11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Percutaneous Coronary Angiography (PCA) 1. Pengertian Angiografi koroner adalah tindakan memasukkan kateter melalui arteri femoralis (Judkins) atau arteri brachialis (Sones) yang didorong sampai ke aorta assendens dan diarahkan ke arteri koronaria yang dituju dengan bantuan fluoroskopi (Woods, Froelicher, Motzer & Bridges, 2005). Diagnostik invasif kardiovaskuler adalah suatu tindakan pemeriksaan diagnosik untuk menentukan diagnosa secara invasif pada kelainan jantung dan pembuluh darah. Dikatakan invasif, karena tindakan ini memasukkan selang/tube kecil (kateter) ke dalam jantung, melalui pembuluh darah baik vena atau arteri. Oleh karena itu biasa disebut juga pemeriksaan kateterisasi jantung (Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe, 2001).
Kateterisasi
jantung
adalah
suatu
pemeriksaan
jantung
dengan
memasukkan kateter ke dalam sistem kardiovaskular untuk memeriksa keadaan anatomi dan fungsi jantung. Angiografi koroner atau penyuntikan bahan kontras ke dalam arteri koronaria merupakan tindakan yang paling sering digunakan untuk menentukan lokasi, luas dan keparahan sumbatan dalam arteri koronaria (Price & Wilson 2005). Price dan Wilson (2005) menyebutkan bahwa angiografi koroner dapat memberikan informasi tentang lokasi lesi atau sumbatan pada koroner, derajat obstruksi, adanya sirkulasi kolateral, luasnya gangguan jaringan pada area distal koroner yang tersumbat dan jenis morfologi lesi.
12
2. Macam Kateterisasi Jantung Menurut
Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001)
pemeriksaan
kateterisasi jantung terbagi atas: a. Kateterisasi jantung kanan (untuk kelainan pada jantung kanan), misalnya Stenosis Pulmonal. b. Kateterisasi jantung kiri(untuk kelainan pada jantung kiri), misalnya penyakit jantung koroner, koartasio aorta. c. Kateterisasi jantung kanan dan kiri (untuk kelainan jantung kanan dan kiri), misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001) menyebutkan bahwa pemeriksaan kateterisasi menurut pada intinya terbagi atas 2 tindakan yaitu angiogram dan penyadapan. a. Angiogram/angiography Yaitu memasukkan media/zat kontras ke dalam suatu rongga (ruang jantung/pembuluh darah), untuk meyakinkan suatu anatomi/aliran darah,
kemudian
merekam/mendokumentasikannya
ke
dalam
film/CD/video sebagai data. b. Penyadapan Yaitu tindakan menyadap/merekam/mendokumentasikan tekanan, kandungan oksigen, sistem listrik jantung, tanpa menggunakanmedia kontras.
3. Indikasi dan Kontra IndikasiKateterisasi Jantung dan Angiografi Koroner Indikasi
kateterisasi
jantung
secara
umum
menurut
Rokhaeni,
Purnamasari & Rahayoe (2001) dilakukan untuk beberapa kondisi yaitu a. Penyakit jantung koroner yang jelas/didiagnosis. b. Sakit dada (angina pektoris) yang belum jelas penyebabnya. c. Angina pektoris yang tidak stabil/bertambah. d. Infark miokard yang tidak berespon dengan obat-obatan.
13
e. Gagal jantung kongestif. f. Gambaran EKG abnormal (injuri, iskemik, infark), usia 50 tahun ke atas, asimtomatik. g. Treadmill test positif. h. Evaluasi bypass koroner. i. Abnormal irama (bradi/takhikardia). j. Kelainan katub jantung. k. Kelainan jantung bawaan. l. Kelainan pembuluh perifer.
Adapun kontra indikasi dalam pemeriksaan kateterisasi jantung menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001) tidak ada yang mutlak, hanya bergantung pada kondisi saat itu, yaitu ibu hamil dengan usia kehamilan kurang dari 3 bulan, infeksi, gagal jantung yang tidak terkontrol dan alergi berat terhadap zat kontras (mungkin menjadi mutlak).
