BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Sektor Informal Menurut Zarida Hermanto (1995), konsep sektor informal pedagang kaki lima pertama kali diperkenalkan oleh Keith Hart pada tahun 1971, dari hasil penelitiannya tentang ”Small-scale Enterpreneurs in Ghana”. Konsep ini kemudian dipopulerkan oleh ILO/UNDP pada tahun 1972 melalui hasil penelitian di Kenya. Selanjutnya Sethuratnam (1976) secara intensif melalui berbagai penelitiannya baik perorangan maupun bersama-sama dengan ILO/UNDP memperluas konsep sektor informal ini. Walaupun konsep ini telah lama diperkenalkan, namun konsep dan definisi baku dari sektor informal belum ada seperti apa yang dikemukakan oleh Hans Singer dikutip oleh Lubell (1991, p:11). Informal sector entity is hard to describe but you know it when you see it. The informal sector enterprise is not only small, it is also likely to be located in a dilapidated structure structure (thus excluding from the informal category most self-employed doctors, lawyers and other liberal professional whose productive activity is likely to well-housed). Menurut Hidayat (1983) dalam Hermanto (1995), di Indonesia pengertian umum dari sektor informal pedagang kaki lima meliputi tiga hal : (1) sektor yang tidak menerima bantuan atau proteksi ekonomi dari pemerintah, seperti perlindungan tarif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan, pemberian kredit dengan bunga yang relatif rendah, pembimbingan teknis dan ketatalaksanaan, perlindungan dan perawatan tenaga kerja, penyediaan teknologi dan hak paten ; (2) sektor yang belum mempergunakan bantuan ekonomi pemerintah, walaupun bantuan itu telah tersedia; dan (3) sektor yang telah menerima dan menggunakan bantuan atau fasilitas yang disediakan oleh pemerintah, tetapi bantuan itu belum sanggup membuat unit usaha tersebut berdiri. Konsep operasional lain yang dapat digunakan untuk menjelaskan atau membatasi siapakah yang tergolong ke dalam sektor informal adalah sebagai
berikut : (1) unit usaha yang kecil; (2) pola kegiatannya tidak teratur baik dalam arti waktu permodalan maupun penerimaannya; (3) tidak mempunyai tempat yang tetap atau keterkaitan dengan usaha lain; (4) tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus sehingga secara luas dapat menyerap bermacam-macam tingkatan angkatan kerja; (5) modal peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian; (6) tidak disentuh oleh peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga sering dikatakan liar (Hermanto, 1995).
2.2 Pengertian PKL Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya (www.wikipedia.org). Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter (www.wikipedia.org). Sekian puluh tahun setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Kalau dahulu sebutannya adalah pedagang emperan jalan, lama-lama berubah menjadi pedagang kaki lima. Padahal kalau mau merunut sejarah, mustinya sebutannya adalah pedagang lima kaki (www.wikipedia.org). Secara umum, pedagang dapat diartikan sebagai penyalur barang dan jasajasa perkotaan. Adapun menurut McGee yang dikutip Young (1977) mendefinisikan pedagang kaki lima adalah “The people who offer goods or services for sale from public places, primarily streets and pavement”. Sedangkan Manning dan Tadjudin Noer Effendi (1985) menyebutkan bahwa pedagang kaki lima adalah salah satu pekerjaan yang paling nyata dan penting dikebanyakan kota di Afrika, Asia, Timur Tengah dan Amerika Latin (Rais dalam Umboh, 1990).
Menurut Breman (1988) dalam Umboh (1990), pedagang kaki lima merupakan usaha kecil yang dilakukan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah (gaji harian) dan mempunyai modal yang terbatas. Dalam bidang ekonomi, pedagang kecil ini termasuk dalam sektor informal, di mana merupakan pekerjaan yang tidak tetap dan tidak terampil serta golongan-golongan yang tidak terikat pada aturan hukum, hidup serba susah dan semi kriminil pada batas-batas tertentu. Dari
pengertian/batasan
tentang
pedagang
kaki
lima
sebagaimana
dikemukakan beberapa ahli di atas, dapat dipahami bahwa pedagang kaki lima merupakan bagian dari kelompok usaha kecil yang bergerak di sektor informal. Secara khusus, pedagang kaki lima dapat diartikan sebagai distribusi barang dan jasa yang belum memiliki izin usaha dan biasanya berpindah-pindah. Menurut Sethurahman (1985) dalam Umboh (1990) bahwa istilah pedagang kaki lima biasanya untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil, tetapi akan menyesatkan bila disebut dengan “perusahaan” berskala kecil karena beberapa alasan, antara lain : 1. Mereka yang terlibat dalam sektor ini pada umumnya miskin, berpendidikan rendah (kebanyakan para migran). Jelaslah bahwa mereka bukanlah kapitalis yang mencari investasi yang menguntungkan dan juga bukanlah pengusaha seperti yang dikenal pada umumnya. 2. Cakrawala mereka nampaknya terbatas pada pengadaan kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan yang langsung bagi dirinya sendiri. 3. Pedagang kaki lima di kota terutama harus dipandang sebagai unit-unit berskala kecil yang terlibat dalam produksi dan distribusi barang-barang yang masih dalam suatu proses evaluasi daripada dianggap sebagai perusahaan yang berskala kecil dengan masukan-masukan (input) modal dan pengolahan yang besar. Selanjutnya menurut definisi International Labour Organization (ILO), pedagang kaki lima didefinisikan sebagai sektor yang mudah dimasuki oleh pendatang baru, menggunakan sumber-sumber ekonomi dalam negeri, dimiliki oleh keluarga berskala kecil, menggunakan teknologi padat karya, keterampilan yang dibutuhkan diperoleh di luar bangku sekolah, tidak dapat diatur oleh pemerintah dan bergerak dalam pasar persaingan penuh (Hadji Ali, 1985).
Menurut Wirosardjono (1985) dalam Umboh (1990) pengertian pedagang kaki lima adalah kegiatan sektor marjinal (kecil-kecilan) yang mempunyai ciri sebagai berikut : 1. Pola kegiatan tidak teratur baik dalam hal waktu, permodalan maupun penerimaannya. 2. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah (sehingga kegiatannya sering dikategorikan “liar”). 3. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omsetnya biasanya kecil dan diusahakan dasar hitung harian. 4. Pendapatan mereka rendah dan tidak menentu. 5. Tidak mempunyai tempat yang tetap dan atau keterikatan dengan usaha-usaha yang lain. 6. Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. 7. Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus sehingga secara luas dapat menyerap bermacam-macam tingkatan tenaga kerja. 8. Umumnya tiap-tiap satuan usaha yang mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari lingkungan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama. 9. Tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan dan sebagainya. Sebagai saluran arus barang dan jasa, pedagang kaki lima merupakan mata rantai akhir sebelum mencapai konsumen dari satu mata rantai yang panjang dari sumber utamanya yaitu produsennya (Ramli, 1984 dalam Umboh, 1990). Berdasarkan barang atau jasa yang diperdagangkan, menurut Karafi dalam Umboh (1990), pedagang kaki lima dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1). Pedagang minuman; 2). Pedagang makanan; 3). Pedagang buah-buahan; 4). Pedagang sayur-sayuran; 5). Pedagang daging dan ikan; 6). Pedagang rokok dan obat-obatan; 7). Pedagang buku, majalah dan surat kabar; 8). Pedagang tekstil dan pakaian; 9). Pedagang kelontong; 10). Pedagang loak; 11). Pedagang onderdil kendaraan, bensin dan minyak tanah; 12). Pedagang ayam, kambing, burung dan 13). Pedagang beras; dan 14). Penjual jasa.
