BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian
2.1.1
Anggaran Sektor Publik Pengelolaan anggaran telah menjadi perhatian utama bagi para pengambil
keputusan pemerintahan, baik ditingkat pusat ataupun daerah. Sejauh ini berbagai perundang-undangan dan produk hukum telah dikeluarkan dan diberlakukan dalam upaya untuk menciptakan sistem pengelolaan anggaran yang mampu memenuhi berbagai tuntutan dan kebutuhan masyarakat Halim (2007). 2.1.1.1 Pengertian Anggaran Pengertian anggaran menurut Mardiasmo (2009): “Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran financial”. Menurut Noerdiawan (2006) mendefinisikan anggaran sebagai berikut: “Anggaran adalah sebuah proses yang dilakukan oleh organisasi sektor publik untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya ke dalam kebutuhan-kebutuhan yang tidak terbatas (the process of allocation resources to unlimited demands).” Menurut Bastian (2010) anggaran dapat diinterpretasikan sebagai paket pernyataan menyangkut perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam satu atau periode mendatang.
9
10
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, menyatakan bahwa anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Anggaran menjadi penghubung antara sumber daya keuangan dengan perilaku manusia dalam rangka pencapaian tujuan keuangan. Pada sektor swasta, anggaran merupakan bagian dari rahasia perusahaan yang tertutup untuk publik, namun sebaliknya pada sektor publik anggaran justru harus diinformasikan kepada publik untuk dikritik, didiskusikan dan diberi masukan. Anggaran sektor publik merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai uang publik. Pemerintah daerah perlu memiliki komitmen bahwa anggaran daerah adalah perwujudan amanat rakyat kepada pihak eksektutif dan legislatif, dalam rangka mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat sesuai strategi yang telah ditetapkan. 2.1.1.2 Pentingnya Anggaran Publik Keputusan anggaran yang dibuat pemerintah daerah dan provinsi seharusnya merefleksikan prioritas pemerintah daerah atau pemerintah provinsi dengan baik. Menurut Mardiasmo (2009) anggaran sektor publik penting karena beberapa alasan yaitu:
11
1. Anggaran
merupakan
pembangunan
alat
bagi
sosial-ekonomi,
pemerintah menjamin
untuk
mengarahkan
kesinambungan
dan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat. 2. Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada terbatas. Anggaran diperlukan karena adanya masalah keterbatasan sumber daya (scarcity of resources), pilihan (choices) dan trade offs. 3. Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah bertanggung jawab terhadap rakyat. Dalam hal ini anggaran publik merupakan instrumen pelaksanaan akuntabilitas publik oleh lembagalembaga publik yang ada. Dari uraian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pada perusahaan publik anggaran sektor publik sangat penting selain sebagai alat kebijakan pemerintah anggaran tersebut juga penting bagi hubungan yang timbal balik antara publik dengan perusahaan publik sebagai pelaksana. 2.1.1.3 Fungsi Anggaran Publik Bagi organisasi sektor publik seperti pemerintah, anggaran tidak hanya sebuah rencana tahunan tetapi juga merupakan bentuk akuntabilitas atas pengelolaan dana publik yang dibebankan kepadanya. Mardiasmo (2009), menguraikan fungsi utama anggaran sektor publik sebagai berikut: 1. Alat Perencanaan (Planning Tool) Dengan adanya anggaran, organisasi tahu apa yang harus dilakukan dan ke arah mana kebijakan yang dibuat.
12
2. Alat Pengendalian (Control Tool) Dengan adanya anggaran organisasi sektor publik dapat menghindari adanya pengeluaran yang terlalu besar (overspending) atau adanya penggunaan dana yang tidak semestinya (misspending). 3. Alat Kebijakan Fiskal (Fiscal Tool) Melalui anggaran dapat diketahui arah kebijakan fiskal pemerintah, sehingga
dapat
digunakan untuk mendorong, memfasilitasi, dan
mengkoordinasikan kegiatan ekonomi masyarakat
sehingga
dapat
mempercepat pertumbuhan ekonomi. 4. Alat Politik (Political Tool) Dalam organisasi sektor publik, melalui anggaran dapat dilihat komitmen pengelola dalam melaksanakan program-program yang telah dijanjikan. 5. Alat Koordinasi dan Komunikasi (Coordination and Communication tool) Melalui dokumen anggaran yang komprehensif sebuah bagian atau unit kerja atau departemen yang merupakan suborganisasi dapat mengetahui apa yang harus dilakukan dan juga apa yang akan dilakukan oleh bagian atau unit kerja lainnya. 6. Alat Penilaian Kinerja (Performance Measurement Tool) Anggaran adalah suatu ukuran yang bisa menjadi patokan apakah suatu bagian atau unit kerja telah memenuhi target baik berupa terlaksananya aktivitas maupun terpenuhinya efisiensi biaya.