4. Komplikasi Berdasarkan Turkish Society of Cardiology (2007), komplikasi yang ditemukan dibagi menjadi komplikasi mayor dan komplikasi minor. a. Komplikasi mayor/utama Komplikasi utama meliputi reoklusi akut, miokard infark baru, pendarahan hebat di selangkangan kaki, tamponade jantung akibat pecah atau robeknya dinding arteri koroner atau jantung ruang dan kematian. b. Komplikasi minor Komplikasi minor PCA antara lain oklusi cabang pembuluh koroner, ventrikel/atrium aritmia, bradikardi, hipotensi, perdarahan, arteri trombus, emboli koroner. Komplikasi minor lain adalahkehilangan darah yang parah dan membutuhkan transfusi, iskemia pada ekstremitas tempat penusukan femoral sheath, penurunan fungsi
14
ginjal karena media kontras, emboli sistemik dan hematoma di selangkangan, hematoma retroperitoneal, pseudoaneurisma, fistula AV.
Komplikasi yang timbul pasca angiografi koroner melalui arteri arteri femoral dipengaruhi oleh strategi untuk mengurangi komplikasi vaskuler yang terkait dengan kateterisasi jantung melalui identifikasi faktor risiko yang terkait dan pelaksanaan strategi pengurangan risiko. Antara ahli jantung dan perawat memainkan peran penting dalam pengenalan dini dan pengelolaan komplikasi ini. Mengidentifikasi faktor-faktor risiko individu pasien merupakan aspek penting dari perawatan selama kateterisasi jantung. Hal-hal yang dapat meningkatkan risiko untuk pengembangan komplikasi vaskular pasca kateterisasi jantung yaitu usia (yakni usia lebih dari 70 tahun), jenis kelamin perempuan, sangat kurus atau gemuk tidak sehat, adanya penyakit pembuluh darah perifer, hipertensi (PA-PSRS, 2007).
5. Teknik Anestesi Umumnya tindakan kateterisasi menggunakan anestesi lokal, karena kita perlu kerja sama dengan pasien saat tindakan berlangsung, tetapi pada bayi atau anak yang tidak stabil/biru dan berpotensi terjadi kegawatan biasanya digunakan anestesi umum (Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe, 2001).
6. Teknik Memasukkan Kateter Rokhaeni, Purnamasari dan Rahayoe (2001) menyebutkan bahwa teknik memasukkan kateter PCA ada 2 cara yaitu a. Perkutan atau percutaneous, seperti teknik memasang infus.
15
b. Cutdown atau vena seksi, yaitu membuat sayatan pada otot dan mencari pembuluh darah kemudian melokalisasinya dan membuat tusukan pada pembuluh darah tersebut untuk memasukkan kateter. Teknik yang sering digunakan adalah cara perkutan karena komplikasi dari teknik ini sangat kecil dan mudah untuk mengerjakannya.
7. Persiapan Pasien Pre Tindakan Rokhaeni, Purnamasari
dan
Rahayoe (2001) menyebutkan bahwa
persiapan terencana yang dilakukan pada pasien sebelum dilakukan PCA adalah persiapan fisik, administrasi dan mental. a. Persiapan fisik 1) Puasa (makanan) kurang lebih 4-6 jam sebelum tindakan. 2) Bebaskan area penusukan (cukur rambut pada area tersebut). 3) Obat-obatan dilanjutkan sesuai instruksi dokter. 4) Hasil pemeriksaan penunjang dibawakan: laboratorium (Hb, CT, BT, Ureum, Kreatinin, HbSAg, AIDS), test treadmill, X-ray, Echokardiogram, EKG lengkap. 5) Nilai tanda-tanda vital saat itu. 6) Test Allen (untuk kateterisasi melalui arteri radialis). 7) Cek sirkulasi darah perifer (arteri femoralis, poplitea, dorsalis pedis) untuk kateterisasi melalaui arteri femoralis. b. Persiapan Administrasi 1) Surat ijin tindakan/inform concent. 2) Surat pernyataan pembayaran (keuangan). c. Persiapan Mental Pemberian pendidikan kesehatan tentang prosedur kateterisasi jantung (apa, bagaimana, tujuan, manfaat, komplikasi dan prosedur kerja).
