BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan mengenai Upaya Hukum Menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP, yang dimaksud dengan upaya hukum adalah “Hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Sebagai suatu hak, maka tentunya upaya hukum tersebut sangat tergantung kepada terdakwa maupun penuntut umum apakah akan mempergunakannya atau tidak. Adapun maksud dari upaya hukum sendiri pada pokoknya yaitu untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi sebelumnya dan untuk kesatuan peradilan. Dengan adanya upaya hukum ini maka terdapat jaminan bagi terdakwa ataupun masyarakat bahwa peradilan, baik menurut fakta maupun hukum adalah benar dan sejauh mungkin seragam (Lilik Mulyadi,2007:234). Berdasarkan ketentuan dalam KUHAP, dikenal dua macam upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa (gewone rechtsmiddelen) dan upaya hukum luar biasa (buiten gewone rechtsmiddelen). Upaya hukum biasa terdiri dari banding (revisi/hoger beroep) yang diatur dalam Pasal 233 sampai Pasal 243 KUHAP dan kasasi (cassatie) yang diatur dalam Pasal 244 sampai Pasal 258 KUHAP. Upaya hukum luar biasa (buiten gewone rechtsmiddelen) terdiri dari pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum (cassatie in het belang van hetrecht) diatur dalam Pasal 259 sampai Pasal 262 KUHAP dan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (herziening) yang diatur dalam Pasal 263 sampai Pasal 269 KUHAP. Uraian dari upaya hukum diatas yaitu; a. Upaya hukum biasa
Upaya hukum biasa merupakan hak terdakwa dan penuntut umum untuk tidak menerima putusan Pengadilan Negeri atau tingkat pertama (judex factie), yang mana maksud upaya hukum biasa ini yaitu untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi sebelumnya, untuk kesatuan pengadilan dan sebagai perlindungan terhadap tindak sewenang-wenang hakim atau pengadilan (Andi Sofyan dan Abd. Asis,2014:269).Upaya hukum biasa terdiri dari; 1) Banding Apabila salah satu pihak dalam suatu perkara tidak menerima suatu putusan pengadilan negeri karena merasa hak-haknya terserang oleh adanya putusan itu atau menganggap putusan itu kurang benar atau kurang adil, maka ia dapat mengajukan permohonan banding. Pihakpihak tersebut dapat mengajukan perkara yang telah diputuskan itu kepada pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan pemeriksaan ulangan. Asas peradilan dalam dua tingkat itu disandarkan pada keyakinan bahwa putusan pengadilan pada tingkat pertama itu belum tentu tepat atau benar dan oleh karena itu perlu dimungkinkan pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi (Janpatar Simamora,2014:7). 2) Kasasi a) Pengertian Kasasi Pasal 244 KUHAP menyatakan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukam pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Selain pengertian dari KUHAP tersebut, kasasi juga dapat diartikan bahwa kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa dan merupakan hak asasi yang diberikan peraturan perundang-undangan kepada pencari keadilan. Kasasi berasal dari kata “Cassation” dengan kata kerja “Casser” artinya membatalkan atau memecahkan. Peradilan kasasi dapat diartikan memecahkan
atau membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan, karena dinilai salah menerapkan hukum. Meskipun secara normatif Mahkamah Agung memiliki kewenangan mengadili perkara kasasi tidak serta merta dan pasti melakukannya, melainkan tergantung pihak pencari keadilan atau penuntut umum, mengajukan kasasi atau tidak dan tergantung syarat lain yang harus dipenuhi. Secara yuridis formal permohonan kasasi dapat diterima apabila memenuhi syarat formal antara lain: tenggang waktu mengajukan kasasi, surat kuasa khusus sempurna, masih ada upaya hukum yang disediakan oleh hukum acara (verzet, banding), memberikan memori kasasi dalam waktunya (Henry P Panggabean,2001:201). b) Alasan Kasasi Alasan pengajuan kasasi telah ditentukan dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP secara limitative yang menyebutkan: Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 guna menentukan: a.
Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
b.
Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang;
c.
