10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Lansia 1. Definisi Lansia Dari beberapa referensi yang ada menjelaskan bahwa pengertian lanjut usia menurut undang-undang No. 4 tahun 1965 adalah seseorang yang mencapai 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah untuk keperluan hidupnya sehari-hari (Darmojo & Martono, 2006). Sedangkan menurut undang-undang No. 13 tahun dinyatakan bahwa usia 60 tahun keatas disebut sebagai lanjut usia (Noorkasiani, 2009). Lanjut usia ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu usia kronologis yang dihitung berdasarkan tahun kalender, usia biologis yang diterapkan berdasarkan pematangan jaringan dan usia psikologis yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang untuk dapat mengadakan penyesuaian terhadap setiap situasi yang dihadapinya (Noorkasiani, 2009). Menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu terrtentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan suatu proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan tua. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat dan figur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2008).
10
11
Jadi usia lanjut dapat kita artikan sebagai seseorang yang berusia 60 tahun keatas dimana proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya.
2. Batasan Usia Lanjut Batasan umur lansia menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lanjut usia meliputi (Notoadmodjo, 2007) Usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45-59 tahun, Usia lanjut (elderly) adalah kelompok usia antara 60-70 tahun, Usia lanjut tua (old) adalah kelompok usia antara 71-90 tahun, Usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia di atas 90 tahun. Sedangkan menurut Undang-Undang nomer 13 tahun 1998 Menjelaskan tentang kesejahteraan lanjut usia yang termaktub dalam BAB I pasal 1 ayat 2 yaitu bahwa “lanjut usia adalah seseorang yang mencapai umur diatas 60 tahun”. Sedangkan menurut Sumiati (2000) Membagi periodesasi biologis perkembangan hidup manusia sebagai berikut : Umur 40-65 tahun : masa setengah umur (prasenium), Umur 65 tahun keatas : masa lanjut usia (senium). Sedangkan menurut Setyonegoro (dalam Nugroho, 2008) Pengelompokan usia lanjut sebagai berikut : Lajut usia (geriatric age) lebih dari 65 atau 70 tahun, Young age yaitu umur 70-75 tahun, Old yaitu umur 75-80 tahun, Very old yaitu umur lebih dari 80 tahun.
3. Perubahan-Perubahan yang terjadi pada Lansia a. Perubahan Pada Sistem Gastrointestinal Proses penuaan memberikan pengaruh pada setiap bagian dalam saluran gastrointestinal (GI) dalam beberapa derajat. Namun, karena luasnya persoalan fisiologis pada sistem gastrointestinal, hanya sedikit masalah-masalah yang berkaitan dengan usia yang dilihat dalam kesehatan lansia. Banyak masalah-masalah gastrointestinal yang dihadapi oleh lansia lebih erat dihubungkan dengan gaya hidup mereka.
12
Mitos umum dikaitkan dengan fungsi normal saluran gastrointestinal dan perubahan-perubahan kebutuhan nutrisi lansia (Stanley, 2007). 1) Rongga Mulut Bagian rongga mulut yang lazim terpengaruh adalah gigi, gusi, dan lidah. Kehilangan gigi penyebab utama adanya Periodontal disease yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk. Indera pengecap menurun disebabkan adanya iritasi kronis dari selaput lendir, atropi indera pengecap (± 80 %), hilangnya sensitivitas dari syaraf pengecap di lidah terutama rasa manis dan asin, hilangnya sensitivitas dari syaraf pengecap tentang rasa asin, asam, dan pahit (Nugroho, 2008). 2) Esofagus Esophagus mengalami penurunan motilitas, sedikit dilatasi atau pelebaran seiring penuaan. Sfingter esophagus bagian bawah (kardiak) kehilangan tonus. Refleks muntah pada lansia akan melemah, kombinasi dari faktor-faktor ini meningkatkan resiko terjadinya aspirasi pada lansia (Luecknotte, 2000). 3) Lambung Terjadi atrofi mukosa. Atrofi dari sel kelenjar, sel parietal dan sel chief akan menyebabkan sekresi asam lambung, pepsin dan faktor intrinsik berkurang. Ukuran lambung pada lansia menjadi lebih kecil, sehingga daya tampung makanan menjadi berkurang. Proses perubahan protein menjadi peptone terganggu. Karena sekresi asam lambung berkurang rangsang lapar juga berkurang (Darmojo & Martono, 2006). Kesulitan dalam mencerna makanan adalah akibat dari atrofi mukosa lambung dan penurunan motalitas lambung. Atrofi mukosa lambung merupakan akibat dari penurunan sekresi asam hidrogen-klorik (hipoklorhidria), dengan pengurangan absorpsi zat besi, kalsium, dan vitamin B 12. Motilitas gaster biasanya menurun, dan melambatnya gerakan dari sebagian makanan yang
13
dicerna keluar dari lambung dan terus melalui usus halus dan usus besar (Stanley, 2007). 4) Usus Halus Mukosa usus halus juga mengalami atrofi, sehingga luas permukaan berkurang, sehingga jumlah vili berkurang dan sel epithelial berkurang. Di daerah duodenum enzim yang dihasilkan oleh pankreas dan empedu juga menurun, sehingga metabolisme karbohidrat, protein, vitamin B12 dan lemak menjadi tidak sebaik sewaktu muda (Leueckenotte, 2000). 5) Usus Besar dan Rektum Pada lansia terjadi perubahan dalam usus besar termasuk penurunan sekresi mukus, elastisitas dinding rektum, peristaltic kolon yang melemah gagal mengosongkan rektum yang dapat menyebabkan konstipasi
(Leueckenotte, 2000). Pada usus besar
kelokan-kelokan pembuluh darah meningkat sehingga motilitas kolon menjadi berkurang. Keadaan ini akan menyebabkan absorpsi air dan elektrolik meningkat (pada kolon sudah tidak terjadi absorpsi makanan), feses menjadi lebih keras, sehingga keluhan sulit buang air besar merupakan keluhan yang sering didapat pada lansia. Proses defekasi yang seharusnya dibantu oleh kontraksi dinding abdomen juga seringkali tidak efektif karena dinding abdomen sudah melemah (Darmojo & Martono, 2006). 6) Pankreas Produksi enzim amilase, tripsin dan lipase akan menurun sehingga kapasitas metabolisme karbohidrat, protein dan lemak juga akan menurun. Pada lansia sering terjadi pankreatitis yang dihubungkan dengan batu empedu. Batu empedu yang menyumbat ampula Vateri akan menyebabkan oto-digesti parenkim pankreas oleh enzim elastase dan fosfolipase-A yang diaktifkan oleh tripsin dan/ atau asam empedu (Darmojo & Martono, 2006).