16
8. Perawatan Pasien Pasca Tindakan Perawatan pasien pasca tindakan angiografi koroner menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001) adalah a. Observasi keluhan pasien. b. Observasi tanda-tanda vital setiap 15 menit selama 1 jam dan 30 menit selama 2 jam sampai stabil. c. Observasi perdarahan dengan melakukan tindakan: 1) Mengevaluasi area bekas tusukan femoral sheath. 2) Gunakan penekanan dengan bantal pasir. 3) Immobilisasi ekstremitas pada daerah tusukan selama 8-12 jam post tindakan. 4) Libatkan keluarga/pasien untuk mengamati daerah tusukan, mungkin terjadi perdarahan. d. Observasi tanda-tanda dan efek samping zat kontras yaitu 1) Observasi
tanda-tanda
alergi
kontras
seperti
gatal-gatal,
menggigil, mual dan muntah. 2) Observasi tanda hipotensi dan perubahan tanda vital. 3) Pemberian cairan/volume peroral/parenteral. 4) Ukur cairan yang masuk dan keluar. e. Observasi tanda-tanda infeksi meliputi: 1) Observasi daerah luka dari sesuatu yang tidak aseptik/septik. 2) Selalu menjaga kesterilan area penusukan. 3) Observasi adanya perubahan warna, suhu pada luka tusukan. f. Observasi tanda-tanda gangguan sirkulasi ke perifer. 1) Palpasi arteri poplitea, dorsalis pedis, pada sisi arteri yang kita lakukan penusukan seiap 15 menit (1 jam), 30 menit (2 jam) antara kanan dan kiri dibandingkan. 2) Bila terjadi gangguan(nadi lemah/tak teraba), beritahu dokter biasanya diberikan obat antikoagulan bolus atau bisa dilanjutkan dengan pemberian terus menerus(kontinyu).
17
3) Observasi kehangatan daerah ekstremitas kanan dan kiri kemudian dibandingkan.
B. Penekanan Mekanikal Menggunakan Bantal Pasir Pasca Angiografi Koroner Bantal pasir pada pasien pasca angiografi koroner mempunyai tujuan membantu mengurangi komplikasi yang timbul akibat pencabutan femoral sheath. Penelitian tentang penggunaan bantal pasir sebagai penekan mekanik salah satunya dilakukan oleh Yilmaz, Gurgun dan Dramali (2007) yang bertujuan untuk mengevaluasi efek menempatkan karung pasir di situs akses femoralis setelah prosedur invasif jantung dan mengubah posisi pasien di tempat tidur pada tingkat komplikasi pembuluh darah dan beratnya nyeri punggung yang berkaitan dengan masa istirahat setelah prosedur yang menghasilkan angka kejadian komplikasi vaskular tidak berbeda nyata pada kelompok dengan penerapan karung pasir bila dibandingkan dengan kelompok tanpa penerapan karung pasir. Sakit punggung dilaporkan lebih sering pada pasien yang posisinya tidak berubah dan yang kepala tempat tidur tidak dibesarkan sehingga kesimpulan yang diperoleh adalah karung pasir tidak efektif dalam mengurangi kejadian komplikasi vaskular setelah prosedur
sedangkan
untuk
meningkatkan
kenyamanan
dan
untuk
mengurangi nyeri punggung pasien, posisi pasien harus diubah dan kepala tempat tidur tersebut harus ditinggikan sekitar 30 atau 45 derajat dari posisi semula.
C. Keluhan Ketidaknyamanan Akibat Penggunaan Bantal Pasir Pasca Angiografi Koroner 1. Ketidaknyamanan Pasien pasca PCA akan mengalami kondisi ketidaknyamanan atau gangguan rasa nyaman akibat immobilisasi di tempat tidur antara 6-8 jam. Hal ini akan bertambah rasa ketidaknyamanan dengan adanya
18
penekanan bantal pasir pada area penusukan femoral sheath. Ketidaknyamanan kenyamanan.
adalah
Kenyamanan
hal
yang
adalah
bertolak
konsep
belakang
sentral
dengan
tentang
kiat
keperawatan. Perawat memberi asuhan keperawatan kepada pasien di berbagai keadaan dan situasi, yang memberikan intervensi untuk meningkatkan kenyamanan. Konsep kenyamanan memiliki subjektivitas yang sama dengan nyeri. Setiap individu memiliki karakteristik fisik, logis, sosial, spiritual psikologis, dan kebudayaan yang mempengaruhi cara mereka menginterpretasikan dan merasakan nyeri (Potter & Perry, 2005).
