BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelinci Kelinci lokal tipe pedaging merupakan kelinci yang sudah didomestikasi dari kelinci ras lain. Kelinci ini mempunyai potensi sebagai penghasil daging, bulu, feses dan urin menjadi pupuk. Selain itu kelinci sering dipakai dalam labolatorium sebagai hewan percobaan McNitt et al. (1996). Menurut Kartadisastra (2011) kelinci merupakan hewan mamalia dari famili Leporidae, yang dapat ditemukan di banyak bagian permukaan bumi. Dulunya, hewan ini adalah hewan liar yang hidup di Afrika hingga ke daratan Eropa. Pada perkembangannya, tahun 1912 kelinci diklasifikasikan dalam ordo Lagomorpha. Ordo ini dibedakan menjadi dua famili, yakni Ochtonidae (jenis pika yang pandai bersiul) dan Leporidae (termasuk di dalamnya jenis kelinci dan terwelu). McNitt et al. (1996) menyatakan kelinci berdasarkan tujuan produksinya dapat dibedakan sebagai berikut : (1) kelinci sebagai penghasil bulu (woll) seperti angora dan rex, (2) kelinci penghasil daging seperti new zealand white dan (3) kelinci yang dipakai untuk meningkatkan mutu kelinci lokal melalui kawin silang sepeti d’argent, chinchilia, dutch, flemis giant, palamino dan satin. Di Indonesia banyak terdapat kelinci lokal, yakni jenis Kelinci jawa (Lepus negricollis) dan kelici sumatera (Nesolagus netseherischlgel).
Anon
(2010) menyatakan kelinci jawa diperkirakan masih ada di hutan-hutan sekitar wilayah Jawa Barat. Warna bulunya coklat perunggu kehitaman, ekornya berwarna jingga dengan ujungnya yang hitam. Berat Kelinci jawa dewasa bisa mencapai 4 kg. Sedangkan Kelinci sumatera, merupakan satu-satunya ras kelinci
6
7
yang asli Indonesia. Habitatnya adalah hutan di pegunungan Pulau Sumatera dengan panjang badannya mencapai 40 cm. Warna bulunya kelabu coklat. Menurut sistem binomial, bangsa kelinci lokal diklasifikasikan sebagai berikut Kartadisastra (2011): Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Lagomorpha
Familia
: Leporidae
Sub-Familia
: Leporine
Genus
: Lepus
Species
: Lepus nigricollis
2.2 Potensi Ternak Kelinci Pengembangan budidaya kelinci di masyarakat sudah lama dilakukan, namun jumlah peternak dan populasinya masih sangat rendah. Hal ini disebabkan karena kelinci oleh masyarakat umum dikenal sebagai binatang kesayangan, sehingga adanya tekanan psikologi masyarakat dalam memanfaatkan kelinci sebagai daging. Populasi kelinci di Bali pada tahun 2012 sampai 2014 berturutturut: 5.907 ekor, 6.915 ekor dan 8.553 ekor, dimana populasi terbanyak di Kabupaten Tabanan 4.942 ekor (Cacah Jiwa Ternak Propinsi Bali, 2014). Pemeliharaan kelinci pada saat ini hanya sebatas untuk pakan reptil dan hewan kesayangan, padahal dilihat dari potensinya kelinci sangat potensial untuk
8
dikembangkan baik sebagai alternatif penghasil daging untuk memenuhi kebutuhan gizi peternak maupun sebagai sumber pendapatan. Keunggulan ternak kelinci adalah tumbuh dan berkembangbiak dengan cepat, dapat dikawinkan kembali 3 – 4 minggu sesudah melahirkan. Murtisari (2005) melaporkan bahwa seekor kelinci mampu melahirkan rata-rata 6-7 kali per tahun dengan rata-rata jumlah anak per kelahiran 5-6 ekor, mencapai berat hidup 2,0-2,2 kg pada umur 4 bulan untuk kelinci pedaging. Dalam satu tahun seekor induk kelinci mampu menghasilkan paling tidak 40 kg bobot hidup, bila dibandingkan dengan seekor induk sapi yang menghasilkan seekor anak dengan bobot 200 kg, atau seekor domba 75 kg bobot hidup anak per tahun (Rafzunnella, 2009). Artinya dalam menghasilkan daging, lima ekor induk kelinci setara dengan satu ekor induk sapi atau dua ekor induk kelinci setara dengan satu ekor induk domba atau kambing. Rokhmani (2005) menyatakan bahwa daging kelinci mempunyai serat yang halus dan warna sedikit pucat, sehingga daging kelinci dapat digolongkan kedalam golongan daging berwarna putih. Daging kelinci mengandung protein 20,8%, lemak 10,2%, dan energi 7,3 MJ/Kg. Kandungan asam lemak linoleat 22,5% dan kandungan kolesterol 0,1%. Lebih lanjut dijelaskan bahwa daging kelinci sangat baik untuk kesehatan karena kandungan proteinnya tinggi tetapi kolesterol dan sodium rendah sehingga dapat meningkatkan kecerdasan pada anak-anak
dan
mencegah
penyakit
penyumbatan
pembuluh
darah
(arterosklerosis). USDA (2009) melaporkan daging kelinci mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan daging sapi, domba atau kambing, seperti tersaji pada Tabel 2.1.
