mengidentifikasikan tiap ruas data bibliografi dalam suatu cantuman. Dibawah ini ini akan diuraikan angka tenggara pada elemen bibliografi INDOMARC (xx adalah nilai angka di antara 00-99), yang terdiri dari: 0xx = Info kendali dan identifikasi, termasuk nomor standar, nomor klasifikasi dan nomor panggil 1xx = Entri utama 2xx = Judul dan paragraph judul 3xx = Deskripsi fisik 4xx = Pernyataan seri 5xx = Catatan 6xx = Entri tambahan subyek 7xx = Entri tambahan selain dari subyek atau seri 8xx = Entri tambahan seri 9xx = Disediakan untuk pengguna setempat
2.8 Konsep Dasar Sistem Informasi Manusia hidup di dunia penuh dengan sistem, di sekeliling manusia apa yang dilihat sebenarnya adalah kumpulan dari sistem-sistem, misalnya adalah sistem penerimaan mahasiswa baru, sistem perkuliahan, sistem perguruan tinggi, sistem perekonomian, sistem bisnis, sistem peredaran bumi, sistem transportasi dan lain sebagainya. Pemahaman suatu sistem terlebih dahulu akan sangat membantu didalam pemahaman sistem informasi. Pengertian dan definisi sistem pada berbagai bidang berbeda-beda, tetapi meskipun istilah sistem yang digunakan bervariasi, semua sistem pada bidangbidang
tersebut mempunyai persyaratan yang terpenting adalah sistem harus
mempunyai tujuan yang akan dicapai. Sistem adalah suatu cara untuk mengumpulkan, mengatur, mengendalikan, dan menyebarkan informasi ke seluruh organisasi (Connoly, 2002). Jogiyanto sendiri memberikan definisi sistem dari beberapa pendekatan, yakni pendekatan sistem pertama yang lebih menekankan pada prosedur oleh didefinisikan bahwa suatu sistem adalah suatu jaringan kerja dari prosedur-
25
prosedur yang saling berhubungan, berkumpul bersama-sama untuk melakukan suatu kegiatan atau untuk menyelesaikan suatu sasaran yang tertentu. Pendekatan sistem kedua adalah pendekatan sistem yang lebih menerapkan pada elemen atau komponennya yang didefinisikan bahwa sistem adalah kumpulan dari elemenelemen. Pendapat dari ahli yang telah diutarakan tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem adalah himpunan dari elemen (komponen) yang berhubungan atau saling ketergantungan satu sama lain untuk mencapai tujuan tertentu (Jogiyanto, 2005). Informasi ibarat darah yang mengalir dalam tubuh suatu organisasi, sehingga informasi ini sangat penting bagi organisasi. Informasi adalah data yang diolah menjadi bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi penerimanya. (Jogiyanto, 2005). Siklus informasi berisi data yang masih mentah dan belum dapat bercerita banyak, sehingga perlu diolah lebih lanjut agar dapat lebih berarti dan berguna dalam bentuk informasi, oleh karena itu perlu diolah dengan melalui suatu model proses tertentu. Data yang diolah menjadi informasi akan dapat melahirkan suatu keputusan untuk melakukan tindakan dan seterusnya membentuk siklus. Kedua definisi sistem dan informasi yang diutarakan tersebut, maka kita dapat menjabarkan definisi dari sistem informasi. Sistem informasi merupakan suatu sistem dalam suatu organisasi untuk mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian, mendukung operasi, bersifat manajerial dan kegiatan strategi dari suatu organisasi dan menyediakan pihak luar tertentu dengan laporan-laporan yang diperlukan (Jogiyanto, 2005). Roberts dalam Jogiyanto memberikan definisi bahwa sistem informasi merupakan suatu dari orang-orang fasilitas, teknologi, media, prosedur-prosedur dan pengendalian yang ditujukan untuk mendapatkan jalur komunikasi penting, memproses tipe transaksi rutin tertentu, memberi sinyal kepada manajemen dan lainnya terhadap kejadian-kejadian internal dan eksternal yang penting dan menyediakan suatu dasar untuk pengambilan keputusan yang cerdik (Jogiyanto, 2005). Berbagai definisi dari sistem informasi yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat terlihat bahwa konsep dari sistem informasi dalam suatu organisasi
26
dapat dikatakan sebagai suatu sistem yang menyediakan informasi bagi semua tingkatan dalam organisasi tersebut kapan saja diperlukan. Sistem ini menyimpan, mengambil, mengubah, mengolah dan mengkomunikasikan informasi yang diterima dengan melibatkan manusia, fasilitas, teknologi, media prosedurprosedur dan pengendalian.
