perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Efusi Pleura Pleura adalah membrane penting yang membungkus setiap paru dan berfungsi untuk melindungi paru. Membrane bagian luar dinamakan pleura pariental, sedangkan membrane bagian dalam dinamakan pleura visceral. Pleura pariental melapisi rongga toraks (kerangka iga, diafragma, mediastinum) dan pleura visceral melapisi paru serta bersambungan dengan pleura pariental di bagian bawah paru. Ruang di antara dua membrane pleura dinamakan pleura cavity yang berisi cairan pleura yang dikeluarkan oleh membrane pleura. Cairan ini memiliki fungsi yang penting untuk melumasi dan mengurangi friksi atau gesekan di antara dua membrane pleura karena paru-paru bergerak selama bernapas (Maryudianto, 2012). Penyakit Efusi Pleura merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya akumulasi cairan pleura dalam jumlah yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura (Tobing & Widirahardjo, 2013). Efusi pleura merupakan suatu gejala yang serius dan dapat mengancam jiwa penderitanya. Efusi pleura dapat di sebabkan antara lain karena tuberkulosis, neo plasma atau karsinoma, gagal jantung, pnemonia, dan infeksi virus maupun bakteri (Ariyanti, 2003). Pasien dengan efusi pleura di dalam rongga pleura terdapat kurang lebih 5 ml cairan yang cukup untuk membasahi seluruh permukaan pleura parientalis dan viseralis. Sebagian cairan ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil lainnya (10%-20%) mengalir ke dalam pembuluh limfe (Maryudianto, 2012).
commit to user 5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.1.2 Thorax Terdapat beberapa cara untuk melakukan diagnosa penyakit paru, yaitu dengan manifestasi klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi (thorax, CT scan, MRI scan), Sitologi Sputum, dan Bronkoskopi (Sinaga, 2011). Pemeriksaan radiologi thorax merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk mendiagnosis banyak kondisi yang melibatkan dinding thorax, tulang thorax dan struktur yang berada di dalam kavitas thorax termasuk paru-paru, jantung dan saluran-saluran yang besar. Kemajuan teknologi yang cukup pesat dalam teknik pemeriksaan radiologi thorax dan pengetahuan untuk menilai suatu rontgenogram thorax menyebabkan pemeriksaan thorax dengan sinar rontgen ini menjadi suatu keharusan rutin. Selain itu, berbagai kelainan dini dalam paru juga sudah dapat dilihat dengan jelas pada foto rontgen sebelum timbul gejala-gejala klinis, sehingga pemeriksaan secara rutin pada orang-orang yang
tidak
mempunyai keluhan apa-apa sudah menjadi prosedur yang lazim dalam pemeriksaan kesehatan masyarakat secara massal, seperti yang dilakukan pada mahasiswa, anak sekolah, anggota negara, pegawai perusahaan, serta para karyawan lainnya. Misalnya suatu sarang tuberkulosis yang hanya sekecil 2mm diameternya, mungkin sudah dapat dilihat pada foto rontgen, sedangkan pada pemeriksaan fisik klinis tentu tidak akan berhasil menemukan sarang sekecil ini (Rasad, 2005). Pemeriksaan radiologi merupakan cara yang penting untuk dokumentasi dan pemeriksaan berkala yang obyektif. Foto rontgen yang dibuat pada suatu saat tertentu dapat merupakan dokumen yang abadi dari penyakit seorang penderita, dan setiap waktu dapat dipergunakan dan diperbandingkan dengan foto yang dibuat pada saat-saat lain (Rasad, 2005). Untuk mengetahui adanya suatu kelainan pada foto rontgen, seorang dokter memerlukan sedikit latihan, tetapi untuk menilai dengan teliti suatu kelainan yang terlihat serta menarik kesimpulan yang tepat, merupakan sesuatu hal yang jauh lebih sulit dan memerlukan latihan yang lebih lama di samping pengetahuan yang mendalam tentang cabang ilmu kedokteran lainnya, terutama patologi dan ilmu penyakit dalam. Misalnya, untuk dapat melihat adanya suatu bayangan seperti lubang atau kavitas dalam paru hanya memerlukan apakah kavitas itu disebabkan