13
7. Alat Motivasi (Motivasion Tool) Anggaran dapat digunakan sebagai alat motivasi dengan menjadikan nilainilai nominal yang tercantum sebagai target pencapaian. 8. Alat Menciptakan Ruang Publik (Public Sphere) Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, dan berbagai
organisasi
kemasyarakatan
harus
terlibat
dalam
proses
penganggaran publik. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, anggaran memiliki fungsi sebagai berikut: 1. Anggaran merupakan pernyataan kebijakan publik 2. Anggaran merupakan target fiskal yang menggambarkan keseimbangan antara belanja, pendapatan, dan pembiayaan yang diinginkan 3. Anggaran menjadi landasan pengendalian yang memiliki konsekuensi hukum 4. Anggaran menjadi landasan penilaian kinerja pemerintah 5. Hasil pelaksanaan anggaran dituangkan dalam laporan keuangan pemerintah sebagai pernyataan pertanggungjawaban pemerintah kepada publik 2.1.1.4 Jenis-jenis Anggaran Publik Menurut Mardiasmo (2005) anggaran sektor publik dibagi menjadi dua, yaitu:
14
1. Anggaran Operasional (operation/recurrent budget) Anggaran operasional digunakan untuk merencanakan kebutuhan seharihari dalam menjalankan pemerintahan. Pengeluaran pemerintah yang dapat dikategorikan dalam anggaran operasional adalah “Belanja Rutin”. Belanja
Rutin
(recurrent
expenditure)
adalah
pengeluaran
yang
manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak dapat menambah aset atau kekayaan bagi pemerintah. Disebut “rutin” karena sifat pengeluaran tersebut berulang-ulang ada setiap tahun. 2. Anggaran Modal/Investasi (capital/investment budget) Anggaran modal menunjukkan rencana jangka panjang dan pembelanjaan atas aktiva tetap seperti gedung, kendaraan, perabot dan sebagainya. Belanja Investasi/Modal adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan pemerintah, dan selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya. 2.1.1.5 Prinsip-prinsip Anggaran Publik Prinsip-prinsip anggaran sektor publik menurut Mardiasmo (2009) adalah: 1. Otorisasi oleh legislatif Anggaran publik harus mendapatkan otorisasi dari legislatif terlebih dahulu sebelum eksekutif dapat membelanjakan anggaran tersebut. 2. Komprehensif Anggaran harus menunjukkan semua penerimaan dan pengeluaran dari sumber dana yang akan dipakai.
15
3. Keutuhan anggaran Semua penerimaan dan belanja harus terhimpun dalam dana umum (general fund). 4. Nondiscretionary apropriation Jumlah yang disetujui harus termanfaatkan secara ekonomis, efisien, dan efektif. 5. Periodik Anggaran merupakan suatu proses yang periodik, dapat bersifat tahunan ataupun multi tahunan. 6. Akurat Estimasi anggaran hendaknya tidak memasukkan cadangan yang tersembunyi yang dapat dijadikan sebagai kantong-kantong pemborosan dan
inefisiensi
anggaran
serta
dapat
mengakibatkan
munculnya
underestimate pendapatan dan overestimate pengeluaran. 7. Jelas Anggaran
hendaknya
sederhana,
dapat
dipahami,
dan
tidak
membingungkan. 8. Diketahui publik Anggaran harus diinformasikan kepada masyarakat luas. 2.1.1.6 Prosedur Penyusunan Anggaran Pada dasarnya yang berwenang dan bertanggung jawab atas penyusunan anggaran serta pelaksanaan kegiatan penganggaran lainnya ada ditangan pimpinan tertinggi organisasi. Hal ini disebabkan karena pimpinan tertinggi organisasi yang
16
paling berwenang dan paling bertanggung jawab atas kegiatan-kegiatan organisasi secara keseluruhan. Namun demikian tugas meyiapkan dan menyusun anggaran serta kegiatan anggaran-anggaran lainnya tidak harus ditangani sendiri oleh pemimpin tertinggi organisasi, melainkan dapat didelegasikan kepada unit organisasi. Menurut Harahap (2001), prosedur penyusunan anggaran dapat dilakukan dengan cara: 1. Top-down Approach (pendekatan dari atas ke bawah) Dalam top-down approach, penyusunan dan penetapan anggaran dilakukan oleh pimpinan tertinggi perusahaan, dengan sedikit bahkan tanpa keterlibatan bawahan dalam penyusunannya. Keuntungannya adalah waktu penyusunan yang singkat dan terkoordinasinya antar bagian. Kelemahannya adalah tidak memperhitungkan kebutuhan tiap bagian dengan tepat karena semuanya merupakan keputusan sepihak dari manajemen puncak. 2. Bottom-up Approach (pendekatan dari bawah ke atas) Dalam bottom-up approach, prosedur penyusunan anggaran disiapkan oleh pihak yang melaksanakan anggaran tersebut, kemudian anggaran akan diberikan pada pihak yang lebih tinggi untuk mendapat persetujuan dan pengesahan. Kelamahannya adalah waktu penyusunan yang lama dan kurangnya koordinasi antar bagian. Keuntungannya adalah tingkat keakuratan dari kebutuhan tiap-tiap bagian dalam perusahaan yang tinggi.