2.9 Konsep Basis Data Basis data merupakan salah satu komponen utama dalam setiap informasi. Tidak ada sistem informasi yang bisa dibuat atau dijalankan tanpa adanya basis data merupakan sekumpulan data maupun keterangan tentang data, yang secara logis saling berhubungan untuk digunakan bersama, dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi dari suatu organisasi (Connoly, 2002). Beberapa definisi mengenai basisdata disampaikan oleh banyak ahli, salah satunya adalah pendapat menurut Fathansyah, bahwa basis data adalah: (1) Himpunan kelompok data (arsip) yang saling berhubungan yang diorganisasi sedemikian rupa agar kelak dapat dimanfaatkan kembali dengan cepat dan mudah. (2) Kumpulan data yang saling berhubungan yang disimpan secara bersama sedemikian rupa dan tanpa pengulangan (redudansi) yang tidak perlu, untuk memenuhi berbagai kebutuhan. (3) Kumpulan tabel dan arsip yang saling berhubungan yang disimpan dalam media penyimpanan elektronis (Fathansyah, 1999). Pengelolaan dan pemanfaatan basis data juga memiliki tujuan lain. Beberapa manfaat dari basis data adalah sebagai berikut: (1) Kecepatan dan kemudahan Pemanfaatan basis data memungkinkan kita untuk dapat menyimpan atau melakukan perubahan terhadap data atau menampilkan kembali data tersebut dengan lebih cepat dan mudah. (2) Efisiensi ruang penyimpanan Dengan basis data, efisiensi penggunaan penyimpanan dapat dilakukan, karena
kita
dapat
melakukan
penekanan
jumlah
data
dengan
mendekomposisikan struktur data, baik dengan menerapkan sejumlah
27
pengkodean atau dengan membuat relasi-relasi dalam bentuk berkas antar kelompok data yang saling berhubungan. (3) Keakuratan Dengan menggunakan pengkodean dan pembentukan relasi antar data sangat bermanfaat untuk menekan ketidakakuratan pemasukan data. (4) Ketersediaan Dengan basis data, kita dapat memilah data yang kita inginkan. Data yang tidak digunakan lagi dapat dilepaskan dari basis data yang aktif. (5) Kelengkapan Untuk mengakomodasikan kebutuhan kelengkapan data yang semakin berkembang, maka kita dapat menambah cantuman data, maupun dalam penambahan objek baru atau juga dengan penambahan ruas baru pada sebuah table. (6) Keamanan Ada sejumlah sistem pengelola basis data yang tidak menerapkan aspek keamanan, tetapi untuk sistem yang besar aspek keamanan sangat penting untuk diterapkan. Dengan begitu, kita dapat menentukan siapa saja yang boleh menggunakan basis data beserta objek didalamnya dan menentukan jenis operasi apa saja yang boleh dilakukan. (7) Kebersamaan Pemakaian Penggunaan basis data sering kali tidak terbatas pada satu pemakai dan satu lokasi saja. Basis data yang dikelola oleh sistem atau aplikasi dapat mendukung lingkungan pemakai yang beragam dalam memenuhi kebutuhan ini,
tetapi dengan
menghindari
munculnya
persoalan
baru
seperti
inkonsistensi data, karena data yang sama dapat diubah oleh banyak pemakai dalam waktu bersamaan (Hartono, 2005:27). Basisdata perpustakaan besar sebaiknya memenuhi tiga kriteria penting berikut ini: 1. Kekompakan (Compactness). Tidak perlu menyimpan informasi lebih dari sekali, karena telah ada one-to-one relationship antara bentuk asli dan bentuk transliterasi.
