BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum mengenai Gugatan a. Pengertian Gugatan Gugatan adalah sebagai suatu tuntutan hak dari setiap orang atau pihak (kelompok) atau badan hukum yang merasa hak dan kepentingannya dirugikan dan menimbulkan perselisihan, yang ditujukan kepada orang lain atau pihak lain yang menimbulkan kerugian itu melalui pengadilan (Sophar Maru Hutagalung, 2010: 1). Selain itu, menurut Darwan Prinst (2002:2), gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada ketua pengadilan yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh pengadilan, serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut. Gugatan perdata disebut juga gugatan contentiosa artinya perkaranya bersifat partai atau perselisihan di antara para pihak, yaitu antara penggugat dan tergugat. Berbeda dengan permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditujukan ke pengadilan yang sifatnya sepihak (bukan partai) tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagi tergugat. Permohonan biasanya diajukan kepada pengadilan untuk menetapkan sesuatu dan atas dasar permohonan itu hakim akan memberikan suatu penetapan, misalnya permohonan untuk penetapan ahli waris dan pembagian harta warisan yang diajukan oleh salah seorang ahli waris (Sophar Maru Hutagalung, 2010: 1-2). b. Syarat-Syarat Gugatan Surat gugatan harus memenuhi syarat-syarat formal, yaitu sebagai berikut (Sophar Maru Hutagalung, 2010: 57-58): 1) Di dalam susunan gugatan, antara subjek dan objek gugatan, maupun antara posita dengan petitum gugatan haruslah jelas, misalnya identitas penggugat dan tergugat, serta objek gugatan, alasan atau dasar hukum penggugat mengajukan gugatan (surat
11
12
gugatan yang tidak jelas menyebabkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, vide Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, tanggal 5 Juni 1975, Nomor 616 K/Sip/1973); 2) Di dalam gugatan haruslah memuat secara lengkap fakta hukum yang menjadi dasar gugatan, sehingga sejalan dengan permintaanpermintaan penggugat yang dimuat dalam petitum (gugatan yang tidak lengkap menyebabkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, vide Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, tanggal 28 November 1956, Nomor 195 K/Sip/1955); 3) Di dalam gugatan harus juga memperhatikan logika-logika hukum yang dapat menimbulkan konsekuensi, bahwa hal-hal tersebut harus diajukan dalam surat gugatan, misalnya, untuk perkara perbuatan melawan hukum, harus ada petitum yang menyatakan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. c. Cara Mengajukan Gugatan Gugatan pada prinsipnya diajukan secara tertulis, tetapi apabila penggugat tidak dapat menulis maka dapat diajukan dengan lisan kepada ketua pengadilan, sesuai dengan ketentuan Pasal 120 HIR. Gugatan secara tertulis disebut dengan surat gugatan. Seorang penggugat mengajukan surat gugatan kepada ketua pengadilan negeri, berdasarkan Pasal 8 ayat (3) Rv ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam gugatan sebagai surat materiil gugatan (Lilik Mulyadi, 2002: 37): 1) Keterangan lengkap dari pihak yang berpekara yaitu nama, alamat dan pekerjaan; 2) Dasar gugatan (fundamental petendi) yang memuat uraian tentang hukum yaitu adanya hak dalam hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari gugatan itu dan memuat uraian tentang kejadian yaitu penjelasan duduk perkaranya; 3) Apa yang dimohonkan atau dituntut oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim (petitum). Yang dituntut itu dapat diperinci menjadi dua macam, yakni tuntutan primair yang merupakan tuntutan pokok, dan tuntutan subsidair yang merupakan tuntutan pengganti apabila tuntutan pokok ditolak oleh hakim. Selain itu, dalam mengajukan gugatan harus diperhatikan oleh penggugat bahwa gugatan diajukan kepada peradilan yang berwenang untuk mengadili perkara. Dalam hukum acara perdata dikenal dua macam kewenangan/kompetensi
yaitu
Oeripkartawinata, 2002:11):
(Retnowulan
Sutantio
&
Iskandar
13