17
3. Participative Budget (gabungan dari top-down dan bottom-up) Participative
budget
merupakan
pendekatan
penganggaran
yang
melibatkan manajer level bawah dalam proses penyusunan anggaran. Keterlibatan yang dimaksud meliputi partisipasi dalam pemberian pendapat, pertimbangan dan usulan dari bawahan kepada pimpinan dalam mempersiapkan dan merevisi anggaran. Partisipasi dalam proses penyusunan anggaran merupakan suatu proses kerjasama
dalam
pembuatan keputusan yang melibatkan dua kelompok atau lebih yang berpengaruh pada pembuatan keputusan yang melibatkan di masa yang akan datang. Disini partisipasi menjadi salah satu unsur yang sangat penting yang menenkankan pada proses kerjasama dari berbagai pihak, baik manajer level bawah maupun manajer level atas. Penyusunan anggaran partisipatif merupakan pendekatan bottom-up yang melibatkan bawahan secara penuh untuk bertanggung jawab memenuhi target yang telah dintentukan dalam anggaran. Adanya rasa tanggung jawab manajer level bawah dapat memperkuat kreativitas untuk menyusun anggaran maka tujuan anggaran dapat menjadi tujuan personal dan akan menghasilkan goal congruence yang lebih besar. Pada umumnya kebanyakan organisasi khususnya organisasi bisnis lebih memilih menggunakan prosedur bottom-up, dengan pertimbangan bahwa mereka lebih mengetahui apa yang dibutuhkan oleh perusahannya, sehingga mereka dapat mempersiapkan suatu perencanaan yang lebih realistis untuk mendukung anggaran yang mereka siapkan. Dengan demikian anggaran anggaran yang
18
tersusun nanti merupakan hasil kesepakatan bersama sesuai dengan kondisi, fasilitas, serta kemampuan masing-masing bagian. 2.1.1.7 Siklus Anggaran Menurut Mardiasmo (2009) siklus anggaran meliputi empat tahap yang terdiri atas: 1. Tahap persiapan (preparation) Pada tahap persiapan anggaran dilakukan taksiran pengeluaran atas dasar taksiran pendapatan yang tersedia. Yang didasari oleh visi, misi, dan tujuan organisasi untuk satu tahun ke depan. 2. Tahap ratifikasi (approval/ratification) Tahap ini merupakan tahap yang melibatkan proses politik yang cukup rumit. Pimpinan eksekutif dituntut tidak hanya memiliki managerial skill namun juga harus mempunyai political skill, salesmanship, dan coalition building yang memadai. Hal tersebut penting karena dalam tahap ini pimpinan eksekutif harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan memberikan argumentasi yang rasional atas segala pertanyaan dan bantahan dari pihak legislatif. 3. Tahap implementasi (implementation) Dalam tahap pelaksanaan anggaran, hal terpenting yang diperhatikan oleh manajer keuangan publik adalah dimilikinya sistem (informasi) akuntansi dan sistem pengendalian manajemen. Manajer keuangan publik dalam hal ini bertanggungjawab untuk menciptakan sistem akuntansi yang memadai dan handal untuk perencanaan dan pengendalian anggaran yang telah
19
disepakati, dan bahkan dapat diandalkan untuk tahap penyusunan anggaran periode berikutnya. 4. Tahap pelaporan dan evaluasi (reporting and evaluation) Tahap persiapan, ratifikasi, dan implementasi anggaran terkait dengan aspek operasional anggaran, sedangkan tahap pelaporan dan evaluasi terkait dengan aspek akuntabilitas. Jika tahap implementasi telah didukung dengan sistem akuntansi dan sistem pengendalian manajemen yang baik, maka diharapkan tahap pelaporan dan evaluasi tidak akan menemui banyak masalah. 2.1.2
Partisipasi Anggaran Partisipasi dalam proses penyusunan anggaran merupakan keterlibatan
yang meliputi pemberian pendapat dan usulan dari bawahan kepada pimpinan pada saat penyusunan anggaran. Partisipasi yang dimaksud merupakan proses kerjasama dari berbagai pihak, baik bawahan maupun manajer level atas dalam pembuat keputusan yang berpengaruh pada pembuatan keputusan di masa yang akan datang. 2.1.2.1 Pengertian Partisipasi Anggaran Menurut Latuheru (2005), pengertian partisipasi anggaran yaitu sebagai berikut: “Partisipasi anggaran didefinisikan sebagai keiikutsertakan manajermanajer pusat pertanggungjawaban dalam hal yang berkaitan dengan penyusunan anggaran”.
