BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Morfologi tanaman sirsak a. Daun Daun sirsak berbentuk bulat panjang dengan ujung lancip pendek. Daun tuanya berwarna hijau tua sedangkan daun mudanya berwarna hijau kekuningan. Daun sirsak tebal dan agak kaku dengan urat daun menyirip atau tegak pada urat daun utama. Daun sirsak terkadang menimbulkan bau yang tidak enak dicium (Herliana dan Rifai, 2011). b. Bunga Bunga sirsak berukuran besar, bermahkota tebal dan warnanya hijau. Bunga ini tersusun dari berlapis-lapis mahkota, 3 helai lapisan dalam dan 3 helai lapisan luarnya. Bunga sirsak keluar pada tunas yang pendek di sepanjang cabang atau ranting. Umumnya bunga sirsak berbunga sempurna, tetapi sering juga ditemukan bunga betina saja. Sifat penyerbukannya adalah penyerbukan silang dengan bantuan serangga (Suranto, 2011). c. Buah Buah sirsak termasuk buah semu, daging buah lunak atau lembek, berwarna putih, berserat dan berbiji pipih berwarna hitam. Rasa daging buah sirsak yaitu manis, manis asam, segar serta beraroma khas. Apabila sudah matang, warna kulit buahnya agak terang, hijau kekuningan dan mengkilap. Bagian ujungnya agak membulat (Herliana dan Rifai, 2011).
Universitas Sumatera Utara
d. Batang Pohon sirsak tingginya bias mencapai 10 m, dengan diameter batang 10-30 cm. Batang sirsak dapat digunakan untuk perbanyakan tanaman secara vegetatif dengan cara okulasi maupun sambung pucuk. Batang tanaman sirsak mempunyai banyak
cabang
menjadikannya
dan
cabangnya
rimbun.
Kulit
mempunyai
batang
sirsak
banyak
ranting
sehingga
mudah
dikupas
sehingga
memudahkan untuk diokulasi (Suranto, 2011). 2.1.2 Daerah tumbuh Sirsak merupakan jenis tanaman yang paling mudah tumbuh diantara jenis-jenis Annona lainnya dan memerlukan iklim tropik yang hangat dan lembab. Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian sampai 1200 m dari permukaan laut. Tanaman sirsak akan tumbuh sangat baik pada keadaan iklim bersuhu 22-28oC, dengan kelembaban dan curah hujan berkisar antara 1500-2500 mm per tahun. Keadaan yang terlalu panas dan terlalu dingin akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman sirsak. Pertumbuhan dan pembungaannya sangat terhambat oleh cuaca yang dingin. Sedangkan musim kemarau, tanaman sirsak akan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya dengan merontokkan daunnya untuk mengurangi penguapan (Herliana dan Rifai, 2011).
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Sistematika tumbuhan Tanaman sirsak (Annona muricata Linn.) termasuk tanaman tahunan dengan sistematika sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyldonae
Famili
: Annonaceae
Genus
: Annona
Species
: Annona muricata L.
(Herliana dan Rifai N, 2011).
2.1.4 Uraian kandungan tumbuhan a. Buah Buah sirsak mengandung serat dan vitamin. Komposisi rata-rata satu buah sirsak adalah 67,5% daging buah, 20% kulit buah, 8,5% biji, dan 4% poros tegah buah (empulur). Pada daging buahnya mengandung 80% air, 3% asam yang dapat dititrasi, dan 24% gula nonpereduksi (Suranto, 2011). Kandungan zat gizi terbanyak dalam buah sirsak adalah karbohidrat, yaitu sekitar 685 dari seluruh bagian padat daging buahnya. Salah satu jenis karbohidrat yang terkandung dalam buah sirsak adalah gula pereduksi (glukosa dan fruktosa) dengan kadar 81,9 -93,6% dari kandungan gula total. Sementara kandungan gula lainnya berupa sukrosa 2,54%, dekstrosa5,05%, dan levulosa 0,04%. Sirsak juga mengandung berbagai vitamin, antara lain vitamin A,B, dan C. Vitamin utama yang terkandung dalam buah sirsak adalah vitamin C, yaitu sekitar 20 mg/100g daging buah. Buah sirsak juga kaya vitamin B dengan kadar 0,007 mg/100 g
Universitas Sumatera Utara
daging buah. Adapun mineral yang terkandung dalam buah sirsak adalah fosfor, kalsium, zat besi, natrium dan kalium (Suranto, 2011). b. Daun Daun sirsak mengandung senyawa monotetrahidrofuran asetogenin, seperti anomurisin A dan B, gigantetrosin A, annonasin-10-one, murikatosin A dan B, annonasin, dan goniotalamisin. Khasiat senyawa-senyawa ini untuk pengobatan berbagai penyakit. Daun dan batang sirsak juga mengandung senyawa tanin, fitosterol, kalsium oksalat, serta alkaloid murisin (Suranto, 2011). c. Biji Di Indonesia, biji sirsak terkenal sebagai pestisida alami yang mampu membunuh larva hama dan penyakit tanaman. Biji sirsak mengandung 8% air, 2% protein, 13% abu, 8% serat, 20% lemak, dan 47% karbohidrat. Selain itu, biji sirsak mengandung 0,2% mineral/abu yang larut dalam air, 0,8% asam yang dapat dititrasi, dan 17 mg kalsium/100 g. Biji sirsak juga mengandung 17% minyak kuning (yellow oil) (Suranto, 2011). 2. 