Kolbaca (1992) dalam Potter & Perry (2005) mendefinisikan kenyamanan dengan cara yang konsisten pada pengalaman subjektif pasien. Kolbaca mendefinisikan kenyamanan sebagai suatu keadaan telah terpenuhi kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan ketentraman (suatu kepuasan yang meningkatkan penampilan sehari-hari), kelegaan (kebutuhan telah terpenuhi) dan transenden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi masalah atau nyeri). Suatu cara pandang yang holistik tentang kenyamanan membantu dalam upaya mengidentifikasi empat konteks yaitu fisik, sosial, psikospiritual dan lingkungan (Perry & Potter, 2005). Ketidaknyamanan fisik, berhubungan
dengan
sensasi
tubuh.
Ketidaknyamanan
sosial,
berhubungan dengan hubungan interpersonal, keluarga dan sosial. Ketidaknyamanan psikospiritual, berhubungan dengan kewaspadaan internal dalam diri sendiri, meliputi harga diri, seksualitas dan makna kehidupan. Sedangkan ketidaknyamanan lingkungan, berhubungan dengan latar belakang pengalaman eksternal manusia: cahaya, bunyi, temperatur, warna dan unsur-unsur alamiah.
19
Penilaian tentang konteks kenyamanan memberikan seorang perawat rentang pilihan yang lebih luas dalam mencari tindakan untuk mengatasi nyeri. Jacox, Carr, Payne, dkk, (1994) dalam Potter & Perry (2005) mengatakan pendekatan klinis rutin terhadap pengkajian dan penatalaksanaan nyeri dapat menggunakan metode ABCDE. “A” yaitu: Ask atau tanyakan nyeri secara teratur atau assess/kaji nyeri secara sistematis. “B” yaitu believe atau percaya apa yang dilaporkan pasien dan keluarga serta apa yang mereka lakukan untuk menghilangkan nyeri tersebut. “C” yaitu choose atau pilih cara pengontrolan nyeri yang cocok untuk pasien, keluarga dan kondisi. “D” yaitu deliver/berikan intervensi secara terjadwal, logis dan terkondisi. “E” yaitu empower/ mendayagunakan pasien dan keluarga mereka serta enable/mampukan mereka mengontrol pengobatan sejauh mana mereka dapat lakukan.
2. Ketidaknyamanan
Akibat
Penggunaan
Bantal
Pasir
Pasca
Angiografi Koroner Ketidaknyamanan yang muncul saat dilakukan penekanan mekanik dan pasien dianjurkan immobilisasi selama 6 jam yang akan dibahas peneliti yaitu nyeri (nyeri pada lipatan paha, nyeri punggung dan nyeri pinggang), kaki kebas/baal dan kaki kesemutan. a. Nyeri Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Smeltzer & Bare, 2008). Menurut International Assosiation for Study of Pain (IASP) dalam Potter dan Perry (2005) nyeri adalah sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Struktur spesifik dalam sistem saraf terlibat dalam mengubah stimulus menjadi sensasi nyeri. Sistem yang terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri disebut
20
sebagai sistem nosiseptif. Sensitivitas dari komponen sistem nosiseptif dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor dan berbeda di antara individu. Tidak semua orang yang terpajan terhadap stimulus yang sama mengalami intensitas nyeri yang sama. Nyeri yang mungkin muncul saat dilakukan penekanan menggunakan bantal pasir pada pasien pasca PCA antara lain nyeri lipatan paha tempat penusukan femoral sheath, nyeri pinggang, dan nyeri punggung
akibat
immobilisasi.
Keluhan
tersebut
diakibatkan
immobilisasi pasien saat dilakukan penekanan bantal pasir. Ketika orang sadar mempunyai kontrol otot volunter dan persepsi tekanan. Sehingga mereka biasa merasakan posisi yang nyaman ketika berbaring. Karena rentang gerak, sensasi dan sirkulasi pada orang sadar berada dalam batas normal, mereka mengubah posisi mereka merasakan ketegangan otot dan penurunan sirkulasi (Potter & Perry, 2005). Apabila terjadi penurunan sirkulasi pada area distal akibat penekanan bantal pasir inilah yang berpotensi menimbulkan keluhan nyeri. Tetapi nyeri yang timbul tersebut dijabarkan secara umum oleh penulis pada penelitian ini.