14
7) Hati Hati berfungsi sangat penting dalam proses metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Disamping juga memegang peranan besar dalam proses detoksikasi, sirkulasi, penyimpanan vitamin, konjugasi billirubin dan lain sebagainya. Dengan meningkatnya usia, secara histologik dan anatomik akan terjadi perubahan akibat atrofi sebagiab besar sel, berubah bentuk menjadi jaringan fibrous. Hal ini akan menyebabkan penurunan fungsi hati (Darmojo & Martono, 2006). Proses penuaan telah mengubah proporsi lemak empedu tanpa perubahan metabolisme asam empedu yang signifikan. Faktor ini memengaruhi peningkatan sekresi kolesterol. Banyak perubahanperubahan terkait usia terjadi dalam sistem empedu yang juga terjadi pada pasien-pasien yang obesitas (Stanley, 2007).
b. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal Menurut Lueckenotte (2000), tulang-tulang pada sistem skelet (rangka) membentuk fungsi penunjang, pelindung, gerakan tubuh dan penyimpanan mineral. Jaringan otot rangka melekat pada rangka dan bertanggung jawab untuk gerakan tubuh volunter. Persendian diklasifikasikan secara struktural dan fungsional. Klasifikasi struktural didasarkan pada ikatan materi tulang dan apakah ada rongga persendian. Klasifikasi fungsional didasarkan pada jumlah gerakan yang dimungkinkan pada persendian. Bila artikulasis di antara tambahan tulang, sendi menahan tulang dan memungkinkan gerakan. Penurunan progresif pada massa tulang total terjadi sesuai proses penuaan. Beberapa kemungkinan penyebab dari penurunan ini meliputi ketidakaktifan fisik, perubahan hormonal dan resorpsi tulang. Efek penurunan tulang adalah makin lemahnya tulang : vertebra lebih lunak dan dapat terteka dan tulang berbatang panjang kurang tahanan terhadap penekukan dan menjadi lebih cenderung fraktur.
15
Serat otot rangka berdegenerasi. Fibrosis terjadi saat kolagen menggantikan otot, mempengaruhi pencapaian suplai oksigen dan nutrisi. Massa, tonus, dan kekuatan otot semuanya menurun : otot lebih menonjol dari ekstremitas yang menjadi kecil dan lemah, dan tangan kurus dan tampak bertulang. Penyusupan dan sklerosis pada tendon dan otot mengakibatkan perlambatan respon selama tes refleks tendon. Menurut Pujiastuti (2003), perubahan muskuloskeletal antara lain pada jaringan penghubung, kartilago, tulag, otot dan sendi. 1) Jaringan penghubung (kolagen dan elastin) Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, kartilago, dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan penurunan hubungan pada jaringan kolagen, merupakan salah satu alasan penurunan mobilitas pada jaringan tubuh. Sel kolagen mencapai puncak mekaniknya karena penuaan, kekakuan dari kolagen mulai menurun. Kolagen dan elastin yang merupakan jaringan ikat pada jaringan penghubung mengalami perubahan kualitas dan kuantitasnya. Perubahan pada kolagen ini merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok dan berjalan dan hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Upaya fisioterapi untuk mengurangi dampak tersebut adalah memberikan latihan untuk menjaga mobilitas. 2) Kartilago Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami granulasi akhirnya permukaan sendi menjadi rata. Selanjutnya kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progresif. Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matrik kartilago, berkurang atau
16
hilang secara bertahap sehingga jaringan fibril pada kolagen kehilangan
kekuatannya
dan
akhirnya
kartilago
cenderung
mengalami fibrilasi. Kartilago mengalami klasifikasi di beberapa tempat seperti pada tulang rusuk dan tiroid. Fungsi kartilago menjadi tidak efektif tidak hanya sebagai peredam kejut, tetapi sebagai permukaan sendi yang berpelumas. Konsekuensinya kartilago pada persendian menjadi rentan terhadap gesekan. Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu berat badan. Akibat perubahan itu sendi mudah mengalami peradangan, kakakuan, nyeri, keterbatasan gerak dan terganggunya aktivitas sehari-hari. Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dapat diberikan teknik perlindunga sendi. 3) Sistem Skeletal Ketika manusia mengalami penuaan, jumlah masa otot tubuh mengalami penurunan. Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem skeletal akibat proses menua: Penurunan tinggi badan secara progresif karena penyempitan didkus intervertebral dan penekanan pada kolumna vertebralis. Implikasi dari hal ini adalah postur tubuh menjadi lebih bungkuk dengan penampilan barrel-chest. Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap beban gerakan rotasi dan lengkungan. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan terjadinya risiko fraktur (Stanley, 2007). 4) Sistem Muskular Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem muskular akibat proses menua: Waktu untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang. Implikasi dari hal ini adalah perlambatan waktu untuk bereaksi, pergerakan yang kurang aktif. Perubahan kolumna vertebralis, akilosis atau kekakuan ligamen dan sendi, penyusutan dan sklerosis tendon dan otot, dan perubahan
17
degeneratif ekstrapiramidal.