1) Kewenangan/kompetensi absolut yang menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan, menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtsmacht); 2) Kewenangan/kompetensi relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antar badan peradilan yang sama, tergantung pada domisili atau tempat tinggal para pihak, terutama tergugat (distributie van rechtsmacht). Pengaturan mengenai kompetensi relatif ini diatur dalam Pasal 118 HIR. Kemudian terdapat beberapa peraturan tambahan mengenai kompetensi relatif terkait pengajuan gugatan yaitu (Soepomo, 2002:22-23): 1) Jikalau kedua pihak memilih tempat tinggal spesial dengan akte yang tertulis, maka penggugat jika ia mau dapat mengajukan gugatan kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukumnya tempat tinggal yang dipilih itu terletak (Pasal 118 ayat (4) HIR); 2) Jikalau tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal, maka yang berkuasa mengadili ialah Pengadilan Negeri dari tempat kediamannya tergugat; 3) Jikalau Tergugat juga tidak mempunyai tempat kediaman yang diketahui, atau jikalau tergugat tidak terkenal, maka gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggalnya penggugat atau di tempat tinggalnya salah seorang dari para tergugat atau jika gugatannya mengenai barang tak bergerak misalnya tanah, maka gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukumnya barang itu terletak (Pasal 118 ayat (3) HIR). 2. Tinjauan Umum mengenai Citizen Lawsuit a. Pengertian Citizen Lawsuit Citizen Lawsuit merupakan akses orang-perorangan warga negara untuk kepentingan publik mengajukan gugatan ke pengadilan guna menuntut agar pemerintah melakukan penegakkan hukum yang diwajibkan kepadanya atau untuk memulihkan kerugian publik yang terjadi. Pada dasarnya Citizen Lawsuit merupakan suatu hak gugat warga negara yang dimaksudkan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat tindakan atau pembiaran omisi dari negara atau otoritas negara (Rahadi Wasi Bintoro, 2010:154). Selain itu, menurut E. Sundari (2002:15), Citizen Lawsuit adalah klaim atau tuntutan atau kehendak dari masyarakat
14
terorganisir menyangkut kepentingan umum yang dilanggar oleh siapapun. Atas pelanggaran kepentingan umum ini diperlukan kontrol yang bersifat fundamental dari warga negara melalui Citizen Lawsuit. Secara sederhana Citizen Lawsuit diartikan sebagai gugatan yang dapat diajukan oleh setiap warga negara, tanpa pandang bulu, dengan pengaturan oleh negara. Citizen Lawsuit dipakai oleh negara-negara yang menganut sistem common law. Dalam sistem common law, prinsip Citizen Lawsuit sama dengan prinsip actio popularis misalnya dalam gugatan terhadap perlindungan lingkungan oleh warga negara, terlepas apakah warga negara tersebut mengalami langsung pencemarannya atau tidak (Mas Achmad Santosa, 1997: 20). Karena masalah perlindungan lingkungan merupakan kepentingan umum atau kepentingan luas, maka setiap warga negara berhak menuntutnya (E. Sundari, 2002: 18). Citizen Lawsuit mempunyai kesamaan dengan prinsip Class Action yaitu gugatan yang diajukan sama-sama melibatkan kepentingan sejumlah besar orang yang diwakili oleh seorang atau lebih. Selain itu, Citizen Lawsuit dan Class Action juga mempunyai perbedaan, antara (Susanti Adi Nugroho, 2010: 395): 1) Dalam citizen lawsuit yang berhak mengajukan gugatan yaitu setiap orang atau setiap warga negara atas dasar bahwa ia adalah anggota masyarakat, tanpa ada keharusan bahwa orang tersebut merupakan pihak yang mengalami kerugian secara langsung. Sedangkan dalam class action, tidak setiap orang berhak mengajukannya melainkan hanya salah satu atau beberapa orang yang merupakan anggota dari sekelompok orang yang ikut mengalami kerugian secara langsung; 2) Kepentingan yang dituntut dalam citizen lawsuit adalah kepentingan umum yang dianggap kepentingan setiap anggota masyarakat juga, sedangkan dalam class action kepentingan yang dituntut adalah kepentingan yang sama atas dasar suatu permasalahan yang sama baik fakta maupun hukum yang menimpa kelompok tersebut; 3) Karena gugatan citizen lawsuit pada umumnya ditujukan kepada penyelenggara negara atau pemerintah dan jajarannya, maka tuntutan yang diajukan dalam citizen lawsuit adalah pelayanan atau perlindungan yang lebih baik kepada masyarakat, yang pada umunya bukan berupa ganti rugi. Sedangkan dalam class action,