9
Tabel 2.1. Kandungan nutrisi berbagai jenis daging Jenis
Kalori
Air
Protein
Lemak
Ternak
(Kkal)
(g/Kg)
(g/Kg)
(g/Kg)
195
66,5
20
12
12
195
350
65
3
70
210
66
18
14
10
165
350
75
1,5
70
Babi*
260
61
17
21
10
195
350
70
2,5
70
Ayam*
200
67
19,5
12
10
240
300
70
1,5
50
Kelinci
160
70
21
8
20
350
300
40
1,5
35
Sapi
Ca
P
K
Na
Fe
(mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg) (mg/kg)
Kholesterol* (mg/100g)
Domba/ kambing
Sumber :USDA, (2009). * Beynen (1984)
Struktur daging kelinci lebih halus dengan warna dan bentuk fisik yang menyerupai daging ayam. Ditinjau dari segi rasa dan warna, daging kelinci sulit dibedakan dari daging ayam sehingga merupakan peluang bagi daging kelinci untuk mengisi sebagian pasar daging ayam, apalagi dengan merebaknya isu flu burung yang menyebabkan permintaan daging ayam akan menurun (Nuriyasa, 2012). Selain sebagai penghasil daging dan sumber protein hewani yang baik bagian-bagian tubuh kelinci meliputi kulit, bulu, kotoran, dan urin juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Keuntungan lain dari pemeliharaan kelinci adalah dapat digunakan sebagai hewan percobaan dalam jangka waktu singkat pada berbagai skala pemeliharaan sehingga cocok dikembangkan di daerah yang padat penduduk (McNitt et al., 1996) . 2.3 Pakan Kelinci Dalam menyusun ransum kelinci hal yang paling diperhatikan adalah kandungan energi dan protein, karena kelebihan atau kekurangan energi dan
10
protein dalam ransum akan menurunkan produktivitas ternak (Nuriyasa, 2012). Lebih lanjut dilaporkan bahwa kelinci jantan lokal memerlukan kandungan energi termetabolis (2.939,93 kkal/kg) dan protein kasar ransum (16,48%). NRC 2001 menyarankan pada kondisi nyaman didataran rendah tropis kelinci jantan lokal kandungan energi dalam ransum sebesar 2500 kkal DE/kg dan kandungan protein kasar (PK) 16%, serat kasar (SK) berkisar antara 10-12 %, Calsium (Ca) 0,4% dan Fosfor (P) 0,22% untuk kelinci potong. Sinaga (2009) menyarankan kelinci jantan lokal memerlukan protein kasar 16%, sedangkan induk menyusui memerlukan protein kasar 15 – 16%. Kandungan serat kasar pada ransum kelinci jantan lokal adalah 10 – 27% dan induk menyusui adalah 15 – 20%, hal ini menunjukan bahwa kinerja pertumbuhan kelinci tidak lepas dari unsur-unsur pakan yang utama yaitu kandungan energi, protein dan serat kasar. Menurut Lick dan Hung (2008) kelinci mempunyai efisiensi penggunaan ransum lebih tinggi dari ruminansia seperti sapi dan kelinci dapat memanfaatkan pakan hijauan. Kelinci termasuk ternak monogastrik herbivora yang dapat mencerna serat kasar cukup baik. Sistem pencernaan kelinci mempunyai sekum dan kolon yang besar tempat terjadinya fermentasi makanan. Pemberian pakan pada kelinci sebaiknya disesuaikan dengan status fisiologis (Widodo, 2005). Menurut Lestari et al. (2005) pemberian ampas tahu sebagai konsentrat tunggal menghasilkan pertambahan berat badan harian sebesar 31,93 g/ekor/hari dengan konversi pakan 5,17% lebih tinggi dari yang diberikan ampas tahu yang dikombinasikan dengan bekatul, yaitu 30,53 g/ekor/hari. Lebih lanjut Hamidy (1996) melaporkan kelinci new zealand white yang diberikan eceng gondok 20% menghasilkan rata-rata