Implikasi
dari hal
ini
adalah
peningkatan fleksi (Stanley, 2007). 5) Sendi Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sendi akibat proses menua: Pecahnya komponen kapsul sendi dan kolagen. Implikasi dari hal ini adalah nyeri, inflamasi, penurunan mobilitas sendi dan deformitas. Kekakuan ligamen dan sendi. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko cedera (Stanley, 2007).
c. Perubahan pada Sistem Persarafan Sistem neurologis, terutama otak adalah suatu faktor utama dalam penuaan. Neuron-neuron menjadi semakin komplek dan tumbuh, tetapi neuron-neuron tersebut tidak dapat mengalami regenerasi. Perubahan struktural yang paling terlihat tejadi pada otak itu sendiri. Walaupun bagian lain dari sistem saraf pusat juga terpengaruh. Perubahan ukuran otak yang dipengaruhi oleh atrofi girus dan dilatasi sulkus dan ventrikel otak. Korteks serebal adalah daerah otak yang paling besar dipengaruhi oleh kehilangan neuron. Penurunan aliran darah serebral dan penggunaan oksigen dapat pula terjadi dengan penuaan. Menurut Pujiastuti (2003), lanjut usia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensorik dan respon motorik pada susunan saraf pusat. Hal ini terjadi karena SSP pada lanjut usia mengalami perubahan. Berat otak pada lansia berkurang berkaitan dengan berkurangnya kandungan protein dan lemak pada otak sehingga otak menjadi lebih ringan. Akson, dendrit dan badan sel saraf banyak mengalami kematian, sedang yang hidup banyak mengalami perubahan. Dendrit yang berfungsi untuk komunikasi antar sel mengalami perubahan menjadi lebih tipis dan kehilangan
18
kontak antar sel. Daya hantar saraf mengalami penurunan 10% sehingga gerakan menjadi lamban. Akson dalam medula spinalis menurun 37%. Perubahan tersebut mengakibatkan penurunan kognitif, koordinasi, keseimbangan, kekuatan otot, reflek, perubahan postur dan waktu reaksi. Hal itu dapat dicegah dengan latihan koordinasi dan keseimbangan.
d. Perubahan pada Sistem Endokrin Kelenjar endokrin dapat mengalami kerusakan yang bersifat age-related cell loss, fibrosis, infiltrasi limfosit, dan sebagainya. Perubahan karena usia pada reseptor hormon, kerusakan permeabilitas sel dan sebagainya, dapat menyebabkan perubahan respon inti sel terhadap kompleks hormon-reseptor (Darmojo & Martono, 2006). Perubahan pada sistem endokrin akibat penuaan antara lain produksi dari hampir semua hormon menurun, fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah, terjadinya pituitari yaitu pertumbuhan hormon ada tetapi lebih rendah dan hanya di dalam pembuluh darah; berkurang produksi ACTH, TSH, FSH, dan LH. Menurunnya aktivitas tiroid, menurunnya BMR (Basal Metabolic Rate) dan menurunnya daya pertukaran zat. Menurunnya produksi aldosteron dan menurunnya sekresi hormon kelamin, misalnya progesteron, estrogen dan testosteron (Nugroho, 2008).
B. Konstipasi 1. Definisi Konstipasi secara luas didefinisikan sebagai frekuensi jarang atau kesulitan pergerakan feses, feses kering (Leueckenotte, 2000). Konstipasi adalah suatu penurunan frekuensi pergerakan usus yang disertai dengan perpanjangan waktu dan kesulitan pergerakan feses (Stanley, 2007). Pada tahun 1999 Komite Konsensus Internasional telah membuat suatu pedoman untuk membuat diagnosis konstipasi. Diagnosis dibuat
19
berdasar adanya keluhan paling sedikit 2 dari beberapa keluhan berikut, minimal dalam waktu 1 tahun tanpa pemakaian laksans (kriteria Roma II), yaitu (Whitehead, 1999) : (1) defekasi kurang dari 3x/minggu, (2) mengejan berlebihan minimal 25 % selama defekasi, (3) perasaan tidak puas berdefekasi minimal 25 % selama defekasi, (4) tinja yang keras minmal 25 %, (5) perasaan defekasi yang terhalang, dan (6) penggunaan jari untuk usaha evakuasi tinja (G Lindsay McCrea, 2008). International Workshop on Constipation berusaha lebih jelas memberikan batasan konstipasi. Berdasarkan rekomendasinya, konstipasi dikategorikan dalam dua golongan : 1) konstipasi fungsional, 2) konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada muara rektisigmoid. Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses, sedangkan penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi anorektal. Yang terakhir ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.