Proses fisiologi timbulnya nyeri pada pasien pasca angiografi koroner yaitu stimulus yang dalam hal ini adalah bantal pasir sebagai penekan mekanikakan menyebabkan pelepasan substansi kimia seperti histamin, bradikinin, dan kalium. Substansi tersebut menyebabkan nosiseptor bereaksi, apabila nosiseptor mencapai ambang nyeri, maka akan timbul impuls saraf yang akan dibawa oleh serabut saraf perifer. Serabut saraf perifer yang akan membawa impuls saraf ada dua jenis, yaitu serabut A-delta dan serabut C. Impuls saraf akan dibawa sepanjang serabut saraf sampai ke kornu dorsalis medulla spinalis. Impuls saraf tersebut akan menyebabkan kornu dorsalis melepaskan neuro transmiter (substansi P). Substansi P ini menyebabkan transmisi
21
sinapsis dari saraf perifer ke saraf traktus spinotalamus. Hal ini memungkinkan impuls saraf ditransmisikan lebih jauh ke dalam sistem saraf pusat. Setelah impuls saraf sampai di otak, otak mengolah impuls saraf kemudian akan timbul respon reflek protektif. Respon protektif yang muncul sebagai cara untuk menghindari atau mengurangi rasa nyeri yang timbul (Smeltzer & Bare, 2008).
Menurut Perry & Potter (2005) nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya, berdasarkan penyebab, berdasarkan lama durasi dan berdasarkan lokasi penyerbarannya. 1) Berdasarkan sumbernya yaitu nyeri superfisial, nyeri dalam dan nyeri organ dalam. a) Cutaneous/superfisial
yaitu
nyeri
yang
mengenai
kulit/jaringan subkutan biasanya bersifat burning. Contoh : terkena ujung pisau/gunting. b) Somatic/nyeri dalam yaitu nyeri yang muncul dari pembuluh darah, tendon saraf dan lebih lama dari superfisial. c) Visceral/organ dalam yaitu stimulasi reseptor nyeri dalam rongga abdomen, kranium dan thorak. 2) Berdasarkan penyebab dibagi menjadi nyeri fisik dan nyeri psikogenik. a) Nyeri fisik, bisa terjadi karena stimulus fisik misalnya karena radang tulang, otot dan reumatik lainnya, nyeri otot, kuku/ pemendekan otot (kram), sakit bahu dan tulang punggung, salah posisi saat kerja/aktivitas dan tidur, cedera olah raga, kelainan bentuk kaki, pasca patah tulang, amputasi tulang dan osteoporosis. b) Nyeri Psycogenic yaitu terjadi karena sebab yang kurang jelas/susah/diidentifikasi bersumber dari emosi/psikis dan
22
biasanya tidak disadari. Contoh: orang yang marah tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya. 3) Berdasarkan Lokasi/Letak: a) Radiating Pain adalah nyeri menyebar dari sumber nyeri menyebar ke jaringan didekatnya. b) Referred Pain adalah nyeri dirasakan pada bagian tubuh tertentu yang diperkirakan berasal dari jaringan penyebab. c) Intractable Pain yaitu nyeri yang sangat susah dihilangkan. Contoh: nyeri kanker maligna. d) Phanthom Pain yaitu nyeri dirasakan pada bagian tubuh yang hilang/bagian tubuh yang lumpuh injuri medula spinalis. Contoh: bagian tubuh yang diamputasi. 4) Berdasarkan lama atau durasinya dibagi menjadi nyeri akut dan kronis seperti yang diuraikan dalam tabel 2.1 Tabel 2.1 Perbedaan Karakteristik Nyeri Akut dan Nyeri Kronik Nyeri Akut Lama dalam hitungan menit. Ditandai peningkatan nadi, respirasi. Respon:fokus pada nyeri, menangis, mengerang. Tingkah laku: menggosok bagian yang nyeri
Nyeri Kronik Lama > 6 bulan. Fungsi fisiologis bersifat normal. Tidak ada keluhan nyeri. Tidak ada aktifitas fisik sebagai respon terhadap nyeri
Nyeri yang timbul bisa dilihat bedasarkan tingkatannya. Ada beberapa tingkatan nyeri/tipe nyeri menurut para ahli yaitu 1) Skala keterangan nyeri Menurut Perry dan Potter (2005) skala nyeri berdasarkan keterangannya terdiri dari 0-10 yaitu skala 10 artinya sangat dan tidak dapat dikontrol oleh pasien. Nyeri skala 7, 8, 9 artinya sangat nyeri tapi masih dapat dikontrol oleh pasien dengan aktivitas yang biasa dilakukan. Skala 6 artinya nyeri seperti terbakar atau ditusuktusuk. Skala 5 artinya nyeri seperti tertekan atau bergerak. Skala 3
23
artinya nyeri seperti kram atau kaku. Skala 3 yaitu nyeri seperti perih atau mules. Skala 2 yaitu nyeri seperti melilit atau terpukul. Skala 1 yaitu nyeri seperti terbakar, tersetrum atau nyut-nyutan, dan skala 0 yaitu tidak ada nyeri. 2) Skala nyeri berdasarkan tipe nyeri Menurut Perry dan Potter (2005) skala nyeri berdasarkan tipe nyeri terdiri dari 1-10. Nyeri skala 10 yaitu tipe nyeri sangat berat yaitu pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul. Nyeri skala 7-9 yaitu tipe nyeri berat secara objektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat diatasi dengan alih posisi napas panjang/dalam dan distraksi. Nyeri skala 4-6 yaitu tipe nyeri sedang, secara objektif pasien mendesis, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik. Skala nyeri 1-3 yaitu tipe nyeri ringan, secara objektif pasien berkomunikasi dengan baik.