11
pertambahan berat badan hariannya 13 g lebih tinggi daripada yang diberikan 10% dan 30% eceng gondok masing-masing 11,84 g dan 9,12 g. Lestari et al. (1997) melaporkan penambahan azolla mycrophylla dalam ransum kelinci lokal meningkatkan persentase karkas kelinci dari 44,95% menjadi 48,33%. Menurut Lestari (1997) ternak kelinci sebagai ternak monogastrik mempunyai keunikan dalam hal kapasitas, sifat, dan faali dari saluran pencernaanya, yaitu kemampuan kelinci untuk melakukan coprophagy. Kelinci termasuk kedalam autocoprophagy, yaitu kelinci membuang feses dari saluran pencernaanya dalam 2 bentuk, feses kering dan keras serta feses lembek berlendir dikeluarkan pada malam hari dan pagi hari. Feses yang lembek berlendir inilah yang dimakan kembali oleh kelinci langsung dari duburnya, ini dilakukan untuk memanfaatkan protein, serat kasar, vitamin yang terkandung dalam feses. Anon (2011) menyatakan Feses yang lembek dan berlendir mengandung banyak vitamin, dan nutrien seperti riboflavin, sianokobalamin (vitamin B 12), asam pantotenat dan niasin. Dengan memakan kembali fesesnya kelinci tidak akan kekurangan vitamin dan nutrien karena isi saluran pencernaan berdaur ulang kembali. McNitt et al. (1996) menyatakan nutrien ternak kelinci terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin. Karbohidrat dan lemak merupakan sumber energi bagi ternak kelinci. Karbohidrat terpenting dari ternak kelinci adalah pati dan selulosa. Selulosa mampu dicerna oleh kelinci karena memiliki mikroorganisme dalam sekum dan kolon sebagai fermentor serat kasar. Lebih lanjut kelinci membutuhkan serat kasar dalam ransum dalam jumlah yang tinggi (minimal 12%) yang bersumber dari hijauan. Kelinci dapat mencerna serat kasar
12
terutama selulosa dari bahan nabati dengan bantuan bakteri yang hidup dalam sekum dan kolon untuk dirubah menjadi energi, protein dan asam amino. Kelinci dapat tumbuh dan berkembangbiak walaupun hanya diberikan hijauan dan limbah pertanian sebagai pakan utamanya. Pemeliharaan ternak kelinci
secara tradisional dapat dilakukan dengan pemberian berbagai jenis
leguminosa dan rumput-rumputan. Disamping itu dengan memanfaatkan sisa – sisa dari sayuran dan pemberian pakan tambahan berupa dedak padi, ampas tahu, pollard mampu meningkatkan produktivitas kelinci. Pemeliharaan secara intensif dapat dilakukan dengan menggunakan ransum komplit yang merupakan campuran dari bahan seperti jagung, bungkil kedelai, bungkil kelapa, dedak padi, pollard, vitamin – mineral, kapur dan garam (Lestari et al., 2005). Dengan menggunakan ransum komplit (protein kasar 16% dan energi termetabolis 2500 K.kal/kg) konsumsi pakan per ekor per hari untuk kelinci lokal bunting, dewasa dan sedang tumbuh (1,5 – 6 bulan) masing-masing 200 – 250 g, 110 – 125 g dan 80 g serta memerlukan air minum setiap hari terutama pada induk yang sedang menyusui dan pada pemberian pakan konsentrat (Raharjo, 2005). Dalam penelitian Rokhmani (2005) menyatakan pemberian onggok terfermentasi pada ransum kelinci pada aras 10% dan 20% dapat meningkatkan berat badan kelinci 33% dan 29% dibandingkan dengan yang diberikan onggok tanpa terfermentasi. 