2. Manifestasi klinis Menurut Stanley (2007) : a. Mengejan berlebihan saat BAB b. Massa feses yang keras c. Perasaan tidak puas saat BAB d. Sakit pada daerah rektum saat BAB e. Menggunakan jari-jari untuk mengeluarkan feses
3. Makanan yang menyebabkan konstipasi Berikut beberapa makanan umum yang dapat menyebabkan konstipasi : a. Makanan yang tinggi lemak Contoh : minyak kacang tanah, minyak kelapa sawit, minyak kelapa, ayam, daging sapi, mentega, margarin, keju, susu kental manis, tepung susu, dan sebagainya.
20
b. Makanan yang tinggi gula Seperti makanan yang manis-manis, keju, dan makanan olahan (http://yankes.itb.ac.id).
4. Makanan yang tidak menyebabkan konstipasi Berikut beberapa makanan yang tidak menyebabkan konstipasi : a. buah-buahan segar Contoh : alvukat, anggur, belimbing, jambu biji, jeruk bali, jeruk sitrun, mangga, melon, nanas, pepaya, pisang, semangka, sirsat, srikaya, dan sebagainya. b. Sayuran Contoh : bayam, kangkung, daun pepaya, daun singkong, sawi hijau, kubis, kacang panjang, buncis, dan sebagainya. c. makanan tinggi serat Contoh : tepung maizena, beras ketan, ubi merah, ubi putih, oncom merah, oncom putih, kacang hijau, kacang tanah, dan sebagainya. d. makanan yang menyediakan asam lemak Omega-3 Terdapat dalam daun-daunan, beberapa minyak biji-bijian, termasuk minyak kacang kedelai, minyak biji rami, minyak biji rape, minyak ikan, ikan, kecambah, gandum (Almatsier, 2010).
5. Proses Pembentukan Feses Setiap harinya, sekitar 750 cc chime masuk ke kolon dari ileum. Di kolon, chime tersebut mengalami proses absorpsi air, natrium, dan kloride. Absorbsi ini dibantu dengan adanya gerakan peristaltic usus. Dari 750 cc chime tersebut, sekitar 150-200 cc mengalami proses reabsorbsi. Chime yang tidak direabsorbsi menjadi bentuk semisolid yang disebut feses. Selain itu, dalam saluran cerna banyak terdapat bakteri. Bakteri tersebut mengadakan fermentasi zat makanan yang tidak dicerna. Proses fermentasi akan menghasilkan gas yang dikeluarkan melalui anus setiap harinya, yang kita kenal dengan istilah flatus. Misalnya, karbohidrat saat
21
difermentasi akan menjadi hydrogen, karbondioksida, dan gas metan. Apabila terjadi gangguan pencernaan karbohidrat, maka akan ada banyak gas yang terbentuk saat fermentasi. Akibatnya, seseorang akan merasa kembung. Protein, setelah mengalami proses fermentasi oleh bakteri, akan menghasilkan asam amino, indole, statole, dan hydrogen sulphide. Oleh karenanya, apabila terjadi gangguan pencernaan protein maka flatus dan fesesnya menjadi sangat bau (Asmadi. 2008).
6. Akibat Konstipasi Menurut Darmojo&Martono (2006) akibat-akibat konstipasi antara lain: a. Impaksi feses Impaksi feses merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya penyerapan dari kolon dan rektum yang berkepanjangan. b. Volvulus daerah sigmoid Mengejan berlebihan dalam jangka waktu lama pada penderita dengan konstipasi dapat berakibat prolaps dari rektum. c. Haemorrhoid Tinja yang keras dan padat menyebabkan makin susahnya defekasi sehingga ada kemungkinan akan menimbulkan haemorrhoid. d. Kanker kolon Bakteri menghasilkan zat-zat penyebab kanker. Konsistensi tinja yang keras akan memperlambat pasase tinja sehingga bakteri memiliki waktu yang cukup lama untuk memproduksi karsinogen dan karsinogen yang diproduksi menjadi lebih konsentrat. e. Penyakit divertikular Mengedan berlebihan (peningkatan tekanan intraabdominal) pada penderita konstipasi dapat menyebabkan terbentuknya kantungkantung pada dinding kolon, di mana kantung-kantung ini berisi sisasisa makanan. Kantung-kantung ini dapat meradang dan disebut dengan divertikulitis.