15
pada umumnya yang menjadi tuntutan bersama adalah ganti rugi keuangan, meskipun tidak menutup kemungkinan lain sebagai tambahan. b. Pengaturan Citizen Lawsuit Pengaturan Citizen Lawsuit di Indonesia berbeda dengan pengaturan Citizen Lawsuit di negara-negara yang menganut sistem common law. Di negara-negara common law, Gugatan Citizen Lawsuit diatur dan dituangkan secara eksplisit dalam suatu undang-undang. Di Indonesia, mekanisme Gugatan Citizen Lawsuit ini tidak ada ketentuan hukum yang mengaturnya atau membolehkannya secara tegas dan juga tidak ada aturan hukum yang melarangnya secara tegas. Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Kemudian Pasal 10 ayat (1) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Berdasarkan pada kedua ketentuan di atas, Gugatan Citizen Lawsuit harus diakui dan dibolehkan keberadaannya dalam peradilan di Indonesia agara tidak terjadi kekosongan yang terjadi akibat ketiadaan peraturan tertulis dan agar hukum selalu mengikuti perkembangan zaman. Menurut doktrin hukum dari Paul Scholten dikutip oleh E. Utrectch dalam bukunya, hakim dapat memenuhi ruang kosong yang ada dalam sistem hukum asalkan penambahan tersebut tidak mengubah sistem pada pokonya (E. Utrectch, 1956: 156). c. Proses Pengajuan Citizen Lawsuit Di dalam Laporan Penelitian Mahkamah Agung mengenai Citizen Lawsuit dan Class Action dikemukakan mengenai pengajuan gugatan Citizen Lawsuit. Di Amerika Serikat, awal mula munculnya pengakuan Gugatan Citizen Lawsuit adalah dari adanya pengajuan perkara ke
16
pengadilan. Kemudian adanya pengakuan tersebut dimuat dalam peraturan perundangan untuk menjamin secara hukum bahwa setiap orang dapat menuntut pemerintah di pengadilan untuk memenuhi kewajiban yang diperintahkan oleh undang-undang (Laporan Mahkamah Agung, 2009: 51). Di India, dalam hal “Citizen Lawsuit” maupun Representative Standing, warga negara yang menjadi penggugat tidak perlu membuktikan adanya kerugian yang bersifat riil dan tangible. Dalam putusan Mahkamah Agung India pada perkara gugatan Citizen Lawsuit antara S.H. Gupta melawan Union of India Air (1982 (Feb) SC 149), ditegaskan bahwa setiap anggota masyarakat siapapun juga dapat mengajukan gugatan apabila (Laporan Mahkamah Agung, 2009: 52-53): 1) Terjadi suatu kesalahan hukum atau kerugian hukum yang disebabkan oleh karena adanya suatu pelanggaran atas hak hukum tertentu atau perbuatan lain yang bersifat menghukum; 2) Terjadinya suatu kesalahan hukum atau perbuatan pembebanan hukum yang dilakukan tanpa otoritas hukum; 3) Seseorang atau kelompok masyarakat (klas) tertentu karena alasan kemiskinan, ketidakberdayaan atau kecatatan atau jika secara ekonomi maupun sosial berada dalam posisi merugikan tidak memiliki kemampuan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Kemudian karakteristik Citizen Lawsuit, menurut Indro Ugianto dapat digambarkan sebagai berikut (Laporan Mahkamah Agung, 2009: 60): 1) Citizen Lawsuit merupakan akses orang perorangan atau warga negara untuk mengajukan gugatan di pengadilan untuk dan atas nama kepentingan keseluruhan warga negara atau kepentingan publik; 2) Citizen Lawsuit dimaksudkan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan atau pembiaran dari negara atau otoritas negara; 3) Citizen Lawsuit memberikan kekuatan kepada warga negara untuk menggugat negara dan institusi pemerintah yang melakukan pelanggaran undang-undang atau yang melakukan kegagalan dalam memenuhi kewajibannya dalam pelaksanaan (implementasi) undang-undang; 4) Orang perorangan warga negara yang menjadi penggugat dalam Citizen Lawsuit tidak perlu membuktikan adanya kerugian langsung yang bersifat riil atau tangible.