commit to user 6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
oleh tuberkulosis atau suatu abses dan bukan tuberkulosis, kista kongenital, atau suatu karsinoma yang mengalami nekrosis, dan sebagainya, adalah suatu hal yang jauh lebih sulit, bahkan kadang-kadang tak mungkin dipastikan. Dalam hal seperti ini, maka hanyalah koordinasi yang baik antara hasil pemeriksaan klinis dan laboratorium dengan pemeriksaan radiologi akan dapat menunjang penegakkan diagnosis yang tepat. Kerjasama yang erat dan konsultasi yang terus-menerus antara ahli radilogi dan ahli-ahli klinis lainnya merupakan syarat mutlak untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya (Rasad, 2005). Gambaran dari Radiologi Efusi Pleura salah satunya ditunjukkan pada Gambar 2.1 :
Gambar 2.1 Gambaran Radiologi Efusi Pleura
2.1.3 Algoritma Fuzzy C-Means (FCM) Fuzzy C-Means (FCM) adalah suatu teknik clustering data yang mana keberadaan tiap-tiap data dalam suatu cluster ditentukan oleh nilai keanggotaan. Teknik ini pertamakali diperkenalkan oleh Jim Bezdek pada tahun 1981. Konsep dasar FCM, pertama kali adalah menentukan pusat cluster yang akan menandai lokasi rata-rata untuk tiap-tiap cluster. Pada kondisi awal, pusat cluster ini masih belum akurat. Tiap-tiap data memiliki derajat keanggotaan untuk tiap-tiap cluster. Dengan cara memperbaiki pusat cluster dan nilai keanggotaan tiap-tiap data secara berulang, maka akan dapat dilihat bahwa pusat cluster akan bergerak menuju lokasi yang tepat (Kusumadewi & Hartati, 2006). Algoritma FCM adalah sebagai berikut (Kusumadewi & Hartati, 2006) :
commit to user 7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Tentukan : a) Matriks X berukuran n x m, dengan n = jumlah data yang akan dicluster, dan m = jumlah variabel (kriteria). b) Jumlah cluster yang akan dibentuk = C ( 2). c) Pangkat pembobot = w ( 1). d) Maksimum iterasi. e) Toleransi error =
(nilai positif yang sangat kecil).
f) Iterasi awal, t = 1. g) Kriteria penghentian
1.
b. Bentuk matriks partisi awal, U 0 , sebagai berikut :
21
x1 x1
C1
x1
11
U
22
x2 x21
2n
xn x n1
C2
x2
Cn
xn
12
1n
(1)
(Matriks partisi awal biasanya dipilih secara acak) c. Hitung pusat cluster ( V ), untuk setiap cluster : n
w i, k
V i, j
xk , j
k 1 n
w i ,k
(2)
k 1
d. Perbaiki derajat keanggotaan setiap data pada setiap cluster (perbaiki matriks partisi), sebagai berikut : 2/ w 1
C
1
i ,k
d ik d jk
j 1
(3)
dengan : 1/ 2
m
d ik
d xk
vi
xkj
vij
(4)
j 1
e. Tentukan kriteria berhenti, yaitu perubahan matriks partisi pada iterasi sekarang dengan iterasi sebelumnya, sebagai berikut : Ut
Ut
1
(5)
commit to user 8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Apabila
, maka iterasi dihentikan, namun apabila
, maka
naikkan iterasi (t = t+1) dan kembali ke langkah c. Pencarian nilai dapat dilakukan dengan mengambil elemen terbesar dari nilai mutlak selisih
i, k
t dengan
i ,k
t 1.