22
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konstipasi pada Lansia Menurut Dudek (1997, dalam Leueckenotte, 2000), kejadian konstipasi pada lansia dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu : 1) Asupan serat a. Pengertian Serat makanan (diatery fiber) adalah komponen dalam tanaman yang tidak tercerna secara enzimatik menjadi bagian-bagian yang dapat diserap di saluran pencernaan (Almatsier, 2010). b. Ragam Serat makanan Menurut Wirakusumah (2003) ada dua istilah yang sering digunakan dalam kaitannya dengan serat yaitu : 1) Dietary fiber (serat makanan) ialah semua jenis serat yang tetap dalam kolon setelah pencernaan, baik serat larut air maupun serat tidak larut air. 2) Crude fiber (serat kasar) ialah serat tumbuhan yang tidak larut dalam air, misalnya selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Adapun serat yang larut dalam air adalah pektin, gum, gel dan mucilages. c. Klasifikasi Serat Klasifikasi serat menurut karakteristik kelarutan dalam air, yaitu : 1) Serat larut air (Soluble fibre) Serat larut air adalah serat yang larut dalam air kemudian membentuk gel dalam saluran pencernaan dengan cara menyerap air. Soluble fiber meliputi pectin, gum, mucilage, dan beberapa hemicelluloses. Bentuk lain soluble fiber/serat larut ditemukan pada gandum, padi dan polong. Pengaruh serat larut dalam saluran cerna berhubungan dengan kemampuan mereka untuk menahan air dan membentuk gumpalan/gel. 2) Serat tidak larut air (Insoluble fibre ) Serat tidak larut air yaitu serat yang tidak dapat larut dalam air dan juga dalam sistem pencernaan, tetapi memiliki kemampuan
23
menyerap air dan meningkatkan tekstur dan volume tinja. Insoluble fiber terutama terdiri dari cellulose dan hemicelluloses. Sumber utama serat ini berada dalam padi, sereal dan biji-bijian (Devi, 2010). d. Sumber Serat Sumber makanan yang tinggi serat antara lain: 1) sayur-sayuran : daun bawang, bawang prei, kecipir muda, kangkung, tauge, tomat, lobak, kembag kol, daun kelor, brokoli, buncis, kentang, kol, wortel, timun, daun singkong, daun kemangi, dan lain-lain. 2) buah-buahan : jambu biji, belimbing, anggur, kedondong,. 3) sereal : oat, gandum, rye, jagung, beras, dan beras merah. 4) biji-bijian : sunflower seed dan sesame seed. 5) kacang-kacangan : kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, kacang tolo, kacang bogor (Kusharto, 2007). e. Anjuran konsumsi Belum ada AKG untuk serat. Namun, untuk diet 2.000 kalori untuk orang dewasa, paling sedikit 1.000-2.000 kalori harus berasal dari karbohidrat kompleks. Diet serat yang dianjurkan adalah 20 gram-35 gram per hari dan cukup untuk pemeliharaan tanpa efek negatif terhadap kesehatan (Devi, 2010). f. Cara menghitung serat Asupan serat diperoleh dari data konsumsi makanan yang dikumpulkan dengan metode food recall selama 24 jam. Prinsip dari metode recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam metode ini responden menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu (kemarin). Recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut.
24
Langkah-langkah pelaksanaan recall 24 jam adalah sebagai berikut: 1) Petugas atau pewawancara menanyakan kembali dan mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi responden dalam ukuran rumah tangga (URT) selama kurun waktu 24 jam yang lalu. Kemudian petugas melakukan konversi dari URT ke dalam ukuran berat (gram). Dalam menaksir/memperkirakan ke dalam ukuran berat (gram) menggunakan berbagai alat bantu seperti contoh ukuran rumah tangga (piring, gelas, sendok, dan lain-lain). 2) Menganalisis bahan makanan ke dalam zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). 3) Membandingkan dengan Daftar Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (DKGA) atau Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk Indonesia (Supariasa, dkk, 2001). g. Keuntungan Serat Keuntungan-keuntungan serat antara lain: 1) berfungsi untuk mengontrol berat badan. 2) mencegah/meringankan
risiko
konstipasi,
Irritable
Bowel
Syndrome, penyakit divertikular, dan haemorrhoid. 3) mencegah kanker kolon. 4) menurunkan kadar Low Density Lipoprotein dan kolesterol. 5) memperlambat absorbsi glukosa (berguna untuk meregulasi kadar gula darah) (Devi, 2010). h. Asupan serat dan konstipasi Konsumsi serat makanan, khususnya serat tak larut (tak dapat dicerna dan tak larut air panas) menghasilkan kotoran yang lembek. Insoluble fibre bersifat menahan air pada fragmen serat sehingga menghasilkan tinja yang lebih banyak dan berair. Akibatnya akan terjadi stimulasi gerakan peristaltik, mempercepat waktu transit kolon, peningkatan frekuensi defekasi, dan penurunan tekanan di dalam kolon (Wirakusumah E. , 2003).
25
2) Intake cairan Kebutuhan cairan merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia secara fisiologis, yang memiliki proporsi besar dalam bagian tubuh, hampir 90% dari total berat badan tubuh. Sementara itu, sisanya merupakan bagian padat dari tubuh. Secara keseluruhan, kategori persentase cairan tubuh berdasarkan umur adalah bayi baru lahir 75% dari total berat badan, pria dewasa 57% dari total berat badan, wanita dewasa 55% dari total berat badan, dan dewasa tua 45% dari total berat badan. Persentase cairan tubuh bervariasi, bergantung pada faktor usia, lemak dalam tubuh dan jenis kelamin (Alimul Hidayat, 2006). Di samping sumber air yang nyata berupa air dan minuman lain, hampir semua makanan mengandung air. Sebagian besar buah dan sayuran mengandung sampai 95% air, sedangkan daging, ayam, dan ikan sampai 70-80%. Air juga dihasilkan di dalam tubuh sebagai hasil metabolisme energi. Ketidakseimbangan air dapat berakibat buruk bagi kesehatan, seperti konstipasi dan dehidrasi. Konsumsi air diatur oleh rasa haus dan kenyang. Hal ini terjadi melalui perubahan yang dirasakan oleh mulut, hipotalamus (pusat otak yang mengontrol pemeliharaan keseimbangan air dan suhu tubuh) dan perut. Bila konsentrasi bahan-bahan di dalam darah terlalu tinggi, maka bahan-bahan ini akan menarik air dari kelenjar ludah. Mulut menjadi kering, dan timbul keinginan untuk minum guna membasahi mulut. Bila hipotalamus mengetahui bahwa konsentrasi darah terlalu tinggi, maka timbul rangangan untuk minum. Pengaturan minum dilakukan pula oleh saraf lambung (Almatsier, 2010). Pada lansia, proses penuaan normal dapat mempengaruhi keseimbangan cairan. Perubahan fisiologi yang terjadi antara lain respons haus sering menjadi tumpul, nefron (unit fungsional ginjal) menjadi kurang mampu menahan air, penurunan TBW (total body water) yang berhubungan dengan FFM (Fat Free Mass). Perubahan normal karena penuaan ini meningkatkan resiko dehidrasi (Audrey Berman et.al, 2009).
