BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Persepsi 1. Pengertian Persepsi Siagian (1989) berpendapat bahwa persepsi merupakan suatu
proses
dimana
seseorang
mengorganisasikan
dan
menginterpretasikan kesan-kesan sensorisnya dalam usahanya memberikan suatu
makna tertentu dalam
Sedangkan menurut Thoha (1999),
lingkungannya.
persepsi pada hakekatnya
adalah proses kognitif yang dialami setiap orang dalam memahami setiap informasi tentang lingkungannya baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Menurut Wirawan (1983),
Persepsi adalah kemampuan
seseorang untuk mengorganisir suatu pengamatan, kemampuan tersebut antara lain: a. kemampuan untuk membedakan, kemampuan untuk mengelompokan, b. kemampuan untuk memfokuskan. Oleh karena itu seseorang bisa saja memiliki persepsi yang berbeda, walaupun objeknya sama. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya perbedaan dalam hal sistem nilai dan ciri kepribadian individu yang bersangkutan. Sejalan dengan hal tersebut,
Leavit (1978) menyatakan
bahwa persepsi memiliki pengertian dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit persepsi yaitu penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu, dan dalam arti luas persepsi yaitu 11
12
pandangan atau pengertian, bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Jadi,
Persepsi
adalah
mengorganisasikan dan
kemampuan
seseorang
menginterpretasikan
stimulus
untuk atau
rangsang berupa informasi, objek, dan lainnya yang berasal dari lingkungan sekitar. 2. Proses Persepsi Damayanti (2000) menggambarkan proses pembentukan persepsi pada skema dibawah ini: Rangsangan / Sensasi
Seleksi Input
Proses Pengorgansasian
Lingkungan Persepsi
Interpretasi
Pengalaman Proses Belajar Gambar 2.1 Skema Pembentukan Persepsi
Proses pembentukan persepsi dimulai dengan penerimaan rangsangan dari berbagai sumber melalui panca indera yang dimiliki, setelah itu diberikan respon sesuai dengan penilaian dan pemberian arti terhadap rangsang
lain.
setelah diterima
rangsangan atau data yang ada diseleksi. Untuk menghemat perhatian yang digunakan rangsangan-rangsangan yang telah diterima diseleksi lagi untuk diproses pada tahapan yang lebih
13
lanjut. Setelah diseleksi rangsangan diorganisasikan berdasarkan bentuk sesuai dengan rangsangan yang telah diterima. Setelah data diterima dan diatur, proses selanjutnya individu menafsirkan data yang diterima dengan berbagai cara. Dikatakan telah terjadi persepsi setelah data atau rangsang tersebut berhasip di tafsirkan. Sedangkan faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi seseorang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan halhal lain yang dapat disebut sebagai faktor-faktor personal, yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberi respon terhadap stimuli (Rakhmat, 1998). Sejalan dengan hal tersebut, maka persepsi seseorang ditentukan oleh dua faktor utama yaitu pengalaman masa lalu dan faktor pribadi (Sugiharto, 2001). 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Krech (1962) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi seseorang adalah: a.
Frame of reference, yaitu kerangka pengetahuan yang dimiliki yang dipengaruhi dari pendidikan, bacaan, penelitian, dan lain-lain.
b.
Frame of experience, yaitu berdasarkan pengalaman yang telah dialaminya yang tidak terlepas dari keadaan lingkungan sekitarnya.