17
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengajuan Gugatan Citizen Lawsuit adalah didasarkan atas kelalaian penyelenggara negara dalam memenuhi hak-hak warga negara dan tidak hanya pada perkara lingkungan hidup. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu atas kelalaian tersebut, negara dihukum untuk melakukan tindakan tertentu atau mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat pengaturan umum agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari.
3. Tinjauan Umum mengenai Putusan a. Pengertian Putusan Menurut Darwin Prinst (2002: 201), putusan adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di pengadilan. Setelah melakukan segala pemeriksaan terhadap berkas-berkas dari penggugat serta alat pembuktian yang dihadirkan dalam persidangan acara perdata, maka hakim akan mengambil suatu
putusan
terhadap
ia
periksa.
Putusan
tersebut
diharapkan
menghasilkan suatu keadilan bagi para pihak atas kepentingannya yang diminta untuk diperiksa dan diputus oleh hakim. Dalam pertimbanagan hakim yang perlu diperhatikan pertimbangan hukumnya, sehingga siapa pun dapat menilai apakah putusan yang dijatuhkan cukup mempunyai alasan yang objektif atau tidak. Di samping itu, pertimbangan hakim adalah sangat penting dalam pembuatan memori banding dan memori kasasi (Sophar Maru Hutagalung, 2010: 95). Putusan hakim selayaknya mengandung beberapa aspek yaitu (Fance M. Wantu, 2012: 482): 1) Putusan hakim merupakan gambaran proses kehidupan sosial sebagai bagian dari proses konrol sosial; 2) Putusan hakim merupakan penjelmaan dari hukum yang berlaku dan pada intinya berguna untuk setiap orang maupun kelompok dan juga negara; 3) Putusan hakim merupakan gambaran keseimbangan antara ketentuan hukum dengan kenyataan di lapangan; 4) Putusan hakim merupakan gambaran kesadaran yang ideal antara hukum dan perubahan sosial;
18
5) Putusan hakim harus bermanfaat bagi setiap orang yang berperkara; 6) Putusan hakim merupakan tidak menimbulkan konflik baru bagi para pihak yang berperkara dan masyarakat. b. Sifat Putusan Putusan menurut sifatnya dibagi atas (Darwin Prinst, 2002: 201-202): 1) Pengaturan (Constitutif) adalah putusan yang menetapkan mengenai sesuatu, seolah-olah membuat suatu kaidah/ketentuan baru; 2) Pernyataan (Declatoir) adalah putusan yang memberikan pernyataan mengenai sesuatu; 3) Menghukum (Condemnatoir) adalah putusan yang isinya menghukum. c. Jenis-Jenis Putusan Putusan menurut jenisnya dibagi atas (Darwin Prinst, 2002: 202-204): 1) Putusan sela adalah putusan yang belum merupakan putusan akhir. Putusan sela dapat berupa: a) Putusan Provisional adalah putusan yang diambil segera mendahului putusan akhir tentang pokok perkara, karena adanya alasan-alasan yang mendesak; b) Putusan Prepatoir adalah putusan sela guna mempersiapkan putusan sela, misalnya putusan yang menolak/mengabulkan pengunduran sidang karena alasan yang tidak tepat/tidak dapat diterima; c) Putusan Insidental adalah putusan sela yang diambil secara insidental. Hal ini terjadi misalnya kematian kuasa dari salah satu pihak dan lain-lain. 2) Putusan akhir, putusan akhir dari suatu perkara dapat berupa: a) Niet Onvankelijk verklaart (NO) berarti tidak dapat diterima, yakni putusan pengadilan yang menyatakan, bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima; b) Tidak berwenang mengadili, suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang tidak berwenang, baik menyangkut kompetensi absolut maupun kompetensi relatif; c) Gugatan dikabulkan, suatu gugatan yang terbukti kebenarannya di pengadilan akan dikabulkan seluruhnya atau sebagian; d) Gugatan ditolak, suatu gugatan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya di depan pengadilan, maka gugatan tersebut ditolak. Penolakan tersebut dapat terjadi untuk seluruhnya atau hanya sebagian saja.