2.3 Penataan Ruang dan Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang Tata ruang harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No. 5/1960 Pasal 2 ayat 3). Dengan demikian Perencanaan Tata Ruang adalah bagian yang tak terpisahkan dari tujuan pembangunan secara keseluruhan. Dalam kenyataannya banyak kritik yang memandang bahwa penyusunan rencana tata ruang sering berpijak dari asumsi bahwa “ruang” yang direncanakan seolah-olah adalah ruang “tanpa penghuni”, sehingga dapat dengan mudah dibuat garis-garis batas berupa zoning yang menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan tertentu yang berketetapan hukum. Diatas kertas, penetapan tata ruang dipandang seringkali hanya mempertimbangkan aspek fisik wilayah (land suitability dan land
capability)
dan
aspek-aspek
kelestarian
lingkungan.
Di
dalam
pelaksanaannya perencanaan tata ruang juga seringkali dimonopoli oleh kepentingan pihak-pihak tertentu yang tidak berorientasi pada kepentingan publik (masyarakat luas). Ketetapan penataan ruang tersebut berakibat mengikat masyarakat penghuni yang ada didalamnya, dimana aktivitas pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan masyarakat tersebut bertentangan dengan penetapan peruntukkannya. Oleh karenanya bagi sebagian orang perencanaan tata ruang dipandang sebagai alasan untuk melakukan “penggusuran”, bukan sebagai alat untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya
untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang (UU No. 26/2007 Pasal 1). Perencanaan tata ruang sering disalahartikan sebagai suatu proses dimana perencana mengarahkan masyarakat untuk melakukan aktivitasnya (top-down process). Dalam paradigma perencanaan tata ruang yang modern, perencanaan tata ruang diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik,
sosial dan ekonomi untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan ruang didalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktifitas agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (publik) secara berkelanjutan (Rustiadi, dkk., 2006) Mengingat sasaran yang ingin dicapai, pihak perencana harus memiliki akses dan kapasitas ke pihak-pihak : (1) pengguna lahan, (2) lembaga legislasi, (3) eksekutif/pengambil keputusan, serta (4) badan-badan pelaksana pembangunan (sectoral agencies). Awal dari proses penataan ruang adalah beranjak dari adanya kebutuhan untuk melakukan perubahan sebagai akibat dari perubahan pengelolaan maupun akibat perubahan-perubahan keadaan (peningkatan kesejahteraan, bencana alam, perkembangan sosial, dan lain-lain). Jadi pada dasarnya harus ada dua kondisi yang harus dipenuhi dalam perencanaan tata ruang: (1) kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan, (2) adanya political will dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun (Rustiadi, dkk., 2006). Dengan demikian penyusunan perencanaan tata ruang pada dasarnya bukan merupakan suatu keharusan tanpa sebab, melainkan lahir dari adanya kebutuhan. Secara
individual
melakukan
maupun
kelompok,
pengaturan-pengaturan
masyarakat
ruang
pada
secara
sendiri-sendiri
kawasan-kawasan
yang
dikuasainya. Namun cakupan istilah tata ruang adalah suatu perencanaan yang beroriantasi pada kepentingan publik secara keseluruhan, bukan untuk kepentingan perseorangan/kelompok ataupun perusahaan/badan usaha. Sasaran utama dari Perencanaan Tata Ruang pada dasarnya adalah untuk menghasilkan penggunaan terbaik, namun biasanya dapat dikelompokkan atas tiga sasaran umum : (1) efisiensi, (2) keadilan dan akseptabilitas masyarakat, dan (3) keberlanjutan. Sasaran efisiensi merujuk pada manfaat ekonomi, di mana dalam konteks kepentingan publik pemanfaatan ruang diarahkan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat (publik). Tata ruang harus merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat, oleh karenanya perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan tata ruang juga harus
berorientasi pada keseimbangan fisik-lingkungan dan sosial sehingga menjamin peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan (sustainable). Seperti telah disebutkan diatas bahwa penataan ruang meliputi proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian. Terkait hal itu, maka dalam proses penataan ruang seluruh stakeholder, diantaranya pemerintah, masyarakat, dan swasta seharusnya berpartisipasi dalam setiap proses tersebut. Tingkat partisipasi tiap stakeholder dalam tiap tahapan penataan ruang tentu saja berbeda-beda. Idealnya, dalam negara demokrasi masyarakat berperanserta dalam tiap tahapan penataan ruang yang tentunya pemerintah tetap sebagai leader yang memayungi semua keinginan masyarakat. Peranserta masyarakat pada tiap tahapan perencanaan tata ruang bisa bervariasi yang menurut Setiawan (2005) dapat berupa ikutserta memberi masukan dalam seminar lokakarya, dan sebagainya. Untuk lebih jelas lihat Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Peranserta Masyarakat dalam Tiga Tahapan Penataan Ruang Tahapan Penataan Ruang
Bentuk kegiatan/ Keterlibatan
Perencanaan
Terlibat dalam proses penyusunan dan pengesahan satu rencana kota (mis: RUTRK, RDRTK, RTRK)
Pemanfaatan
Mulai dari sosialisasi, penyusunan program, peraturan, pembangunan langsung Pengawasan perijinan; penertiban; pelaporan akan penyimpangan; komplain/ pengaduan; penolakan
Pengendalian
Mekanisme
Catatan
Seminar/Lokakarya; diskusi ahli; pertemuan publik; pameran; pooling; pengajuan alternatif rencana; pengiriman pendapat tertulis di media massa Lokakarya; Musbang; Rakorbang; partisipasi langsung; gotongroyong; stimulan Pengaduan/pelaporan; pengawasan langsung; Protes/petisi; Demonstrasi;
Dapat perorangan, dapat perwakilan; umumnya terjadwal
Masyarakat dapat terlibat langsung untuk merealisasikan Lebih dinamik; tidak terjadwal; harus peka dan aktif mengikuti dinamika proses pembangunan yang terjadi
Sumber : Setiawan, 2005
Dalam kaitannya dengan peran serta masyarakat dalam penataan ruang, hal ini diatur dalam PP No. 69 tahun 1996 mengenai Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Dalam PP itu pada bagian ketiga yaitu pasal 15, 16 dan 17 disebutkan mengenai bentuk peran serta masyarakat dalam proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang wilayah kota. Dalam pasal 15 disebutkan peranserta masyarakat dalam perencanaan tata ruang diantaranya :