14
B. Kualitas Pelayanan 1. Pengertian Kualitas Pelayanan Menurut American Association for Quality Control, kualitas
adalah
karakteristik
dari
keseluruhan suatu
ciri-ciri
produk
atau
dan jasa
karakteristikdalam
hal
kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah ditentukan atau bersifat laten (Muhammad, 2009). Secara harafiah, Poerwadarminta (1985), menjelaskan bahwa pelayanan adalah menolong menyediakan segala apa yang diperlukan orang lain, seperti tamu atau pembeli. Selain itu, menurut Kotler (2000) pelayanan adalah kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan. Parasuraman, Zeithmal, dan Berry (1988), menyebutkan bahwa kualitas pelayanan sebagai sejauh mana
layanan
memenuhi kebutuhan pelanggan atau harapan. Sejalan dengan hal tersebut menurut Alam dan Yasin (2009) secara tradisional, kualitas pelayanan telah dikonsepkan sebagai perbedaan antara harapan konsumen mengenai pelayanan yang akan diterima dan persepsi pelayanan yang diterima. Selain itu, Lewis dan Boom (dalam Parasuraman, Zeithmal dan Berry, 1985) mengungkapkan bahwa kualitas pelayanan merupakan pengukuran seberapa sesuai tingkat pelayanan yang diberikan dengan harapan konsumen. Pemberian pelayanan yang berkualitas berarti memenuhi harapan konsumen secara konsisten.
15
Wyckof (dalam Tjiptono, 1996) mendefinisikan kualitas jasa/pelayanan (service quality) sebagai tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Terdapat dua faktor utama yang memengaruhi kualitas jasa/pelayanan, yaitu jasa atau pelayanan yang diharapkan dan jasa/pelayanan yang diterima. Apabila jasa/pelayanan yang dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa/pelayanan dipersepsikan baik dan memuaskan dan apabila jasa/pelayanan yang dirasakan lebih rendah dari yang diharapkan maka kualitas jasa/pelayanan dipersepsikan buruk. Jadi, kualitas pelayanan adalah seberapa besar perbedaan antara tingkat pelayanan yang diberikan dengan harapan konsumen mengenai pelayanan yang diterimanya. 2. Teori Kualitas Pelayanan Salah satu cara agar penjualan jasa suatu perusahaan lebih unggul dibandingkan para pesaingnya adalah dengan memberikan pelayanan yang berkualitas dan bermutu, yang memenuhi tingkat kepentingan konsumen. Rangkuti (dalam Muhammad, 2009) menyatakan bahwa tingkat kualitas pelayanan harus dipandang melalui sudut pandang penilaian pelanggan, karena itu dalam merumuskan strategi dan program pelayanan perusahaan harus berorientasi pada kepentingan pelanggan dengan memperhatikan komponen kualitas pelayanan. Menurut Hayzer dan Render (dalam Muhammad, 2009) kualitas pelayanan/jasa dapat diukur dengan melihat seberapa jauh efektifitas pelayanan/jasa dapat
16
memperkecil kesenjangan antara harapan dengan pelayanan/jasa yang diberikan. Parasuraman, Zeithmal dan Berry (1990) mengemukakan bahwa perbedaan (kesenjangan) antara jasa pelayanan yang dirasakan dengan yang diharapkan terjadi karena adanya : a. Kesenjangan
antara
harapan
konsumen
dengan
pandangan manajemen (Gap between the customer’s expectations and the manajemen perceptions) Pihak manajemen tidak selalu memiliki pemahaman yang tepat tentang apa yang diinginkan oleh para pelanggan terhadap
atau usaha
perusahaan.
bagaimana pelayanan
Contohnya,
penilaian yang
pelanggan
diberikan
manajemen
oleh
menganggap
bahwa pelanggan menilai mutu pelayanan penerbangan dari
kualitas
(mutu)
tampilan
website,
tetapi
sebenarnya yang diharapkan oleh pelanggan adalah cepat tanggap dan keamanan dalam membeli tiket melalui website. b. Kesenjangan antara pandangan manajemen dengan spesifikasi management
kualitas
pelayanan
perceptions
and
(Gap
between
service
quality
specification) Manajemen mungkin tidak membuat standar kualitas yang jelas, atau standar kualitas sudah jelas tetapi tidak realistik, atau standar kualitas sudah jelas dan realistik namun manjemen tidak berusaha untuk melaksanakan standar kualitas tersebut. Hal ini akan mengakibatkan
17
karyawan
tidak
memahami
tentang
kebijakan
perusahaan dan ketidakpercayaan terhadap sikap manajemen, yang selanjutnya menurunkan prestasi kerja
karyawan.