2.1.4 Algoritma Fuzzy Learning Vector Quantization (FLVQ) Learning Vector Quantization (LVQ) merupakan salah satu metode pembelajaran
pada jaringan syaraf tiruan dengan tujuan untuk
melakukan
pengelompokan terhadap M vektor data pelatihan menjadi C kelompok (cluster). Pada Logika Fuzzy, juga dikenal suatu metode pengelompokan data yang dikenal dengan nama Fuzzy C-Means (FCM). Integrasi antara kedua metode ini melahirkan suatu metode baru yaitu Fuzzy Learning Vector Quantization (FLVQ). FLVQ yang dikemukakan oleh Karayiannis (1997) ini merupakan algoritma FLVQ yang pertama kali diperkenalkan oleh Tsao (1994) (Kusumadewi & Hartati, 2006). Misalkan kita memiliki M vektor data, X = {x 1, x2, ..., xM}, x1
n ,
yang
akan dikelompokkan menjadi C cluster dengan pusat cluster di V = {v 1, v 2, ..., vc}. FLVQ akan memperbaiki pusat cluster tersebut dengan perubahan sebesar (Kusumadewi & Hartati, 2006) :
vj
Dengan
M
C
xi
vj
i 1
i 1
xi
v1
j
j
1 /(mk 1)
2
mk
xi
2
vj ; 1
j
C
(6)
adalah laju pembelajaran untuk v j dan mk adalah pangkat
pembobot iterasi ke- k untuk fungsi keanggotaan yang diadopsi dari FCM. C
xi
vj
i 1
xi
v1
U ij =
2
1 /(mk 1)
2
1
; mk
1
(7)
Nilai mk terletak pada interval [1,1; 7]. Adapun algoritma FLVQ adalah sebagai berikut (Kusumadewi & Hartati, 2006) :
commit to user 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Tetapkan : 1) Jumlah cluster = C ; 2) Pangkat pembobot = mi dan m f ; 3) Maksimum iterasi = N ; 4) Toleransi error =
;
5) Iterasi awal, k = 0. b. Tetapkan nilai awal pusat cluster secara acak, V0 = { v1, 0 ; v 2 , 0 ;..., v c , 0 }. c. K = k+1 d. Hitung : 1) m = mi + k ((mf-mi)/N);
2)
ij, k
C
xi
vj
i 1
xi
v1
=
j, k
=
m
1 /(m 1)
;1 i
2
M ;1
j
C.
(8)
1
M
3)
2
;1
ij , k
j
C.
(9)
i 1
4)
M
v j ,k = v j ,k 1 +
j ,k
i 1
ij ,k
xi
v j ,k
1
;1
j
C.
(10) C
5) E k =
v j ,k
v j ,k
2 1
j 1
(11) e. Jika (k < N) dan ( E k >
Dimana
), maka ulangi langkah 3
adalah learning rate,
adalah laju pembelajaran, E adalah
error, v adalah pusat cluster, M adalah jumlah vektor data, dan x adalah vektor input.
2.1.5 Pengolahan Citra 2.1.5.1 Definisi Citra Digital Secara harfiah, citra adalah gambar pada bidang dwimatra (dua dimensi). Ditinjau dari sudut pandang matematis, citra adalah sebuah fungsi
commit to user
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
intensitas cahaya dua dimensi f(x,y) dimana x adalah posisi baris dan y adalah posisi kolom sedangkan f adalah fungsi intensitas atau kecerahan dari citra pada koordinat (x,y). Pada umumnya citra berbentuk empat persegi panjang dan dimensi ukurannya dinyatakan sebagai (tinggi x lebar). Citra dengan tinggi N piksel, lebarnya M piksel, dan memiliki intensitas f dapat dipresentasikan sebagai suatu matriks yang berukuran N baris dan M kolom sebagai berikut (Gonzales & Woods, 2010) :
f=
=
(12)
Dimana f adalah fungsi matriks.
Indeks baris (x) dan indeks kolom (y) menyatakan suatu koordinat titik pada citra. Masing-masing titik (x,y) di citra disebut picture element atau piksel, sedangkan f(x,y) merupakan intensitas (derajat keabuan) pada titik (x,y) (Gonzales & Woods, 2010). Citra hitam-putih mempunyai nilai kuantisasi derajat keabuan sampai tingkatan ke-256, artinya mempunyai skala abu dari 0 sampai 255 atau selang [0, 255] dan citra ini membutuhkan 1 byte (8 bit) untuk representasi setiap pikselnya 256 = 28 (Gonzales & Woods, 2010). Citra biner adalah citra yang hanya mempunyai dua nilai derajat keabuan, yaitu hitam dan putih. Piksel-piksel objek bernilai satu (1) dan piksel-piksel latar belakang bernilai nol (0). Pada waktu menampilkan gambar, nol (0) adalah putih dan satu (1) adalah hitam (Gonzales & Woods, 2010).
