3
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Pati Pati merupakan suatu karbohidrat yang sangat melimpah di alam dan menjadi sumber energi utama bagi tumbuhan, hewan, dan manusia. Secara alami, pati berada di dalam sel tumbuhan sebagai granula-granula mikroskopik yang dibentuk dari dua jenis polimer glukosa, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa adalah komponen minor dari pati dan mempunyai struktur linier yang terbentuk dari ikatan α-1,4 glikosidik dengan derajat polimerisasi antara 100-1000 unit glukosa. Amilopektin terbentuk dari ikatan α-1,4 glikosidik dan bercabang pada ikatan α1,6 glikosidik. Derajat polimerisasi amilopektin jauh lebih besar daripada amilosa (Bentley and Williams, 1996). Rasio antara amilosa dan amilopektin di dalam pati sangat bervariasi dan berpengaruh besar terhadap kelarutan, kekentalan, pembentukan gel, dan suhu gelatinisasi dari pati (Martinez et al., 2004). Struktur amilosa dan amilopektin diberikan dalam Gambar II.1, sedangkan rasio antara amilosa dan amilopektin di dalam berbagai macam pati diberikan dalam Tabel II.1.
rantai samping
rantai utama
rantai utama
Gambar II. 1. Struktur amilosa (A) dan amilopektin (B) (Martinez et al., 2004).
4
Tabel II. 1. Rasio antara amilosa dan amilopektin di dalam berbagai macam pati (Martinez et al., 2004). Sumber Pati (Produsen) Jagung (Sigma) Beras (Sigma) Gandum (Sigma) Tapioka (Avebe)
Amilosa (%)
Amilopektin (%)
26,5 ± 0,7 21,2 ± 0,9 28,8 ± 1,4 19,7 ± 1,1
72,7 ± 1,8 79,1 ± 1,6 71,6 ± 1,2 81,1 ± 1,9
Amilosa dan amilopektin di dalam granula pati terkemas rapat melalui ikatan inter- dan intra-molekul. Kemasan amilosa dan amilopektin terorganisasi menjadi bagian amorf dan kristalin. Hal ini menyebabkan pati bersifat tidak larut dalam air dingin dan seringkali resisten terhadap perlakuan kimia ataupun enzim (Mitsuiki et al., 2005; van der Maarel et al., 2002). Agar membuat pati siap diakses oleh enzim, maka pati harus digelatinisasi terlebih dahulu. Gelatinisasi merupakan suatu proses perlakuan panas untuk ‘memecah’ atau ‘membuka’ granula pati sehingga terpapar terhadap hidrolisis enzim. Hal ini dicapai dengan membuat slurry (20-40% padatan kering) dan memanaskan slurry pada suhu tertentu (minimum 60oC), tergantung sumber dan jenis pati yang digunakan (Bentley and Williams, 1996). Pati yang tergelatinisasi kemudian dihidrolisis pada 90-110oC dengan bantuan αamilase. Proses hidrolisis pertama dari pati yang telah tergelatinisasi ini disebut dengan likuifaksi. Penambahan α-amilase termostabil pada tahap likuifaksi berfungsi untuk mencegah terjadinya peningkatan viskositas slurry yang cepat akibat lepasnya amilosa dari granula pati (Guzman and Paredes-Lopez, 1995). Tahap
hidrolisis
selanjutnya
adalah
sakarifikasi
dengan
menggunakan
glukoamilase (E.C 3.2.1.3) atau β-amilase (E.C 3.2.1.2) pada suhu 50-60oC. Keseluruhan proses konversi pati ini membutuhkan input energi yang tinggi sehingga meningkatkan biaya produksi dari produk-produk yang berbasis pati. Jika dipandang dari beban energi, efektivitas penggunaan bahan baku, dan masalah viskositas, maka hidrolisis langsung dari pati dibawah suhu gelatinisasi sangat dibutuhkan. Pada tahun-tahun belakangan ini, pentingnya hidrolisis enzimatis dari pati mentah tanpa pemanasan telah mendorong pencarian amilaseamilase baru yang mempunyai kemampuan dalam mendegradasi pati mentah secara langsung pada suhu rendah (Goyal et al., 2005).