Contohnya,
adanya
keinginan
manajemen untuk memberikan jawaban yang cepat terhadap
telepon
yang
masuk,
namun
tidak
mempersiapkan operator telepon dalam jumlah yang cukup; adanya kebijakan–kebijakan yang tidak jelas, dikomunikasikan dengan buruk kepada karyawan. c. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas pelayanan dan penyajian pelayanan (Gap between service quality specifications and service delivery) Standar-standar yang tinggi harus didukung oleh sumber-sumber daya, program-program dan imbalan yang diperlukan untuk mendorong karyawaan dalam memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan. Banyak
faktor
pelayanan,
yang
memengaruhi
pemberian
seperti keterampilan dan kompetensi
karyawan, moral karyawan, peralataan yang digunakan, pemberian penghargaan. d. Kesenjangan
antara
penyajian
pelayanan
dan
komuniksi eksternal (Gap between service delivery and external communications) Harapan pelanggan dipengaruhi oleh janji-janji yang disampaikan
penyedia
jasa
melalui
komunikasi
eksternal seperti para wiraniaga, brosur-brosur, iklan, dan lain-lain. Hasil pelayanan yang baik dapat
18
mengecewakan pelanggan jika komunikasi pemasaran perusahaan menyebabkan mereka memiliki harapan yang terlalu tinggi sehingga tidak tidak realistis lagi. Contohnya, dalam website terdapat gambar pramugari yang ramah dan kenyataannya pada saat tamu melakukan penerbangan, mereka menemukan bahwa pramugari tersebut tidak ramah. e. Kesenjangan antara pelayanan yang dirasakan dan pelayanan yang diharapkan (Gap between perceived service and expected service) Perbedaan ini terjadi jika pihak manajemen gagal menutup salah satu atau lebih dari empat kesenjangan tersebut di atas. Perbedaan inilah yang menimbulkan rasa ketidakpuasan pelanggan.
19
Gambar 2.2 Conceptual Model of Service Quality – The Gap Analysis Model
Dalam perkembangannya Parasuraman et al, Zeithaml dan Bitner (1988) mengemukakan pendapatnya yang merupakan penyempurnaan dari penelitian khusus terhadap beberapa jenis kualitas pelayanan dan menghasilkan lima aspek pokok kualitas pelayanan yang dinamakan SERVQUAL, yang bisa jadi merupakan singkatan dari service quality. C. Aspek Kualitas Pelayanan Menurut Zeithaml (dalam Tjiptono, 2002) ada sepuluh aspek kualitas pelayanan dalam menentukan kualitas pelayanan, yaitu: 1. Reliability, mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependability). Selain itu juga berarti bahwa perusahaan yang bersangkutan memenuhi janjinya.
20
2. Responsiveness,
yaitu kemauan atau kesiapan para
karyawan untuk memberikan jasa yang dibutuhkan pelanggan. 3. Competence, artinya setiap orang dalam suatu perusahaan memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu. 4. Access, meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti lokasi fasilitas jasa yang mudah dijangkau, waktu menunggu yang tidak terlalu lama, saluran komunikasi perusahaan yang mudah dihubungi, dan lainlain. 5. Courtesy, meliputi sikap sopan santun, perhatian, dan keramahan yang dimiliki para personel. 6. Communication, artinya memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang dapat mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan. 7. Credibility,
yaitu sifat
Kredibilitas
mencakup
jujur dan dapat nama
dipercaya.