2.1.5.2 Discrete Cosine Transform Transformasi mengacu pada perubahan representasi gambar, yaitu dari domain spasial ke domain frekuensi. DCT (Discrete Cosine Transform) adalah transformasi matematika yang mengambil dan mengubah sinyal dari
commit to user 11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
domain spasial ke dalam domain frekuensi. DCT biasanya digunakan untuk kompresi karena mampu mengurangi terjadinya perulangan piksel yang sama pada daerah yang berdekatan. DCT dimensi satu (1-D DCT) berguna untuk mengolah sinyal-sinyal dimensi satu seperti bentuk gelombang suara. Sedangkan untuk citra yang merupakan sinyal dua dimensi, diperlukan versi dua dimensi dari DCT (2-D DCT) (Syarif et al, 2012). 2-D DCT merupakan teknik yang penting untuk kompresi data. Untuk menghitung 2-D DCT adalah sebagai berikut (Orozco et al, 2012) :
F u, v
0 u 0 v
u
v
M 1
N 1
m 0
n 0
f (m, n) cos
2m 1 u cos 2M
2n 1 u 2N
(13)
M 1 N 1
dimana : 1 u
,u 0 M 2 ,1 u M 1 M
(14)
dan 1 v
,u 0 N 2 ,1 v N 1 N
Dimana f m, n
(15)
adalah komponen spasial, M dan N adalah ukuran
baris dan kolom dari f m, n dan F u , v adalah komponen spektral.
2.1.5.3 Statistical texture features extraction Analisis tekstur biasanya dimanfaatkan sebagai proses untuk melakukan klasifikasi dan interpretasi citra. Tekstur pada sebuah gambar ditandai dengan distribusi spasial dari gray levels di sekelilingnya. Oleh karena itu, tekstur tidak dapat didefinisikan oleh sebuah titik. Histogram dari suatu gambar
commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memungkinkan sekilas untuk mendapatkan gambaran kasar tentang distribusi gray levels dan kontras. Fitur tekstur statistik yang diambil pada tahapan ini adalah dari histogram masing-masing foto rontgen. Hal ini dikarenakan beberapa penyakit paru memang mempengaruhi paru-paru sedemikian rupa sehingga mengakibatkan perubahan citra foto rontgen. Perubahan tesktur yang terjadi pada citra foto rontgen dapat digunakan untuk membedakan antara citra paru yang terindikasi penyakit dengan paru normal. Ada pun 6 fitur tekstur yaitu average gray level, standard deviation, smoothness, third moment, uniformity dan entropy (Angkoso et al, 2011); (Sutton & Hall, 1972); (Orozco et al, 2012); (Kurniawan et al, 2013).
Average gray level x
1 n
Third moment
n
n
(16)
xi i 1
1 1
(19)
Uniformity n
n
n 1i1
( xi
2
x) (17)
(20)
Entropy n
1 1 SN
p 2 xi
U i 1
Smoothness
R 1
x p xi
i 1
Standard deviation
SN
3
xi
3
2
(18)
H x
1
p x i log 2 p x i
(21)
i 1
Dimana n adalah banyaknya pixel-pixel dalam citra, x i adalah nilai intensitas warna pada tiap pixel, dan p x adalah jumlah pixel untuk setiap intensitas pada histogram dibagi dengan jumlah pixel.
2.1.6 Min-Max Normalization Metode Min-max normalization ini me-rescale data dari suatu range ke range baru lain. Data diskalakan dalam range 0 sampai 1. Selain memiliki misclassification errors yang kecil, Min-Max Normalization juga melindungi hubungan antara nilai data asli karena semua nilai data baru berada dalam range yang pasti. Diberikan yang bersesuaian (dalam satu kolom) {sk}, k = 1,2,..n. Maka
commit to user 13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nilai normalisasinya adalah (Jain & Bhandare, 2011) ; (Saranya & Manikandan, 2013) :
s'
s min sk max sk min sk
(22)
Dimana s ' adalah data normalisasi, s adalah data asli, max s k adalah nilai maksimum dari semua data asli, min sk adalah nilai minimum dari semua data asli.