Apakah
benar
pengadilan
telah
melampaui
batas
kewenangannya. Selain dari KUHAP, diatur pula dalam Pasal 30 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, alasan-alasan hukum yang dipergunakan dalam permohonan kasasi, yaitu; 1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, 2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. c) Tujuan Kasasi (1) Koreksi Terhadap Putusan Pengadilan Bawahan Salah satu tujuan kasasi ialah memperbaiki dan meluruskan kesalahan
penerapan
hukum,
agar
hukum
benar-benar
diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut ketentuan undangundang. (2) Menciptakan dan Membentuk Hukum Baru Di samping tindakan koreksi yang dilakukan Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi ada kalanya tindakan koreksi itu sekaligus
menciptakan
“hukum
baru”
dalam
bentuk
yurisprudensi. Berdasarkan jabatan dan wewenang yang ada padanya dalam bentuk judge making law, sering Mahkamah Agung mencipta hukum baru uang disebut “hukum kasus” atau case law, guna mengisi kekosongan hukum, maupun dalam rangka menyejajarkan makna dan jiwa ketentuan undangundang sesuai dengan “elastisitas” pertumbuhan kebutuhan lajunya perkembangan nilai dan kesadaran masyarakat. (3) Pengawasan Terciptanya Keseragaman Penerapan Hukum Tujuan lain daripada pemeriksaan kasasi, bermaksud mewujudkan kesadaran “keseragaman” penerapan hukum atau unified legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang mencipta
yurisprudensi,
akan
mengarahkan
keseragaman
pandangan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat dihindari kesewenangan pandangan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum kasasi dapat terhindari kesewenangan dan penyalahgunaaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam memanfaatkan
kebebasan
kedudukan
yang
dimilikinya
(M.
Yahya
Harahap,2012: 539-542). d) Putusan yang dapat Dikasasi Berdasarkan Pasal 244 KUHAP, maka terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung kecuali terhadap Putusan Bebas. Putusan yang dapat dikasasi dapat diajukan pada semua putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan kecuali putusan bebas, dijelaskan sebagai berikut : (1) Terhadap putusan Pengadilan Negeri yang dalam kedudukannya sekaligus sebagai paradilan tingkat pertama dan terakhir, yang terhadap putusan tidak dapat diajukan permohonan banding. (2) Terhadap semua putusan Pengadilan Tinggi yang diambilnya pada tingkat banding, yang terhadap putusan tingkat banding tersebut, Pengadilan Tinggi telah mengambil putusan pada tingkat banding, terhadap putusan banding tersebut diajukan permohonan kasasi, putusan inilah yang dikualifikasikan sebagai putusan pengadilan “tingkat akhir”. (3) Terhadap putusan bebas, berdasarkan Pasal 244 KUHAP, terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan permohonan kasasi. Akan tetapi, kenyataan praktek larangan Pasal 244 KUHAP tersebut telah disingkirkan oleh Mahkamah Agung secara Contra Legem,yakni praktek dan penerapan hukum yang secara terang-terangan “bertentangan dengan undang-undangan” (M. Yahya Harahap,2012:543-544). Ketentuan Pasal 244 KUHAP sudah tidak mengikat, mengenai frase kecuali terhadap putusan bebas ini sudah dianulir dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012, yang amarnya berbunyi : “Menyatakan frasa,
“kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 dan Menyatakan frasa, “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. b. Upaya Hukum Luar Biasa Merupakan pengecualian dan penyimpangan dari upaya hukum biasa, upaya banding dan kasasi. Upaya hukum luar biasa bertujuan untuk mengoreksi serta meluruskan kesalahan yang terdapat dalam putusan tersebut dan pelurusan kesalahan tersebut dimaksudkan demi tegaknya hukum dan kebenaran serta keadilan (M. Yahya Harahap, 2012:543-544). Upaya hukum Luar Biasa terdiri dari; 1) Kasasi demi kepentingan hukum Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan terhadap putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang telah berkekuatan hukum tetap, hal ini berbeda dengan peninjauan kembali, tidak hanya terbatas pada putusan pengadilan negeri dan atau putusan pengadilan tinggi, tetapi juga terhadap putusan Mahkamah Agung (M. Yahya Harahap, 2012:608-609). Pihak yang berhak mengajukan kasasi demi kepentingan hukum diatur dalam Pasal 259 ayat (1) KUHAP, yaitu jaksa Agung karena jabatannya, terpidana atau ahi waris atau penasehat hukumnya tidak diperkenankan mengajukan kasasi demi kepentingan hukum. Putusan kasasi demi kepentingan hukum ini tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan dan hanya diperbolehkan diajukan satu kali saja.