2.4 Limbah Wine Anggur Anggur (vitis vinifera) merupakan tanaman buah yang banyak diolah menjadi jus, selai, pasta buah, dan wine. Buah anggur yang telah dihancurkan disebut musts, yang terdiri dari 85-95% sari buah, 5-12% kulit dan 0-4% biji. Glukosa dan fruktosa merupakan karbohidrat utama dalam musts. Rasio kedua
13
jenis gula ini adalah musts dari buah yang matang penuh biasanya adalah 1 : 1. Tetapi beberapa peneliti mengemukakan bahwa rasio glukosa/fruktosa bervariasi tergantung pada varitas, yaitu antara 0,17 – 1,45 atau 0,85-1,04 untuk buah matang dan antara 0,53 – 0,76 untuk buah ranum. Selama proses pematangan buah anggur, rasio glukosa/fruktosa mengalami penurunan. Pada produksi white wine bagian anggur yang digunakan hanya daging buah untuk diambil sari buahnya, sedangkan biji dan kulit anggur tidak digunakan. Pada pembuatan red wine biji diikut sertakan dalam proses fermentasi (Miller dan Listky, 1976) seperti tersaji pada Gambar 2.1. Biji maupun kulit anggur yang dihasilkan dari pengolahan anggur dapat digunakan sebagai antioksidan karena biji anggur kaya akan komponen monomer fenolik seperti katekin, epikatekin, epikatekin-3-O-gallat, dan proantosianidin (Kim et al., 2006). Flavonoid berfungsi sebagai antioksidan 20% lebih besar dari vitamin E dan 50% lebih besar dari vitamin C. Ekstrak biji anggur merupakan salah satu dari beberapa antioksidan yang mampu melewati pembuluh darah diseluruh tubuh yang bersifat selektif permeabel dan mencegah zat-zat berbahaya masuk dalam tubuh (Monagas et al., 2003). Menurut (Xia et al., 2010) senyawa fenol yang terbesar terdapat pada kulit, stem, daun dan biji dari anggur. Senyawa ini dipercaya dapat digunakan untuk membunuh bakteri (bakterisidal). Senyawa fenol mempunyai peranan yang sangat penting dalam memberikan manfaat antioksidan pada buah dan sayuran. Polifenol merupakan komponen fitokimia yang terkandung dalam anggur karena mempunyai aktivitas biologi dan bermanfaat untuk kesehatan.
14
Buah anggur merah (Vitis vinifera L.) mengandung vitamin C, B6, K, B1, mineral dan polifenol, termasuk flavonoid, resveratrol, proantosianidin dan prosianidin (Adisakwattana et al., 2010; Weber et al., 2007). Komponen polifenol diantaranya antosianin, flavonoid, tannin, resveratrol dan asam fenolat (Xia et al., 2010). Flavonoid merupakan komponen terbesar dalam senyawa fenol yang mempunyai struktur kimia C6-C3-C6. Flavonoid terdapat dalam semua bagian anggur diantaranya kulit, daging, daun dan bijinya. Flavonoid pada prinsipnya mempunyai kandungan catechin (+), epicatechin (-) dan polimer procyanidin (Petrussa et al., 2013). Flavonoid bersifat antibakteri karena mampu berinteraksi dengan DNA bakteri yang menyebabkan terjadinya kerusakan permeabilitas dinding sel mikrosom dan lisosom dari bakteri. Flavonoid mempunyai kemampuan untuk merusak protein ekstraseluler dan protein yang larut serta merusak dinding sel bakteri (Setyohadi et al., 2010).