5
II.2 Amilase Istilah “amilase” secara umum dapat didefinisikan sebagai enzim yang menghidrolisis ikatan O-glikosil dari pati (Kuriki and Imanaka, 1999). Pada dasarnya, terdapat empat kelompok enzim pengkonversi pati, yaitu (i) endoamilase; (ii) eksoamilase; (iii) debranching enzymes; dan (iv) transferase. Endoamilase memutus ikatan α-1,4 glikosidik yang berada pada bagian dalam dari amilosa atau amilopektin dan menghasilkan oligosakarida berkonfigurasi α dengan panjang yang bervariasi. Eksoamilase menghidrolisis ikatan α-1,4 atau α1,6 glikosidik dari residu glukosa eksternal amilosa atau amilopektin dan menghasilkan produk berkonfigurasi α atau β. Debranching enzymes hanya menghidrolisis ikatan α-1,6 glikosidik sehingga menghasilkan polisakarida yang lurus dan panjang. Transferase memutus ikatan α-1,4 glikosidik dari molekul donor dan mentransfer bagian dari donor ke sebuah akseptor glikosidik melalui pembentukan ikatan glikosidik yang baru (van der Maarel et al., 2002).
II.2.1 Keluarga α-Amilase Berdasarkan homologi urutan asam aminonya, kebanyakan enzim yang mengkonversi pati tergolong dalam satu keluarga, yaitu keluarga α-amilase atau keluarga 13 glikosil hidrolase (GH-13) menurut klasifikasi oleh Henrissat (1991). Keluarga GH-13 dapat diklasifikasikan lebih lanjut ke dalam unit yang lebih besar yang disebut klan. Sebuah klan terdiri atas dua keluarga atau lebih yang memiliki struktur tiga dimensi domain katalitik yang sama. Namun, tingkat kemiripan urutan asam amino antara satu keluarga dengan yang lain di dalam satu klan dapat sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa struktur protein lebih dilestarikan oleh evolusi daripada urutan asam amino. Saat ini, empat belas klan (GH-A sampai dengan GH-N) telah didefinisikan untuk glikosidase dan transglikosidase, dan enzim-enzim dari keluarga-keluarga α-amilase, yakni 13, 70 dan 77 (juga dikenal sebagai superkeluarga α-amilase), termasuk ke dalam klan GH-H. Keluarga 13 merupakan keluarga yang paling kompleks jika dibandingkan dengan dua keluarga klan GH-H yang lain karena mencakup hidrolase, transferase, dan isomerase dengan lebih dari dua puluh dua spesifisitas yang diketahui (MacGregor, 2005).
6
Gambar II. 2. (β/α)8 barrel dari enzim klan GH-H. β-sheet (hijau); α-heliks (merah). Kiri, barrel tanpa sisi katalitik; kanan, barrel dengan tiga residu katalitik: aspartat nukleofil (kuning), asam/basa glutamat (oranye), asam aspartat kedua (cyan). Struktur diambil dari αamilase A. oryzae (kode PDB: 6taa) (MacGregor, 2005). Keluarga α-amilase mencakup enzim-enzim yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (i) beraksi pada ikatan α-glikosidik untuk menghasilkan monosakarida atau oligosakarida berkonfigurasi α melalui reaksi hidrolisis, membentuk ikatan α1,4 atau α-1,6 glikosidik melalui reaksi transglikosilasi, atau kombinasi dari kedua aksi tersebut; (ii) memiliki struktur (β/α)8 atau TIM barrel (Gambar II.2) yang memuat residu-residu katalitik; (iii) mempunyai empat daerah lestari (Tabel II.2) yang mengandung asam-asam amino yang membentuk sisi katalitik dan juga asam-asam amino yang berperan penting dalam menjaga stabilitas dari topologi TIM barrel (Kuriki and Imanaka, 1999). Daftar dari enzim-enzim yang sesuai dengan kriteria tersebut diatas dan termasuk keluarga α-amilase diberikan dalam Tabel II.3. Tabel II. 2. Empat daerah lestari pada β-sheet dalam urutan asam amino dari enzim-enzim keluarga α-amilase (Kuriki and Imanaka, 1999). Enzim α-Amilase CGTase Pululanase Isomilase Enzim branching Neopululanase α-Amilase-pululanase α-Glukosidase Siklodekstrinase Oligo-1,6-glukosidase Dekstran glukosidase Amilomaltase Enzim debranching glikogen
Sumber
Manusia
β2
β4
β5
β7
7
Tabel II.3.