2) Peninjauan Kembali Putusan pengadilan yang dapat dimintakan peninjauan kembali yaitu: a) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap b) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan c) Kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum (M. Yahya Harahap,2012:615-616). Pasal 263 ayat (1) menyatakan bahwa orang yang berhak mengajukan peninjauan kembali yaitu terpidana atau ahli warisnya. Sehingga jaksa penuntut umum tidak berhak mengajukan permintaan peninjauan kembali karena undang-undang tidak memberikan hak kepada penuntut umum guna melindungi kepentingan terpidana. 2. Tinjauan mengenai Judex Factie dan Judex Yuris a. Judex Factie Berdasarkan arti kata “Judex” berarti hakim dan “Factie” berarti fakta, sehingga definisi dari judex factie adalah fakta hakim dalam persidangan di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Jadi judex factie lebih condong pada kewenangan hakim dalam menentukan suatu fakta hukum dalam suatu persidangan yang akan dijadikan pertimbangan suatu putusan. Judex factie berwenang memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. judex factie memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut. (Muhammad Okky Arista dan Putra Bagus Setya Dewanto,2015:4). b. Judex Yuris Mahkamah
Agung
tingkatannya dikenal memeriksa
atas
dengan
penerapan
sebagai
badan
istilah judex hukum
yang
pengadilan
tertinggi
juris, yaitu hakim telah
dilakukan
yang oleh
pengadilan tingkat bawahan (Robertus Bima Wahyu, 2015:2). Wewenang Mahkamah Agung menurut Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman wewenang Mahkamah Agung ialah; 1) Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain; 2) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan 3) Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. Pengaturan lebih lanjut mengenai Mahkamah Agung terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. 3.
Tinjauan mengenai Tindak Pidana Narkotika Pengertian narkotika menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini”. Ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirumuskan dalam Bab XV ketentuan pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdapat empat kategorisasi tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undang-undang dan dapat diancam dengan sanksi pidana, yakni: a. Kategori
pertama,
yakni
perbuatan-perbuatan
berupa
memiliki,
menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika dan precursor narkotika (Pasal 111 dan 112 untuk narkotika golongan I, Pasal 117 untuk
narkotika golongan II dan Pasal 122 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf a); b. Kategori
kedua,
yakni
perbuatan-perbuatan
berupa
memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan precursor narkotika (Pasal 113 untuk narkotika golongan I, Pasal 118 untuk narkotika golongan II, dan Pasal 123 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf b); c. Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dan prekursor narkotika (Pasal 114 dan Pasal 116 untuk narkotika golongan I, Pasal 119 dan Pasal 121 untukn narkotika golongan II, Pasal 124 dan Pasal 126 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf c); d. Kategori
keempat,
yakni
perbuatan-perbuatan
berupa
membawa,
mengirim, mengangkut atau mentransit narkotika dan prekursor narkotika (Pasal 115 untuk narkotika golongan I, Pasal 120 untuk narkotika golongan II dan Pasal 125 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf d ) (Siswanto Sunarso,2012:256). 4. Tinjauan mengenai Asas Nebis in Idem a.
Pengertian Asas Nebis In Idem Pengertian dari nebis in idem menurut pendapat S.R Sianturi adalah tidak melakukan pemeriksaan untuk kedua kalinya mengenai tindakan yang sama. Ketentuan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pada suatu saat nantinya harus ada akhir dari pemeriksaan/penuntutan terhadap pelaku yang sama dari suatu tindak pidana yang sudah mendapatkan putusan hakim yang tetap. Sedangkan asas nebis in idem menurut I Wayan Parthiana adalah bahwa orang yang sudah diadili atau dijatuhi hukuman yang sudah memiliki kekuatan yang mengikat yang pasti oleh badan peradilan yang berwenang atas suatu kejahatan atau tindak pidana yang dituduhkan kepadanya, tidak boleh diadili atau dijatuhi putusan untuk
kedua kalinya atau lebih, atas kejahatan atau tindak pidana tersebut (Muhammad Arif Sahlepi, 2009:44). Pengertian dari nebis in idem juga diungkapkan oleh Gerard Conway (2003: 355) sebagai berikut; “The principle that a person should not be prosecuted more than once for the same criminal conduct, reflected in the maxim nebis in idem and also referred to as the rule againts jeopardy, is found among legal systems throughtout the world” Terjemahan bebas artinya “Sebuah prinsip bahwa seseorang tidak boleh di adili lebih dari satu kali untuk tindakan kriminal yang sama,tercermin di istilah nebis in idem dan juga dijadikan sebagai aturan melawan double jeopardy, yang ditemukan diantara sistem hukum di seluruh dunia”. Pengertian nebis in idem juga diungkapkan oleh Linda E. Carter(2010:169-170) : “Ne bis in idem is a concept based on fairness to the accused and a desire for finality in criminal cases. No one shall be liable to be tried or punished again for an offence for which he has already been finally convicted or acquitted in accordance with the law and penal procedure of each country. The concept is worldwide, all or almost all nations have a ne bis in idem provision as do each of the criminal tribunals”. Terjemahan bebas artinya “Ne bis in idem merupakan suatu konsep yang didasarkan pada keadilan bagi terdakwa dan keinginan untuk ketegasan pada kasus kriminal. Tidak seorangpun dapat atau mencoba dikenakan dihukum kembali untuk pelanggaran yang mana telah selesai dihukum atau dibebaskan sesuai dengan ketentuan dalam hukum dan prosedur penal dalam masing-masing negara. Konsep ini telah mendunia, semua atau hampir semua negara memiliki ketentuan mengenai nebis in idem dalam pengadilan terhadap kriminal. Pengaturan terhadap asas nebis in idem terdapat dalam Pasal 76 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim
pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut”. b.