a. pemberian masukan untuk menentukan arah pengembangan wilayah yang akan dicapai; b. pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan termasuk bantuan untuk memperjelas hak atas ruang wilayah, termasuk perencanaan tata ruang kawasan; c. pemberian masukan dalam merumuskan perencanaan tata ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II; d. pemberian informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam penyusunan strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Kabupten/Kotamadya Daerah Tingkat II; e. pengajuan keberatan terhadap rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II; f. kerja sama dalam penelitian dan pengembangan; dan atau g. bantuan tenga ahli. Sedangkan dalam Pasal 16 disebutkan bahwa peranserta masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kota dapat berbentuk : a. pemanfaatan ruang daratan dan ruang udara berdasarkan peraturan perundangundangan, agama, adat atau kebiasaan yang berlaku; b. bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan dan perdesaan; c. penyelenggaraan kegiatan pembangunan berdasarkan rencana tata ruang yang telah ditetapkan; d. konsolidasi pemanfaatan tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya untuk tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas; e. perubahan atau konvensi pemanfaatan ruang sesuai dengan Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II; f. pemberian masukan untuk penetapan lokasi pemanfaatan ruang; dan atau g. kegiatan menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan. Adapun pada Pasal 17 mengatur mengenai peran serta masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kota dapat berbentuk :
a. pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, termasuk pemberian informasi atau laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang, dan atau b. bantuan pemikiran atau pertimbangan untuk penertiban kegiatan pemanfaatan ruang dan peningkatan kualitas pemanfaatan ruang. Berdasarkan kedua aturan di atas, yaitu UU No. 26 tahun 2007 dan PP No. 69 tahun 1996 dijelaskan bahwa masyarakat harus berperanserta dalam penataan ruang mulai dari proses perencanaan, pemanfaatan sampai proses pengendalian ruang. Berdasarkan tingkat peranserta masyarakat, berikut ini dapat digambarkan seberapa besar peranserta stakeholder dalam tiap tahapan penataan ruang. Tabel 3 Matriks Peranserta Parapihak dalam Penataan Ruang Tahapan Penataan Ruang Perencanaan Pemanfaatan Pengendalian
Tingkat Peranserta Parapihak Pemerintah Masyarakat Swasta *** ** * * *** ** ** *** *
Sumber : UU No. 26/2007 dan PP No. 69/1996 Ket. : * : Rendah ** : Sedang *** : Tinggi
Berdasarkan Tabel 3 tersebut, peranserta masyarakat terkait penataan PKL berarti masih dalam tahap perencanaan dan pemanfaatan karena PKL sudah menempati ruang yang ada di Kota Tasikmalaya. Dengan demikian PKL dan masyarakat memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan penataan itu yang tentu saja seharusnya tetap dibuat dulu oleh pemerintah kemudian didiskusikan dengan masyarakat sampai akhirnya dihasilkan penataan yang optimal. Namun demikian, tahapan pengawasan juga tentusaja perlu dilakukan dengan proporsi paling besar di tingkat PKL dan masyarakat karena masyarakatlah yang dapat mengawasi secara langsung pemanfaatan ruang yang ada dan pelanggaran-pelanggarannya.
2.4 Penataan PKL di Kota-kota di Asia Fenomena PKL di kota-kota di Asia sama halnya seperti di Indonesia. Untuk mengetahui keadaan PKL di kota-kota di Asia, Deguchi (2005) telah melakukan penelitian mengenai penggunaan sementara (temporary setting) dari ruang publik yang digunakan oleh PKL.
Berdasarkan penelitiannya di Fukuoka Jepang, Deguchi menganalisis karakteristik PKL dari tiga hal, yaitu : aktivitas (kegiatan), kenampakan spasial, dan lingkaran fungsi. 1). Kegiatan manusia (activity): aktivitas dari PKL dengan pengaturan temporer diklasifikasikan kedalam 5 kategori: a). Makanan dan minuman (pedagang kios makanan disebut ”Yatai” di Jepang), b). Penjualan makanan, c). Penjualan produk, d). Penjualan jasa, e). Pertunjukan (dansa dan musik) dan hiburan. Kegiatan ini tergantung pada kebutuhan dari masyarakat lokal dan tipe dari penggunaan lahan dari suatu distrik/daerah. Tipe-tipe kegiatan ini memiliki kenampakan spasial masing-masing yang disesuaikan dengan kondisi lokasi.
Gambar 2: Street Market (Kiri) and “Yatai” (Kanan) di Fukuoka City, Jepang
2). Kenampakan Fisik (physical feature): Tiap kenampakan spasial dari pengaturan letak dapat diidentifikasi dari gambaran kompleksitas keadaan, dimensi spasial dari penggunaan, kesederhanaan pembuatan, dan penempatan seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3. Yatai adalah jenis tempat PKL yang paling kompleks karena membutuhkan gas, air, dan perlengkapan listrik untuk memasak disitu.
Gambar 3: Tipe Kenampakan Spasial dari Penggunaan Sementara
3). Lingkaran Fungsi (functional cycle) : “Temporary” maksudnya lingkaran penggunaan dari ruang yang berulang-ulang atau berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Maksudnya ialah letak sementara untuk penggunaan sementara memiliki lingkaran bisnis sendiri berdasarkan tipe kegiatan dan ciri spasial. Deguchi juga mengidentifikasi tiga kelompok dari jenis penggunaan sementara yang akan berguna untuk mengontrol atau mengusahakan kegiatan dari sudut pandang perencanaan dan urban desain dari ruang publik. Kelompok pertama ditempatkan pada zona kanan atas dari diagram (Gambar 4). Kelompok ini diidentifikasi sebagai elemen yang tergantung pada lingkungan kota sekitarnya atau berhubungan kuat dengan elemen yang berdekatan. Kelompok itu membentuk atau memperkuat keunikan fenomena di lingkungan lokal perkotaan. Kelompok kedua ditempatkan pada bagian tengah pada diagram yang kegiatannya berorientasi penjualan. Mereka membentuk ruang komersial yang unik dan letaknya sangat masuk akal dan mendasar. Kegiatannya tergantung pada kebutuhan lokal, dan perubahannya mengikuti lokasi kebutuhan potensial pembeli. Kelompok ketiga ditempatkan pada kiri bawah diagram dan tidak bergantung pada lingkungan sekitarnya dan lingkungan perkotaan. Kelompok ini terdiri atas kegiatan-kegiatan artistik seperti pengamen jalanan dan penjual produk seni karya sendiri. Tetapi pilihan dari lokasi harus sesuai dengan karakter spasial dari daerah untuk menarik pendatang menyaksikan mereka.