Enzim-enzim yang termasuk dalam klan GH-H keluarga α-amilase (Machovic and Janecek, 2007).
Kelas Enzim
Enzim
Hidrolase
α-Amilase Oligo-1,6-glukosidase α-Glukosidase Pululanase Amilopululanase Siklomaltodekstrinase Maltotetraohidrolase Isoamilase Dekstranglukosidase Trehalosa-6-fosfat hidrolase Maltoheksaohidrolase Maltotriohidrolase Maltogenik α-amilase Maltogenik amilase Neopululanase Maltooligosiltrehalosa hidrolase Maltopentaohidrolase Amilosukrase Glukosiltransferase Sukrosa fosforilase Enzim branching glukan Siklodekstrin glukanotransferase 4-α-glukanotransferase Enzim debranching glukan Alternansukrase Maltosiltransferase Isomaltulosa sintase Trehalosa sintase Maltooligosiltrehalosa sintase
Transferase
Isomerase
EC
Keluarga GH
II.2.2 Mekanisme Katalitik α-Amilase Mekanisme katalitik dari keluarga α-amilase adalah α-retaining double displacement (Gambar II.3) seperti diusulkan oleh Koshland (1953). Dalam mekanisme ini hanya dua dari tiga residu lestari yang terlibat secara langsung, aspartat pada ujung terminal C dari β-sheet 4 yang berperan sebagai nukleofil dan glutamat pada ujung β-sheet 5 yang berperan sebagai asam/basa. Residu lestari yang ketiga adalah aspartat yang terletak pada ujung terminal C dari β-sheet 7. Residu ini berperan penting dalam pembentukan interaksi hidrogen dengan residu glukosa dari substrat dan pendistorsian substrat (Uitdehaag et al., 1999).
8
Substrat
Keadaan transisi
Intermediet
Keadaan transisi
Produk
Gambar II.3. Skema α-retaining double displacement. Reaksi ini menghasilkan polimer glukosa berkonfigurasi α (Uitdehaag et al., 1999). α-Retaining double displacement berlangsung dalam dua tahap. Pada tahap pertama, residu asam glutamat pada β-sheet 5 mendonorkan sebuah proton kepada oksigen glikosidik sehingga terjadi pemutusan ikatan α-1,4 glikosidik dari substrat. Bagian aglikon substrat meninggalkan sisi aktif enzim. Residu glukosa distabilkan oleh ikatan hidrogen yang melibatkan asam aspartat pada β-sheet 7 dengan gugus hidroksil pada C3 dan mungkin C2 dari glukosa. Stabilisasi juga terjadi melalui pembentukan ikatan-β kovalen antara C1 dari glukosa dengan aspartat nukleofilik pada β-sheet 4. Pada tahap kedua, ikatan kovalen antara C1 dari glikon glukosa dengan nukleofil putus, glutamat pada β-sheet 5 terprotonasi kembali melalui pelepasan sebuah proton dari substrat kedua, dan terbentuk ikatan α baru antara glukosa dengan substrat kedua yang dapat berupa air atau residu gula lain (Uitdehaag et al., 1999). II.2.3 Sumber α-Amilase α-Amilase merupakan enzim yang terdistribusi secara luas dari kingdom hewan, tumbuhan dan mikroba. Dalam beberapa dekade terakhir, riset terhadap α-amilase ekstraseluler dari berbagai mikroorganisme mulai fungi, ragi, bakteri hingga actinomycetes telah banyak dilakukan. Namun, yang mendominasi aplikasi di sektor industri adalah α-amilase dari sumber fungi dan bakteri (Pandey et al., 2000). Selain kemudahan dalam manipulasi mikroba, terutama fungi dan bakteri, untuk mendapatkan enzim dengan karakteristik yang diinginkan, keuntungan dari penggunaan sumber mikroba untuk produksi skala industri adalah efisiensi biaya, konsistensi produk, efektivitas waktu dan ruang, dan kemudahan optimasi dan modifikasi proses produksi (Gupta et al., 2003; Sivaramakrishnan et al., 2006).