2.1.7 Algoritma Possibilistic Fuzzy Learning Vector Quantization (PFLVQ) Terinspirasi oleh algoritma Fuzzy Learning Vector Quantization (FLVQ) yang mengintegrasikan Fuzzy C-Means (FCM) dan Learning Vector Quantization (LVQ), kemudian diintegrasikan algoritma pengelompokkan Possibilistic Fuzzy C-Means (PFCM) ke dalam FLVQ dan didapatkan algoritma Possibilistic Fuzzy Learning Vector Quantization (PFLVQ) (Wu et al, 2010). Arsitektur dari jaringan syaraf tiruan PFLVQ ditunjukkan pada Gambar 2.2 sebagai berikut : V11
X1
V12 V21 X2
V31
V22
X3
y_in 1
||X-V1||
F1
y1
V32 V41
X4
V42
V51 V52
y_in2 ||X-V2||
X5
V61
F2
y2
V62
X6
Gambar 2.2 Arsitektur jaringan PFLVQ
Pertama, didefinisikan 2 learning rates untuk PFLVQ yaitu sebagai berikut (Wu et al, 2010) : ik , j
= u ik , j
mj
;
ik , j
= tik , j
j
(23)
commit to user 14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
m j = m0 j
=
j m; j
0
m = m0 1 / jmax
;
=
(24)
1 / jmax
0
(25)
Di sini derajat keanggotaan setiap data pada setiap cluster ( u ik , j dan t ik , j ) dikalkulasikan dengan persamaan sebagai berikut : c
u ik = j 1
Dik m
xk mj
Dik D jk
1
1
1
b
, i, k ; t ik = 1
1
Dik2
, i, k
1
(26)
i
(27)
vi m0
m0 m0
2 m 1
j m, dan
dan
0
j
1
0
j
0
.
(28)
keduanya adalah pangkat pembobot yang
merupakan konstanta positif. j max adalah batas iterasi. learning rate dan
ik , j
ik , j
adalah sebagai fuzzy
adalah typicality learning rate. Kemudian untuk bobot
vektor dari PFLVQ didefinisikan sebagai berikut (Wu et al, 2010): n
v i , j = vi , j
k 1
a
1
b
ik , j n k
a
ik , j
ik , j
b
xk
vi, j
1
(29)
ik , j
Algoritma PFLVQ dideskripsikan sebagai berikut (Wu et al, 2010) : Langkah 1 : Inisialisasi a. Tentukan : 1) Jumlah cluster = C ; 2) Pangkat pembobot = m 0
0
0
1;
0 ;
3) Toleransi error = 4) Jumlah iterasi, j
1 dan
0 dan maksimal iterasi j max ;
5) Konstanta a dan b yang merupakan keanggotaan fuzzy dan nilai tipikal, a
0 dan b
0.
b. Jalankan FCM sampai kondisi berhenti dan gunakan persamaan berikut:
commit to user 15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
n i
= K
m 2 ik k 1 ik n m k 1 ik
u D
,K
0 untuk mendapatkan
u
c. Inisialisasi bobot vektor secara acak, v0
(30)
i
v1,0 , v 2,0 ,..., vc ,0
R cp
Langkah 2 : Pengulangan a. Hitung semua learning rate
ik , j
dan
ik , j
dengan persamaan (23),
(24), (25), dan (26). b. Lakukan update bobot vektor v i, j dengan persamaan (29). c. Tambah nilai j Langkah 3 : Ulangi sampai v j
vj
1
atau j
jmax
Dimana n adalah jumlah data yang akan dicluster dan x adalah vector input.
2.2 Penelitian Terkait Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan yang berkaitan dengan penelitian tugas akhir ini yang pertama adalah penelitian terhadap karakteristik penderita efusi pleura yang ada pada RSUP H. Adam Malik Medan yang dilakukan oleh Tobing & Widirahardjo (2011). Penelitian tersebut dilakukan menggunakan metode crosssectional dan deskriptif. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada penelitian tersebut hanya meneliti karakteristik penderita efusi pleura yang ada pada RSUP H. Adam Malik Medan, sedangkan pada penelitian ini membuat sistem untuk mendiagnosa penyakit efusi pleura yang menggunakan algoritma PFLVQ. Penelitian lain yang berkaitan adalah penelitian yang dilakukan oleh Utomo (2012) tentang pembuatan sistem diagnosa penyakit paru berdasarkan foto rontgen. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada penyakit yang didiagnosa dan algoritma yang digunakan. Penyakit yang didiagnosa pada penelitian tersebut adalah efusi pleura parapneumonia dan algoritma yang digunakan adalah Fast Fourier Transform (FFT) dan Fuzzy Learning Vector Quantization (FLVQ). Sedangkan pada penelitian ini penyakit yang didiagnosa adalah efusi pleura dan algoritma yang digunakan adalah Discrete Cosine Transform (DCT), Statistical texture features extraction, dan PFLVQ.