28
2. Kelengkapan (Completeness) Akses kelengkapan penyimpanan data harus dirancang dengan baik. 3. Aksesibilitas Data dapat dengan mudah diakses dalam berbagai bentuk (Alena, 1992). 2.10 Metode Siklus Hidup Pengembangan Sistem (SDLC) Metode pengembangan sistem informasi yang banyak digunakan pada organisasi besar adalah metode pengembangan sistem SDLC (system development life cycle). System development life cycle merupakan pendekatan yang digunakan untuk penyusunan suatu sistem yang baru untuk menggantikan sistem yang lama atau memperbaiki sistem yang sudah ada melalui tahapan-tahapan. Avison dan Fitsgerald membagi tahapan metodologi SDLC dengan struktur yang lebih rinci (2006) (Gambar 1). Tahapan yang terdapat pada pendekatan SDLC ini terdiri dari : 1) Studi Kelayakan Studi kelayakan merupakan usulan sistem yang harus memenuhi empat elemen kelayakan yang harus dimiliki untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Empat elemen tersebut, yaitu: a. Kelayakan teknologi yang tersedia dan keahlian yang memadai untuk membangun sistem yang diusulkan. b. Kelayakan ekonomi dilakukan untuk mengukur manfaat yang didapat harus lebih besar dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan. c. Kelayakan hukum bertujuan untuk memastikan bahwa sistem yang baru ini tidak melanggar hukum yang berlaku saat ini. d. Kelayakan waktu merupakan waktu yang ditetapkan harus diperhitungkan dengan baik agar pengembangan sistem dapat selesai dengan tepat waktu. 2) Investigasi Sitem Investigasi sistem merupakan penggalian kebutuhan informasi fungsi aplikasi sistem yang berjalan saat ini dan untuk mengetahui kendala yang dihadapi dari pemggunaan
aplikasi
sistem
berjalan.
Tahap
ini
bertujuan
untuk
mendeskripsikan permasalahan sistem yang ada pada sistem lama dan agar dalam pengembangan sistem selanjutnya dapat dieliminir kesalahan yang mungkin akan terjadi pada saat mengimplementasikan sistem.
29
3) Analisis Sistem Tahap ini merupakan kegiatan menganalisis informasi kebutuhan sistem agar dapat mencapai tujuan yang dinginkan. Proses analisis terhadap sistem meliputi a. Identifikasi kebutuhan informasi Kerangka kerja yang digunaka untuk menganalisi kebutuhan informasi ini menggunakan kerangka kerja PIECES (Whitten, 2007). b. Identifikasi kebutuhan sistem Menganalisis latar belakang pembuatan spesifikasi kebutuhan sistem masukan, proses, dan luaran sistem baru. 4) Perancangan Sistem Merancang suatu sistem yang mengacu kepada pemakai dan hasil analisa sistem. 5) Implementasi Sistem Pembangunan sistem baik dari segi perangkat lunak maupun perangkat keras dan infastruktur lain yang dibutuhkan agar sistem dapat berjalan dengan sempurna. 6) Evaluasi dan Pemeliharaan Tahap ini merupakan tahap akhir setelah sistem baru terpasang untuk menjamin sistem yang baru berjalan ini dapat diimplementasikansecara efisien dan untuk menemukan kesalahan-kesalahan sistem setelah beroperasi.
Studi Kelayakan
Evaluasi dan Pemeliharaan
Invetistigasi Sistem
Analisis Sistem
Implementasi
Desain Sistem Gambar 1 Tahapan SDLC menurut Avison & Fitsgerald (2006)