Adapun skala nyeri menurut Smeltzer & Bare (2008) adalah skala intensitas nyeri deskriptif, skala intensitas nyeri numerik (Numeric Rating Scale) dan skala analog visual (Visual Analog Scale) 1) Skala intensitas nyeri deskriptif 0
1
2
3
4
Tidak Nyeri ringan nyeri
5
6
7
Nyeri sedang
8
9
Nyeri sedang terkontrol
10 Nyeri berat tidak terkontrol
2) Skala intensitas nyeri numerik 0 Tidak nyeri
1
2
3
4
5
Nyeri sedang
6
7
8
9
10
Nyeri paling hebat
24
3) Skala Analog Visual 0
1
2
3
4
Tidak nyeri
5
6
7
8
9
10
Nyeri sehebat yang dapat terjadi
Menurut Perry dan Potter (2005) nyeri yang terjadi akan menyebabkan seseorang memberikan respon berupa respon fisiologis, respon psikologis, respon tingkah laku berupa pernyataan verbal, respon ekpresi wajah, gerakan tubuh dan respon kontak dengan orang lain. 1) Respon Fisiologis berupa stimulasi saraf simpatis dan parasimpatis. Stimulasi saraf simpati meliputi dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respiratory rate, peningkatan heart rate, peningkatan nilai gula darah, diaporesis, peningkatan kekuatan otot, dilatasi pupil, penurunan motilitas saluran cerna. Adapun stimulus parasimpatik berupa muka pucat, otot mengeras, penurunan heart rate, napas cepat dan irreguler, nausea dan vomitus, kelelahan dan keletihan. 2) Respon psikologis berupa bahaya atau merusak, komplikasi seperti infeksi, penyakit yang berulang, penyakit baru, penyakit yang fatal, kehilangan mobilitas, menjadi tua dan sembuh. 3) Respon lingkah laku respon tingkah laku berupa pernyataan verbal, respon ekpresi wajah, gerakan tubuh dan respon kontak dengan orang lain. Respon pernyataan verbal meliputi mengaduh, menangis, sesak napas, mendengkur. Respon ekspresi wajah meliputi meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir. Respon gerakan tubuh meliputi gelisah, immobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan dan respon interaksi sosial berupa menghindari percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian.
25
b. Kaki Kesemutan Kesemutan adalah perasaan pegal dan nyeri yang menusuk-nusuk. Kesemutan sering terjadi pada ujung jari kaki maupun ujung jari tangan, juga pada salah satu sisi tubuh. Penyebabnya karena tertindihnya saraf di suatu daerah atau organ tubuh sehingga ujung saraf menjadi lumpuh (Wijayakusuma, 1999). Rasa kesemutan bisa terjadi di seluruh tubuh, hanya di salah satu sisi tubuh atau bagian tertentu dan bisa berlanjut sebagai rasa tebal. Penyebabnya adalah jika terjadi di seluruh tubuh bisa disebabkan gangguan liver, ginjal anemia dan sistem kekebalan tubuh, jika kesemutan dirasakan di salah satu sisi tubuh bisa disebabkan jepitan saraf di sebelah atas tempat yang kesemutan, DM (daerah kaki)(Wratsonggo & Sulistyo, 2006).