commit to user 16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penelitian terkait lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Bisri et al (2013) tentang klasifikasi citra paru yang diklasifikasikan ke dalam 3 klasifikasi yaitu paru-paru normal, berpenyakit kanker, dan efusi. Penelitian tersebut menggunakan Ekstraksi Fitur Histogram dan jaringan syaraf tiruan Backpropagation. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada algoritma yang digunakan, pada penelitian tersebut menggunakan algoritma Ekstraksi Fitur Histogram dan jaringan syaraf tiruan Backpropagation, sedangkan pada penelitian ini algoritma yang digunakan adalah Discrete Cosine Transform (DCT), Statistical texture features extraction, dan PFLVQ. Penelitian sebelumnya yang berkaitan juga dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Orozco et al (2012) mengenai klasifikasi citra paru. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada penelitian tersebut algoritma yang digunakan untuk mengubah gambar ke dalam domain frequensi menggunakan algoritma Discrete Cosine Transform (DCT) dan Fast Fourier Transform (FFT) serta algoritma untuk pengklasifikasiannya menggunakan algoritma Support Vector Machine. Sedangkan pada penelitian ini algoritma yang digunakan untuk mengubah gambar ke dalam domain frequensi hanya menggunakan algoritma Discrete Cosine Transform
(DCT) dan algoritma yang digunakan
untuk
pengklasifikasian
menggunakan algoritma PFLVQ. Penelitian lainnya yang berkaitan adalah penelitian yang dilakukan oleh Wu et al (2010). Penelitian tersebut mengusulkan algoritma Possibilistic Fuzzy Learning Vector Quantization (PFLVQ) yang merupakan integrasi dari model Possibilistic Fuzzy C-Means (PFCM) ke dalam algoritma FLVQ. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada penelitian tersebut melakukan eksperimen pada data set X12 untuk membandingkan akurasi dari algoritma PFLVQ dan algoritma FLVQ. Sedangkan pada penelitian ini algoritma PFLVQ digunakan untuk melakukan diagnosa penyakit paru efusi pleura yang kemudian hasil akurasinya juga dibandingkan dengan FLVQ. Berikut ini akan digambarkan dengan tabel penelitian-penelitan terkait sebelumnya dan rencana penelitian yang akan dilakukan.
commit to user 17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 2.1 Penelitian Terkait Sebelumnya dan Rencana Penelitian Tahun No.
1.
Judul Penelitian
Metode
Kasus
Karakteristik
cross-sectional dan
Mengetahui
Penderita Efusi
deskriptif
karakteristik
Pleura di RSUP H.
penderita Efusi
Adam Malik Medan
Pleura di bagian
Penelitian 2011
paru. 2.
Sistem Diagnosa
Fast Fourier Transform
Diagnosa
Penyakit Paru
(FFT) dan Fuzzy
Penyakit Paru
Berdasarkan Foto
Learning Vector
Efusi Pleura
Rontgen Dengan
Quantization (FLVQ)
Parapneumonia
Pendekatan Fuzzy
Berdasarkan
Learning Vector
Foto Rontgen
2012
Quantization 3.
4.
Klasifikasi Citra Paru-
Ekstraksi Fitur
Klasifikasi citra
Paru dengan Ekstraksi
Histogram dan
paru-paru (paru-
Fitur Histogram dan
Backpropagation
paru normal,
Jaringan Syaraf
berpenyakit
Tiruan
kanker, dan
Backpropagation
efusi)
Lung Nodule
Discrete Cosine
Klasifikasi citra
Classification in
Transform (2D-DCT),
paru (kanker
Frequency Domain
Fast Fourier Transform
paru) dengan
Using Support Vector
(2D-FFT), Statistical
gambar CT
Machines
texture features
Thorax dalam
extraction, Support
domain
Vector Machines
frequensi
2013
2012
commit to user 18
perpustakaan.uns.ac.id
No.
5.
digilib.uns.ac.id
Judul Penelitian
Metode
Kasus
Possibilistic Fuzzy
Possibilistic Fuzzy
Eksperimen data
Learning Vector
Learning Vector
set X12 untuk
Quantization
Quantization (PFLVQ)
membandingkan
dan Fuzzy Learning
akurasi
Vector Quantization
algoritma
(FLVQ)
PFLVQ dan
Tahun Penelitian 2010
FLVQ 6.
Diagnosa Penyakit
Discrete Cosine
Diagnosa
Paru Efusi Pleura
Transform (DCT),
Penyakit Paru
Dengan Pendekatan
Statistical texture
Efusi Pleura
Possibilistic Fuzzy
features extraction,
Berdasarkan
Learning Vector
dan Possibilistic Fuzzy
Foto Rontgen
Quantization
Learning Vector
2014
Quantization (PFLVQ)
commit to user 19