Gambar 4: Diagram Taxonomi Penempatan Penggunaan Sementara
“Yatai” Di Kota Fukuoka, Jepang Kota Fukuoka terkenal sejak keberadaan dari PKL yang menjual makanan untuk makan malam dan minum dengan keadaan atap temporer yang dinamakan ”Yatai” (lihat Gambar 1 kanan) (Deguchi, 2005). Yatai muncul setelah PD II, dan jumlahnya meningkat sepanjang 50 tahun terakhir di Jepang. Jumlah Yatais di Kota Fukuoka mengalami penurunan dari 888 pada tahun 1962 menjadi 291 pada tahun 1996 (Gambar 5). Pada tahun 2003, terdapat kurang lebih 180 Yatai yang terdaftar secara legal masih buka di malam hari hampir di semua pusat wilayah/distrik. Jumlah Yatai di Fukuoka mencapai hampir 40% dari seluruh Yatai di Jepang. Yatais membentuk kenampakan dan lingkungan yang unik dari kehidupan malam di Fukuoka untuk masyarakat dan pendatang/turis. Num ber of Stalls 1000 800 600 400 200 0 1960
1970
1980
1990
2000
Gambar 5: Pergeseran Jumlah Yatai di Fukuoka City
Gambar 6: Lokasi Yatai di Fukuoka City Down
Berdasarkan peraturan, pada jam 6 malam, pekerja Yatai datang ke jalan untuk membangun kiosnya. Setelah mereka mulai berjualan, keadaan jalan berubah menjadi tempat yang ramai yang berbeda dari lingkungan jalan pada jam kerja. Berdasarkan hasil survey pada tahun 2003, Deguchi mengidentifikasikan lokasi dari 155 Yatai yang terkonsentrasi di Hakata Ward dan Chuo Ward (Gambar 6). Tipologi dari Penempatan “Yatai” Berdasarkan survey di lokasi Yatai, keadaan lokasi
dikelompokkan
penggunaan
lahan
berdasarkan
yang
keadaan
berdekatan
dan
Gambar 7 Tipe Bangunan atau Penggunaan Lahan untuk Yatai
penggunaan bangunan (Gambar 7). Hasilnya adalah : 34,1% berlokasi di depan bangunan bank, dan 15,5% berlokasi di depan tempat parkir. Ada tiga hukum nasional yang mengatur Yatai yaitu: UU Sanitasi Makanan, UU Lalu Lintas Jalan, dan UU Jalan Raya. Untuk kegiatannya di jalan raya dan tempat parkir, pemilik Yatai diwajibkan untuk memiliki tiga izin yaitu : 1). Izin untuk penjulan makanan yang diatur dalam UU Sanitasi Makanan. 2). Izin untuk menggunakan jalan raya yang diatur dalam UU Lalu Lintas Jalan Raya. 3). Izin untuk bekerja di bagian jalan yang diatur dalam UU mengenai Jalan Raya. Kemudian pada tahun 1996, Yatai Problem Research Committee (Komite Penelitian Masalah Yatai) mulai mempertimbangkan garis pedoman baru untuk Yatai di Kota Fukuoka (Fukuoka City 2000) yang dijalankan pada Juli 2000. Tujuan dari garis pedoman adalah untuk tujuan keamanan, kenyamanan, kenyamanan bagi pejalan kaki, dan untuk membuat Yatai harmonis dengan kehidupan penduduk. Garis pedoman peraturan dengan tegas mengatur luas dan lebar tempat Yatai berdasarkan standarisasi dari ukuran (Gambar 8). Luasnya tidak melebihi 3,0 meter dan lebarnya tidak boleh lebih dari 2,5 meter dari tepi pejalan kaki. Setelah membuat tempat untuk Yatai, sisa dari lebar jalan untuk pejalan kaki harus 2,0 meter atau lebih untuk lalu lintas pedestrian (Gambar 9). Peraturan ini berdasarkan standar lebar dari dua kursi roda untuk dapat lewat satu sama lain tanpa halangan. Jam kerja dengan tegas dibuat sehingga mereka dapat melakukan kegiatannya hanya antara jam 6 malam sampai jam 4 pagi pada hari berikutnya termasuk waktu untuk memasang dan membongkar kembali tempat Yatai berdagang. Saat ini, biaya izin untuk Yatai berjualan ialah 11.200 yen per bulan, dan biaya untuk penggunaan jalan raya ialah 2.000 yen per dua bulan. Jika Yatai dibangun di tempat parkir, biaya izin penggunaan tempat parkir sebesar 12.000 yen per bulan. Izin dan sistem administrasi ini untuk Yatai di Kota Fukuoka sangat khas, dibandingkan dengan kota lain di Jepang yang masih melarang penggunaan tempat sementara untuk Yatai di jalan raya secara resmi.
Gambar 9 Aturan Ukuran dan Alokasi Yatai
Gambar 8 Ukuran dari Penempatan Yatai
“Tanfan” Di Kota Taichung, Taiwan Kegiatan penelitian lain telah diadakan terhadap PKL di kota-kota Asia Timur dan Asia Tenggara, seperti di Kota Taichung di Taiwan, Kota Seoul dan Busan di Korea, Kota Makasar di Indonesia, dan Kota Tianjin di Cina. Di Taiwan, PKL di jalan atau ruang terbuka lainnya dengan keadaan fisik untuk komersial sementara atau tetap, seperti pedagang jalanan dan kios makanan pada umumnya dinamakan ”Tanfan”. Ada beberapa tipe pasar dimana Tanfan berjualan, pasar umum, pasar pribadi dan pasar sementara. Secara resmi, tempat dimana Tanfan berkumpul untuk berjualan dinamakan ”Tanfans Concentration Areas” (Area Konsentrasi Tanfan). ”Pasar Malam” merupakan sebutan umum Area Konsentrasi Tanfan. Laporan dari Kota Taichung pada tahun 1999 menunjukkan ada 31 area dari 67 Area Konsentrasi Tanfan pada umumnya dinamakan Pasar Malam. Area Konsentrasi Tanfan dikelompokkan kedalam empat jenis berdasarkan status kegiatan, keadaan tempat dan akses bagi pendatang (Gambar 10). 1). Pasar Tetap : jenis pasar ini bertempat
di
lapangan
tertutup
dimana lahannya dimiliki oleh publik atau pribadi, dan buka setiap hari. Jenis ini diatur dengan baik oleh komunitas Tanfan. Area sekitarnya dari pasar ditempati oleh Tanfans Gambar 10 Taksonomi Area Konsentrasi Yatai
pendatang
makanan dan produk lain untuk para pendatang.
lain
yang
menjual
2). Pasar Mingguan: tipe kedua adalah Pasar Mingguan yang bertempat di tempat parkir yang luas atau kapling kosong di daerah suburban. Pasar ini buka hanya sehari dalam seminggu pada malam hari, dan komunitas Tanfan berpindahpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ada kurang lebih 40 tempat untuk Pasar Mingguan di Kota Taichung. Pasar-pasar ini dapat dicapai khususnya dengan mobil, dan lahan untuk parkir ditempatkan di dekat pasar ini. 3). Pasar Sirkulasi : jenis yang kedua ialah pasar sirkulasi yag bertempat di wilayah komersial dengan kepadatan tinggi dengan jaringan jalan sempit yang hanya dapat dilalui untuk pedestrian dan motor, tapi tidak untuk mobil. Tanfan pada pasar serbaguna ini menjual bahan kebutuhan hidup sehari-hari seperti makanan, minuman, asesoris, pakaian, dan sepatu. 4). Pasar Pinggir Jalan: pada pasar pinggir jalan ini, kumpulan PKL makanan (Tanfan) berlokasi di sepanjang jalan membentuk barisan panjang berupa penjual makanan dan restoran kaki lima. Tanfan tipe ini dapat diakses khususnya dengan motor, dan pembeli yang tinggal dekat daerah itu. Menurut Deguchi (2005), dalam proses re-evaluasi PKL di kota-kota di Asia perlu dibahas masalah-masalah di bawah ini: 1). Adanya tipologi dari karakteristik PKL yang diidentifikasi berdasarkan kondisi saat ini, perlengkapan dan perilaku bisnis dengan latar belakang sosial dari aspek fisik dan sosial. 2). Sistem administrasi pemerintah dan implementasi-implementasinya belum mengatur penggunaan jalan raya dan tempat-tempat yang kondisinya penuh dengan kegiatan dari PKL sebagai sektor informal. 3). Adanya penyelewengan dan sistem manajemen sendiri dalam karakteristik teknik pembuatan dan siklus jam kerja yang membolehkan penggunaan sementara dan efisien dari jalan raya dan tempat parkir. PKL di Asia terlihat tak tertata dan semrawut karena kebanyakan dari mereka menggunakan jalan raya dan tempat-tempat secara ilegal. Tetapi dalam studi Deguchi (2005) ditunjukkan aspek lain dari PKL dibentuk dengan permintaan tetap yang masuk akal, dan mengidentifikasi fungsi dan pola konstitusi dari alokasi di jalan raya meskipun kegiatannya tidak mendapat izin yang resmi. Mereka ada dengan menggunakan berbagai jenis jalan raya dan
tempat parkir dengan meniru kefleksibelan dan kecocokan kondisi suatu tempat terhadap gaya hidup kaum kota modern dan lingkungan kota dari tiap kota-kota modern.