Berikut ini yang terjadi pada kondisi normal. Ketika tekanan yang berlebihan dialami oleh salah satu bagian kaki atau lengan, ada beberapa hal yang terjadi. Arteri bisa tertekan, sehingga arteri tidak bisa memasok jaringan-jaringan dan saraf dengan oksigen dan glukosa yang dibutuhkan agar dapat berfungsi dengan baik. Saluran saraf juga bisa tersumbat, menghalangi transmisi normal impulsimpuls elektrokimia ke otak. Dalam situasi ini, sebagian saraf berhenti mengirimkan sinyal sementara sebagian lain mengirimkan sinyal secara berlebihan. Sinyal-sinyal tersebut dikirimkan ke otak, yang setiba di sana ditafsirkan sebagai rasa terbakar, rasa ditusuktusuk, rasa digigit semut. Semua rasa tadi yang membuat kita ingin menggerakkan kaki atau tangan. Menguncang-guncang kaki bisa menghilangkan tekanan dan sel-sel saraf mulai mengirimkan sinyal secara normal. Rasa ditusuk-tusuk bisa bertambah sampai sel-sel saraf yang terpengaruh pulih kembali. Itu sebabnya sakit sekali ketika
26
kita mencoba ”membangunkan“ kaki yang kesemutan (Leyner & Goldberg, 2006).
c. Kaki Kebas/Baal Baal merupakan keadaan dimana permukaan tubuh tidak mampu merasakan rangsangan dari luar tubuh, misalnya cubitan, sentuhan, tusukan. Keadaan ini dapat terjadi di kaki, tangan, atau jari-jari dan bersifat sementara. Rangsang nyeri menyebabkan impuls saraf sensorik akan dikirim ke otak. Penderita baal terjadi kerusakan pada saraf sensorinya yang mengakibatkan tidak berfungsinya saraf sensorik, sehingga permukaan tubuh tidak bisa meraskan sakit akibat dicubit. Baal dapat terjadi karena kurangnya aliran darah pada bagian tubuh tertentu. Tidak lancarnya aliran darah dapat disebabkan karena menyempitnya pembuluh darah (Wijayakusuma, 1999). Kaki yang mati rasa, kadang-kadang menandakan adanya penyakit arteri perifer (Peripheral Artery Desease atau PAD) juga disebut penyakit vaskular perifer (Peripheral Vascular Deseaseatau PVD) (Liebmann-Smith & Egan, 2008). Sensasi kaki kesemutan dapat diukur dengan melakukan cubitan. Pengukuran keluhan kaki kebas juga dapat dilakukan dengan menggunakan test sensasi menggunakan monofilamen.
3. Hal-Hal
yang
KetidaknyamananAkibat
Berkaitan Penggunaan
dengan Bantal
Munculnya Pasir
Pasca
Angiografi Koroner a. Usia Usia adalah variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak dan lansia. Perbedaan perkembangan, yang ditemukan diantara usia kelompok ini dapat mempengaruhi bagaimana lansia dan anak bereaksi terhadap nyeri (Potter & Perry, 2005).
27
b. IMT / BMI Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) didefinisikan sebagai bobot badan dalam kilogram dibagi dengan luas permukaan tubuh yang diukur dalam meter. Berdasarkan National Institute of Health (NIH) dikutip dari Howard & Prince (2006) pembagian kategori berat badan individu berdasarkan IMT dibagi menjadi lima. IMT < 18,5 dianggap kekurangan bobot badan. IMT 18,5 hingga 24,9 dianggap memiliki bobot normal. IMT 25 hingga 29,9 dianggap kelebihan bobot badan. IMT 30 ke atas digolongkan sebagai gemuk dan IMT 40 ke atas digolongkan sebagai sangat gemuk. Komplikasi pembuluh darah akan meningkat pada pasien dengan berat badan lebih dari normal, Ammann, et al., (2003) dalam Woods, et al., (2005) mengatakan pasien obesitas bisa mengalami kehilangan darah lebih dari 500 ml tanpa teridentifikasi oleh perawat sekitar akibat hematom.
c. Jenis Kelamin Giil (1990) dalam Potter & Perry (2005) mengatakan secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespon terhadap nyeri. Diragukan apakah jenis kelamin merupakan suatu faktor dalam pengekspresian nyeri. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin, misalnya menganggap bahwa anak laki-laki tidak boleh menangis, sedangkan perempuan boleh menangis pada situasi yang sama (mengalami ketidaknyamanan nyeri).