9
II.2.4 Karakteristik Biokimiawi α-Amilase Mikrobial Karakteristik biokimiawi α-amilase dari berbagai sumber mikroba telah dipelajari secara ekstensif. Beberapa karakteristik biokimiawi dari α-amilase mikrobial diberikan sebagai berikut (Gupta et al., 2003). 1. Spesifisitas Substrat Seperti halnya enzim-enzim lain, spesifisitas substrat dari α-amilase bervariasi menurut sumber mikroorganisme yang menghasilkan α-amilase tersebut. Secara umum, urutan spesifisitas substrat untuk α-amilase dari yang tertinggi adalah pati, amilosa, amilopektin, siklodekstrin, glikogen dan maltotriose. 2. pH Optimum pH optimum untuk aktivitas α-amilase bervariasi dari 2 hingga 12. α-Amilase dari sebagian besar bakteri dan fungi memiliki pH optimum di kisaran pH asam hingga netral. α-Amilase dari Alicyclobacillus acidocaldarius memiliki pH optimum yang asam, yakni pH 3. Sebaliknya, pH optimum α-amilase dari Bacillus sp. GM8901 berada pada pH 11-12. 3. Suhu optimum α-Amilase mikrobial memiliki suhu optimum terkait dengan pertumbuhan dari mikroorganisme yang menghasilkan α-amilase tersebut. Suhu optimum terendah yang telah dilaporkan untuk aktivitas α-amilase adalah 25-30oC untuk F. oxysporum, sedangkan tertinggi adalah 130oC untuk Pyrococcus woesei. Suhu optimum dari beberapa α-amilase bergantung kepada kalsium dan sodium klorida. 4. Massa Molekul Massa molekul α-amilase bervariasi dari sekitar 10 hingga 210 kDa. αAmilase dengan massa molekul terkecil (10 kDa) dihasilkan dari Bacillus caldolyticus, sedangkan yang terbesar (210 kDa) dari Chloroflexus aurantiacus. Rata-rata massa molekul α-amilase mikrobial yang telah dilaporkan adalah 50-60 kDa.
10
II.2.5 Aplikasi α-Amilase α-Amilase adalah salah satu enzim hidrolitik yang paling penting dalam industri berbasis pati dan komersialisasinya merupakan yang tertua. Pada tahun 1984, αamilase dari Aspergillus oryzae diproduksi dan dipasarkan secara komersial (dikenal sebagai Taka diastase) untuk membantu penanganan kelainan pencernaan. Kini α-amilase diaplikasikan dalam berbagai industri seperti makanan, deterjen, tekstil, dan kertas untuk menghidrolisis pati. Dipandang dari sudut ini, penggunaan α-amilase mikrobial telah sepenuhnya menggantikan proses hidrolisis secara kimiawi. Selain itu, α-amilase juga berpotensi untuk digunakan dalam industri farmasi dan kimia (Gupta et al., 2003; Sivaramakrishnan et al., 2006). Pada tahun 2004, pasar global untuk enzim (dengan rata-rata laju pertumbuhan tahunan diperkirakan mencapai 3,3%) bernilai sekitar $2 milyar dan sekitar 40% dari nilai ini disumbang oleh enzim-enzim karbohidrase yang mencakup amilase, isomerase, pektinase, dan selulase. Sektor yang paling banyak menggunakan karbohidrase adalah makanan dan minuman. Sekitar 90% dari karbohidrase yang diproduksi digunakan di dalam sektor makanan dan minuman. Untuk α-amilase, penjualan tahunan di pasar global diperkirakan mencapai $11 juta (Gupta et al., 2003; Sivaramakrishnan et al., 2006). Tabel II.4 memberikan ringkasan aplikasi α-amilase di dalam berbagai industri. Tabel II.4. Penggunaan α-amilase di dalam berbagai industri (Sivaramakrishnan et al., 2006) Industri