20
Sedangkan
Garrison
(2006),
mengemukakan
pengertian anggaran
partisipatif adalah sebagai berikut: “Proses yang menggambarkan partisipasi penuh dari manajer pada semua tingkatan organisasi yang terlibat dalam penyusunan anggaran yang mempunyai pengaruh besar terhadap target anggaran dan perlunya penghargaan atas target anggaran yang telah dicapai”. Pengertian partisipasi dalam penganggaran secara lebih terperinci disampaikan oleh Milani (1975) yaitu : 1. Seberapa jauh anggaran dipengaruhi oleh keterlibatan para manajer. 2. Alasan- alasan para atasan pada waktu anggaran dalam proses revisi. 3. Frekuensi menyatakan inisiatif, memberikan usulan dan atau pendapat tentang anggaran kepada atasan tanpa diminta. 4. Seberapa jauh manajer merasa mempunyai pengaruh dalam anggaran final. 5. Kepentingan manajer dalam kontribusinya pada anggaran. 6. Frekuensi anggaran didiskusikan oleh para atasan pada waktu anggaran disusun. Kesimpulan yang ingin disampaikan Milani adalah bahwa faktor utama yang membedakan antara partisipasi penyusunan anggaran dengan non partisipasi adalah tingkat keterlibatan dan pengaruh bawahan terhadap pembuatan keputusan dalam proses penyusunan anggaran. Inti dari partisipasi anggaran adalah adanya kerjasama diantara seluruh tingkatan organisasi. Pimpinan perusahaan biasanya kurang mengetahui kondisi aktivitas operasi sehari-hari, sehingga memerlukan informasi anggaran yang lebih rinci dari bawahannya. Disisi lain, pimpinan perusahaan memiliki perspektif yang
21
lebih luas atas perusahaan secara keseluruhan dalam pembuatan anggaran secara umum. 2.1.2.2 Tujuan dan Manfaat Partisipasi Anggaran
Menurut Cherrington dalam Tjandra (2008) terdapat tiga tujuan utama yang dapat dicapai melalui partisipasi dalam anggaran, yaitu: 1. Akseptasi karyawan terhadap rencana kegiatan perusahaan. 2. Peningkatan semangat kerja. 3. Peningkatan produktivitas. Anggaran pasrtisipatif mengarah kepada seberapa besar keterlibatan individu dalam menyusun anggaran serta pelaksanaannya untuk mencapai target anggaran. Hal ini diperlukan agar para manajer merasa lebih puas dan produktif dalam bekerja, sehingga akan timbul perasaan untuk selalu ingin berprestasi. Adapun manfaat dari partisipasi manajer menengah dan bawah dalam penyusunan anggaran sebagai berikut: 1. Mengurangi ketimpangan informasi dalam organisasi. 2. Menimbulkan komitmen yang lebih besar kepada manajer untuk melaksanakan dan memenuhi anggaran dan dapat menciptakan lingkungan yang dapat mendorong perolehan dan penggunaan informasi. Kesempatan berpartisipasi dalam membuat anggaran dianggap oleh banyak orang dan organisasi sebagai perwujudan kebutuhan aktualisasi diri para anggota organisasi. Banyak juga pihak yang menyatakan bahwa partisipasi dalam penyusunan anggaran merupakan suatu alat untuk mempertemukan penghargaan dan kebutuhan pengaktualisasian diri dari anggota-anggota organisasi.
22
2.1.2.3 Keunggulan Partisipasi Anggaran Menurut Garrison (2006), berpendapat bahwa keunggulan anggaran partisipatif adalah sebagai berikut: 1. Setiap orang pada semua tingkatan organisasi diakui sebagai anggota tim yang pandangan dan penilaiannya dihargai oleh manajemen puncak. 2. Orang yang berkaitan langsung dengan suatu aktivitas mempunyai kedudukan terpenting dalam pembuatan estimasi anggaran. 3. Orang lebih cenderung mencapai anggaran yang penyusunannya melibatkan orang tersebut. 4. Suatu anggaran partisipatif mempunyai sistem kendali yang unik, sehinggan jika mereka tidak mencapai anggaran, maka yang harus mereka salahkan mereka sendiri. Sedangkan menurut Anthony (2005), anggaran pasrtisipatif memiliki dua keunggulan, yaitu: 1. Tujuan anggaran akan dapat lebih mudah diterima apabila anggaran tersebut berada di bawah pengawasan manajer. 2. Anggaran partisipatif menghasilkan pertukaran informasi yang efektif antara pembuat anggaran dan pelaksana anggaran yang dekat dengan produk dan pasar. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keunggulan dari anggaran partisipatif yaitu manajer tingkat bawah dan tingkat menengah merasa pendapat dan pandangannya dihargai oleh pimpinan, sehingga mereka lebih terdorong untuk mencapai target anggaran. Estimasi anggaran yang dibuat oleh
23
manajer tingkat bawah dan tingkat menengah akan lebih akurat dan dapat diandalkan dibandingkan dengan estimasi yang dibuat oleh pimpinan yang kurang mengetahui kegiatan operasi sehari-hari. Dengan berpartisipasi dalam proses penyusunan anggaran, para manajer akan lebih termotivasi untuk mencapai target anggaran yang telah diputuskan bersama-sama. Selain itu, dalam anggaran partisipatif terdapat sistem kendali yang unik, yaitu kesalahan dan tanggung jawab terdapat pada penyusunan anggaran itu sendiri, sehingga mereka tidak dapat berdalih bahwa target anggaran tidak masuk akal untuk dicapai. 2.1.2.4 Kelemahan Partisipasi Anggaran