2.5 Model-model Penataan PKL di Indonesia Penelitian atau kajian mengenai penataan PKL di kota-kota di Indonesia memiliki model yang berbeda-beda, ada yang melalui pendekatan bottom-up dan ada
pula
yang
menggunakan
pendekatan
yang
partisipatif
melalui
diskusi/musyawarah sehingga menghasilkan kesepakatan bersama. Salah satu penelitian yang sudah dilakukan diantaranya di Kota Bogor dengan mengklasifikasikan PKL ke dalam 3 kelompok yaitu kelompok pembinaan, kelompok penataan, dan kelompok penertiban. Pengklasifikasian itu berdasarkan beberapa variabel yang digunakan yaitu : Skor komponen kemacetan, Skor dampak node yang ada di sekitar kawasan, Rata-rata tenaga kerja yang digunakan setiap pedagang, Rata-rata omset harian setiap pedagang, Rata-rata modal usaha setiap pedagang, dan Rata-rata durasi waktu berjualan (Sudarmadji, dkk., 2006). Berdasarkan skor kemacetan tersebut, lalu dikelompokkan dengan menggunakan analisis faktor dan analisis kluster untuk mengelompokkan PKL kedalam 3 kelompok di atas sehingga penanganan atau program yang akan dilakukan sesuai jenis kelompoknya dimana kelompok pembinaan merupakan kelompok PKL yang mendapatkan prioritas pertama untuk ditangani. Model penataan lain yang sekarang sedang menjadi contoh bagi kota-kota di Indonesia ialah model penataan PKL di Kota Solo. Model penataan PKL Kota Solo dilakukan dengan pendekatan dialogis dan komunikatif yang mengusung misi nguwongke wong cilik (memberi martabat pada orang kecil) dengan cara membuat kawasan PKL dan membuat kantong-kantong PKL melalui relokasi, gerobak, shelter, dan tenda (Kompas, 15-5-2008). Pemerintah Kota Solo melakukan penataan PKL dengan merelokasi dari Monumen Banjarsari ke Pasar Klithikan Notoharjo Semanggi dengan melakukan kirab boyongan dan upacara adat (lihat Gambar 11) yang dilakukan oleh PKL dan
Pemerintah Kota Solo beserta DPRD Kota Solo yang disaksikan oleh lebih dari separuh penduduk Kota Solo (presentasi Walikota Solo, Mei 2008 di Bogor).
Gambar 11 Kirab Upacara Boyongan Pindahan PKL dari Monumen Banjarsari ke Pasar Klithikan Notoharjo Semanggi (kiri) dan kondisi PKL Setelah dipindah ke Pasar Klithikan (kanan)
Selain itu juga dibangun shelter-shelter di Stadion Manahan dan Kleco dan memberi gerobak untuk pedagang (lihat Gambar 12). Kemudian, Pemerintah Kota Solo juga melakukan revitalisasi pasar tradisional diantaranya Pasar Nusukan, Pasar Sidodadi, dan Pasar Kembang.
Gambar 12 Kondisi PKL Manahan
Dalam rangka memperkenalkan dan meningkatkan kuliner Kota Solo juga dibuat pusat jajanan malam yaitu Gladag Langen Bogan dengan membangun tenda-tenda (Gambar 13).
Gambar 13 Pusat jajanan Kota Solo yang asalnya berupa bangunan semi permanen di pinggir jalan kini diubah menjadi tenda-tenda (kiri) dan penyeragaman gerobak untuk pedagang yang asalnya menggunakan gerobak keliling.
2.6 Kekuatan dan Potensi dari PKL Adapun karakteristik peran-peran dan fungsi dari PKL dalam menghidupkan kota-kota modern di Asia berdasarkan kepentingannya (Deguchi, 2005): 1). Merupakan toko yang sifatnya sementara yang kondisi dan perlengkapannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari. 2). Sebagai penetas dan model bisnis untuk menghasilkan pekerjaan dan bisnis baru dalam perekonomian kota. 3). Elemen pembangun kota yang bersifat sementara yang membentuk sebuah fenomena yang hidup dan unik dalam lanskap kota dan lanskap jalan. 4). Sebuah pemberhentian untuk pendatang sebagai tempat penarik untuk menawarkan tempat istirahat mudah atau untuk menawarkan tempat makan dan istirahat yang mudah. 5). Tempat untuk menikmati barang-barang lokal dan makanan etnik yang mudah dicapai di sebuah tempat pemberhentian di jalan pada waktu belanja dan tamasya. 2.7 Pengertian Partisipasi Istilah “partisipasi” merupakan istilah yang tidak asing bagi kita saat ini. Pengertian partisipasi sangat beragam menurut berbagai pakar, diantaranya : 1. Partisipasi adalah turut berperanserta dalam suatu kegiatan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001).
2. Partisipasi masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat, yang timbul atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang (PP No.69/1996). 3. Partisipasi : menciptakan kesempatan agar semua anggota masyarakat dapat berperan aktif dan memberi masukan dalam proses pembangunan serta menjadi bagian dalam keberhasilan pembangunan (Midgley, 1986) 4. Dalam tulisannya Sumaryo (2007 : 142) memuat beberapa pengertian partisipasi menurut beberapa ahli diantaranya : a. Janabrota Bhattacharyya (Ndraha, 1990 : 102) mengartikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. b. Mubyarto (1984 : 35) mendefinisikan partisipasi sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setia program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan diri sendiri. c. Slamet M. (2003 : 8) memaknai partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Dengan demikian, partisipasi dapat dikatakan sebagai ikut berperanserta dalam kegiatan pembangunan.
2.8 Paradigma Perencanaan Partisipatif Paradigma perencanaan diawali dari perencanaan yang bersifat “top down” (perencanaan dari atas ke bawah). Namun dalam perjalanannya timbul ketimpangan-ketimpangan antar berbagai wilayah karena kebanyakan dari perencanaan yang dibuat berdasarkan top down kurang memperhatikan kebutuhan dan kepentingan rakyat. Maka muncullah berbagai istilah perencanaan yang melibatkan partisipasi masyarakat diantaranya : ’bottom up planning’ (perencanaan dari bawah), keterlibatan pada ’grass roots’ (sampai pada masyarakat yang paling bawah), perencanaan demokrasi (democratic planning) dan participatory planning (perencanaan partisipatif).