26
Angka kecukupan air untuk usia di atas 50 tahun keatas menurut AKG, tahun 2004 dalam Devi (2010) adalah 1,5-2 liter/hari. Intake
cairan
berpengaruh
pada
eliminasi
fekal.
Kolon
menggunakan banyak air untuk memecah makanan padat. Bahan sisa metabolisme dalam saluran cerna akan membawa sejumlah air yang telah digunakan untuk mencairkan makanan, dan hal ini tergantung pada ketersediaan air di dalam tubuh. Air yang membawa sisa metabolisme akan bertindak sebagai pelumas untuk membantu sisa metabolisme ini bergerak di sepanjang kolon. Semakin tubuh membutuhkan air, semakin besar usahanya untuk menyerap kembali air yang tersedia di dalam usus. Proses ini memberikan tekanan besar pada sisa metabolisme agar airnya dapat diabsorbsi kembali oleh mukosa atau dinding selaput dari kolon. Dampaknya tinja menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses yang keras (Guyton & Hall, 1996).
3) Aktivitas fisik a. Pengertian aktivitas fisik Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi
untuk
mengeluarkannya, seperti berjalan, menari, mengasuh cucu, dan lain sebagainya (Darmojo & Martono, 2006). b. Aktivitas fisik lansia Lansia yang mengalami penuaan yang optimal akan tetap aktif dan tidak mengalami penyusutan dalam kehidupan sehari-hari (Stanley, 2007). Lansia yang masih melakukan aktivitas fisik dapat mempertahankan kualitas hidupnya agar tetap sehat. Adapun tipe-tipe
27
aktivitas fisik yang dapat dilakukan lansia untuk mempertahankan tubuh yaitu : 1) Kemandirian (Self Efficacy) Kemandirian seorang lansia akan menimbulkan keberanian lansia dalam mobilisasi. 2) Latihan pertahanan (Resistance training) Latihan pertahanan meliputi : kecepatan gerak sendi, luas lingkup gerak sendi (range of motion) dan jenis kekuatan yang dihasilkan karena pemendekan atau pemanjangan otot. Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan, dapat membantu jantung, paru-paru, otot, dan sistem sirkulasi darah tetap sehat dan membuat tubuh mereka bertenaga. Contoh berjalan, lari ringan, berkebun ataupun di sawah. 3) Daya tahan (Endurance) Daya tahan akan meningkatkan kekuatan yang didapat dari latihan pertahanan. Aktivitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat membantu kerja otot tubuh dalam menahan sesuatu beban yang diterima, tulag tetap kuat, dan mempertahankan bentuk tubuh serta membantu
meningkatkan
pencegahan
terhadap
penyakit
osteoporosis. Contoh membawa belanjaan, naik turun tagga, dan angkat berat atau beban. 4) Kelenturan Kelenturan merupakan komponen yang sangat penting ketika lansia melakukan
mobilisasi
karena
pada
lansia
banyak
terjadi
pembatasan luas lingkup gerak sendi akibat kekakuan otot dan tendon. Aktivitas fisik yang bersifat untuk kelenturan dapat membatu pergerakan lebih mudah, mempertahankan otot tubuh tetap lentur dan sendi berfungsi dengan baik. Contoh mencuci piring, mencuci pakaian, mencuci mobil, dan mengepel lantai.
28
5) Keseimbangan Keseimbangan pada lansia harus diperhatikan karena gangguan keseimbangan pada lansia saat mobilisasi dapat menyebabkan lansia mudah terjatuh (Darmojo & Martono, 2006). c. Kebutuhan Energi untuk Berbagai Aktivitas Tabel 2.1 Kebutuhan energi untuk berbagai aktivitas dan berat badan (Almatsier, 2010) : Aktivitas
kkal/kg/jam
Aktivitas
kkal/kg/jam
Bersepeda (cepat)
7,6
Main piano (sedang)
1,4
Bersepeda (sedang)
2,5
Membaca keras
0,4
Bertukang/kayu (berat)
2,3
Berlari
7,0
Menyulam
0,4
Menjahit, tangan
0,4
Berdansa (cepat)
3,8
Menjahit mesin jahit tangan
0,6
Berdansa (lambat)
3,0
Menjahit mesin jahit motor
0,4
Mencuci piring
1,0
Menyanyi, keras
0,8
Mengganti baju
0,7
Duduk diam
0,4
Menyetir mobil
0,9
Berdiri tegap
0,6
Makan
0,4
Berdiri relaks
0,5
Mencuci pakaian
1,3
Menyapu lantai
1,4
Tiduran
0,1
Berenang 3 ½ km/jam
7,9
Mengupas kentang
0,6
Mengetik, cepat
1,0
Main pingpong
4,4
Berjalan 3 km/jam
2,0
Menulis
0,4
Berjalan 6,8 km/jam (cepat)
3,4
Mengecat kursi
1,5
Berjalan 10 km/jam (sangat cepat)
9,3
Sumber : Guthrie, H.A, Introductory Nutrition, 1986, halm. 146.