2 Radikal Bebas Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang sifatnya sangat tidak stabil. Ketidakstabilan ini disebabkan karena atom tersebut memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Atom tersebut berusaha untuk memiliki pasangan elektron, sehingga sifatnya sangat reaktif. Atom ini cenderung mencuri partikel dari molekul lain dan kemudian membuat senyawa baru yang tidak normal (Kosasih, dkk, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Sel persenyawaan terjadi, mulailah reaksi berantai yang dapat merusak selsel penting dalam tubuh. Kerusakan itu antara lain menyebabkan terjadinya mutasi DNA, sehingga berubah menjadi ganas dan menimbulkan berbagai penyakit (Kosasih, dkk, 2004). Pembentukan radikal bebas dan reaksi oksidasi pada biomolekul akan berlangsung sepanjang hidup. Radikal bebas yang sangat berbahaya dalam makhluk hidup antara lain adalah golongan hidroksil (OH*), superoksida (O-2), nitrogen monooksida (NO), peroksidal (RO-2), peroksinitrit (ONOO-), asam hipoklorit (HOCl), hydrogen peroksida (H2O2) (Silalahi, 2006). 2. 2. 1. Kerusakan jaringan akibat radikal bebas Sifat radikal bebas yang tidak stabil ini menyebabkan reaksi menerima atau memberikan elektron dengan molekul sekitarnya. Kebanyakan molekul ini bukan radikal bebas melainkan makromolekul biologi seperti lipid, protein, asam nukleat dan karbohidrat. Dengan reaksi ini timbullah reaksi radikal bebas beruntun yaitu terbentuknya radikal bebas baru yang bereaksi lagi dengan makromolekul lain (Kosasih, dkk, 2004). 2.2.2 Pertahanan jaringan terhadap radikal bebas Tubuh telah menyiapkan pertahanan berupa antioksidan terhadap serangan radikal bebas ini di tingkat sel, membran dan ekstrasel. Antioksidan adalah senyawa yang dalam kadar rendah dibanding bahan yang dapat dioksidasi, sangat memperlambat
atau
menghambat
oksidasi
bahan
tersebut.
Antioksidan
melumpuhkan radikal bebas dengan memberikan elektron kepadanya sehingga tidak lagi radikal terhadap tubuh (Kosasih, dkk, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2. 3. Antioksidan Antioksidan berfungsi mengatasi atau menetralisir radikal bebas dan melindungi tubuh dari beragam penyakit. Antioksidan adalah zat yang dapat menetralisir radikal bebas sehingga atom dengan elektron yang tidak berpasangan mendapat pasangan elektron sehingga tidak liar lagi (Kosasih, dkk, 2004). Diketahui bahwa masuknya antioksidan berasal dari makanan, seperti sayur mayur dan suplemen makanan termasuk vitamin A, vitamin E, vitamin C dan betakaroten, ginseng dan ginko biloba (Kosasih, dkk, 2004). Antioksidan alami dari tumbuhan umumnya adalah senyawa fenol atau polifenol yang dapat berupa golongan flavanoid (salah satu golongan fenol alami terbesar), turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Antioksidan golongan flavonoid antara lain adalah flavon, flavonol, isoflavon, katekin, dan kalkon (Suranto, 2011). 2.3.1 Vitamin C Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 178,13, rumus molekul C6H8O6, titik lebur lebih kurang 190°C, berbentuk serbuk atau hablur, warnanya putih atau agak kuning, apabila kena cahaya lambat laun menjadi gelap. Stabil di udara dalam keadaan kering dan mudah teroksidasi dalam larutan, mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol, tidak larut dalam kloroform, eter dan benzen. Penyimpanannya dalam wadah tertutup rapat dan tidak tembus cahaya (Ditjen POM, 1995). Struktur kimia vitamin C dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah berikut ini berikut:
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Struktur kimia vitamin C Vitamin C merupakan salah satu senyawa kimia yang mempunyai potensi sebagai antioksidan dengan mendonorkan hidrogen dari gugus hidroksilnya kepada radikal bebas. Vitamin C juga dapat meningkatkan kekebalan tubuh terhadap infeksi dan virus. Aktivitas sistem kekebalan yang optium memerlukan keseimbangan antara pembentukan radikal bebas dan proteksi antioksidan (Silalahi, 2006). 2.3.2 Flavonoid Senyawa flavonoid merupakan salah satu senyawa polifenol yang mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya, yang tersusun dalam konfigurasi C6 – C3 – C6, yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh satuan 3 karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga (Markham, 1988). Kerangka flavonoid dapat dilihat pada Gambar 2 berikut:
Gambar 2. Kerangka flavonoid Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran dari flavonoid yang berbeda golongan dan jarang sekali dijumpai hanya flavonoid tunggal. Flavonoid
Universitas Sumatera Utara