perusahaan,
reputasi
perusahaan, karakteristik pribadi, contact personnel, dan interaksi dengan pelanggan 8. Security, yaitu aman dari bahaya, resiko, atau keraguraguan. Aspek ini meliputi keamanan secara fisik (physical safety) keamanan financial (financial security), dan kerahasiaan (confidentiality). 9. Understanding/knowing
the
customer,
memahami kebutuhan pelanggan.
yaitu
untuk
21
10. Tangibles, yaitu bukti fisik dari jasa, berupa fasilitas fisik, peralatan yang digunakan, representasi fisik dari jasa. Selain kesepuluh aspek diatas, Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1990) membagi kualitas pelayanan dalam lima aspek yaitu Tangible, Reliable, Responsiveness, Assurance, Empathy. Berikut ini penjelasan dari masing-masing aspek: 1. Tangible adalah kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan
eksistensinya
kepada
pihak
eksternal.
Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan perusahaan. 2. Reliable adalah kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan akurat dan dapat diandalkan. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketetapan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap simpatik, dan akurasi yang tinggi. 3. Responsiveness adalah kemampuan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsive) dan tepat kepada para pelanggan dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa adanya alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negatif dalam kualitas pelayanan. 4. Assurance adalah adanya kepastian yaitu pengetahuan, kesopansantunan
dan
kemampuan
para
pegawai
perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada pelayanan perusahaan.
22
5. Empathy adalah memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individu atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan upaya memahami keinginan konsumen. Perusahaan
diharapkan
memiliki
pengertian
dan
pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan
secara
spesifik,
serta
memiliki
waktu
pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik harus dapat diandalkan, keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Menurut Gazpersz (dalam Assegaff, 2001) keandalan berkaitan dengan probabilitas atau kemungkinan suatu produk melaksanakan fungsinya secara berhasil dalam periode waktu tertentu dibawah kondisi tertentu dengan
demikian
keandalan
merupakan
karakteristik
yang
merefleksikan kemungkinan atau probabilitas tingkat keberhasilan dalam penggunaan produk tersebut. Menurut Sugiarto (dalam Assegaff, 2001) ketanggapan adalah tingkat kepekaan yang tinggi terhadap pelanggan yang diikuti dengan tindakan yang tepat sesuai dengan kebutuhan tersebut. Menurut Tjiptono (2000) jaminan mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dana sifat dapat dipercaya, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. Lazarus (dalam Assegaff, 2001) menjelaskan bahwa empati sebagai merasakan perasaan-perasaan orang lain dengan menempatkan seseorang secara psikologis pada keadaan orang lain. Sedangkan aspek yang dipakai sebagai alat ukur dari Parasuraman (1990) yaitu; reliability, responsiveness, assurance, emphaty, dan tangible. Hal tersebut dikarenakan aspek-aspek
23
tersebut dinilai cocok untuk digunakan dalam penelitian tersebut. Kelima aspek tersebut merupakan penyempurnaan dari kesepuluh aspek yang dikemukan oleh Zeithaml (dalam Tjiptono, 2002). D. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kualitas Pelayanan Wyckof (dalam Tjiptono, 1996) mengungkapkan terdapat dua faktor utama yang memengaruhi kualitas jasa/pelayanan, yaitu: a. jasa/pelayanan yang diharapkan b. jasa/pelayanan yang diterima Apabila jasa/pelayanan yang dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa/pelayanan dipersepsikan baik dan memuaskan dan apabila jasa/pelayanan yang dirasakan lebih rendah dari yang diharapkan maka kualitas jasa/pelayanan dipersepsikan buruk. E. Jenis Kelamin Hungu (2007) menyatakan jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Menurut Gender brief Series No. 1 (2007), istilah “Gender” biasanya merujuk pada peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial, dalam suatu wilayah atau konteks budaya. Hal inilah yang membedakannya dengan istilah “sex” yang merujuk pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki. Bersifat permanen dan universal. Peran tersebut dipengaruhi oleh persepsi dan harapan yang dibangun dari faktor budaya, politik, lingkungan, ekonomi, sosial, agama dan juga kebiasaan, hukum, strata kelas, etnisitas, bahkan termasuk juga di dalamnya bias individu maupun institusi. Sifat dan perilaku gender
24
merupakan
sesuatu
yang
dibangun,
dipelajari,
dan
dapat
diubah/berubah. Situasi yang menyebabkan pembedaan gender menurut Gender Brief Series No.1 (2007) menjelaskan antara lain: 1.