Syarat suatu perkara dinyatakan nebis in idem Suatu perkara yang dituntut dan disidangkan kembali baru dapat dinyatakan sebagai perkara nebis in idem apabila telah memenuhi syarat tertentu (Asriadi Zainuddin, 2014:142), yaitu; 1) Apa yang digugat atau diperkarakan sudah pernah diperkarakan 2) Telah ada putusaan yang telah berkekkuatan hukum tetap dan bersifat positif seperti menolak gugatan atau mengabulkan 3) Objek yang sama 4) Subjek sama 5) Materi pokok yang sama.
c.
Tujuan Asas Nebis In Idem Tujuan adanya asas nebis in idem yaitu jangan sampai pemerintah berulang-ulang membicarakan tentang peristiwa yang sama itu juga, sehingga dalam satu peristiwa ada beberapa putusan yang kemungkinan akan mengurangkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya. Sekali orang sebagai terdakwa harus diberi ketenangan hati janganlah orang dibiarkan terus-menerus dengan perasaan terancam oleh bahaya penuntutan kembali dalam peristiwa yang sekali telah di putus. Dengan demikian jelas bahwa tujuan Nebis In Idem adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap diri seseorang agar tidak dapat dituntut dan disingkirkan kembali dalam peristiwa yang sama dan yang sebelumnya telah pernah di putus dan juga menghindari agar pemerintah tidak secara berulang-ulang memeriksa perkara yang telah pernah diperiksa sebelumnya yang pada akhirnya menimbulkan beberapa putusan yang berbeda-beda” (Asriadi Zainuddin, 2014:143). Bahwa tujuan penerapan asas nebis in idem dalam perkara pidana adalah untuk memberikan perlindungan dan perkara pidana yang sama dan yang sebelumnya pernah diputus dan juga menghindari agar pemerintah tidak secara berulang-ulang memeriksa perkara yang telah
diperiksa sebelumnya yang pada akhirnya menimbulkan beberapa putusan yang berbeda-beda (Mairiko Alexander Kotu, 2016:107).
B. Kerangka Pemikiran
PERKARA NARKOTIKA Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
PUTUSAN PN NOMOR : 46/Pid.Sus/2014/PN.Bjm
PUTUSAN PN NOMOR : 1110/PID.SUS/2013/PN.BJM
PUTUSAN PT NOMOR : 60/PID.SUS/2014/PT BJM
ALASAN KASASI Pasal 253 KUHAP
ASAS NEBIS IN IDEM
PERTIMBANGAN HAKIM
PUTUSAN MA NOMOR : 1853 K/PID.SUS/2014
Bagan 1. Gambar Kerangka Pemikiran.
Keterangan Kerangka Pemikiran: Bagan kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur berpikir penulis dalam menyusun penelitian hukum guna menemukan jawaban atas permasalahan hukum ini, yaitu mengenai perkara narkotika. Pada perkara narkotika tersebut Pengadilan Negeri Banjarmasin mengeluarkan dua putusan dengan pihak dan perkara yang sama di tahun yang berbeda, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor
1110/PID.SUS/2013/PN.BJM
Banjarmasin
Nomor
dan
Putusan
46/PID.SUS/2014/PN.BJM.
Pengadilan Terdakwa
Negeri kemudian
mengajukan upaya hukum banding terhadap Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 46/PID.SUS/2014/PN.BJM. Akan tetapi Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 60/PID.SUS/2014/PT.BJM tetap menguatkan putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin, sehingga terdakwa kemudian mengajukan upaya hukum kasasi. Terdakwa dalam mengajukan upaya hukum kasasi tersebut beralasan bahwa judex factie telah melanggar asas nebis in idem, yang mana alasan tersebut menjadi pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam mengeluarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1853 K/PID.SUS/2014 yang amarnya menyatakan pembatalan
Putusan
Pengadilan
Tinggi
Banjarmasin
Nomor
60/PID.SUS/2014/PT.BJM, tanggal 14 Juli 2014 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 46/PID.SUS/2014/PN.BJM.