Aplikasi
Makanan
Produksi sirup glukosa, glukosa kristalin Produksi HFCS (High Fructose Corn Syrup) Produksi sirup maltosa Pengurangan viskositas dari sirup-sirup gula Pengurangan kekeruhan dalam jus Pelarutan dan sakarifikasi pati untuk fermentasi alkohol pada industri pemeraman Penundaan staling dalam industri baking Sebagai bahan tambahan untuk menghilangkan noda pati Pengurangan viskositas pati dalam pelapisan kertas Penghilangan size dalam industri tekstil Sebagai obat kelainan pencernaan
Deterjen Kertas Tekstil Farmasi
11
II.3 Vibrio sp. Vibrio merupakan genera tua yang dideskripsikan pada tahun 1800an. Nama genus Vibrio dicetuskan oleh Pacini pada tahun 1854 dan merupakan salah satu nama paling tua untuk genus bakteri. Bakteri ini utamanya bersifat aquatik dan distribusinya bergantung pada Na+ dan kandungan nutrisi dan suhu dari air. Secara umum, Vibrio banyak ditemukan di lingkungan laut dan muara. Spesies dengan kebutuhan Na+ yang rendah juga ditemukan di habitat air tawar (Farmer and Brenner, 2006).
Gambar II.4. Vibrio nereis. Mikrograf fase kontras saat fase pertumbuhan eksponensial dalam nutrien ekstrak yeast (Farmer and Brenner, 2006). Secara morfologi genus Vibrio berbentuk batang kecil, lurus, agak melengkung, melengkung, koma (Gambar II.4) dan berukuran 0,5-0,8 x 1,4-2.6 µm. Bentuk involusi sering ditemui pada kultur tua dan terbentuk dibawah kondisi pertumbuhan yang tidak ramah. Vibrio tidak membentuk endospora atau mikrosista, merupakan bakteri gram negatif, anaerob fakultatif yang mampu melangsungkan metabolisme fermentatif maupun respiratori, dan kemoorganotrof. Kebanyakan spesies Vibrio tidak mendenitrifikasi atau memfiksasi nitrogen dan mampu tumbuh di dalam medium mineral yang mengandung D-glukosa sebagai sumber karbon tunggal dan NH4+ sebagai sumber nitrogen tunggal. Na+ menstimulasi pertumbuhan dari semua spesies dan merupakan persyaratan mutlak bagi sebagian besar lainnya (Farmer and Brenner, 2006).
12
Sebagian besar spesies Vibrio tumbuh baik di dalam media yang mengandung air laut. Beberapa spesies diketahui memproduksi asetoin dan asetil metil karbinol. Semua spesies Vibrio dapat memfermentasi D-glukosa dan memproduksi asam namun jarang sekali menghasilkan gas. Sebagian besar spesies Vibrio mampu memfermentasi D-fruktosa, maltosa, gliserol, merupakan oksidase positif, dan mampu mereduksi nitrat menjadi nitrit. Semua spesies Vibrio dapat tumbuh pada 20oC, beberapa mampu tumbuh pada 4oC, sebagian besar tumbuh pada 30oC, namun kebanyakan tumbuh pada 35-37oC. Enzim-enzim ekstraseluler yang diproduksi oleh Vibrio antara lain adalah kitinase, alginase, amilase, gelatinase, dan lipase. Reaksi uji positif di dalam media agar akan terobservasi sebagai daerah hidrolisis yang melampaui batas pertumbuhan Vibrio (Farmer and Brenner, 2006).