15
Pemetikan buah anggur Penghancuran
Penambahan SO
Penyaringan bertekanan Fermentasi
2
Fermentasi
Limbah
Penyaringan bertekanan
White Wine
Red Wine
Pemeraman
Pemeraman
Pembotolan
Pembotolan
Limbah
Gambar 2.1. Diagram alir proses produksi wine (Miller dan Litsky, 1976). Antosianin adalah bagian senyawa fenol yang tergolong flavonoid. Menurut Durst and Wrolstad (2005) bahwa antosianin jumlahnya sekitar 90 – 96 % dari total senyawa fenol. Pigmen ini berperan terhadap timbulnya warna merah hingga biru pada beberapa bunga, buah, dan daun seperti anggur. Antosianin bersifat polar sehingga dapat dilarutkan pada pelarut polar seperti etanol, aceton, dan air. Tannin
adalah komponen yang banyak terdapat pada anggur, teh,
cranberry dan delima. Menurut Molina-Alcaide et al. (2008) limbah dari pengolahan red wine akan menghasilkan condensed tannins (CT) 98,3 g/kg DM. CT merupakan polimer dari flavonoid yang telah lama dianggap antinutrisi karena dapat menyebabkan penurunan berat badan melalui kemampuan untuk berikatan
16
dengan
protein termasuk pektin, selulosa dan hemiselulosa, serta mineral, yang
membentuk
protein komplek berupa condensed tannins (CT). Lebih lanjut
dilaporkan fermentasi limbah wine dari anggur mampu manjadi sumber protein kasar dan serat yang cocok untuk pakan ternak ruminansia. Jika dikelola dengan tepat, CT yang terkandung dalam pakan dapat memberikan keuntungan berupa peningkatan berat badan dan produksi susu akibat ketersedian dan penyerapan asam amino dalam pakan akan lebih optimal (McSweeney et al., 2001). Tannin berfungsi mencegah oksidasi, kolestrol, dan LDL dalam darah sehingga dapat mengurangi resiko hipertensi serta mempunyai sifat antimikroba. Tannin juga dapat merusak membran sel bakteri yang ditandai dengan kebocoran sel dan lisis sehingga menghambat pertumbuhan bakteri (Setyohadi et al., 2010). Asam fenolat merupakan komponen terbesar kedua dalam polifenol. Asam fenolat mampu mengurangi oksidasi kolestrol jahat dan melawan sel kanker yang disebabkan oleh komponen nitrosamin akibat mengkonsumsi makanan kaya nitrat. Asam fenolat terdiri atas ellagic acid, chlorogenic acid, para coumeric acid, asam ferullat, asam fitat, dan kurkumin (Astawan, 2010). Resveratrol
(trans-3,5,4’-trihydroxystilbene)
merupakan
komponen
terbesar yang terdapat pada kulit anggur (McElderry, 1999). Resveratrol ini hanya didapatkan pada anggur merah dan tidak pada anggur putih.. Kulit anggur segar mempunyai kandungan resveratrol sebanyak 40 mg perliter ekstrak. Resveratrol juga banyak terdapat pada produk olahan anggur yaitu wine. Resveratrol yang terdapat pada buah anggur dapat meningkatkan aliran darah pada otak, sehingga dapat mereduksi penyakit stroke, mencegah penyakit kanker, menghambat senyawa benzopyrene, yaitu senyawa yang dapat menyebabkan kanker, serta
17
menghambat pertumbuhan sel tumor (Xia et al., 2010). Struktur kimia resveratrol disajikan pada gambar 2.2.