Sosial, persepsi yang berbeda antar perempuan dan lakilaki mengenai peran sosialnya. Misalnya, perempuan sebagai pengurus rumah tangga, laki-laki-laki sebagai kepala rumah tangga; perempuan sebagai pengasuh anak, pengurus rumah tangga, sosok yang lemah; sedangkan lakilaki sebagai pelindung, penjaga keamanan, figur yang kuat, dsb.
2.
Politik, pembedaan cara di mana laki-laki dan perempuan berbagi kekuasaan dan otoritas di ruang publik. Biasanya laki-laki berkiprah di level politik nasional dan politik tingkat tinggi; sedangkan perempuan lebih banyak bergerak di level politik lokal dan aktivitas yang berkaitan dengan peran domestik.
3.
Pendidikan,
pembedaan
dalam
hal
kesempatan
mendapatkan pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan. Kebanyakan sumber keuangan keluarga diarahkan bagi pendidikan anak laki-laki, sementara anak perempuan tidak diarahkan untuk mendapatkan tantangan akademik. 4.
Ekonomi, pembedaan akses antara perempuan dan lakilaki dalam hal pencapaian karir dan kontrol terhadap sumber daya maupun pengelolaan keuangan, serta
25
sumber-sumber
produktif
lainnya,
misalnya
kredit,
pinjaman, atau kepemilikan tanah. F. Perbedaan Gender dalam Kualitas Pelayanan Pria adalah manusia yang diciptakan dengan kemampuan fisik dan otot yang lebih besar. Umumnya pria bersifat maskulin, sedangkan wanita adalah manusia yang diciptakan dengan sensitivitas yang lebih tinggi serta bersifat feminin. Pease dan Pease (2007) menjelaskan bahwa pria dan wanita berbeda. Salah satunya tidak lebih buruk atau lebih baik daripada yang lain, tetapi berbeda. Satu-satunya kesamaan di antara pria dan wanita adalah keduanya tergolong dalam spesies yang sama. Dunia pria dan wanita berbeda, termasuk nilai-nilai dan peraturan-peraturan yang pria dan wanita taati. Dari segi budaya, kepercayaan dan ras, pria dan wanita terus saling berdebat tentang pendapat, perilaku, sikap dan keyakinan pasangannya. Menurut Pease dan Pease (2007) pria dan wanita telah berubah secara perlahan-lahan dengan cara yang berbeda. Pria berburu sementara wanita mengumpulkan. Pria melindungi, wanita mengasuh. Sebagai akibat dari pembagian pekerjaan itu, tubuh dan otak pria dan wanita berkembang dengan cara yang berbeda. Pria dan wanita berpikir dengan cara yang berbeda, mempercayai hal-hal yang berbeda pula. Pria dan wanita memiliki perbedaan pandangan, prioritas dan kebiasaan. Pease dan Pease (2007) juga mengatakan bahwa wanita memiliki keterampilan penginderaan yang lebih peka daripada pria. Wanita memiliki sebuah intuisi yang merupakan kemampuan wanita untuk melihat rincian kecil (detail) dan perubahan dari penampilan
26
ataupun perilaku orang lain. Sedangkan pria hampir tidak menyadari adanya orang lain yang tinggal di rumahnya. Wanita dapat menjelaskan warna dengan cara yang lebih rinci. Seorang pria hanya akan menggunakan penggambaran dasar warna karena otak pria tidak dilengkapi dengan bagian untuk melihat lebih rinci. Pease dan Pease (2007) mengatakan bahwa ”pria dan wanita memahami dunia melalui pandangan yang berbeda. Seorang pria melihat hal-hal dan benda-benda serta hubungan satu sama lainnya dalam pengertian ruang seolah