pada tumbuhan terdapat dalam berbagai bentuk struktur molekul dengan beberapa bentuk kombinasi glikosida. Untuk menganalisis flavonoid lebih baik memeriksa aglikon yang telah terhidrolisis daripada dalam bentuk glikosida dengan strukturnya yang rumit dan kompleks. Flavonoid dapat berkhasiat sebagai antioksidan, antibakteri dan antiinflamasi (Harborne, 1984). Struktur dasar dan sistem penomoran untuk turunan flavonoid dapat dilihat pada Gambar 3 berikut:
Gambar 3. Struktur dasar flavonoid 2.4 Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan maupun hewan. Sebelum ekstraksi dilakukan biasanya bahanbahan dikeringkan terlebih dahulu kemudian dihaluskan pada derajat kehalusan tertentu (Harborne, 1984). Metode ekstraksi yang sering digunakan dalam berbagai penelitian menurut (Ditjen POM, 2000) adalah sebagai berikut: a. Cara dingin 1. Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan sesekali diaduk, pada temperatur kamar. Maserasi dengan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi kinetik dan yang dilakukan pengulangan panambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi.
Universitas Sumatera Utara
2. Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pelembaban bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan. b. Cara panas 1. Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 2. Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan secara terus-menerus pada temperatur lebih tinggi daripada temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C. 3. Sokhletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga menjadi ekstraksi kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 4. Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit. 5. Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit.
2.5 Spektrofotometer Ultraviolet dan Visibel (UV/Vis) Spektrofotometer UV/Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan itensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorpsi oleh sampel. Sinar
Universitas Sumatera Utara
ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektroskopi UV/Vis biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum UV/Vis mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari spektrum ini. Tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm (Dachriyanus, 2004).
2.6 Metode perangkap radikal 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) DPPH pertama kali ditemukan pada tahun 1922 oleh Goldschmidt dan Renn. DPPH berwarna ungu pekat seperti KMnO4, bersifat tidak larut dalam air (Ionita, 2005). DPPH merupakan singkatan untuk senyawa kimia 1,1-diphenyl-2picrylhydrazil. DPPH berupa serbuk berwarna ungu gelap yang terdiri dari molekul radikal bebas yang stabil. DPPH mempunyai berat molekul 394.32 dengan rumus bangun C18H12N5O6. Penyimpanannya dalam wadah tertutup baik pada suhu -20°C (Molyneux, 2004). Metode perangkap radikal 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) adalah suatu metode sederhana, cepat dan murah yang dapat digunakan untuk menguji kemampuan antioksidan yang terkandung dalam makanan. Metode ini dapat digunakan untuk sampel yang padat dan bentuk larutan. Prinsipnya adalah elektron ganjil pada molekul DPPH memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang tertentu, berwarna ungu. Warna akan berubah dari ungu
Universitas Sumatera Utara
menjadi kuning lemah apabila elektron ganjil tersebut berpasangan dengan atom hidrogen yang disumbangkan senyawa antioksidan. Perubahan warna ini berdasarkan reaksi kesetimbangan kimia (Prakash, 2001). 2.6.1 Pelarut Metode perangkap radikal 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) akan memberi hasil yang baik dengan menggunakan pelarut metanol atau etanol dan kedua pelarut ini tidak mempengaruhi dalam reaksi antara sampel uji sebagai antioksidan dengan DPPH sebagai radikal bebas (Molyneux, 2004). 2.6.2 Pengukuran absorbansi – panjang gelombang Panjang gelombang maksimum (λmaks) yang digunakan dalam pengukuran sampel uji sangat bervariasi. Menurut beberapa literatur panjang gelombang maksimum untuk DPPH antara lain 515 nm, 516 nm, 517 nm, 518 nm, 519 nm dan 520 nm. Apabila pengukuran menghasilkan tinggi puncak maksimum, maka itulah panjang gelombangnya yaitu sekitar panjang gelombang yang disebutkan di atas (Molyneux, 2004). 2.6.3 Waktu pengukuran Lamanya pengukuran menurut literatur yang direkomendasikan adalah selama 60 menit, tetapi dalam beberapa penelitian waktu yang digunakan sangat bervariasi yaitu 5 menit, 10 menit, 20 menit, 30 menit dan 60 menit. Waktu reaksi yang tepat adalah ketika reaksi sudah mencapai kesetimbangan. Kecepatan reaksi dipengaruhi oleh sifat dari aktivitas antioksidan yang terdapat di dalam sampel (Molyneux, 2004; Prakash, 2001; Rosidah, et al., 2008).
Universitas Sumatera Utara