Partisipasi
anggaran
juga
memiliki
kelemahan-kelemahan
dan
keterbatasan-keterbatasan yang terjadi pada kondisi yang paling ideal sekalipun. Proses dari partisipasi anggaran ini memeberikan kesempatan kepada aparatur pemerintah daerah untuk menentukan isi dari anggaran yang akan disusun. Kesempatan ini memungkinkan terjadinya hal-hal yang sebenarnya tidak diinginkan oleh perusahaan. Menurut Hansen dan Mowen yang dialih bahasakan oleh Dewi (2004), terdapat tiga permasalahan yang akan timbul dalam anggaran partisipatif, yaitu : 1. Penetapan standar yang terlalu rendah atau terlalu tinggi Penetapan target anggaran cenderung akan menjadi tujuan individual manajer dalam situasi penganggaran partisipatif, sehingga penetapan target anggaran yang terlalu mudah ataupun terlalu sulit akan dapat menyebabkan turunnya kinerja manajer. Bila target terlalu mudah untuk dicapai, maka manajer mungkin akan kehilangan semangat dan kinerjanya
24
akan menurun. Sedangkan bila target anggaran terlalu sulit untuk dicapai, kegagalan pencapaian target tersebut akan menyebabkan frustasi dan mendorong manajer ke arah prestasi kerja yang buruk. 2. Masuknya Slack (senjangan) anggaran Anggaran partisipatif menimbulkan kesempatan bagai manajer untuk menciptakan slack anggaran. Slack anggaran merupakan perbedaan antara jumlah sumber daya yang sebenarnya diperlukan untuk menyelesaikan tugas secara efisien, dengan jumlah yang diajukan oleh manajer yang bersangkutan untuk mengerjakan tugas yang sama. Slack anggaran dalam jumlah yang besar dapat merugikan perusahaan, sebab sumber daya yang ada mungkin tidak dapat digunakan secara produktif karena telah terikat di tempat yang sebenarnya tidak membutuhkannya. 3. Pseudoparticipantion (partisipasi semu) Hal ini terjadi bila manajer puncak memegang kendali total atas proses penganggaran dan pada saat yang sama juga mencari dukungan partisipasi dari bawahannya. Manajer puncak hanya berusaha untuk mendapatkan penerimaan formal dari bawahannya atas anggaran yang disusun, bukan mencari masukan bagi penyusunan anggaran. Pseudoparticipation ini menyebabkan tidak diperolehnya efek-efek positif perilaku manajer yang diharapkan dari adanya penerapan anggaran partisipatif. Dalam hal ini bawahan terpaksa menyatakan persetujuannya terhadap keputusan yang akan ditetapkan karena manajer puncak membutuhkan persetujuan mereka.
25
Masalah-masalah tersebut harus menjadi perhatian bagi manajemen perusahaan agar kemungkinan untuk terjadi dapat diminimalisir. Penetapan standar yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat diatasi dengan mengajak para manajer berpartisipasi dalam menentukan target anggaran yang tinggi tetapi relaistis untuk dicapai. Manajer puncak harus memeriksa kembali anggaran yang diusulkan bawahannya secara seksama serta memberikan masukan bila dibutuhkan, sehingga kemungkinan timbulnya slack anggaran dapat diminimalisir. Agar manajemen mendapatkan dampak-dampak positif perilaku manajer yang diharapkan
dari
penerapan
anggaran
partisipatif,
maka
praktek
pseudoparticipation harus dihilangkan. 2.1.2.5 Faktor-faktor
yang
Digunakan
untuk
Mengukur
Partisipasi
Anggaran Menurut Milani dalam Tjandra (2008), terdapat enam faktor yang dapat digunakan untuk mengukur anggaran partisipatif, yaitu : 1. Keikutsertaan dalam penyusunan anggaran Keikutsertaan merupakan keterlibatan para manajer dalam proses penyusunan anggaran. Keterlibatan yang dimaksud dinyatakan dengan hak untuk mengajukan usulan anggaran. Para manajer yang ikut serta dan berpartisipasi aktif dalam proses penyusunan anggaran akan merasa bahwa tujuan anggaran merupakan tujuan bersama yang harus dicapai. 2. Kepuasan yang dirasakan dalam penyusunan anggaran Kepuasan merupakan kesesuaian hasil yang dirasakan para manajer setelah dilibatkan dalam proses penyusunan anggaran dan perasaan yang
26
dimiliki manajer terhadap terlaksananya anggaran yang sudah ditetapkan secara partisipatif. Kepuasan yang dirasakan manajer dalam proses penyusunan anggaran, akan memberikan dampak positif terhadap perilaku manajer yang bersangkutan. 3. Kebutuhan memberikan pendapat Kebutuhan merupakan adanya peranan atau pentingnya partisipasi dari para manajer dalam proses penyusunan anggaran. Manajer akan lebih termotivasi untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses penyusunan anggaran jika mereka merasa bahwa perusahaan membutuhkan pandangan dan pendapat mereka. 4. Kerelaan dalam memberikan pendapat Kerelaan merupakan kemauan atau inisiatif dari para manajer untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses penyusunan anggaran. Kerelaan dapat berupa inisiatif para manajer untuk mengajukan usulan anggaran tanpa diminta sebelumnya oleh atasan. 5. Besarnya pengaruh terhadap penetapan anggaran final Besarnya pengaruh dalam hal ini menunjukan seberapa besar peran dan kontribusi yang diberikan para manajer terhadap keputusan anggaran final. Pengaruh dalam proses penyusunan anggaran dinyatakan dengan hak para manajer untuk setuju atau menolak anggaran yang ditetapkan. 6. Seringnya atasan meminta pendapat saat anggaran sedang disusun Seringnya atasan meminta pendapat atau usulan dalam proses penyusunan anggaran mengacu kepada ada tidaknya kesempatan bagi para manajer