Gaya hidup yang kurang menggunakan aktivitas fisik akan berpengaruh terhadap kondisi tubuh seseorang. Aktivitas fisik tersebut diperlukan untuk membakar energi dari dalam tubuh.
29
d. Manfaat aktivitas fisik Manfaat mobilisasi yang tepat dan benar bagi lansia : 1) Meningkatkan kemampuan dan kemauan seksual lansia 2) Kulit tidak cepat keriput atau menghambat proses penuaan 3) Meningkatkan keelastisan tulang sehingga tulang tidak mudah patah 4) Menghambat
pengecilan
otot
dan
mempertahankan
atau
mengurangi kecepatan penurunan kekuatan otot (Darmojo & Martono, 2006). e. Aktivitas fisik dan konstipasi Mempertahankan mobilisasi optimal sangat penting untuk kesehatan mental dan fisik semua lansia. Pada umumnya, para lansia akan mengalami penurunan aktifitas fisik. Salah satu faktor penyebabnya adalah
pertambahan usia yang dapat menyebabkan
terjadinya kemunduran biologis. Kondisi ini setidaknya akan membatasi aktifitas yang menuntut ketangkasan fisik. Aktivitas fisik juga merangsang terhadap timbulnya peristaltik. Penurunan aktivitas fisik dapat mengakibatkan terjadinya penurunan gerak peristaltik dan dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum dalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan feses sehingga feses mengeras. Aktivitas fisik juga membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus otot yang baik dari otot-otot abdominal, otot pelvis dan diafragma sangat penting bagi defekasi (Asmadi, 2008). 4) Depresi a. Pengertian Depresi yaitu keadaan jiwa yang tertekan dan penurunan fungsi kognitif hingga berpotensi menimbulkan bergagai kendala (Noorkasiani, 2009). Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia baik fungsi psikis mupun fungsi fisik, yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada
30
pola tidur dan nafsu makan, psikomotorik, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Ilmu kedokteran jiwa darurat, 2004). b. Bentuk-bentuk Depresi Gangguan depresi dibedakan dalam dua bentuk. Pertama adalah bentuk gangguan depresi yang ditandai dengan episode depresi. Bentuk depresi ini muncul dalam gejala-gejala seperti rasa sedih, tidak berdaya, murung, munculnya perasaan bersalah dan berdosa, jika depresinya semakin berat maka akan timbul perasaan putus asa diikuti munculnya keinginan mati dan ide bunuh diri. Kedua berupa gangguan depresi bipolar yang kadang disebut juga dengan gangguan manic depresif, yang ditandai dengan perubahan drastis antara manic dan depresi (Sulistyorini, 2005). c. Menurut Noorkasiani (2009), faktor risiko depresi adalah : 1) Kehilangan/meninggal orang (objek) yang dicintai 2) Sikap pesimistik 3) Kecenderungan berasumsi negatif terhadap suatu pengalaman yang mengecewakan 4) Kehilangan integritas pribadi 5) Berpenyakit degeneratif kronis, tanpa dukungan sosial yang adekuat : depresi dan penyakit kronik mungkin dapat terjadi secara bersamaan karena adanya perubahan fisik yang dihubungkan dengan penyakit yang merupakan penyebab dari depresi dan individu akan menunjukkan reaksi psikologis. d. Tingkat Depresi Menurut Maslim (1996) dalam bukunya PPDGJ III, Tingkat Depresi dapat dibedakan atas : 1) Tingkat Depresi Ringan : harus ada 2 gejala dari kelompok 1, disertai minimal 2 gejala dari kelompok 2 (sedikit kesulitan dalam melanjutkan pekerjaan, hubungan sosial dan kegiatan sehari-hari).
31
2) Tingkat Depresi Sedang : harus ada 2 gejala dari kelompok 1, disertai minimal 2 dari kelompok 2 dan hambatan psikososial sedang dari kelompok 3. 3) Tingkat Depresi Berat : harus ada gejala dari kelompok 1, minimal 4 gejala dari kelompok 2 dan hambatan psikososial berat dari kelompok 3 (tidak dapt melanjutkan kegiatan). e. Tanda dan Gejala Depresi merupakan sindrom kompleks yang manifestasinya beragam, yang paling sering adalah berupa keluhan vegetatif (insomnia), mengurus, konstipasi, serta dibarengi dengan penurunan kondisi kesehatan, bahkan memikirkan ajal. Para lansia itu dapat terlihat sedih, menangis, cemas, sensitif, atau paranoid. f. Pengukuran Tingkat Depresi Pengukuran tingkat depresi menggunakan instrument pertanyaan yang dirancang oleh Yesavage, H.A. et al (1993), dikutip Noorkasiani, dalam bukunya “Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan”. Merupakan skala pengukuran depresi yang dapat digunakan sebagai instrument penyaringan di Komunitas dan Klinik. Instrument ini terdiri dari 30 item pertanyaan, dengan analisa hasil: nilai 6-15 adalah depresi ringan sampai sedang, 16-30 adalah depresi berat dan 0-5 adalah keadaan normal. 5) Penggunaan obat-obatan Pengobatan kadang-kadang bertambahnya usia identik dengan ketergantungan obat. Pada dasarnya, pengobatan dapat memperbaiki kondisi kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup, tetapi di lain pihak pengobatan pun dapat mempengaruhi asupan kebutuhan gizi lansia. Efek ini timbul karena obat-obatan tertentu dapat mempengaruhi proses penyerapan zat gizi. Tidak jarang lansia harus mengkonsumsi obat-obatan dalam waktu yang cukup lama. Banyak obat menyebabkan efek samping konstipasi. Beberapa di antaranya seperti obat-obatan antikolinergik,