Gambar 2.2. Sruktur kimia resveratrol 2.5 Pemamfaatan Limbah Wine Agroindustri khususnya pengolahan anggur menjadi wine di Bali cukup besar menghasilkan limbah 691,6 ton/tahun. Pengolahan anggur menjadi wine akan menghasilkan limbah sebesar 40% yang diantranya biji dan kulit. Mengenai
penggunaannya
menunjukkan intoleransi
untuk
dalam
pakan
ternak,
beberapa
komponen tertentu seperti
hewan
tanin,
yang
berpengaruh negatif terhadap daya cerna. Residu tidak larut dari limbah wine ini memiliki kandungan lignin mulai dari 16,8 % - 24,2 % dan kadar protein rendah (González-Centeno et al., 2014). Selulosa adalah jenis polisakarida berupa dinding sel
yang dimiliki anggur, yang bervariasi dari 27 % - 37 % (González-
Centeno et al., 2010). Oleh karena itu, peningkatan mamfaat limbah wine dari anggur sebagai sumber phytochemical bioaktif yang diaplikasikan dalam industri farmasi, kosmetik, dan makanan yang
merupakan alternatif yang efisien,
menguntungkan , dan ramah lingkungan untuk limbah (Makris et al., 2007). Flavonoid, saponin dan polifenol merupakan
kandungan antioksidan
yang terkandung dalam kulit dan biji anggur. Flavonoid merupakan antioksidan
18
ampuh yang bekerja sebagai pencegah kanker dan juga memiliki efek antimikroba (Hutapea, 1994). Saponin memiliki efek menurunkan kadar gula darah. Polifenol juga merupakan antioksidan, pada buah anggur dikenal dengan nama resveratrol yang menghambat enzim yang dapat menstimulir pertumbuhan sel kanker dan menekan respon imun, juga mengandung ellagic acid, sejenis senyawa yang menghambat enzim yang diperlukan sel-sel kanker, yang tampak membantu memperlambat perkembangan tumor Herlanda (2008). Menurut Wijayakusuma (2000) buah dan biji anggur juga mengandung magnesium yang tinggi, dimana magnesium itu merupakan suatu elemen yang diperlukan untuk pergerakan feses yang baik. Menurut Nakamura et al. (2002) bagi masyarakat Jepang biji anggur merupakan bahan pangan yang sehat, bukan lagi sebagai bahan tambahan makanan. Biji dan kulit anggur banyak mengandung flavonoid dan phenol sebagai sumber antioksidan alami. Selain kaya antioksidan limbah wine anggur memiliki kandungan protein yang tinggi, namun tidak cocok digunakan sebagai sumber energi untuk pakan, walaupun memiliki kandungan protein yang sama dengan limbah pengolahan minyak nabati (Molina - Alcaide et al. 2008). Penggunaan limbah wine berupa biji dan kulit anggur untuk hewan dalam penelitian Wulandari et al. (2014) menyatakan bahwa penggunaan ekstrak biji anggur sebesar 5,4 mg/ekor/hari untuk hewan tikus putih mampu memberikan pengaruh signifikan terhadap peningkatan viabilitas spermatozoa sampai 88,9 % dan menurunkan ekspresi Tumor Necrosis Faktor Alpha (TNF-α) sampai 86,1 % pada organ testis. Baumgartel et al. (2007) menyatakan bahwa ekstrak biji anggur merupakan sumber energi yang baik untuk menunjang produksi dari ternak ruminansia. Namun penggunaan ekstrak biji anggur dari limbah wine dalam dunia
19
kesehatan akan mengurangi ketersedian untuk sumber pakan yang berasal dari limbah (Nerantzis dan Tartaridis 2006). Penggunaan limbah wine yang telah dihilangkan bijinya tidak mampu memenuhi kebutuhan energi untuk menopang pertumbuhan serta produksi susu
ternak ruminansia, apabila penggunaannya
dalam bentuk pakan tunggal (Hadjipanayiotou dan Louca 1976; Baumgartel et al., 2007; Spanghero et al., 2009; Abarghuei et al., 2010). Berdasarkan penelitian Moote (2012) penggunaan limbah wine anggur cair sebesar 7% dalam ransum sapi angus jantan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dari segi pertambahan bobot badan serta skor warna daging dibandingkan kontrol. Selain itu, daging dari domba yang disuplementasi ekstrak biji anggur dalam pakannya tidak menunjukkan perbedaan dari segi warna, senyawa volatil dan komposisi asam lemak dibanding kontrol (Vasta et al., 2010; Jerónimo et al., 2010; Jerónimo et al., 2012).