27
untuk mengemukakan pendapat atau mengajukan usulan anggaran. Hal ini juga menunjukan ada tidaknya kemauan dari atasan untuk memberi kesempatan bagi para manajer untuk berpartispasi secara aktif. Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas dapat digunakan untuk mengukur tingkat partisipasi, pengaruh yang dirasakan, dan kontribusi manajer dalam proses penyusunan anggaran. Selain faktor-faktor tersebut, dapat pula digunakan faktor-faktor lain, seperti adanya komunikasi timbal balik antara atasan dengan bawahan dan adanya goal congruence di antara para penyusun anggaran. Faktor-faktor yang digunakan untuk mengukur anggaran partisipatif harus disesuaikan dengan kondisi perusahaan, sehingga dapat berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lainnya. 2.1.3
Kinerja Pemerintah Daerah
2.1.3.1 Pengertian Kinerja Pemerintah Daerah Batasan mengenai kinerja bisa dilihat dari berbagai sudut pandang tergantung tujuan masing-masing organisasi (misalnya untuk profit atau untuk customer satisfaction) juga tergantung pada bentuk organisasi itu sendiri (misalnya organisasi publik versus organisasi swasta atau organisasi sosial). Menurut Chabib (2011) pengertian kinerja adalah sebagai berikut : “Gambaran tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran organisasi yang tertuang dalam perumusan perencanaan strategis (strategic palnning) suatu organisasi.” Kinerja Pemerintah Daerah dapat didefinisikan sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian hasil pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan
28
Pemerintah Daerah dalam mewujudkan visi, misi, dan tujuan sasaran daerah yang tertuang dalam dokumen perencanaan daerah. Dokumen perencanaan daerah dilihat dari dimensi waktu, terbagi atas Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 20 tahunan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 5 tahunan dan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) 1 tahunan (Chabib dan Supripto, 2011). Visi adalah pedoman dan pendorong organisasi untuk mencapai tujuannya. Visi adalah suatu gambaran yang menantang keadaan masa depan yang diinginkan oleh organisasi, dengan demikian harus menjadi milik dan diyakini untuk seluruh anggota organisasi. Misi adalah sesuatu yang harus dilaksanakan oleh aparat pemerintah daerah sebagai penjabaran visi yang telah ditetapkan. Misi merupakan pernyataan yang menetapkan tujuan aparat pemerintah daerah dan sasaran yang ingin dicapai. Pernyataan misi membawa organisasi kepada suatu fokus. Misi menjelaskan mengapa
organisasi
itu
ada,
apa
yang
dilakukannya
dan
bagaimana
melakukannya. Tujuan merupakan penjabaran dan implementasi dari pernyataan misi. Tujuan adalah hasil akhir yang akan dicapai atau dihasilkan dalam jangka waktu 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun. Tujuan organisasi mempertajam fokus pelaksanaan misi lembaga. Tujuan organisasi meletakkan kerangka prioritas untuk memfokuskan arah semua program dan aktivitas lembaga dalam melaksanakan misi lembaga.
29
Sasaran adalah penjabaran dari tujuan, yaitu sesuatu yang akan dicapai melalui tindakan-tindakan yang akan dilakukan dalam jangka waktu tahunan, semesteran, triwulan ataupun bulanan. Sasaran harus menggambarkan hal yang ingin dicapai melalui tindakan-tindakan yang akakan dilakukan untuk mencapai tujuan. Sasaran adalah cara terbaik melaksanakan misi untuk mewujudkan misi, visi, atau mencapai tujuan organisasi. Strategi didasarkan pada keunggulan dan kemampuan
yang
dimiliki
oleh
organisasi
dengan
mempertimbangkan
keunggulan dan kelemahannya. Oleh karena itu, strategi juga harus realistis dengan memperhatikan peluang dan hambatan eksternal organisasi. 2.1.3.2 Pengukuran Kinerja Instansi Pemerintah Menurut Whittaker (1995) dalam Rahardjo (2011) mendefinisikan pengukuran kinerja instansi pemerintah sebagai berikut : “Pengukuran kinerja adalah suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas dalam rangka menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan (program) sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dalam rangka mewujudkan visi dan misi instansi pemerintah.” Pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik dalam menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan non finansial. Sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai pengendalian organisasi. Pengukuran kinerja instansi pemerintah dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas, transparansi, pengelolaan organisasi dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat (Sardjito dan Muthaher, 2007). Pemerintah perlu melakukan upaya pengukuran kinerja dan tidak perlu mengharap pengukuran kinerja akan langsung sempurna. Nantinya akan