d. Bantal pasir Adalah sebuah alat berbentuk seperti bantal berbahan kain kedap air dan halus permukaannya yang diisi pasir karena sifat pasir yang padat dan tidak keras. Tujuan mengganti penekan manual untuk
28
mencegah hematom atau perdarahan pada pasien pasca PCA karena ditempatkan di area bekas tusukan arteri femoralis. Beratnya bervariasi tergantung IMT pasien yang dilakukan PCA. Bantal pasir sebagai penekan mekanik pengganti penekan manual ini bila terlalu berat
atau
terlalu
lama
dapat
menimbulkan
keluhan
ketidaknyamanan pada pasien (Potter & Perry, 2005). Berat bantal pasir yang direkomendasikan dalam Standar Operasional Prosedur (SPO) (2005) pasien pasca PCA di RSUP Dr. Kariadi Semarang 2,5 kg. Ross, Branderburg & Dinsmore (1987) juga merekomendasikan berat bantal pasir yang digunakan seberat 5 pon atau 2,5 kg.
D. Kerangka Teori E.
Penyebab : Tindakan angiografi koroner Punksi arteri femoralis sebagai akses kateter Injuri arteri femoralis
Pencegahan : 1. Penekanan manual selama ±20 menit 2. Penekanan mekanik dengan bantal pasir selama 6 jam 3. Immobilisasi kaki tempat tusukan
Penekanan mekanik dengan bantal pasir Mengurangi proses injuri pada pembuluh darah/hematom Immobilisasi kaki kanan/tempat penusukan femoral sheath selama 6 jam Keluhan ketidaknyamanan yang muncul: 1. Nyeri lipatan paha 2. Nyeri punggung 3. Nyeri pinggang 4. Kaki kesemutan 5. Kaki kebas/baal
Skema 2.1 Kerangka Teori Sumber: Tina Jones dan McCutcheon (2002)
29
E. Kerangka Konsep Proses : Penekanan bantal pasir selama 3 jam
Variabel Bebas: Penggunaanbantal pasir dengan berat 2,1 kg, 2,3 kg dan 2,5 kg
Variabel terikat : Ketidaknyamanan yang muncul saat penekanan bantal pasir
Skema 2.2 Kerangka Konsep
F. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas(Independen) Variabel bebas adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang
menjadi
sebab
perubahannya
atau
timbulnya
varibel
dependen/terikat (Sugiyono, 2007). Variabel bebas adalah penggunaan bantal pasir yang akan dijadikan sebagai penekan pasif pada pasien pasca tindakan kateterisasi jantung dengan berat 2,1 kg,2,3 kg dan 2,5 kg.
2. Variabel terikat (Dependen) Varibel terikat sering disebut sebagai variabel output, kriteria, konsekuen. Variabel terikat merupakan varibel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2007). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan ketidaknyamanan, antara lain: a. Nyeri lipatan paha b. Nyeri punggung c. Nyeri pinggang d. Kaki kesemutan
30
e. Kaki kebas/baal G. Hipotesis Penelitian Beberapa hipotesis yang akan muncul dari penelitian ini adalah: 1. Ada
perbedaan
pengaruh
penggunaan
bantal
pasir
terhadap
ketidaknyamanan pada pasien pasca tindakan Percutaneous Coronary Angiography ( PCA ). 2. Ada pengaruh penggunaan bantal pasir 2,1 kg, 2,3 kg dan 2,5 kg pasca tindakan PCA terhadap keluhan ketidaknyamanan nyeri lipatan paha pada pasien pasca tindakan PCA. 3. Ada pengaruh penggunaan bantal pasir 2,1 kg, 2,3 kg dan2,5 kg pasca tindakan PCA terhadap keluhan ketidaknyamanan nyeri punggung pasien pasca tindakan PCA. 4. Ada pengaruh penggunaan bantal pasir 2,1 kg, 2,3 kg dan2,5 kg pasca tindakan PCA terhadap keluhan ketidaknyamanan nyeri pinggang pasien pasca tindakan PCA. 5. Ada pengaruh penggunaan penggunaan bantal pasir 2,1 kg, 2,3 kg dan 2,5 kg pasca tindakan PCA terhadap keluhan kaki kesemutan pada pasien pasca tindakan PCA. 6. Ada pengaruh penggunaan penggunaan bantal pasir 2,1 kg, 2,3 kg dan 2,5 kg pasca tindakan PCA terhadap keluhan kaki kebas/baal pada pasien pasca tindakan PCA.