Pengertian partisipatif itu sendiri menurut Long (2001) ialah : proses dimana kita ikut terlibat didalam situasinya; proses sosial yang meliputi aspek konflik dalam komunitas yang diarahkan untuk terbangunnya persepsi umum; metode partisipatif bertujuan untuk memberdayakan masyarakat lokal; masyarakat ikut andil dalam suatu kegiatan. Adapun metode partisipatif itu sendiri merupakan metode yang mengukur informasi dalam proses mendengarkan aspirasi masyarakat, informasi dalam proses penjelasan berbagai keadaan setempat, peningkatan kapasitas institusi lokal dan pengembangan alternatif strategi pertumbuhan. Namun bukan berarti metode ini akan mengubah bentuk keinginan yang kuat dari masyarakat setempat. Jadi, menurut Long (2001) perencanaan partisipatif merupakan proses konstruksi sosial dan perubahan yang merupakan hasil negosiasi dari beragam institusi maupun beragam aktor. Adapun alasan mengapa partisipasi masyarakat penting dalam kegiatan perencanaan, menurut Conyers (1994) ada tiga hal yaitu : 1. Partisipasi masyarakat sebagai alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. 2. Masyarakat akan lebih mempercayai program atau proyek pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya sehingga pada akhirnya akan mempunyai rasa memiliki proyek tersebut. 3. Merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan mereka sendiri sehingga masyarakat turut urun rembug dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan (man centered development). Metode untuk mendorong adanya partisipasi masyarakat menurut Conyers (1994) meliputi : survai dan konsultasi lokal, penggunaan staf yang terampil, perencanaan yang bersifat desentralisasi, pemerintah daerah (lokal) dan pembangunan masyarakat (community development). Setiap metode tersebut memiliki untung rugi masing-masing dan sampai saat ini tidak ada satu negara pun yang benar-benar bisa menerapkan metode partisipasi tersebut secara utuh karena memerlukan elaborasi dari semua pendekatan itu.
Model pendekatan partisipatif yang berkembang sangat banyak, mulai dari PRA (Participatory Rural Appraisal), RRA (Rural Rapid Appraisal), CBRM (Community Based Resource Management), CBIA (Community Based Issue Analysis), SPBVP (Strategy Planning Based on Vision and Participation), CDS (City Development Strategis), SC (Searce Conference), PKPM (Program Pengembangan Kemitraan dan Pengembangan Masyarakat), Sisduk (Sistem Dukungan Pembangunan Partisipatoris), dan lain-lain (Conyers, 1994).
2.9
Hak dan Rezim Pemilikan Adanya penataan ruang timbul dari timbulnya permasalahan dan kesadaran
di dalam pengelolaan sumberdaya-sumberdaya bersama (common pool resources) dalam perspektif spasial dan fisik (Rustiadi, 2006) Ciri-ciri dari common pool resources (Rustiadi, 2006): (1) Substractability / Rivalness: Pemanfaatan seseorang/pihak atas sumberdaya akan mengurangi/membatasi potensi pihak lain di dalam pemanfaatan sumberdaya. Masalahnya: overuse, congestion, degradation. (2) Timbulnya biaya (cost) untuk membatasi pihak lain di dalam memanfaatkan sumberdaya. Masalahnya: free rider. Hak pemilikan (property rights) adalah klaim yang sah (secure claim) terhadap sumber daya ataupun jasa yang dihasilkan dari sumber daya tersebut. Hak pemilikan juga dapat diartikan sebagai suatu gugus karakteristik yang memberikan kekuasaan kepada pemilik hak (Hartwick dan Oliver, 1998 dalam Fauzi,
2006).
Karakteristik
tersebut
menyangkut
ketersediaan
manfaat,
kemampuan untuk membagi atau mentransfer hak, derajat eksklusivitas dari hak, dan durasi penegakan hak (enforceability) (Perman et al., 1996 dalam Fauzi, 2006). Menurut Bromley (1989) dalam Fauzi (2004) menjelaskan bahwa antara sumber daya (resource) dan rezim pemilikan terhadap sumber daya tersebut harus dibedakan dengan jelas. Satu sumber daya bisa saja mempunyai berbagai hak pemilikan. Hak pemilikan terhadap sumber daya alam umumnya terdiri dari (Gibb dan Bromley, 1989 dalam Fauzi, 2006) : 1. State property di mana klaim pemilikan berada di tangan pemerintah.
2. Private property di mana klaim pemilikan berada pada individu atau kelompok usaha (korporasi). 3. Common property atau Communal property di mana individu atau kelompok memiliki klaim atas sumber daya yang dikelola bersama. Suatu sumber daya bisa saja tidak memiliki klaim yang sah sehingga tidak bisa dikatakan memiliki hak pemilikan. Sumber daya seperti ini dikatakan sebagai open access (Grima dan Barkes, 1989 dalam Fauzi, 2006). Dengan mengambil contoh dua tipe akses yang berbeda, yakni akses terbuka (open access) dan akses terbatas (limited access), maka secara umum ada empat kemungkinan kombinasi antara hak pemilikan dan akses, yaitu (Fauzi, 2006): 1. Tipe pertama adalah tipe di mana hak pemilikan berada pada komunal atau negara dengan akses yang terbatas. Tipe kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumber daya yang lestari. 2. Tipe kedua adalah di mana sumber daya dimiliki secraa individu (privat) dengan akses yang terbatas. Pada tipe ini karakteristik hak pemilikan terdefinisikan dengan jelas dan pemanfaatan yang berlebihan bisa dihindari. 3. Tipe ketiga adalah kombinasi antara hak pemilikan komunal dan akses yang terbuka. Tipe inilah yang dalam perspektif Hardin (1968) dalam Fauzi (2006) akan melahirkan “the tragedy of the common”. Tragedi terjadi karena apa yang dihasilkan dari sumber daya dalam jangka panjang tidak lagi sebanding dengan apa yang dimanfaatkan oleh pengguna. 4. Tipe keempat adalah kombinasi yang sebenarnya jarang terjadi di mana sumber daya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan terbuka. Pengelolaan sumber daya ini tidak akan bertahan lama karena rentan terhadap intrusi dan pemanfaatan yang tidak sah sehingga sumber daya akan cepat terkuras habis.
2.10 Kapital Sosial Menurut Rustiadi,dkk. (2006), konsep kapital sosial telah dipopulerkan oleh Putnam (1993) walaupun sebelumnya terlebih dahulu telah dikembangkan oleh Coleman (1988). Putnam (1993) mendefinisikan social capital sebagai gambaran kehidupan sosial yang memungkinkan para partisipan bertindak bersama secara
lebih efektif untuk mencapai tujuan bersama. Berdasarkan penelitiannya di Italia, Putnam mengidentifikasi komponen-komponen kunci dari social capital dan berargumen bahwa keberadaannya merupakan prakondisi untuk (1) pembangunan ekonomi dan, (2) sistem pemerintahan yang efektif. Kapital sosial diidentifikasikan dan dideskripsikan secara berbeda-beda, Prety and Ward (2001) dalam Rustiadi, dkk. (2006) mengidentifikais empat aspek utama social capital, yakni : (a) hubungan saling percaya (relations of trust), (b) adanya pertukaran (reciprocity and excahanges), (c) aturan umum (common rules), norma-norma (norms) dan sanksi-sanksi (sanctions), dan (d) keterkaitan (connectedness),
jaringan
(networks),
dan
kelompok-kelompok
(groups).
Sedangkan komponen-komponen kunci dari social capital yang diidentifikasi oleh Putnam (1993), Fukuyama 1995), serta oleh Knack dan Keefer (1997) adalah : (1) jaringan pertemuan/dialog masyarakat (networks of civic engagement), (2) norma-norma yang saling berinteraksi/timbal balik (norms of generalized reciprocity), dan (3) social trust.