30
dilakukan perbaikan atas pengukuran kinerja yang telah disususn. Organisasi harus menetapkan ukuran kinerja yang sesuai dengan besarnya organisasi, kultur, visi, tujuan, sasaran dan struktur organisasi. 2.1.3.3 Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja Anggaran daerah yang berorientasi pada kinerja pelaporannya merupakan salah satu syarat terwujudnaya good governance pada organisasi Pemerinah Daerah. Menurut Wholey (1999) dalam Rahardjo (2011) mengatakan 3 tahapan kunci dalam penerapan anggaran berbasis kinerja yaitu : 1. Penetapan tujuan dan strategi pada dasarnya merupakan proses yang memerlukan kesepakatan antara pimpinan dengan para stakeholders. Tujuan yang telah disepakati akan menjadi tolak ukur kinerja organisasi yang harus dicapai dalam periode tertentu. 2. Implementasi sistem pengukuran kinerja dalam hal ini dapat diterapkan melalui berbagai media, termasuk diantaranya catatan-catatan tentang program atau kegiatan, laporan dari pihak lain, wawancara, kelompok pemerhati, survei dan pendapat para ahli. 3. Penggunaan Informasi kinerja untuk penilaian kinerja, sebaiknya dapat menyajikan gambaran antara lain mengenai tingkat pencapaian tujuan oleh setiap satuan kerja, indikator-indikator kinerja yang penting pada setiap tujuan, dan respon terhadap berbagai macam prioritas program atau kegiatan. Sistem pengukuran kinerja diupayakan agar tidak memerlukan biaya yang relatif besar, tetapi dapat menyajikan data yang cukup lengkap, kosisten, akurat, atau kesalahan lainnya sebgai akibat negatif dari sistem
31
pengukuran. Informasi kinerja yang baik akan memudahkan bagi pembacanya untuk menilai pencapaian kinerja dari pelaksanaan program atau kegiatan. (Rahardjo, 2011). 2.1.3.4 Dimensi Kinerja Pemerintah Menurut Chabib dan Suripto (2011) terdapat beberapa dimensi yang perlu memperoleh perhatian dalam menilai atau mengukur kinerja Pemerintah Daerah yaitu : 1. Dimensi keuangan Dimensi ini meliputi kemampuan pemerintah daerah dalam : a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, peningkatan pendapatan perkapita, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mengurangi celah fiskal daerah. b. Memperbaiki struktur belanja daerah. Hal ini penting, mengingat dewasa ini presentase belanja pegawai pada umunya masih sangat besar dibandingkan dengan belanja modal. 2. Dimensi kepuasan masyarakat daerah Pada era demokrasi, masyarakat daerah adalah pemilik kedaulatan, sementara Pemerintah Daerah adalah pihak yang dipilih dan dipercaya untuk melaksanakan kedaulatan melalui mekanisme pemilihan kepala daerah. Tingkat kepuasan masyarakat tentu akan sangat bervariasi tergantung pada tingkat besarnya harapan atas pelayanan yang seharusnya diberikan. Kewaiban pimpinan unit organisasi di lingkungan pemerintah daerah untuk secara terus menerus menggali informasi atas tingkat
32
pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat, dan meresponnya dalam bentuk tindakan nyata, sesuai harapan masyarakat yang menggajinya. 3. Dimensi operasi kegiatan Informasi operasional kegiatan secara internal sangat diperlukan oleh pemerintah daerah untuk memastikan bahwa seluruh kegiatan SKPD sudah sejalan dan seirama yang secara keseluruhan berfokus pada upaya pencapaian misi dan visi kepala daerah yang tercantum dalam dokumen perencanaan daerah (RPJMD). 4. Dimensi kepuasan pegawai Disadari atau tidak, pegawai adalah aset terpenting yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah. Aset ini tidak dinilai berdasarkan jumlahnya tetapi dinilai berdasarkan mutu/kualitasnya. 5. Dimensi kepuasan para pemangku kepentingan Kinerja pemerintah daerah sering diukur berdasarkan sudut pandang dan kepentingan para pihak yang jadi pemangku kepentingan. Informasi kinerja pemerintah daerah perlu didesain dan disusun berdasarkan kebutuhan dari para pemangku kepentingan. Dengan demikian para pemangku kepentingan seperti DPRD, pemasok, pelanggan, bahkan masyarakat luas akan memperoleh gambaran kinerja pemerintah daerah sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan mereka masing-masing. 6. Dimensi waktu Ukuran waktu merupakan hal yang tidak boleh dilupakan oleh Pemerintah Daerah
dalam
mendesain
pengukuran
kinerja.