32
antasida aluminium, golongan narkotik, golongan analgetik, antihipertensi dan diuretik. Obat antikolinergik mengurangi sekresi asam lambung dengan menghambat aktivitas nervus vagus. Ini berakibat penurunan motilitas gastrointestinal (efek antispasmodik). Obat antikolinergik yang umum dipakai, misalnya Robinul, Pamine, Tyrimide, Monodral, Pro-Banthine. Antasida dipakai untuk mengobati ulkus ventrikuli, ulkus duodeni, dispepsia dan esofagitis. Garam aluminium dapat mengakibatkan konstipasi. Contoh obat antasida aluminium yang umum dipakai seperti Mylanta, Gastrogel, Aludox, Simeco, dan lain-lain. Analgesik lemah mempengaruhi produksi substansi penyebab nyeri pada tempat luka, dan meliputi aspirin dan salisilat, paracetamol, NSAID (non-steroidal anti-inflammatory drugs), dan opiat lemah (kodein dan dekstropropoksifen). Obat analgesik non-narkotika memberikan beberapa efek samping yang tidak diinginkan. Efek samping yang paling umum terjadi adalah pada saluran pencernaan yaitu menghambat aktivitas kontraktil dan melambatkan pengosongan lambung. NSAID yang umum dipakai seperti Asam mefenamat (Ponstan, Mefic, Stanza), ibuprofen, aspirin, naproksen, piroksikam, indometasin, dan lain sebagainya (Tambayong, 2001). Keburukan narkotik adalah depresi pernapasan, konstipasi, toleransi dan ketergantungan bila sering digunakan. Alkaloid yang berasal dari opium adalah morfin, codein, papaverine dan noscapin. Obat golongan
ini
merangsang
otot
polos,
berakibat
spasme
otot
gastrointestinal, saluran biliaris, dan saluran kemih. Selain itu mengurangi motilitas usus dan mengakibatkan konstipasi. Pengobatan diuretik akan mempengaruhi
keseimbangan
cairan
dan
elektrolit
sehingga
mempengaruhi proses absorpsi di usus. Obat diuretik yang umum dipakai misalnya Furosemide, Torsemide, Metolazone, Hydroflumethiazide, Bendroflumethazide, dan lain sebagainya (Katzung, 2001).
33
6) Gangguan metabolik Hiperkalsemia mengacu pada kelebihan kalsium dalam plasma. Secara umum, gejala-gejala hiperkalsemia adalah sebanding dengan tingkat kenaikan kadar kalsium serum. Hiperkalsemia mengurangi eksitabilitas neuromuskular karena hal ini menekan aktivitas pertemuan mioneural. Gejala-gejala seperti kelemahan muskular, inkoordinasi, anoreksia, dan konstipasi dapat karena penurunan tonus pada otot lurik dan polos. Hipotiroid yaitu dimana produksi hormon pada kelenjar tiroid mengalami penurunan sehingga kecepatan metabolisme tubuh terganggu, sehingga ketika proses metabolisme makanan dalam tubuh terhambat maka proses pengeluarannya pun juga lebih lambat (Smeltzer & Bare, 2001). 7) Kurang privasi untuk BAB Kurang privasi untuk BAB, mengabaikan dorongan BAB dapat menjadi stimulus psikologis bagi individu untuk menahan buang air besar dan dapat menyebabkan konstipasi (Darmojo&Martono, 2006). 8) Obstruksi mekanik Kanker kolon adalah tumor ganas yang berasal dari mukosa kolon. Kanker yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan pola defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran feses, dan konstipasi karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar mengakibatkan obstruksi (Darmojo&Martono, 2006).
34
D. Kerangka Teori Lansia
Perubahan fisiologis
Perubahan sistem gastrointestinal
Penurunan
Konstipasi
peristaltik kolon
Asupan serat
Gangguan metabolik (hiperkalsemia, hipotiroid)
Intake cairan
Depresi Obstruksi mekanik (Ca)
Aktivitas fisik Kurangnya privasi untuk BAB Penggunaan obat-obatan
Skema 2.1. Kerangka Teori Sumber : Dudek (1997, dalam Leueckenotte, 2000)
35
E. Kerangka Konsep Variabel Independent 1.
Asupan serat Variabel Dependent
2. Intake cairan
Kejadian konstipasi pada lansia
3. Aktivitas fisik
4. Depresi
Skema 2.2 . Kerangka Konsep
F. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas (independent) dalam penelitian ini adalah asupan serat, intake cairan, aktivitas fisik, depresi. 2. Variabel terikat (dependent) dalam penelitian ini adalah kejadian konstipasi pada lansia G. Hipotesis penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Ada hubungan asupan serat dengan kejadian konstipasi pada lansia di
RW II Kelurahan Rejomulyo Kecamatan Semarang Timur Semarang. 2. Ada hubungan intake cairan dengan kejadian konstipasi pada lansia di
RW II Kelurahan Rejomulyo Kecamatan Semarang Timur Semarang.
36
3. Ada hubungan aktivitas fisik dengan kejadian konstipasi pada lansia di
RW II Kelurahan Rejomulyo Kecamatan Semarang Timur Semarang. 4. Ada hubungan depresi dengan kejadian konstipasi pada lansia di RW II
Kelurahan Rejomulyo Kecamatan Semarang Timur Semarang.