2.11 Peraturan Zonasi (Zoning Regulation) Menurut Zubir (2007), pembangunan kota memerlukan dua instrumen penting, yaitu pertama development plan dan kedua development regulation. Development plan adalah rencana tata ruang kota yang umumnya di semua negara terdiri dari 3 jenjang rencana yang baku, meliputi rencana umum, rencana menengah, dan rencana rinci. Rencana umum, dikenal dengan berbagai istilah antara lain strategic plan, structure plan, master plan, schematic plan, general plan, concept plan dan lain sebagainya. Rencana menengah juga dikenal dengan bebagai istilah antara lain functional plan, zoning plan, district plan, local plan dan lain sebagainya. Sedangkan rencana rinci dikenal dengan istilah antara lain subdivision plan, land use plan dan sebagainya. Development regulation adalah suatu perangkat peraturan yang dipakai sebagai landasan dalam menyusun rencana tata ruang mulai dari jenjang rencana yang paling tinggi sampai kepada rencana yang sifatnya operasional dan juga sebagai alat kendali dalam pelaksanaan pembangunan kota. Development regulation dikenal juga dengan berbagai macam istilah, antara lain zoning
regulation, zoning ordinance, zoning resolution, zoning code, land management and development code, town planning act and zoning code, planninga act dan planning rule dan lain sebagainya. Istilah yang paling populer digunakan adalah zoning regulation. Kedua instrumen pembangunan tersebut merupakan dokumen yang terpisah. Dalam memahami zoning regulation, Zubir (2007) memberikan beberapa pengertian terkait hal ini yaitu: - Zona adalah kawasan atau area yang memiliki fungsi dan karakteristik yang spesifik. - Zoning adalah pembagian kawasan ke dalam beberapa zona sesuai dengan fungsi atau karakteristik semula atau diarahkan bagi pengembangan fungsi-fungsi lain. - Zoning regulation adalah ketentuan yang mengatur klasifikasi zoning dan penerapannya ke dalam ruang kota, pengaturan lebih lanjut tentang pemanfaatan lahan dan prosedur pemanfaatan lahan. Tujuan zoning regulation adalah : a. Mengatur
kepadatan
penduduk
dan
intensitas
kegiatan,
mengatur
keseimbangan, keserasian peruntukan lahan dan menentukan tindak atas suatu satuan ruang. b. Melindungi kesehatan, keamanan dan kesejahteraan masyarakat. c. Mencegah kesemrawutan, menyediakan pelayanan umum yang memadai, meningkatkan kualitas lingkungan hidup. d. Meminimumkan dampak pembangunan yang merugikan. e. Memudahkan pengambilan keputusan secara tidak memihak dan berhasil guna serta mendukung partisipasi masyarakat. Adapun fungsi zoning regulation diantarnya : 1. Sebagai pedoman penyusunan rencana operasional. Zoning regulation dapat menjadi jembatan dalam penyusunan rencana tata ruang yang bersifat operasional, karena memuat ketentuan-ketentuan tentang perjabaran rencana yang berisifat makro ke dalam rencana yang bersifat menengah sampai kepada rencana yang bersifat rinci. 2. Sebagai panduan teknis pengembangan lahan.
Ketentuan-ketentuan teknis yang menjadi kandungan zoning regulation, seperti ketentuan tentang penggunaan rinci, batasan-batasan pengembangan persil dan ketentuan-ketentuan lainnya menjadi dasar dalam pengembangan dan pemanfaatan lahan. 3. Sebagai instrumen pengendalian pembangunan Zoning regulation yang lengkap akan memuat ketentuan tentang prosedur pelaksanaan pembangunan sampai ke tata cara pengawasannya. Ketentuanketentuan yang ada karena dikemas dalam aturan penyusunan perundangundangan yang baku dapat dijadikan landasan dalam penegakan hukum.
2.12 Sistem Informasi Geografi Sistem Informasi Geografi (SIG) atau Geographic Information System (GIS) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang berreferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra, 2000). Disamping itu, SIG juga dapat menggabungkan data, mengatur data dan melakukan analisis data yang akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografi. Aplikasi SIG dapat digunakan untuk berbagai kepentingan selama data yang diolah memiliki referensi geografi, maksudnya data tersebut terdiri dari fenomena atau objek yang dapat disajikan dalam bentuk fisik serta memiliki lokasi keruangan (Indrawati, 2002 dalam Barus dan Wiradisastra, 2000). Tujuan pokok dari pemanfaatan Sistem Informasi Geografis adalah untuk mempermudah mendapatkan informasi yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau obyek. Ciri utama data yang bisa dimanfaatkan dalam Sistem Informasi Geografis adalah data yang telah terikat dengan lokasi dan merupakan data dasar yang belum dispesifikasi (Barus dan Wiradisastra, 2000). Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk digital, dengan demikian analisis yang dapat digunakan adalah analisis spasial dan analisis atribut. Data spasial merupakan data yang
berkaitan dengan lokasi keruangan yang umumnya berbentuk peta. Sedangkan data atribut merupakan data tabel yang berfungsi menjelaskan keberadaan berbagai objek sebagai data spasial. Penyajian data spasial mempunyai tiga cara dasar yaitu dalam bentuk titik, bentuk garis dan bentuk area (polygon). Titik merupakan kenampakan tunggal dari sepasang koordinat x,y yang menunjukkan lokasi suatu obyek berupa ketinggian, lokasi kota, lokasi pengambilan sample dan lain-lain. Garis merupakan sekumpulan titik-titik yang membentuk suatu kenampakan memanjang seperti sungai, jalan, kontus dan lain-lain. Sedangkan area adalah kenampakan yang dibatasi oleh suatu garis yang membentuk suatu ruang homogen, misalnya: batas daerah, batas penggunaan lahan, pulau dan lain sebagainya. Struktur data spasial dibagi dua yaitu model data raster dan model data vektor. Data raster adalah data yang disimpan dalam bentuk kotak segi empat (grid)/sel sehingga terbentuk suatu ruang yang teratur. Data vektor adalah data yang direkam dalam bentuk koordinat titik yang menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial dengan menggunakan titik, garis atau area (polygon) (Barus dan Wiradisastra, 2000). Barus dan Wiradisastra (2000) menyatakan bahwa sistem informasi geografi menyajikan informasi keruangan beserta atributnya yang terdiri dari beberapa komponen utama yaitu: 1. Masukan data merupakan proses pemasukan data pada komputer dari peta (peta topografi dan peta tematik), data statistik, data hasil analisis penginderaan jauh data hasil pengolahan citra digital penginderaan jauh, dan lain-lain. Data-data spasial dan atribut baik dalam bentuk analog maupun data digital tersebut dikonversikan kedalam format yang diminta oleh perangkat lunak sehingga terbentuk basisdata (database). 2. Penyimpanan data dan pemanggilan kembali (data storage dan retrieval) ialah penyimpanan data pada komputer dan pemanggilan kembali dengan cepat (penampilan pada layar monitor dan dapat ditampilkan/cetak pada kertas). 3. Manipulasi data dan analisis ialah kegiatan yang dapat dilakukan berbagai macam perintah misalnya overlay antara dua tema peta, membuat buffer zone jarak tertentu dari suatu area atau titik dan sebagainya. Manipulasi dan analisis