Ketepatan
waktu
33
penyampaian menjadi penting, oleh karena informasi tersebut merupakan bahan bagi semua pihak yang memerlukan informasi dalam pengambilan keputusan. 2.2
Kerangka Pemikiran Penerapan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pemerintahan
Daerah memberikan lebih banyak kewenangan kepada daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan sebagai wujud pelaksanaan otonomi daerah. Salah satu kewenangan daerah tersebut adalah dalam hal pengelolaan keuangan daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta Undang-Undang
Nomor
15
Tahun
2004
tentang
Pengawasan
dan
Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Dalam
pelaksanaan
good
governance,
pemerintah
daerah
harus
menerapkan sifat transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Partisipasi maksudnya mengikutsertakan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Sedangkan akuntabilitas adalah pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan. Dalam proses pengelolaan keuangan daerah, anggaran merupakan salah satu hal yang sangat penting. Anggaran direncanakan dan disusun untuk menjadi pedoman kerja bagi seluruh kegiatan yang akan direncanakan. Anggaran juga digunakan sebagai standar yang akan dibandingkan dengan hasil yang
34
sesungguhnya dicapai dari pelaksanaan kegiatan. Hasil dari perbandingan ini akan digunakan untuk menilai efektif dan efisiennya kegiatan tersebut. Menurut Mardiasmo (2009), anggaran sektor publik merupakan instrumen akuntabilitas atas pengelolaan dana publik dan pelaksanaan program-program yang dibiayai dari uang publik. Proses penyusunan anggaran sektor publik dimulai ketika perumusan strategi dan perencanaan strategi telah selesai dilaksanakan. Menurut Rosjidi (2001) anggaran pemerintah mempunyai berbagai fungsi yaitu antara lain sebagai alat perencanaan, alat pengendalian, dan dasar penilaian terhadap kinerja. Serta menurut Noerdiawan (2006) fungsi anggaran pemerintah meliputi alat kebijakan, alat politik, alat motivasi, alat koordinasi dan komunikasi. Fungsi anggaran yang lainnya menurut Mardiasmo (2009) adalah sebagai alat distribusi dan stabilisasi. Partisipasi dalam penyusunan anggaran dinilai sebagai pendekatan manajerial yang dapat meningkatkan kinerja organisasi. Para bawahan yang merasa aspirasinya dihargai dan mempunyai pengaruh pada anggaran yang akan disusun akan lebih mempunyai tanggungjawab dan konsekuensi moral yang meningkatkan kinerja sesuai yang ditargetkan dalam anggaran (Sinambela,2003). Menurut pendapat Milani (1975) bahwa penyusunan anggaran secara partisipatif diharapkan dapat meningkatkan kinerja manajer, yaitu ketika suatu tujuan dirancang
dan
secara
partisipasi
disetujui
maka
karyawan
akan
menginternalisasikan tujuan yang ditetapkan dan memiliki tanggung jawab pribadi untuk mencapainya, karena mereka ikut terlibat dalam penyusunan anggaran.
35
Menurut Hansen dan Mowen (2004) Partisipasi penyusunan anggaran memungkinkan para manajer tingkat bawah untuk turut serta dalam pembuatan anggaran. Peningkatan tanggung jawab dan tantangan yang intern dalam proses tersebut memberikan insentif non uang yang mengarah pada tingkat kinerja yang lebih tinggi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa partisipasi penyusunan anggaran memiliki keterkaitan. Keterkaitan tersebut dapat berdampak positif atau negatif tergantung pada pihak yang melaksanakannya dalam suatu Pemerintah. Menurut Brownell (1982) dalam Sardjito dan Muthaher (2007) hasil penelitian menemukan bahwa adanya hubungan positif antara partisipasi anggaran dengan kinerja manajerial. Berdasarkan konteks yang lebih spesifik, partisipasi anggaran adalah tingkat seberapa jauh keterlibatan dan pengaruh individu didalam menentukan anggaran yang ada dalam divisi dan bagiannya baik secara periodik maupun tahunan. Dalam mewujudkan kinerja pemerintah yang baik seperti yang diharapkan oleh masyarakat luas, tidak hanya tergantung pada proses penyusunan anggaran saja, tetapi juga pemahaman sistem akuntansi keuangan daerah sangat diperlukan. Penyusunan anggaran yang baik harus disertai dengan pemahaman akuntansi dari para penyusun anggaran, agar anggaran yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan penggunanya. Kinerja pemerintah dapat diukur dari laporan yang mereka hasilkan, baik tidaknya suatu laporan ditentukan dari isi laporan tersebut, apakah isi laporan tersebut telah sesuai dengan standar yang berlaku, untuk laporan keuangan pemerintah, standar yang berlaku adalah isi laporan keuangan harus lengkap,
36
transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Apabila terdapat pemahaman yang baik terhadap sistem akuntansi keuangan daerah yang berdampak pada proses penyusunan anggaran, ada kemungkinan terdapatnya peningkatan kinerja Pemerintah Daerah. Demikian pula yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan landasan fungsi material melalui sistem, prosedur, dan metode tertentu dalam usaha memenuhi kebutuhan orang lain sesuai dengan haknya. Melalui pengukuran kinerja diharapkan instansi pemerintah dapat mengetahui kinerja dalam suatu periode tertentu. Dengan adanya suatu pengukuran kinerja maka kegiatan dan program instansi pemerintah dapat diukur dan dievaluasi. Dari pengukuran kinerja, setiap insatansi dapat diperbandingkan dengan instansi yang sejenis, sehingga penghargaan dan tindakan disiplin dapat dilakukan secara objektif.
Partisipasi Penyusunan Anggaran
Kinerja Pemerintah Daerah
(X)
(Y)
Terdapat Pengaruh antara Partisipasi Penyusunan Anggaran terhadap Kinerja Pemerintah Daerah
Gambar 2.1 Paradigma Penelitian
37
2.3
Hipotesis Penelitian Menurut Sekaran (2007), hipotesis dapat didefinisikan sebagai hubungan
yang diperkirakan secara logis diantara dua variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan secara logis. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : “Partisipasi Penyusunan Anggaran berpengaruh Pemerintah Daerah.”
terhadap Kinerja