sedang meletakkan keping-keping puzzle dan menyatukannya menjadi sebuah gambar utuh. Sedangkan wanita secara harafiah memandang dunia sebagai gambar yang lebih besar, lebih luas dan melihat detail-detail halus. Namun kepingkeping puzzle itu sendiri dan hubungan wanita dengan kepingkeping lainnya tampak lebih terjalin daripada penempatan ruang wanita”. Seorang pria ketika berhasil melakukan tugas sebaik yang pria bayangkan, pria cenderung mengaitkan keberhasilan pria dengan keterampilan atau kecerdasan pria. Jika yang pria lakukan tidak sesuai dengan harapan, pria cenderung menyalahkan nasib buruk atau adanya faktor lain di luar kemampuan pria. Sedangkan wanita hanya bisa mencapai harapan wanita yang rendah, wanita cenderung mengaitkannya dengan kekurangan wanita dalam hal kemampuan atau kecerdasan. Kalau wanita berhasil melampaui dugaan yang rendah untuk sukses, wanita cenderung mengaitkannya dengan keberuntungan atau faktor lain di luar jangkauan wanita. (Farrel dan Farrel, 2004).
27
Menurut Segal (1990), “There are some tenacious difference between men and women in behavior”. Terdapat perbedaan yang kuat dalam perilaku pria dan wanita. Konsumen pria adalah konsumen yang mudah dipengaruhi oleh nasehat yang baik serta argumentasi yang objektif. Sedangkan konsumen wanita lebih banyak tertarik pada warna dan bentuk, kurang tertarik pada hal-hal teknis, lebih mementingkan status sosial, lebih peka, menyenangi hal-hal yang romantis daripada objektif, mudah meminta pandangan, pendapat maupun nasehat dari orang lain. Sehingga merupakan suatu kesalahan jika para penyedia produk dan jasa memperlakukan wanita sama layaknya dengan pria dan sebaliknya. Menurut Kartajaya (2003), wanita selalu memperhatikan hingga ke detail. Konsumen wanita akan menilai segala sesuatu dengan lebih terperinci. Sehingga jangan sampai para penyedia jasa melupakan satu hal bagian kecil saja jika tidak ingin konsumen kecewa. Konsumen wanita juga sangat memperhatikan berbagai isu. Sedangkan pria kurang memperhatikan detail dan isu yang sedang terjadi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mokhlis (2012), dalam menilai suatu kualitas pelayanan, pria dan wanita memiliki perbedaan. Emphaty, tangibles, dan reliability secara signifikan lebih dipentingkan oleh konsumen pria ketimbang konsumen wanita. Namun, assurance dan responsiveness memiliki tingkat kepentingan yang sama antara kedua gender tersebut. Berdasarkan banyaknya perbedaan antara pria dan wanita yang diungkapkan oleh beberapa tokoh di atas dan juga penelitian sebelumnya, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan yaitu bahwa
28
dalam menilai kualitas sebuah pelayanan pria dan wanita memiliki perbedaan. G. Hipotesis Secara statistik hipotesis dapat dirumuskan sebagai berikut: H0; µ1=µ2 :
Tidak
ada
perbedaan
persepsi
kualitas
pelayanan online ticketing penerbangan PT. Garuda Indonesia di kalangan mahasiswa wanita dan mahasiswa pria Universitas Kristen Satya Wacana. H1; µ1≠µ2 :
Adanya perbedaan persepsi kualitas pelayanan online ticketing
penerbangan PT.
Garuda
Indonesia di kalangan mahasiswa wanita dan mahasiswa pria Universitas Kristen Satya Wacana.