data merupakan ciri utama dari SIG. Kemampuan SIG dalam melakukan analisis gabungan dari data spasial dan data atribut akan menghasilkan informasi yang berguna untuk berbagai aplikasi 4. Pelaporan data ialah dapat menyajikan data dasar, data hasil pengolahan data dari model menjadi bentuk peta atau data tabular. Bentuk produk suatu SIG dapat bervariasi baik dalam hal kualitas, keakuratan dan kemudahan pemakainya. Hasil ini dapat dibuat dalam bentuk peta-peta, tabel angka-angka: teks di atas kertas atau media lain (hard copy), atau dalam cetak lunak (seperti file elektronik). Menurut Prahasta (2005) ada beberapa alasan mengapa perlu menggunakan SIG, diantaranya adalah: 1. SIG menggunakan data spasial maupun atribut secara terintegrasi. 2. SIG dapat digunakan sebagai alat bantu interaktif yang menarik dalam usaha meningkatkan pemahaman mengenai konsep lokasi, ruang, kependudukan, dan unsur-unsur geografi yang ada dipermukaan bumi. 3. SIG dapat memisahkan antara bentuk presentasi dan basis data 4. SIG memiliki kemampuan menguraikan unsur-unsur yang ada dipermukaan bumi kedalam beberapa layer atau coverage data spasial 5. SIG memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memvisualisasikan data spasial berikut atributnya 6. Semua operasi SIG dapat dilakukan secara interaktif 7. SIG dengan mudah menghsilkan peta-peta tematik 8. Semua operasi SIG dapat dioperasikan dengan menggunakan perintahperintah dalam bahasa script. 9. Perangkat lunak SIG menyediakan fasilitas untuk berkomunikasi dengan perangkat lunak lain 10. SIG sangat membantu pekerjaan yang erat kaitannya dengan bidang spasial dan geoinformatika. Barus dan Wiradisastra (2000) juga mengungkapkan bahwa SIG adalah alat yang handal untuk menangani data spasial, dimana dalam SIG data dipelihara dalam bentuk digital sehingga data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta
cetak, tabel atau dalam bentuk konvensional lainnya yang akhirnya akan mempercepat pekerjaan dan meringankan biaya yang diperlukan. Sarana utama untuk penanganan data spasial adalah SIG. SIG didisain untuk menerima data spasial dalam jumlah besar dari berbagai sumber dan mengintergrasikannya menjadi sebuah informasi, salah satu jenis data ini adalah data pengindraan jauh. Pengindraan jauh mempunyai kemampuan menghasilkan data spasial yang susunan geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dengan cepat dan dalam jumlah besar. SIG akan memberi nilai tambah pada kemampuan pengindraan jauh dalam menghasilkan data spasial yang besar dimana pemanfaatan data pengindraan jauh tersebut tergantung pada cara penanganan dan pengolahan data yang akan mengubahnya menjadi informasi yang berguna.
2.13 Kerangka Pemikiran Menurut UU No. 26 tahun 2007, penataan ruang didefinisikan sebagai suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Terkait perencanaan kawasan perkotaan, dalam undangundang tersebut Pasal 28c disebutkan harus disediakan rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah. Sebagai salah satu kota di Propinsi Jawa Barat, Kota Tasikmalaya memiliki visi ingin mewujudkan ”Kota Tasikmalaya sebagai pusat bisnis di Priangan Timur pada tahun 2012 dan di Jawa Barat pada Tahun 2025”. Selaras dengan visi tersebut, keberadaan sektor perdagangan dan industri sangat berperan penting dalam kegiatan perekonomian Kota Tasikmalaya. Dengan adanya amanat UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 dan PP No. 69 tahun 1996, maka dalam rencana tata ruang wilayah kota harus disediakan sarana dan prasarana untuk sektor informal, salah satunya PKL dengan mengikutsertakan peran masyarakat dalam proses perencanaannya. Dengan demikian, dalam untuk mencapai tujuan itu, perlu dilakukan langkah-langkah dalam mengkaji PKL di suatu wilayah atau daerah yang menurut
Deguchi (2005) bahwa dalam re-evaluasi PKL perlu diteliti hal-hal sebagai berikut : 1). Adanya tipologi dari karakteristik PKL yang diidentifikasi berdasarkan kondisi saat ini, perlengkapan dan perilaku bisnis berdasarkan aspek fisik dan sosial. 2). Sistem administrasi pemerintah dan implementasi-implementasinya yang belum mengatur penggunaan jalan raya dan tempat-tempat yang kondisinya penuh dengan kegiatan dari PKL sebagai sektor informal. 3). Adanya penyelewengan dan sistem manajemen sendiri didalam karakteristik teknik pembuatan dan siklus jam kerja yang membolehkan penggunaan sementara dan efisien dari jalan raya dan tempat parkir. Berkaitan dengan tujuan spesifik dari penelitian ini yang pertama ialah mengkaji aspek sosial ekonomi dari PKL. Maka perlu diidentifikasi jumlah PKL beserta jenis usaha/dagangannya, lokasi (penempatannya), modal usaha, social capital (jaringan/networking, norma-norma, dan social trust), dan kelembagaan dari PKL. Dalam proses perencanaan tata ruang suatu wilayah secara sederhana Geddes mengemukakan ada tiga tahapan, yaitu input, analisis, dan rencana. Setelah ada input berupa aspek sosial dan ekonomi dari PKL, maka dalam proses analisisnya dipertimbangkan pula aspek kebijakan pemerintah dalam penataan ruang yang direpresentasikan dalam dokumen RTRW atau RDTR Kota Tasikmalaya. Hal itu dimaksudkan untuk melihat sejauhmana pemerintah memperhatikan kebutuhan PKL dan sektor informal secara luas yang dituangkan dalam konsep ruang. Dengan berdasarkan aspirasi dari masyarakat, PKL (pendekatan Ethic), dan pemerintah (pendekatan Emic) dengan menggunakan tools analisis akan dibuat beberapa alternatif konsep penataan yang sesuai dengan kondisi eksisting yang ada dan kebijakan yang ada. Dari setiap aspirasi stakeholder (PKL, masyarakat dan pemerintah) yang menghasilkan alternatif perencanaan itu tentunya terdiri atas tiga tahapan penataan ruang yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian yang tentunya menurut aspirasi masing-masing pihak. Berdasarkan pemikiran di atas, maka disusun kerangka pemikiran studi yang dapat dilihat pada Gambar 14.
Modernisme PKL tidak mendapatkan tempat karena segala sesuatu haru serba teratur, efisien
VS
Post-modernisme Dicirikan dengan karakteristik adanya pengakuan dan penghargaan atas hak setiap individu dalam mengontrol dirinya sendiri
Pendekatan Partisipatif dalam penataan PKL
PKL
-
Jumlah PKL Jenis Usaha Modal Usaha Lokasi Asal PKL Sosial Kapital Kelembagaan Aspirasi PKL mengenai penataan dan pengaturannya
- Analisis Statistik Deskriptif - Analisis Spearman - Analisis Deskriptif
Masyarakat (Umum, Pedagang Formal)
- Jumlah Penduduk - Karakteristik Konsumen - Persepsi dan Aspirasi Masyarakat tentang PKL dan penatannya - Persepsi dan Aspirasi Pedagang tentang PKL dan penatannya
- Analisis Statistik Deskriptif - Analisis Deskriptif
Pemerintah
- Kebijakan yang terkait penataan PKL di Kota Tasikmalaya - Aspirasi dan persepsi mengenai PKL dan penataannya
- Analisis Deskriptif - SIG
- Analisis Deskriptif - SIG
Penataan PKL Berdasarkan “demand driven”
Penataan PKL Menurut Masyarakat
Penataan PKL Berdasarkan “supply driven”
Perencanaan
Perencanaan
Perencanaan
Pemanfaatan
Pemanfaatan
Pemanfaatan
Pengendalian
Pengendalian
Pengendalian
Alternatif Penataan PKL yang optimal
Gambar 14 Bagan Kerangka Pikir Penelitian