19
4. Tinjauan Umum mengenai Kemacetan a. Pengertian Kemacetan Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kemacetan berasal dari kata macet, yaitu tidak dapat berfungsi dengan baik (tentang rem, mesin dan sebagainya); sedat; serat: rem mobilnya. Selain itu, kemacetan artinya hal (keadaan) macet: pawai itu mengakibatkan lalu lintas (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 891). Menurut Rodrique yang dikutip oleh Takyi Harriet dalam International Journal of Business and Social Science (2013: 227): States that congestion can be perceived as unavoidable consequences of scarce transport facilities such as road space, parking area, road signals and effective traffic management. They argue that urban congestion mainly concerns two domains of circulation, passengers and freight which share the same infrastructure. Thus, traffic congestion condition on road networks occurs as a result of excessive use of road infrastructure beyond capacity, and it is characterised by slower speeds, longer trip hours and increased vehicular queuing. Dengan demikian kemacetan adalah suatu kondisi arus lalu lintas yang tidak stabil dikarenakan kapasitas jalan tidak dapat lagi menampung jumlah kendaraan yang berlalu lalang sehingga kendaraan tersebut bergerak lambat atau terhenti sama sekali b. Dampak Kemacetan Kemacetan lalu lintas kendaraan bermotor menimbulkan dampak negatif dalam berbagai aspek, yaitu mengganggu kelancaran lalu lintas, waktu perjalanan menjadi lebih lama, konsumsi bahan bakar meningkat dan menimbulkan polusi udara. Kemacetan lalu lintas akan menggangu kelancaran lalu lintas perkotaan, dampaknya waktu tempuh menjadi lebih lama, akibatnya sampai di tempat tujuan terlambat. Waktu perjalanan yang lama dan tidak mematikan mesin kendaraan menyebabkan meningkatnya konsumsi bahan bakar. Selain itu, kemacetan lalu lintas perkotaan akan menimbulkan polusi udara, terutama kendaraan bermotor yang berlalu lintas di jalan raya, akan semakin besar polusi udara yang ditimbulkan. Polusi udara mempunyai dampak negatif
20
terhadap kesehatan manusia, berupa gangguan seluran pernafasan (Rahardjo Adisasmita dan Sakti Adji Sasmita, 2011: 90-91).
B. Kerangka Pemikiran
Kemacetan yang sering terjadi di DKI Jakarta
Warga Negara mengajukan Gugatan Citizen Lawsuit di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Proses Pemeriksaan Gugatan Citizen Laswuit dilanjutkan
Unsur-Unsur Gugatan Citizen Lawsuit terpenuhi
Prosedur Gugatan Citizen Lawsuit yang diajukan oleh Penggugat adalah sah
Pertimbangan Hakim Menolak Gugatan Citizen Lawsuit Bagan 1. Skematik Kerangka Pemikiran
Penjelasan: Kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum yaitu mengenai pertimbangan hakim dalam menolak
21
Gugatan Citizen Lawsuit (Gugatan Warga Negara) kasus kemacetan di DKI Jakarta (Studi Kasus Nomor: 53/PDT.G/2012/PN.JKT.PST.). Bahwa dikarenakan sering terjadinya kemacetan di DKI Jakarta, maka Penggugat yaitu Agustinus Dawarja, Yohanes Tangur dan Ngurah Anditya yang merupakan Warga Negara Republik Indonesia yang berprofesi sebagai Advokat dan bekerja di Jakarta mengajukan Gugatan Citizen Lawsuit ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas kinerja pemerintah khususnya pemerintah DKI Jakarta dalam menangani kemacetan di DKI Jakarta. Bahwa unsur-unsur dalam Gugatan Citizen Lawsuit yang diajukan Agustinus c.s. sebagai Penggugat telah terpenuhi, sehingga hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa prosedur pengajuan Gugatan Citizen Lawsuit yang diajukan oleh Penggugat adalah sah sehingga proses pemeriksaan dilanjutkan. Bahwa kemudian dalam putusan akhir, hakim memutus menolak Gugatan Citizen Lawsuit penggugat untuk seluruhnya. Berdasarkan hal tersebut, penulis mengkaji apakah unsur-unsur suatu gugatan dapat dikategorikan sebagai Gugatan Citizen Lawsuit serta apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menolak Gugatan Citizen Lawsuit terkait kasus kemacetan di DKI Jakarta.